Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022

 

KEPASTIAN HUKUM DIREKSI YANG MERANGKAP SEBAGAI PENDIRI PERSEROAN PERORANGAN DALAM MENINGKATKAN STATUS MENJADI PERSEROAN TERBATAS DI HADAPAN NOTARIS PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

 

Salma Syifaya Hilmansyah1*, Anita Afriana2, Purnama Trisnamansyah3

1*,2,3 Universitas Padjadjaran, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini membahas implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) terhadap ketentuan kecakapan hukum direksi yang merangkap sebagai pendiri Perseroan Perorangan. UUCK, yang diterapkan melalui metode omnibus law, menjadi sorotan dan perdebatan dalam masyarakat Indonesia. Fokus penelitian adalah pada Perseroan Perorangan yang merupakan konsep baru yang dihadirkan oleh UUCK, memberikan kemudahan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMK). Namun, terdapat ketidakpastian hukum terkait persyaratan pendirian, terutama dalam hal usia direksi yang berperan sebagai pendiri.

 

Kata Kunci: Implementasi UUCK, Perseroan Perorangan, Kecakapan Hukum Direksi

 

Abstract

This research discusses the implementation of the Job Creation Law (UUCK) regarding the legal competence requirements of directors who concurrently act as founders of Sole Proprietorship Companies. UUCK, implemented through the omnibus law method, has sparked debates in Indonesian society. The study focuses on Sole Proprietorship Companies, a new concept introduced by UUCK, providing convenience for Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs). However, there is legal uncertainty regarding the establishment requirements, especially the age of directors who play a crucial role as founders.

 

Keywords: UUCK Implementation, Sole Proprietorship Company, Legal Competence of Directors

 

 

 

Pendahuluan

Indonesia, sebagai negara kepulauan terluas di dunia, menduduki posisi strategis di antara Asia dan Australia, dengan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sebagai batas-batasnya. Lokasi geografis yang unik ini menempatkan Indonesia sebagai titik persilangan perdagangan dan jalur maritim global, memfasilitasi pembangunan ekonomi yang pesat selama bertahun-tahun.

Pembangunan ekonomi di Indonesia adalah suatu proses dinamis yang melibatkan peningkatan pendapatan total dan pendapatan per kapita, disertai dengan perubahan struktural yang signifikan dalam perekonomian dan distribusi kekayaan yang merata. Upaya pencapaian kemajuan ekonomi ini menjadi krusial untuk mengatasi tantangan terkait kesejahteraan ekonomi dan memajukan kesejahteraan bagi populasi yang beragam.

Perdagangan muncul sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, memberikan kontribusi dalam meningkatkan produksi, menciptakan lapangan kerja, memperluas ekspor dan devisa, serta memperkuat daya saing produk domestik. Yang patut dicatat adalah peran usaha mikro dan kecil, yang semakin berkembang, terutama selama pandemi COVID-19.

Lanskap legislatif di Indonesia mengalami perkembangan signifikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) pada tahun 2020. UU ini membentuk entitas hukum baru yang disebut Perseroan Perorangan. Struktur hukum inovatif ini memungkinkan pendirian perusahaan dengan satu pemegang saham yang dipimpin oleh seorang Direksi, menunjukkan adaptabilitas terhadap kebutuhan ekonomi yang terus berubah.

Kriteria pendirian Perseroan Perorangan, yang diuraikan dalam Pasal 153(A) hingga Pasal 153(J) UUCK, menetapkan pemenuhan kriteria usaha mikro dan kecil (UMK) serta izin pendirian oleh satu individu. Subjektivitas hukum tetap terjaga, bahkan jika didirikan oleh satu individu saja, mencerminkan sifat inklusif entitas hukum di Indonesia.

Kriteria modal UMK, sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021, sangat penting untuk pendirian Perseroan Perorangan. Usaha mikro ditandai oleh batas modal IDR 1 miliar, tanpa termasuk aset tanah dan bangunan, sedangkan usaha kecil memiliki modal dari lebih dari IDR 1 miliar hingga maksimal IDR 5 miliar, tanpa termasuk aset tanah dan bangunan.

Persyaratan usia minimum untuk kapasitas hukum dalam mendirikan Perseroan Perorangan, sebagaimana ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021, adalah 17 tahun. Persyaratan usia ini, yang unik untuk Perseroan Perorangan, berbeda dari regulasi hukum lainnya, menimbulkan potensi tantangan bagi individu yang menjadi Direksi dan pendiri dari entitas tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri validitas hukum dari Direksi yang pada saat bersamaan berperan sebagai pendiri Perseroan Perorangan yang belum berusia 18 tahun. Penelitian ini berakar pada prinsip kepastian hukum, dengan tujuan mengidentifikasi ketidakpastian dan mengusulkan solusi bagi Direksi dan pendiri yang menjalani proses peningkatan status Perseroan Perorangan menjadi Perseroan Terbatas di hadapan seorang Notaris.

Meskipun penelitian sebelumnya telah menggali kepastian hukum dan konsekuensinya bagi Direksi dalam skenario serupa, belum ada penelitian khusus yang membahas validitas hukum dari Direksi di bawah usia 18 tahun yang mendirikan Perseroan Perorangan dan kemudian mengonversinya menjadi Perseroan Terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan tersebut dan memberikan kontribusi pada pemahaman mengenai kompleksitas hukum dalam lanskap ekonomi dan hukum Indonesia yang terus berkembang.

Penelitian ini dapat ditempatkan dalam konteks beberapa penelitian terdahulu yang serupa. Sebagai contoh, penelitian oleh Amalina Nurwidria Rini dari Universitas Gadjah Mada yang membahas pertanggungjawaban pengurus PT yang didirikan oleh suami-istri bersama anak di bawah umur, memiliki persamaan dengan penelitian ini dalam mengulas kecakapan hukum Direksi yang merangkap sebagai pendiri Perseroan Perorangan yang belum mencapai usia 18 tahun dalam meningkatkan statusnya menjadi PT di hadapan Notaris. Selain itu, penelitian oleh Indah Siti Aprilia dari Universitas Indonesia mengenai aspek hukum pemegang saham dalam perseroan dengan satu pemegang saham (single shareholder) memberikan perspektif yang sejalan dengan penelitian ini, terutama dalam konteks pengaturan Perseroan Perorangan pasca berlakunya UUCK. Selanjutnya, penelitian oleh Saka Negara dari Universitas Islam Indonesia tentang implikasi hukum Perseroan Perorangan sebagai Perseroan setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga memberikan pemahaman yang relevan, khususnya terkait regulasi Perseroan Perorangan pasca-UUCK.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) terhadap kecakapan hukum seorang Direksi yang merangkap sebagai pendiri Perseroan Perorangan dan dampaknya dalam meningkatkan status menjadi Perseroan Terbatas (PT), dengan mempertimbangkan aspek kepastian hukum. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi upaya praktis yang dapat diambil oleh Direksi untuk mengatasi potensi ketidakpastian hukum pasca berlakunya UUCK, dengan merujuk pada Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi teoretis dalam bidang hukum perusahaan dan praktis bagi Notaris serta memberikan masukan kepada pemerintah terkait kebutuhan akan kepastian hukum dalam konteks Direksi yang merangkap sebagai pendiri Perseroan Perorangan.

Dalam kerangka pemikiran ini, manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia. Masyarakat, sebagai unsur utama negara, di Indonesia diatur dalam konteks negara hukum sesuai dengan UUD 1945. Suatu negara hukum memberlakukan pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan, dengan prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tujuan utama. Fokus pada kepastian hukum menjadi penting, yang diartikan sebagai kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. Konsep ini melibatkan keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam sistem hukum.

Dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) diharapkan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, khususnya melalui Usaha Mikro Kecil (UMK). Dalam hal ini, Perseroan Perorangan menjadi inovasi baru yang dapat didirikan oleh WNI dengan modal yang terbatas. Namun, perbedaan usia minimal pendiri Perseroan Perorangan dengan batas usia cakap hukum yang berlaku menimbulkan potensi kendala dalam meningkatkan statusnya menjadi Perseroan Terbatas (PT). Oleh karena itu, penelitian ini akan mempertimbangkan aspek-aspek hukum yang relevan dalam peningkatan status Perseroan Perorangan menjadi PT.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif yang melibatkan analisis terhadap asas-asas hukum, norma, dan kaidah-kaidah hukum. Pendekatan ini mencakup aspek yuridis dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, seperti UUD 1945, KUHPerdata, KUHD, dan lainnya. Penelitian bersifat deskriptif analitis dengan tujuan memberikan gambaran menyeluruh tentang keabsahan Direksi yang merangkap sebagai pendiri Perseroan Perorangan. Tahapan penelitian terdiri dari penelitian kepustakaan yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, serta penelitian lapangan dengan wawancara kepada narasumber seperti Notaris dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Metode analisis data yang digunakan adalah yuridis kualitatif, dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan, hierarki peraturan, dan mencari kepastian hukum dalam masyarakat. Lokasi penelitian mencakup perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja dan Center of Information Scientific Resource and Library (CISRAL) Universitas Padjadjaran untuk penelitian kepustakaan, serta kantor Notaris di Kota Bandung dan Cimahi, serta Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Barat untuk penelitian lapangan.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Implementasi UUCK Terhadap Ketentuan Mengenai Kecakapan Hukum Direksi yang Merangkap Sebagai Pendiri Perseroan Perorangan dalam Meningkatkan Status Menjadi PT Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum

UUCK merupakan sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan menjadi 1 (satu) undang-undang dengan tujuan untuk merevisi beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus. Metode tersebut disebut dengan omnibus law.

Perdebatan mengenai omnibus law sebagai sarana utama untuk penataan regulasi meramaikan masyarakat di Indonesia. Metode omnibus law sebelumnya tidak banyak dikenal di negara-negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental khususnya Indonesia, digunakan dalam penyusunan Rancangan Undang−Undang (RUU) yang menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2020. Kebijakan reformasi regulasi melalui implementasi omnibus law di Indonesia, tentu bukan sebuah hal yang gegabah dilakukan pemerintah (Osgar & Wafda, 2022).

Metode ini biasanya disebut sebagai undang-undang sapu jagat karena mampu mengganti beberapa norma undang-undang dalam satu peraturan. Selain itu, metode ini juga dijadikan misi untuk memangkas beberapa norma yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan merugikan kepentingan negara (Dwi Kusumo Wardhani, 2020).

Terdapat banyak kemudahan yang terdapat dalam UUCK yang dibentuk dengan metode omnibus law tersebut, diantaranya ialah kemudahan yang menguntungkan UMK. Selain itu, kehadiran UUCK mampu mempermudah serta mempersingkat proses perizinan, pembayaran pajak usaha serta regulasi mengenai pembayaran gaji karyawan UMK.

Hal tersebut sesuai dengan tujuan diundangkannya UUCK yaitu meningkatkan pembangunan ekonomi bagi masyarakat Indonesia. UUCK menghadirkan konsep perseroan baru yaitu Perseroan Perorangan yang didalamnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai Perseroan Perorangan yang berbeda dengan ketentuan mengenai PT yang sudah diatur sebelumnya dalam UUPT. Kehadiran Perseroan Perorangan salah satunya ditujukan untuk memudahkan para pelaku UMK dalam mengembangkan usahanya.

Perseroan Perorangan merupakan badan hukum baru yang ada sejak diundangkannya UUCK pada tahun 2020 silam. Ketentuan mengenai Perseroan Perorangan diatur dalam Pasal 153 (A) hingga Pasal 153 (J) UUCK. Terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa Perseroan Perorangan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu diantaranya yang tercantum dalam Pasal 153 (A) UUCK. Pasal tersebut menyebutkan Perseroan Perorangan haruslah memenuhi kriteria UMK serta dapat didirikan oleh 1 (satu) orang saja atau satu pemegang saham (single shareholder). Meskipun hanya didirikan oleh 1 (satu) orang, Perseroan Perorangan merupakan subjek hukum.

Suatu subjek hukum memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatannya sendiri. Subjek hukum terdiri dari orang dan badan hukum. Perseroan Perorangan termasuk dalam klasifikasi badan usaha berbadan hukum yang dapat memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatannya sendiri layaknya orang.

Perseroan Perorangan sebagai badan usaha berbadan hukum memiliki harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari harta pribadi para pendiri serta para pengurusnya. Sehingga, apabila terjadi pailit maka para pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan Perorangan melebihi saham yang dimilikinya sebagaimana diterangkan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT.

Meskipun ketentuan mengenai Perseroan Perorangan juga terdapat dalam UUPT, tetapi terdapat beberapa perbedaan utama diantara keduanya. Perbedaan pertama ialah suatu Perseroan Perorangan haruslah memenuhi kriteria UMK sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 153 (A) UUCK, yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 7 Tahun 2021. Kedua, ialah perbedaan dalam pendiriannya, Perseroan Perorangan dapat didirikan tanpa pernyataan pendirian tersebut dituangkan dalam akta Notaris. Ketiga, ialah perbedaan terkait batas usia paling rendah dalam mendirikan Perseroan Perorangan dan PT. Perbedaan selanjutnya ialah perbedaan terkait organ-organnya. Perseroan Perorangan Harus Termasuk dalam Kriteria UMK

Kriteria UMK sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 153 (A) UUCK diatur lebih lanjut dalam PP No. 7 Tahun 2021. Pasal 35 ayat (1) PP No. 7 Tahun 2021 menjelaskan mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan. Kemudian dalam ayat (2) dijelaskan bahwa kriteria modal usaha sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk pendirian dan pendaftaran usaha. Ayat (3) menerangkan mengenai pengelompokkan UMK berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan, usaha mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, sedangkan usaha kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

1.    Perbedaan Persyaratan Pendirian Perseroan Perorangan dan PT

Perseroan Perorangan dapat didirikan berdasarkan pernyataan pendirian yang didaftarkan kepada Kemenkumham yang kemudian mendapat sertifikat pendaftaran secara elektronik sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (3) PP No. 8 Tahun 2021. Hal tersebut sangat berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPT terkait pendirian PT. Pasal 7 ayat (1) UUPT menerangkan PT Didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

2.    Perbedaan Usia Paling Rendah dalam Mendirikan Perseroan Perorangan dan PT

Perseroan Perorangan dapat didirikan oleh 1 (satu) orang pendiri dengan usia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun berdasarkan Pasal 6 ayat (1) PP No. 8 Tahun 2021, sedangkan PT didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan usia para pendiri tersebut sekurang-kurangnya telah mencapai 18 (delapan belas) tahun sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUJN. Ketentuan batas usia paling rendah pendiri PT merujuk kepada ketentuan UUJN karena salah satu syarat pendirian PT yaitu dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UUPT, sehingga para pendiri PT tersebut diharuskan telah mencapai usia paling rendah 18 (delapan belas) tahun untuk menghadap kepada Notaris.

3.    Perbedaan Organ Perseroan Perorangan dan PT

Perbedaan lainnya yang membedakan Perseroan Perorangan dengan PT ialah terkait organ-organ pengurus dalam suatu Perseroan Perorangan. Organ-organ PT diatur secara jelas dalam UUPT. Pasal 1 angka 4 hingga angka 6 UUPT menyebutkan suatu PT terdiri 3 (tiga) organ penting yaitu RUPS, Direksi dan Komisaris. Organ-organ dalam Perseroan Perorangan tidak diatur secara implisit, baik dalam ketentuan UUCK maupun dalam ketentuan PP No. 8 Tahun 2021.

Pasal 153 (D) ayat (1) UUCK menyebutkan Direksi untuk UMK dalam hal ini yaitu Direksi Perseroan Perorangan menjalankan pengurusan bagi kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dalam ayat (2) Pasal tersebut disebutkan bahwa Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat dalam batas yang ditentukan dalam UU ini dan/atau pernyataan pendirian perseroan. Kemudian mengenai kewajiban dari Direksi Perseroan Perorangan disebutkan dalam Pasal 153 (F) ayat (1) UUCK yang menjelaskan bahwa Direksi untuk UMK dalam hal ini yaitu Perseroan Perorangan harus membuat laporan keuangan dalam rangka mewujudkan Tata Kelola Perseroan yang baik.

Pasal 7 ayat (2) PP No. 8 Tahun 2021 menguraikan sebanyak 7 (tujuh) poin terkait format isian Pernyataan Pendirian Perseroan Perorangan yang didaftarkan secara elektronik kepada Kemenkumham. Diantara poin-poin dalam Pasal tersebut, terdapat 1 (satu) poin yang berkaitan dengan keberadaan organ dalam Perseroan Perorangan, yaitu huruf g yang menyebutkan bahwa organ dari Perseroan Perorangan hanya terdiri dari Direksi yang juga sekaligus menjadi pemegang saham dalam Perseroan Perorangan tersebut.

Selain yang tercantum dalam PP No. 8 Tahun 2021, ketentuan mengenai organ Perseroan Perorangan juga tercantum dalam Pasal 153 (G) ayat (1) UUCK yang menyebutkan bahwa RUPS dapat melakukan pembubaran perseroan untuk UMK dalam hal ini ialah Perseroan Perorangan yang dituangkan dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri. Uraian tersebut diatas menyimpulkan bahwa organ dalam Perseroan Perorangan hanya terdiri dari Direksi, RUPS dan pemegang saham saja.

Uraian tersebut di atas dapat menyimpulkan bahwa Direksi merupakan organ utama dalam Perseroan Perorangan. Pasal 7 ayat (2) huruf g menyebutkan bahwa Direksi juga merangkap sebagai pemegang saham Perseroan Perorangan. Hal ini disebabkan oleh organ PT dalam UUPT bersifat two tier system, sedangkan organ Perseroan Perorangan bersifat one tier system, yang mana organ Direksi dalam Perseroan Perorangan merangkap sebagai pemegang saham perseroan tanpa adanya organ Komisaris (Pangesti, 2021).

Adanya sistem pengurusan dalam suatu perusahaan yang bersifat one tier system dan two tier system sebenarnya berasal dari adanya sistem hukum yang berlaku di dunia, yakni sistem hukum Anglo Saxon dan sistem hukum Eropa Kontinental. One tier system merupakan sistem kepengurusan suatu perusahaan yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon. Pada one tier system selain adanya RUPS juga tetap adanya keanggotaan dewan Komisaris dan Direksi, dimana jabatan dewan Komisaris dapat merangkap jabatan Direksi sehingga disebut dengan board of director. Di lain pihak sistem hukum Eropa Kontinental mempergunakan two tiers system, dimana selain adanya RUPS juga terdapat 2 (dua) jabatan yang bersifat terpisah dari suatu perusahaan yakni jabatan Direksi dan Dewan Komisaris. Pada two tier system kekuasaan tertinggi berada pada RUPS yang dapat melakukan pengangkatan maupun pemberhentian terhadap Direksi dan Dewan Komisaris (Ridho & Aditya, 2013).

Apabila Perseroan Perorangan di Indonesia ini dikaitkan dengan one tier system yang dianut oleh negara dengan sistem Anglo Saxon, maka sebenarnya terdapat perbedaan yang sangat signifikan diantara keduanya. Pada negara dengan sistem Anglo Saxon yang menganut one tier system, pengurusan perusahaannya tetap mengenal adanya organ Direksi dan Dewan Komisaris, meskipun kedua organ tersebut kemudian dilakukan rangkap jabatan sebagaimana yang disebut dengan boards of director. Meski hanya dijabat oleh 1 (satu) orang, tetapi one tier system pada negara yang menganut sistem Anglo Saxon tetap mengakui adanya Dewan Komisaris. Hal ini sangat berbeda dengan one tier system yang dianut oleh Perseroan Perorangan di Indonesia sebagaimana ketentuan PP No. 8 Tahun 2021, dimana pemegang saham merangkap jabatan sebagai Direksi namun kemudian menghilangkan organ Dewan Komisaris secara serta merta, sehingga dengan dihilangkannya Dewan Komisaris maka menyebabkan organ Perseroan Perorangan tidak sesuai dengan organ PT pada umumnya (Putu & Kadek, 2021).

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa Direksi sebagai tolak ukur suatu Perseroan Perorangan. Hal tersebut dapat memberikan dampak yang positif yaitu dalam hal pengambilan keputusan berkaitan dengan kepentingan Perseroan Perorangan dapat menjadi lebih cepat karena Direksi tidak memerlukan persetujuan dari organ lainnya. Sedangkan, dampak negatifnya yaitu apabila Perseroan Perorangan tersebut sudah tidak memenuhi lagi kriteria UMK dan harus meningkatkan statusnya menjadi PT di hadapan Notaris. Direksi tersebut akan terkendala usia apabila pada saat itu ia belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sehingga tidak dapat menghadap Notaris untuk membuat Akta Pendirian PT.

Hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum terhadap Direksi tersebut karena eksistensinya menjadi bertentangan dengan beberapa ketentuan perundang-undangan terkait, diantaranya Pasal 9 ayat (1) huruf a PP No. 8 Tahun 2021 yang menyebutkan apabila terdapat lebih dari 1 (satu) pemegang saham maka Perseroan Perorangan harus mengubah status badan hukumnya menjadi PT dan Pasal 35 angka 3 huruf a dan b PP No. 7 Tahun 2021 yang menerangkan apabila Perseroan Perorangan telah memiliki modal usaha lebih dari Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) maka sudah tidak memenuhi kriteria UMK.

Meskipun cakap hukum berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) PP No. 8 Tahun 2021 tetapi Direksi tersebut tetap terbatas dalam melakukan perbuatan hukum tertentu karena belum mencapai usia minimal yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya, diantaranya tidak dapat menghadap kepada Notaris untuk melakukan peningkatan status Perseroan Perorangan menjadi PT. Sehingga, apabila dalam Perseroan Perorangan terdapat lebih dari 1 (satu) pemegang saham berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf a PP No. 8 Tahun 2021 dan Perorangan telah memiliki modal usaha lebih dari Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) berdasarkan Pasal 35 angka 3 huruf a dan b PP No. 7 Tahun 2021, Direksi tersebut tetap tidak dapat meningkatkan status Perseroan Perorangan menjadi PT dikarenakan salah satu syarat untuk menghadap Notaris ialah berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun sebagaimana dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUJN.

Ketentuan mengenai Perseroan Perorangan dalam UUCK serta peraturan turunannya yaitu PP No. 8 Tahun 2021 belum mewujudkan asas kepastian hukum. Salah satu wujud kepastian hukum ialah dalam hal terbentuknya suatu peraturan baru yang memberikan kemudahan bagi masyarakat serta tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang terdahulu, baik yang tingkatan hierarkinya lebih tinggi maupun yang yang tingkatan hierarkinya lebih rendah. Ketentuan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan yang terdahulu tersebut dapat mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum yang dapat berdampak pada adanya kekosongan hukum.

B.  Upaya yang Dapat Dilakukan dalam Hal Adanya Ketidakpastian Hukum Bagi Direksi yang Merangkap Sebagai Pendiri Perseroan Perorangan Pasca Berlakunya UUCK dalam Hal Akan Meningkatkan Status Menjadi PT di Hadapan Notaris Dihubungkan dengan UUCK

Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Bintoro Nadapdap, 2021).

Ketentuan mengenai Direksi Perseroan Perorangan seperti yang sudah dijelaskan dalam penjelasan diatas tercantum dalam Pasal 153 (D) ayat (1) UUCK yaitu menjalankan pengurusan bagi kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dalam ayat (2) Pasal tersebut disebutkan bahwa Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat dalam batas yang ditentukan dalam UU ini dan/atau pernyataan pendirian perseroan.

Pasal 153 (F) ayat (1) UUCK menerangkan mengenai kewajiban Direksi Perseroan Perorangan, dalam hal ini Direksi untuk UMK yaitu Perseroan Perorangan harus membuat laporan keuangan dalam rangka mewujudkan Tata Kelola Perseroan yang baik.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Direksi Perseroan Perorangan memegang kendali penuh terhadap Perseroan Perorangan. Direksi tersebut selain menjabat sebagai Direksi juga merangkap sebagai pendiri dan pemegang saham. Akan tetapi ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf a PP No. 8 Tahun 2021 menyebutkan apabila dalam suatu Perseroan Perorangan terdapat lebih dari 1 (satu) pemegang saham maka Perseroan Perorangan tersebut sudah tidak lagi memenuhi kriteria UMK.

Suatu Perseroan Perorangan yang sudah tidak memenuhi kriteria UMK berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf a PP No. 8 Tahun 2021 sebagaimana dijelaskan di atas serta berdasarkan ketentuan Pasal 35 angka 3 huruf a dan b PP No. 7 Tahun 2021 yaitu memiliki modal usaha lebih dari Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) maka harus meningkatkan statusnya menjadi PT.

Hal tersebut bukan merupakan suatu kendala apabila Direksi dalam Perseroan Perorangan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun, ia dapat langsung menghadap Notaris untuk mendirikan PT sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPT dan Pasal 39 ayat (1) UUJN yang mencantumkan usia 18 (delapan belas) tahun sebagai usia paling rendah untuk menghadap Notaris dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Pasal 6 ayat (2) PP No. 8 Tahun 2021 menyebutkan syarat pendiri Perseroan Perorangan selain merupakan WNI juga harus berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun dan cakap hukum.

Terdapat perbedaan ketentuan dalam UUPT dan UUJN dengan PP No. 8 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari UUCK. Perbedaan tersebut dapat memunculkan kekosongan hukum yang dapat berujung kepada terkendalanya Direksi Perseroan Perorangan yang masih berusia 17 (tujuh belas) tahun dalam hal Perseroan Perorangan yang dimilikinya sudah tidak memenuhi kriteria UMK berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf a PP No. 8 Tahun 2021 dan Pasal 35 angka 3 huruf a dan b PP No. 7 Tahun 2021 yaitu terdapat lebih dari 1 (satu) pemegang saham dan memiliki modal usaha lebih dari Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) ketika akan meningkatkan status Perseroan Perorangan menjadi PT.

Perseroan Perorangan merupakan perluasan dari badan usaha berbadan hukum PT yang termasuk dalam ranah hukum dagang. Hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata yang juga mengatur mengenai perjanjian beserta perikatan-perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan mengenai hukum dagang diatur dalam KUHD dan KUHPerdata.

Cakap hukum para pihak merupakan salah satu syarat utama dalam suatu perjanjian karena merupakan syarat subjektif. KUHD mengatur mengenai dunia usaha atau dunia bisnis dalam lalu lintas perdagangan. Akan tetapi, KUHD tidak mengatur mengenai batasan usia cakap hukum, sehingga ketentuan mengenai batasan usia cakap hukum dalam melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan perusahaan mengacu kepada ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata.

Pasal 29 KUHPerdata menjelaskan batas usia minimal menikah bagi laki-laki yaitu 18 (delapan belas) tahun dan bagi perempuan 15 (lima belas) tahun. Lebih lanjut lagi, terdapat ketentuan dalam Pasal 35 KUHPerdata yang menyatakan seorang laki-laki maupun seorang perempuan dapat melangsungkan perkawinan walaupun belum mencapai batas minimal usia sebagaimana dalam ketentuan Pasal 330 KUHPerdata, dengan syarat telah mendapat izin dari orang tua atau walinya. Terhadap seseorang tersebut meskipun belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun apabila telah menikah maka dianggap telah dewasa, demikian pula dalam hal terjadi perceraian sebelum berusia 21 (dua puluh satu) tahun maka tetap akan dianggap dewasa dan tidak kembali menjadi belum dewasa.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Direksi Perseroan Terbatas yang masih berusia 17 (tujuh belas) tahun dan belum menikah tetap tidak dapat meningkatkan status Perseroan Perorangan menjadi PT di hadapan Notaris. Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem Eropa Kontinental memiliki berbagai peraturan perundang-undangan tertulis yang harus ditaati oleh warga negaranya. Setiap peraturan perundang-undangan tersebut dikelompokkan dalam berbagai kelompok, yaitu peraturan yang paling atas adalah yang paling kuat dan peraturan yang bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan atau hukum di atasnya (Subiyanto, 2014).

Ketentuan di atas sesuai dengan Teori Stufenbau yang dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007). Teori tersebut tercermin dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU No. 13 Tahun 2022) juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2011) menjelaskan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:

1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4.    Peraturan Pemerintah;

5.    Peraturan Presiden;

6.    Peraturan Daerah Provinsi; dan

7.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 7 di atas menjelaskan hierarki paling atas dari peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu UUD 1945 kemudian disusul oleh TAP MPR, lalu UU/Perpu dan seterusnya. Dalam susunan hierarki peraturan perundang-undangan, posisi UU berada di atas PP, sehingga apabila dikaitkan dengan ketentuan mengenai batas usia paling rendah dalam membuat Perseroan Perorangan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 8 Tahun 2021 yaitu 17 (tujuh belas) tahun dan cakap hukum serta ketentuan mengenai batas usia paling rendah dalam menghadap kepada Notaris untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN yaitu 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum, maka ketentuan dalam UU yaitu UUJN merupakan ketentuan yang harus diutamakan.

Berdasarkan Teori Stufenbau, dapat juga dikatakan bahwa ketentuan yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada ketentuan yang lebih tinggi. Teori tersebut juga sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori yang berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.

Terhadap kendala yang mungkin terjadi kepada Direksi Perseroan Perorangan yang masih berusia 17 (tujuh belas) tahun dan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat Akta Pendirian PT sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka Penulis melakukan wawancara dengan beberapa praktisi dan akademisi hukum daerah kerja Kota Bandung dan Kota Cimahi dengan maksud untuk mencari solusi terkait permasalahan tersebut.

Dewi Fortuna Limurti selaku Notaris dan PPAT dengan daerah kerja Kota Bandung berpendapat bahwa seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dianggap tidak cakap hukum berdasarkan UUJN. Perseroan Perorangan merupakan badan hukum yang dapat didirikan oleh seseorang dengan usia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun yang sudah memiliki Nomor Induk Kependudukan (selanjutnya disebut NIK) berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (selanjutnya disebut KTP).

Meskipun Perseroan Perorangan merupakan badan usaha berbadan hukum seperti PT, tetapi tidak dapat disetarakan karena keduanya memiliki aturannya masing-masing. Oleh karena itu, satu-satunya solusi yang dapat dilakukan oleh Direktur yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun ialah diwakilkan oleh wali atau orang tuanya dalam melakukan perbuatan hukum yang diharuskan oleh peraturan yang berlaku yaitu Pasal 9 ayat (1) huruf a PP No. 8 Tahun 2021 yang menyebutkan Perseroan Perorangan harus mengubah status badan hukumnya menjadi PT jika terdapat lebih dari 1 (satu) pemegang saham dan memiliki modal usaha lebih dari Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 angka 3 huruf a dan b PP No. 7 Tahun 2021.

Daniar Brihawan Sunggoro selaku Notaris dan PPAT dengan Daerah Kerja Kota Cimahi juga memiliki pendapat yang sama dengan Dewi Fortuna Limurti. Direksi Perseroan Perorangan yang masih berusia 17 (tujuh belas) tahun dapat diwakili oleh wali atau orang tuanya hingga ia berusia 18 (delapan belas) tahun dan dinyatakan cakap hukum untuk menghadap Notaris dengan maksud untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UUJN.

Selain dari solusi yang telah dikemukakan di atas, Penulis juga menemukan solusi lainnya berdasarkan wawancara yang telah dilakukan oleh Penulis. Menurut Alin Ardinal Widjaksana, suatu badan usaha berbadan hukum baik Perseroan Perorangan maupun PT seharusnya memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian.

Pasal 1313 KUHPerdata menerangkan mengenai perjanjian yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Orang dalam pengertian tersebut tidak selalu harus orang perorangan melainkan dapat juga merupakan subjek hukum lainnya, yaitu badan hukum. Perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat, cakap, suatu hal tertentu dan causa yang halal. Syarat pertama dan syarat kedua dalam Pasal 1320 KUHPerdata merupakan syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Tidak terpenuhinya 1 (satu) dan/atau 2 (dua) syarat subjektif perjanjian tersebut dapat menyebabkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Sehubungan dengan keadaan tersebut yang tidak memenuhi syarat subjektif, maka solusi yg dapat dilakukan terkait dengan upaya dalam memberikan kepastian hukum yaitu dapat melalui revisi terhadap ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 8 Tahun 2021 yang menyebutkan syarat pendiri Perseroan Perorangan ialah seorang WNI dengan usia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun dan cakap hukum. Ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1) UUJN yang merupakan peraturan yang secara hierarki posisinya berada di atas PP No. 8 Tahun 2021. Sehingga, selama belum dilakukan revisi terhadap ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 8 Tahun 2021 Direksi Perseroan Perorangan yang akan menghadap kepada Notaris untuk meningkatkan status Perseroan Perorangan menjadi PT mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN. Solusi tersebut juga mencerminkan penerapan asas lex superior derogate legi inferiori, yaitu peraturan yang hierarkinya lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang hierarkinya lebih rendah.

Sari Wahjuni, selaku Notaris dan PPAT dengan daerah kerja Kota Bandung memiliki pendapat yang sama. Direksi Perseroan Perorangan yang masih berusia 17 (tujuh belas) tahun berarti belum cakap hukum untuk menghadap kepada Notaris dengan maksud untuk meningkatkan status Perseroan Perorangan menjadi PT. Adapun solusi terbaik untuk kendala tersebut ialah dilakukannya revisi terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (2) PP No. 8 Tahun 2021 yang bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1) UUJN. Selama belum dilakukan revisi terhadap Pasal 6 ayat (2) PP No. 8 Tahun 2021, Direksi Perseroan Perorangan yang akan meningkatkan status Perseroan Perorangan menjadi PT tetap tunduk kepada ketentuan dengan Pasal 39 ayat (1) UUJN. Upaya yang dapat dilakukan sebagai solusi atas permasalahan ketidakpastian hukum tersebut yaitu pemerintah melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (2) PP No. 8 Tahun 2021 yang juga merupakan upaya untuk mewujudkan asas kepastian hukum. Revisi yang dilakukan terhadap peraturan tersebut dapat memberikan kemudahan terhadap masyarakat khususnya Direksi Perseroan Perorangan dan Notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat Akta Pendirian PT, serta tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang terdahulu yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum.

 

Kesimpulan

Berdasarkan analisis pada bab-bab sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa implementasi UUCK, terutama dengan dikeluarkannya PP No. 8 Tahun 2021 yang berkaitan dengan kecakapan hukum Direksi yang juga menjadi pendiri Perseroan Perorangan dalam meningkatkan statusnya menjadi PT, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. UUCK menetapkan batas usia minimum pendiri Perseroan Perorangan yang juga Direksi adalah 17 tahun, sedangkan batas usia minimum untuk menghadap Notaris dalam mendirikan PT adalah 18 tahun. Hal ini menciptakan ketidakselarasan antara UUCK dan UUJN, berpotensi menciptakan kesulitan bagi pendiri Perseroan Perorangan yang juga Direksi dalam meningkatkan statusnya menjadi PT. Untuk mengatasi ketidakpastian ini, pendiri Perseroan Perorangan yang belum mencapai usia 18 tahun dapat diwakilkan oleh wali atau orang tua saat melakukan perbuatan hukum untuk pembuatan akta pendirian PT di hadapan Notaris.

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Halim, R. (1985). Hukum Perdata dalam Tanya Jawab (2nd ed.). Ghalia Indonesia.

 

Ubaedillah, A. R. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Kencana.

 

Prajitno, A. A. (2015). Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?. Perwira Media Nusantara (PMN).

 

Bahari, A. (2010). Prosedur Cepat Mendirikan Perseroan Terbatas. Pustaka Yustitia.

 

Azhary. (1945). Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya. Penerbit Universitas Indonesia.

 

Mustafa, B. (2016). Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia (2nd ed.). Citra Aditya Bakti.

 

Nadapdap, B. (2009). Hukum Perseroan Terbatas. Jala Permata Aksara.

 

Riswandi, B. A., & Nico. (2003). Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Center for Documentation and Studies of Business Law (CDBSL).

 

Kansil, C. S. T. (2011). Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. PT. Rineka Cipta.

 

Ali, C. (2014). Badan Hukum (5th ed.). PT. Alumni.

 

Suharto, E. (2014). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial) (5th ed.). Refika Aditama.

 

Rajagukguk, E. (2011). Butir-Butir Hukum Ekonomi. Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

Soedijana, F. X., et al. (2008). Ekonomi Pembangunan Indonesia (Tinjauan Aspek Hukum). Universitas Atma Jaya.

 

Purwosutjipto, H. M. N. (1982). Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Vol. 2). Djambatan.

 

Budiono, H. (2006). Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia. Citra Aditya Bakti.

 

Widjaya, I. G. R. (2003). Hukum Perusahaan. Ksaint Blanc.

 

Andasasmita, K. (1981). Notaris I. Sumur Bandung.

 

Arsyad, L. (2010). Ekonomi Pembangunan. STIM YKPN.

 

Darus, M. L. H. (2017). Hukum Notariat dan Tanggung Jawab Notaris. UII Press.

 

Harahap, M. Y. (2016). Hukum Perseroan Terbatas (6th ed.). Sinar Grafika.

 

Mahfud, M. D. (2007). Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud M.D.. Citra Aditya Bakti.

 

Soeprapto, M. F. I. (2007). Ilmu Perundang-Undangan (Dasar-Dasar dan Pembentukannya). Kanisius.

 

Imaniyati, N. S. (2009). Hukum Bisnis: Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi. Graha Ilmu.

 

Pramono, N. (2020). Hukum Bisnis (Modul 1). Universitas Terbuka.

 

Djamali, R. A. (2013). Pengantar Hukum Indonesia (Revised ed.). PT. Raja Grafindo Persada.

 

Usman, R. (2004). Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. PT. Alumni.

 

Syahrani, R. (1992). Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Alumni.

 

Soemitro, R. (1993). Hukum Perseroan Terbatas. Yayasan dan Wakaf, Eresco.

 

S., S. H. (2002). Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika.

 

_ _ _ _ _. (2015). Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta). Raja Grafindo Persada.

 

Rahardjo, S. (2007). Biarkan Hukuk Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Penerbit Buku Kompas.

 

_ _ _ _ _. (2012). Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti.

 

Sembiring, S. S. (2012). Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas. CV. Nuansa Aulia.

 

Notodisoerjo, R. S. (1982). Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan. Rajawali.

 

Siagian, S. P. (2009). Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Rineka Cipta.

 

Sjaifurrachman, H. A. (2011). Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. Mandar Maju.

 

Soekanto, S., & Mamuji, S. (1982). Pengantar Penelitian Hukum (2nd ed.). UI Press.

 

_ _ _ _ _, & Sri Mamuji. (2003). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Press.

 

Soeroso, R. (2015). Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika.

 

Hartono, S. R. (2007). Hukum Ekonomi Indonesia. Banyumedia.

 

Gautama, S. (1973). Pengertian Tentang Negara Hukum. PT. Alumni.

 

Mertokusumo, S. (1993). Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti.

 

Suparji. (2014). Transformasi Badan Hukum di Indonesia (1st ed.). Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia.

 

Huijbers, T. (1982). Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Kanusius.

 

Tutik, T. T. (2008). Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Prenada Media Group.

 

Redjeki, S. S. (2009). Hukum Ekonomi Indonesia. Banyumedia.

 

Gautama, S. (1973). Pengertian Tentang Negara Hukum. PT. Alumni.

 

Mertokusumo, S. (1993). Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti.

 

Suparji. (2014). Transformasi Badan Hukum di Indonesia (1st ed.). Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia.

 

Huijbers, T. (1982). Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Kanusius.

 

Tutik, T. T. (2008). Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Prenada Media Group.

 

Redjeki, S. S. (2009). Hukum Ekonomi Indonesia. Banyumedia.

 

Gautama, S. (1973). Pengertian Tentang Negara Hukum. PT. Alumni.

 

Mertokusumo, S. (1993). Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti.

 

Suparji. (2014). Transformasi Badan Hukum di Indonesia (1st ed.). Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia.

 

Huijbers, T. (1982). Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Kanusius.

 

Tutik, T. T. (2008). Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Prenada Media Group.

 

Redjeki, S. S. (2009). Hukum Ekonomi Indonesia. Banyumedia.

 

Gautama, S. (1973). Pengertian Tentang Negara Hukum. PT. Alumni.

 

Muhammad Idris. (2020). Disulkan Jokowi, Ini Perjalanan Keluarnya UU Cipta Kerja. https://moneykompascom/read/2020/10/06/132341526/diusulkan-jokowi-ini-perjalanan-panjang-keluarnya-uu-cipta-kerja?page=all. (2/2/2023)

 

Reyhan Audric. Bila Subjek Pajak Badan Termasuk Perseroan Perorangan?. https://nusatax.com/perseroan-perorangan-dalam-dan-luar-negeri/ (22/2/2023).

Copyright holder:

Salma Syifaya Hilmansyah, Anita Afriana, Purnama Trisnamansyah (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: