Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 09, September 2022
REAKSI SOSIAL
MASYARAKAT TERHADAP FENOMENA ILMU HITAM �PANGARASA�
Sobri1*,
Abdul Munir2,
Salmanuddin Simbolon3
1*,2,3
Program studi ilmu kriminologi, Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, Universitas
Islam Riau, Indonesia
Email: *[email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian
ini mengkaji fenomena kejahatan ilmu hitam 'pangarasa' di Desa Kauman,
Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman Timur. Kejahatan ini berbeda dengan
kejahatan konvensional karena sifatnya yang tidak nyata dan sulit dibuktikan
secara hukum. Masyarakat di daerah tersebut masih kental dengan kepercayaan
terhadap unsur magic, terutama dalam konteks kejahatan magic Pangarasa yang
populer di kalangan masyarakat setempat. Kejahatan ini melibatkan racun 'rasa'
yang diyakini dapat menyebabkan sakit berkepanjangan dan kematian pada korban.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi, melibatkan
subjek seperti orang pintar, tokoh agama, masyarakat, keluarga pemilik
pangarasa, dan korban. Analisis data mengungkapkan eksistensi ilmu pangarasa dalam
dua konteks: strategi melawan penjajah pada masa lalu dan praktik persugihan.
Hasil penelitian memberikan wawasan terhadap reaksi masyarakat terhadap ilmu
pangarasa, termasuk stigma negatif, ketakutan, dan kucilan terhadap individu
yang dicurigai memiliki pangarasa. Penelitian ini berkontribusi pada
pengembangan kajian kriminologi, khususnya isu-isu etnografi kejahatan, dan
memberikan pemikiran untuk mengantisipasi kemungkinan masalah pelanggaran baru
terhadap reaksi sosial terhadap isu-isu etnografi kejahatan.
Kata
Kunci: Ilmu Hitam, Pangarasa, Magic, Kejahatan, Etnografi.
Abstract
This research examines the phenomenon of black magic crime known as
'pangarasa' in Kauman Village, Rao Selatan District, East Pasaman Regency. This
crime differs from conventional crimes due to its intangible nature, making it
difficult to be legally proven. The community in this area still holds strong
beliefs in magical elements, particularly in the context of the Pangarasa magic
crime, which is popular among the local population. This crime involves the use
of 'rasa' poison, believed to cause prolonged illness and death to the victims.
The research employs a qualitative phenomenological approach, involving
subjects such as local shamans, religious figures, community members, families
of suspected pangarasa practitioners, and victims. Data analysis reveals the
existence of pangarasa magic in two contexts: as a strategy against
colonialists in the past and as a form of ritualistic sacrifice. The findings
provide insights into the community's reactions to pangarasa magic, including
negative stigma, fear, and social isolation toward individuals suspected of
practicing pangarasa. This research contributes to the development of
criminological studies, particularly in the field of ethnographic crime issues,
and provides insights to anticipate potential new violations concerning social
reactions to ethnographic crime issues.
Keywords: Black Magic, Pangarasa, Magic, Crime, Ethnography.
Pendahuluan
Kejahatan ilmu hitam atau yang disebut dengan black magic merupakan bentuk kejahatan
yang berbeda dengan kejahatan konvensional. Perbedaan tersebut terletak pada
sifatnya yang tidak nyata sehingga tidak bisa terlihat secara persis pelaku
dari kejahatan itu. Sekalipun klaim munculnya korban dari anggota masyarakat
dari keberadaan kejahatan magic,
namun persoalan ini tidaklah dapat diintervensi melalui pendekatan hukum. Persoalan mendasarnya adalah pada tingkat
pembuktian terhadap pelaku sulit untuk dilakukan.�
Di Indonesia sendiri unsur magic memang masih kental di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini dapat difahami dari cerita mulut ke mulut. Seperti misalnya kejahatan magic Pangarasa yang secara umum sangat populer
di kalangan masyarakat di Kabupaten Pasaman Timur
Provinsi Sumatra Barat. Ilmu hitam pengarasa yang keberdaannya sangat
membuat takut masyarakat tersebut, dari cerita dan keyakinan
yang
berkembang ditengah masyarakat disana, bahwa �rasa�
(istilah
ramuan magic) yang telah diracik
oleh �pangarasa� (istilah untuk pelaku) dapat menghilangkan
nyawa seseorang sekiranya
termakan makanan yang telah terkontaminasi dengan
�rasa� tersebut. Taburan ramuan magic kedalam makanan, lazimnya
terjadi di
dalam momen-momen keramaian seperti pesta dan sebagainya. Sedangkan korban
dari ramuan magic tersebut
dapat dikatakan bersifat
acak dan siapa saja dapat terkena disaat kebetulan
makanan yang termakan terdapat taburan dari �rasa� tersebut.
Dari pemahaman
yang berkembang serta kesaksian orang-orang yang mengetahuinya, bagi yang terkena
racun
�rasa� maka dapat mengalami
sakit berkepanjangan dan berujung pada kematian. Cara kerja dari
racun �rasa�
diyakini menyerang organ-organ vital korban seperti jantung dan paru-paru.
Dampak dari racun �rasa� biasanya akan
dirasakan oleh korban beberapa hari setelah mengkonsumsi makanan yang telah
terkontaminasi �rasa�.
Gejala-gejala umum
yang dirasakan biasanya adalah sesak nafas, batuk
berdarah serta gagal jantung.
����������� Dari histori singkatnya,
dahulu
ramuan magic �rasa�
dituntut oleh pelakunya dalam kepentingan untuk melawan
penjajah Belanda. Dikarenakan kurangnya perlengkapan persenjataan pada masa itu,
sehingga melalui cara-cara halus menaburkan �rasa�
kedalam makanan bagi para tentara Belanda diyakini dapat melumpuhkan musuh.
Situasi atau keadaan penjajah yang terus bergerak dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain
pada waktu itu, dianggap sangat menguntungkan bagi
dilakukannya pangarasa, mengingat terhadap mereka (tentara Belanda) yang
telah termakan �rasa�,
akan mengalami kematian atau kesakitan tidak langsung dilokasi dimana mereka
termakan �rasa�.� Sehingga pada waktu itu kehadiran pangarasa
dianggap cukup efektif dipakai melakukan perlawanan dengan pola sembunyi atau meracun sekaligus dapat
terhindar dari kecurigaan penjajah terhadap warga lokal.
Selain hal di atas, cerita tentang
fenomena pangarasa juga dikaitkan dengan praktik persugihan. Dalam hal ini ada
konteks kerjasama dan perjanjian antara penuntut ilmu
hitam pangarasa dengan makhluk gaib atau Jin sebagai yang
memberikan kemampuan magic.
Pesugihan ini pada dasarnya tidaklah gratis cuma-cuma, melainkan memerlukan
tumbal atau korban manusia yang hakikatnya sebagai pengganti atau barter untuk
dipersembahkan kepada mahkhluk gaib yang dipuja.
����������� Dilihat
dari konteks historinya, terdapat dua (2) konteks fenomena pangarasa
dari sisi keperluannya.
Pertama, sebagai cara atau strategi melumpuhkan penjajah pada waktunya dahulu. Kedua, dapat
dikatakan sebagai unsur pesugihan, yang dalam pemahaman masyarakat,
dapat memancing rezeki dan memperpanjang umur.
Terlepas dari dua
(2) konteks tersebut di atas, yang menjadi persoalan bagi masyarakat sesuai
keyakinan mereka, bahwa ilmu hitam pangarasa mensyaratkan tumbal atau korban.
Ironinya lagi,
ilmu hitam
ini bersifat turun-temurun bagi mereka anggota keluarga
yang
ingin meneruskannya.
Hal yang paling ditakuti masyarakat dari
pangarasa, dimana mereka pemiliknya wajib
mencari tumbal nyawa untuk dipersembahkan kepada makhluk gaib dalam tiap kurun
waktunya.
Dan
yang berbahaya bagi pemilik pangarasa sendiri, bila mereka tidak
menyajikan korban untuk dipersembahkan, maka secara otomatis sesuai keyakinan
masyarakat, keluarga terdekat pangarasa lah yang menjadi korbannya sendiri. Hal itu dapat berlaku
terhadap istri, anak, cucu, meanantu dan sebagainya, untuk menjadi korban. Menghindari
korban keluarga sendiri inilah seorang pemilik ilmu pangarasa terpaksa harus
mendapatkan korban dari orang lain diluar orang-orang terdekatnya. Tidak
pandang bulu, baik usia muda, tua, laki laki ataupun wanita dapat saja secara
acak menjadi korban pangarasa.
Dikalangan
masyarakat Pasaman, sudah menjadi pantangan dan nasehat turun temurun supaya
tidak berhubungan dengan keluarga pangarasa. Ketakutan masyarakat terhadap ilmu
hitam pangarasa ini membuat
masyarakat sangat takut untuk berdekatan apalagi menjalin hubungan keluarga
dengan orang-orang yang dianggap memiliki pangarasa. Stigma jelek terhadap
pangarasa, sehinga menjadi aib tersendiri bagi siapapun yang menjalin hubungan
dengan keluarga terduga pemilik pangarasa. Selain itu seorang yang dicurigai
sebagai pangarasa akan dikucilkan di
tengah masyarakat, tidak diikutsertakan dalam acara-acara adat istiadat dan sebagainya. Begitu
juga sebaliknya, apabila orang yang dicurigai sebagai yang memiliki pangarasa
ketika menggelar hajatan dan mengundang warga setempat, maka dimungkinkan terjadinya
keengganan warga untuk memenuhi undangan tersebut.
Penelitian ini berfokus pada fenomena ilmu
hitam 'pangarasa' yang dianggap sebagai kejahatan menakutkan di Desa Kauman,
Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman Timur. Rumusan masalah mencakup
ketakutan masyarakat terhadap dampak pangarasa, seperti sakit berkepanjangan
yang dapat berujung pada kematian. Pertanyaan penelitian menggali eksistensi
dan reaksi masyarakat terhadap ilmu hitam pangarasa. Tujuan penelitian adalah
menjelaskan lebih lanjut eksistensi dan reaksi masyarakat terhadap fenomena
ini. Manfaat penelitian mencakup kontribusi pada pengembangan kajian
kriminologi, khususnya isu-isu etnografi kejahatan, serta memberikan pemikiran
untuk mengantisipasi kemungkinan masalah pelanggaran baru terhadap reaksi
sosial terhadap isu-isu etnografi kejahatan.
Metode
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi, fokus pada ilmu
hitam 'pangarasa' di Desa Kauman, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten Pasaman
Timur. Penelitian melibatkan subjek seperti orang pintar, tokoh agama dan
masyarakat, keluarga terduga pemilik pangarasa, serta korban ilmu pangarasa.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi tidak terstruktur, dan
studi dokumen. Analisis data menggunakan model Stevick-Colaizzi-Keen, memeriksa
setiap pernyataan verbal terkait dengan masalah penelitian, merekam pernyataan
relevan, mengelompokkan unit makna ke dalam tema-tema, dan membuat sintesis dari
unit-unit makna dan tema. Lokasi penelitian berada di Rao Selatan, Pasaman
Timur, yang dianggap memiliki keunikan terkait ilmu hitam pangarasa. Total
delapan subjek dipilih berdasarkan kategori, termasuk orang pintar, tokoh agama
dan masyarakat, keluarga terduga pemilik pangarasa, dan korban pangarasa.
Hasil dan
Pembahasan
A. Deskrifsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini
bertempat di Desa
Kauman, Kecamatan Rao Selatan,
Kabupaten
Pasaman
(Sumatera Barat). Daerah ini berada
di jalan lintas Sumatera Medan � Padang. Kauman
Selatan
berbatasan langsung dengan Jorong Pasar
Kauman di sebelah Utara, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Nagari
Padang Galugua
Kecamatan
Padang Gelugur.
Kehidupan
masyarakat berbaur antara suku Minang dan
masyarakat suku Tapanuli. Walaupun berada
di daerah Sumatera Barat, bahasa pengantar
di daerah
ini selain bahasa Minang
tetapi juga bahasa Tapanuli. Situasi seperti
ini tidak menjadi penghambat bagi kedua belah suku
untuk berinteraksi secara umum, dengan saling menghargai satu sama lain. Adapun
pekerjaan atau
mata pencarian ekonomi masyarakat sehari-hari diantaranya
berkebun
karet, cokelat, pinang, sawah, budidaya ikan mas, dagang, dll.
B. Identitas Subjek Penelitian
Dalam mencukupi informasi
atau data lapangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka dibutuhkan
sejumlah orang yang terlibat sebagai informen dalam penelitian ini diantara
dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini :
Tabel 1
Identitas Subjek Penelitian
No |
Nama / Inisial |
Status |
Tanggal & Waktu |
1 |
Drs. Syukri Rangkuti |
Tokoh Agama |
29 September 2022. Pkl. 20.00-21.30 Wib |
2 |
Muhammad Fudel |
Tokoh Agama |
02 Oktober 2022. Pkl. 20.00-21.30 Wib |
3 |
Panehonan Pane |
Ahli Pengobatan Racun Rasa |
03 Oktober 2022. Pkl. 13.00-15.00 Wib |
4 |
Nur Asyiah |
Ahli Pengobatan Racun Rasa |
04 Oktober 2022. Pkl. 21.00-22.00 Wib |
5 |
Syahrum |
Kepala Lingkungan |
05 Oktober 2022. Pkl. 20.00-21.00 Wib |
6 |
Arisman Syukri |
Korban Pangarasa |
20 Oktober 2022. Pkl. 14.00-15.00 Wib |
7 |
Muhammad Daron |
Korban Pangarasa |
20 Oktober 2022. Pkl. 14.00-15.00 Wib |
8 |
DH |
Keluarga Terduga Pemilik Pangarasa |
28 Oktober 2022. Pkl. 09.00-09.30 Wib |
Sumber : Data Lapangan
C. Data Hasil Wawancara
1.
Histori
Ilmu Hitam Pangarasa
Dari historinya
dahulu, pangarasa dituntut oleh pelakunya dalam kepentingan melawan penjajah
Belanda. Hal
itu dikarenakan pada masa itu masyarakat mengalami kurangnya
perlengkapan senjata,
sehingga melalui cara-cara halus menaburkan �rasa�
kedalam makanan yang
ditujukan bagi tentara Belanda, diyakini dapat
melumpuhkan musuh. Situasi atau keadaan penjajah yang terus bergerak
dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain pada
waktu itu, dianggap sangat menguntungkan. Sebab bagi mereka
yang telah termakan �rasa� maka akan
mengalami kematian atau kesakitan tidak langsung di lokasi
dimana mereka termakan �rasa�. Sehingga pada waktu itu
pangarasa dianggap cukup efektif sebagai cara
menghindar dari tuduhan dan kecurigaan penjajah terhadap warga lokal dalam melakukan
cara-cara perlawanan dengan pola sembunyi melalui
peracunan.
Disamping itu, menurut
orang-orang yang memahami tentang fenomena pangarasa, kepemilikan ilmu gaib
ini dapat melalui proses penuntutan guna keperluan
persugihan. Proses pesugihan adalah bentuk kerjasama perjanjian seseorang
dengan makhluk �Jin�.
Pesugihan ini pada dasarnya tidaklah gratis cuma-cuma, melainkan memerlukan
tumbal atau korban manusia yang hakikatnya sebagai pengganti atau barter untuk
dipersembahkan kepada mahkhluk gaib yang dipuja.
�...Dulu rasa pada masa penjajahan di jadikan
sebagai senjata yang ampuh untuk membunuh penjajah dengan keuntungan penjajah
akan meninggal di tempat lain karena berpindah tempat sehingga tidak
menimbulkan kecurigaan terhadap masyarakat sekitar...�
Selain itu rasa juga dijadikan
untuk membasmi hewan atau hama tanaman yang merusak tanaman. Seiring
bertambahnya waktu, Rasa dijadikan sebagai racun untuk manusia untuk memenuhi
perjanjian kepada jin, seorang pangarasa percaya bahwa persugihan itu akan
berdampak positif yaitu melancarkan rezeki dan memperpanjang umur (wawancara dengan pemuka
agama, Drs. Syukri Rangkuti. 29 September
2022, 20.00-22.00.
WIB).
Dilihat dari
konteks historinya, terdapat dua (2) konteks fenomena pangarasa
dari sisi keperluannya. Pertama, sebagai cara atau
strategi melumpuhkan penjajah pada waktunya dahulu. Kedua,
sebagai unsur pesugihan, yang dalam pemahaman masyarakat disana,
dapat memancing rezeki dan memperpanjang umur (dalam pengertian sehat dan kuat
fisik).
Terlepas dari dua
(2) konteks yang
disebutkan di atas, yang menjadi persoalan bagi masyarakat sesuai
keyakinan
masyarakat, bahwa ilmu hitam pangarasa mensyaratkan tumbal atau
korban. Ironinya lagi, selain proses kepemilikannya dapat
dituntut, ilmu ini juga bersifat turun-temurun
bagi anggota
keluarga dan kerabat terdekat yang ingin
meneruskannya.
Satu tuntutan
bagi pemilik
pangarasa yang ditakuti oleh masyarakat adalah
dimana mereka pemiliknya wajib
mencari tumbal nyawa untuk dipersembahkan kepada makhluk gaib dalam tiap kurun
waktu
tertentu. Dan yang berbahaya bagi pemilik pangarasa
sendiri, bila mereka tidak menyajikan
korban untuk dipersembahkan, maka secara otomatis sesuai keyakinan masyarakat
disana, keluarga terdekat pangarasa lah yang menjadi korbannya sendiri. Hal itu dapat berlaku
terhadap istri, anak, cucu, meanantu dan sebagainya, untuk menjadi korban. Menghindari
korban dari
keluarga sendiri seorang pangarasa terpaksa harus
mendapatkan korban dari orang lain. Tidak pandang bulu, baik usia muda, tua,
laki laki ataupun wanita dapat saja secara acak menjadi korban pangarasa.
�...Memang betul seorang pangarasa akan akan mencari
tumbal untuk memenuhi perjanjian kepada jin tempat menuntut ilmu hitam, jadi
pangarasa akan mencari orang yang akan diberikan rasa sehingga berakibat pada
orang yang termakan Rasa akan sakit berkepanjangan sampai meninggal, bukan
hanya kepada orang lain, apabila pangarasa tidak mendapatkan orang untuk dijadikan
tumbal, maka saudara, anak atau keluarga nya akan dikorbankan...�
Tidak banyak yang
mengetahui pasti kandungan apa saja yang ada di dalam ramuan racun �rasa�
tersebut,
namun beberapa sumber di lokasi menerangkan jika �rasa� mengandung
unsur
dari berbagai bulu bintang buas yang dihaluskan dibarengi dengan
ritual khusus.
�...Rasa terbuat dari bulu-bulu hewan yang dihaluskan, ada juga
yang berpendapat Rasa itu dari miang berbagai tumbuhan...� (Wawancara dengan pemuka
agama, Drs. Syukri Rangkuti. 29 September
2022, 20.00-22.00.
WIB).
2.
Jenis-Jenis
Ilmu Hitam Pangarasa
Dari kepercayaan yang berkembang di
tengah masyarakat, terdapat beragam jenis �racun rasa� diantaranya; sitorus
dolok, siarsik ngar-ngar, sigombung
sona
dan siampar lage.
Sitorus dolok
adalah jenis racun
yang paling kuat, artinya raja
dari segala �rasa�. Seseorang
yang terlanjur termakan
racun ini akan merasakan panas di seluruh tubuhnya, kemudian
akan memuntahkan benda sejenis bulu binatang berwarna hitam, biasanya orang
yang telah mengonsumsi racun ini akan meninggal setelah beberapa hari.
Siarsik ngar- ngar
adalah jenis
racun yang apabila termakan membuat
orang menjadi kurus. Racun ini akan beraksi setelah beberapa hari. Korban dari racun
ini akan menderita batuk berkepanjangan sampai meninggal.
Sigombung sona adalah jenis racun
yang akan membuat orang atau korban semakin
gemuk, tetapi tubuhnya akan terlihat menguning. Reaksinya
hampir mirip dengan
penyakit kuning, bedanya adalah orang yang termakan racun ini akan
bertambah gemuk dan beberapa bulan akan meninggal.
Siampar lage
adalah jenis racun
yang membuat orang atau korban merasa
sakit di dalam
tubuhnya dan menyerang organ vital, akan merasakan panas di jantung dan hati.
�...Sitorus dolok... raja segala �rasa�...orang yang termakan rasa ini akan merasa panas sekijur tubuhnya. Setelah itu akan memuntahkan bulu binatang yang hitam. Biasanya orang yang termakan racun ini akan meninggal setelah beberapa
hari.
Siarsik
ngar- ngar...
rasa ini ketahuan dalam beberapa hari. jika termakan membuat orang menjadi kurus serta menderita batuk berkepanjangan sampai meninggal.
Sigombung
sona... rasa yang akan membuat orang yang termakan semakin gemuk dan menguning dan beberapa bulan akan meninggal...
Siampar
lage... rasa yang membuat orang memakannya
dapat merasakan panas
di jantung dan hati...� (wawancara dengan tokoh
agama, Muhammad Pudel. 2
Oktober 2022, pukul
20.00-21.30 WIB).
3.
Mengidentifikasi
Racun Rasa dan Korban Racun Rasa
Masyarakat meyakini dan percaya
bahwa
cara memeriksa makanan yang mengandung �rasa�
adalah
dengan menggesek-gesek lidah ke langit langit mulut,
dengan tujuan
apabila tidak terasa geli berarti makanan yang ada di
dihadapan
diduga
kuat mengandung racun �rasa�.
Begitu juga sebaliknya, jika terasa geli seperti biasa berarti makanan yang ada di
hadapan
tidak mengandung rasa.
Selanjutnya racun �rasa� dapat di
identifikasi melalui memeriksa teknik menggaruk kulit
kepala.
Apabila masih terdengar suara
gesekan antara
kuku jari dengan kulit kepala,
maka makanan yang ada dapat dianggap steril dari racun �rasa�.
Begitu juga sebaliknya jika tidak terdengar suara gesekan jari dengan kulit
kepala maka makanan yang ada di dihadapan
dipercayai mengandung racun �rasa�
Kemudian terdapat juga cara
lain
memeriksa makanan atau minuman yang
mengandung �rasa�
dengan melihat bayangan
ujung hidung, yang apabila dihadapkan
pada gelas yang berisi air minuman sama sekali tidak menampakkan bayangan ujung
hidung, itu artinya terdapat racun �rasa� di dalamnya.�
�...Cara memeriksa makanan yang mengandung Rasa dengan
menggesek-gesek lidah ke langit langit mulut, jika terasa geli seperti biasa
berarti makanan yang di depan kita tidak mengandung rasa...
Bisa juga dengan menggaruk kulit kepala, jika tidak terdengar
suara gesekan jari dengan kulit kepala maka makanan yang di depan kita
dipercayai mengandung rasa...�
Sementara ciri-ciri
orang yang termakan racun �rasa� antara lain diawali dengan muntah
dan batuk darah. Situasi itu diikuti dengan batuk kering berkepanjangan hingga
akhirnya membuat anggota badan berwarna kuning atau menguning. Ironinya penyakit ini
menurut masyarakat, kurang efektif hasil bila pengobatannya di rujuk kerumah
sakit. Pemeriksaan medis terhadap kasus ini cenderung mengarah kepada penyakit TBC, jantung
maupun
paru-paru basah. Dalam kasus
ini, masyarakat lebih mempercayai pengobatan alternatif dari pada pengobatan
medis. Pengobatan alternatif tertuju kepada dukun atau yang disebut sebagai
�orang pintar�, yang dianggap mampu mengobati racun �rasa� tersebut.
Berdasarkan kebiasannya, pengobatan alternatif menggunakan media buah kelapa
yang
di bakar, atau tebu merah yang
dibakar
yang diikuti dengan proses ritual pula.
�...Di rumah sakit penyakit ini tidak terdeteksi, dari dunia kedokteran sering
mengatakan penyakit ini TBC paru paru, ada juga paru paru basah... Pengobatan kita
untuk penyakit ini akan
diberi obat kelapa bakar, ada juga yang memberikan obat tebu merah yang dibakar�
(Wawancara dengan ahli pengobatan racun
rasa, Panehonan Pane. 17 Oktober
22,
13.00-15.00 WIB).
Dari keterangan yang ada, tidak ada
informasi yang dapat menunjukkan dalam bentuk jumlah terkait korban �racun
rasa� ini. Namun berdasarkan keterangan �orang pintar� yang dapat mengobati
korban racun rasa, dalam setiap tahunnya, sekalipun tidak
banyak, ada saja korban yang termakan racun rasa baik
masyarakat sekitar maupun orang luar atau pendatang. �Dan biasanya pelaku atau pengarasa memanfaatkan
momen acara besar seperti acara adat, keagamaan (hari
raya, maulid nabi),
tujuh belasan, serta
apabila ada kunjungan pejabat.
Intinya pelaku
memanfaatkan momen-momen keramaian
dengan
modus sebagai penjual makanan, seperti jualan mieso,
bakso, gorengan, kue. Dengan cara menaruh racun rasa
di makanan yang dijual. Yang paling dimungkinkan menjadi sasaran adalah orang-orang
dari luar daerah yang memang tidak memiliki pemahaman tentang hal itu serta
anak-anak.
�...Biasanya itu tiap ada acara
keramaian, tiap tahun itu ada. Seperti kalau ada acara-acara adat, hari raya,
tujuh belasan, atau kalau ada pejabat-pejabat datang...��
Tetapi kebiasaan penjual ini menaruh Rasa ke makanan
yang dibeli oleh orang dari luar kampung untuk mengelabuhi agar tidak dicurigai
masyarakat sekitar, ada juga terkadang pangarasa ini berpura pura baik kepada
anak kecil kemudian memberikan Rasa kepadanya...
Anak-anak termasuk
mudah kena, karena sifat
anak anak yang mudah dipengaruhi senang diberi makanan...(Wawancara dengan ahli
pengobatan racun rasa, Panehonan Pane. 17 Oktober
22,
13.00-15.00 WIB).
4.
Reaksi
Masyarakat Terhadap Terduga Pemilik Ilmu Hitam Pangarasa
Di tengah masyarakat orang
yang dipercayai memiliki
ilmu hitam pangarasa akan mendapatkan lebel dan perlakuan
negatif. Begitupun juga terhadap keluarga pemilik pangarasa. Hal itu dikarenakan
masyarakat percaya ilmu hitam pangarasa ini akan diturunkan kepada keluarga terdekatnya
ketika yang
bersangkutan sudah meninggal. Sikap masyarakat sangat
terlihat ketika terduga pemilik maupun keluarga pangarasa
ikut atau
berada dalam setiap momen keramaian seperti acara pesta adat dan sebagainya, gerak
gerik
mereka akan selalu di awasi atau diperhatikan oleh
anggota masyarakat lain. Bahkan, di dalam setiap momen acara
keramaian, tidak jarang di dalam kepanitian yang ada, membentuk tim
khusus untuk memantau guna mengantisipasi dampak dari kejahatan pangarasa
ini.
�...Disini �orang-orang udah merasa
kalau ada mereka dalam setiap acara-acara, masing-masing yang tau siap
mengawasi gerak-gerikya...
Kalau ada acara-acara
yang ada panitianya tetap selalu ada tim yang dibentuk untuk mengawasi
mereka-mereka itu... (wawancara dengan
korban pangarasa, Muhammad Dahron.
20 Oktober 2022,
14.00-15.00 WIB).
Disamping itu, tidak sedikit dari anggota
masyarakat mengambil sikap untuk memutuskan
hubungan silaturahmi dengan mereka yang dianggap sebagai pemilik
pangarasa dan keluarga terdekatnya dengan cara tidak
melakukan
kontak komunikasi, apalagi sampai menikahi bagian dari anggota
keluarga terdekatnya. Upaya lain masyarakat menghindari untuk menjadi korban
juga dilakukan dalam cara lain seperti enggan untuk berdekatan duduk sekiranya
berada dalam satu momen tertentu yang tidak disengaja sekalipun. Dan hanya
orang-orang yang tidak memahami atau mengetahui tentang pangarasa sajalah yang
dimungkinkan tidak memiliki sikap serupa terhadap mereka pemilik dan keluarga
pangarasa saat berdekatan.
�...Kalau orang yang tau, sekalipun tidak
sengaja berjumpa di satu tempat, pasti menghindar. Kecuali yang tak tau,
mungkin lain ceritanya...(wawancara dengan korban pangarasa, Arisman
Syukri.
20 Oktober 2022, 14.00-15.00 WIB).
Bentuk kekerasan fisik dari masyarakat
terhadap terduga pemilik ilmu hitam pangarasa juga pernah terjadi. Dalam kasus
yang tidak terkonfirmasi tahunnya, dimana satu keluarga terduga terpaksa di
usir oleh
warga. Hal itu buntut dari meninggalnya tiga
orang anak warga
yang tinggal di sekitar tempat tinggal terduga pelaku pangarasa. Meninggalnya tiga orang anak
yang dianggap kurang lazim oleh warga serta terjadi dalam waktu yang tidak
berjauhan tersebut, disinyalir warga setempat adalah sebagai korban dari
terduga pelaku pangarasa. Sementara terduga merupakan orang yang
jauh
sebelumnya sudah dianggap
oleh
warga memiliki ilmu hitam pangarasa di daerah tersebut. Akibatnya warga panik
dan secara bersama-sama melakukan tindakkan kekerasan berupa pengusiran secara
paksa diikuti dengan pengerusakan rumah milik terduga.
�...Pernah dulu disini ada satu keluarga
di usir, di rusak rumahnya sama warga. Gimana orang tak marah, tetangga sendiri
korbannya dalam waktu berdekatan tiga anak-anak meninggal tak wajar...
Orang-orang udah lama menduga
kuat....karena dia punya pangarasa...� (wawancara dengan
korban pangarasa, Arisman Syukri. 20 Oktober 2022, 14.00-15.00 WIB).
Disamping aksi-aksi kekerasan bersifat
spontanitas sebagaimana di atas, pendekatan agama juga dilakukan dalam hal
menguji keberadaan pelaku pemilik pangarasa. Seperti pada
tahun 2016 yang
lalu, oleh tokoh agama dan bersama dengan tokoh masyarakat, pernah diadakan
sumpah secara
massal dengan menggunakan Al-Qur�an yang ditujukan kepada seluruh
warga,
terhitung mulai dari yang berumur
tujuh belas tahun keatas, wajib mengikuti prosesi sumpah.
Sumpah dengan
media Al-Qur�an yang diadakan di Masjid
pada masa itu,
bertujuan untuk
mendeteksi sekaligus mendapatkan bukti dari mereka yang memiliki ilmu hitam pangarasa. Adapun bunyi sumpah
yang dilakukan warga yang hadir pada waktu itu di pandu oleh pemuka agama,
dengan redaksi kurang lebih sebagai berikut : � saya bersumpah
apabila saya memiliki ilmu Rasa, maka saya akan
di azab oleh
Allah SWT dan seluruh penyakit yang disebabkan oleh
Rasa,
akan kembali kepada saya �.
Bagi warga yang turut hadir dan melakukam
sumpah di bawah Al-Qur�an, diyakini merupakan orang-orang yang benar-benar
steril atau tidak memiliki ilmu pangarasa karena keberaniannya melakukan
sumpah. Hal yang menambah kecurigaan warga dalam prosesi sumpah tersebut adalah
ketidakhadiran dari mereka-mereka yang oleh masyarakat diduga memiliki ilmu
hitam pangarasa, dengan berbagai alasan;
kesibukan aktifitas, sedang di luar daerah dan sebagainya.
Padahal menurut keterangan yang di dapat, sumpah melalui Al-Qur�an merupakan
cara yang efektif dalam rangka mendapatkan satu petunjuk agar sesama warga
tidak saling mencurigai sekaligus sebagai efek jera bagi pelaku panggarasa.
Sumpah dengan Al-Qur�an juga sekiranya diikuti oleh seluruh warga diyakini
dapat menetralisir (menghilangkan) keberadaan kejahatan pangarasa yang memang
menakutkan
tersebut.
�...Pernah dulu tahun 2016 kita bersama
undang masyarakat ke mesjid untuk bersumpah dengan al-quran supaya terang,
tidak ada simpang siur lagi saling tuduh. Semua setiap yang berumur tujuh belas
ke atas, kita ajak untuk hadir...
Siapa yang berani silahkan ikuti sumpah
itu, kalau tidak punya rasa, ya selamat, kalau yang punya ya berlakulah
dampak...
Lafaznya itu, kurang lebih begini �saya bersumpah apabila saya memiliki
ilmu Rasa, maka saya akan di azab oleh Allah SWT dan seluruh penyakit yang disebabkan oleh
Rasa, akan kembali kepada saya �...(wawancara dengan tokoh
agama, Muhammad Pudel. 2
Oktober 2022, pukul
20.00-21.30 WIB).
Dari keberadaannya, fenomena pangarasa
dirasakan sangat merugikan tidak hanya menyangkut ancaman keselamatan bagi
warga Desa, namun lebih jauh dapat merugikan terhadap pertumbuhan ekonomi
masyarakat tempatan, dimana orang-orang luar daerah yang memahami cerita
tentang pangarasa, menjadi enggan melakukan kontak jual beli dengan pedagang
tempatan. Situasi ini tentu sangat merugikan bagi warga tempatan. Padahal
pelaku atau pemilik ilmu pangarasa sejatinya hanya dimiliki oleh sedikit orang
saja, namun dampak negatifnya berlaku terhadap semua warga yang berada di Desa
Kauman. Ibarat pepatah �akibat setitik nila, maka rusak susu se belanga�,
itulah yang dirasakan oleh warga atau masyarakat setempat dari keberadaan
fenomena pangarasa.
�...Masalah rasa dikampung ini sejak dari dulu memalukan
kita... Kita sendiri
resah, belum lagi pandangan orang luar untuk daerah ini, semua yang tau takut.
Akibatnya orang lain tak mau jual beli dengan kita-kita disini, itu yang
membuat rugi kita. Padahal hanya segelintir saja orang yang punya rasa itu,
tapi kita semua disini kena dampak buruknya...� (Wawancara dengan kepala
lingkungan, Syahrum. 5 Oktober 2022, 20.00-21.00 WIB).
5.
Pandangan
Keluarga Yang Dianggap Pemilik Pangarasa
Berbeda dengan masyarakat umumnya, bagi
keluarga terdekat yang dianggap memiliki ilmu hitam pangarasa, mereka justeru
merasa terhukum secara sosial melalui isu pangarasa ini. Perlakuan demi
perlakuan dari lingkungan seperti pengucilan maupun menghindar jarak bila
berdekatan, sangat dirasakan dan dianggap menyiksa batin.dalam pandangannya,
mereka adalah korban dari hal yang mereka sama sekali tidak terlibat dari
fenomena itu. Tuduhan awal masyarakat yang ditujukan kepada datuk-datuk mereka
sebelumnya dahulu, dimana mereka juga tidak mengetahuinya secara pasti,
sehingga mereka berharap tuduhan yang sama tidak secara otomatis berlaku bagi
mereka sekarang. Dari pemahaman mereka, bahwa ilmu gaib tersebut tidak secara
otomatis menurun kepada anak atau sanak keluarga. Prosesnya bergantung pribadi
setiap orang, sanggup atau tidak menerimanya. Bahkan tanpa ada hubungungan
darah sekalipun, bagi orang yang mau memiliki ilmu hitam tersebut, dapat saja
memperolehnya melalui belajar atau menuntut dengan orang yang memiliki ilmu
hitam tersebut.
�...Kamilah ya adik beradik kesal dengan
ini, walaupun tidak ada perkataan langsung dari orang-orang disini menuduh kami
punya rasa, tapi kami terasa orang menghindari kami nggak mau akrab, semacam
ada yang dijaga. Wah, serba tak enaklah dikampung sendiri begini...
Kalau datuk kami dulu dituduh yang
katanya punya rasa, kami tidak pernah tau itu apalagi diajarkan, sama sekali
gak ada itu...
Orang tua kami pun gak pernah dapat itu
apalagi mengajarkan itu sama-sama kami, nggak lah, fitnah itu...rasa inikan
siapapun bisa belajar sama orang lain yang punya rasa kalau mau. Kan, nggak
mesti keturunan pasti menurun, tergantung orangnya kalau tidak mau takut dosa,
ya nggak nurun...�(wawancara dengan keluarga yang dianggap pemilik pangarasa, DH.
28 Oktober 2022, 09.00-09.30 WIB).
Pembahasan
Dalam pembahasan ini akan dilakukan
analisis menyangkut dua hal. Pertama eksistensi ilmu hitam pangarasa dan reaksi
masyarakat terhadap fenomena ilmu hitam pangarasa.
A.
Eksistensi
Ilmu Hitam Pangarasa di Desa Kauman Kec. Rao Selatan, Kab. Pasaman Timur
Menagcu dari informasi atau data yang di
dapat di lokasi penelitian, fenomena ilmu hitam pangarasa hingga saat ini masih
dirasakan keberadaannya. Dilihat dari motivasi penggunaannya, ada beberapa
motif yang mendasari orang memilikinya. Dari historisnya masa lalu, pangarasa
digunakan oleh pemiliknya dalam rangka menjaga tanaman terhindar dari hama.
Berikutnya dapat juga digunakan sebagai senjata melumpuhkan penjajah Belanda
dahulu yang masuk ke wilayah tersebut. Akan tetapi pangarasa juga dapat
difungsikan untuk mencari persugihan atau kesenangan ekonomi. Untuk motif yang
ketiga, atau persugihan, tindakan ini memerlukan tumbal atau nyawa manusia
dijadikan sebagai korban, syarat atau perjanjian mistis antara pemilik dengan
makhluk gaib (Jin) yang di puja.
Dari tiga kategori fungsi pangarasa
sebagaimana di atas, maka dapat dikatakan jika dua kategori pertama dapat
disamakan sebagai magic putih yang
kegunaanya bermanfaat bagi kebutuhan masyarakat. Sedangkan kategori ketiga,
yang kegunaan untuk persugihan, dan karenanya membutuhkan tumbal nyawa manusia,
maka dapat disamakan dengan magic
hitam. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Fazer,� bahwa sihir atau magic dapat dibedakan berdasarkan maksud dan tujuannya, diantaranya
magic putih dan magic hitam. Magic putih
digunakan untuk kepentingan baik, sedangkan magic
hitam digunakan untuk kepentingan buruk atau jahat (Falikhah, 2013 : 132).
Sejalan dengan yang dikatakan Faze, lebih
lanjut Nitibaskara (1999 : 93) juga menerangkan, bahwa lmu gaib juga dapat
dibedakan atas hasil yang diperoleh atau dampak yang ditimbulkan diantaranya :
1.
Ilmu gaib yang bermanfaat disebut dengan produktive magic, contoh dari ini
seperti praktek dukun untuk memberi kesuburan tanah, mengusir penyakit yang
melanda satu kampung dan sebagainya.
2.
Ilmu gaib yang merusak pihak lain disebut
destruktive magic. Destructive magic identik dengan black
magic.
3.
Protective magic. Dalam hal ini seperti
penggunaan jimat (amulet), mantera (spell, charm) untuk menangkal kiriman
santet dan sebagainya.
Dari keyakinan masyarakat terkait korban
kejahatan pangarasa, sekalipun kemunculannya tidak sering, namun dalam setiap
tahunnya diyakini selalu ada yang menjadi korban, utamanya bagi anak-anak dan
orang pendatang yang tidak mengetahui sama sekali perihal pangarasa di daerah
itu.
Adapun dasar masyarakat meyakini realita
pangarasa hingga saat ini, dilihat dari tanda atau gejala-gejala yang dialami
korban. Identifikasi tanda dan gejala terhadap korban ketika munculnya kematian
seseorang yang diikuti sebelumnya dengan mengeluarkan muntahan gumpalan hitam
yang disinyalir sebagai racikan dari bulu halus. Untuk kasus seperti ini
dianggap sebagai korban kejahatan pangarasa dengan jenis Sitorus Dolok.
Berikutnya identifikasi korban melalui
tanda-tanda batuk berkepanjangan hingga membuat yang bersangkutan menjadi kurus
lalu akhirnya meninggal dunia. Kasus semacam ini dianggap sebagai tanda korban
pangarasa jenis Siarsik Ngar- Ngar.
Berikutnya identifikasi korban melalui
tanda ketika yang bersangkutan mengalami sakit dengan badan menguning dan
semakin menggemuk, hingga akhirnya meninggal dunia. Kasus seperti ini dimaknai
sebagai korban pangarasa jenis �Sigombung Sona
Berikutnya lagi, identifikasi korban
melalui tanda ketika yang seseorang merasakan serangan sakit terhadap organ
vital seperti jantung maupun ulu hati dimana sebelumnya tidak pernah mengalami
hal tersebut, lantas kemudian berdampak kepada kematian. Kasus seperti ini
dimaknai sebagai korban pangarasa jenis Siampar Lage.
Kehadiran tanda maupun ciri-ciri keluhan
penyakit seperti di atas yang apabila muncul dialami anggota masyarakat, maka
subjektifitas masyarakat akan selalu menghubungkannya dengan kejahatan
pangarasa. Situasi ini berimplikasi terhadap pendekatan pengobatan dengan
memilih pendekatan alternatif (orang pintar/dukun) ketimbang berobat ke dokter
atau medis. Ketidakpercayaan mesyarakat terhadap medis dalam kasus tersebut,
acapkali didiagnosa oleh medis sebagai penyakit TBC atau serangan jantung.
Dari dua sudut pandang dalam menentukan
jenis penyakit dari kasus itu, keyakinan masyarakat dan penilaian medis,
menunjukkan penilaian yang bertolak belakang dan saling membatalkan. Dalam hal
ini situasinya tentu menjadi perdebatan. Boleh jadi dari gejala penyakit yang
muncul dialami anggota masyarakat tersebut bagian dari penyakit gaib, atau
sebaliknya benar-benar merupakan penyakit medis sebagaimana hasil diaognosa
medis. Sekiranya asumsi pertama dijadikan ukuran, maka kejahatan pangarasa akan
selalu dianggap ada. Namun sebaliknya sekira hasil diognosa medis itu di terima
oleh masyarakat, maka korban dari pangarasa itu sejatinya tidak ada.
B.
Reaksi
Masyarakat Terhadap Fenomena Ilmu Hitam Pangarasa
Dalam khasanah kriminologi, yang
dikatakan sebagai reaksi masyarakat atas kejahatan dan penyimpangan adalah
upaya atau cara masyarakat dalam melakukan penanggulangan dan pengendaliannya
(Mustofa, 2013 : 28). Dalam konteks itu situasinya sangat dinamis bergantung
pada definisi situasi yang di rasa atau dimaknai masyarakat sendiri. Sehingga
subjektifitas maupun bias sosial dari memaknai satu peristiwa tentunya masih
cukup terbuka lebar.� Disinilah situasi
yang menjadi problematiik atau abu-abu, diantara ketepatan dan kekeliruan dari
tindakkan melakukan penilaian atas satu realita. Dalam paradigma interaksionis
simbolik yang dikenal dengan teori pelabelannya (labeling), seperti yang diungkap Michalowski (1977), bahwa
penyimpangan bukanlah kualitas yang unik dari individu, namun lebih kepada
respon masyarakat atau pengamat dalam memaknai kualitas tindakan orang lain
(Supatmi & Herlina, 2007 : 69).
Terdapat tiga (3) premis utama dalam
teori interaksionis simbolik yaitu (Bungin, 2011 : 45) :�
1.
Pertama, manusia bertindak terhadap
sesuatu atas dasar makna yang diberikan kepada sesuatu itu.
2.
Kedua, makna tentang sesuatu itu diperoleh,
dibentuk, termasuk direvisi melalui proses interaksi dalam kehidupan
sehari-hari.
3.
Ketiga, pemaknaan terhadap sesuatu dalam
bertindak atau berinteraksi tidaklah berlangsung mekanisme, melainkan
melibatkan proses interprestasi. Itu menunjukkan bahwa tindakan dan pemaknaan
manusia terhadap sesuatu kental bersifat situasional, yaitu bergantung pada
definisi situasi yang dihadapi ditingkat interaksi itu sendiri.
Selanjutnya
dalam pendekatan psikologis menyangkut sugesti mayoritas, kecenderungan
sesorang menerima pendapat atau pandangan menyangkut apapun dapat ditentukan
kedalam beberapa faktor diantaranya (Walgito, 2003 : 59-62) :
1.
Sugesti dapat mudah
diterima oleh orang lain bila daya berfikir kritisnya dihambat
2.
Sugesti dapat mudah
diterima oleh orang lain bila kemampuan berfikirnya terpecah belah (dissosiasi)
3.
Sugesti dapat mudah
diterima orang lain apabila yang memberikan informasi adalah mereka yang
mempunyai otoritas
4.
Sugesti akan mudah
diterima orang lain apabila pada orang yang bersangkutan telah ada pendapat
yang mendahului yang searah
Penilaian menentukan status pelaku
oleh masyarakat mengacu pada sumber keyakinan bahwa pemilik pangarasa merupakan
ilmu hitam yang diwarisi dari keluarga terdahulu sebelumnya. Sehingga
status atau stigma di masa lalu dari masyarakat terhadap seseorang pelaku,
berimplikasi pada indikasi ukuran menetapkan pelaku pangarasa di masa sekarang,
dengan menilai indikator hubungan keluarga (pewarisan). Sekalipun masih pula
dimungkinkan ilmu hitam pangarasa dapat dianut atau dituntut oleh siapa saja
melalui proses belajar dengan orang yang bisa menularkan ilmu hitam tersebut.
Tanpa menafikan realita kejahatan
pangarasa yang memang banyak melahirkan korban di tengah masyarakat, hal yang
sangat rumit adalah dalam pembuktian pelakunya. Berbeda dengan kejahatan
konvensional dimana pelakunya dapat terlihat saat melakukan kejahatan. Dengan hanya
berpatokan pada sumber ciri maupun simbol (keturunan) yang diyakini dan
dipersepsikan sebagai ukuran menetapkan pelaku, di khawatirkan dapat menjadi
preseden kurang baik munculnya kejahatan baru dalam bentuk stigma atas pelaku
sekaligus tindakkan kekerasan yang melahirkan korban baru, yang mana itu dilakukan
sebagai wujud reaksi terhadap kejahatan ilmu hitam yang teramat sulit
pembuktiannya tersebut.
Bentuk reaksi masyarakat di lokasi
penilitian, persis dengan disertasi yang ditulis Tubagus Roni Nitibaska tentang
: �Reaksi
Sosial terhadap Tersangka Dukun Teluh di Pedesaan Banten, Jawa Barat (Tahun
1985 - 1990) Studi Kasus Desa s dan a, Kecamatan Sajira dan Bojonegara�, dimana
mengacu pada perspektif antropologi - kriminologi beliau melihat, kualitas reaksi dalam
mendeteksi pelaku (terlepas benar atau salah) menjadi manifestasi tindakan
masyarakat (respon sosial) berujung pada sebuah tindakan; pemusnahan,
penyerangan, bahkan pembunuhan terhadap para dukun, yang sebelumnya telah
dianggap sesat (dalam, http://lib.ui.ac.id).
Menurut Nitibaskara, ada konteks dimana
label terhadap tindakan jahat atau menyimpang itu bisa diterima, ketika
tindakan tersebut secara sah telah melahirkan korban atau penderitaan bagi
orang lain. Disinilah menariknya ketika realitas kejahatn magic berbeda dengan kejahatan kovensional dalam hal pembuktian.
Kejahatan konvensional tampak oleh mata kepala pengamat, sementara kejahatan magic sebagai realitas yang tak tampak
oleh pengamat. Kalaupun realitasnya dianggap ada, sebenarnya menurut
Nitibaskara, tidak lebih sebagai perwujudan nilai kepercayaan dalam konteks
budaya yang hidup ditengah masyarakat (dalam, http://lib.ui.ac.id).
Selanjutnya, kesalahan dalam menetapkan
(melabel) orang sebagai pelaku kejahatan gaib, tentu berdampak pada persoalan
munculnya kejahatan baru. Menurut Permadi (politisi sekaligus paranormal),
semakin banyak orang yang merasa menjadi korban santet, maka semakin banyak
pula dukun santet yang dibunuh tanpa proses hukum, sedangkan pengguana jasa
dukun santet sendiri tidak pernah dipersoalkan (https://www.gresnews.com).
Kesimpulan
Dari paparan yang telah
penulis sampaikan dalam bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan, bahwa dari
keyakinan masyarakat di tempat penelitian, secara histori keberadaan fenomena
pangarasa telah ada sejak dahulu. Dimasa lalu pangarasa digunakan oleh
pemiliknya untuk keperluan menjaga tanaman peladangan terhindar dari hama serta
pencurian. Disamping itu, pangarasa di masa lalu juga digunakan sebagai alat
atau cara melumpuhkan penjajah Belanda di wilayah itu. Dengan asumsi jika
tentara Belanda yang termakan racun rasa tersebut akan mengalami kematian.
Namun terdapat pula motif lain dari pemilik pangarasa yang menjadi sangat
menakutkan bagi masyarakat saat ini, adalah untuk keperluan persugihan, yang
berkonsekuensi terhadap tumbal nyawa manusia sebagai korbannya. Dari pemahaman
masyarakat di lokasi penelitian, terdapat empat jenis pangarasa diantaranya;
Sitorus Dolok, Siarsik Ngar-Ngar, Sigombung
Sona dan Siampar
Lage. Dari jenis tersebut
dipercaya dapat memberikan dampak kematian dalam proses yang berbeda-beda pula.
Adapun menyangkut
reaksi masyarakat dalam hal mengidentifikasi mereka yang diduga memiliki atau
pelaku pangarasa terfokus
pada sumber keyakinan bahwa pemilik pangarasa merupakan ilmu hitam yang
diwarisi dari keluarga terdahulu sebelumnya. Sehingga status atau stigma
terhadap seseorang yang dianggap sebagai pelaku dari masyarakat di masa yang
lalu, berimplikasi pada indikasi menentukan pelaku pangarasa di masa sekarang,
dengan menjadikan indikator penilaian hubungan keluarga (pewarisan). Sekalipun
masih pula dimungkinkan ilmu hitam pangarasa dapat dianut atau dituntut oleh
siapa saja melalui proses belajar dengan orang yang bisa menularkan ilmu hitam
tersebut. Situasi ini tentu menjadi problematik sifatnya, mengingat
subjektifitas masyarakat sangat menentukan status orang sebagai pemilik ilmu
hitam pangarasa. Hal yang sangat berbeda bila dibanding dengan kejahatan
konvensional dimana pelakunya dapat terlihat dan dibuktikan. Dengan demikian,
kondisi ini menjadi rawan terhadap munculnya masalah baru yang melahirkan
tindakan kekerasan demi kekerasan dari masyarakat sebagai buntut dari reaksi
terhadap mereka yang di duga pemilik ilmu hitam pangarasa sebagaimana yang
pernah terjadi di daerah tersebut.
BIBLIOGRAFI
Burhin,
Bungin, 2011. Penelitian Kualitatif ; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya (Edisi kedua). Prenada Media Group, Jakarta.
Hamzah,
Amir, 2020. Metode Fenomenologi; Kajian Filsafat & Ilmu Pengetahuan
(Cetakan ke 1). Literasi Nusantara Abadi, Malang
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi (Cet. 2), Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta
Mustofa,
M. 2013, Metodologi Penelitian
Kriminologi. Prenada Media Group, Jakarta.
Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Rineka Cipta,
Jakarta.
Nitibaskara,
Tb, Rony. 1999, Catatan Kriminal (Cet.
1), Jayabaya University Press, Jakarta.
Ritzer.
G & Douglas J Goodman, 2010. Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Teori
Sosiologi Postmodern. (Terjemahan oleh Nurhadi, Cetakan ke � 5). Kreasi
Wacana, Bantul.
Santoso,
Topo dan Eva Achjani Zulfa, 2010. Kriminologi.
Raja Grafindo Perkasa, Jakarta
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Rajawali
Pers, Jakarta
Supatmi,
Sri. M & Herlina Permata. S, 2007. Dasar-Dasar
Teori Sosial Kejahatan. PTIK Press, Jakarta
Usman,
Husaini & Purnomo S. Akbar, 2011. Metodologi Penelitian Sosial (Edisi
kedua). Bumi Aksara, Jakarta
Walgito,
Bimo, 2003. Psikologi Sosial : Suatu Pengantar (Edisi revisi ke-4), Andi
Offset, Yogyakarta.
Falikhah, Nur, 2012. Santet dan Antropologi Agama. Dalam Jurnal
Ilmu Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Antasari, Vol. 11 No. 22
Nitibaskara,
Tb. Rony, 1993. �Reaksi Sosial terhadap Tersangka Dukun Teluh di
Pedesaan Banten, Jawa Barat (Tahun 1985 - 1990) Studi Kasus Desa s dan a,
Kecamatan Sajira dan Bojonegara�. (dalam, http://lib.ui.ac.id. Diakes 15/10/2021).
Sartini
& Heddy Shri Ahimsa. P. 2017. Mendefinisikan Ulang Istilah Dukun. Dalam Jurnal Humaniora UGM. Vol
29, No 1
Warka, Made, 2006.
Segi Hukum
Praktek Teluh Dalam Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Banyuwangi).
Dalam
Jurnal Hukum Mimbar
Keadilan
Copyright holder: Sobri,
Abdul Munir, Salmanuddin Simbolon (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |