Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

KEPASTIAN HUKUM MASA TUNGGU EKSEKUSI TERPIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

 

Shyifa Safira Refani, Herry Firmansyah

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanegara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

 

Abstrak

Pidana mati adalah pidana terberat dari semua ancaman pidana yang ada. Dalam perkembangannya, hukuman mati di dunia dilakukan dengan berbagai cara seperti penyaliban, ditenggelamkan, dibakar hidup-hidup, disetrum, diracun, digantung, dan ditembak mati. Mengenai penerapan pidana mati ini, masih menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya ketentuan hukuman mati bertentangan dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Hukuman mati diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok. Polemik yang juga menjadi perhatian adalah lambatnya eksekusi terhadap terpidana mati di Indonesia. Di antara terpidana mati yang sudah menjalani masa pemenjaraan selama 13 tahun, dialami oleh Mary Jane Fiesta Veloso yang divonis pidana mati oleh Pengadilan Negeri Sleman dalam tindak pidana narkotika dengan nomor Putusan 385/PID.B/2010/PN.SLMN. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis terkait kepastian hukum dari penundaan eksekusi pidana mati terhadap terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang berfokus kepada kaidah-kaidah ataupun asas-asas dalam arti hukum dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang bersumber kepada peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan mengenai pidana mati sendiri masih menjadi salah satu bentuk pidana yang diakui di sistem hukum Indonesia. Keterlambatan yang terjadi sangat terkait dengan banyak hal seperti masalah sosial dan politik, termasuk mempertimbangkan lain hal mengenai status Mary Jane Fiesta Veloso sebagai WNA. Dalam hal sudah berjalannya penundaan selama 9 tahun, terpidana mati akan tetap dieksekusi karena putusan pengadilan sudah inkracht.

Kata kunci: Kepastian Hukum; Penundaan; Pidana Mati

 

Abstract

The death penalty is the heaviest punishment of all existing criminal threats. In its development, the death penalty in the world was carried out in various ways, such as crucifixion, drowning, burning alive, electrocution, poisoning, hanging and being shot dead. Regarding the application of the death penalty, there are still pros and cons. This is because the provisions on the death penalty conflict with Article 9 paragraph (1) of Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights. The death penalty is regulated in Article 10 of the Criminal Code (KUHP). In this provision, the death penalty is determined as one of the main types of punishment. The polemic that is also of concern is the slow execution of death row inmates in Indonesia. Among the death row inmates who have served 13 years in prison, Mary Jane Fiesta Veloso was sentenced to death by the Sleman District Court for a narcotics crime with Decision number 385/PID.B/2010/PN.SLMN. The aim to be achieved in this research is to find out and analyze the legal certainty of postponing the execution of the death penalty for death row convict Mary Jane Fiesta Veloso. This research uses normative legal research methods which focus on rules or principles in the sense that law is conceptualized as norms or rules that originate from statutory regulations. The research results show that the provisions regarding the death penalty itself are still a form of punishment recognized in the Indonesian legal system. The delays that occurred were closely related to many things such as social and political issues, including considering other things regarding Mary Jane Fiesta Veloso's status as a foreigner. In the event that a delay of  9 years has passed, the death row inmate will still be executed because the court's decision has already been inkracht.

Keywords: Legal Certainly; Delay; Death Penalty

 

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum sebagai pengatur dalam tertib kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia yang mengaku sebagai negara hukum, mempunyai banyak peraturan perundang-undangan yang memuat berbagai ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang boleh dilakukan (Yuliani, 2017). Apabila terjadi perbuatan terlarang, maka akan dikenakan sanksi atas setiap pelanggarannya.

Sanksi tersebut dapat berupa sanksi pidana,  perdata, maupun administratif. Sanksi pidana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundang-undangan lain yang memuat peraturan pidana. Sanksi pidana dibedakan menjadi dua golongan, yaitu  pidana pokok dan pidana tambahan. Ada empat hukuman utama: hukuman mati, penjara, kurungan, dan denda (Bambang, 2008).

Hukuman mati selain tidak sesuai dengan hak hidup manusia, juga tidak sesuai dengan sifat hukum itu sendiri. Hukuman dimaksudkan untuk mengubah perilaku pelaku kejahatan menjadi lebih baik (Moeljatno, 2021). Apakah penjatuhan hukuman mati menjadi langkah akhir yang tepat dalam memutus tindak pidana kejahatan luar biasa tanpa melihat hak hidup seseorang.

Pidana mati merupakan pidana terberat dari semua ancaman pidana yang ada. Pidana mati yang dijatuhkan terhadap seseorang berupa pencabutan nyawa berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Arief, 2019). Indonesia adalah negara yang sampai saat ini masih menerapkan pidana mati bagi pelaku kejahatan tertentu, terutama kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), seperti kejahatan narkoba, korupsi, terorisme, pembunuhan berencana, dan lain-lain.

Penerapan pidana mati masih menimbulkan pro dan kontra yang tidak hanya terjadi di kalangan ahli hukum saja, perdebatan seputar pidana mati ini pun timbul hingga ke masyarakat dan berlanjut sampai ke tahap Mahkamah Konstitusi. Pasalnya ketentuan hukuman mati bertentangan dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan:

Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Hukuman mati diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok. Pasal ini menegaskan bahwa pidana mati merupakan jenis pidana yang berada pada urutan pertama dalam hirarki pidana pokok. Artinya pidana mati mengandung teori absolut, yaitu pidana terberat sebagai upaya pembalasan terhadap para terpidana dan juga sebagai tindakan preventif kepada masyarakat luas (Agustina, 2015).

Undang-Undang Nomor 2 / Pnps/ 1964/ yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 Nomor 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer menegaskan bahwa:

Pasal 1:

Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.

Eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie (pernyataan setuju untuk dijalankan) (Kansil & Christine, 2014).

Grasi merupakan salah satu hak kepala negara, selain amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Pemberian grasi pada hakikatnya adalah pemberian hak Istimewa dari Presiden yang berupa perubahan, pergantian, pengurangan, atau pemenuhan putusan terhadap terpidana. Apabila permohonan grasi  tidak dikabulkan oleh Presiden, maka terpidana akan menjalani hukumannya setelah keputusan Presiden dikeluarkan (Sahetapy, 2007).

Dalam menjalankan hukuman mati, timbul permasalahan pada saat proses eksekusi. Dengan kata lain, permasalahan yang muncul adalah terpidana mati juga mendapat hukuman penjara, yang jelas-jelas dijatuhkan oleh negara sebagai salah satu jenis hukuman tambahan bagi terpidana mati. Sebab, eksekusi terpidana mati di Indonesia cenderung memakan waktu  lama. Oleh karena itu, seolah-olah sebagian besar terpidana mati di negeri ini dikenai dua bentuk hukuman sekaligus. Pertama pemenjaraan, kemudian pelaksanaan hukuman yang sebenarnya dijatuhkan kepada mereka yaitu hukuman mati.

Penundaan eksekusi pidana mati sebenarnya juga tidak sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sederhana mengandung arti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Asas cepat, asas yang bersifat universal berkaitan dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut. Asas cepat ini terkenal dengan adagium justice delayed justice denied, bermakna proses peradilan yang lambat tidak akan memberi keadilan kepada para pihak. Asas biaya ringan mengandung arti biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat (Yasin, n.d.).

Polemik yang juga menjadi perhatian adalah lambatnya eksekusi terhadap terpidana mati di Indonesia. Keterlambatan eksekusi seringkali menarik perhatian masyarakat karena memerlukan waktu beberapa tahun sejak seseorang divonis hukuman mati di pengadilan hingga hukuman mati dilaksanakan. Salah satu terpidana mati yang menjalani hukuman 13 tahun adalah Mary Jane Fiesta Veloso (selanjutnya disebut Mary Jane), yang akan penulis bahas secara detail dalam penelitian hukum ini. Mary Jane divonis pidana mati oleh Pengadilan Negeri Sleman dalam tindak pidana narkotika dengan nomor Putusan 385/PID.B/2010/PN.SLMN.

Mary Jane tertangkap tangan di bandara Adi Sucipto Yogyakarta telah membawa narkotika golongan I dengan jenis heroin A seberat total lebih kurang 2.611 gram. Dengan ini dapat dinyatakan perbuatan Mary Jane telah melanggar aturan hukum di Indonesia. Jaksa mendakwa Mary Jane dengan dakwaan yang bersifat alternatif, yaitu dakwaan kesatu melanggar Pasal 114 ayat (2), dakwaan kedua melanggar Pasal 113 ayat (2), dakwaan ketiga melanggar Pasal 112 ayat (2) dan dakwaan keempat melanggar Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Narkotika.

Putusan pengadilan terhadap terdakwa/terpidana Mary Jane dapat dikatakan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan oleh penuntut umum yang berwenang bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan. Namun, dalam kasus ini, hukuman mati Mary Jane tidak dilaksanakan atau ditunda. Eksekusi terpidana Mary Jane ditunda beberapa menit sebelum dia ditembak oleh regu tembak. Penundaan eksekusi  tidak berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini. Eksekusi  Mary Jane ditunda karena dia diharuskan memberikan informasi dan kesaksian dalam kasus perdagangan manusia di Filipina. Oleh karena itu, jaksa menunda eksekusi  Mary Jane. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak penundaan eksekusi  Mary Jane terhadap terpidana mati dalam putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti topik ini lebih lanjut dan diangkatlah skripsi ini dengan judul: Kepastian Hukum Mengenai Penundaan Eksekusi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Penundaan Eksekusi Terhadap Mary Jane Fiesta Veloso). Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis terkait kepastian hukum dari penundaan eksekusi pidana mati terhadap terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan suatu proses dalam mendapatkan suatu peraturan hukum, prinsip hukum dalam menjawab isu hukum yang sedang dihadapi. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research) terhadap bahan-bahan hukum yang meliputi, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Seluruh bahan hukum yang berhasil dikumpulkan, akan diolah secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan menggunakan teori, doktrin pakar hukum tertentu, atau norma- norma hukum dalam upaya untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. 

 

Hasil dan Pembahasan

Van Hamel mengartikan pidana sebagai suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab atas keterlibatan hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara (Lamintang, 1984).

Menurut Pompe hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai ketentuan hukum terkait perbuatan yang dapat dihukum dan sesuai aturan pidananya. Sedangkan menurut Apeldoorn, bahwa hukum pidana dibedakan dan diberi arti yaitu hukum pidana materiil yang dimana merujuk pada perbuatan pidana dan oleh sebab perbuatan itu dapat dikenakan sanksi pidana. Dan pidana formil lebih kepada bagaimana cara hukum pidana materiil ditegakkan (Teguh, 2012).

Suatu hukum yang tidak mempunyai nilai kepastian akan kehilangan jati diri dan makna yang sebenarnya. Sebab hukum sudah tidak dapat lagi dijadikan pedoman/contoh keberadaan seseorang dalam mengendalikan tindakan sehari-hari. Secara normatif, kepastian hukum merujuk pada bentuk hukum yang dapat diciptakan dan diundangkan, yaitu kepastian hukum harus jelas dan logis agar tidak menimbulkan keragu-raguan apabila terdapat multitafsir terhadap suatu peraturan. Jika tidak, maka akan menimbulkan konflik dengan norma-norma yang ada di masyarakat (Kusumaatmadja, 2000).

Kepastian hukum menurut Jan Michiel Otto diartikan dalam beberapa hal sebagai berikut:

1)  Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh, diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara.

2)  Instansi-Instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk serta taat kepadanya.

3)  Terhadap warga dalam suatu negara memiliki prinsip untuk dapat menyetujui muatan yang ada pada muatan isi. Oleh sebab itu warga pun akan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah.

4)  Hakim peradilan bersifat mandiri dan tidak berpikir menerapkan aturan-aturan hukum secara konsisten dalam sewaktu-waktu menyelesaikan sengketa hukum.

5)  Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan (Soeroso, 2011).

Kepastian hukum dikenal sejak awal perkembangan teori dan filsafat hukum, yaitu sejak adanya ajaran cita hukum (Idee Des Recht) yang dikembangkan pertama kali oleh Gustav Radbruch dalam buku nya yang berjudul “Einführung in Die Rechtswissenschaften”. Ajaran cita hukum (Idee Des Recht) menyebutkan adanya tiga unsur cita hukum yang harus ada secara proporsional, antara lain kepastian hukum (rechtssicherheit), keadilan (gerechtigkeit), dan kemanfaatan (zweckmäßigkeit). Lebih lanjut Gustav Radbruch mengemukakan bahwa dalam teori kepastian hukum ada 4 (empat) hal mendasar yang memiliki hubungan erat dengan makna dari kepastian hukum itu sendiri, yaitu (Huijbers, 1982):

1)  Hukum merupakan hal positif yang memiliki arti bahwa hukum positif ialah perundang-undangan.

2)  Hukum didasarkan pada sebuah fakta, yang artinya hukum dibuat berdasarkan kenyataan.

3)  Fakta yang termuat atau tercantum dalam hukum harus dirumuskan dengan cara yang jelas, sehingga akan menghindari kekeliruan dalam hal pemaknaan dan penafsiran hukum.

4)  Hukum yang positif tidak boleh mudah diubah.

Jika kita memaknai doktrin cita hukum yang disampaikan oleh Gustav Radbruch dari segi kepastian hukum, maka hal ini tidak lepas dari kehidupan masyarakat dalam arti keberadaan hukum itu sendiri. Sebab kepastian hukum memberikan perlindungan dan jaminan seumur hidup dalam mengatur kepentingan setiap individu.

Kepastian hukum dan penegakan hukum selalu berdampingan. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan masyarakat menjadi sebuah kenyataan, dan yang pastinya proses penegakan hukum merupakan proses yang melibatkan banyak hal (Huijbers, 1982). Menurut Joseph Goldstein khusus penegakan hukum pidana terdapat 3 (tiga) bagian yaitu (Soekanto, 2017);

1)  Total Enforcement, yaitu ruang lingkup penegakan hukum pidana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total tidak mungkin dilakukan karena penegak hukum dibatasi oleh hukum acara pidana yang memuat antara lain aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan.

2)  Full Enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan menegakan hukum secara maksimal.

3)  Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap no a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam waktu, personil, alat investigasi, dan sebagainya.

Pada dasarnya tujuan hukum yang lebih mendekati ke realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Para kaum yang menganut positivisme lebih menekankan kepada kepastian hukum sedangkan para kaum fungsionalis mereka memandang hukum lebih kepada kemanfaatan hukum, dengan mengemukakan bahwa “Summum Ius Summa Injuria, Summa Lex Summa Crux” yang artinya bahwa hukum yang keras akan dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, maka dengan demikian kendatipun suatu keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan (Rato, 2020).

Hukuman mati merupakan sanksi yang dijatuhkan (oleh negara) kepada pelaku tindak pidana yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hukuman mati dijatuhkan pada pelaku bergantung pada yurisdiksinya, namun biasanya diterapkan pada kejahatan berat terhadap individu, seperti pembunuhan berencana, terorisme, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. Selain itu, ada kejahatan  negara seperti percobaan penggulingan, makar, spionase, dan penghasutan, serta kejahatan lainnya seperti residivisme, pencurian besar-besaran, penculikan, penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, dan kepemilikan.

Ketentuan mengenai pidana mati sendiri masih menjadi salah satu bentuk pidana yang diakui dalam sistem hukum Indonesia. Kemudian tindak pidana mati kembali diatur di beberapa undang-undang lain. Berikut undang-undang nasional yang mengatur pidana mati:

1)  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2)  Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer

3)  Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Penegakan hukum di Indonesia masih banyak yang tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam undang-undang, bahkan beberapa kasus yang terjadi tidak memiliki peraturannya sama sekali. Sebagaimana kasus yang menjerat Mary Jane berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber Jaksa Umum Madya Marang yang menyampaikan bahwa tidak ada peraturan yang mengatur batas waktu terpidana mati menunggu pelaksanaan eksekusi. Karena seharusnya ketika putusan sudah inkracht maka harus sudah dilaksanakan eksekusi, namun karena masih banyak pertimbangan sehingga perlu adanya koordinasi dan komunikasi dengan pihak-pihak yang berkaitan seperti Kemenlu, Sekretariat Negara, Kantor Staf Presiden, dan Kemenkumham.

Muladi berpendapat bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma dan kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process) (Wahyudi, 2012).

Mary Jane Fiesta Veloso, 37, seorang pekerja migran asal Filipina yang divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Sleman karena bertindak sebagai perantara dalam jual beli obat Narkotika Golongan I yang beratnya di atas 5 (lima) gram pada 11 Oktober 2010. Mary Jane dan Christine melakukan perjalanan dari Filipina ke Kuala Lumpur untuk mencari pekerjaan. Setibanya di Kuala Lumpur, keduanya menginap di Sun Inn Hotel Lagoon.

Mary Jane akan diberangkatkan ke Yogyakarta terlebih dahulu untuk liburan dan akan ditemani oleh Prince Fatu. I.K. menemui Mary Jane dan Christine pada hari itu juga. Ia menyerahkan travel bag merk Polo Paite warna hitam untuk keperluan tempat pakaian Mary Jane. Mary Jane melihat ada bekas sayatan yang ditutup lakban hitam pada bagian dalam tas namun ia tidak memahami dan tidak mengecek lebih lanjut.

Mary Jane sampai di Bandara Adisucipto dan memindaikan barangnya menggunakan x-ray scanner. Scanner menunjukkan hasil bintik hijau kecoklatan dalam suatu kemasan. Travel bag Mary Jane dibongkar dan diperiksa oleh petugas bandara, Tri Antoro dan Wahyu Tatung Nugroho. Melalui pemeriksaan, ditemukan bungkus aluminium foil berisi serbuk coklat muda yang diselipkan di dinding travel bag yang selanjutnya diketahui sebagai Narkotika Golongan I (satu) bernama Heroina. Ketika ditanyai, Mary Jane mengakui bahwa travel bag tersebut miliknya, namun ia tidak tahu-menahu mengenai kemasan di dalamnya. Mary Jane dan seluruh barang bawaannya dibawa oleh Andrias Eko Tamtomo dan Iwan Setiawan, anggota Direktorat Narkoba Kepolisian DIY dan terungkaplah proses perjalanan Mary Jane hingga di Yogyakarta. Pada 20 April 2012 Mary Jane ditahan di Rutan Sleman. Dilakukan pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik yang menguatkan bahwa serbuk coklat tersebut adalah heroin. Dijatuhkan Putusan No. 385/Pid.B/2010/PN. SLMN pada 11 Oktober 2010 yang menghukum MJ dengan pidana mati.

Hukuman mati merupakan suatu kenyataan dan keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai sosial dan budaya suatu negara. Tugas hakim adalah menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Hakim harus mengambil segala keputusan berdasarkan Pasal 183 KUHAP. ``Hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman kecuali terdapat sekurang-kurangnya dua bukti sah yang membuktikan bahwa suatu kejahatan benar-benar  dilakukan dan bahwa terdakwa bersalah atas kejahatan tersebut.''

Berdasarkan kronologis kasus dan hasil wawancara bersama Jaksa Umum, maka penulis berpendapat bahwa dalam hal penundaan eksekusi mati dapat saja dilakukan ketika belum ada perintah dari pejabat yang berwenang. Di samping banyaknya pertimbangan lain yang membuat masa tunggu eksekusi semakin panjang.

Narapidana adalah orang yang  menjalani  hukuman atau pidana di Lembaga Pemasyarakatan. Namun karena narapidana juga manusia, maka hak asasinya harus tetap dilindungi apapun latar belakang perkara pidana atau pelanggarannya. Hal yang sama juga berlaku bagi narapidana yang menunggu hukuman mati. Kepastian hukum mengenai hak-hak narapidana diatur dengan undang-undang. Hal ini mencakup hak atas bimbingan spiritual, akses terhadap anggota keluarga, suaka di negara asal, perawatan medis, hak untuk mengembangkan potensi, hak untuk mendapatkan penyuluhan dan bantuan hukum, hak atas perlakuan manusiawi, dan hak atas perlindungan dari penyiksaan, eksploitasi dan semua tindakan merugikan fisik dan mental lainnya.

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 2-3/PUU-V/2007 memberikan titik akhir perdebatan tentang penerapan pidana mati, bahwa pidana mati bukanlah jenis  pidana yang bertentangan dengan konstitusi. Sekalipun putusan tersebut dalam konteks tindak pidana narkotika, namun demikian putusan ini menjadi dasar pemikiran yang  genuine tentang kedudukan pidana mati dan konstitusionalitasnya di Indonesia (Siregar, 2022).

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa situasi hukum mengenai masa tunggu terpidana mati masih belum jelas, dan adanya ketidakpastian hukum mengenai batasan masa tunggu eksekusi menimbulkan kekosongan hukum (rechtvacuum). Sedangkan status hukum terpidana sama statusnya dengan terpidana mati dan terpidana dalam tahanan. Namun ada dua jenis hukuman yang dapat diterima/diderita oleh seorang terpidana yaitu hukuman penjara selama masa tunggu dan yang lainnya adalah hukuman mati yang akan diterimanya suatu saat nanti. Namun hal ini juga menimbulkan dilema karena penentuan waktu eksekusi sebenarnya bergantung pada political will dari pemerintah. Oleh karena itu, perlu ditetapkan secara tegas jangka waktu pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana mati dan tercapai rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agustina, S. (2015). Obstruction of justice: tindak pidana menghalangi proses hukum dalam upaya pemberantasan korupsi. Themis Books.

Arief, A. (2019). Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana. Kosmik Hukum, 19(1).

Bambang, W. (2008). Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika.

Huijbers, T. (1982). Filsafat hukum dalam lintasan sejarah. Kanisius.

Kansil, C. S. T., & Christine, S. (2014). Kansil, Pokok–Pokok Hukum Pidana: Hukum Pidana Untuk Tiap Orang. Cetakan ke-2, PT. Pradnya Paramita, Jakarta-2007.

Kusumaatmadja, M. (2000). Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I.

Lamintang, P. A. F. (1984). Hukum Penitensier di Indonesia. Bandung: Amico.

Moeljatno. (2021). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Bumi Aksara.

Rato, D. (2020). Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum. LaksBang Yustisia.

Sahetapy, J. E. (2007). Pidana Mati dalam Negara Pancasila. Citra Aditya Bakti.

Siregar, R. E. (2022). Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati. Locus Journal of Academic Literature Review, 373–385.

Soekanto, S. (2017). Sosiologi: suatu pengantar. PT. RajaGrafindo Persada.

Soeroso, R. (2011). Pengantar Ilmu Hukum, cetakan 12. Sinar Grafika.

Teguh, P. (2012). Hukum Pidana Edisi Revisi. Rajawali Pers.

Wahyudi, S. T. (2012). Problematika Penerapan Pidana Mati Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 1(2), 207–234.

Yasin, M. (n.d.). Peradilan Yang Sederhana Cepat Dan Biaya Ringan. Hukum Online. https://www.hukumonline.com/berita/a/peradilan-yang-sederhana--cepat--dan-biaya-ringan-lt5a7682eb7e074

Yuliani, A. (2017). Daya ikat pengundangan peraturan perundang-undangan. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(4), 429–438.

 

 

Copyright holder:

Shyifa Safira Refani, Herry Firmansyah (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: