Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022
RESPONS PARA ISTRI TERHADAP PRAKTEK KEADILAN DALAM PERILAKU
POLIGAMI SUAMI
Nabila Alya1*, Ahmad Muhasim2, Hery Zarkasih3
1*,2,3 Universitas
Islam Negeri Mataram, Indonesia
Email: 1*[email protected], 2[email protected], 3[email protected]
Abstrak
Penelitian
ini dilatarbelakangi oleh perhatian penulis yang melihat bagaimana kehidupan
para istri yang dipoligami Di Desa Tempos Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok
Barat. Poligami dikenal sebagai bentuk pernikahan yang banyak dilakukan mulai
dari zaman Rasulullah SAW hingga saat ini, poligami juga disinggung dalam
beberapa artikel dan berbagai jurnal dikarenakan para pelaku poligami
menyatakan jika perbuatan tersebut adalah Sunnah Rasulullah SAW yang �apabila
kita melakukannya kita termasuk kepada ummat yang taat�. Jenis penelitian ini
menggunakan qualitative research atau penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah metode observasi, wawancara dan dokumentasi, sedangkan teknik analisis
data yang digunakan yaitu analysis interaktive. Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui berbagai respon para istri yang dipoligami oleh suaminya namun
dalam keadaan tidak menguntungkan atau tidak ada keadilan di dalam bahtera
rumah tangganya, serta tujuan dari hasil penelitian ini berguna agar
menyadarkan para suami yang ingin berpoligami dengan besarnya tanggung jawab
dalam menjalankan syarat-syarat pra-poligami. Hasil penelitiannya menunjukkan poligami adalah suatu kebolehan
apabila memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang ada, bukan semata-mata
mengikuti hawa nafsu dan mengabaikan hak-hak istri dan anak yang sewajarnya
menjadi tanggung jawab dari suami yang sanggup untuk berpoligami. Selain itu,
konsep adil yang secara tegas dijelaskan oleh beberapa ulama dan Undang-Undang
Hukum Positif Di Indonesia menyangkut hal materil yang harus dipenuhi karena
untuk mewujudkan keadilan formil atau membagi kasih sayang dianggap sebagai hal
mustahil yang dapat memicu seseorang berbuat dosa kepada Allah SWT.
Kata Kunci: �Istri, Poligami, Keadilan, Hukum Islam.
Abstrack
This research was motivated by the
author's attention to seeing the lives of polygamous wives in Tempos Village,
Gerung District, West Lombok Regency. Polygamy is known as a form of marriage
that has been widely practiced since the time of Rasulullah SAW until now.
Polygamy is also mentioned in several articles and various journals because
polygamists state that this act is the Sunnah of Rasulullah SAW, which states
that "if we do it, we belong to an obedient community.". This
type of research uses qualitative research. The data collection methods used
were observation, interviews and documentation, while the data analysis
technique used was interactive analysis. The purpose of this research is to
find out the various responses of wives who are polygamous by their husbands
but in unfavorable circumstances or there is no justice in their household, and
the purpose of the results of this research is to make husbands who want to be
polygamous aware of the magnitude of responsibility in carrying out the
conditions. pre-polygamy conditions. The results of his research show that
polygamy is a capability if it fulfills the existing terms and conditions, not
merely following one's desires and ignoring the rights of the wife and children
which should naturally be the responsibility of the husband who is capable of
polygamy. Apart from that, the concept of justice which is explicitly explained
by several ulama and the Positive Law Law in Indonesia concerns material
matters that must be fulfilled because realizing formal justice or sharing love
is considered an impossible thing that can trigger someone to sin against Allah
SWT.
Keywords: Wife,
Polygamy, Justice, Islamic Law.
Pendahuluan
Di
dunia barat, salah satunya Negara Amerika, kebanyakan orang benci dan menentang
poligami. Sebagian besar bangsa-bangsa di sana menganggap bahwa poligami adalah
hasil dari perbuatan cabul dan oleh karenanya dianggap sebagai tindakan yang
tidak bermoral. Hal yang demikian sejak dulu bukan menjadi rahasia lagi, pada
tahun 1982 di tanah air kita mulai terdengar suara-suara yang menentang
poligami. Suara-suara ini, terutama datang dari organisasi-organisasi kaum
wanita di luar Islam, seperti �Putri Indonesia� dan lain-lain. Penentang
poligami itu sendiri juga tak segan-segan melemparkan fitnahan terhadap Islam
sebab barangkali menurut mereka Islam yang terutama dan yang pertama-tama
mengajarkan poligami itu (H.M.A Tihami, Shoari Sahrani, 2014).
Pada
dasarnya, Islam sangat memperhatikan hukum-hukum dari semua perilaku manusia
serta memberikan peringatan terhadap sesuatu yang melenceng dari peraturan
Al-Qur�an. Seperti hal nya poligami, kendati Allah SWT memberi peluang untuk beristri sampai empat orang, tetapi
peluang itu dibarengi oleh syarat-syarat yang sebenarnya cukup berat untuk
ditunaikan kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Allah SWT membarengi
kebolehan berpoligami dengan ungkapan �jika kamu takut atau cemas tidak akan
dapat berlaku adil maka kawinilah satu perempuan saja�. Firman Allah SWT
surah An-Nisa� ayat (3) tersebut selalu difahami sebagai dasar kebolehan
poligami. Secara implisit Al-Qur�an membolehkan
poligami, namun tidak menentukan persyaratan apapun secara tegas kecuali hanya
batasan 4 orang istri (H.M.A
Tihami, Shoari Sahrani, 2014).
Seperti
penuturan salah satu sumber data peneliti yang bernama Inak Munikem selaku
istri pertama dari Bapak Saum yang berpoligami di Desa Tempos Dusun Batu
Goleng, dia menjelaskan bahwa semenjak suaminya�
menikah dengan istri keduanya, pak Saum lebih sering tinggal di rumah
istri kedua dan memberikan perhatian lebih kepada anak-anak dari istri kedua
sehingga Inak Munikem merasa disisihkan dan diabaikan hak-hak anaknya (Munikem2022). Bukan hanya itu, Murni selaku istri kedua dari Amak Bao warga Desa
Tempos Dusun Batu Goleng, beliau menjelaskan bahwa suaminya menikahinya hanya
karena khilaf atau bukan karena mencintainya secara utuh. Dia menegaskan bahwa
suaminya tidak pernah membagi waktu secara bergilir untuk tidur dirumahnya
(secara bergantian dengan istri pertama), tidak terlalu memperhatikannya karena
sering dirumah istri pertama dan lebih mengenalkan istri pertama kepada
khalayak masyarakat (Murni,
2022).
Dari uraian dua respon istri Di Dusun
Batu Goleng Desa Tempos tersebut ditemukan perbedaan respon dalam permasalahan
orang yang dipoligami. Ada yang merasa jika suaminya lebih condong ke istri
yang lain sehingga memberikan fakta bahwa suaminya kurang adil, namun di satu
sisi ada yang merasa jika suaminya lebih memperhatikan istri pertama sehingga
alasan untuk pernikahan keduanya sekedar pelampiasan hasrat saja atau
menghindari cercaan atas kecelakaan yang telah diperbuat. Ini menunjukkan bahwa
para istri yang dipoligami Di Dusun Batu Goleng Desa Tempos memiliki
permasalahan yang berbeda berdasarkan dua respon istri-istri tersebut. Dapat
dilihat jika pasal 55 KHI yang menyatakan �mampu berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya� yang dalam artian keadilan berpoligami yaitu
dengan memperlakukan hal yang sama terhadap istri-istri dan anak-anaknya tanpa
mengistimewakan salah satunya, baik dari pemberian sandang, papan dan pangan
hingga membagi waktu gilir dalam pemenuhan hak bathiniyah. Senada dengan
pengertian pasal di atas yang belum diterapkan dengan benar,� sehingga bisa menimbulkan berbagai macam
dampak yang akan terjadi di dalam kehidupan poligami tersebut. Pada
Pelaksanaannya, walaupun poligami dinyatakan sesuatu yang sah dalam Hukum
Perkawinan di Indonesia dengan mengacu pada ayat-ayat Al-Qur�an yang dianggap
memberikan dasar hukum akan legalitas pelaksanaan poligami bagi umat Islam,
tidak begitu saja semua perempuan muslim di Indonesia mau untuk dipoligami.
Perempuan manapun pasti tidak akan mau untuk dipoligami, jika berpoligami sama
dengan keharusan untuk membagi kasih sayang dan nafkah suaminya dengan
perempuan lain yang selama ini hanya miliknya dan keluarganya sendiri. Apalagi
alasan berpoligami dikarenakan kecelakaan atau istri kedua yang hamil diluar
nikah, hal itu dapat disebut perselingkuhan. Namun dalam prakteknya tetap saja
banyak lelaki yang berani mengambil tindakan poligami walaupun tanpa
persetujuan istri pertama dan seterusnya.
Adapun beberapa karya ilmiah
terdahulu yang terkait dengan penelitian Peneliti adalah sebagai berikut (1) Penelitian
yang dilakukan oleh Nopi Yuliana yang berjudul �Dampak Poligami Terhadap
Keharmonisan Keluarga (studi kasus di Desa Surabaya Udik Kecamatan Sukadana
Kabupaten Lampung Timur)� dalam penelitian ini terdapat hasil bahwa poligami
terjadi di Desa Surabaya Udik memiliki dampak baik positif dalam keharmonisan
keluarga (Nopi Yuliana, 2018). Persamaan antara penelitian ini terlihat bahwa
sama-sama melihat dari dua sisi terhadap poligami, baik yang dianggap baik oleh
lingkungan maupun agama dan negara. Perbedaannya penelitian ini menekankan sisi
positif pernikahan poligami untuk mencapai keharmonisan keluarga, sedangkan
peneliti lebih menekankan dampak negatif dan positif yang terjadi di Dusun Batu
Goleng Desa Tempos. (2) Penelitian yang dilakukan oleh Lulu Baeti Nurrahmah
yang berjudul �Perempuan dalam Pernikahan Poligami (Studi Kasus: Perempuan di
Kampung Cibeber, Desa Cikahuripan, Kabupaten Bogor) (Lulu Baeeti Nurrahmah,
2015), persamaan penelitian ini sama-sama menelit perempuan yang di poligami
oleh suaminya baik yang berdampak buruk maupun bahagia. Sedangkan perbedaannya
jika penelitian ini terpaku pada perempuan yang berada pada ikatan pernikahan
poligami saja, namun peneliti mengambil dua pendapat yaitu perempuan yang
memilih pernikahan poligami serta perempuan yang memilih pernikahan monogami.
(3) Penelitian yang dilakukan oleh Prima Amalia yang berjudul �Sikap Perempuan
Muslim Terhadap Poligami (Studi Deskriptif)� (Prima Amalia, 2007),
persamaan penelitian ini sama-sama meneliti perihal perempuan yang di poligami
serta bagaimana pemikiran mereka terhadap perilaku poligami apabila dilakukan
oleh suaminya. Sedangkan perbedaannya ditekankan pada sikap perempuan muslim,
artinya penelitian ini tertuju pada perempuan muslim sedangkan peneliti tidak
membatasi hanya untuk satu golongan agama ataupun ras dan semacamnya, serta
peneliti menekankan kepada respon atau tanggapan.
Dari uraian di atas, peneliti lebih
menekankan kepada keadilan dalam poligami yang bersifat material bukan
immaterial, karena pada dasarnya adil dalam kecintaan sama halnya dengan
kecendrungan terhadap salah satu saja dan sulit untuk diterapkan. Berangat dari
hal di atas menjadi alasan peneliti akan menyusun artikel dengan judul �Respons Para Istri Terhadap Praktek Keadilan Dalam Perilaku
Poligami Suami (Studi Kasus Di Dusun Batu Goleng Desa
Tempos Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat)�.
Metode Penelitian
Dalam
penelitian ini, penulis mengambil metode penelitian kualitatif karena dianggap
berhubungan dengan masyarakat beserta tingkah lakunya. Selain itu, penulis
menggunakan pendekatan penelitian hukum yaitu pendekatan kasus (case
aprroach). Menurut Goodheart yang dikutip dalam buku Penelitian Hukum
karangan Dr. Peter Mahmud Marzuki,
�dalam menggunakan pendekatan kasus yang harus difahami
peneliti adalah ratio decidendi. Ratio decindendi dapat ditemukan dengan
memperhatikan fakta-fakta material�.
Fakta-fakta
materila tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya
asalkan tidak terbukti sebaliknya
(Peter Mahmud, 2021). Alasan peneliti memilih pendekatan
penelitian hukum Case Aprroach yaitu suatu peristiwa atau kasus
disebabkan karena faktor para pihak berpangkal dari fakta material (orang dan
wkatu) dalam membangun argumentasi guna meneguhkan posisi masing-masing atau
secara sederhananya karena penelitian ini menggunakan studi kasus yang dimana
peneliti lebih menekankan kepada penyelesaikan kasus serta yang
melatarbelakangi kasus tersebut.
Untuk
mendapatkan data yang relevan maka diperlukan data-data yang aktual yaitu
melalui:
1. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang
dilakukan melalui pengamatan, dengan disertai dengan pencatatan-pencatatan
yaitu berupa catatan-catatan langsung, yaitu dimana penulis secara langsung
mendatangi lokasi penelitian. Dalam hal ini peneliti menggunakan observasi
nonpartisipan, karena peneliti tidak ikut langsung atau menjadi salah satu dari
kejadian bahkan peristiwa yang akan diteliti, sehingga peneliti memilih untuk
meneliti dari hasil temuan-temuan di lapangan untuk mengumpulkan data-data tentang
situasi dan kondisi lokasi objek penelitian.
2. Wawancara
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan
mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara kepada responden, dan
jawaban-jawaban responden dicatat. Wawancara dapat dilakukan dengan menggunakan
pedoman wawancara atau dengan tanya jawab secara langsung. Menurut Patton dalam
proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara, interview
dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan
isu-isu yang harus diliputi tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin
tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Maka dalam penelitian ini peneliti
menggunakan wawancara yang tidak terstruktur untuk mengurangi kekakuan pada
waktu wawancara. Dalam hal ini yang menjadi instrumen peneliti atau beberapa
orang yang akan di wawancara yaitu para istri Di Desa Tempos (baik yang
dipoligami maupun yang tidak), keluarga atau kerabat istri yang di poligami,
Kepala Desa Tempos, Tokoh masyarakat, dan beberapa warga yang menyaksikan
peristiwa poligami tersebut.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode atau alat untuk mengumpulkan
data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
notulen, agenda dan sebagainya (Afifudin,
Beni Ahmad Saebani, 2012).
Hasil dan Pembahasan
A. Respon Para
Istri Terhadap Perilaku Suami yang Berpoligami di Dusun Batu Goleng Desa Tempos
Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat
Poligami adalah hal yang tidak tabu lagi dikalangan masyarakat masa kini,
melihat maraknya praktik poligami yang dilakukan menunjukkan bahwa perilaku
poligami memberikan dampak positif bagi orang yang melakukannya. Walaupun tidak
sedikit yang menentang perbuatan poligami, namun tetap saja masih banyak yang beranggapan
bahwa perilaku poligami adalah Sunnah Nabi yang wajar-wajar saja dilakukan.
Beberapa diantaranya warga Dusun Batu Goleng Desa Tempos yang melakukan praktik
poligami, sebagai berikut:
Tabel 2
Data Masyarakat Yang Berpoligami
Nama |
T. Tinggal |
Istri ke-1 |
Istri ke-2 |
Istri ke-3 |
Amak Bao |
D. Batu Goleng |
Masilah |
Suryati |
|
Jumadil Awal |
D. Batu Goleng |
Rawinah |
Rumidah |
|
Bapak Saum |
D. Batu Goleng |
Munikem |
Murni |
Sukarti |
Tuak Riok |
D. Batu Goleng |
Inak Kiki |
Rabiah |
|
Pada pelaksanaan poligami, tidak semua perempuan muslim di Indonesia mau
dengan begitu saja untuk di poligami. Perempuan manapun pasti tidak rela jika
berpoligami sama halnya dengan keharusan membagi kasih sayang dan nafkah
suaminya dengan perempuan lain yang selama ini hanya miliknya dan keluarganya
sendiri. Sebelumnya, penelitian dan wawancara ini terbatas di Dusun Batu
Goleng, Desa Tempos Kecamatan Gerung.
Sebelumnya,
para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari
seorang istri dengan istilah poligami yang berasal dari kata Polus
berarti banyak dan Gamos berarti perkawinan. Sedangkan bagi seorang
istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal
dari kata Polus yang berarti banyak dan Andros berarti laki-laki.
Jadi kata yang tepat bagi seorang lelaki yang mempunyai istri lebih dari
seorang dalam waktu bersamaan adalah poligami. Meskipun demikian, dalam
perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan
seorang lelaki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu bersamaan (Zakiah
Darajat, 1985).
1. Dasar
Hukum Pemberian Izin Poligami.
Jika perempuan dihadapkan dengan objek penelitian ini yaitu poligami, maka
respon mereka pun akan berbeda-beda antara istri yang satu dengan istri dari
yang lainnya. Sebagian dari mereka yang merespon positif dan tak sedikit pula
dari mereka yang merespon negatif. Perbedaan respon ini muncul disebabkan
beberapa alasan dan masalah yang ditemukan dalam poligami. Diantara yang paling
menonjol adalah dengan adanya pasal di dalam Undang-Undang Perkawinan No.1
Tahun 1974, yaitu pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan bahwa asas perkawinan
adalah monogami (menikahi satu orang saja), tetapi pengadilan juga memberikan
izin kepada suami boleh melakukan poligami apabila disetujui atau dikehendaki
oleh beberapa pihak yang bersangkutan suami dan istri (termaktub dalam
pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan).� Selain sebab-sebab di atas, juga
terdapat 2 syarat yang harus dipenuhi oleh suami jika hendak berpoligami untuk
menjadi syarat berpoligami yaitu adanya persetujuan istri pertama dan
seterusnya, dan adanya kepastian bahwa suami mampu berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya. Namun dalam prakteknya di Dusun Batu Goleng,
pernikahan poligami tidak sesuai dengan pasal 3 ayat (2) yang dimana pernikahan
tersebut terjadi atas dasar keterpaksaan serta tanpa izin istri pertama.
Perkawinan terutama di Indonesia akan dianggap sah apabila sudah memenuhi
syarat-syarat tertentu, yaitu kesesuaian ketentuan yang dimiliki oleh hukum
agama dari calon pengantin (suami istri harus
memiliki satu keyakinan). Bagi umat Islam
sendiri, para ulama kebanyakan berpendapat bahwa poligami diatur dalam
Al-Qur�an surat An-Nisa� ayat 3 yaitu:
وَاِنْ
خِفْتُمْ
اَلَّا
تُقْسِطُوْا
فِى الْيَتٰمٰى
فَانْكِحُوْا
مَا طَابَ
لَكُمْ مِّنَ
النِّسَاۤءِ
مَثْنٰى
وَثُلٰثَ
وَرُبٰعَ ۚ
فَاِنْ
خِفْتُمْ
اَلَّا
تَعْدِلُوْا
فَوَاحِدَةً
اَوْ مَا
مَلَكَتْ
اَيْمَانُكُمْ
ۗ ذٰلِكَ
اَدْنٰٓى
اَلَّا
تَعُوْلُوْاۗ
Artinya: �Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zalim.�
Penggalan ayat tersebut menunjukkan bahwa ummat Islam yang berjenis kelamin
laki-laki boleh menikahi hingga batas empat orang istri dalam waktu bersamaan
atau dalam kata lain boleh berpoligami, namun dengan syarat harus mampu berlaku
adil. Atas dasar hukum dalam Agama Islam itulah kemudian negara menggagas
Undang-Undang Perkawinan. Hal ini dilakukan karena diketahui bahwa perkawinan
adalah hal yang memiliki hubungan erat dengan masalah kerohanian atau
keagamaan, bukan memiliki unsur lahir/jasmani saja. Indonesia, yang bangsanya
memegang erat Pancasila yang di dalamnya terdapat KeTuhanan Yang Maha Esa
berada di atas segala-galanya, menempatkan perihal perkawinan pada posisi yang
memiliki kedudukan dan kekuatan hukum. Keharusan suami untuk berlaku adil dalam
segala hal terhadap istri-istri dan anak-anaknya dalam kehidupan berpoligami
juga dicantumkan dalam Qur�an Surah An-Nisa� ayat 3.
2. Alasan dan Syarat Pembolehan Poligami.
Menjalani praktik poligami diperlukan kesiapan fisik, psikis dari suami
istri serta seluruh pihak keluarga. Istri yang tidak bisa menerima kenyataan
bahwa suaminya telah berpoligami akan sering mengalami perubahan emosi, kadang
menjadi lebih sensitif, mudah marah, serta baperan yang ditandai dengan mudah
sedih dan sering curiga berlebihan (S.C. Utami Munandar, 2015). Selain itu, muncul perasaan negatif dalam diri istri terutama mengenai
tugas dan perannya sebagai istri dan ibu. Walaupun persetujuan istri bukan
termasuk syarat sah pernikahan poligami di dalam Hukum Islam tetapi menjadi
dasar utama di dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 pada pasal 5 ayat (1),
maka alangkah baiknya hal tersebut menjadi dasar pertimbangan� sebelum mengambil tindakan mencoba untuk
berpoligami. Kesiapan mental dan fisik dalam menjalani pernikahan poligami
bukan hanya dibutuhkan oleh pihak suami, tetapi kondisi istri dan anak-anak dan
keluarga yang baru dan lama perlu dipertimbangkan baik dari segi materi maupun
ruhiyah.
Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa
persaingan serta kecemburuan yang terjadi diantara para istri di dalam keluarga
yang poligami akan menimbulkan masalah emosional dan trauma berat bagi
anak-anaknya, anak-anak dari keluarga poligami memiliki resiko yang tinggi terhadap penyalahgunaan psikis
dan fisik. Anak-anak
yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua akan selalu
merasa tidak nyaman, merasa kehilangan tempat berlindung untuk dikemudian hari
mereka akan mengembangkan reaksi kompensantoris dalam bentuk dendam dan sikap
bermusuhan terhadap dunia luar (Erik Pandapotan Simanullang, 2018).
Adapun alasan-alasan yuridis yang memperbolehkan
poligami dalam pasal 4 ayat (2), diantaranya istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri. Sedangkan di Dusun Batu Goleng para istri yang
dipoligami mengatakan bahwa mereka sehat dari segi rohani dan jasmani, melayani
suaminya dengan memenuhi kebutuhan seperti membuatkan bekal untuk makan,
mencuci pakaian suami serta membersihkan rumah. Bukan hanya itu, para istri
yang dipoligami semua memiliki anak atau bisa memberikan keturunan sehingga
alasan untuk celah berpoligami sangat minim bahkan tidak ada.
Di samping alasan yuridis di atas, ada juga alasan
syariah yang harus diperhatikan. Salah satunya kecendrungan seksual lelaki yang
susah dikontrol sehingga membutuhkan penyaluran lebih. Bukan hanya itu, para
suami seringkali memberikan alasan bahwa pernikahan poligami adalah bentuk Sunnah Rasul dalam bentuk fi�liyah
(perbuatan). Sehingga hal itu menjadi tolak ukur para suami di Dusun Batu
Goleng melakukan poligami karena poligami bukanlah hal yang dilarang melainkan
hal yang dibolehkan. Namun, ada satu syarat yang sering dilupakan yaitu dapat
berlaku adil dalam artian dapat memenuhi segala bentuk kebutuhan istri-istri
baik dari segi materi hingga immaterial.
Banyak perempuan menolak untuk di poligami dengan
berbagai alasan yang dimiliki, namun tidak sedikit pula yang menerima konsep poligami di dalam keluarganya. Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa
alasan para istri di Dusun Batu Goleng Desa Tempos mau di poligami adalah:
a. Karena ketergantungan untuk pemenuhan
hak-hak yang bersifat materi seperti penyediaan sandang, pangan dan papan serta
kebutuhan perhatian suami untuknya dan anak-anaknya.
b.
Para istri mempunyai rasa takut terhadap stigma
yang buruk diberikan oleh masyarakat apabila terjadi perceraian yang akan
berdampak buruk pada perkembangan psikis dan fisik anak-anaknya.
c.
Keterpaksaan yang dirasakan oleh istri pertama
untuk melihat suaminya menikah lagi, walaupun berdampak buruk bagi kesehatan
mentalnya tetapi tetap saja dia tidak ingin anaknya merasakan kehilangan kasih
sayang seorang ayah.
Dari beberapa hal di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi para istri
memilih untuk di poligami, yaitu:
a. Faktor Ekonomi
Kebanyakan
para istri di Desa Tempos Dusun Batu Goleng lebih memilih dipoligami
dikarenakan takut perihal ekonomi sehingga menyebabkan penelantaran anak. Semua
ibu akan memilih memendam rasa sakitnya sendiri daripada harus melihat anaknya
menjadi korban dari kejahatan orangtuanya (anak broken home), sehingga apapun
hal yang berbau kepahitan akan ditelan oleh nya supaya tidak memberikan beban
kepada anak-anaknya. Ketakutan seorang ibu dilihat dari pemenuhan hak-hak
sekolah yang apabila ia memilih bercerai akan sulit baginya memberikan nafkah
cukup untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya.
b. Faktor Sosial
Lingkungan
sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya emosional seseorang, mulai dari timbulnya
rasa iri dengki hingga perlakuan kucil-mengucilkan masih banyak dilakukan di
khalayak masyarakat terutama di Desa Tempos Dusun Batu Goleng. Masyarakat di
sana sangat membenci yang namanya gelar janda,�
karena janda kerap dijadikan sebagai sasaran kebencian oleh masyarakat
dianggap dapat membawa kesialan bagi pernikahan mereka nantinya, sehingga dari
faktor tersebut para istri di Desa Tempos Dusun Batu Goleng lebih memilih untuk
dipoligami saja dibandingkan harus bercerai dan dikucilkan oleh masyarakat.
c. Faktor Agama
Lombok
diketahui memiliki mayoritas masyarakat yang beragama Islam, sehingga dikenal
dengan kata pulau seribu mesjid. Sehingga hukum yang sering dipakai adalah
hukum Islam kecuali di daerah-daerah yang khusus seperti kampung Hindu yang ada
di Desa Tempos dan selainnya. Seperti yang diketahui bahwa di dalam Islam
perihal poligami adalah perbuatan yang boleh dilakukan, bahkan kebolehan
tersebut dibatasi hingga menikahi empat orang perempuan bagi seorang lelaki.
Hal itu yang menyebabkan para lelaki di Desa Tempos Dusun Batu Goleng beranggapan untuk berpoligami, namun melupakan hal-hal terpentingnya
seperti syarat-syarat berpoligami dan sebagainya. Para lelaki atau para suami
hanya melihat sisi positif tanpa mengetahui sisi negatif nya, karena apabila
agama memperbolehkan maka itu adalah perbuatan baik.
Poligami dapat memberikan dampak psikologis pada istri, dampak yang
dimaksud adalah:
a �Istri akan merasa terganggu dan sakit hati apabila melihat suaminya menikah
dengan wanita lain lagi.
b �Akan terjadi konflik internal dari kedua belah pihak keluarga, bisa antara
sesama istri, istri dan anak tiri atau bahkan diantara anak-anak yang berbeda
ibu.
c �Akan timbul persaingan yang tidak sehat sesama istri. Hal itu dilakukan
hanya untuk mencari perhatian lebih dari suaminya, mereka akan berjuang
sedemikian rupa supaya menjadi yang paling menarik dan paling baik dihadapan
suaminya agar mendapatkan perhatian lebih dari suaminya. Permusuhan tersebut
terjadi karena kebiasaannya suami lebih memberikan perhatiannya kepada istri
muda (Siti
Musda Mulia, 2004).
d Timbulnya rasa dengki dan permusuhan
diantara para istri, biasanya hal ini terjadi karena suami lebih mencintai satu
istri dibandingkan dengan istri yang lain atau kurangnya keadilan dari suami.
e �Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena suaminya akan lebih
mencintai istri muda/baru. Perasaan ini dapat mengurangi dan mempengaruhi
kebahagiaan istri pertama.
B. Praktek
Keadilan dalam Perilaku Suami yang Berpoligami di Dusun Batu Goleng Desa Tempos Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok
Barat
Keadilan
berasal dari kata adil yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak
sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil tentunya mengandung
arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasari atas norma-norma objektif
bukan subjektif (M. Agus Santoso, 2014). Adil: al-�adl berarti mempersamakan sesuatu dengan yang
lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu
menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti
berpihak atau berpegang kepada kebenaran. Keadilan lebih dititikberatkan pada
pengertian meletakkan sesuatu pada tempatnya. Ibn Qudamah ahli fikih Mazhab
Hanbali mengatakan bahwa keadilan semata-mata karena takut kepada Allah SWT.
Jika keadilan telah tercapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam
selama belum ada dalil lain yang menentangnya. Dalam Alquran keadilan dapat
diucapkan dengan al-�adalah dan al-wasth. Hal tersebut merupakan
rangkaian makna bahwa untuk menciptakan al-�adl harus dibantu oleh al-wasath
yaitu tengah-tengah/perpaduan antara semua bentuk keadilan. Allah Swt
menurunkan syariatnya dalam rangka menyeimbangkan struktur kehidupan manusia, menegakan
keadilan dalam kehidupan manusia. Tidak ada satu pun syariat Allah SWT yang
tidak mengindikasikan keadilan di dalamnya (Abdul Azis Dahlan, 1996).
Berlaku adil
sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang,
termasuk hak asasi wajib diperlakukan secara adil. Hak dan kewajiban terkait
pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak
menerimanya. Oleh karena itu hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara
adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya. Keadilan ini
sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Q.S 4:58 yang berbunyi:
اِنَّ
اللّٰهَ
يَأْمُرُكُمْ
اَنْ تُؤَدُّوا
الْاَمٰنٰتِ
اِلٰٓى
اَهْلِهَاۙ
وَاِذَا
حَكَمْتُمْ
بَيْنَ
النَّاسِ
اَنْ تَحْكُمُوْا
بِالْعَدْلِ
ۗ اِنَّ
اللّٰهَ
نِعِمَّا
يَعِظُكُمْ
بِهٖ ۗ اِنَّ
اللّٰهَ
كَانَ
سَمِيْعًاۢ
بَصِيْرًا
Artinya: �Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.�
Selanjutnya dalam Q.S AL-Maidah ayat
(8) yang berbunyi:
يَا
أَيُّهَا
الَّذِينَ
آمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ
لِلَّهِ
شُهَدَاءَ
بِالْقِسْطِ
ۖ وَلَا
يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ
قَوْمٍ
عَلَىٰ
أَلَّا
تَعْدِلُوا ۚ
اعْدِلُوا
هُوَ
أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَىٰ
ۖ وَاتَّقُوا
اللَّهَ ۚ
إِنَّ
اللَّهَ خَبِيرٌ
بِمَا
تَعْمَلُون
Artinya:�Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.�
Disambung lagi pada QS. An-Nisa� ayat (129) yang berbunyi:
وَلَنْ
تَسْتَطِيْعُوْٓا
اَنْ
تَعْدِلُوْا
بَيْنَ
النِّسَاۤءِ
وَلَوْ
حَرَصْتُمْ فَلَا
تَمِيْلُوْا
كُلَّ
الْمَيْلِ
فَتَذَرُوْهَا
كَالْمُعَلَّقَةِ
ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا
وَتَتَّقُوْا
فَاِنَّ
اللّٰهَ كَانَ
غَفُوْرًا
رَّحِيْمًا
Artinya:�Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara
istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.�
Persyaratan
adil dalam berpoligami yang disebutkan pada ayat Al-Qur�an tersebut lebih
diartikan kepada pengertian secara kuantitatif, seperti adil dalam hal-hal yang
bersifat material yaitu pakaian, tempat tinggal dan giliran waktu. Keadilan tersebut
tampak dalam aturan-aturan fikih maupun Undang-Undang Negara mengenai poligami,
contoh seperti membagi rezeki harus secara merata kepada istri-istri yang
dinikahi dan sebagainya.
Quraish Shihab menyatakan bahwa keadilan
yang disyariatkan oleh agama meliputi keadilan dari segi material atau yang
tampak saja (Quraish Shihab, 2007). Dalam bukunya
Prof. Dr. H. Masnun Thahir, M.Ag disebutkan jika keadilan memang telah
disadari secara kolektif menjadi fase di dalam kehidupan. Ia laksana ruh yang
memberi nafas dan energi bagi terwujudnya sebuah kehidupan yang manusiawi dan
demokratis. Oleh sebab itu tidak ada satupun agama yang terlahir ke dunia mengajarkan
ketidak-adilan. Di dalam Islam konsep keadilan yaitu mencari motif yang paling
dalam seperti perbuatan itu ditentukan dilihat dari niat si pelaku (Masnun,
2016).
Imam Syafi�i mensyaratkan keadilan
diantara para istri, menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik
seperti mengunjungi istri di malam atau siang hari (Khoirudin Nasution, 1996).
Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh sedikit tidaknya harus
memiliki syarat yang harus dipenuhi yaitu, kemampuan dana pemenuhan sandang
pangan dan papan serta memiliki sifat adil dalam memperlakukan seluruh
istrinya. Para ulama Fiqh lebih sering memahami keadilan dalam arti kuantitatif
yang bisa di ukur dengan angka-angka. Dengan kata lain, adil dalam hal ini
dikehendaki bersifat material. Implikasinya poligami mudah dilakukan dan
menjadi sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari tanpa merasa
terbebani akan tanggung jawab sedikitpun.
Dalam konteks KHI, pemberlakuan adil
dalam berpoligami harus dibuktikan di depan pengadilan. Maka dari itu seorang
suami yang hendak berpoligami harus mampu untuk membuktikan bahwa dirinya
sanggup dan adalah seorang yang akan berlaku adil hingga akhir pernikahan
poligaminya. Oleh karena itu, di dalam Islam ditekankan untuk seorang suami
untuk tidak boleh merasa lebih cenderung atau condong cinta kepada salah
seorang istrinya, karena hal itu dapat menimbulkan kecemburuan serta sakit hati
baginya. Ditinjau dari pandangan Al-Qur�an, bahwa poligami tidak hanya dilihat
dari segi baik atau buruknya, tetapi juga dilihat dari penetapan hukum dan
kondisi yang akan terjadi kedepannya. Sehingga wajar-wajar saja apabila
perundang-undangan maupun agama memberikan cakupan secara universal dalam
pemberlakuan hukum yang mengatur perihal keadilan berpoligami.
Adapun keadilan menurut Hukum Islam
yang harus dipenuhi dalam berpoligami, yaitu:
1. Pembagian
nafkah lahir dan batin antara istri muda dan istri tua, yaitu terhadap istri
yang baru (masih gadis) dinikahi diberikan waktu luang untuk lebih mengenal
secara intim maupun personal suaminya. Sedangkan bagi istri yang sebelumnya
juga pernah menikah atau janda hal itu tidak perlu dilakukan karena mengingat
telah ada pengalaman sebelumnya (Al-Husain Ibnu Mas�ud al-Bagawi, 1973).
Setelah selesai tujuh hari setelah pernikahan berlangsung, maka suami wajib
kembali untuk membagi waktunya bergilir kepada istri-istri yang lain.
2. Giliran terhadap para istri, yaitu seorang suami yang
memiliki istri lebih dari satu alangkah baiknya membagi waktu bergilir secara
adil terhadap istri-istrinya agar tidak ada kecemburuan sosial diantara para
istrinya. Maka dari itu, metode yang paling sederhana juga
sering digunakan adalah metode undian (quru�ah) dan pernah dicontohkan
oleh Rasulullah SAW. Seperti pendapat sebagian ulama, salah satu cara yang bisa
dilakukan dalam menentukan pilihan suami yaitu dengan menulis angka pada kertas
untuk dijadikan undian oleh para istrinya.
Sejalan dengan keadilan menurut Hukum
Islam di atas, beberapa keluarga yang berpoligami di Dusun Batu Goleng justru
melupakan keadilan tersebut. Dibuktikan dengan ketidaksanggupan memenuhi
kebutuhan kasih sayang, maupun dari segi materi bisa disebut masih sangat minim
atau kekurangan. Contoh keluarga yang berpoligami yaitu bapak Jumadil yang
menikahi istri keduanya dan berhutang mahar kepada istri keduanya tersebut.
Dengan demikian, Pak Jumadil melakukan poligami hanya memenuhi syarat
pernikahan bukan semata-mata membantu dan menolong seorang yatim atau janda
seperti yang telah disebutkan di dalam Qur�an Surah An-Nisa� ayat 128. Setelah
menikahi istri keduanya bapak Jumadil memilih pergi merantau untuk menafkahi
istri-istri dan anak-anaknya walaupun diketahui istri-istrinya tidak
mendapatkan nafkah yang cukup dari segi materi. Maka dari itu, beberapa
keluarga yang berpoligami Di Dusun Batu Goleng belum mencapai keadilan dalam
poligami dilihat dari kekurangan-kekurangan yang dirasakan oleh para
istri-istri dan anak-anaknya. Dalam hal ini, maka alangkah baiknya sebelum
melakukan poligami seorang suami yang akan beristri lebih dari satu harusnya
memperhatikan alasan-alasan utama pembolehan poligami, yaitu:
Pertama, syarat-syarat dan prosedur yang
sudah ditentukan oleh Undang-Undang, syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila
hendak berpoligami yaitu pasal 4 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut:
�Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia
wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan.�
Lalu, syarat poligami
menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan,
yaitu:
�Adanya
persetujuan dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami
akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka�.
Untuk membedakan persyaratan yang ada di
pasal 4 dan 5, yaitu di pasal 4 menyebutkan persyaratan alternatif yang dimana
jika salah satu syarat harus terpenuhi sehingga dapat mengajukan permohonan
poligami ke pengadilan. Sedangkan pasal 5 yaitu persyaratan kumulatif yang
keseluruhannya harus terpenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami (Amiur
Nuruddin, 2004). Sesuai dengan praktek poligami di Dusun
Batu Goleng, tidak ada yang mencapai sempurna dalam melakukan prosedur poligami
karena tidak ada yang mencatatkan pernikahan keduanya ke KUA atau meminta izin
ke Pengadilan Agama sekalipun mendapatkan persetujuan dari istri-istrinya.
Sehingga hal ini dapat dikatakan perselingkuhan bukan poligami secara
prosedural.
Kedua, ketentuan yang ada di dalam agama. Riffat Hassan melihat izin poligami dalam QS. An-Nisa (4):3, maupun
dari teladan Rasulullah Muhammad SAW, sesungguhnya sangat berkaitan dengan
masalah penyantunan anak yatim. Quraish Shihab memandang poligami ibarat pintu
darurat, sungguh-sungguh darurat hingga hanya boleh dibuka bila situasinya
benar-benar emergency. Meski banyak lelaki menjadikan pintu darurat
sebagai pintu biasa yang boleh dibuka kapan saja mereka ingin (Iriani Ambar, 2018).
Ketiga, ketentuan moral. Ketentuan
moral dalam hal ini yaitu realitas
sejarah yang terjadi pada masa kehidupan Rasulullah Saw, meningalkan bekas
ketauladan yang sangat tinggi, bahwa kehidupan keluarga yang sakinah sangat
sulit dijalankan apabila melakukan perkawinan poligami. Rumah tangga yang baik
hanya dapat menghasilkan kehidupan yang harmonis jika dirangkaikan dengan
adanya keterbukaan dan saling memahami di antara suami-istri. Sementara itu,
poligami merupakan praktik hidup sebuah keluarga yang cukup menyimpang. Beragam
macam konflik yang mungkin kapan saja bisa terjadi. Tidak hanya dalam bentuk
kehidupan sosial moral, namun sangat berimplikasi pada kehidupan sosial
keagamaan. Artinya, bahwa apabila praktik perkawinan secara poligami dilakukan maka
pihak suami-istri harus menanggung beban yang mungkin saja berdampak negatif
dalam kehidupan sosialnya (Iriani Ambar, 2018).
Kesimpulan
�Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri-istri
di Desa Tempos Dusun Batu Goleng cenderung memilih poligami karena takut akan
stigma masyarakat terkait perceraian. Poligami ini seringkali lebih mirip
perselingkuhan daripada pernikahan kedua yang diakui, terjadi akibat kehamilan
di luar nikah atau kecelakaan. Meskipun para istri sebenarnya tidak menyukai
poligami karena suami mereka tidak adil terhadap semua istri, keadaan memaksa
mereka untuk menerima demi menghindari aib perceraian. Kurangnya pengetahuan
tentang Hukum Islam di Desa Tempos Dusun Batu Goleng juga berkontribusi pada
perilaku poligami yang tidak bertanggung jawab. Keadilan dalam poligami di
Dusun Batu Goleng seringkali terabaikan, dengan keluarga poligami sering tidak
mampu memenuhi kebutuhan kasih sayang dan materi. Beberapa suami bahkan gagal
memberikan tempat tinggal yang layak. Penelitian menyoroti kurangnya persiapan
dan pemahaman tentang syarat-syarat poligami, serta kebutuhan untuk memahami
konsep keadilan, terutama dalam aspek material. Para ulama menekankan bahwa
keadilan dalam poligami harus mencakup aspek material dan fisik, termasuk
pemenuhan kebutuhan dasar serta perlakuan yang adil terhadap semua istri. Oleh
karena itu, sebelum melakukan poligami, penting untuk mendapatkan pemahaman
yang mendalam tentang syarat-syarat dan konsep keadilan yang diatur oleh agama.
BIBLIOGRAFI
Abdul Azis
Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 1, Ichtiar Baru Van Hoeve:
Jakarta, 1996
Afifudin, Beni Ahmad Saebani,� Metedeologi Penelitian Kualitatif, Bandung;
CV Pustaka Setia, 2012
Al-Husain Ibnu
Mas�ud al-Bagawi, Syarhu al-Sunnah, Jilid IX, Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah,
1973
Amiur Nuruddin, Azhari
Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana-Prenademedia
Group: Jakarta, 2004
Erik Pandapotan
Simanullang, Representasi Dampak Poligami Bagi Istri dan Anak Dalam Film
Athirah, JOM FISIP:2018, Vol.5 Edisi II,
H.M.A Tihami, Shoari Sahrani, Fikih
Munakahat, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2014
Iriani Ambar, Menelisik
Pesan Moral Di Balik Poligami (Deskripsi Historis Kehidupan Muhammad SAW. dan
Implikasinya dalam Islam), Jurnal Al-Maiyyah Jan-Jun 2018, Vol.8 No.1
Khoirudin
Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
Pustaka Pelajar: Jakarta, 1996
Khoirudin
Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
Pustaka Pelajar: Jakarta, 1996
Lulu Baeeti Nurrahmah, Perempuan
Dalam Pernikahan Poligami (Studi Kasus: Perempuan di Kampung Cibeber, Desa
Cikahuripan, Kabupaten Bogor), Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015
M. Agus
Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum,
Kencana: Jakarta, 2014
Masnun, Hukum
Perdata Islam Kontemporer di Indonesia, Sanabil: Mataram, 2016
Mushaf
Al-Qur�an, Kementrian Agama Republik Indonesia
Nopi Yuliana, Dampak Poligami
Terhadap Keharmonisan Keluarga (sudi kasus di desa Surabaya Udik Kecamatan
Sukadana Kabupaten Lampung Timur), Skripsi: Fakultas Syariah IAIN Metro,
Lampung, 2018
Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana: Jakarta, 2021
Prima Amalia, Sikap
Perempuan Muslim Terhadap Poligami (Studi Deskriptif), Skripsi: Fakultas
Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2007
Quraish Shihab,
Wawasan Al-Qur�an Tafsir Tematik atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan:
Jakarta, 2007
Quraish Shihab,
Wawasan Al-Qur�an Tafsir Tematik atas Berbagai Persoalan Umat, Mizan:
Jakarta, 2007
S.C. Utami
Munandar, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi Dari Bayi Sampai
Lanjut Usia, UI Press: Jakarta, 2015
Siti Musda
Mulia, Islam menggugat Poligami, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2004
Zakiah Darajat,
Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Copyright
holder: Nabila Alya, Ahmad Muhasim,
Hery Zarkasih (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |