Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022

 

RESPONS PARA ISTRI TERHADAP PRAKTEK KEADILAN DALAM PERILAKU POLIGAMI SUAMI

 

Nabila Alya1*, Ahmad Muhasim2, Hery Zarkasih3

1*,2,3 Universitas Islam Negeri Mataram, Indonesia

Email: 1*[email protected], 2[email protected], 3[email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perhatian penulis yang melihat bagaimana kehidupan para istri yang dipoligami Di Desa Tempos Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat. Poligami dikenal sebagai bentuk pernikahan yang banyak dilakukan mulai dari zaman Rasulullah SAW hingga saat ini, poligami juga disinggung dalam beberapa artikel dan berbagai jurnal dikarenakan para pelaku poligami menyatakan jika perbuatan tersebut adalah Sunnah Rasulullah SAW yang �apabila kita melakukannya kita termasuk kepada ummat yang taat�. Jenis penelitian ini menggunakan qualitative research atau penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi, wawancara dan dokumentasi, sedangkan teknik analisis data yang digunakan yaitu analysis interaktive. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui berbagai respon para istri yang dipoligami oleh suaminya namun dalam keadaan tidak menguntungkan atau tidak ada keadilan di dalam bahtera rumah tangganya, serta tujuan dari hasil penelitian ini berguna agar menyadarkan para suami yang ingin berpoligami dengan besarnya tanggung jawab dalam menjalankan syarat-syarat pra-poligami. Hasil penelitiannya menunjukkan poligami adalah suatu kebolehan apabila memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang ada, bukan semata-mata mengikuti hawa nafsu dan mengabaikan hak-hak istri dan anak yang sewajarnya menjadi tanggung jawab dari suami yang sanggup untuk berpoligami. Selain itu, konsep adil yang secara tegas dijelaskan oleh beberapa ulama dan Undang-Undang Hukum Positif Di Indonesia menyangkut hal materil yang harus dipenuhi karena untuk mewujudkan keadilan formil atau membagi kasih sayang dianggap sebagai hal mustahil yang dapat memicu seseorang berbuat dosa kepada Allah SWT.

 

Kata Kunci: Istri, Poligami, Keadilan, Hukum Islam.

 

 

 

Abstrack

This research was motivated by the author's attention to seeing the lives of polygamous wives in Tempos Village, Gerung District, West Lombok Regency. Polygamy is known as a form of marriage that has been widely practiced since the time of Rasulullah SAW until now. Polygamy is also mentioned in several articles and various journals because polygamists state that this act is the Sunnah of Rasulullah SAW, which states that "if we do it, we belong to an obedient community.". This type of research uses qualitative research. The data collection methods used were observation, interviews and documentation, while the data analysis technique used was interactive analysis. The purpose of this research is to find out the various responses of wives who are polygamous by their husbands but in unfavorable circumstances or there is no justice in their household, and the purpose of the results of this research is to make husbands who want to be polygamous aware of the magnitude of responsibility in carrying out the conditions. pre-polygamy conditions. The results of his research show that polygamy is a capability if it fulfills the existing terms and conditions, not merely following one's desires and ignoring the rights of the wife and children which should naturally be the responsibility of the husband who is capable of polygamy. Apart from that, the concept of justice which is explicitly explained by several ulama and the Positive Law Law in Indonesia concerns material matters that must be fulfilled because realizing formal justice or sharing love is considered an impossible thing that can trigger someone to sin against Allah SWT.

 

Keywords: Wife, Polygamy, Justice, Islamic Law.

 

Pendahuluan

Di dunia barat, salah satunya Negara Amerika, kebanyakan orang benci dan menentang poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa di sana menganggap bahwa poligami adalah hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Hal yang demikian sejak dulu bukan menjadi rahasia lagi, pada tahun 1982 di tanah air kita mulai terdengar suara-suara yang menentang poligami. Suara-suara ini, terutama datang dari organisasi-organisasi kaum wanita di luar Islam, seperti �Putri Indonesia� dan lain-lain. Penentang poligami itu sendiri juga tak segan-segan melemparkan fitnahan terhadap Islam sebab barangkali menurut mereka Islam yang terutama dan yang pertama-tama mengajarkan poligami itu (H.M.A Tihami, Shoari Sahrani, 2014).

Pada dasarnya, Islam sangat memperhatikan hukum-hukum dari semua perilaku manusia serta memberikan peringatan terhadap sesuatu yang melenceng dari peraturan Al-Qur�an. Seperti hal nya poligami, kendati Allah SWT memberi peluang untuk beristri sampai empat orang, tetapi peluang itu dibarengi oleh syarat-syarat yang sebenarnya cukup berat untuk ditunaikan kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Allah SWT membarengi kebolehan berpoligami dengan ungkapan �jika kamu takut atau cemas tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah satu perempuan saja�. Firman Allah SWT surah An-Nisa� ayat (3) tersebut selalu difahami sebagai dasar kebolehan poligami. Secara implisit Al-Qur�an membolehkan poligami, namun tidak menentukan persyaratan apapun secara tegas kecuali hanya batasan 4 orang istri (H.M.A Tihami, Shoari Sahrani, 2014).

Seperti penuturan salah satu sumber data peneliti yang bernama Inak Munikem selaku istri pertama dari Bapak Saum yang berpoligami di Desa Tempos Dusun Batu Goleng, dia menjelaskan bahwa semenjak suaminyamenikah dengan istri keduanya, pak Saum lebih sering tinggal di rumah istri kedua dan memberikan perhatian lebih kepada anak-anak dari istri kedua sehingga Inak Munikem merasa disisihkan dan diabaikan hak-hak anaknya (Munikem2022). Bukan hanya itu, Murni selaku istri kedua dari Amak Bao warga Desa Tempos Dusun Batu Goleng, beliau menjelaskan bahwa suaminya menikahinya hanya karena khilaf atau bukan karena mencintainya secara utuh. Dia menegaskan bahwa suaminya tidak pernah membagi waktu secara bergilir untuk tidur dirumahnya (secara bergantian dengan istri pertama), tidak terlalu memperhatikannya karena sering dirumah istri pertama dan lebih mengenalkan istri pertama kepada khalayak masyarakat (Murni, 2022).

Dari uraian dua respon istri Di Dusun Batu Goleng Desa Tempos tersebut ditemukan perbedaan respon dalam permasalahan orang yang dipoligami. Ada yang merasa jika suaminya lebih condong ke istri yang lain sehingga memberikan fakta bahwa suaminya kurang adil, namun di satu sisi ada yang merasa jika suaminya lebih memperhatikan istri pertama sehingga alasan untuk pernikahan keduanya sekedar pelampiasan hasrat saja atau menghindari cercaan atas kecelakaan yang telah diperbuat. Ini menunjukkan bahwa para istri yang dipoligami Di Dusun Batu Goleng Desa Tempos memiliki permasalahan yang berbeda berdasarkan dua respon istri-istri tersebut. Dapat dilihat jika pasal 55 KHI yang menyatakan �mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya� yang dalam artian keadilan berpoligami yaitu dengan memperlakukan hal yang sama terhadap istri-istri dan anak-anaknya tanpa mengistimewakan salah satunya, baik dari pemberian sandang, papan dan pangan hingga membagi waktu gilir dalam pemenuhan hak bathiniyah. Senada dengan pengertian pasal di atas yang belum diterapkan dengan benar,sehingga bisa menimbulkan berbagai macam dampak yang akan terjadi di dalam kehidupan poligami tersebut. Pada Pelaksanaannya, walaupun poligami dinyatakan sesuatu yang sah dalam Hukum Perkawinan di Indonesia dengan mengacu pada ayat-ayat Al-Qur�an yang dianggap memberikan dasar hukum akan legalitas pelaksanaan poligami bagi umat Islam, tidak begitu saja semua perempuan muslim di Indonesia mau untuk dipoligami. Perempuan manapun pasti tidak akan mau untuk dipoligami, jika berpoligami sama dengan keharusan untuk membagi kasih sayang dan nafkah suaminya dengan perempuan lain yang selama ini hanya miliknya dan keluarganya sendiri. Apalagi alasan berpoligami dikarenakan kecelakaan atau istri kedua yang hamil diluar nikah, hal itu dapat disebut perselingkuhan. Namun dalam prakteknya tetap saja banyak lelaki yang berani mengambil tindakan poligami walaupun tanpa persetujuan istri pertama dan seterusnya.

Adapun beberapa karya ilmiah terdahulu yang terkait dengan penelitian Peneliti adalah sebagai berikut (1) Penelitian yang dilakukan oleh Nopi Yuliana yang berjudul �Dampak Poligami Terhadap Keharmonisan Keluarga (studi kasus di Desa Surabaya Udik Kecamatan Sukadana Kabupaten Lampung Timur)� dalam penelitian ini terdapat hasil bahwa poligami terjadi di Desa Surabaya Udik memiliki dampak baik positif dalam keharmonisan keluarga (Nopi Yuliana, 2018). Persamaan antara penelitian ini terlihat bahwa sama-sama melihat dari dua sisi terhadap poligami, baik yang dianggap baik oleh lingkungan maupun agama dan negara. Perbedaannya penelitian ini menekankan sisi positif pernikahan poligami untuk mencapai keharmonisan keluarga, sedangkan peneliti lebih menekankan dampak negatif dan positif yang terjadi di Dusun Batu Goleng Desa Tempos. (2) Penelitian yang dilakukan oleh Lulu Baeti Nurrahmah yang berjudul �Perempuan dalam Pernikahan Poligami (Studi Kasus: Perempuan di Kampung Cibeber, Desa Cikahuripan, Kabupaten Bogor) (Lulu Baeeti Nurrahmah, 2015), persamaan penelitian ini sama-sama menelit perempuan yang di poligami oleh suaminya baik yang berdampak buruk maupun bahagia. Sedangkan perbedaannya jika penelitian ini terpaku pada perempuan yang berada pada ikatan pernikahan poligami saja, namun peneliti mengambil dua pendapat yaitu perempuan yang memilih pernikahan poligami serta perempuan yang memilih pernikahan monogami. (3) Penelitian yang dilakukan oleh Prima Amalia yang berjudul �Sikap Perempuan Muslim Terhadap Poligami (Studi Deskriptif)� (Prima Amalia, 2007), persamaan penelitian ini sama-sama meneliti perihal perempuan yang di poligami serta bagaimana pemikiran mereka terhadap perilaku poligami apabila dilakukan oleh suaminya. Sedangkan perbedaannya ditekankan pada sikap perempuan muslim, artinya penelitian ini tertuju pada perempuan muslim sedangkan peneliti tidak membatasi hanya untuk satu golongan agama ataupun ras dan semacamnya, serta peneliti menekankan kepada respon atau tanggapan.

Dari uraian di atas, peneliti lebih menekankan kepada keadilan dalam poligami yang bersifat material bukan immaterial, karena pada dasarnya adil dalam kecintaan sama halnya dengan kecendrungan terhadap salah satu saja dan sulit untuk diterapkan. Berangat dari hal di atas menjadi alasan peneliti akan menyusun artikel dengan judul �Respons Para Istri Terhadap Praktek Keadilan Dalam Perilaku Poligami Suami (Studi Kasus Di Dusun Batu Goleng Desa Tempos Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat)�.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengambil metode penelitian kualitatif karena dianggap berhubungan dengan masyarakat beserta tingkah lakunya. Selain itu, penulis menggunakan pendekatan penelitian hukum yaitu pendekatan kasus (case aprroach). Menurut Goodheart yang dikutip dalam buku Penelitian Hukum karangan Dr. Peter Mahmud Marzuki,

�dalam menggunakan pendekatan kasus yang harus difahami peneliti adalah ratio decidendi. Ratio decindendi dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta-fakta material�.

Fakta-fakta materila tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya (Peter Mahmud, 2021). Alasan peneliti memilih pendekatan penelitian hukum Case Aprroach yaitu suatu peristiwa atau kasus disebabkan karena faktor para pihak berpangkal dari fakta material (orang dan wkatu) dalam membangun argumentasi guna meneguhkan posisi masing-masing atau secara sederhananya karena penelitian ini menggunakan studi kasus yang dimana peneliti lebih menekankan kepada penyelesaikan kasus serta yang melatarbelakangi kasus tersebut.

Untuk mendapatkan data yang relevan maka diperlukan data-data yang aktual yaitu melalui:

1.    Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan, dengan disertai dengan pencatatan-pencatatan yaitu berupa catatan-catatan langsung, yaitu dimana penulis secara langsung mendatangi lokasi penelitian. Dalam hal ini peneliti menggunakan observasi nonpartisipan, karena peneliti tidak ikut langsung atau menjadi salah satu dari kejadian bahkan peristiwa yang akan diteliti, sehingga peneliti memilih untuk meneliti dari hasil temuan-temuan di lapangan untuk mengumpulkan data-data tentang situasi dan kondisi lokasi objek penelitian.

2.    Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat. Wawancara dapat dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara atau dengan tanya jawab secara langsung. Menurut Patton dalam proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara, interview dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isu-isu yang harus diliputi tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan wawancara yang tidak terstruktur untuk mengurangi kekakuan pada waktu wawancara. Dalam hal ini yang menjadi instrumen peneliti atau beberapa orang yang akan di wawancara yaitu para istri Di Desa Tempos (baik yang dipoligami maupun yang tidak), keluarga atau kerabat istri yang di poligami, Kepala Desa Tempos, Tokoh masyarakat, dan beberapa warga yang menyaksikan peristiwa poligami tersebut.

3.    Dokumentasi

Dokumentasi adalah metode atau alat untuk mengumpulkan data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, notulen, agenda dan sebagainya (Afifudin, Beni Ahmad Saebani, 2012).

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Respon Para Istri Terhadap Perilaku Suami yang Berpoligami di Dusun Batu Goleng Desa Tempos Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat

Poligami adalah hal yang tidak tabu lagi dikalangan masyarakat masa kini, melihat maraknya praktik poligami yang dilakukan menunjukkan bahwa perilaku poligami memberikan dampak positif bagi orang yang melakukannya. Walaupun tidak sedikit yang menentang perbuatan poligami, namun tetap saja masih banyak yang beranggapan bahwa perilaku poligami adalah Sunnah Nabi yang wajar-wajar saja dilakukan. Beberapa diantaranya warga Dusun Batu Goleng Desa Tempos yang melakukan praktik poligami, sebagai berikut:

 

Tabel 2

Data Masyarakat Yang Berpoligami

Nama

T. Tinggal

Istri ke-1

Istri ke-2

Istri ke-3

Amak Bao

D. Batu Goleng

Masilah

Suryati

 

Jumadil Awal

D. Batu Goleng

Rawinah

Rumidah

 

Bapak Saum

D. Batu Goleng

Munikem

Murni

Sukarti

Tuak Riok

D. Batu Goleng

Inak Kiki

Rabiah

 

 

Pada pelaksanaan poligami, tidak semua perempuan muslim di Indonesia mau dengan begitu saja untuk di poligami. Perempuan manapun pasti tidak rela jika berpoligami sama halnya dengan keharusan membagi kasih sayang dan nafkah suaminya dengan perempuan lain yang selama ini hanya miliknya dan keluarganya sendiri. Sebelumnya, penelitian dan wawancara ini terbatas di Dusun Batu Goleng, Desa Tempos Kecamatan Gerung.

Sebelumnya, para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligami yang berasal dari kata Polus berarti banyak dan Gamos berarti perkawinan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata Polus yang berarti banyak dan Andros berarti laki-laki. Jadi kata yang tepat bagi seorang lelaki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu bersamaan adalah poligami. Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang lelaki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu bersamaan (Zakiah Darajat, 1985).

             1.     Dasar Hukum Pemberian Izin Poligami.

Jika perempuan dihadapkan dengan objek penelitian ini yaitu poligami, maka respon mereka pun akan berbeda-beda antara istri yang satu dengan istri dari yang lainnya. Sebagian dari mereka yang merespon positif dan tak sedikit pula dari mereka yang merespon negatif. Perbedaan respon ini muncul disebabkan beberapa alasan dan masalah yang ditemukan dalam poligami. Diantara yang paling menonjol adalah dengan adanya pasal di dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yaitu pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami (menikahi satu orang saja), tetapi pengadilan juga memberikan izin kepada suami boleh melakukan poligami apabila disetujui atau dikehendaki oleh beberapa pihak yang bersangkutan suami dan istri (termaktub dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan).Selain sebab-sebab di atas, juga terdapat 2 syarat yang harus dipenuhi oleh suami jika hendak berpoligami untuk menjadi syarat berpoligami yaitu adanya persetujuan istri pertama dan seterusnya, dan adanya kepastian bahwa suami mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Namun dalam prakteknya di Dusun Batu Goleng, pernikahan poligami tidak sesuai dengan pasal 3 ayat (2) yang dimana pernikahan tersebut terjadi atas dasar keterpaksaan serta tanpa izin istri pertama.

Perkawinan terutama di Indonesia akan dianggap sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu kesesuaian ketentuan yang dimiliki oleh hukum agama dari calon pengantin (suami istri harus memiliki satu keyakinan). Bagi umat Islam sendiri, para ulama kebanyakan berpendapat bahwa poligami diatur dalam Al-Qur�an surat An-Nisa� ayat 3 yaitu:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Artinya: �Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.�

Penggalan ayat tersebut menunjukkan bahwa ummat Islam yang berjenis kelamin laki-laki boleh menikahi hingga batas empat orang istri dalam waktu bersamaan atau dalam kata lain boleh berpoligami, namun dengan syarat harus mampu berlaku adil. Atas dasar hukum dalam Agama Islam itulah kemudian negara menggagas Undang-Undang Perkawinan. Hal ini dilakukan karena diketahui bahwa perkawinan adalah hal yang memiliki hubungan erat dengan masalah kerohanian atau keagamaan, bukan memiliki unsur lahir/jasmani saja. Indonesia, yang bangsanya memegang erat Pancasila yang di dalamnya terdapat KeTuhanan Yang Maha Esa berada di atas segala-galanya, menempatkan perihal perkawinan pada posisi yang memiliki kedudukan dan kekuatan hukum. Keharusan suami untuk berlaku adil dalam segala hal terhadap istri-istri dan anak-anaknya dalam kehidupan berpoligami juga dicantumkan dalam Qur�an Surah An-Nisa� ayat 3.

             2.     Alasan dan Syarat Pembolehan Poligami.

Menjalani praktik poligami diperlukan kesiapan fisik, psikis dari suami istri serta seluruh pihak keluarga. Istri yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya telah berpoligami akan sering mengalami perubahan emosi, kadang menjadi lebih sensitif, mudah marah, serta baperan yang ditandai dengan mudah sedih dan sering curiga berlebihan (S.C. Utami Munandar, 2015). Selain itu, muncul perasaan negatif dalam diri istri terutama mengenai tugas dan perannya sebagai istri dan ibu. Walaupun persetujuan istri bukan termasuk syarat sah pernikahan poligami di dalam Hukum Islam tetapi menjadi dasar utama di dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 pada pasal 5 ayat (1), maka alangkah baiknya hal tersebut menjadi dasar pertimbangansebelum mengambil tindakan mencoba untuk berpoligami. Kesiapan mental dan fisik dalam menjalani pernikahan poligami bukan hanya dibutuhkan oleh pihak suami, tetapi kondisi istri dan anak-anak dan keluarga yang baru dan lama perlu dipertimbangkan baik dari segi materi maupun ruhiyah.

Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa persaingan serta kecemburuan yang terjadi diantara para istri di dalam keluarga yang poligami akan menimbulkan masalah emosional dan trauma berat bagi anak-anaknya, anak-anak dari keluarga poligami memiliki resiko yang tinggi terhadap penyalahgunaan psikis dan fisik. Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua akan selalu merasa tidak nyaman, merasa kehilangan tempat berlindung untuk dikemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensantoris dalam bentuk dendam dan sikap bermusuhan terhadap dunia luar (Erik Pandapotan Simanullang, 2018).

Adapun alasan-alasan yuridis yang memperbolehkan poligami dalam pasal 4 ayat (2), diantaranya istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Sedangkan di Dusun Batu Goleng para istri yang dipoligami mengatakan bahwa mereka sehat dari segi rohani dan jasmani, melayani suaminya dengan memenuhi kebutuhan seperti membuatkan bekal untuk makan, mencuci pakaian suami serta membersihkan rumah. Bukan hanya itu, para istri yang dipoligami semua memiliki anak atau bisa memberikan keturunan sehingga alasan untuk celah berpoligami sangat minim bahkan tidak ada.

Di samping alasan yuridis di atas, ada juga alasan syariah yang harus diperhatikan. Salah satunya kecendrungan seksual lelaki yang susah dikontrol sehingga membutuhkan penyaluran lebih. Bukan hanya itu, para suami seringkali memberikan alasan bahwa pernikahan poligami adalah bentuk Sunnah Rasul dalam bentuk fi�liyah (perbuatan). Sehingga hal itu menjadi tolak ukur para suami di Dusun Batu Goleng melakukan poligami karena poligami bukanlah hal yang dilarang melainkan hal yang dibolehkan. Namun, ada satu syarat yang sering dilupakan yaitu dapat berlaku adil dalam artian dapat memenuhi segala bentuk kebutuhan istri-istri baik dari segi materi hingga immaterial.

Banyak perempuan menolak untuk di poligami dengan berbagai alasan yang dimiliki, namun tidak sedikit pula yang menerima konsep poligami di dalam keluarganya. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa alasan para istri di Dusun Batu Goleng Desa Tempos mau di poligami adalah:

a.    Karena ketergantungan untuk pemenuhan hak-hak yang bersifat materi seperti penyediaan sandang, pangan dan papan serta kebutuhan perhatian suami untuknya dan anak-anaknya.

b.    Para istri mempunyai rasa takut terhadap stigma yang buruk diberikan oleh masyarakat apabila terjadi perceraian yang akan berdampak buruk pada perkembangan psikis dan fisik anak-anaknya.

c.    Keterpaksaan yang dirasakan oleh istri pertama untuk melihat suaminya menikah lagi, walaupun berdampak buruk bagi kesehatan mentalnya tetapi tetap saja dia tidak ingin anaknya merasakan kehilangan kasih sayang seorang ayah.

Dari beberapa hal di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi para istri memilih untuk di poligami, yaitu:

a.    Faktor Ekonomi

Kebanyakan para istri di Desa Tempos Dusun Batu Goleng lebih memilih dipoligami dikarenakan takut perihal ekonomi sehingga menyebabkan penelantaran anak. Semua ibu akan memilih memendam rasa sakitnya sendiri daripada harus melihat anaknya menjadi korban dari kejahatan orangtuanya (anak broken home), sehingga apapun hal yang berbau kepahitan akan ditelan oleh nya supaya tidak memberikan beban kepada anak-anaknya. Ketakutan seorang ibu dilihat dari pemenuhan hak-hak sekolah yang apabila ia memilih bercerai akan sulit baginya memberikan nafkah cukup untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya.

b.    Faktor Sosial

Lingkungan sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya emosional seseorang, mulai dari timbulnya rasa iri dengki hingga perlakuan kucil-mengucilkan masih banyak dilakukan di khalayak masyarakat terutama di Desa Tempos Dusun Batu Goleng. Masyarakat di sana sangat membenci yang namanya gelar janda,karena janda kerap dijadikan sebagai sasaran kebencian oleh masyarakat dianggap dapat membawa kesialan bagi pernikahan mereka nantinya, sehingga dari faktor tersebut para istri di Desa Tempos Dusun Batu Goleng lebih memilih untuk dipoligami saja dibandingkan harus bercerai dan dikucilkan oleh masyarakat.

c.    Faktor Agama

Lombok diketahui memiliki mayoritas masyarakat yang beragama Islam, sehingga dikenal dengan kata pulau seribu mesjid. Sehingga hukum yang sering dipakai adalah hukum Islam kecuali di daerah-daerah yang khusus seperti kampung Hindu yang ada di Desa Tempos dan selainnya. Seperti yang diketahui bahwa di dalam Islam perihal poligami adalah perbuatan yang boleh dilakukan, bahkan kebolehan tersebut dibatasi hingga menikahi empat orang perempuan bagi seorang lelaki. Hal itu yang menyebabkan para lelaki di Desa Tempos Dusun Batu Goleng beranggapan untuk berpoligami, namun melupakan hal-hal terpentingnya seperti syarat-syarat berpoligami dan sebagainya. Para lelaki atau para suami hanya melihat sisi positif tanpa mengetahui sisi negatif nya, karena apabila agama memperbolehkan maka itu adalah perbuatan baik.

Poligami dapat memberikan dampak psikologis pada istri, dampak yang dimaksud adalah:

a Istri akan merasa terganggu dan sakit hati apabila melihat suaminya menikah dengan wanita lain lagi.

b Akan terjadi konflik internal dari kedua belah pihak keluarga, bisa antara sesama istri, istri dan anak tiri atau bahkan diantara anak-anak yang berbeda ibu.

c Akan timbul persaingan yang tidak sehat sesama istri. Hal itu dilakukan hanya untuk mencari perhatian lebih dari suaminya, mereka akan berjuang sedemikian rupa supaya menjadi yang paling menarik dan paling baik dihadapan suaminya agar mendapatkan perhatian lebih dari suaminya. Permusuhan tersebut terjadi karena kebiasaannya suami lebih memberikan perhatiannya kepada istri muda (Siti Musda Mulia, 2004).

d Timbulnya rasa dengki dan permusuhan diantara para istri, biasanya hal ini terjadi karena suami lebih mencintai satu istri dibandingkan dengan istri yang lain atau kurangnya keadilan dari suami.

e Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena suaminya akan lebih mencintai istri muda/baru. Perasaan ini dapat mengurangi dan mempengaruhi kebahagiaan istri pertama.

B.  Praktek Keadilan dalam Perilaku Suami yang Berpoligami di Dusun Batu Goleng Desa Tempos Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat

Keadilan berasal dari kata adil yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil tentunya mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasari atas norma-norma objektif bukan subjektif (M. Agus Santoso, 2014). Adil: al-�adl berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran. Keadilan lebih dititikberatkan pada pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya. Ibn Qudamah ahli fikih Mazhab Hanbali mengatakan bahwa keadilan semata-mata karena takut kepada Allah SWT. Jika keadilan telah tercapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil lain yang menentangnya. Dalam Alquran keadilan dapat diucapkan dengan al-�adalah dan al-wasth. Hal tersebut merupakan rangkaian makna bahwa untuk menciptakan al-�adl harus dibantu oleh al-wasath yaitu tengah-tengah/perpaduan antara semua bentuk keadilan. Allah Swt menurunkan syariatnya dalam rangka menyeimbangkan struktur kehidupan manusia, menegakan keadilan dalam kehidupan manusia. Tidak ada satu pun syariat Allah SWT yang tidak mengindikasikan keadilan di dalamnya (Abdul Azis Dahlan, 1996).

Berlaku adil sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya. Keadilan ini sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Q.S 4:58 yang berbunyi:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Artinya: �Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.�

Selanjutnya dalam Q.S AL-Maidah ayat (8) yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُون

Artinya:�Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.�

Disambung lagi pada QS. An-Nisa� ayat (129) yang berbunyi:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Artinya:Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.�

Persyaratan adil dalam berpoligami yang disebutkan pada ayat Al-Qur�an tersebut lebih diartikan kepada pengertian secara kuantitatif, seperti adil dalam hal-hal yang bersifat material yaitu pakaian, tempat tinggal dan giliran waktu. Keadilan tersebut tampak dalam aturan-aturan fikih maupun Undang-Undang Negara mengenai poligami, contoh seperti membagi rezeki harus secara merata kepada istri-istri yang dinikahi dan sebagainya.

Quraish Shihab menyatakan bahwa keadilan yang disyariatkan oleh agama meliputi keadilan dari segi material atau yang tampak saja (Quraish Shihab, 2007). Dalam bukunya Prof. Dr. H. Masnun Thahir, M.Ag disebutkan jika keadilan memang telah disadari secara kolektif menjadi fase di dalam kehidupan. Ia laksana ruh yang memberi nafas dan energi bagi terwujudnya sebuah kehidupan yang manusiawi dan demokratis. Oleh sebab itu tidak ada satupun agama yang terlahir ke dunia mengajarkan ketidak-adilan. Di dalam Islam konsep keadilan yaitu mencari motif yang paling dalam seperti perbuatan itu ditentukan dilihat dari niat si pelaku (Masnun, 2016).

Imam Syafi�i mensyaratkan keadilan diantara para istri, menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik seperti mengunjungi istri di malam atau siang hari (Khoirudin Nasution, 1996). Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh sedikit tidaknya harus memiliki syarat yang harus dipenuhi yaitu, kemampuan dana pemenuhan sandang pangan dan papan serta memiliki sifat adil dalam memperlakukan seluruh istrinya. Para ulama Fiqh lebih sering memahami keadilan dalam arti kuantitatif yang bisa di ukur dengan angka-angka. Dengan kata lain, adil dalam hal ini dikehendaki bersifat material. Implikasinya poligami mudah dilakukan dan menjadi sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari tanpa merasa terbebani akan tanggung jawab sedikitpun.

Dalam konteks KHI, pemberlakuan adil dalam berpoligami harus dibuktikan di depan pengadilan. Maka dari itu seorang suami yang hendak berpoligami harus mampu untuk membuktikan bahwa dirinya sanggup dan adalah seorang yang akan berlaku adil hingga akhir pernikahan poligaminya. Oleh karena itu, di dalam Islam ditekankan untuk seorang suami untuk tidak boleh merasa lebih cenderung atau condong cinta kepada salah seorang istrinya, karena hal itu dapat menimbulkan kecemburuan serta sakit hati baginya. Ditinjau dari pandangan Al-Qur�an, bahwa poligami tidak hanya dilihat dari segi baik atau buruknya, tetapi juga dilihat dari penetapan hukum dan kondisi yang akan terjadi kedepannya. Sehingga wajar-wajar saja apabila perundang-undangan maupun agama memberikan cakupan secara universal dalam pemberlakuan hukum yang mengatur perihal keadilan berpoligami.

Adapun keadilan menurut Hukum Islam yang harus dipenuhi dalam berpoligami, yaitu:

1.    Pembagian nafkah lahir dan batin antara istri muda dan istri tua, yaitu terhadap istri yang baru (masih gadis) dinikahi diberikan waktu luang untuk lebih mengenal secara intim maupun personal suaminya. Sedangkan bagi istri yang sebelumnya juga pernah menikah atau janda hal itu tidak perlu dilakukan karena mengingat telah ada pengalaman sebelumnya (Al-Husain Ibnu Mas�ud al-Bagawi, 1973). Setelah selesai tujuh hari setelah pernikahan berlangsung, maka suami wajib kembali untuk membagi waktunya bergilir kepada istri-istri yang lain.

2.    Giliran terhadap para istri, yaitu seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu alangkah baiknya membagi waktu bergilir secara adil terhadap istri-istrinya agar tidak ada kecemburuan sosial diantara para istrinya. Maka dari itu, metode yang paling sederhana juga sering digunakan adalah metode undian (quru�ah) dan pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Seperti pendapat sebagian ulama, salah satu cara yang bisa dilakukan dalam menentukan pilihan suami yaitu dengan menulis angka pada kertas untuk dijadikan undian oleh para istrinya.

Sejalan dengan keadilan menurut Hukum Islam di atas, beberapa keluarga yang berpoligami di Dusun Batu Goleng justru melupakan keadilan tersebut. Dibuktikan dengan ketidaksanggupan memenuhi kebutuhan kasih sayang, maupun dari segi materi bisa disebut masih sangat minim atau kekurangan. Contoh keluarga yang berpoligami yaitu bapak Jumadil yang menikahi istri keduanya dan berhutang mahar kepada istri keduanya tersebut. Dengan demikian, Pak Jumadil melakukan poligami hanya memenuhi syarat pernikahan bukan semata-mata membantu dan menolong seorang yatim atau janda seperti yang telah disebutkan di dalam Qur�an Surah An-Nisa� ayat 128. Setelah menikahi istri keduanya bapak Jumadil memilih pergi merantau untuk menafkahi istri-istri dan anak-anaknya walaupun diketahui istri-istrinya tidak mendapatkan nafkah yang cukup dari segi materi. Maka dari itu, beberapa keluarga yang berpoligami Di Dusun Batu Goleng belum mencapai keadilan dalam poligami dilihat dari kekurangan-kekurangan yang dirasakan oleh para istri-istri dan anak-anaknya. Dalam hal ini, maka alangkah baiknya sebelum melakukan poligami seorang suami yang akan beristri lebih dari satu harusnya memperhatikan alasan-alasan utama pembolehan poligami, yaitu:

Pertama, syarat-syarat dan prosedur yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang, syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila hendak berpoligami yaitu pasal 4 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan.�

Lalu, syarat poligami menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:

Adanya persetujuan dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka�.

Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5, yaitu di pasal 4 menyebutkan persyaratan alternatif yang dimana jika salah satu syarat harus terpenuhi sehingga dapat mengajukan permohonan poligami ke pengadilan. Sedangkan pasal 5 yaitu persyaratan kumulatif yang keseluruhannya harus terpenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami (Amiur Nuruddin, 2004). Sesuai dengan praktek poligami di Dusun Batu Goleng, tidak ada yang mencapai sempurna dalam melakukan prosedur poligami karena tidak ada yang mencatatkan pernikahan keduanya ke KUA atau meminta izin ke Pengadilan Agama sekalipun mendapatkan persetujuan dari istri-istrinya. Sehingga hal ini dapat dikatakan perselingkuhan bukan poligami secara prosedural.

Kedua, ketentuan yang ada di dalam agama. Riffat Hassan melihat izin poligami dalam QS. An-Nisa (4):3, maupun dari teladan Rasulullah Muhammad SAW, sesungguhnya sangat berkaitan dengan masalah penyantunan anak yatim. Quraish Shihab memandang poligami ibarat pintu darurat, sungguh-sungguh darurat hingga hanya boleh dibuka bila situasinya benar-benar emergency. Meski banyak lelaki menjadikan pintu darurat sebagai pintu biasa yang boleh dibuka kapan saja mereka ingin (Iriani Ambar, 2018).

Ketiga, ketentuan moral. Ketentuan moral dalam hal ini yaitu realitas sejarah yang terjadi pada masa kehidupan Rasulullah Saw, meningalkan bekas ketauladan yang sangat tinggi, bahwa kehidupan keluarga yang sakinah sangat sulit dijalankan apabila melakukan perkawinan poligami. Rumah tangga yang baik hanya dapat menghasilkan kehidupan yang harmonis jika dirangkaikan dengan adanya keterbukaan dan saling memahami di antara suami-istri. Sementara itu, poligami merupakan praktik hidup sebuah keluarga yang cukup menyimpang. Beragam macam konflik yang mungkin kapan saja bisa terjadi. Tidak hanya dalam bentuk kehidupan sosial moral, namun sangat berimplikasi pada kehidupan sosial keagamaan. Artinya, bahwa apabila praktik perkawinan secara poligami dilakukan maka pihak suami-istri harus menanggung beban yang mungkin saja berdampak negatif dalam kehidupan sosialnya (Iriani Ambar, 2018).

 

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri-istri di Desa Tempos Dusun Batu Goleng cenderung memilih poligami karena takut akan stigma masyarakat terkait perceraian. Poligami ini seringkali lebih mirip perselingkuhan daripada pernikahan kedua yang diakui, terjadi akibat kehamilan di luar nikah atau kecelakaan. Meskipun para istri sebenarnya tidak menyukai poligami karena suami mereka tidak adil terhadap semua istri, keadaan memaksa mereka untuk menerima demi menghindari aib perceraian. Kurangnya pengetahuan tentang Hukum Islam di Desa Tempos Dusun Batu Goleng juga berkontribusi pada perilaku poligami yang tidak bertanggung jawab. Keadilan dalam poligami di Dusun Batu Goleng seringkali terabaikan, dengan keluarga poligami sering tidak mampu memenuhi kebutuhan kasih sayang dan materi. Beberapa suami bahkan gagal memberikan tempat tinggal yang layak. Penelitian menyoroti kurangnya persiapan dan pemahaman tentang syarat-syarat poligami, serta kebutuhan untuk memahami konsep keadilan, terutama dalam aspek material. Para ulama menekankan bahwa keadilan dalam poligami harus mencakup aspek material dan fisik, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar serta perlakuan yang adil terhadap semua istri. Oleh karena itu, sebelum melakukan poligami, penting untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang syarat-syarat dan konsep keadilan yang diatur oleh agama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 1, Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 1996

 

Afifudin, Beni Ahmad Saebani,Metedeologi Penelitian Kualitatif, Bandung; CV Pustaka Setia, 2012

 

Al-Husain Ibnu Mas�ud al-Bagawi, Syarhu al-Sunnah, Jilid IX, Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1973

 

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana-Prenademedia Group: Jakarta, 2004

 

Erik Pandapotan Simanullang, Representasi Dampak Poligami Bagi Istri dan Anak Dalam Film Athirah, JOM FISIP:2018, Vol.5 Edisi II,

 

H.M.A Tihami, Shoari Sahrani, Fikih Munakahat, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2014

 

Iriani Ambar, Menelisik Pesan Moral Di Balik Poligami (Deskripsi Historis Kehidupan Muhammad SAW. dan Implikasinya dalam Islam), Jurnal Al-Maiyyah Jan-Jun 2018, Vol.8 No.1

 

Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Pustaka Pelajar: Jakarta, 1996

 

Khoirudin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, Pustaka Pelajar: Jakarta, 1996

 

Lulu Baeeti Nurrahmah, Perempuan Dalam Pernikahan Poligami (Studi Kasus: Perempuan di Kampung Cibeber, Desa Cikahuripan, Kabupaten Bogor), Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015

 

M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana: Jakarta, 2014

 

Masnun, Hukum Perdata Islam Kontemporer di Indonesia, Sanabil: Mataram, 2016

 

Mushaf Al-Qur�an, Kementrian Agama Republik Indonesia

 

Nopi Yuliana, Dampak Poligami Terhadap Keharmonisan Keluarga (sudi kasus di desa Surabaya Udik Kecamatan Sukadana Kabupaten Lampung Timur), Skripsi: Fakultas Syariah IAIN Metro, Lampung, 2018

 

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta, 2021

 

Prima Amalia, Sikap Perempuan Muslim Terhadap Poligami (Studi Deskriptif), Skripsi: Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2007

 

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur�an Tafsir Tematik atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan: Jakarta, 2007

 

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur�an Tafsir Tematik atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan: Jakarta, 2007

 

S.C. Utami Munandar, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi Dari Bayi Sampai Lanjut Usia, UI Press: Jakarta, 2015

 

Siti Musda Mulia, Islam menggugat Poligami, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2004

 

Zakiah Darajat, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1985

 

Copyright holder:

Nabila Alya, Ahmad Muhasim, Hery Zarkasih (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: