Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022

 

KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK UNTUK MENINGKATKAN PARTISIPASI RAKYAT DALAM MEWUJUDKAN PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS

 

Andrian

Magister Hukum Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Sebagai sebuah negara demokratis, rakyat Indonesia menentukan struktur pemerintahannya, baik itu presiden dan wakil presiden maupun parlemen melalui pemilihan umum. Orang-Orang yang terpilih melalui pemilu tersebut adalah orang-orang yang dicalonkan oleh partai politik. Di Indonesia, partai politik memiliki peran penting untuk memajukan demokrasi. Partai politik berperan sebagai komunikator politik dalam rangka untuk meningkatkan partisipasi publik. Suara dukungan dari masyarakat akan membantu partai politik dan calonnya untuk memenangkan pemilihan umum. Akan tetapi, partai politik hanya melibatkan partisipasi rakyat pada proses kampanye dan pemungutan suara. Realita yang terjadi adalah publik tidak dilibatkan dalam proses pencalonan. Keputusan akhir pencalonan berada di tangan internal partai politik. Hal ini berarti partai politik hanya mementingkan kepentingan organisasinya, bukan kepentingan rakyat. Dengan demikian, tindakan partai politik tersebut membatasi hak-hak politik rakyat. Pada saat ini, tingkat kepercayaan publik terhadap parlemen dan partai politik sangatlah rendah. Ini membuktikan bahwa fungsi partai politik sebagai komunikator politik tidak efektif. Artikel ini akan menggunakan dan mengelaborasikan berbagai regulasi dan teori yang berhubungan dengan aspek demokrasi dan partisipasi publik untuk menganalisis permasalahan mengenai tidak efektifnya fungsi partai politik sebagai komunikator politik. Hasil akhir dari penelitian ini adalah terdapat solusi hukum yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi publik, khususnya dalam proses rekrutmen politik.

 

Kata Kunci: komunikasi politik, pemilihan umum, partisipasi publik

 

Abstract

As a democratic country, the people of Indonesia choose their government structure (president and parliament) through general election. People who are elected through general election are nominated by political parties. In Indonesia, political party have an important role in promoting democracy. Political party acts as political communicator in order to promote public participation. The vox from community helps political party and their candidate to win the election. However, political party involves the community only in campaign and voting process. The truth is the community is not involved in the nomination process. The decision to nominate is in the hands of the political party. It means that process only prioritizes the interest of political party, not the interest of the community. Therefore, that action of political party limits the political rights of the community. Currently the level of people�s trust in parliament and political party are very low. This proves that political party�s function as political communicator is ineffective. This article will use and elaborate regulation and theories that related to democracy and public participation aspects to analyze the problem of ineffectiveness political communication fungsi that carried out by political party. The final result of this research is the legal solution that can be done to promote public participation, especially in political recruitment.

 

Keywords: political communication, general election, public participation

 

Pendahuluan

Pemilihan umum merupakan sarana bagi masyarakat untuk memilih pejabat-pejabat negara yang akan menduduki jabatan-jabatan pemerintahan, baik itu eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), maupun lembaga legislatif (DPR, DPD, DPRD). Pemilihan umum menjadi perwujudan dari kehidupan bernegara yang demokratis, di mana pada proses inilah partisipasi rakyat dibutuhkan. Namun, perlu menjadi catatan bahwa eksistensi dan penyelenggaraan pemilihan umum tidak secara serta-merta menjadi tolak ukur tingkat partisipasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah bahwa partisipasi rakyat hanya sebatas pada pemberian hak suara terhadap calon-calon pejabat yang telah ditetapkan oleh partai politik. Kekhawatiran terhadap fenomena ini adalah bahwa masyarakat harus memilih calon pejabat yang tidak dikenal atau bahkan mungkin tidak diinginkan oleh masyarakat. Dikarenakan pilihan yang tersedia terbatas pada calon-calon pejabat yang disodorkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, masyarakat mau tidak mau harus memilih pada situasi keterbatasan tersebut.

Sistem kekuasaan pemerintahan di Indonesia pernah mengalami era kelam pada masa orde baru, di mana pada saat itu praktik-praktik oligarkis menyelimuti seluk beluk kehidupan bernegara, mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial, maupun hukum (Endang Retnowati, 2018). Pada saat itu peran partai politik jelas hanya sebagai kendaraan politik bagi Presiden untuk memantapkan kekuasaannya selama bertahun-tahun. Setelah era orde baru runtuh karena adanya gerakan revolusi dari masyarakat, muncullah era pemerintahan yang baru yang dikenal saat ini sebagai era reformasi. Namun, pada era reformasi-pun juga terjadi hal yang serupa dengan era orde baru, yaitu partai politik hanya menjadi kendaraan politik bagi elit-elit partai. Sebagaimana dikatakan oleh Jeffrey A. Winters, rakyat Indonesia datang ke pemungutan suara untuk memilih calon pejabat yang tidak kompeten dan tidak sejak tahun 1998 sampai 2011 (Jeffrey A. Winters, 2011). Menurut Winters, kontes demokrasi Indonesia hanya permainan pindah-pindah kelompok oligarki dan elit-elit partai yang berusaha meraih kekuasaan demi mempertahankan kekayaan dan memperkaya diri/ kelompok. Realita yang terjadi saat ini adalah calon-calon pejabat yang dicalonkan oleh partai politik dalam pemilihan umum merupakan pilihan elit-elit partai politik, bukan pilihan rakyat.

Apabila kita melihat kepercayaan publik terhadap praktik bernegara yang dilakukan oleh para pejabat, menurut survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), pada Oktober 2022, penilaian publik terhadap penegakan hukum adalah buruk dengan rasio 34,9% (29,2% buruk dan 13,7% sangat buruk) dan hanya 23,4% yang menilai baik (20,1% baik dan 3,3% sangat baik). LSI juga melakukan survei terhadap 12 lembaga negara, dan fakta yang cukup miris adalah bahwa DPR dan Partai Politik menjadi dua lembaga negara yang paling tidak dipercayai oleh publik. Rasio ketidakpercayaan publik terhadap DPR senilai 47% (35% kurang percaya dan 12% tidak percaya sama sekali) dan rasio ketidakpercayaan publik terhadap partai politik senilai 49% (38% kurang percaya dan 11% tidak percaya sama sekali). Tren yang cukup positif muncul pada hasil survei LSI pada bulan April 2023, di mana tingkat penilaian masyarakat terhadap kondisi penegakan hukum adalah baik dengan rasio 34,4% dan hanya 28,5% yang menilai buruk. Sedangkan survei kepercayaan publik terhadap DPR dan Partai Politik masih tergolong sama, tidak ada fluktuasi yang signifikan, sehingga dari 10 lembaga negara, DPR dan Partai Politik masih menjadi dua lembaga negara yang tidak dipercayai publik. Naiknya kepercayaan publik terhadap kondisi penegakan hukum pada survei terakhir yang dilakukan LSI adalah wajar mengingat akhir-akhir ini terdapat isu terbukanya skandal tindak pidana pencucian di salah satu badan Kementerian, sehingga rakyat sangat antusias dan memberikan apresiasi terhadap pejabat pemerintahan yang berusaha untuk mengungkapkan dan menerangkan permasalahan tersebut ke publik.

Citra buruk yang dimiliki parlemen saat ini kemudian diperparah dengan pernyataan salah satu anggota parlemen dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi III DPR RI dengan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada 29 Maret 2023. Pada saat RDPU tersebut muncul sebuah pernyataan dari salah satu anggota parlemen dari salah satu fraksi partai politik bahwa anggota legislatif tidak bisa mengesahkan RUU Perampasan Aset maupun RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal jika tidak diperintah oleh ketua umum partai politik (Nirmala Maulana Achmad, 2023). Peneliti dan tentunya masyarakat sangat menyayangkan pernyataan anggota legislatif tersebut karena kepercayaan yang selama ini diberikan rakyat kepada parlemen adalah hal yang sia-sia. Legislatif memiliki tiga fungsi utama, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi memberikan kewenangan bagi legislatif untuk membentuk undang-undang. Namun, dengan pernyataan salah satu anggota parlemen di atas, maka timbul pertanyaan retorika berupa siapakah yang berwenang membentuk undang-undang, DPR atau partai politik. Terlepas dari kualitas pernyataan anggota legislatif tersebut, apabila kita membahas permasalahan ini pada tataran teoretis, tentunya hal tersebut tidak mencerminkan konsep legal structure dan praktik good governance. Rendahnya tingkatnya kepercayaan publik terhadap DPR dan Partai Politik merupakan bentuk penilaian publik terhadap kinerja dua lembaga tersebut yang merupakan bagian daripada legal structure NKRI. Apabila lembaga atau institusi tersebut tidak memperbaiki kinerja dan citranya, maka yang terjadi adalah buruknya kinerja DPR dan partai politik akan menjadi budaya hukum (legal culture) di masyarakat.

Beberapa penelitian terdahulu telah mengkaji peran partai politik dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, dengan fokus pada aspek-aspek seperti komunikasi politik, pendidikan politik, dan penyelenggaraan pemilu. Penelitian ini menyajikan analisis baru dengan memfokuskan pada (1) partisipasi publik dalam pencalonan pejabat oleh partai politik, (2) fungsi partai politik sebagai komunikator politik, dan (3) usulan perbaikan perundang-undangan terkait partai politik dan pemilihan umum untuk meningkatkan partisipasi publik. Dalam menjawab permasalahan ini, penelitian akan mengeksplorasi fungsi komunikator politik partai politik sesuai peraturan perundang-undangan dan upaya hukum yang dapat memaksimalkan partisipasi rakyat dalam pemilihan umum. Harapannya, penelitian ini memberikan manfaat bagi rakyat, partai politik, dan pemerintah dengan memberikan landasan pengetahuan, mendorong peningkatan fungsi komunikasi politik partai, dan memberikan masukan untuk merevisi peraturan perundang-undangan terkait partai politik dan pemilihan umum. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk analisis data, mencakup aspek hukum positif, teoretis, dan filosofis.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mencakup dua aspek utama, yaitu teori negara dan pemerintahan demokrasi serta teori kedaulatan rakyat. Teori negara dan pemerintahan demokrasi membahas karakteristik demokrasi, perbedaan antara demokrasi langsung dan tidak langsung, serta tiga jenis demokrasi perwakilan menurut Kranenburg. Di sisi lain, teori kedaulatan rakyat, yang dipelopori oleh J.J. Rousseau, menjelaskan konsep kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi yang diselenggarakan melalui perjanjian rakyat. Proses ini mengubah natural liberty menjadi civil liberty, dengan kekuasaan tetap berada di tangan rakyat melalui badan perwakilan berdasarkan suara terbanyak. Dengan memadukan kedua teori ini, penelitian ini menggali aspek-aspek konseptual demokrasi dan kedaulatan rakyat untuk memahami dinamika dan peran rakyat dalam sistem pemerintahan demokratis.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Partai Politik sebagai Komunikator Politik menurut Hukum Positif

Pemilihan umum merupakan bentuk pelaksanaan dan perwujudan dari pelaksanaan prinsip demokrasi (Taufiqurrohman Syahuri, 2011). Di dalam UUD NRI Tahun 1945, prinsip demokrasi dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat. Adapun amanat pemilihan umum dalam UUD NRI 1945 tercantum dalam Bab VIIB tentang Pemilihan Umum. Menurut Pasal 22E ayat (2), pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Demokratis bukan hanya istilah yang merepresentasikan bentuk negara ataupun sistem pemerintahan, namun juga suatu gaya hidup dan tata masyarakat tertentu (Henry Arianto, 2004). Menurut Henry B. Mayo, terdapat enam prinsip yang terkandung dalam demokrasi, yaitu: (1) penyelesaian perselisihan dengan damai dan melembaga; (b) menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu yang sedang berubah; (c) menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur; (d) membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum; (e) mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, dan tingkah laku; dan (f) menjamin tegaknya keadilan (Miriam Budiardjo, 1992).

Berdasarkan prinsip-prinsip yang disampaikan oleh Henry B. Mayo di atas, terlihat bahwa pemilihan umum merupakan realisasi dari prinsip pergantian pimpinan secara teratur. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pemilihan umum tidak serta merta menjadi parameter pelaksanaan demokrasi suatu negara. Pemilihan umum akan menentukan pelaksanaan demokrasi menjadi tidak terwujud atau menjadi konsekuen sesuai amanat konstitusi. Konsekuensi logis dari pemikiran tersebut adalah bahwa pejabat yang dipilih oleh rakyat pada saat pemilihan umum menentukan arah pelaksanaan hukum dan demokrasi ke depannya. Namun, permasalahan yang terjadi adalah rakyat tidak dilibatkan pada saat proses pencalonan, rakyat hanya menjadi subjek pasif dalam pencalonan, sehingga rakyat hanya akan memilih calon-calon pejabat yang dicalonkan oleh elit-elit partai politik. Dengan demikian, rakyat menjadi subjek yang aktif dalam proses pemungutan suara (pemilihan), namun menjadi subjek yang pasif dalam proses pencalonan pejabat oleh partai politik, yang mana seharusnya partai politik merupakan wadah aspirasi dan representasi rakyat, bukan wadah aspirasi dan representasi elit-elit internal partai politik.

Partai politik pada hakikatnya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dalam sistem demokrasi. Partai politik memegang peran yang penting dalam sistem demokrasi karena partai politik menjadi penghubung antara pemerintahan negara (state) dan warga negaranya (the citizens) (Jimly Asshiddiqie, 2007). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan definisi mengenai partai politik yaitu organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Bagi negara yang menganut konsep demokrasi dalam pemerintahannya, partai politik merupakan pilar yang penting untuk mewujudkan konsep demokrasi itu sendiri. Partai politik dalam hal ini bertindak sebagai lembaga politik yang menjadi alat politik dari semua lapisan masyarakat dalam menyuarakan aspirasi dan mengkaderisasi calon-calon pemimpin negara. Peran partai politik tersebut sejalan dengan tujuan utama partai politik di negara demokrasi yaitu untuk memperoleh kekuasaan dengan memenangi pemilihan umum dan mengimplementasikan kebijakan publik mereka setelah berkuasa (Rika Ramadhanti, 2018).

Partai politik memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum partai politik antara lain: (1) mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945; (2) menjaga dan memelihara keutuhan NKRI; (3) mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat; dan (4) mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan tujuan khusus partai politik terdiri dari: (1) meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat; (2) memperjuangkan cita-cita partai politik: dan (3) membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bersmasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Adapun fungsi dari partai politik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 antara lain sebagai sarana (1) pendidikan politik, (2) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan, (3) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat, (4) partisipasi politik warga negara Indonesia, dan (5) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi. Menurut Miriam Budiarjo, fungsi partai politik terdiri dari 4, yaitu (i) komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik, (3) rekrutmen politik; dan (iv) pengatur konflik. Sebagai sarana komunikasi politik, partai politik berperan untuk mengartikulasikan kepentingan politis dalam masyarakat. Partai politik juga berperan untuk melakukan sosialisasi politik sebagai komunikator politik. Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik untuk disebarluaskan kepada masyarakat untuk mendapatkan dukungan yang luas. Kegiatan sosialisasi politik yang dilakukan oleh partai politik juga menjadi sarana bagi partai untuk melakukan pendidikan politik dan rekrutmen politik. Tentunya praktik-praktik komunikasi politik yang dilakukan oleh partai politik bertujuan untuk mendapatkan animo dari masyarakat dalam menuangkan suara-suara politisnya (Doni Muhammad Dahlan, 2019).

Menurut Schattscheider, partai politik membentuk demokrasi. Partai politik merupakan pilar penting dalam setiap sistem politik yang demokratis. Terdapat pandangan skeptis mengenai partai politik yang menyatakan bahwa partai politik hanya menjadi kendaraan politik bagi sekelompok elit yang berkuasa untuk memuaskan hasrat kekuasaannya sendiri. Pandangan tersebut melihat partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi orang-orang yang memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu (Jimly Asshiddiqie, 2018). Realita di lapangan menunjukan bahwa tingkat kepercayaan dan kepuasan publik terhadap kinerja partai politik sangat rendah. Dengan demikian terdapat gap antara das sollen dengan das sein, apa yang dicita-citakan oleh konstitusi dan undang-undang tidak tercapai di masyarakat. Fenomena kompromi politik sejak era demokrasi di mulai menjadi sebuah ciri khas dari sistem pemerintahan kita. Tidak jauh berbeda dengan era orde baru yang saat itu diliputi oleh praktik-praktik oligarki, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Praktik-praktik tersebut juga masih dilakukan hingga rezim pemerintahan pasca reformasi. Kabinet di era Gus Dur dan Megawati merupakan contoh yang sarat dengan kompromi politik untuk bagi-bagi �kue� kekuasaan (Zainal Abidin Saleh, 2008). Praktik kompromi politik dan pembagian pos-pos jabatan pemerintahan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat, di mana koalisi partai politik yang memenangi pemilihan umum mendapatkan jabatan strategis dan mendominasi pemerintahan. Praktik semacam ini merupakan pisau bermata dua, bisa menjadi dampak positif bagi kelangsungan demokrasi, namun bisa juga berdampak negatif yang menyebabkan keruntuhan demokrasi. Apabila sistem pemerintahan yang dikuasai oleh partai-partai pemenang pemilihan umum disusupi oleh motif-motif yang sifatnya menguntungkan diri sendiri/ kelompok tertentu, maka kebijakan publik yang diciptakan pada rezim tersebut akan menjauhi orientasi kepentingan rakyat.

B.    Maksimalisasi Partisipasi Rakyat dalam Mewujudkan Pemilihan Umum yang Demokratis

Pemilihan umum merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi sebagai sarana penyaring terhadap politikus-politikus yang mewakili dan membawa suara rakyat di dalam sistem pemerintahan (Moh. Mahfud MD, 2019). Sama halnya dengan pemilihan umum, partai politik pun merupakan komponen yang penting dalam negara demokrasi. Hal ini dikarenakan partai politik mengambil peran untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberi jalan kompromi bagi pendapat yang berlawan, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara sah dan damai (Ichlasul Amad, 1998).

Fungsi partai politik sebagai komunikator politik yang mengemban amanah untuk melibatkan partisipasi publik sejatinya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, yaitu pada Pasal 13, Pasal 29 dan Pasal 31. Pasal 13 huruf d dan k menyatakan kewajiban partai politik untuk menjunjung tinggi demokrasi dan melakukan sosialisasi program partai politik kepada masyarakat. Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa partai politik melakukan rekrutmen terhadap WNI untuk menjadi anggota partai, bakal calon anggota DPR dan DPRD, bakal calon presiden dan wakil presiden, dan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pasal 29 ayat (2) menyatakan rekrutmen dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD/ ART dan peraturan perundang-undangan. Pasal 31 ayat (1) menyatakan partai politik melakukan pendidikan politik dengan tujuan untuk (1) meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat; (2) meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat; dan (3) meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Baik pasal 13 huruf d dan k, pasal 29 maupun pasal 31 tidak diberikan penjelasan lebih lanjut.

Keberadaan pasal-pasal di atas tidak cukup untuk mewujudkan pemilihan umum yang aspiratif dan demokratis, terutama pada tahap rekrutmen politik. Faktanya, partisipasi rakyat hanya akan muncul secara masif saat pemungutan suara, bukan pada saat pencalonan. Terlebih, di dalam Pasal 29 di atas menyebutkan bahwa rekrutmen politik didasarkan pada AD/ ART partai. Artinya, berdasarkan ketentuan tersebut partai memiliki keleluasaan atau kebebasan untuk menetapkan mekanisme rekrutmen politiknya, baik itu dengan melibatkan partisipasi dan aspirasi rakyat, maupun tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi rakyat. Hal yang terjadi saat ini dan sudah menjadi rahasia umum adalah pencalonan ditentukan oleh internal, baru kemudian disosialisasikan kepada rakyat. Alhasil, terkadang masyarakat tidak mengetahui pihak-pihak yang dicalonkan di daerah pemilihannya (dapil) oleh partai politik, namun harus tetap memberikan hak suaranya.

Keadaan kemudian diperparah dengan adanya presidential threshold (PT) yang mengakibatkan terbatasnya partai politik yang dapat berpartisipasi dalam proses pemilihan umum. Ketentuan PT saat ini diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Beberapa dampak yang ditimbulkan dari adanya ketentuan PT adalah: (1) menyalahi konsep sistem demokrasi presidensil yang diadopsi Indonesia; dan (2) menyalahi hak asasi manusia menurut Pasal 28D UUD NRI 1945 (Asep Wijaya, et.al., 2020). Perihal dampak pertama, bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi dengan sistem presidensil, yang berarti terdapat pemisahan kekuasaan antar lembaga. Dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab terhadap parlemen seperti halnya dalam sistem parlementer. Hal ini berarti ketentuan PT inkonstitusional dan telah menyimpangi sistem presidensil yang diadopsi oleh Indonesia. Perihal dampak kedua, bahwa Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dengan adanya PT, maka terdapat pembatasan hak politik sebagian partai yang tidak memenuhi ketentuan PT. Apabila PT dihapuskan atau sekurang-kurangnya nilai PT diminimalisir, tentu partisipasi publik akan lebih berkembang. Hal ini karena semakin banyaknya partai politik yang dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum, maka semakin banyak pilihan masyarakat untuk memilih dan menyuarakan aspirasinya kepada partai politik yang sesuai dengan ideologi politik setiap rakyat.

Hukum ditentukan oleh politik, sedangkan politik negara digerakkan oleh orang-orang yang berkuasa, yang ditunjuk oleh rakyat melalui pemilihan umum. Arah politik yang demokratis akan menciptakan produk hukum yang responsif dan humanis. Sedangkan arah politik yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang konservatif/ ortodoks. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami dua arah politik di atas. Arah politik otoriter dan hukum yang konservatif pernah terjadi pada fase orde baru, di mana hukum saat itu bersifat sentralistik dan positivis. Ketika masuk pada era reformasi, Indonesia mengalami perubahan arah politik menjadi demokratis, sehingga hukum yang diciptakan adalah hukum yang berdasarkan partisipasi dan aspirasi masyarakat (Moh. Mahfud MD, 2017).

Seperti yang tergambar dalam pandangan di atas, dinamika politik negara ditentukan oleh pemerintah yang berkuasa (rezim). Namun, pemerintah yang berkuasa saat ini tentu adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Ketika orang-orang yang terpilih tersebut pada saat pencalonan tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi rakyat, tentu patut dicurigai bahwa orang-orang yang terpilih tersebut membawa motif-motif tertentu dari para partai pengusungnya. Akan tetapi, motif-motif tersebut belum tentu akan menghasilkan kebijakan yang pro terhadap rakyat, karena bisa saja motif-motif tersebut disusupi oleh iktikad-iktikad tidak baik dari oknum-oknum tertentu. Bukti nyata yang terjadi saat ini adalah tingkat kepercayaan publik terhadap parlemen dan partai politik sangat rendah, artinya masyarakat memiliki trust issue terhadap kinerja partai politik dan parlemen. Dengan demikian, partisipasi masyarakat pada proses rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai politik sangat penting, karena nantinya orang-orang yang terpilih dalam pemilihan umum tersebut akan menentukan arah politik dan kebijakan negara. Dalam mendukung partisipasi masyarakat tersebut, fungsi komunikasi politik partai memegang peran yang sentral. Sebagai komunikator politik, partai tidak hanya melakukan sosialisasi dan komunikasi janji-janji politis terhadap masyarakat, namun juga perlu membuka diri dan menyediakan saluran komunikasi bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya mengenai orang-orang yang dirasa layak untuk menduduki sistem pemerintahan dan memenuhi kriteria yang diharapkan oleh masyarakat.

Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, diperlukan perubahan-perubahan hukum positif, terkhususnya dalam undang-undang partai politik dan undang-undang pemilu. Adapun beberapa solusi perubahan hukum tersebut antara lain:

1.       Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;

Keberadaan pasal 13 saat ini belum cukup untuk meningkatkan partisipasi publik karena rakyat hanya dijadikan sebagai objek sosialisasi politik, bukan sebagai subjek yang saling berkomunikasi dengan partai politik. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 13 huruf e mengenai pendidikan politik kepada rakyat, dan Pasal 13 huruf k mengenai sosialisasi program partai politik kepada masyarakat. Pasal 13 mengenai kewajiban partai politik perlu direvisi yaitu penambahan muatan/ rumusan pasal mengenai kewajiban untuk melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan pemilu, baik itu pada proses pencalonan, kampanye, maupun pemungutan suara.��

2.       Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;

Pasal 29 mengatur tentang rekrutmen politik. Keberadaan pasal ini memberikan kebebasan pada partai politik untuk mengatur sendiri mekanisme rekrutmen politik dalam AD/ART partai. Artinya, terdapat celah hukum bagi partai politik untuk melakukan rekrutmen politik tanpa melibatkan partisipasi publik. Dengan demikian, pasal 29 ini perlu dilakukan revisi berupa penambahan syarat rekrutmen politik berdasarkan partisipasi dan aspiratif publik. Penambahan muatan pasal ini akan memperluas indikator penilaian publik terhadap partai dalam proses rekrutmen politik. Jika partai melibatkan publik dalam proses rekrutmen, tentu elektabilitas partai akan meningkat karena menerapkan prinsip demokrasi secara konsekuen. Namun, jika partai tidak melibatkan publik dalam proses rekrutmen, tentu elektabilitas dan tingkat kepercayaan publik terhadap partai akan semakin turun.

3.       Pasal 31 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;

Pasal 31 menyatakan bahwa partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Salah satu tujuan dilakukannya pendidikan politik tersebut adalah untuk meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat. Tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai ruang lingkup dan bentuk pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik kepada masyarakat. Pasal 31 ini juga tidak memiliki sanksi apabila tidak dilaksanakan oleh partai politik. Pasal 31 ini memerlukan revisi berupa penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dan ruang lingkup partisipasi politik dan inisiatif masyarakat, yang mana salah satunya namun tidak terbatas pada penyampaian aspirasi masyarakat dalam mengusulkan calon pejabat dalam proses rekrutmen politik. Terhadap pemberlakuan pasal 31 ini juga perlu diperkuat dengan adanya sanksi bagi partai politik yang tidak melaksanakan pendidikan politik bagi terhadap masyarakat.

4.       Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Pasal 222 mengatur mengenai presidential threshold. Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa ketentuan ini pada hakikatnya tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang secara konstitusional diadopsi oleh Indonesia. Pasal ini juga membatasi hak politik rakyat yaitu persamaan kesempatan dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam konstitusi. Dengan demikian, menurut peneliti pasal ini perlu dihapus atau setidaknya diminimalisasi nilai ambang batas yang ditentukan. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk terlibat dalam pemerintahan. Penghapusan atau perubahan pasal ini akan memberikan dampak positif bagi partai-partai yang elektabilitasnya rendah untuk berkesempatan maju dalam proses pemilihan umum. Sejak era reformasi bergulir hingga saat ini, tidak ada perubahan secara signifikan terhadap kedudukan partai-partai besar, sehingga pergantian kekuasaan pemerintahan hanya berputar pada poros partai-partai besar tersebut. Diharapkan dengan perubahan atau penghapusan pasal ini, akan semakin banyak partai yang dapat mencalonkan hasil rekrutmen politiknya. Partai politik idealnya berperan sebagai wadah aspirasi dan representasi masyarakat. Semakin banyak partai yang dapat mengikuti pemilu, maka semakin banyak pula corong representasi masyarakat, sehingga banyak aspirasi masyarakat yang terserap.

 

Kesimpulan

Partai politik merupakan pilar penting dalam negara demokrasi. Partai politik menjadi penghubung antara negara (state) dan warga negara (citizen). Partai politik berperan sebagai kendaraan politik bagi masyarakat untuk menduduki jabatan pemerintahan, baik itu legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) maupun eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) melalui pemilihan umum. Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem pemilihan umum yang sarat akan partisipasi publik. Partai politik sebagai komunikator politik memegang peranan yang sentral dalam memaksimalkan partisipasi publik dalam proses pemilihan umum. Bentuk-bentuk komunikasi politik partai dilakukan dalam bentuk pendidikan politik, sosialisasi politik, maupun rektrutmen politik.

Permasalahan yang terjadi saat ini adalah partisipasi publik hanya terlihat pada proses kampanye hingga pemungutan suara. Rakyat tidak terlibat dalam proses pencalonan pejabat legislatif ataupun eksekutif oleh partai politik. Dampak yang ditimbulkan adalah seringkali rakyat hanya mengetahui partai yang dipilihnya, namun tidak mengenali siapa calon pejabat yang dicalonkan partainya. Proses penetapan calon pejabat legislatif atau eksekutif yang dicalonkan oleh partai politik merupakan keputusan internal partai berdasarkan AD/ ART. Tidak terlibatnya rakyat dalam proses pencalonan oleh partai politik tentu menunjukkan tidak terwujudnya hak-hak politik rakyat dan proses pemilihan umum yang demokratis.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan peran partai politik sebagai komunikator politik adalah dengan cara melakukan revisi pada undang-undang partai politik dan undang-undang pemilu. Pemuatan kewajiban partai politik untuk melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat dalam proses pencalonan perlu dicantumkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang kewajiban partai politik. Selain itu, Pasal 29 mengenai rekrutmen politik juga harus ditambahkan kewajiban partai untuk melibatkan rakyat dalam proses rekrutmen politik. Dengan dimuatnya ketentuan ini, maka rakyat memiliki perluasan indikator penilaian terhadap kinerja partai politik. Jika partai melibatkan publik dalam proses rekrutmen, tentu elektabilitas partai akan meningkat karena menerapkan prinsip demokrasi secara konsekuen. Namun, jika partai tidak melibatkan publik dalam proses rekrutmen, tentu elektabilitas dan tingkat kepercayaan publik terhadap partai akan semakin turun.

BIBLIOGRAFI

 

Amad, Ichlasul. (1988). Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Tiara Wacana Yogya. 1988.

 

Asshiddiqie, Jimly. (2018). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. PT. Rajagrafindo Persada.

 

Asshiddiqie, Jimly. (2007). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Reformasi. Bhuana Ilmu Populer.

 

Budiardjo, Miriam. (1992). Dasar-Dasar dalam Ilmu Politik. Gramedia.

 

Fuady, Munir. (2013). Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum. Kencana.

 

Kranenburg & Sabaroedin. (1981). Ilmu Negara Umum. Pradnya Paramita.

 

MD, Moh. Mahfud. (2019). Politik Hukum di Indonesia. Rajawali Pers.

 

MD, Moh. Mahfud. (2017). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Rajawali Pers.

 

Purwaka, Tommy Hendra. (2011). Metodologi Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Atma Jaya.

 

Retnowati, Endang. (2018). Tatanan Orde Baru: Distorsi Ideologi Pancasila. LIPI Press.

 

Sabon, Max Boli. (2018). Ilmu Negara. Penerbit Universitas Atma Jaya Jakarta.

 

Syahuri, Taufiqurrohman. (2011). Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Kencana.

 

Winters, Jeffrey A. (2011). Oligarki. Gramedia Pustaka Utama.

 

Arianto, Henry. (2004). �Peranan Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia� Lex Jurnalica 1, No. 2, April 2004, 77-89.

 

Dahlan, Doni Muhammad. (2019). �Peningkatan Peran Partai Politik di Indonesia: Sebuah Paradigma Baru Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Jurnal Hukum Responsif 7, No.2, April 2019, 40-52.

 

Muchtar, Khoiruddin. (2016). �Komunikasi Politik dan Pembentukan Citra Partai� Jurnal Ilmu Komunikasi 14, No. 2, Agustus 2016, 136-147.

 

Muslih, et.al. (2021). �Peran Partai Politik dalam Penyelenggaraan Pemilu yang Aspiratif dan Demokratif� Justicia Sains: Jurnal Ilmu Hukum 6, No. 1, September 2021, 180-202.

 

Ramadhanti, Rika. (2018). �Partai Politik dan Demokrasi�, Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah 16, No. 3, September 2018, 251-256.

 

Sabhana. (2017). �Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum� Jurnal Warta Edisi 51, Januari 2017.

 

Saleh, Zainal Abidin. (2008). �Demokrasi dan Partai Politik�, Jurnal Legislasi Nasional 5, No. 1, Maret 2008, 56-80.

 

Wijaya, Asep, et.al. (2020). �Problematika Hukum Penerapan Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum di Indonesia�, Risalah Hukum 16, No. 1, Juni 2020 45-54.

 

Lembaga Survei Indonesia, �Survei Nasional Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Penegakan Hukum dan Persepsi terhadap Kasus Kanjuruhan�, Rilis LSI, 20 Oktober 2022.

 

Lembaga Survei Indonesia, �Survei Nasional Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Penegakan Hukum, Isu Piala Dunia U-20, Aliran Dana Tak Wajar Di Kemenkeu, Dugaan Korupsi BTS dan Peta Politik Terkini�, Rilis LSI, 9 April 2023.

 

Nirmala Maulana Achmad, �Pernyataan Bambang Pacul Dinilai sebagai Tanda Keputusan DPR Bergantung pada Modal dan Elite Partai�, Kompas, 3 April 2023. https://nasional.kompas.com/read/2023/04/03/19324471/pernyataan-bambang-pacul-dinilai-sebagai-tanda-keputusan-dpr-bergantung-pada, 2 April 2023.

Copyright holder:

Andrian (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: