Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 12, Desember 2023

 

TANGGUNG JAWAB PERDATA DAN PRINSIP KEHATI-HATIAN NOTARIS DALAM PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE YANG MENIMBULKAN KERUGIAN

 

Caroline Cynthia, Disriani Latifah Soroinda

Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Artificial Intelligence merupakan teknologi yang mensimulasikan kecerdasan manusia, diprogram ke dalam media elektronik untuk berpikir dan meniru tindakan manusia. Artificial Intelligence dalam dunia kenotariatan dapat berfungsi sebagai alat untuk restrukturisasi, due diligence, dan pembuatan akta. Hal tersebut memunculkan kekhawatiran terkait potensi kesalahan dalam output Artificial Intelligence yang dapat menyebabkan kerugian bagi subjek hukum. Penelitian ini mengkaji tanggung jawab hukum ketika output yang dihasilkan oleh Artificial Intelligence menimbulkan kerugian, dengan fokus pada penerapan prinsip kehati-hatian notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Penelitian ini mengadopsi pendekatan penelitian hukum doktrinal, memanfaatkan data sekunder dari studi literatur, arsip, laporan penelitian, dan sumber hukum seperti UUJN dan KUH Perdata. Melalui analisis kualitatif, penelitian ini mengungkap bahwa Artificial Intelligence bukanlah subjek hukum tetapi dapat dikategorikan sebagai alat yang membantu notaris. Dalam hal pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang disebabkan Artificial Intelligence, tanggung jawab perdata diberikan kepada pemilik perintah, yaitu orang yang menggunakan dan memberi perintah kepada Artificial Intelligence. Penelitian ini menekankan perlunya pertimbangan hati-hati terhadap tanggung jawab hukum dan kehati-hatian dalam praktik-notaris seiring dengan perkembangan teknologi Artificial Intelligence dalam domain hukum.

 

Kata Kunci: Artificial Intelligence, Notaris dan Hukum.

 

Abstract

         Artificial Intelligence is a technology that simulates human intelligence, programmed into electronic media to think and imitate human actions. Artificial Intelligence functions as a tool for restructuring, due diligence, and making deeds, raising concerns regarding potential errors in Artificial Intelligence output that could cause losses to legal subjects. This research examines legal responsibility when the output produced by Artificial Intelligence causes losses, with a focus on the careful application of notary principles as regulated in Article 16 of the Notary Position Law (UUJN). This research adopts a doctrinal legal research approach, utilizing secondary data from literature studies, archives, research reports, and legal sources such as UUJN and the Civil Code. Through qualitative analysis, this research reveals that Artificial Intelligence is not a legal subject but can be categorized as a tool that helps notaries. In terms of legal liability for losses caused by Artificial Intelligence, civil liability is given to the owner of the order, namely the person who uses and gives orders to Artificial Intelligence. This research emphasizes the need for careful consideration of legal responsibilities and prudence in notarial practice, along with the development of Artificial Intelligence technology in the legal domain.

 

Keywords: Artificial Intelligence, Notary and Law

 

Pendahuluan

Pada zaman kontemporer ilmu pengetahuan mengalami kemajuan sangat cepat dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi yang terus berkembang berimplikasi dalam perubahan peradaban manusia. Berkembangnya teknologi diversifikasi dan spesialisasi ilmu serta inovasi teknologi telah mencapai temuan-temuan baru beserta penerapannya di berbagai bidang kehidupan manusia. Salah satu teknologi yang sedang marak dan berkembang dengan pesat dewasa ini yaitu Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan.

Artificial Intelligence menjadi tantangan baru yang harus dihadapi berbagai dampaknya baik positif dan negatif, hal demikian tercermin dari mandat Jokowi kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 yaitu Budi Arie Setiadi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang telah ditimbulkan dengan adanya Artificial Intelligence. Menurut kamus bahasa Inggris-bahasa Indonesia bab.la, “Artificial Intelligence” dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kecerdasan buatan”. Artificial Intelligence diciptakan agar dapat mengerjakan pekerjaan manusia atau bahkan lebih unggul dari manusia, untuk mengerjakan hal demikian Artificial Intelligence meniru fungsi-fungsi otak manusia seperti melakukan pemikiran, penalaran dan mencari solusi untuk menyelesaikan masalah (Fahrudin, 2018).

Berbagai macam Artificial Intelligence telah bermunculan dan telah banyak digunakan. Siri merupakan contoh Artificial Intelligence yang melaksanakan perintah dari suara manusia yang didengarnya. Lebih lanjut, Artificial Intelligence juga dipakai oleh Instagram untuk menyaring komentar-komentar kurang baik yang terunggah di Instagram dengan tujuan untuk menghindari cyberbullying (Marr, 2019).

Tidak hanya luar negeri saja yang menggunakan Artificial Intelligence, salah satu bagian dari pemerintah Indonesia yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia yang menggunakan Artificial Intelligence dalam chatbox anti hoaks dengan tujuan untuk menanggulangi masifnya penyebaran berita tidak benar atau istilah lainnya yaitu hoaks. Lebih lanjut, terdapat salah satu bagian dari pemerintah lain yang menggunakan Artificial Intelligence dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, di sini Artificial Intelligence digunakan untuk memindai apakah wajah orang yang bersangkutan sama dengan Kartu Tanda Penduduk yang dimilikinya. Artificial Intelligence yang digunakan berupa Face Recognition yang diprogram untuk melaksanakan hal tersebut.

Artificial Intelligence juga dapat membantu dalam bidang Hukum. Sebagai contoh yaitu Artificial Intelligence bernama LawGeex yang digunakan untuk meninjau kontrak secara detail seperti layaknya seorang contract drafter dan/atau advokat. Artificial Intelligence ini tidak hanya meninjau saja melainkan juga dapat mengubah substansi dari kontrak tersebut. Selain itu juga dia dapat melakukan identifikasi sengketa hukum yang berkaitan dengan ganti rugi, arbitrase, kerahasiaan.

Menurut hasil lomba dalam memahami kontrak hukum, para profesor hukum dari tiga perguruan tinggi terkemuka (Duke University School of Law, Stanford University, dan University of Southern California) menyatakan bahwa Artificial Intelligence ini bahkan lebih hebat daripada kemampuan pengacara manusia biasa. Umumnya manusia memiliki keakuratan sebesar 85 persen sedangkan Artificial Intelligence ini memiliki keakuratan sebesar 94 persen serta waktu pengerjaan yang lebih cepat yaitu hanya dalam 26 menit saja sedangkan pengacara manusia memerlukan rata-rata waktu 66 menit untuk melaksanakan pekerjaannya (Alfarizi, 2023). Artificial Intelligence lainnya yang memberi bantuan hukum kepada penggunanya bernama DoNotPay Chat yang telah memberikan lebih dari 1000 pelayanan bantuan hukum (Kusumawardani, 2019).

Apabila menilik pada contoh-contoh Artificial Intelligence tersebut terlihat bahwa terdapat Artificial Intelligence yang kemampuannya setara dengan seorang manusia untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu sesuai apa yang diprogramkan kepada Artificial Intelligence tersebut, di satu sisi menurut Kurniawan, (2023) terdapat Artificial Intelligence yang kemampuannya lebih dari manusia.

Jika berbicara mengenai cara kerja dari Artificial Intelligence, sebenarnya kurang lebih layaknya manusia dan komputer yaitu terdiri dari input, proses dan output. Input dari Artificial Intelligence yaitu data-data yang jumlahnya sangat banyak untuk menunjang program dari Artificial Intelligence yang bersangkutan, kemudian data-data tersebut digabungkan dan diolah dengan kemampuan matematika secara algoritmik (Pasaribu & Widjaja, 2022).

Lebih lanjut, data yang telah diolah tersebut akan direkam serta disimpan menjadi sebuah pengetahuan serta pedoman bagi Artificial Intelligence untuk mengerjakan pekerjaan sesuai apa yang diprogramkan terhadap Artificial Intelligence. Output dari input dan proses yang telah dijalani yaitu sebuah keputusan yang mirip dengan hasil keputusan dari otak manusia atau bahkan lebih baik dari manusia seperti contoh yang telah dipaparkan di atas. Hal demikian sejalan dengan pendapat dari seorang ahli bernama Luckin yang menyatakan bahwa artificial intelligence merupakan sistem komputer yang dirancang untuk memiliki kemampuan sesuai dengan tujuan dari pemrogramannya sehingga dapat mencari jalan keluar dan melakukan tindakan layaknya manusia (Priowirjanto, 2022).

Melihat dari contoh-contoh artificial intelligence dalam bidang hukum di atas, terdapat profesi hukum yang juga tentunya tidak luput untuk menggunakan teknologi yaitu notaris. Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana termaktub dalam pasal 1 angka 1 UUJN. Dalam membuat suatu akta otentik yang tepat sesuai kebutuhan dari klien, tentunya seorang notaris dapat merumuskan, menyelesaikan, memberi solusi dan menuangkannya dalam akta.

Tentunya dalam perkembangan teknologi yang pesat seperti ini notaris dalam menjalankan jabatannya menggunakan teknologi seperti menggunakan sistem komputer atau perangkat lunak yang salah satunya yaitu Artificial Intelligence untuk membantu pekerjaan notaris. Artificial Intelligence dapat menjadi sebuah alat untuk membantu restrukturisasi, due diligence dan pembuatan draft akta. Menjadi timbul permasalahan bagaimana jika terdapat kesalahan yang terjadi dari output yang dikeluarkan oleh Artificial Intelligence sehingga menimbulkan kerugian bagi sebuah subjek hukum. Subjek hukum mana yang bertanggung jawab dan bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian notaris mengingat dalam pasal 16 UUJN notaris dalam menjalankan jabatannya haruslah cermat dan hati-hati.

Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, Penulis akan mengangkat 2 (dua) rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimana pertanggungjawaban perdata terhadap tindakan dari Artificial Inteligence yang menimbulkan kerugian bagi subjek hukum? 2) Bagaimanakah resiko serta pertanggungjawaban bagi notaris yang menggunakan Artificial Intelligence dalam menjalankan jabatannya?

 

Metode Penelitian

Penyusunan penelitian ini menggunakan penelitian hukum yang bersifat penelitian hukum doktrinal, yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain (Soekanto, 2007). Data yang diperoleh dalam penyusunan penelitian ini merupakan data sekunder sebagai data utama yang diperoleh dari studi kepustakaan, arsip-arsip, laporan penelitian, dan bahan pustaka.

Bahan hukum primer yang dipakai yaitu UUJN dan KUHPerdata, lebih lanjut untuk bahan hukum sekunder yang bersumber dari buku, karya tulis ilmiah laporan penelitian. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang mana dalam penelitian ini yaitu berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan analisis kualitatif. Penelitian dengan teknik analisis kualitatif akan mengelola keseluruhan data yang terkumpul baik dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikategorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara yang satu dengan yang lain, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data serta dilakukan penafsiran dari perspektif dan pengetahuan peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data (Sunggono, 2007). Maka dari itu, penelitian ini memiliki bentuk hasil penelitian preskriptif-analistis, yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Muhammad & Niaga, 2004).

Hasil dan Pembahasan

A. Pengertian, Jenis dan Cara Kerja Artificial Intelligence

1. Pengertian Artificial Intelligence

Menurut Minsky, Artificial Intelligence adalah bidang studi yang menyelidiki bagaimana membuat perangkat komputer untuk melakukan sesuatu seperti yang biasa dilakukan manusia. Menurut H. A. Simon, Artificial Intelligence adalah bidang riset, aplikasi dan instruksi yang berhubungan dengan pemrograman komputer agar dapat melaksanakan hal apapun sesuai pandangan manusia dan menyerupai kecerdasan manusia.

Menurut Encyclopedia Britannica, Artificial Intelligence adalah kemampuan komputer digital atau robot yang dikendalikan oleh manusia melalui komputer agar dapat melakukan tugas apapun.  Sedangkan menurut Stuart J. Russell dan Peter Norvig, definisi Artificial Intelligence adalah perangkat komputer yang mampu mempelajari memahami lingkungannya serta juga bisa melakukan tindakan yang memaksimalkan peluang keberhasilannya di lingkungan tersebut untuk beberapa tujuan (Trisno & Raharja, 2023).

Artificial Intelligence dalah metode yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan meniru kecerdasan makhluk hidup (Ahmad, 2017). Artificial Intelligence dapat diartikan menjadi cerdasan buatan, yang pada prosesnya berarti membuat, atau mempersiapkan, mesin seperti komputer untuk memiliki kecerdasan atau intelligence berdasarkan perilaku manusia. Artificial Intelligence pada dasarnya bertujuan untuk membuat komputer dapat melakukan tugas yang dapat dilakukan oleh manusia (Pakpahan, 2021).

1. Artificial Intelligence merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana membuat sebuah komputer dapat mengerjakan sesuatu yang masih lebih baik dikerjakan manusia

2. Artificial Intelligence merupakan solusi berbasis komputer terhadap masalah yang ada, yang menggunakan aplikasi yang mirip dengan proses berpikir menurut manusia

3. Artificial Intelligence adalah cabang ilmu komputer yang mempelajari bagaimana komputer melakukan hal-hal yang pada saat yang sama orang mengejakannya lebih baik

4. Artificial Intelligence adalah subdivisi dari ilmu komputer untuk membuat perangkat keras dan piranti lunak komputer sebagai usaha untuk memperoleh hasil seperti yang dihasilkan oleh manusia.

2. Jenis Artificial Intelligence

Menurut Darwis et all Artificial Intelligence memiliki beberapa jenis yaitu sebagai berikut (Dawis et al., 2022):

a. Reactive Machines

Reactive Machines adalah bentuk dasar dari Artificial Intelligence yang melibatkan operasi-operasi dasar. Jenis AI ini memiliki tingkat yang paling dasar, di mana responsnya terhadap beberapa input hanya menghasilkan beberapa output. Tidak ada proses pembelajaran yang terjadi dalam jenis ini. Ini dapat dianggap sebagai langkah awal dalam pengembangan setiap sistem AI. Sebagai contoh, mesin yang dapat mengidentifikasi wajah manusia dan menempatkan kotak di sekitarnya sebagai respons terhadap input tanpa menyimpan informasi atau melakukan pembelajaran, adalah contoh dari mesin yang bersifat sederhana dan reaktif.

b. Limited Memory

Limited Memory mengacu pada kapasitas AI dalam menyimpan informasi dan/atau estimasi sebelumnya, serta menggunakan informasi tersebut untuk meningkatkan kualitas estimasi berikutnya. Dengan adanya Memori Terbatas, kompleksitas arsitektur pembelajaran mesin menjadi lebih tinggi. Meskipun setiap model pembelajaran mesin memerlukan batasan kapasitas memori, model tersebut dapat berfungsi sebagai jenis mesin reaktif.

c. Theory of Mind

Theory of Mind merujuk pada pemahaman bahwa Artificial intelligence memiliki keyakinan, keinginan, dan niat yang mempengaruhi keputusan yang mereka ambil. Hingga saat ini, jenis Artificial Intelligence atau Artificial Intelligence (AI) ini belum terwujud.

d. Self-Awareness

Sistem Artificial Intelligence memiliki kemampuan untuk memiliki kesadaran dan pemahaman diri. Mesin yang dilengkapi dengan kesadaran diri dapat mengenali kondisi mereka sendiri dan menggunakan informasi untuk menginferensi perasaan orang lain. Keberadaan AI dengan sifat ini terutama dapat ditemui pada robot terkini, salah satunya adalah Robot Sophia yang diperkenalkan pada tahun 2019 (Tawil & Akar, 2021).

3. Cara Kerja Artificial Intelligence

Artificial Intelligence memerlukan sejumlah besar data dan menerapkan algoritma pintar agar sistem dapat memperoleh pemahaman secara otomatis (Pasaribu & Widjaja, 2022). Menggunakan prinsip matematika dan logika, sistem komputer mampu mensimulasikan proses penalaran yang biasa digunakan manusia dalam menggali informasi baru dan mengambil keputusan.

Artificial Intelligence membuat prediksi atau melakukan tindakan berdasarkan pola yang terdapat dalam data, dan selanjutnya dapat belajar dari kesalahan yang terjadi untuk meningkatkan tingkat akurasi. Artificial Intelligence yang sudah matang mampu mengolah informasi baru dengan cepat dan tepat, sehingga sangat berguna dalam skenario yang kompleks seperti kendaraan otonom, program pengenalan gambar, dan asisten virtual.

Proses kerja Artificial Intelligence terdiri dari beberapa komponen yaitu sebagai berikut: (1) Pengumpulan Data, Artificial Intelligence membutuhkan akses pada data untuk mempelajari dan menjalankan fungsinya. Jenis data yang diperlukan dapat berupa teks, gambar, suara, atau format data lainnya yang relevan dengan tugas yang diberikan. Data ini diolah sebagai input bagi sistem artificial intelligence. (2) Pemrosesan Data, Setelah data terkumpul, artificial intelligence mengolahnya untuk mengekstrak informasi yang relevan. Proses ini melibatkan komputasi tingkat tinggi yang mencakup pengenalan pola, analisis statistik, dan penerapan konsep matematika. (3) Pembelajaran, artificial intelligence menggunakan data yang telah diolah untuk memperoleh pengetahuan. Proses ini dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti supervised learning, unsupervised learning, dan reinforcement learning. AI mencari pola dan keterkaitan dalam data, menggunakan informasi tersebut untuk memahami tugas yang diberikan. (4) Pengambilan keputusan, Setelah mempelajari data, AI dapat digunakan untuk mengambil keputusan.

Hal ini dapat salah satunya mencakup pengenalan gambar, prediksi cuaca, atau memberikan rekomendasi produk dalam platform e-commerce. AI menggunakan pengetahuannya untuk memberikan hasil yang paling akurat sesuai dengan tugas dan informasi yang diberikan. (5) Evaluasi dan Peningkatan, Jika terdapat ketidakpuasan atau kesalahan, artificial intelligence akan berupaya memperbaiki dirinya sendiri melalui proses pembelajaran tambahan. Ini menjelaskan mengapa AI dapat terus berkembang dan meningkat seiring berjalannya waktu (Baihaqi, Sulistiyana, & Fadholi, 2021).

 

B. Artficial Intelligence Tidak Termasuk dalam Subjek Hukum

Saat ini fitur artificial intelligence sangatlah kompleks menjadikannya sangat serupa dengan pengalaman dan pola pikir manusia. Pemodelan kognitif dan teknik berpikir rasional memberikan tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi, memungkinkan pembuatan program yang mampu memproses informasi sebagaimana otak manusia melakukan proses aktivitasnya. Terdapat beberapa kategori level artificial intelligence salah satunya Narrow AI yang yang merupakan tingkatan artificial intelligence saat ini.

Narrow AI (Weak AI) adalah Tingkat kemampuan program komputer yang melebihi kinerja manusia dalam tugas yang terbatas dan memiliki cakupan yang spesifik. Narrow AI memiliki kapasitas untuk mempelajari informasi dan mengaplikasikannya dalam mengambil keputusan secara mandiri layaknya manusia (Bostrom, 2014). Pertumbuhan artificial intelligence sebagai teknologi replikasi kecerdasan manusia ini memunculkan pertanyaan apakah artificial intelligence mampu menjadikan subjek hukum. Dilihat dari pengertiannya subjek hukum merujuk pada entitas yang memiliki hak dan kewajiban dalam konteks hukum, sehingga segala hal yang termasuk dalam definisi ini melibatkan manusia dan entitas hukum.

Oleh karena itu, hukum mengakui manusia sebagai pemegang hak dan kewajiban sebagai subjek hukum atau individu (Usman, 2006). Menurut Hardjawidjaja, manusia diidentifikasi sebagai entitas fisik yang umumnya dianggap manusia dalam pandangan umum. Eggens menekankan bahwa dalam konteks hukum (KUH Perdata), istilah "manusia" merujuk pada manusia sebagai rechts persoon atau subyek hukum. Ko Tjai Sing lebih lanjut memperluas konsep "orang" untuk mencakup tidak hanya manusia biasa tetapi juga Badan Hukum, menunjukkan bahwa baik manusia maupun badan hukum memiliki hak-hak yang diakui dalam konteks hukum tersebut (Entah, 1989).

Selain itu, Chidir Ali menambahkan dimensi filosofis dengan mengartikan manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi fisik dan rohaniah, dengan kemampuan berasa, berbuat, menilai, berpengetahuan, dan berwatak (HS, 2013). Berdasarkan pengertian subjek hukum tersebut maka artificial intelligence tentu tidak dapat disamakan dengan manusia dalam subjek hukum. Manusia memiliki entitas fisik kemampuan berasa, berbuat, menilai, berpengetahuan, dan berwatak yang tidak dimiliki artificial intelligence.

Menurut Otto Von Gierke melalui konsep organ, badan hukum pada hakikatnya adalah manifestasi nyata dari karakter dan identitas alami manusia dalam konteks hukumnya. Badan hukum memiliki hak dan tanggung jawab, serta memiliki kemampuan untuk bertindak secara mandiri dalam setiap keputusan yang diambil sebagai subjek hukum (Rahim et al., 2020). Artificial intelligence tidak dapat disetarakan dengan badan hukum untuk menjadi subjek hukum.

Badan hukum memiliki maksud dan tujuan yang jelas dalam pendiriannya dan terbatas pada ruang lingkup manusia. Artificial intelligence tidak memiliki kemampuan untuk berdiri secara mandiri, mengingat bahwa komputer diatur dan diprogram oleh manusia. Jika Artificial intelligence mengambil keputusan yang serupa dengan manusia, kepastian kesempurnaan keputusan tersebut tidak dapat dijamin tanpa supremasi manusia dalam pengambilan keputusan karena komputer tidak terlepas dari kemungkinan kesalahan sistem.

 

C. Pertanggungjawaban perdata kepada tindakan Artificial Inteligence terhadap Subjek Hukum

Artificial intelligence tidak seharusnya disamakan dengan manusia sebagai subjek hukum. Ketika suatu alat yang seharusnya membantu manusia malah dianggap memiliki posisi sebagai "manusia" dari segi hukum. Secara mendasar, terdapat perbedaan yang signifikan antara artificial intelligence dan manusia. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses kelahiran dan ketiadaan unsur alami pada artificial intelligence. Artificial intelligence tidak diciptakan secara alami seperti manusia dan tidak memiliki unsur-unsur organisme. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Artificial Intelligence sangat berbeda dengan manusia dari segi sifat alamiahnya.

Suatu tindakan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal ini menyatakan bahwa setiap tindakan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian kepada orang lain mengharuskan pelaku tindakan yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut untuk mengganti kerugian tersebut. Pertanggungjawaban perdata terhadap tindakan artificial intelligence dapat diinterpretasikan melalui kerangka hukum Indonesia, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk Suatu tindakan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata.

Pasal ini menyatakan bahwa setiap tindakan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian kepada orang lain mengharuskan pelaku tindakan yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut untuk mengganti kerugian tersebut. Pertanggungjawaban perdata terhadap tindakan artificial intelligence dapat diinterpretasikan melalui kerangka hukum Indonesia, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Pasal 1365 KUH Perdata tidak mengadakan perbedaan antara "dilakukan dengan sengaja" dan "dilakukan tanpa hati-hati yang memadai." Pasal tersebut justru menyatakan bahwa suatu tindakan yang melanggar hukum harus mengandung unsur kesalahan (schuld) dari pihak yang melakukan perbuatan, agar dapat menimbulkan kewajiban membayar ganti rugi. Ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai melawan hukum.

Oleh karena itu, penting untuk memahami sejauh mana cakupan unsur kesalahan ini. Suatu tindakan dianggap memiliki unsur kesalahan dan dapat menimbulkan tanggung jawab hukum jika memenuhi kriteria-kriteria berikut:

a. Ada unsur kesengajaan, Menurut tingkatannya kesengajaan ada 3 macam, yaitu: 1) Kesengajaan sebagai maksud dan tujuan (kesengajaan dalam artian yang sempit). 2) Kesengajaan sebagai kepastian (adanya kesadaran bahwa perbuatan tersebut menimbulkan akibat). 3) Kesengajaan sebagai kemungkinan atau suatu kesadaran suatu perbuatan terhadap kemungkinan timbulnya suatu akibat dari suatu perbuatan (dolis eventualis)

b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa) Unsur dari kelalaian itu adalah: 1) Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan. 2) Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care). 3) Tidak dijalankannya kewajiban kehati-hatian tersebut. 4) Adanya kerugian bagi orang lain. 5) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.

c. Tidak ada justifikasi atau pembenaran yang dapat diakui, seperti situasi keadaan yang di luar kendali, tindakan pembelaan diri, tidak waras, dan sejenisnya.

Dalam perspektif ini, tindakan artificial intelligence termasuk kedalam unsur kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi oranglain, tetapi mengingat bahwa Artificial Intelligence bukanlah subjek hukum secara yuridis, maka menjadi tidak tepat jika dikenakan pasal 1365 KUHPerdata. Dalam hal ini artificial intelligence dapat dianggap sebagai pekerja, dengan analogi hubungan pekerja dan majikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUH Perdata.

Pasal tersebut menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab tidak hanya atas perbuatannya sendiri, tetapi juga atas perbuatan orang yang menjadi tanggung jawabnya atau barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Sejalan dengan analogi ini, artificial intelligence dapat dianggap sebagai pekerja yang bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam konteks ini, pemilik artificial intelligence yang dianggap sebagai "pemberi kerja," dan tanggung jawab hukumnya dapat dibebankan sesuai dengan ketentuan Pasal 1367.

Namun, terdapat pemikiran alternatif yang memandang artificial intelligence sebagai suatu benda. Apabila diposisikan sebagai benda, artificial intelligence akan tunduk pada hukum perdata yang mengatur pertanggungjawaban atas benda. Hal ini hanya berlaku jika artificial intelligence dianggap sebagai suatu objek yang dimiliki oleh subjek dan tidak memiliki hak serta kewajiban seperti manusia atau badan hukum.

Kategorisasi sebagai benda berwujud atau tidak berwujud, serta benda bergerak. Sebagai contoh, robot fisik seperti Sophia dapat dianggap sebagai benda berwujud dan bergerak, sementara teknologi big data, bentuk artificial intelligence lainnya, dapat dianggap sebagai benda tidak berwujud. Dengan demikian, tanggung jawab hukum terhadap artificial intelligence dapat beragam tergantung pada kategorisasi hukum yang diterapkan (Hs, 2008).

Selain itu artificial intelligence juga dapat dibandingkan dengan hewan yang dianggap sebagai benda bergerak. Analogi ini menciptakan kemungkinan pemilik artificial intelligence bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh artificial intelligence, sebagaimana diatur dalam Pasal 1368 KUH Perdata terkait tanggung jawab pemilik binatang. Dengan demikian, pemahaman mengenai pertanggungjawaban perdata terhadap Artificial Intelligence melibatkan interpretasi yang cermat terhadap status hukumnya, baik sebagai pekerja yang dapat bertanggung jawab maupun sebagai objek yang tunduk pada aturan hukum perdata .

 

D. Prinsip Kehati-hatian Notaris dalam Menjalankan Jabatan Menggunakan Artificial Intelligence

Jabatan Notaris adalah suatu entitas yang dibentuk oleh negara, yang menetapkan notaris sebagai jabatan dengan tugas dan tanggung jawab yang khusus sesuai dengan peraturan hukum. Jabatan ini bersifat berkelanjutan dan memiliki lingkungan pekerjaan tetap, dimana setiap kewenangan yang diberikan kepada notaris harus sesuai dengan aturan hukum yang mengatur agar jabatan tersebut dapat beroperasi dengan efektif dan tidak saling bertentangan dengan kewenangan jabatan lainnya. Oleh karena itu, jika seorang pejabat notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditetapkan, hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran wewenang (Notaris & Aditama, 2009).

Prinsip kehati-hatian merupakan dasar tindakan pencegahan yang diterapkan untuk menghindari potensi masalah di dalam menjalankan jabatan. Prinsip ini tercermin dalam sumpah jabatan seorang Notaris, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN, yang menyatakan: "...saya berjanji untuk menjalankan tugas dengan amanah, jujur, seksama, mandiri, dan tidak memihak. Saya akan menjaga perilaku dan pelaksanaan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, serta menjunjung tinggi kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai seorang Notaris...".

Dalam konteks ini, amanah dan jujur menjadi bagian penting dari prinsip kehati-hatian, menandakan keberhati-hatian yang cermat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Selain itu Pasal 16 ayat 1 huruf a UUJN mengamanatkan bahwa seorang notaris, dalam melaksanakan tanggung jawabnya, diwajibkan untuk berperilaku dengan amanah, jujur, teliti, bebas dari pengaruh pihak tertentu, serta memastikan kepentingan pihak yang terlibat dalam perbuatan hukum tetap terjaga. Pasal ini merinci prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh seorang notaris sebagai berikut:

 

1. Amanah

Salah satu tanggung jawab yang harus dimiliki oleh seorang notaris adalah menjalankan tugasnya secara amanah, sesuai dengan jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan kewajiban sebagai notaris dan perannya sebagai individu yang dapat dipercaya. Profesionalisme notaris menjadi sangat penting karena notaris bertindak sebagai pemegang amanah, dan oleh karena itu, harus berperilaku dengan integritas yang sesuai dengan posisinya sebagai orang yang dipercayai untuk menjalankan tugasnya (Mubarok, 2009).

2. Jujur

Notaris memiliki tanggung jawab untuk bertindak dengan jujur, tidak hanya terhadap kliennya tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Notaris diharapkan untuk menyadari batasan kemampuannya, menghindari memberikan janji-janji yang hanya bertujuan untuk menyenangkan klien atau memastikan klien tetap menggunakan jasanya. Semua ini merupakan indikator kejujuran intelektual seorang notaris yang dapat diukur dengan sendirinya (Saleh, 1993).

3. Seksama

Notaris memiliki tanggung jawab untuk menjadi teliti dan berhati-hati dalam menjalankan tugasnya, terutama ketika menghadapi keterangan para penghadap yang mungkin memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi keterangan agar sesuai dengan keinginan mereka. Notaris berperan dalam menentukan apakah suatu tindakan dapat dicatat dalam bentuk akta atau tidak. Sebelum membuat keputusan tersebut, Notaris wajib mempertimbangkan dengan seksama semua dokumen yang diberikan kepadanya, meneliti bukti yang diajukan, dan mendengarkan keterangan atau pernyataan dari semua pihak terkait. Keputusan tersebut harus didasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak yang terlibat. Seluruh pertimbangan tersebut harus mencakup segala aspek hukum, termasuk potensi masalah hukum yang mungkin muncul di masa mendatang.

4. Mandiri

Notaris memiliki tanggung jawab untuk bersifat mandiri dalam menjalankan jabatan pribadinya, tidak tergantung pada pihak lain, dan tidak memanfaatkan layanan dari pihak eksternal yang dapat merusak kemandiriannya.

5. Tidak Berpihak

Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai pejabat umum, notaris memiliki karakteristik khusus, terutama dalam posisinya yang bersifat tidak memihak dan independen. Bahkan, dengan jelas ditegaskan bahwa notaris bukanlah salah satu pihak yang terlibat. Sebagai pejabat umum, notaris memberikan layanan terkait dalam pembuatan akta otentik, tanpa menjadi pihak yang memiliki kepentingan. Meskipun merupakan bagian dari aparat hukum, notaris bukanlah "penegak hukum"; notaris tetap netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang terlibat.

Penggunaan sistem Artificial Intelligence dalam menjalankan jabatannya dapat menjadi salah satu alat bantu seorang notaris dalam menerapkan prinsip kehati-hatian salah satunya dengan cara membuat draf akta notaris yang dikehendaki para penghadap yaitu dengan mengolah data yang terdiri dari sejumlah aturan-aturan yang tersusun secara sistematis dan spesifik mengenai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang akan buat para penghadap yang isinya bergantung pada apa yang diperjanjikan atau sesuai dengan kehendak para penghadap.

Sistem Artificial Intelligence mengolah data yang terdiri dari sejumlah aturan-aturan yang tersusun secara sistematis dan spesifik mengenai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang akan dibuat para penghadap. Artificial Intelligence akan memberikan input dari draf akta notaris yang dibuat sesuai basis data pada suatu penyimpanan data yang selanjutnya menghasilkan output berupa suatu kesimpulan. Namun, Notaris harus tetap memperhatikan bahwa penggunaan sistem artificial Intelligence tidak mengurangi tanggung jawab Notaris dalam menjalankan jabatannya.

Artificial Intelligence memiliki potensi untuk menghasilkan terobosan baru dalam dunia digital, di mana penggunaannya tidak hanya membawa manfaat positif tetapi juga menimbulkan beberapa risiko: 1) Kekhawatiran terkait teknologi yang dapat menggantikan peran manusia dalam dunia kerja. 2) Tingkat kompleksitas teknologi yang terus berkembang sulit diatasi secara manual oleh tenaga manusia. 3) Dampak penggunaan sistem teknologi terhadap tingkat pengangguran dan pergeseran pekerjaan. 4) Ketiadaan tanggung jawab profesional dalam pemanfaatan teknologi. 5) Kelompok minoritas yang memiliki keterbatasan pengetahuan mengenai perkembangan teknologi.

Untuk mengatasi risiko-risiko yang muncul, langkah-langkah berikut dapat diambil: Pertama, perlu dirancang teknologi yang berfokus pada kebutuhan manusia. Kedua, dukungan dari organisasi sangat penting untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang kompleks dan dapat diatasi dengan bantuan Teknologi Informasi. Ketiga, diperlukan pendidikan yang memperkenalkan teknologi informasi agar masyarakat lebih menyadari perkembangan di bidang ini. Keempat, peningkatan dalam pendidikan akan menghasilkan umpan balik positif dan imbalan dari organisasi. Kelima, meskipun teknologi terus berkembang, perlu disesuaikan dengan hukum yang berlaku agar etika dalam profesi di bidang teknologi dapat dijaga.

 

Kesimpulan

Menghadapi pertanggungjawaban perdata terhadap tindakan artificial Intelligence yang menimbulkan kerugian bagi subjek hukum, perlu mempertimbangkan beberapa sudut pandang. Analogi artificial Intelligence sebagai pekerja membuka peluang pembebanan tanggung jawab kepada pemiliknya, mengikuti prinsip tanggung jawab atas perbuatan orang yang menjadi tanggung jawabnya. Di sisi lain, pandangan artificial Intelligence sebagai suatu benda memunculkan implikasi hukum dimana pemiliknya bertanggung jawab atas segala kerugian yang disebabkan oleh artificial Intelligence tersebut.

Notaris yang menggunakan artificial Intelligence dalam menjalankan jabatannya, terdapat risiko terkait dengan keputusan atau tindakan yang dihasilkan oleh algoritma artificial Intelligence. Notaris sebagai pihak yang menggunakan teknologi ini dapat dikenai pertanggungjawaban jika terjadi kerugian akibat kesalahan atau keputusan yang diambil oleh artificial Intelligence tersebut. Oleh karena itu, notaris perlu menjalankan kewajibannya dengan cermat dan tetap bertanggung jawab terhadap akibat hukum dari penggunaan artificial Intelligence.

Pengaturan artificial Intelligence di Indonesia masih dalam tahap pengembangan dan perlu pemikiran yang cermat. Pandangan mengenai artificial Intelligence sebagai benda atau subjek hukum perlu disesuaikan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut dan regulasi yang sesuai untuk mengakomodasi dinamika perkembangan teknologi ini dan meminimalkan risiko serta pertanggungjawaban yang mungkin timbul.

 

BIBLIOGRAFI

Ahmad, Abu. (2017). Mengenal artificial intelligence, machine learning, neural network, dan deep learning. J. Teknol. Indones., No. October, 3.

 

Alfarizi, Moh Khory. (2023). Studi AI Lebih Akurat Temukan Masalah Hukum Dibanding Pengacara-Tekno Tempo. Co.

 

Baihaqi, Wiga Maulana, Sulistiyana, Fatma, & Fadholi, Azhar. (2021). Pengenalan Artificial Intelligence Untuk Siswa Dalam Menghadapi Dunia Kerja Di Era Revolusi Industri 4.0. RESWARA: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1), 79–88.

 

Bostrom, N. (2014). Superintelligence, UK: Oxford University Press.

 

Dawis, Aisyah Mutia, Himawan, Irfan Sophan, Meidelfi, Dwiny, Ikhram, Faisal, Intan, Indo, Harun, Rofiq, Haris, M. Syauqi, Wahyuddin, S., Yuniar, Eka, & Purnomo, Rakhmat. (2022). Artificial Intelligence: Konsep Dasar Dan Kajian Praktis. Tohar Media.

 

Entah, Aloysius R. (1989). Hukum perdata:(suatu studi perbandingan ringkas). Liberty.

 

Fahrudin, Naiman. (2018). Penerapan Metode Finite State Machine Pada Game Adventure “Franco.” JATI (Jurnal Mahasiswa Teknik Informatika), 2(1), 446–453.

 

Hs, Salim. (2008). Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.

 

HS, Salim. (2013). Dan Erlies Septiana Nurbani (2013). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

 

Kurniawan, Itok. (2023). Analisis Terhadap Artificial Intelligence Sebagai Subjek Hukum Pidana. Mutiara: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 1(1), 35–44.

 

Kusumawardani, Q. D. (2019). Hukum Progresif Dan Perkembangan Teknologi Kecerdasan Buatan. Veritas et Justitia, 5 (1), 166–190.

 

Marr, Bernard. (2019). Artificial intelligence in practice: how 50 successful companies used AI and machine learning to solve problems. John Wiley & Sons.

 

Mubarok, Achmad. (2009). Akhlak Manusia sebagai Konsep Pembangunan Karakter. Jakarta: GMPAM YPC-WAP.

 

Muhammad, Abdulkadir, & Niaga, Hukum Pengangkutan. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

 

Notaris, Jabatan, & Aditama, Refika. (2009). Sanksi Perdata Dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung.

 

Pakpahan, Roida. (2021). Analisa Pengaruh Implementasi Artificial Intelligence Dalam Kehidupan Manusia. JISICOM (Journal of Information System, Informatics and Computing), 5(2), 506–513.

 

Pasaribu, Manerep, & Widjaja, Albert. (2022). Artificial Intelligence: Perspektif Manajemen Strategis. Kepustakaan Populer Gramedia.

 

Priowirjanto, Enni Soerjati. (2022). Urgensi Pengaturan Mengenai Artificial Intelligence Pada Sektor Bisnis Daring Dalam Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia. Jurnal Bina Mulia Hukum, 6(2), 254–272.

 

Rahim, Muh Ibnu Fajar, SH, M. H., Rahim, A., SH, M., Guwi, Januhari, & SH, M. H. (2020). Kewenangan Kejaksaan Mewakili Pemerintah-Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo Persada.

 

Saleh, Ismail. (1993). Membangun Citra Profesional Notaris Indonesia. Bandung, Pengarahan/ceramah Umum Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada ….

 

Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

 

Sunggono, Bambang. (2007). Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Tawil, Siti Fatimah Mohd, & Akar, Celal. (2021). Teknologi Revolusi Industri 4.0 Untuk Kesejahteraan Ummah: Menyingkap Perspektif Rasail Nur.

 

Trisno, Indra Budi, & Raharja, Made Agung. (2023). WEBINAR ARTIFICIAL INTELLIGENCE DAN MACHINE LEARNING. Jurnal Pengabdian Mandiri, 2(11), 2307–2314.

 

Usman, Rachmadi. (2006). Aspek-aspek hukum perorangan dan kekeluargaan di indonesia.

 

Copyright holder:

Caroline Cynthia, Disriani Latifah Soroinda (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: