Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022

 

REAKSI SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP FENOMENA ILMU HITAM �PANGARASA�

 

Sobri1*, Abdul Munir2, Salmanuddin Simbolon3

1*,2,3 Program studi ilmu kriminologi, Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, Universitas Islam Riau, Indonesia

Email: *[email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini mengkaji fenomena kejahatan ilmu hitam 'pangarasa' di Desa Kauman, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman Timur. Kejahatan ini berbeda dengan kejahatan konvensional karena sifatnya yang tidak nyata dan sulit dibuktikan secara hukum. Masyarakat di daerah tersebut masih kental dengan kepercayaan terhadap unsur magic, terutama dalam konteks kejahatan magic Pangarasa yang populer di kalangan masyarakat setempat. Kejahatan ini melibatkan racun 'rasa' yang diyakini dapat menyebabkan sakit berkepanjangan dan kematian pada korban. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi, melibatkan subjek seperti orang pintar, tokoh agama, masyarakat, keluarga pemilik pangarasa, dan korban. Analisis data mengungkapkan eksistensi ilmu pangarasa dalam dua konteks: strategi melawan penjajah pada masa lalu dan praktik persugihan. Hasil penelitian memberikan wawasan terhadap reaksi masyarakat terhadap ilmu pangarasa, termasuk stigma negatif, ketakutan, dan kucilan terhadap individu yang dicurigai memiliki pangarasa. Penelitian ini berkontribusi pada pengembangan kajian kriminologi, khususnya isu-isu etnografi kejahatan, dan memberikan pemikiran untuk mengantisipasi kemungkinan masalah pelanggaran baru terhadap reaksi sosial terhadap isu-isu etnografi kejahatan.

 

Kata Kunci: Ilmu Hitam, Pangarasa, Magic, Kejahatan, Etnografi.

 

Abstract

This research examines the phenomenon of black magic crime known as 'pangarasa' in Kauman Village, Rao Selatan District, East Pasaman Regency. This crime differs from conventional crimes due to its intangible nature, making it difficult to be legally proven. The community in this area still holds strong beliefs in magical elements, particularly in the context of the Pangarasa magic crime, which is popular among the local population. This crime involves the use of 'rasa' poison, believed to cause prolonged illness and death to the victims. The research employs a qualitative phenomenological approach, involving subjects such as local shamans, religious figures, community members, families of suspected pangarasa practitioners, and victims. Data analysis reveals the existence of pangarasa magic in two contexts: as a strategy against colonialists in the past and as a form of ritualistic sacrifice. The findings provide insights into the community's reactions to pangarasa magic, including negative stigma, fear, and social isolation toward individuals suspected of practicing pangarasa. This research contributes to the development of criminological studies, particularly in the field of ethnographic crime issues, and provides insights to anticipate potential new violations concerning social reactions to ethnographic crime issues.

 

Keywords: Black Magic, Pangarasa, Magic, Crime, Ethnography.

 

Pendahuluan

Kejahatan ilmu hitam atau yang disebut dengan black magic merupakan bentuk kejahatan yang berbeda dengan kejahatan konvensional. Perbedaan tersebut terletak pada sifatnya yang tidak nyata sehingga tidak bisa terlihat secara persis pelaku dari kejahatan itu. Sekalipun klaim munculnya korban dari anggota masyarakat dari keberadaan kejahatan magic, namun persoalan ini tidaklah dapat diintervensi melalui pendekatan hukum. Persoalan mendasarnya adalah pada tingkat pembuktian terhadap pelaku sulit untuk dilakukan.

Di Indonesia sendiri unsur magic memang masih kental di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat difahami dari cerita mulut ke mulut. Seperti misalnya kejahatan magic Pangarasa yang secara umum sangat populer di kalangan masyarakat di Kabupaten Pasaman Timur Provinsi Sumatra Barat. Ilmu hitam pengarasa yang keberdaannya sangat membuat takut masyarakat tersebut, dari cerita dan keyakinan yang berkembang ditengah masyarakat disana, bahwa rasa (istilah ramuan magic) yang telah diracik oleh �pangarasa� (istilah untuk pelaku) dapat menghilangkan nyawa seseorang sekiranya termakan makanan yang telah terkontaminasi dengan �rasa� tersebut. Taburan ramuan magic kedalam makanan, lazimnya terjadi di dalam momen-momen keramaian seperti pesta dan sebagainya. Sedangkan korban dari ramuan magic tersebut dapat dikatakan bersifat acak dan siapa saja dapat terkena disaat kebetulan makanan yang termakan terdapat taburan dari �rasa� tersebut.

Dari pemahaman yang berkembang serta kesaksian orang-orang yang mengetahuinya, bagi yang terkena racun �rasa maka dapat mengalami sakit berkepanjangan dan berujung pada kematian. Cara kerja dari racun rasa diyakini menyerang organ-organ vital korban seperti jantung dan paru-paru. Dampak dari racun rasa biasanya akan dirasakan oleh korban beberapa hari setelah mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi rasa. Gejala-gejala umum yang dirasakan biasanya adalah sesak nafas, batuk berdarah serta gagal jantung.

���������� Dari histori singkatnya, dahulu ramuan magicrasa dituntut oleh pelakunya dalam kepentingan untuk melawan penjajah Belanda. Dikarenakan kurangnya perlengkapan persenjataan pada masa itu, sehingga melalui cara-cara halus menaburkan rasa kedalam makanan bagi para tentara Belanda diyakini dapat melumpuhkan musuh. Situasi atau keadaan penjajah yang terus bergerak dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain pada waktu itu, dianggap sangat menguntungkan bagi dilakukannya pangarasa, mengingat terhadap mereka (tentara Belanda) yang telah termakan rasa�, akan mengalami kematian atau kesakitan tidak langsung dilokasi dimana mereka termakan rasa.Sehingga pada waktu itu kehadiran pangarasa dianggap cukup efektif dipakai melakukan perlawanan dengan pola sembunyi atau meracun sekaligus dapat terhindar dari kecurigaan penjajah terhadap warga lokal.

Selain hal di atas, cerita tentang fenomena pangarasa juga dikaitkan dengan praktik persugihan. Dalam hal ini ada konteks kerjasama dan perjanjian antara penuntut ilmu hitam pangarasa dengan makhluk gaib atau Jin sebagai yang memberikan kemampuan magic. Pesugihan ini pada dasarnya tidaklah gratis cuma-cuma, melainkan memerlukan tumbal atau korban manusia yang hakikatnya sebagai pengganti atau barter untuk dipersembahkan kepada mahkhluk gaib yang dipuja.

����������� Dilihat dari konteks historinya, terdapat dua (2) konteks fenomena pangarasa dari sisi keperluannya. Pertama, sebagai cara atau strategi melumpuhkan penjajah pada waktunya dahulu. Kedua, dapat dikatakan sebagai unsur pesugihan, yang dalam pemahaman masyarakat, dapat memancing rezeki dan memperpanjang umur.

Terlepas dari dua (2) konteks tersebut di atas, yang menjadi persoalan bagi masyarakat sesuai keyakinan mereka, bahwa ilmu hitam pangarasa mensyaratkan tumbal atau korban. Ironinya lagi, ilmu hitam ini bersifat turun-temurun bagi mereka anggota keluarga yang ingin meneruskannya.

Hal yang paling ditakuti masyarakat dari pangarasa, dimana mereka pemiliknya wajib mencari tumbal nyawa untuk dipersembahkan kepada makhluk gaib dalam tiap kurun waktunya. Dan yang berbahaya bagi pemilik pangarasa sendiri, bila mereka tidak menyajikan korban untuk dipersembahkan, maka secara otomatis sesuai keyakinan masyarakat, keluarga terdekat pangarasa lah yang menjadi korbannya sendiri. Hal itu dapat berlaku terhadap istri, anak, cucu, meanantu dan sebagainya, untuk menjadi korban. Menghindari korban keluarga sendiri inilah seorang pemilik ilmu pangarasa terpaksa harus mendapatkan korban dari orang lain diluar orang-orang terdekatnya. Tidak pandang bulu, baik usia muda, tua, laki laki ataupun wanita dapat saja secara acak menjadi korban pangarasa.

Dikalangan masyarakat Pasaman, sudah menjadi pantangan dan nasehat turun temurun supaya tidak berhubungan dengan keluarga pangarasa. Ketakutan masyarakat terhadap ilmu hitam pangarasa ini membuat masyarakat sangat takut untuk berdekatan apalagi menjalin hubungan keluarga dengan orang-orang yang dianggap memiliki pangarasa. Stigma jelek terhadap pangarasa, sehinga menjadi aib tersendiri bagi siapapun yang menjalin hubungan dengan keluarga terduga pemilik pangarasa. Selain itu seorang yang dicurigai sebagai pangarasa akan dikucilkan di tengah masyarakat, tidak diikutsertakan dalam acara-acara adat istiadat dan sebagainya. Begitu juga sebaliknya, apabila orang yang dicurigai sebagai yang memiliki pangarasa ketika menggelar hajatan dan mengundang warga setempat, maka dimungkinkan terjadinya keengganan warga untuk memenuhi undangan tersebut.

Penelitian ini berfokus pada fenomena ilmu hitam 'pangarasa' yang dianggap sebagai kejahatan menakutkan di Desa Kauman, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman Timur. Rumusan masalah mencakup ketakutan masyarakat terhadap dampak pangarasa, seperti sakit berkepanjangan yang dapat berujung pada kematian. Pertanyaan penelitian menggali eksistensi dan reaksi masyarakat terhadap ilmu hitam pangarasa. Tujuan penelitian adalah menjelaskan lebih lanjut eksistensi dan reaksi masyarakat terhadap fenomena ini. Manfaat penelitian mencakup kontribusi pada pengembangan kajian kriminologi, khususnya isu-isu etnografi kejahatan, serta memberikan pemikiran untuk mengantisipasi kemungkinan masalah pelanggaran baru terhadap reaksi sosial terhadap isu-isu etnografi kejahatan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi, fokus pada ilmu hitam 'pangarasa' di Desa Kauman, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman Timur. Penelitian melibatkan subjek seperti orang pintar, tokoh agama dan masyarakat, keluarga terduga pemilik pangarasa, serta korban ilmu pangarasa. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi tidak terstruktur, dan studi dokumen. Analisis data menggunakan model Stevick-Colaizzi-Keen, memeriksa setiap pernyataan verbal terkait dengan masalah penelitian, merekam pernyataan relevan, mengelompokkan unit makna ke dalam tema-tema, dan membuat sintesis dari unit-unit makna dan tema. Lokasi penelitian berada di Rao Selatan, Pasaman Timur, yang dianggap memiliki keunikan terkait ilmu hitam pangarasa. Total delapan subjek dipilih berdasarkan kategori, termasuk orang pintar, tokoh agama dan masyarakat, keluarga terduga pemilik pangarasa, dan korban pangarasa.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Deskrifsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini bertempat di Desa Kauman, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman (Sumatera Barat). Daerah ini berada di jalan lintas Sumatera MedanPadang. Kauman Selatan berbatasan langsung dengan Jorong Pasar Kauman di sebelah Utara, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Nagari Padang Galugua Kecamatan Padang Gelugur.

Kehidupan masyarakat berbaur antara suku Minang dan masyarakat suku Tapanuli. Walaupun berada di daerah Sumatera Barat, bahasa pengantar di daerah ini selain bahasa Minang tetapi juga bahasa Tapanuli. Situasi seperti ini tidak menjadi penghambat bagi kedua belah suku untuk berinteraksi secara umum, dengan saling menghargai satu sama lain. Adapun pekerjaan atau mata pencarian ekonomi masyarakat sehari-hari diantaranya berkebun karet, cokelat, pinang, sawah, budidaya ikan mas, dagang, dll.

B.  Identitas Subjek Penelitian

Dalam mencukupi informasi atau data lapangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka dibutuhkan sejumlah orang yang terlibat sebagai informen dalam penelitian ini diantara dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini :

 

Tabel 1

Identitas Subjek Penelitian

No

Nama / Inisial

Status

Tanggal & Waktu

1

Drs. Syukri Rangkuti

Tokoh Agama

29 September 2022. Pkl. 20.00-21.30 Wib

2

Muhammad Fudel

Tokoh Agama

02 Oktober 2022. Pkl. 20.00-21.30 Wib

3

Panehonan Pane

Ahli Pengobatan Racun Rasa

03 Oktober 2022. Pkl. 13.00-15.00 Wib

4

Nur Asyiah

Ahli Pengobatan Racun Rasa

04 Oktober 2022. Pkl. 21.00-22.00 Wib

5

Syahrum

Kepala Lingkungan

05 Oktober 2022. Pkl. 20.00-21.00 Wib

6

Arisman Syukri

Korban Pangarasa

20 Oktober 2022. Pkl. 14.00-15.00 Wib

7

Muhammad Daron

Korban Pangarasa

20 Oktober 2022. Pkl. 14.00-15.00 Wib

8

DH

Keluarga Terduga Pemilik Pangarasa

28 Oktober 2022. Pkl. 09.00-09.30 Wib

Sumber : Data Lapangan

 

C.  Data Hasil Wawancara

1.    Histori Ilmu Hitam Pangarasa

Dari historinya dahulu, pangarasa dituntut oleh pelakunya dalam kepentingan melawan penjajah Belanda. Hal itu dikarenakan pada masa itu masyarakat mengalami kurangnya perlengkapan senjata, sehingga melalui cara-cara halus menaburkan rasa kedalam makanan yang ditujukan bagi tentara Belanda, diyakini dapat melumpuhkan musuh. Situasi atau keadaan penjajah yang terus bergerak dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain pada waktu itu, dianggap sangat menguntungkan. Sebab bagi mereka yang telah termakan rasa maka akan mengalami kematian atau kesakitan tidak langsung di lokasi dimana mereka termakan rasa. Sehingga pada waktu itu pangarasa dianggap cukup efektif sebagai cara menghindar dari tuduhan dan kecurigaan penjajah terhadap warga lokal dalam melakukan cara-cara perlawanan dengan pola sembunyi melalui peracunan.

Disamping itu, menurut orang-orang yang memahami tentang fenomena pangarasa, kepemilikan ilmu gaib ini dapat melalui proses penuntutan guna keperluan persugihan. Proses pesugihan adalah bentuk kerjasama perjanjian seseorang dengan makhluk Jin. Pesugihan ini pada dasarnya tidaklah gratis cuma-cuma, melainkan memerlukan tumbal atau korban manusia yang hakikatnya sebagai pengganti atau barter untuk dipersembahkan kepada mahkhluk gaib yang dipuja.

�...Dulu rasa pada masa penjajahan di jadikan sebagai senjata yang ampuh untuk membunuh penjajah dengan keuntungan penjajah akan meninggal di tempat lain karena berpindah tempat sehingga tidak menimbulkan kecurigaan terhadap masyarakat sekitar...�

Selain itu rasa juga dijadikan untuk membasmi hewan atau hama tanaman yang merusak tanaman. Seiring bertambahnya waktu, Rasa dijadikan sebagai racun untuk manusia untuk memenuhi perjanjian kepada jin, seorang pangarasa percaya bahwa persugihan itu akan berdampak positif yaitu melancarkan rezeki dan memperpanjang umur (wawancara dengan pemuka agama, Drs. Syukri Rangkuti. 29 September 2022, 20.00-22.00. WIB).

Dilihat dari konteks historinya, terdapat dua (2) konteks fenomena pangarasa dari sisi keperluannya. Pertama, sebagai cara atau strategi melumpuhkan penjajah pada waktunya dahulu. Kedua, sebagai unsur pesugihan, yang dalam pemahaman masyarakat disana, dapat memancing rezeki dan memperpanjang umur (dalam pengertian sehat dan kuat fisik).

Terlepas dari dua (2) konteks yang disebutkan di atas, yang menjadi persoalan bagi masyarakat sesuai keyakinan masyarakat, bahwa ilmu hitam pangarasa mensyaratkan tumbal atau korban. Ironinya lagi, selain proses kepemilikannya dapat dituntut, ilmu ini juga bersifat turun-temurun bagi anggota keluarga dan kerabat terdekat yang ingin meneruskannya.

Satu tuntutan bagi pemilik pangarasa yang ditakuti oleh masyarakat adalah dimana mereka pemiliknya wajib mencari tumbal nyawa untuk dipersembahkan kepada makhluk gaib dalam tiap kurun waktu tertentu. Dan yang berbahaya bagi pemilik pangarasa sendiri, bila mereka tidak menyajikan korban untuk dipersembahkan, maka secara otomatis sesuai keyakinan masyarakat disana, keluarga terdekat pangarasa lah yang menjadi korbannya sendiri. Hal itu dapat berlaku terhadap istri, anak, cucu, meanantu dan sebagainya, untuk menjadi korban. Menghindari korban dari keluarga sendiri seorang pangarasa terpaksa harus mendapatkan korban dari orang lain. Tidak pandang bulu, baik usia muda, tua, laki laki ataupun wanita dapat saja secara acak menjadi korban pangarasa.

�...Memang betul seorang pangarasa akan akan mencari tumbal untuk memenuhi perjanjian kepada jin tempat menuntut ilmu hitam, jadi pangarasa akan mencari orang yang akan diberikan rasa sehingga berakibat pada orang yang termakan Rasa akan sakit berkepanjangan sampai meninggal, bukan hanya kepada orang lain, apabila pangarasa tidak mendapatkan orang untuk dijadikan tumbal, maka saudara, anak atau keluarga nya akan dikorbankan...�

Tidak banyak yang mengetahui pasti kandungan apa saja yang ada di dalam ramuan racunrasa tersebut, namun beberapa sumber di lokasi menerangkan jika rasamengandung unsur dari berbagai bulu bintang buas yang dihaluskan dibarengi dengan ritual khusus.

�...Rasa terbuat dari bulu-bulu hewan yang dihaluskan, ada juga yang berpendapat Rasa itu dari miang berbagai tumbuhan...� (Wawancara dengan pemuka agama, Drs. Syukri Rangkuti. 29 September 2022, 20.00-22.00. WIB).

2.    Jenis-Jenis Ilmu Hitam Pangarasa

Dari kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat, terdapat beragam jenis �racun rasa� diantaranya; sitorus dolok, siarsik ngar-ngar, sigombung sona dan siampar lage.

Sitorus dolok adalah jenis racun yang paling kuat, artinya raja dari segala �rasa�. Seseorang yang terlanjur termakan racun ini akan merasakan panas di seluruh tubuhnya, kemudian akan memuntahkan benda sejenis bulu binatang berwarna hitam, biasanya orang yang telah mengonsumsi racun ini akan meninggal setelah beberapa hari.

Siarsik ngar- ngar adalah jenis racun yang apabila termakan membuat orang menjadi kurus. Racun ini akan beraksi setelah beberapa hari. Korban dari racun ini akan menderita batuk berkepanjangan sampai meninggal.

Sigombung sona adalah jenis racun yang akan membuat orang atau korban semakin gemuk, tetapi tubuhnya akan terlihat menguning. Reaksinya hampir mirip dengan penyakit kuning, bedanya adalah orang yang termakan racun ini akan bertambah gemuk dan beberapa bulan akan meninggal.

Siampar lage adalah jenis racun yang membuat orang atau korban merasa sakit di dalam tubuhnya dan menyerang organ vital, akan merasakan panas di jantung dan hati.

�...Sitorus dolok... raja segala �rasa�...orang yang termakan rasa ini akan merasa panas sekijur tubuhnya. Setelah itu akan memuntahkan bulu binatang yang hitam. Biasanya orang yang termakan racun ini akan meninggal setelah beberapa hari.

Siarsik ngar- ngar... rasa ini ketahuan dalam beberapa hari. jika termakan membuat orang menjadi kurus serta menderita batuk berkepanjangan sampai meninggal.

Sigombung sona... rasa yang akan membuat orang yang termakan semakin gemuk dan menguning dan beberapa bulan akan meninggal...

Siampar lage... rasa yang membuat orang memakannya dapat merasakan panas di jantung dan hati...� (wawancara dengan tokoh agama, Muhammad Pudel. 2 Oktober 2022, pukul 20.00-21.30 WIB).

3.    Mengidentifikasi Racun Rasa dan Korban Racun Rasa

Masyarakat meyakini dan percaya bahwa cara memeriksa makanan yang mengandung �rasa adalah dengan menggesek-gesek lidah ke langit langit mulut, dengan tujuan apabila tidak terasa geli berarti makanan yang ada di dihadapan diduga kuat mengandung racun �rasa�. Begitu juga sebaliknya, jika terasa geli seperti biasa berarti makanan yang ada di hadapan tidak mengandung rasa.

Selanjutnya racun �rasa� dapat di identifikasi melalui memeriksa teknik menggaruk kulit kepala. Apabila masih terdengar suara gesekan antara kuku jari dengan kulit kepala, maka makanan yang ada dapat dianggap steril dari racun �rasa�. Begitu juga sebaliknya jika tidak terdengar suara gesekan jari dengan kulit kepala maka makanan yang ada di dihadapan dipercayai mengandung racun �rasa

Kemudian terdapat juga cara lain memeriksa makanan atau minuman yang mengandung �rasa dengan melihat bayangan ujung hidung, yang apabila dihadapkan pada gelas yang berisi air minuman sama sekali tidak menampakkan bayangan ujung hidung, itu artinya terdapat racun �rasa� di dalamnya.

�...Cara memeriksa makanan yang mengandung Rasa dengan menggesek-gesek lidah ke langit langit mulut, jika terasa geli seperti biasa berarti makanan yang di depan kita tidak mengandung rasa...

Bisa juga dengan menggaruk kulit kepala, jika tidak terdengar suara gesekan jari dengan kulit kepala maka makanan yang di depan kita dipercayai mengandung rasa...�

Sementara ciri-ciri orang yang termakan racun �rasa antara lain diawali dengan muntah dan batuk darah. Situasi itu diikuti dengan batuk kering berkepanjangan hingga akhirnya membuat anggota badan berwarna kuning atau menguning. Ironinya penyakit ini menurut masyarakat, kurang efektif hasil bila pengobatannya di rujuk kerumah sakit. Pemeriksaan medis terhadap kasus ini cenderung mengarah kepada penyakit TBC, jantung maupun paru-paru basah. Dalam kasus ini, masyarakat lebih mempercayai pengobatan alternatif dari pada pengobatan medis. Pengobatan alternatif tertuju kepada dukun atau yang disebut sebagai �orang pintar�, yang dianggap mampu mengobati racun �rasa� tersebut. Berdasarkan kebiasannya, pengobatan alternatif menggunakan media buah kelapa yang di bakar, atau tebu merah yang dibakar yang diikuti dengan proses ritual pula.

�...Di rumah sakit penyakit ini tidak terdeteksi, dari dunia kedokteran sering mengatakan penyakit ini TBC paru paru, ada juga paru paru basah... Pengobatan kita untuk penyakit ini akan diberi obat kelapa bakar, ada juga yang memberikan obat tebu merah yang dibakar� (Wawancara dengan ahli pengobatan racun rasa, Panehonan Pane. 17 Oktober 22, 13.00-15.00 WIB).

Dari keterangan yang ada, tidak ada informasi yang dapat menunjukkan dalam bentuk jumlah terkait korban �racun rasa� ini. Namun berdasarkan keterangan �orang pintar� yang dapat mengobati korban racun rasa, dalam setiap tahunnya, sekalipun tidak banyak, ada saja korban yang termakan racun rasa baik masyarakat sekitar maupun orang luar atau pendatang. Dan biasanya pelaku atau pengarasa memanfaatkan momen acara besar seperti acara adat, keagamaan (hari raya, maulid nabi), tujuh belasan, serta apabila ada kunjungan pejabat. Intinya pelaku memanfaatkan momen-momen keramaian dengan modus sebagai penjual makanan, seperti jualan mieso, bakso, gorengan, kue. Dengan cara menaruh racun rasa di makanan yang dijual. Yang paling dimungkinkan menjadi sasaran adalah orang-orang dari luar daerah yang memang tidak memiliki pemahaman tentang hal itu serta anak-anak.

�...Biasanya itu tiap ada acara keramaian, tiap tahun itu ada. Seperti kalau ada acara-acara adat, hari raya, tujuh belasan, atau kalau ada pejabat-pejabat datang...��

Tetapi kebiasaan penjual ini menaruh Rasa ke makanan yang dibeli oleh orang dari luar kampung untuk mengelabuhi agar tidak dicurigai masyarakat sekitar, ada juga terkadang pangarasa ini berpura pura baik kepada anak kecil kemudian memberikan Rasa kepadanya...

Anak-anak termasuk mudah kena, karena sifat anak anak yang mudah dipengaruhi senang diberi makanan...(Wawancara dengan ahli pengobatan racun rasa, Panehonan Pane. 17 Oktober 22, 13.00-15.00 WIB).

4.    Reaksi Masyarakat Terhadap Terduga Pemilik Ilmu Hitam Pangarasa

Di tengah masyarakat orang yang dipercayai memiliki ilmu hitam pangarasa akan mendapatkan lebel dan perlakuan negatif. Begitupun juga terhadap keluarga pemilik pangarasa. Hal itu dikarenakan masyarakat percaya ilmu hitam pangarasa ini akan diturunkan kepada keluarga terdekatnya ketika yang bersangkutan sudah meninggal. Sikap masyarakat sangat terlihat ketika terduga pemilik maupun keluarga pangarasa ikut atau berada dalam setiap momen keramaian seperti acara pesta adat dan sebagainya, gerak gerik mereka akan selalu di awasi atau diperhatikan oleh anggota masyarakat lain. Bahkan, di dalam setiap momen acara keramaian, tidak jarang di dalam kepanitian yang ada, membentuk tim khusus untuk memantau guna mengantisipasi dampak dari kejahatan pangarasa ini.

�...Disini orang-orang udah merasa kalau ada mereka dalam setiap acara-acara, masing-masing yang tau siap mengawasi gerak-gerikya...

Kalau ada acara-acara yang ada panitianya tetap selalu ada tim yang dibentuk untuk mengawasi mereka-mereka itu... (wawancara dengan korban pangarasa, Muhammad Dahron. 20 Oktober 2022, 14.00-15.00 WIB).

 

Disamping itu, tidak sedikit dari anggota masyarakat mengambil sikap untuk memutuskan hubungan silaturahmi dengan mereka yang dianggap sebagai pemilik pangarasa dan keluarga terdekatnya dengan cara tidak melakukan kontak komunikasi, apalagi sampai menikahi bagian dari anggota keluarga terdekatnya. Upaya lain masyarakat menghindari untuk menjadi korban juga dilakukan dalam cara lain seperti enggan untuk berdekatan duduk sekiranya berada dalam satu momen tertentu yang tidak disengaja sekalipun. Dan hanya orang-orang yang tidak memahami atau mengetahui tentang pangarasa sajalah yang dimungkinkan tidak memiliki sikap serupa terhadap mereka pemilik dan keluarga pangarasa saat berdekatan.

�...Kalau orang yang tau, sekalipun tidak sengaja berjumpa di satu tempat, pasti menghindar. Kecuali yang tak tau, mungkin lain ceritanya...(wawancara dengan korban pangarasa, Arisman Syukri. 20 Oktober 2022, 14.00-15.00 WIB).

Bentuk kekerasan fisik dari masyarakat terhadap terduga pemilik ilmu hitam pangarasa juga pernah terjadi. Dalam kasus yang tidak terkonfirmasi tahunnya, dimana satu keluarga terduga terpaksa di usir oleh warga. Hal itu buntut dari meninggalnya tiga orang anak warga yang tinggal di sekitar tempat tinggal terduga pelaku pangarasa. Meninggalnya tiga orang anak yang dianggap kurang lazim oleh warga serta terjadi dalam waktu yang tidak berjauhan tersebut, disinyalir warga setempat adalah sebagai korban dari terduga pelaku pangarasa. Sementara terduga merupakan orang yang jauh sebelumnya sudah dianggap oleh warga memiliki ilmu hitam pangarasa di daerah tersebut. Akibatnya warga panik dan secara bersama-sama melakukan tindakkan kekerasan berupa pengusiran secara paksa diikuti dengan pengerusakan rumah milik terduga.

�...Pernah dulu disini ada satu keluarga di usir, di rusak rumahnya sama warga. Gimana orang tak marah, tetangga sendiri korbannya dalam waktu berdekatan tiga anak-anak meninggal tak wajar...

Orang-orang udah lama menduga kuat....karena dia punya pangarasa...� (wawancara dengan korban pangarasa, Arisman Syukri. 20 Oktober 2022, 14.00-15.00 WIB).

Disamping aksi-aksi kekerasan bersifat spontanitas sebagaimana di atas, pendekatan agama juga dilakukan dalam hal menguji keberadaan pelaku pemilik pangarasa. Seperti pada tahun 2016 yang lalu, oleh tokoh agama dan bersama dengan tokoh masyarakat, pernah diadakan sumpah secara massal dengan menggunakan Al-Qur�an yang ditujukan kepada seluruh warga, terhitung mulai dari yang berumur tujuh belas tahun keatas, wajib mengikuti prosesi sumpah. Sumpah dengan media Al-Qur�an yang diadakan di Masjid pada masa itu, bertujuan untuk mendeteksi sekaligus mendapatkan bukti dari mereka yang memiliki ilmu hitam pangarasa. Adapun bunyi sumpah yang dilakukan warga yang hadir pada waktu itu di pandu oleh pemuka agama, dengan redaksi kurang lebih sebagai berikut : � saya bersumpah apabila saya memiliki ilmu Rasa, maka saya akan di azab oleh Allah SWT dan seluruh penyakit yang disebabkan oleh Rasa, akan kembali kepada saya �.

Bagi warga yang turut hadir dan melakukam sumpah di bawah Al-Qur�an, diyakini merupakan orang-orang yang benar-benar steril atau tidak memiliki ilmu pangarasa karena keberaniannya melakukan sumpah. Hal yang menambah kecurigaan warga dalam prosesi sumpah tersebut adalah ketidakhadiran dari mereka-mereka yang oleh masyarakat diduga memiliki ilmu hitam pangarasa, dengan berbagai alasan; kesibukan aktifitas, sedang di luar daerah dan sebagainya. Padahal menurut keterangan yang di dapat, sumpah melalui Al-Qur�an merupakan cara yang efektif dalam rangka mendapatkan satu petunjuk agar sesama warga tidak saling mencurigai sekaligus sebagai efek jera bagi pelaku panggarasa. Sumpah dengan Al-Qur�an juga sekiranya diikuti oleh seluruh warga diyakini dapat menetralisir (menghilangkan) keberadaan kejahatan pangarasa yang memang menakutkan tersebut.

�...Pernah dulu tahun 2016 kita bersama undang masyarakat ke mesjid untuk bersumpah dengan al-quran supaya terang, tidak ada simpang siur lagi saling tuduh. Semua setiap yang berumur tujuh belas ke atas, kita ajak untuk hadir...

Siapa yang berani silahkan ikuti sumpah itu, kalau tidak punya rasa, ya selamat, kalau yang punya ya berlakulah dampak...

Lafaznya itu, kurang lebih begini �saya bersumpah apabila saya memiliki ilmu Rasa, maka saya akan di azab oleh Allah SWT dan seluruh penyakit yang disebabkan oleh Rasa, akan kembali kepada saya �...(wawancara dengan tokoh agama, Muhammad Pudel. 2 Oktober 2022, pukul 20.00-21.30 WIB).

Dari keberadaannya, fenomena pangarasa dirasakan sangat merugikan tidak hanya menyangkut ancaman keselamatan bagi warga Desa, namun lebih jauh dapat merugikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat tempatan, dimana orang-orang luar daerah yang memahami cerita tentang pangarasa, menjadi enggan melakukan kontak jual beli dengan pedagang tempatan. Situasi ini tentu sangat merugikan bagi warga tempatan. Padahal pelaku atau pemilik ilmu pangarasa sejatinya hanya dimiliki oleh sedikit orang saja, namun dampak negatifnya berlaku terhadap semua warga yang berada di Desa Kauman. Ibarat pepatah �akibat setitik nila, maka rusak susu se belanga�, itulah yang dirasakan oleh warga atau masyarakat setempat dari keberadaan fenomena pangarasa.

�...Masalah rasa dikampung ini sejak dari dulu memalukan kita... Kita sendiri resah, belum lagi pandangan orang luar untuk daerah ini, semua yang tau takut. Akibatnya orang lain tak mau jual beli dengan kita-kita disini, itu yang membuat rugi kita. Padahal hanya segelintir saja orang yang punya rasa itu, tapi kita semua disini kena dampak buruknya...� (Wawancara dengan kepala lingkungan, Syahrum. 5 Oktober 2022, 20.00-21.00 WIB).

5.    Pandangan Keluarga Yang Dianggap Pemilik Pangarasa

Berbeda dengan masyarakat umumnya, bagi keluarga terdekat yang dianggap memiliki ilmu hitam pangarasa, mereka justeru merasa terhukum secara sosial melalui isu pangarasa ini. Perlakuan demi perlakuan dari lingkungan seperti pengucilan maupun menghindar jarak bila berdekatan, sangat dirasakan dan dianggap menyiksa batin.dalam pandangannya, mereka adalah korban dari hal yang mereka sama sekali tidak terlibat dari fenomena itu. Tuduhan awal masyarakat yang ditujukan kepada datuk-datuk mereka sebelumnya dahulu, dimana mereka juga tidak mengetahuinya secara pasti, sehingga mereka berharap tuduhan yang sama tidak secara otomatis berlaku bagi mereka sekarang. Dari pemahaman mereka, bahwa ilmu gaib tersebut tidak secara otomatis menurun kepada anak atau sanak keluarga. Prosesnya bergantung pribadi setiap orang, sanggup atau tidak menerimanya. Bahkan tanpa ada hubungungan darah sekalipun, bagi orang yang mau memiliki ilmu hitam tersebut, dapat saja memperolehnya melalui belajar atau menuntut dengan orang yang memiliki ilmu hitam tersebut.

�...Kamilah ya adik beradik kesal dengan ini, walaupun tidak ada perkataan langsung dari orang-orang disini menuduh kami punya rasa, tapi kami terasa orang menghindari kami nggak mau akrab, semacam ada yang dijaga. Wah, serba tak enaklah dikampung sendiri begini...

Kalau datuk kami dulu dituduh yang katanya punya rasa, kami tidak pernah tau itu apalagi diajarkan, sama sekali gak ada itu...

Orang tua kami pun gak pernah dapat itu apalagi mengajarkan itu sama-sama kami, nggak lah, fitnah itu...rasa inikan siapapun bisa belajar sama orang lain yang punya rasa kalau mau. Kan, nggak mesti keturunan pasti menurun, tergantung orangnya kalau tidak mau takut dosa, ya nggak nurun...�(wawancara dengan keluarga yang dianggap pemilik pangarasa, DH. 28 Oktober 2022, 09.00-09.30 WIB).

 

Pembahasan

Dalam pembahasan ini akan dilakukan analisis menyangkut dua hal. Pertama eksistensi ilmu hitam pangarasa dan reaksi masyarakat terhadap fenomena ilmu hitam pangarasa.

A.    Eksistensi Ilmu Hitam Pangarasa di Desa Kauman Kec. Rao Selatan, Kab. Pasaman Timur

Menagcu dari informasi atau data yang di dapat di lokasi penelitian, fenomena ilmu hitam pangarasa hingga saat ini masih dirasakan keberadaannya. Dilihat dari motivasi penggunaannya, ada beberapa motif yang mendasari orang memilikinya. Dari historisnya masa lalu, pangarasa digunakan oleh pemiliknya dalam rangka menjaga tanaman terhindar dari hama. Berikutnya dapat juga digunakan sebagai senjata melumpuhkan penjajah Belanda dahulu yang masuk ke wilayah tersebut. Akan tetapi pangarasa juga dapat difungsikan untuk mencari persugihan atau kesenangan ekonomi. Untuk motif yang ketiga, atau persugihan, tindakan ini memerlukan tumbal atau nyawa manusia dijadikan sebagai korban, syarat atau perjanjian mistis antara pemilik dengan makhluk gaib (Jin) yang di puja.

Dari tiga kategori fungsi pangarasa sebagaimana di atas, maka dapat dikatakan jika dua kategori pertama dapat disamakan sebagai magic putih yang kegunaanya bermanfaat bagi kebutuhan masyarakat. Sedangkan kategori ketiga, yang kegunaan untuk persugihan, dan karenanya membutuhkan tumbal nyawa manusia, maka dapat disamakan dengan magic hitam. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Fazer,bahwa sihir atau magic dapat dibedakan berdasarkan maksud dan tujuannya, diantaranya magic putih dan magic hitam. Magic putih digunakan untuk kepentingan baik, sedangkan magic hitam digunakan untuk kepentingan buruk atau jahat (Falikhah, 2013 : 132).

Sejalan dengan yang dikatakan Faze, lebih lanjut Nitibaskara (1999 : 93) juga menerangkan, bahwa lmu gaib juga dapat dibedakan atas hasil yang diperoleh atau dampak yang ditimbulkan diantaranya :

1.      Ilmu gaib yang bermanfaat disebut dengan produktive magic, contoh dari ini seperti praktek dukun untuk memberi kesuburan tanah, mengusir penyakit yang melanda satu kampung dan sebagainya.

2.      Ilmu gaib yang merusak pihak lain disebut destruktive magic. Destructive magic identik dengan black magic.

3.      Protective magic. Dalam hal ini seperti penggunaan jimat (amulet), mantera (spell, charm) untuk menangkal kiriman santet dan sebagainya.

Dari keyakinan masyarakat terkait korban kejahatan pangarasa, sekalipun kemunculannya tidak sering, namun dalam setiap tahunnya diyakini selalu ada yang menjadi korban, utamanya bagi anak-anak dan orang pendatang yang tidak mengetahui sama sekali perihal pangarasa di daerah itu.

Adapun dasar masyarakat meyakini realita pangarasa hingga saat ini, dilihat dari tanda atau gejala-gejala yang dialami korban. Identifikasi tanda dan gejala terhadap korban ketika munculnya kematian seseorang yang diikuti sebelumnya dengan mengeluarkan muntahan gumpalan hitam yang disinyalir sebagai racikan dari bulu halus. Untuk kasus seperti ini dianggap sebagai korban kejahatan pangarasa dengan jenis Sitorus Dolok.

Berikutnya identifikasi korban melalui tanda-tanda batuk berkepanjangan hingga membuat yang bersangkutan menjadi kurus lalu akhirnya meninggal dunia. Kasus semacam ini dianggap sebagai tanda korban pangarasa jenis Siarsik Ngar- Ngar.

Berikutnya identifikasi korban melalui tanda ketika yang bersangkutan mengalami sakit dengan badan menguning dan semakin menggemuk, hingga akhirnya meninggal dunia. Kasus seperti ini dimaknai sebagai korban pangarasa jenis Sigombung Sona

Berikutnya lagi, identifikasi korban melalui tanda ketika yang seseorang merasakan serangan sakit terhadap organ vital seperti jantung maupun ulu hati dimana sebelumnya tidak pernah mengalami hal tersebut, lantas kemudian berdampak kepada kematian. Kasus seperti ini dimaknai sebagai korban pangarasa jenis Siampar Lage.

Kehadiran tanda maupun ciri-ciri keluhan penyakit seperti di atas yang apabila muncul dialami anggota masyarakat, maka subjektifitas masyarakat akan selalu menghubungkannya dengan kejahatan pangarasa. Situasi ini berimplikasi terhadap pendekatan pengobatan dengan memilih pendekatan alternatif (orang pintar/dukun) ketimbang berobat ke dokter atau medis. Ketidakpercayaan mesyarakat terhadap medis dalam kasus tersebut, acapkali didiagnosa oleh medis sebagai penyakit TBC atau serangan jantung.

Dari dua sudut pandang dalam menentukan jenis penyakit dari kasus itu, keyakinan masyarakat dan penilaian medis, menunjukkan penilaian yang bertolak belakang dan saling membatalkan. Dalam hal ini situasinya tentu menjadi perdebatan. Boleh jadi dari gejala penyakit yang muncul dialami anggota masyarakat tersebut bagian dari penyakit gaib, atau sebaliknya benar-benar merupakan penyakit medis sebagaimana hasil diaognosa medis. Sekiranya asumsi pertama dijadikan ukuran, maka kejahatan pangarasa akan selalu dianggap ada. Namun sebaliknya sekira hasil diognosa medis itu di terima oleh masyarakat, maka korban dari pangarasa itu sejatinya tidak ada.

B.     Reaksi Masyarakat Terhadap Fenomena Ilmu Hitam Pangarasa

Dalam khasanah kriminologi, yang dikatakan sebagai reaksi masyarakat atas kejahatan dan penyimpangan adalah upaya atau cara masyarakat dalam melakukan penanggulangan dan pengendaliannya (Mustofa, 2013 : 28). Dalam konteks itu situasinya sangat dinamis bergantung pada definisi situasi yang di rasa atau dimaknai masyarakat sendiri. Sehingga subjektifitas maupun bias sosial dari memaknai satu peristiwa tentunya masih cukup terbuka lebar.Disinilah situasi yang menjadi problematiik atau abu-abu, diantara ketepatan dan kekeliruan dari tindakkan melakukan penilaian atas satu realita. Dalam paradigma interaksionis simbolik yang dikenal dengan teori pelabelannya (labeling), seperti yang diungkap Michalowski (1977), bahwa penyimpangan bukanlah kualitas yang unik dari individu, namun lebih kepada respon masyarakat atau pengamat dalam memaknai kualitas tindakan orang lain (Supatmi & Herlina, 2007 : 69).

Terdapat tiga (3) premis utama dalam teori interaksionis simbolik yaitu (Bungin, 2011 : 45) :

1.      Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang diberikan kepada sesuatu itu.

2.      Kedua, makna tentang sesuatu itu diperoleh, dibentuk, termasuk direvisi melalui proses interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

3.      Ketiga, pemaknaan terhadap sesuatu dalam bertindak atau berinteraksi tidaklah berlangsung mekanisme, melainkan melibatkan proses interprestasi. Itu menunjukkan bahwa tindakan dan pemaknaan manusia terhadap sesuatu kental bersifat situasional, yaitu bergantung pada definisi situasi yang dihadapi ditingkat interaksi itu sendiri.

Selanjutnya dalam pendekatan psikologis menyangkut sugesti mayoritas, kecenderungan sesorang menerima pendapat atau pandangan menyangkut apapun dapat ditentukan kedalam beberapa faktor diantaranya (Walgito, 2003 : 59-62) :

1.      Sugesti dapat mudah diterima oleh orang lain bila daya berfikir kritisnya dihambat

2.      Sugesti dapat mudah diterima oleh orang lain bila kemampuan berfikirnya terpecah belah (dissosiasi)

3.      Sugesti dapat mudah diterima orang lain apabila yang memberikan informasi adalah mereka yang mempunyai otoritas

4.      Sugesti akan mudah diterima orang lain apabila pada orang yang bersangkutan telah ada pendapat yang mendahului yang searah

Penilaian menentukan status pelaku oleh masyarakat mengacu pada sumber keyakinan bahwa pemilik pangarasa merupakan ilmu hitam yang diwarisi dari keluarga terdahulu sebelumnya. Sehingga status atau stigma di masa lalu dari masyarakat terhadap seseorang pelaku, berimplikasi pada indikasi ukuran menetapkan pelaku pangarasa di masa sekarang, dengan menilai indikator hubungan keluarga (pewarisan). Sekalipun masih pula dimungkinkan ilmu hitam pangarasa dapat dianut atau dituntut oleh siapa saja melalui proses belajar dengan orang yang bisa menularkan ilmu hitam tersebut.

Tanpa menafikan realita kejahatan pangarasa yang memang banyak melahirkan korban di tengah masyarakat, hal yang sangat rumit adalah dalam pembuktian pelakunya. Berbeda dengan kejahatan konvensional dimana pelakunya dapat terlihat saat melakukan kejahatan. Dengan hanya berpatokan pada sumber ciri maupun simbol (keturunan) yang diyakini dan dipersepsikan sebagai ukuran menetapkan pelaku, di khawatirkan dapat menjadi preseden kurang baik munculnya kejahatan baru dalam bentuk stigma atas pelaku sekaligus tindakkan kekerasan yang melahirkan korban baru, yang mana itu dilakukan sebagai wujud reaksi terhadap kejahatan ilmu hitam yang teramat sulit pembuktiannya tersebut.

Bentuk reaksi masyarakat di lokasi penilitian, persis dengan disertasi yang ditulis Tubagus Roni Nitibaska tentang : �Reaksi Sosial terhadap Tersangka Dukun Teluh di Pedesaan Banten, Jawa Barat (Tahun 1985 - 1990) Studi Kasus Desa s dan a, Kecamatan Sajira dan Bojonegara�, dimana mengacu pada perspektif antropologi - kriminologi beliau melihat, kualitas reaksi dalam mendeteksi pelaku (terlepas benar atau salah) menjadi manifestasi tindakan masyarakat (respon sosial) berujung pada sebuah tindakan; pemusnahan, penyerangan, bahkan pembunuhan terhadap para dukun, yang sebelumnya telah dianggap sesat (dalam, http://lib.ui.ac.id).

Menurut Nitibaskara, ada konteks dimana label terhadap tindakan jahat atau menyimpang itu bisa diterima, ketika tindakan tersebut secara sah telah melahirkan korban atau penderitaan bagi orang lain. Disinilah menariknya ketika realitas kejahatn magic berbeda dengan kejahatan kovensional dalam hal pembuktian. Kejahatan konvensional tampak oleh mata kepala pengamat, sementara kejahatan magic sebagai realitas yang tak tampak oleh pengamat. Kalaupun realitasnya dianggap ada, sebenarnya menurut Nitibaskara, tidak lebih sebagai perwujudan nilai kepercayaan dalam konteks budaya yang hidup ditengah masyarakat (dalam, http://lib.ui.ac.id).

Selanjutnya, kesalahan dalam menetapkan (melabel) orang sebagai pelaku kejahatan gaib, tentu berdampak pada persoalan munculnya kejahatan baru. Menurut Permadi (politisi sekaligus paranormal), semakin banyak orang yang merasa menjadi korban santet, maka semakin banyak pula dukun santet yang dibunuh tanpa proses hukum, sedangkan pengguana jasa dukun santet sendiri tidak pernah dipersoalkan (https://www.gresnews.com).

 

Kesimpulan

Dari paparan yang telah penulis sampaikan dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan, bahwa dari keyakinan masyarakat di tempat penelitian, secara histori keberadaan fenomena pangarasa telah ada sejak dahulu. Dimasa lalu pangarasa digunakan oleh pemiliknya untuk keperluan menjaga tanaman peladangan terhindar dari hama serta pencurian. Disamping itu, pangarasa di masa lalu juga digunakan sebagai alat atau cara melumpuhkan penjajah Belanda di wilayah itu. Dengan asumsi jika tentara Belanda yang termakan racun rasa tersebut akan mengalami kematian. Namun terdapat pula motif lain dari pemilik pangarasa yang menjadi sangat menakutkan bagi masyarakat saat ini, adalah untuk keperluan persugihan, yang berkonsekuensi terhadap tumbal nyawa manusia sebagai korbannya. Dari pemahaman masyarakat di lokasi penelitian, terdapat empat jenis pangarasa diantaranya; Sitorus Dolok, Siarsik Ngar-Ngar, Sigombung Sona dan Siampar Lage. Dari jenis tersebut dipercaya dapat memberikan dampak kematian dalam proses yang berbeda-beda pula.

Adapun menyangkut reaksi masyarakat dalam hal mengidentifikasi mereka yang diduga memiliki atau pelaku pangarasa terfokus pada sumber keyakinan bahwa pemilik pangarasa merupakan ilmu hitam yang diwarisi dari keluarga terdahulu sebelumnya. Sehingga status atau stigma terhadap seseorang yang dianggap sebagai pelaku dari masyarakat di masa yang lalu, berimplikasi pada indikasi menentukan pelaku pangarasa di masa sekarang, dengan menjadikan indikator penilaian hubungan keluarga (pewarisan). Sekalipun masih pula dimungkinkan ilmu hitam pangarasa dapat dianut atau dituntut oleh siapa saja melalui proses belajar dengan orang yang bisa menularkan ilmu hitam tersebut. Situasi ini tentu menjadi problematik sifatnya, mengingat subjektifitas masyarakat sangat menentukan status orang sebagai pemilik ilmu hitam pangarasa. Hal yang sangat berbeda bila dibanding dengan kejahatan konvensional dimana pelakunya dapat terlihat dan dibuktikan. Dengan demikian, kondisi ini menjadi rawan terhadap munculnya masalah baru yang melahirkan tindakan kekerasan demi kekerasan dari masyarakat sebagai buntut dari reaksi terhadap mereka yang di duga pemilik ilmu hitam pangarasa sebagaimana yang pernah terjadi di daerah tersebut.

BIBLIOGRAFI

 

Burhin, Bungin, 2011. Penelitian Kualitatif ; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya (Edisi kedua). Prenada Media Group, Jakarta.

 

Hamzah, Amir, 2020. Metode Fenomenologi; Kajian Filsafat & Ilmu Pengetahuan (Cetakan ke 1). Literasi Nusantara Abadi, Malang

 

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi (Cet. 2), Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

 

Mustofa, M. 2013, Metodologi Penelitian Kriminologi. Prenada Media Group, Jakarta.

 

Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Rineka Cipta, Jakarta.

 

Nitibaskara, Tb, Rony. 1999, Catatan Kriminal (Cet. 1), Jayabaya University Press, Jakarta.

 

Ritzer. G & Douglas J Goodman, 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Teori Sosiologi Postmodern. (Terjemahan oleh Nurhadi, Cetakan ke � 5). Kreasi Wacana, Bantul.

 

Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, 2010. Kriminologi. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta

 

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Rajawali Pers, Jakarta

 

Supatmi, Sri. M & Herlina Permata. S, 2007. Dasar-Dasar Teori Sosial Kejahatan. PTIK Press, Jakarta

 

Usman, Husaini & Purnomo S. Akbar, 2011. Metodologi Penelitian Sosial (Edisi kedua). Bumi Aksara, Jakarta

 

Walgito, Bimo, 2003. Psikologi Sosial : Suatu Pengantar (Edisi revisi ke-4), Andi Offset, Yogyakarta.

 

Falikhah, Nur, 2012. Santet dan Antropologi Agama. Dalam Jurnal Ilmu Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Antasari, Vol. 11 No. 22

 

Nitibaskara, Tb. Rony, 1993. Reaksi Sosial terhadap Tersangka Dukun Teluh di Pedesaan Banten, Jawa Barat (Tahun 1985 - 1990) Studi Kasus Desa s dan a, Kecamatan Sajira dan Bojonegara�. (dalam, http://lib.ui.ac.id. Diakes 15/10/2021).

 

Sartini & Heddy Shri Ahimsa. P. 2017. Mendefinisikan Ulang Istilah Dukun. Dalam Jurnal Humaniora UGM. Vol 29, No 1

 

Warka, Made, 2006. Segi Hukum Praktek Teluh Dalam Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Banyuwangi). Dalam Jurnal Hukum Mimbar Keadilan

Copyright holder:

Sobri, Abdul Munir, Salmanuddin Simbolon (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: