Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022
�������������������������������������������������������������������������������
FAKTOR SOSIAL YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA: TINJAUAN SOSIOLEGAN DAN HUKUM
Afriliyani
Gojali1*, Shafa Aulia Kirana2, Yenny Febrianty3,
Mahipal4
1*,2 Prodi Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas
Pakuan Siliwangi Bogor, Indonesia
E-mail: 1*[email protected],
2[email protected], 4[email protected],
5[email protected]
Abstrak
Kekerasan memang tidak memandang gender, namun terlihat
sangat jelas dari data yang disajikan bahwa kekerasan terhadap perempuan
sangatlah mengkhawatirkan. Konflik yang tidak kian usai dapat menimbulkan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tingkat KDRT yang setiap tahunnya
cenderung meningkat menandakan bahwa korban mulai menyadari bahwa tindak KDRT
bukanlah sesuatu yang dapat dinormalisasi, sehingga korban memiliki hak untuk
memperjuangkan hak hidup aman dan lebih baik. Pernikahan yang seharusnya
menjadi sebuah ruang yang nyaman untuk sepasang manusia, justru menjadi ruang
paling menakutkan bagi sebagian perempuan. Adapun faktor-faktor terjadinya
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh
suami terhadap istri sangatlah beragam. KDRT merupakan sebuah perilaku yang
memberikan dampak yang sangat kompleks terhadap perempuan korban KDRT. Tindak
kekerasan tersebut menghasilkan dampak psikologis terhadap perempuan korban
KDRT. Salah satu upaya penanganan yaitu adanya pemenuhan hak terhadap perempuan
korban KDRT. Pemahaman budaya kesetaraan sangat dibutuhkan dalam kehidupan
berpasangan, keluarga, maupun masyarakat. Dengan fakta, data, dan aturan dalam
Undang-Undang yang sudah ada dan ditetapkan, seharusnya pemerintah dan
lembaga-lembaga anti kekerasan terhadap perempuan dapat bergerak lebih luwes
lagi untuk membantu dan melindungi perempuan korban kekerasan.
Kata
Kunci: KDRT, Perempuan, Kekerasan
Abstract
Violence is not see gender, but is
clearly evident from the data presented above that violence against women is
alarming. After the conflict he could cause domestic violence. The domestic
violence which annually tended to increase indicates that starting to realize
that victims of domestic violence is not something that can be normalized, the
victim has a right to safe enforcing their rights and better. Marriage should
be a room that is comfortable for a pair of men, have been the most terrifying
for some women. As for the causes of domestic violence against women
particularly those undertaken by the husband against the wife is very diverse.
Behavior that domestic violence is a very complex impact the victims of
domestic violence against women. Psychological violence resulted in the impact
the victims of domestic violence against women. One of efforts to handle the
fulfillment of the rights of the victims of domestic violence against women.
Understanding culture equality is needed in the life of in pairs, family, and
the community. To the fact, data, and rules in a law that was and set, the
government should and institutions anti violence against women can move more
flexible again to help and protect women a victim of violence.
Keywords: Domestic Violence, Women, Violence
Pendahuluan
Sistem hukum di Indonesia menempatkan hukum sebagai entitas tertinggi di
atas lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, sering disebut sebagai
"supreme." Konsep "supreme" ini membawa konsep supremasi
hukum, yang mengindikasikan tingginya kesadaran manusia dalam menjunjung tinggi
prinsip keadilan (Ilhami Bisri, 2004). Pada dasarnya, hukum dirancang untuk
melindungi kepentingan semua warga negara. Hukum memiliki sanksi yang kuat,
sehingga setiap warga negara harus mengikuti aturan yang berlaku ketika
bertindak. Tujuan utama pembuatan hukum adalah mencegah tindakan
sewenang-wenang dari pihak mana pun. Undang-Undang Dasar kita yang disusun pada
tahun 1945 sejak awal telah mengandung pernyataan dalam Pasal 27 (1) bahwa
semua individu memiliki status yang sama di mata hukum. Oleh karena itu,
prinsip kesetaraan antara pria dan wanita telah diakui di negara kita sejak
tahun 1945 (Tapi Omas Ihromi, dkk, 2006). Angka kejahatan di Indonesia terus
meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman
masyarakat terhadap substansi hukum yang sebenarnya. Salah satu contoh nyata
adalah insiden tindak pidana kekerasan yang sering terjadi dalam lingkungan
rumah tangga, di mana anggota keluarga melakukan tindakan kekerasan, yang
dikenal sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Salah satu tujuan
perkawinan juga tercantum dalam Pasal 1 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yang pada saat yang sama memberikan definisi resmi tentang
perkawinan.
�Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.�
Kemudian dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa:
�Suami isteri wajib
saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir bathin yang satu kepada yang lain.�
Dari dua pasal di atas, dapat diinterpretasikan bahwa larangan terhadap
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terutama yang dilakukan oleh suami
terhadap istri, merupakan konsekuensi dari tujuan perkawinan serta hak dan
kewajiban suami istri. Di Indonesia, perkawinan dianggap sebagai lembaga yang
suci, dan oleh karena itu, rumah tangga seharusnya menjadi tempat perlindungan
bagi semua anggota keluarga. Namun, ironisnya, banyak rumah tangga justru
menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan akibat tindakan kekerasan.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat
lagi diatasi hanya dengan merujuk pada Kitab Undang�Undang Hukum Pidana (KUHP),
karena KUHP hanya mengatur secara umum tentang bentuk-bentuk kekerasan. Oleh
karena itu, diperlukan peraturan khusus yang mengatur masalah KDRT, seperti
Undang�Undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga. Undang-undang ini bertujuan untuk mencegah, melindungi korban, dan
menindak pelaku KDRT, serta mendorong peran aktif negara dan masyarakat dalam
upaya pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku, sesuai dengan prinsip
Pancasila dan UUD 1945.
Dalam konteks ini, Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap hak asasi
manusia dan penentangan terhadap segala bentuk kekerasan, terutama KDRT, yang
dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran martabat kemanusiaan,
dan tindakan diskriminatif. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga meliputi
kekerasan seksual, fisik, psikis, dan penelantaran rumah tangga.
Setiap perkawinan diharapkan membawa kebahagiaan bagi para pihak yang
terlibat. Namun, kenyataan seringkali berbeda, dengan banyak perkawinan
berakhir dalam perceraian. Salah satu penyebab perceraian adalah kekerasan yang
dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain. Beberapa hambatan dalam
penanganan kasus KDRT termasuk diskriminasi dan kurangnya seriusitas dari
aparat penegak hukum, meskipun UU PKDRT sudah menjamin hak korban KDRT untuk
mendapatkan perlindungan dan terhindar dari kekerasan serta ancaman kekerasan.
Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun UU PKDRT berdasarkan asas penghormatan
hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan gender, nondiskriminasi, dan
perlindungan korban, dalam prakteknya belum selalu memberikan perlindungan yang
memadai bagi korban tindakan KDRT. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba
menganalisis perlindungan hukum bagi korban KDRT.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian untuk
menggambarkan masalah yang ada masa sekarang (masalah yang aktual), dengan
mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis, dan menginterpretasikan.
Deskriptif bertujuan memaparkan data hasil pengamatan tanpa pengujian
hipotesis-hipotesis (Rianto Adi, 2004). Metode pendekatan yang digunakan dalam
tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif (Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, 2007). Penelitian ini menggunakan pendekatan yang mengacu kepada
norma-norma hukum. Penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)
atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas (Amirudin & Zainal Asikin, 2004).
Dalam penelitian ini, jenis data yang akan dikumpulkan adalah data sekunder.
Adapun data sekunder tersebut memiliki ciri-ciri umum, yaitu: pertama, data
sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready�made). Kedua,
bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti
terdahulu. Ketiga, data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi
oleh waktu dan tempat (Soejono Soekanto, 2004). Data sekunder terdiri dari
bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma
atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini
peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan permasalahan,
antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan dalam
Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan serta
peraturan perundang-undangan lain yang dianggap relevan. Selain itu
dipergunakan pula bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, jurnal, majalah, karya akademik
berupa laporanlaporan penelitan dan literatur lainnya. Selanjutnya digunakan
pula bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dalam hal ini
kamus. Teknik pengumpulan data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder dilakukan melalui studi dokumen. Studi dokumen ini, dilakukan
dengan cara mencari, mempelajari dan menelaah berbagai dokumen dan bahan-bahan
pustaka baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum
tersier. Data sekunder yang telah dikumpulkan, diklasifikasikan untuk kemudian
disusun secara sistematis selanjutnya dikaji melalui penelitian ini. Melalui
pendataan yang terperinci dan sistematis, diharapkan dapat diperoleh data yang
lengkap dan akurat. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis
kualitatif. Bertitik tolak dari peraturanperaturan yang ada sebagai norma hukum
positif. Kualitatif dimaksudkan sebagai anlisis data yang bertitik tolak pada
usaha-usaha inventarisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang
relevan.
Hasil dan Pembahasan
A. Faktor
Sosial Penyebab Terjadinya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah istilah yang
mengacu pada tindakan yang dilakukan terhadap seseorang, terutama perempuan,
yang menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan secara fisik, seksual,
psikologis, atau penelantaran rumah tangga. Ancaman, paksaan, atau pembatasan
kebebasan yang tidak sesuai dengan hukum adalah contoh dari tindakan ini, yang
terjadi dalam kehidupan keluarga.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, kekerasan
dalam rumah tangga didefinisikan sebagai segala tindakan yang menyebabkan
penderitaan atau kesengsaraan dalam bentuk kekerasan fisik, seksual, psikis,
atau penelantaran terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangga, terutama
perempuan. KDRT terjadi karena rendahnya kemampuan anggota keluarga untuk
beradaptasi satu sama lain, sehingga anggota keluarga yang berkuasa cenderung
mendominasi dan mengeksploitasi anggota keluarga yang lebih lemah. Intervensi
lingkungan kemudian dapat menyebabkan KDRT juga muncul.
Faktor sosial yang menyebabkan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) adalah hasil dari berbagai interaksi dalam masyarakat, antara
lain sebagai berikut:
1.
Adanya
hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Budaya patriarki membuat laki-laki atau suami berada
dalam tingkat kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan atau istri,
sehingga perempuan tidak jarang ketika sudah menikah dianggap sebagai milik
suaminya. Hal tersebut menimbulkan ketimpangan dalam hubungan karena suami
memiliki kuasa lebih terhadap istrinya dibandingkan istrinya sendiri.
2.
Ketergantungan
ekonomi.
Pendidikan dan Budaya patriarki yang sudah menjadi bagian
dalam masyarakat memberikan pandangan bahwa seorang istri memang seharusnya
bergantung pada suami. Fenomena ini tidak jarang membuat sebagian istri tidak
terbiasa mandiri atau berdaya secara ekonomi, sehingga ketika terjadi KDRT
membuat istri harus bertahan. Perilaku seperti ini juga membuat suami merasa
memiliki kuasa lebih akan ketidak berdayaan istrinya
3.
Kekerasan
sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Kekerasan terhadap istri terjadi biasanya dilatar
belakangi oleh ketidak sesuaian harapan dengan kenyataan suami. Kekerasan
dilakukan dengan tujuan agar istri dapat memenuhi harapannya tanpa melakukan
perlawanan karena ketidak berdayaannya. Fenomena ini juga masih menjadi salah
satu dasar budaya dalam masyarakat bahwa jika perempuan atau istri tidak
menurut, maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut
4.
Persaingan.
Pada dasarnya manusia hidup memang penuh persaingan dan
tidak pernah mau kalah, begitupun dengan sepasang suami dan istri. Persaingan
antara suami dan istri terjadi akibat ketidak setaraan antara keduanya untuk
saling memenuhi keinginan masing-masing, baik dalam pendidikan, pergaulan,
penguasaan ekonomi, keadaan lingkungan kerja dan masyarakat dapat menimbulkan
persaingan yang dapat menimbulkan terjadinya KDRT. Budaya juga membuat
pandangan bahwa laki-laki tidak boleh kalah atau lebih rendah dari perempuan,
sehingga tidak heran jika terjadi kekerasan terhadap perempuan atau istri hanya
untuk memenuhi ego laki-laki atau suami
5.
Frustasi.
Kekerasan juga dapat terjadi akibat lelahnya psikis yang
menimbulkan frustasi diri dan kurangnya kemampuan coping stress suami. Frustasi
timbul akibat ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan yang dirasakan oleh
suami. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang belum siap kawin, suami belum
memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga,
dan masih serba terbatas dalam kebebasan. Dalam kasus ini biasanya suami
mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung
pada pelampiasan berbentuk kekerasan terhadap istrinya, baik secara fisik,
seksual, psikis, atau bahkan penelantaran keluarga
6.
Kesempatan
yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum.
Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan
istri untuk mengungkapkan kekerasan yang dialaminya. Hal ini juga terlihat dari
minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban,
karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Hal ini
penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan
sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga (Pangemanan
1998).
Menurut Bonaparte (2012), terdapat beberapa kendala dalam
penanganan dan perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, misalnya
korban menarik pengaduannya karena berbagai alasan, misalnya demi keutuhan
keluarga atau kondisi psikologis anak, ketergantungan ekonomi korban. Bagi
pelaku, korban takut akan ancaman dari pelaku/suami, penyebabnya karena campur
tangan keluarga atau norma budaya/adat/agama. Kurangnya alat bukti tersebut
disebabkan oleh beberapa hal, misalnya menghindari anak sebagai saksi,
mengingat kondisi psikologis anak dan dampaknya; menjaga netralitas saksi di
lingkungan rumah tangga; korban tidak segera melapor setelah kejadian sehingga
menyulitkan pelaksanaan visum; kelalaian ekonomi karena pelaku tidak mempunyai
pekerjaan/penghasilan
Dalam hal ini, jelas terlihat adanya kebutuhan besar
untuk memahami budaya kesetaraan dalam kehidupan pasangan, keluarga, dan
masyarakat. Memahami budaya kesetaraan setidaknya dapat berarti bahwa
laki-laki, khususnya laki-laki, tidak lagi harus berjuang untuk memenuhi
ekspektasi budaya patriarki di mana laki-laki harus selalu berada di atas
perempuan. Padahal, dengan budaya kesetaraan, laki-laki dan perempuan bisa
saling mencari kelebihan dalam memenuhi keinginannya sesuai kapasitas
masing-masing tanpa harus merasa bahwa laki-laki lebih rendah padahal
perempuanlah yang memenuhi kebutuhan tersebut.
B. Dampak
Dari KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Kekerasan dalam rumah tangga memiliki dampak yang serius
bagi korban dan anggota keluarganya. Sejumlah konsekuensi yang dapat muncul
pada korban kekerasan rumah tangga termasuk cedera fisik, seperti luka, memar,
atau bahaya bagi nyawa. Selain itu, mereka mungkin mengalami trauma psikologis
yang berat, termasuk depresi, kecemasan, trauma pasca stres, dan gangguan
tidur. Perasaan takut dan ketidakamanan terhadap keselamatan pribadi dan
keluarga juga seringkali muncul. Dalam aspek sosial dan hubungan, korban bisa
merasa terisolasi dari teman dan keluarga, sulit menjalin hubungan yang sehat
dengan orang lain. Kesehatan korban juga dapat terpengaruh, dengan munculnya
masalah fisik seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan sakit perut.
Dampak ekonomi juga bisa signifikan, termasuk kehilangan pekerjaan atau penghasilan, serta biaya pengobatan yang tinggi (Naufal
Hibrizi Setiawan, 2023).
Selain itu,
pengalaman menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga pada masa kanak-kanak diketahui menjadi faktor penting yang dapat
menjelaskan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan dalam
hubungan intim di masa dewasa. Anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga yang
mengalami kekerasan mempunyai kemungkinan tiga kali lebih besar untuk menjadi
pelaku kekerasan terhadap istri dan keluarganya di masa depan; Sementara itu,
anak perempuan yang menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga akan berkembang
menjadi perempuan dewasa yang cenderung pasif dan mempunyai risiko tinggi untuk
menjadi korban kekerasan dalam keluarganya di kemudian hari (Isyatul Mardiyati,
2008).
Anak mendapat
perlakuan kasar dalam proses belajar mengajar, lambatnya kemampuan menerima
materi, bahkan anak mendapat ejekan atau hinaan dari teman sekelasnya karena
mendapat nilai jelek atau tidak mampu menjawab soal. Hal ini pula yang
mendorong terjadinya kasus trauma yang terjadi pada anak. Dengan demikian,
trauma tidak bisa dipandang sebagai masalah sederhana yang hanya terjadi secara
sporadis pada orang-orang tertentu.
Stres psikologis yang paling berat pada individu sering
disebut sebagai gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder).
Kondisi kecemasan ini telah mendapatkan perhatian yang besar selama beberapa
dekade terakhir, seiring dengan penelitian yang telah menggali dampak trauma
jangka pendek dan jangka panjang pada anak-anak dan orang dewasa. Banyak
masalah psikologis pada remaja dan orang dewasa, seperti gangguan perilaku dan
temuan karakteristik yang sebelumnya dianggap sebagai hasil dari konflik
psikologis internal, ternyata berkaitan dengan pengalaman traumatis sebelumnya.
Biasanya, gangguan tersebut terjadi pada individu yang telah mengalami
peristiwa traumatis, seperti menyaksikan ancaman terhadap nyawa mereka atau
orang yang mereka cintai, kerusakan tempat tinggal atau komunitas, atau melihat
tindakan kekerasan fisik.
Gangguan stres pasca-trauma ini dapat dibedakan dari
gangguan mental lain yang muncul setelah trauma serius, seperti depresi berat
atau kecemasan umum, dengan adanya pengalaman ulang peristiwa traumatik seolah-olah
peristiwa tersebut terjadi kembali karena pikiran atau stimulus lingkungan.
Pengalaman berulang ini ditandai dengan kenangan yang sering muncul, mimpi
berulang, atau perubahan tiba-tiba dalam perilaku dan perasaan yang terkait
dengan pengalaman tersebut. Ini kemudian dapat diikuti oleh respons terhadap
dunia luar, seperti hilangnya minat dalam aktivitas sehari-hari, perasaan
terisolasi dari orang lain, perasaan terbatas, perasaan waspada yang tinggi,
gangguan tidur, perasaan bersalah karena selamat dari situasi berbahaya,
kesulitan dalam ingatan dan konsentrasi, upaya menghindari situasi yang
mengingatkan pada pengalaman traumatis, dan peningkatan gejala saat berhadapan
dengan situasi yang mirip dengan peristiwa tersebut. Ada sejumlah dampak yang dapat
muncul sebagai respons terhadap trauma kekerasan pada anak, meskipun
manifestasinya mungkin berbeda-beda pada setiap anak. Adapun bentuk perilaku
anak yang telah mengalami trauma
adalah sebagai berikut:
1.
Agresif
Sikap ini seringkali ditujukan� kepada pelaku kekerasan yang dilakukan oleh
anak. Biasanya diungkapkan ketika anak merasa ada yang bisa melindunginya. Ketika
orang yang Anda anggap bisa melindungi anda ada di rumah, anak akan langsung
memukul atau bersikap agresif terhadap pengasuhnya.
2.
Murung
atau depresi
Kekerasan dapat menyebabkan seorang anak mengalami
perubahan yang signifikan, seperti menjadi anak yang mengalami gangguan tidur
dan makan, bahkan dapat disertai dengan penurunan berat badan. Anak-anak juga
mungkin menarik diri dari lingkungan yang traumatis. Ia menjadi anak yang lebih
gelap, pendiam, dan tampak kurang ekspresif.
3.
Mudah
menangis
Sikap ini tercermin dari anak yang tidak merasa� aman dengan lingkungannya. Karena dia
kehilangan seseorang yang bisa melindunginya.
�Kemungkinan besar,
anak� sulit mempercayai orang lain.
4.
Melakukan
tindak kekerasan pada orang lain
Anak-anak memahami semua ini� karena mereka melihat bagaimana orang dewasa
memperlakukan mereka di masa lalu. Dia belajar dari pengalamannya dan kemudian
bereaksi berdasarkan apa yang dia pelajari.
5.
Secara
kognitif anak bisa mengalami penurunan.
Karena pencegahan kekerasan emosional atau jika anak
mengalami kekerasan fisik yang berdampak pada kepala, justru dapat mengganggu
fungsi otak dan selanjutnya mempengaruhi proses dan hasil belajar.
Dampak traumatis dari
kekerasan yang dialami anak, seperti yang disebutkan oleh Hadi Supene, dapat
mengakibatkan berulangnya perilaku kekerasan, terutama di lingkungan sekolah,
yang sering disebut sebagai tindakan bullying. Bullying adalah tindakan
penyiksaan atau pelecehan yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang
terhadap individu yang lebih lemah, tanpa motif yang jelas, seperti yang
dijelaskan dalam Kamus Webster. Trauma psikologis yang dialami selama masa kecil
dapat mempengaruhi perilaku sosial dan politik saat dewasa, sejalan dengan
teori psikoanalis yang menyatakan bahwa pengalaman masa kecil berperan dalam
membentuk perilaku seseorang di masa dewasa. Dengan kata lain, perilaku keras
dan ekstrem yang ditunjukkan oleh seseorang saat dewasa dapat dikaitkan dengan
pengalaman kekerasan fisik, struktural, atau verbal yang dialami dalam masa
kecilnya. Terakhir, dampak
jangka panjang mungkin muncul, seperti korban yang lebih rentan menjadi target
kekerasan dalam rumah tangga di masa depan atau mengalami masalah kesehatan
mental jangka panjang. Oleh karena itu, mendukung korban dan menyediakan
perawatan yang sesuai sangat penting untuk membantu mereka pulih dari dampak
ini. Lebih lanjut, pencegahan kekerasan dalam rumah tangga adalah langkah
terbaik untuk mengurangi dampaknya terhadap korban dan keluarganya.
Secara keseluruhan,
hukum keluarga memegang peran utama dalam mencegah dan menangani KDRT.
Kerjasama antara sistem hukum keluarga, organisasi masyarakat sipil, petugas
kesehatan, dan kelompok advokasi adalah kunci untuk mengatasi masalah ini
dengan efektif.Peran hukum keluarga dalam menangani KDRT adalah sangat
signifikan. Peran tersebut mencakup:
1. Perlindungan
Korban
Hukum keluarga menyediakan mekanisme hukum untuk
melindungi korban KDRT dari potensi kekerasan lanjutan, termasuk perintah
pengadilan untuk menjaga jarak dari pelaku, perintah pengadilan terkait
tanggung jawab anak, atau bantuan hukum bagi korban KDRT.
2. Penegakan
Hukum
Hukum keluarga juga memastikan bahwa pelaku KDRT dihukum
sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk sanksi seperti penjara, denda,
atau pengawasan pengadilan.
3. Penanganan
Kasus KDRT:
Hukum keluarga dapat membantu mengatasi kasus KDRT
melalui proses peradilan pidana atau melalui prosedur hukum keluarga, seperti
perceraian atau hak asuh anak.
4. Pendidikan
dan Pemahaman
Hukum keluarga memiliki peran penting dalam meningkatkan
pemahaman dan kesadaran tentang KDRT, melalui upaya seperti kampanye
pencegahan, program pelatihan untuk petugas hukum dan penegak hukum, serta
dukungan terhadap organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada pencegahan dan
penanganan KDRT.
5. Pemulihan
Korban
Hukum keluarga juga mendukung pemulihan korban KDRT dari
dampak yang mereka alami, termasuk akses ke layanan kesehatan mental dan fisik,
dukungan kelompok, dan program rehabilitasi.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini dilandasi oleh berbagai pertimbangan,
antara lain bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terutama
kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (Romli
Atmasasmita, 2007). Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga
adalah:
Pasal 2
1. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:
a. Suami,
istri, dan anak;
b. Orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga;dan/atau
c.
Orang
yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang
sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan Kekerasan dalam rumah tangga sebagai fenomena baru dalam
masyarakat Indonesia memandang bahwa korban atau objek kekerasan dalam rumah
tangga tidak selalu dialami oleh perempuan. Dalam hal ini, UU No.23 tahun 2004
telah merumuskan beberapa pihak yang terlibat dalam kekerasan dalam rumah
tangga yaitu istri, suami, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan suami dan istri karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan
dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan orang yang bekerja membantu
rumah tangga. Akan tetapi bagi kekerasan dalam rumah tangga, setiap orang yang
berinteraksi dalam lingkungan rumah tangga juga menjadi korban atau pelaku
dalam tindak kejahatan terhadap rumah tangga. Setelah kita memahami beberapa
pihak yang terlibat dalam suatu hubungan rumah tangga, maka harus dipahami
lebih lanjut tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri agar
tidak terjadi kesalahan persepsi dalam memandang kekersan dalam rumah tangga.
Menurut Pasal 5
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga meliputi:
a. Kekerasan
fisik
b. Kekerasan
Psikis �
c. Kekerasan
Seksual
d. Penelantaran
Rumah tangga (Redaksi Sinar Garfik,
2007)
Kekerasan fisik
menurut Pasal 6 Undang-Undang Kekerasan dalam rumah tangga adalah: �Perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.�
Kemudian, yang dimaksud
dalam kekerasan psikis menurut Pasal 7 Undang-Undang kekerasan dalam rumah
tangga adalah
�Perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat
seseorang�.
Selanjutnya, yang
dimaksud dengan kekerasan seksual menurut Pasal 8 Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Kekerasan Rumah Tangga adalah:
a.
Pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan
rumah tanga tersebut.
b.
Pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Penelantaran rumah
tangga menurut Pasal 9 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah:
1)
Setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan lepada orang tersebut.
2)
Penelantaran
sebagimanan pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali
orang tersebut.
Untuk Ketentuan
Pidana bagi pelaku KDRT diatur dalam Pasal44 s/d Pasal 53 UURI No.23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pasal
44�
1) Setiap
orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,- (lima belas
juta rupiah).
2) Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat
jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
3)
Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4)
Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling
banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal
45:
1) Setiap
orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan
juta rupiah).
2) Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling
banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal
46:
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal
47:
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam
rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48: Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak
memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau
kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal
49:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap
orang yang: a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. menelantarkan orang lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50:
Selain pidana
sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan
berupa :
a.
pembatasan
gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam
jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b.
b.
penetapan
pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51 :
Tindak pidana
kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4).
Pasal 52:
Tindak pidana
kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik
aduan.
Pasal 53:
Tindak pidana
kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan. Dalam penyelesaian
perkara pidana, seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak
tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan. Banyak ditemukan korban
kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan
yang sifatnya immateriil maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai
alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga
kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan
haknya adalah kecil (Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2003). Korban tidak
diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan
dan persidangan sehingga kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan
memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan (Muladi, 1995). Dalam menjatuhkan
sanksi pidana, hakim dituntut untuk menghukum secara maksimal terhadap pelaku
berdasarkan tindak pidananya seperti yang tercantum didalam ketentuan pidana
Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 UU PKDRT Namun kenyataannya perlindungan hukum
terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga tidak optimal.
Hambatan dalam
menangani kekerasan dalam rumah tangga dimulai sejak proses investigasi. Penyidik
Polri (Polri) terhambat karena masyarakat masih menganggap KDRT
adalah urusan pribadi atau keluarga sehingga tidak pantas campur tangan pihak
lain atau polisi. Karena perempuan (istri) mempunyai hati nurani yang lembut
dan mendalami adat dan budaya Timur, maka mereka tidak tega membalas dendam
kepada suami dan mantan suaminya dengan melaporkan perbuatannya kepada polisi,
meskipun telah melukai atau menganiayanya jatuhkan keduanya fisik dan
psikologis (Moerti Hadiati Soeroso, 2010). Masyarakat Indonesia mengedepankan
nilai-nilai kekeluargaan sebagai prinsip utama. Kesatuan dan keharmonisan dalam
lingkungan rumah tangga dianggap sangat penting. Ketika ada konflik di dalam
rumah tangga, upaya penyelesaiannya biasanya melalui pendekatan kekeluargaan.
Tidak jarang, muncul rasa malu jika masalah dalam rumah tangga tersebut
diketahui oleh orang lain, dan peran istri dalam pengabdian kepada suami masih
memiliki peran yang signifikan dalam dinamika rumah tangga di Indonesia.
Meskipun telah ada undang-undang khusus yang dirancang untuk mengatasi kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), namun kenyataannya, kekerasan tersebut
masih sering terjadi.
Selain hambatan dalam
proses penyelidikan, ada berbagai faktor internal dan eksternal yang dapat
menghambat penanganan masalah ini, termasuk dari pihak korban, keluarga,
masyarakat, dan pemerintah. Perlindungan hukum yang memadai bagi korban
kejahatan tidak hanya menjadi isu nasional, tetapi juga mendapat perhatian
internasional. Oleh karena itu, perlu ada perhatian serius terhadap masalah
ini. Pentingnya perlindungan korban kejahatan harus mendapat perhatian serius.Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban mendefinisikan
perlindungan sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak korban dan memberikan bantuan
agar mereka merasa aman. Upaya ini wajib dilakukan oleh Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga serupa sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Perlindungan ini
disediakan dalam semua fase proses peradilan pidana dalam cakupan peradilan
tersebut. Perlindungan hukum bagi masyarakat sangat penting karena baik
kelompok maupun individu dapat menjadi korban atau bahkan terdampak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga memberikan perhatian khusus pada hak-hak korban yang mungkin terjebak
dalam situasi tersebut. Hak-hak ini mencakup (Vidi Pradinata, 2017):
a. Hak untuk meminta perlindungan kepada individu, kelompok,
atau lembaga, baik yang bersifat swasta maupun pemerintah, di tingkat lokal,
nasional, atau internasional.
b.
Kemampuan
untuk mengambil tindakan hukum melalui sistem peradilan dan lembaga lain yang
ada di tingkat lokal, nasional, atau internasional.
c.
Akses
ke layanan darurat yang disediakan tanpa biaya dan layanan lain yang
mempertimbangkan kondisi korban.
d.
Menikmati
perlindungan identitas yang menjaga kerahasiaan.
e.
Memperoleh
informasi dan terlibur dalam setiap langkah dalam proses pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan pendampingan dan penanganan kasus.
f.
Mendapatkan
jaminan hak-hak yang berhubungan dengan statusnya, seperti dalam hubungan
pasangan, orangtua, anak, atau pekerja rumah tangga. Terutama dalam perkawinan,
pembagian harta bersama harus didasarkan pada kontribusi nyata dari
masing-masing pihak.
g.
Dapat
didampingi secara psikologis dan hukum oleh tenaga medis dan pengacara selama
setiap tahap pemeriksaan dan proses peradilan, termasuk kemungkinan pengacara
yang mewakili korban kekerasan dalam rumah tangga dapat tampil di hadapan
pengadilan.
h.
Mungkin
berhak mendapatkan kompensasi atas kerugian yang dialami.
i.
Kemungkinan
mendapatkan izin dari tempat kerja untuk menyelesaikan perkara hukumnya.
Pasal 10 dalam
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyatakan hak-hak
perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai berikut:
a. Hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai
pihak, termasuk keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lain, baik dalam jangka waktu sementara maupun sesuai dengan
penetapan pemerintah, seperti perlindungan dari pengadilan.
b.
Hak
korban untuk menerima layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya.
c.
Hak
korban untuk memperoleh penanganan khusus yang menjaga kerahasiaan identitas
korban.
d.
Hak
korban untuk mendapatkan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tahap proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.
e. Hak korban untuk menerima pelayanan bimbingan rohani.
Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diundangkan
pada tanggal 22 September 2004 menjadi dasar hukum untuk upaya penghapusan dan
pencegahan tindak kekerasan, serta perlindungan korban dan penegakan hukum
terhadap pelaku kekerasan. Penting untuk mensosialisasikan undang-undang ini
lagi agar tujuan penghapusan diskriminasi dan tindak kekerasan dalam rumah
tangga dapat tercapai.
Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan permasalahan
kompleks yang mencakup aspek sosial, hukum, budaya, dan psikologis. Artikel ini
membahas berbagai aspek kekerasan dalam rumah tangga, seperti faktor sosial
yang berkontribusi dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Selain itu,
peran hukum dalam penanganan masalah ini juga dibahas, termasuk upaya
pencegahan dan perlindungan korban. Kesimpulannya, kekerasan dalam rumah tangga
adalah masalah serius dengan dampak yang merugikan secara fisik dan psikis,
serta dampak yang lebih luas terhadap masyarakat. Sistem hukum memiliki
kebijakan perlindungan, namun tantangan konsistensi penerapannya masih ada.
Oleh karena itu, upaya pencegahan, seperti pendidikan masyarakat dan kampanye
kesadaran, menjadi fokus utama dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga
untuk mengubah budaya dan mencegah kekerasan tersebut.
Adi, R. (2004). Metodologi Penelitian Sosial dan
Hukum. Jakarta: Granit Press.
Amirudin,
& Asikin, Z. (2006). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. Grafindo Persada.
Bisri, I.
(2004). Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Raja Grafindo Persada.
Chaerudin,
& Fadillah, S. (2003). Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi
dan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Grhadika Press.
Irianto, S., Ihromi,
T. O., Luhulima, & Sudiarti, A. (2000). Penghapusan Deskriminasi
Terhadap Wanita. Bandung: Bandung: Alumni.
Redaksi Sinar
Grafik. (2005). KUHAP dan KUHP. Jakarta: Sinar Grafika.
Soekanto, S.,
& Mumadji, S. (2007). Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soeroso, M. H.
(2010). Kekerasan Dalam Rumah tangga dalam Perspektif
Yuridis-Viktimologis. Malang: Sinar Grafika.
Atmasasmita, R. (2007). Teori dan Kapita Selekta
Krimonologi. Rafika Aditama journal.
Mardiyati, I.
(2015). Dampak Trauma Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perkembangan
Psikis Anak. Raheema: Jurnal Studi Gender dan Anak.
Pradinata, V.
(2017). Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT). Jurnal Hukum Khaira Ummah.
Setiawan, N.
H., Selviani, S. D., Damayanti, D., Pramudya, F., & Antony, H. (2023).
Pemahaman dan Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Tinjauan
Literatur. Jurnal Kajian Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Copyright
holder: Afriliyani
Gojali, Shafa Aulia Kirana, Yenny Febrianty, Mahipal (2022) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |