Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022

�������������������������������������������������������������������������������

FAKTOR SOSIAL YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA: TINJAUAN SOSIOLEGAN DAN HUKUM

 

Afriliyani Gojali1*, Shafa Aulia Kirana2, Yenny Febrianty3, Mahipal4

1*,2 Prodi Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Pakuan Siliwangi Bogor, Indonesia

E-mail: 1*[email protected], 2[email protected], 4[email protected], 5[email protected]

 

Abstrak

Kekerasan memang tidak memandang gender, namun terlihat sangat jelas dari data yang disajikan bahwa kekerasan terhadap perempuan sangatlah mengkhawatirkan. Konflik yang tidak kian usai dapat menimbulkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tingkat KDRT yang setiap tahunnya cenderung meningkat menandakan bahwa korban mulai menyadari bahwa tindak KDRT bukanlah sesuatu yang dapat dinormalisasi, sehingga korban memiliki hak untuk memperjuangkan hak hidup aman dan lebih baik. Pernikahan yang seharusnya menjadi sebuah ruang yang nyaman untuk sepasang manusia, justru menjadi ruang paling menakutkan bagi sebagian perempuan. Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri sangatlah beragam. KDRT merupakan sebuah perilaku yang memberikan dampak yang sangat kompleks terhadap perempuan korban KDRT. Tindak kekerasan tersebut menghasilkan dampak psikologis terhadap perempuan korban KDRT. Salah satu upaya penanganan yaitu adanya pemenuhan hak terhadap perempuan korban KDRT. Pemahaman budaya kesetaraan sangat dibutuhkan dalam kehidupan berpasangan, keluarga, maupun masyarakat. Dengan fakta, data, dan aturan dalam Undang-Undang yang sudah ada dan ditetapkan, seharusnya pemerintah dan lembaga-lembaga anti kekerasan terhadap perempuan dapat bergerak lebih luwes lagi untuk membantu dan melindungi perempuan korban kekerasan.

 

Kata Kunci: KDRT, Perempuan, Kekerasan

 

Abstract

Violence is not see gender, but is clearly evident from the data presented above that violence against women is alarming. After the conflict he could cause domestic violence. The domestic violence which annually tended to increase indicates that starting to realize that victims of domestic violence is not something that can be normalized, the victim has a right to safe enforcing their rights and better. Marriage should be a room that is comfortable for a pair of men, have been the most terrifying for some women. As for the causes of domestic violence against women particularly those undertaken by the husband against the wife is very diverse. Behavior that domestic violence is a very complex impact the victims of domestic violence against women. Psychological violence resulted in the impact the victims of domestic violence against women. One of efforts to handle the fulfillment of the rights of the victims of domestic violence against women. Understanding culture equality is needed in the life of in pairs, family, and the community. To the fact, data, and rules in a law that was and set, the government should and institutions anti violence against women can move more flexible again to help and protect women a victim of violence.

 

Keywords: Domestic Violence, Women, Violence

 

Pendahuluan

Sistem hukum di Indonesia menempatkan hukum sebagai entitas tertinggi di atas lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, sering disebut sebagai "supreme." Konsep "supreme" ini membawa konsep supremasi hukum, yang mengindikasikan tingginya kesadaran manusia dalam menjunjung tinggi prinsip keadilan (Ilhami Bisri, 2004). Pada dasarnya, hukum dirancang untuk melindungi kepentingan semua warga negara. Hukum memiliki sanksi yang kuat, sehingga setiap warga negara harus mengikuti aturan yang berlaku ketika bertindak. Tujuan utama pembuatan hukum adalah mencegah tindakan sewenang-wenang dari pihak mana pun. Undang-Undang Dasar kita yang disusun pada tahun 1945 sejak awal telah mengandung pernyataan dalam Pasal 27 (1) bahwa semua individu memiliki status yang sama di mata hukum. Oleh karena itu, prinsip kesetaraan antara pria dan wanita telah diakui di negara kita sejak tahun 1945 (Tapi Omas Ihromi, dkk, 2006). Angka kejahatan di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat terhadap substansi hukum yang sebenarnya. Salah satu contoh nyata adalah insiden tindak pidana kekerasan yang sering terjadi dalam lingkungan rumah tangga, di mana anggota keluarga melakukan tindakan kekerasan, yang dikenal sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Salah satu tujuan perkawinan juga tercantum dalam Pasal 1 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang pada saat yang sama memberikan definisi resmi tentang perkawinan.

�Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.�

Kemudian dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa:

�Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.�

Dari dua pasal di atas, dapat diinterpretasikan bahwa larangan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terutama yang dilakukan oleh suami terhadap istri, merupakan konsekuensi dari tujuan perkawinan serta hak dan kewajiban suami istri. Di Indonesia, perkawinan dianggap sebagai lembaga yang suci, dan oleh karena itu, rumah tangga seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi semua anggota keluarga. Namun, ironisnya, banyak rumah tangga justru menjadi tempat penderitaan dan penyiksaan akibat tindakan kekerasan.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat lagi diatasi hanya dengan merujuk pada Kitab Undang�Undang Hukum Pidana (KUHP), karena KUHP hanya mengatur secara umum tentang bentuk-bentuk kekerasan. Oleh karena itu, diperlukan peraturan khusus yang mengatur masalah KDRT, seperti Undang�Undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini bertujuan untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku KDRT, serta mendorong peran aktif negara dan masyarakat dalam upaya pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku, sesuai dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945.

Dalam konteks ini, Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap hak asasi manusia dan penentangan terhadap segala bentuk kekerasan, terutama KDRT, yang dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran martabat kemanusiaan, dan tindakan diskriminatif. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan seksual, fisik, psikis, dan penelantaran rumah tangga.

Setiap perkawinan diharapkan membawa kebahagiaan bagi para pihak yang terlibat. Namun, kenyataan seringkali berbeda, dengan banyak perkawinan berakhir dalam perceraian. Salah satu penyebab perceraian adalah kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak lain. Beberapa hambatan dalam penanganan kasus KDRT termasuk diskriminasi dan kurangnya seriusitas dari aparat penegak hukum, meskipun UU PKDRT sudah menjamin hak korban KDRT untuk mendapatkan perlindungan dan terhindar dari kekerasan serta ancaman kekerasan.

Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun UU PKDRT berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan, kesetaraan gender, nondiskriminasi, dan perlindungan korban, dalam prakteknya belum selalu memberikan perlindungan yang memadai bagi korban tindakan KDRT. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menganalisis perlindungan hukum bagi korban KDRT.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian untuk menggambarkan masalah yang ada masa sekarang (masalah yang aktual), dengan mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis, dan menginterpretasikan. Deskriptif bertujuan memaparkan data hasil pengamatan tanpa pengujian hipotesis-hipotesis (Rianto Adi, 2004). Metode pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007). Penelitian ini menggunakan pendekatan yang mengacu kepada norma-norma hukum. Penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas (Amirudin & Zainal Asikin, 2004). Dalam penelitian ini, jenis data yang akan dikumpulkan adalah data sekunder. Adapun data sekunder tersebut memiliki ciri-ciri umum, yaitu: pertama, data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready�made). Kedua, bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu. Ketiga, data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat (Soejono Soekanto, 2004). Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan permasalahan, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan serta peraturan perundang-undangan lain yang dianggap relevan. Selain itu dipergunakan pula bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, jurnal, majalah, karya akademik berupa laporanlaporan penelitan dan literatur lainnya. Selanjutnya digunakan pula bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dalam hal ini kamus. Teknik pengumpulan data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dilakukan melalui studi dokumen. Studi dokumen ini, dilakukan dengan cara mencari, mempelajari dan menelaah berbagai dokumen dan bahan-bahan pustaka baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. Data sekunder yang telah dikumpulkan, diklasifikasikan untuk kemudian disusun secara sistematis selanjutnya dikaji melalui penelitian ini. Melalui pendataan yang terperinci dan sistematis, diharapkan dapat diperoleh data yang lengkap dan akurat. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Bertitik tolak dari peraturanperaturan yang ada sebagai norma hukum positif. Kualitatif dimaksudkan sebagai anlisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha inventarisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang relevan.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Faktor Sosial Penyebab Terjadinya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah istilah yang mengacu pada tindakan yang dilakukan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga. Ancaman, paksaan, atau pembatasan kebebasan yang tidak sesuai dengan hukum adalah contoh dari tindakan ini, yang terjadi dalam kehidupan keluarga.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, kekerasan dalam rumah tangga didefinisikan sebagai segala tindakan yang menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan dalam bentuk kekerasan fisik, seksual, psikis, atau penelantaran terhadap seseorang dalam lingkup rumah tangga, terutama perempuan. KDRT terjadi karena rendahnya kemampuan anggota keluarga untuk beradaptasi satu sama lain, sehingga anggota keluarga yang berkuasa cenderung mendominasi dan mengeksploitasi anggota keluarga yang lebih lemah. Intervensi lingkungan kemudian dapat menyebabkan KDRT juga muncul.

Faktor sosial yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah hasil dari berbagai interaksi dalam masyarakat, antara lain sebagai berikut:

1.      Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.

Budaya patriarki membuat laki-laki atau suami berada dalam tingkat kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan atau istri, sehingga perempuan tidak jarang ketika sudah menikah dianggap sebagai milik suaminya. Hal tersebut menimbulkan ketimpangan dalam hubungan karena suami memiliki kuasa lebih terhadap istrinya dibandingkan istrinya sendiri.

2.      Ketergantungan ekonomi.

Pendidikan dan Budaya patriarki yang sudah menjadi bagian dalam masyarakat memberikan pandangan bahwa seorang istri memang seharusnya bergantung pada suami. Fenomena ini tidak jarang membuat sebagian istri tidak terbiasa mandiri atau berdaya secara ekonomi, sehingga ketika terjadi KDRT membuat istri harus bertahan. Perilaku seperti ini juga membuat suami merasa memiliki kuasa lebih akan ketidak berdayaan istrinya

3.      Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.

Kekerasan terhadap istri terjadi biasanya dilatar belakangi oleh ketidak sesuaian harapan dengan kenyataan suami. Kekerasan dilakukan dengan tujuan agar istri dapat memenuhi harapannya tanpa melakukan perlawanan karena ketidak berdayaannya. Fenomena ini juga masih menjadi salah satu dasar budaya dalam masyarakat bahwa jika perempuan atau istri tidak menurut, maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut

4.      Persaingan.

Pada dasarnya manusia hidup memang penuh persaingan dan tidak pernah mau kalah, begitupun dengan sepasang suami dan istri. Persaingan antara suami dan istri terjadi akibat ketidak setaraan antara keduanya untuk saling memenuhi keinginan masing-masing, baik dalam pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi, keadaan lingkungan kerja dan masyarakat dapat menimbulkan persaingan yang dapat menimbulkan terjadinya KDRT. Budaya juga membuat pandangan bahwa laki-laki tidak boleh kalah atau lebih rendah dari perempuan, sehingga tidak heran jika terjadi kekerasan terhadap perempuan atau istri hanya untuk memenuhi ego laki-laki atau suami

5.      Frustasi.

Kekerasan juga dapat terjadi akibat lelahnya psikis yang menimbulkan frustasi diri dan kurangnya kemampuan coping stress suami. Frustasi timbul akibat ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan yang dirasakan oleh suami. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang belum siap kawin, suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan masih serba terbatas dalam kebebasan. Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan berbentuk kekerasan terhadap istrinya, baik secara fisik, seksual, psikis, atau bahkan penelantaran keluarga

6.      Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum.

Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang dialaminya. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga (Pangemanan 1998).

Menurut Bonaparte (2012), terdapat beberapa kendala dalam penanganan dan perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, misalnya korban menarik pengaduannya karena berbagai alasan, misalnya demi keutuhan keluarga atau kondisi psikologis anak, ketergantungan ekonomi korban. Bagi pelaku, korban takut akan ancaman dari pelaku/suami, penyebabnya karena campur tangan keluarga atau norma budaya/adat/agama. Kurangnya alat bukti tersebut disebabkan oleh beberapa hal, misalnya menghindari anak sebagai saksi, mengingat kondisi psikologis anak dan dampaknya; menjaga netralitas saksi di lingkungan rumah tangga; korban tidak segera melapor setelah kejadian sehingga menyulitkan pelaksanaan visum; kelalaian ekonomi karena pelaku tidak mempunyai pekerjaan/penghasilan

Dalam hal ini, jelas terlihat adanya kebutuhan besar untuk memahami budaya kesetaraan dalam kehidupan pasangan, keluarga, dan masyarakat. Memahami budaya kesetaraan setidaknya dapat berarti bahwa laki-laki, khususnya laki-laki, tidak lagi harus berjuang untuk memenuhi ekspektasi budaya patriarki di mana laki-laki harus selalu berada di atas perempuan. Padahal, dengan budaya kesetaraan, laki-laki dan perempuan bisa saling mencari kelebihan dalam memenuhi keinginannya sesuai kapasitas masing-masing tanpa harus merasa bahwa laki-laki lebih rendah padahal perempuanlah yang memenuhi kebutuhan tersebut.

B.     Dampak Dari KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Kekerasan dalam rumah tangga memiliki dampak yang serius bagi korban dan anggota keluarganya. Sejumlah konsekuensi yang dapat muncul pada korban kekerasan rumah tangga termasuk cedera fisik, seperti luka, memar, atau bahaya bagi nyawa. Selain itu, mereka mungkin mengalami trauma psikologis yang berat, termasuk depresi, kecemasan, trauma pasca stres, dan gangguan tidur. Perasaan takut dan ketidakamanan terhadap keselamatan pribadi dan keluarga juga seringkali muncul. Dalam aspek sosial dan hubungan, korban bisa merasa terisolasi dari teman dan keluarga, sulit menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Kesehatan korban juga dapat terpengaruh, dengan munculnya masalah fisik seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan sakit perut. Dampak ekonomi juga bisa signifikan, termasuk kehilangan pekerjaan atau penghasilan, serta biaya pengobatan yang tinggi (Naufal Hibrizi Setiawan, 2023).

Selain itu, pengalaman menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga pada masa kanak-kanak diketahui menjadi faktor penting yang dapat menjelaskan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan dalam hubungan intim di masa dewasa. Anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami kekerasan mempunyai kemungkinan tiga kali lebih besar untuk menjadi pelaku kekerasan terhadap istri dan keluarganya di masa depan; Sementara itu, anak perempuan yang menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga akan berkembang menjadi perempuan dewasa yang cenderung pasif dan mempunyai risiko tinggi untuk menjadi korban kekerasan dalam keluarganya di kemudian hari (Isyatul Mardiyati, 2008).

Anak mendapat perlakuan kasar dalam proses belajar mengajar, lambatnya kemampuan menerima materi, bahkan anak mendapat ejekan atau hinaan dari teman sekelasnya karena mendapat nilai jelek atau tidak mampu menjawab soal. Hal ini pula yang mendorong terjadinya kasus trauma yang terjadi pada anak. Dengan demikian, trauma tidak bisa dipandang sebagai masalah sederhana yang hanya terjadi secara sporadis pada orang-orang tertentu.

Stres psikologis yang paling berat pada individu sering disebut sebagai gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder). Kondisi kecemasan ini telah mendapatkan perhatian yang besar selama beberapa dekade terakhir, seiring dengan penelitian yang telah menggali dampak trauma jangka pendek dan jangka panjang pada anak-anak dan orang dewasa. Banyak masalah psikologis pada remaja dan orang dewasa, seperti gangguan perilaku dan temuan karakteristik yang sebelumnya dianggap sebagai hasil dari konflik psikologis internal, ternyata berkaitan dengan pengalaman traumatis sebelumnya. Biasanya, gangguan tersebut terjadi pada individu yang telah mengalami peristiwa traumatis, seperti menyaksikan ancaman terhadap nyawa mereka atau orang yang mereka cintai, kerusakan tempat tinggal atau komunitas, atau melihat tindakan kekerasan fisik.

Gangguan stres pasca-trauma ini dapat dibedakan dari gangguan mental lain yang muncul setelah trauma serius, seperti depresi berat atau kecemasan umum, dengan adanya pengalaman ulang peristiwa traumatik seolah-olah peristiwa tersebut terjadi kembali karena pikiran atau stimulus lingkungan. Pengalaman berulang ini ditandai dengan kenangan yang sering muncul, mimpi berulang, atau perubahan tiba-tiba dalam perilaku dan perasaan yang terkait dengan pengalaman tersebut. Ini kemudian dapat diikuti oleh respons terhadap dunia luar, seperti hilangnya minat dalam aktivitas sehari-hari, perasaan terisolasi dari orang lain, perasaan terbatas, perasaan waspada yang tinggi, gangguan tidur, perasaan bersalah karena selamat dari situasi berbahaya, kesulitan dalam ingatan dan konsentrasi, upaya menghindari situasi yang mengingatkan pada pengalaman traumatis, dan peningkatan gejala saat berhadapan dengan situasi yang mirip dengan peristiwa tersebut. Ada sejumlah dampak yang dapat muncul sebagai respons terhadap trauma kekerasan pada anak, meskipun manifestasinya mungkin berbeda-beda pada setiap anak. Adapun bentuk perilaku anak yang telah mengalami trauma adalah sebagai berikut:

1.      Agresif

Sikap ini seringkali ditujukan� kepada pelaku kekerasan yang dilakukan oleh anak. Biasanya diungkapkan ketika anak merasa ada yang bisa melindunginya. Ketika orang yang Anda anggap bisa melindungi anda ada di rumah, anak akan langsung memukul atau bersikap agresif terhadap pengasuhnya.

2.      Murung atau depresi

Kekerasan dapat menyebabkan seorang anak mengalami perubahan yang signifikan, seperti menjadi anak yang mengalami gangguan tidur dan makan, bahkan dapat disertai dengan penurunan berat badan. Anak-anak juga mungkin menarik diri dari lingkungan yang traumatis. Ia menjadi anak yang lebih gelap, pendiam, dan tampak kurang ekspresif.

3.      Mudah menangis

Sikap ini tercermin dari anak yang tidak merasa� aman dengan lingkungannya. Karena dia kehilangan seseorang yang bisa melindunginya.

�Kemungkinan besar, anak� sulit mempercayai orang lain.

4.      Melakukan tindak kekerasan pada orang lain

Anak-anak memahami semua ini� karena mereka melihat bagaimana orang dewasa memperlakukan mereka di masa lalu. Dia belajar dari pengalamannya dan kemudian bereaksi berdasarkan apa yang dia pelajari.

5.      Secara kognitif anak bisa mengalami penurunan.

Karena pencegahan kekerasan emosional atau jika anak mengalami kekerasan fisik yang berdampak pada kepala, justru dapat mengganggu fungsi otak dan selanjutnya mempengaruhi proses dan hasil belajar.

Dampak traumatis dari kekerasan yang dialami anak, seperti yang disebutkan oleh Hadi Supene, dapat mengakibatkan berulangnya perilaku kekerasan, terutama di lingkungan sekolah, yang sering disebut sebagai tindakan bullying. Bullying adalah tindakan penyiksaan atau pelecehan yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang terhadap individu yang lebih lemah, tanpa motif yang jelas, seperti yang dijelaskan dalam Kamus Webster. Trauma psikologis yang dialami selama masa kecil dapat mempengaruhi perilaku sosial dan politik saat dewasa, sejalan dengan teori psikoanalis yang menyatakan bahwa pengalaman masa kecil berperan dalam membentuk perilaku seseorang di masa dewasa. Dengan kata lain, perilaku keras dan ekstrem yang ditunjukkan oleh seseorang saat dewasa dapat dikaitkan dengan pengalaman kekerasan fisik, struktural, atau verbal yang dialami dalam masa kecilnya. Terakhir, dampak jangka panjang mungkin muncul, seperti korban yang lebih rentan menjadi target kekerasan dalam rumah tangga di masa depan atau mengalami masalah kesehatan mental jangka panjang. Oleh karena itu, mendukung korban dan menyediakan perawatan yang sesuai sangat penting untuk membantu mereka pulih dari dampak ini. Lebih lanjut, pencegahan kekerasan dalam rumah tangga adalah langkah terbaik untuk mengurangi dampaknya terhadap korban dan keluarganya.

Secara keseluruhan, hukum keluarga memegang peran utama dalam mencegah dan menangani KDRT. Kerjasama antara sistem hukum keluarga, organisasi masyarakat sipil, petugas kesehatan, dan kelompok advokasi adalah kunci untuk mengatasi masalah ini dengan efektif.Peran hukum keluarga dalam menangani KDRT adalah sangat signifikan. Peran tersebut mencakup:

1.      Perlindungan Korban

Hukum keluarga menyediakan mekanisme hukum untuk melindungi korban KDRT dari potensi kekerasan lanjutan, termasuk perintah pengadilan untuk menjaga jarak dari pelaku, perintah pengadilan terkait tanggung jawab anak, atau bantuan hukum bagi korban KDRT.

2.      Penegakan Hukum

Hukum keluarga juga memastikan bahwa pelaku KDRT dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk sanksi seperti penjara, denda, atau pengawasan pengadilan.

3.      Penanganan Kasus KDRT:

Hukum keluarga dapat membantu mengatasi kasus KDRT melalui proses peradilan pidana atau melalui prosedur hukum keluarga, seperti perceraian atau hak asuh anak.

4.      Pendidikan dan Pemahaman

Hukum keluarga memiliki peran penting dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang KDRT, melalui upaya seperti kampanye pencegahan, program pelatihan untuk petugas hukum dan penegak hukum, serta dukungan terhadap organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada pencegahan dan penanganan KDRT.

5.      Pemulihan Korban

Hukum keluarga juga mendukung pemulihan korban KDRT dari dampak yang mereka alami, termasuk akses ke layanan kesehatan mental dan fisik, dukungan kelompok, dan program rehabilitasi.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini dilandasi oleh berbagai pertimbangan, antara lain bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (Romli Atmasasmita, 2007). Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga adalah:

Pasal 2

1.      Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:

a.       Suami, istri, dan anak;

b.      Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;dan/atau

c.       Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

2.      Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan Kekerasan dalam rumah tangga sebagai fenomena baru dalam masyarakat Indonesia memandang bahwa korban atau objek kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu dialami oleh perempuan. Dalam hal ini, UU No.23 tahun 2004 telah merumuskan beberapa pihak yang terlibat dalam kekerasan dalam rumah tangga yaitu istri, suami, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami dan istri karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan orang yang bekerja membantu rumah tangga. Akan tetapi bagi kekerasan dalam rumah tangga, setiap orang yang berinteraksi dalam lingkungan rumah tangga juga menjadi korban atau pelaku dalam tindak kejahatan terhadap rumah tangga. Setelah kita memahami beberapa pihak yang terlibat dalam suatu hubungan rumah tangga, maka harus dipahami lebih lanjut tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri agar tidak terjadi kesalahan persepsi dalam memandang kekersan dalam rumah tangga.

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga meliputi:

a.       Kekerasan fisik

b.      Kekerasan Psikis �

c.       Kekerasan Seksual

d.      Penelantaran Rumah tangga (Redaksi Sinar Garfik, 2007)

Kekerasan fisik menurut Pasal 6 Undang-Undang Kekerasan dalam rumah tangga adalah: �Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.�

Kemudian, yang dimaksud dalam kekerasan psikis menurut Pasal 7 Undang-Undang kekerasan dalam rumah tangga adalah

�Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat seseorang�.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut Pasal 8 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Kekerasan Rumah Tangga adalah:

a.       Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tanga tersebut.

b.      Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:

1)      Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan lepada orang tersebut.

2)      Penelantaran sebagimanan pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

Untuk Ketentuan Pidana bagi pelaku KDRT diatur dalam Pasal44 s/d Pasal 53 UURI No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pasal 44�

1)      Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

2)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

3)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

4)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 45:

1)      Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

2)      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

 

Pasal 46:

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 47:

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48: Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

 

Pasal 50:

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :

a.       pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b.

b.      penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Pasal 51 :

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4).

Pasal 52:

Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.

Pasal 53:

Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan. Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan. Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil (Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2003). Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan (Muladi, 1995). Dalam menjatuhkan sanksi pidana, hakim dituntut untuk menghukum secara maksimal terhadap pelaku berdasarkan tindak pidananya seperti yang tercantum didalam ketentuan pidana Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 UU PKDRT Namun kenyataannya perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga tidak optimal.

Hambatan dalam menangani kekerasan dalam rumah tangga dimulai sejak proses investigasi. Penyidik ​​Polri (Polri) terhambat karena masyarakat masih menganggap KDRT adalah urusan pribadi atau keluarga sehingga tidak pantas campur tangan pihak lain atau polisi. Karena perempuan (istri) mempunyai hati nurani yang lembut dan mendalami adat dan budaya Timur, maka mereka tidak tega membalas dendam kepada suami dan mantan suaminya dengan melaporkan perbuatannya kepada polisi, meskipun telah melukai atau menganiayanya jatuhkan keduanya fisik dan psikologis (Moerti Hadiati Soeroso, 2010). Masyarakat Indonesia mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan sebagai prinsip utama. Kesatuan dan keharmonisan dalam lingkungan rumah tangga dianggap sangat penting. Ketika ada konflik di dalam rumah tangga, upaya penyelesaiannya biasanya melalui pendekatan kekeluargaan. Tidak jarang, muncul rasa malu jika masalah dalam rumah tangga tersebut diketahui oleh orang lain, dan peran istri dalam pengabdian kepada suami masih memiliki peran yang signifikan dalam dinamika rumah tangga di Indonesia. Meskipun telah ada undang-undang khusus yang dirancang untuk mengatasi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), namun kenyataannya, kekerasan tersebut masih sering terjadi.

Selain hambatan dalam proses penyelidikan, ada berbagai faktor internal dan eksternal yang dapat menghambat penanganan masalah ini, termasuk dari pihak korban, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Perlindungan hukum yang memadai bagi korban kejahatan tidak hanya menjadi isu nasional, tetapi juga mendapat perhatian internasional. Oleh karena itu, perlu ada perhatian serius terhadap masalah ini. Pentingnya perlindungan korban kejahatan harus mendapat perhatian serius.Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban mendefinisikan perlindungan sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak korban dan memberikan bantuan agar mereka merasa aman. Upaya ini wajib dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga serupa sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Perlindungan ini disediakan dalam semua fase proses peradilan pidana dalam cakupan peradilan tersebut. Perlindungan hukum bagi masyarakat sangat penting karena baik kelompok maupun individu dapat menjadi korban atau bahkan terdampak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan perhatian khusus pada hak-hak korban yang mungkin terjebak dalam situasi tersebut. Hak-hak ini mencakup (Vidi Pradinata, 2017):

a.       Hak untuk meminta perlindungan kepada individu, kelompok, atau lembaga, baik yang bersifat swasta maupun pemerintah, di tingkat lokal, nasional, atau internasional.

b.      Kemampuan untuk mengambil tindakan hukum melalui sistem peradilan dan lembaga lain yang ada di tingkat lokal, nasional, atau internasional.

c.       Akses ke layanan darurat yang disediakan tanpa biaya dan layanan lain yang mempertimbangkan kondisi korban.

d.      Menikmati perlindungan identitas yang menjaga kerahasiaan.

e.       Memperoleh informasi dan terlibur dalam setiap langkah dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendampingan dan penanganan kasus.

f.       Mendapatkan jaminan hak-hak yang berhubungan dengan statusnya, seperti dalam hubungan pasangan, orangtua, anak, atau pekerja rumah tangga. Terutama dalam perkawinan, pembagian harta bersama harus didasarkan pada kontribusi nyata dari masing-masing pihak.

g.      Dapat didampingi secara psikologis dan hukum oleh tenaga medis dan pengacara selama setiap tahap pemeriksaan dan proses peradilan, termasuk kemungkinan pengacara yang mewakili korban kekerasan dalam rumah tangga dapat tampil di hadapan pengadilan.

h.      Mungkin berhak mendapatkan kompensasi atas kerugian yang dialami.

i.        Kemungkinan mendapatkan izin dari tempat kerja untuk menyelesaikan perkara hukumnya.

Pasal 10 dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyatakan hak-hak perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai berikut:

a.       Hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai pihak, termasuk keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lain, baik dalam jangka waktu sementara maupun sesuai dengan penetapan pemerintah, seperti perlindungan dari pengadilan.

b.      Hak korban untuk menerima layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya.

c.       Hak korban untuk memperoleh penanganan khusus yang menjaga kerahasiaan identitas korban.

d.      Hak korban untuk mendapatkan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tahap proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

e.       Hak korban untuk menerima pelayanan bimbingan rohani.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diundangkan pada tanggal 22 September 2004 menjadi dasar hukum untuk upaya penghapusan dan pencegahan tindak kekerasan, serta perlindungan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Penting untuk mensosialisasikan undang-undang ini lagi agar tujuan penghapusan diskriminasi dan tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat tercapai.

 

Kesimpulan

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan permasalahan kompleks yang mencakup aspek sosial, hukum, budaya, dan psikologis. Artikel ini membahas berbagai aspek kekerasan dalam rumah tangga, seperti faktor sosial yang berkontribusi dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Selain itu, peran hukum dalam penanganan masalah ini juga dibahas, termasuk upaya pencegahan dan perlindungan korban. Kesimpulannya, kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah serius dengan dampak yang merugikan secara fisik dan psikis, serta dampak yang lebih luas terhadap masyarakat. Sistem hukum memiliki kebijakan perlindungan, namun tantangan konsistensi penerapannya masih ada. Oleh karena itu, upaya pencegahan, seperti pendidikan masyarakat dan kampanye kesadaran, menjadi fokus utama dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga untuk mengubah budaya dan mencegah kekerasan tersebut.

BIBLIOGRAFI

 

Adi, R. (2004). Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit Press.

 

Amirudin, & Asikin, Z. (2006). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

 

Bisri, I. (2004). Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Chaerudin, & Fadillah, S. (2003). Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Grhadika Press.

 

Irianto, S., Ihromi, T. O., Luhulima, & Sudiarti, A. (2000). Penghapusan Deskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: Bandung: Alumni.

 

Redaksi Sinar Grafik. (2005). KUHAP dan KUHP. Jakarta: Sinar Grafika.

 

Soekanto, S., & Mumadji, S. (2007). Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Soeroso, M. H. (2010). Kekerasan Dalam Rumah tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. Malang: Sinar Grafika.

 

Atmasasmita, R. (2007). Teori dan Kapita Selekta Krimonologi. Rafika Aditama journal.

 

Mardiyati, I. (2015). Dampak Trauma Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perkembangan Psikis Anak. Raheema: Jurnal Studi Gender dan Anak.

 

Pradinata, V. (2017). Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jurnal Hukum Khaira Ummah.

 

Setiawan, N. H., Selviani, S. D., Damayanti, D., Pramudya, F., & Antony, H. (2023). Pemahaman dan Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Tinjauan Literatur. Jurnal Kajian Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan.

 

Copyright holder:

Afriliyani Gojali, Shafa Aulia Kirana, Yenny Febrianty, Mahipal (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: