Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 12, Desember 2023
ANALISIS YURIDIS TENTANG HUKUM ADAT
TORAJA
Martin
Rich Arianto
Fakultas Hukum, Universitas Tarumanegara, Indonesia
Email :
[email protected]
Abstrak
Implikasi Hukum Terhadap Pranata Pangngiuran Menurut Hukum Adat Toraja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan pangngiuran menurut hukum adat Toraja dan mengetahui konsekuensi terhadap ahli waris dalam menerima atau menolak pranata pangngiuran dalam sistem hukum waris adat Toraja. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Historis dan PluralismHasil Penelitian ini menunjukkan bahwa eksistensi pelaksanaan pangngiuran pada pembangunan Tongkonan masih berjalan setiap kali pembangunan dilaksanakan, dan kosekuensi pada ahliwaris ketika menolak pelaksanaan pangngiuran pada pembangunan Tongkonan adalah sawah yang menjadi bagian dan tanda bahwa mereka merupakan anggota Tongkonan akan di tarik kembali bagi ahli waris to diba’gi dan to di lullungngi.
Kata
Kunci: Hukum, Adat,
Tanah Toraja
Abstract
Legal Implications for Pangngiuran Institutions According to Toraja Customary Law. This study aims to identify and analyze the implementation of pangngiuran according to Toraja customary law and to find out the consequences for heirs in accepting or rejecting pangngiuran institutions in the Toraja customary inheritance law system. This study uses the Historical approach and Pluralism. The results of this study indicate that the existence of the implementation of pangngiuran in Tongkonan development is still running every time the construction is carried out, and the consequences for heirs when refusing the implementation of pangngiuran in Tongkonan development are rice fields that become part and a sign that they are members of the Tongkonan will be in the area. pull back for the heirs to be shared and to be lulled.
Keywords: Law, Customs, Toraja Land
Pendahuluan
Indonesia merupakan
negara yang kaya, bukan hanya kekayaan alam yang dimiliki tetapi juga
keberagaman suku, agama, bahasa, serta adat istiadat. Misal untuk kekayaan suku
bangsa, Indonesia memiliki ratusan nama suku bahkan ribuan jika dirinci hingga
subsukunya. Kemajuan teknologi dan kemudahan di bidang transportasi mendorong
peningkatan mobilitas penduduk. Imbas dari mobilitas penduduk diantaranya
adalah mempercepat perubahan komposisi suku di suatu wilayah (Deapati, 2009).
Keberagaman suku serta
adat-istiadat menimbulkan budaya yang berbeda diantara suku-suku yang ada.
Setiap budaya memiliki ciri khas masingmasing yang tidak dimiliki oleh budaya
suku lain. Ciri khas yang dimiliki tentunya memiliki keunikan yang membuat
orang luar suku merasa kagum bahkan tidak sedikit juga ada yang merasa aneh.
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa Sansekerta) buddhayah yang merupakan
bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan
sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal” (Manurung, 2009).
Suku-suku di Indonesia
memiliki kebudayaan yang berbeda, bisa disebabkan juga karena adat-istiadatnya.
Misalnya, di suku Toraja yang terletak di kabupaten Tana Toraja, Sulawesi
Selatan. Masyarakat suku Toraja memiliki adat-istiadat yang kental pada Upacara
Kematian atau Rambu Solo’. Prosesi Upacara Kematian memiliki beberapa rangkaian
Tradisi yang dilakukan sebelum jenazah ditempatkan pada Liang kubur. Seperti
namanya, Toraja (dari suku kata: to raja) yang mempunyai arti “orang yang
tinggal di wilayah atas”, mendalami Suku Toraja seperti mengarungi kehidupan
sukusuku pedalaman yang tinggal di daerah pegunungan. Upacara Kematian pada
suku Toraja dilakukan untuk mengantar arwah jenazah ke Nirwana atau dalam
bahasa Toraja disebut Puya (Duli & Hasanuddin, 2003).
Berbagai rangkaian
acara dilakukan mulai dari pembungkusan jenazah (Ma’Tudan Mebalun),
ma’pasonglo’, penerimaan tamu, adu kerbau, dst. Pemakaman, tahap akhir dari
rangkaian acara, jenazah diiring menuju Liang batu atau ke Patane (kuburan yang
bentuknya seperti rumah). Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juga memberikan
payung hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kondisi masyarakat
yang beragam, termasuk kebudayaan.
Pengaturan
mengenaijaminan Negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen). Dalam Pasal 32 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ditegaskan bahwa “Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Aparat penegak hukum
dan Lembaga Adat di Tana Torajamemiliki peranan yang penting, benda purbakala
yang selama ini menjadi obyek tindak pidana pencurian merupakan warisan budaya
nenek moyang yang perlu untuk dilestarikan dan dilindungi melalui penerapan
hukum bagi pelakunya. Aparat penegak hukum berwenang untuk menindak pelaku
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan lembaga adat memiliki
wewenang untuk menindak pelaku pencurian benda purbakala dengan menjatuhkan
sanksi adat berdasarkan hukum adat yang hidup di masyarakat adat. Di kabupaten
Tana Toraja terdapat beberapa lembaga adat, namun keberadaannya kurang
diketahui oleh masyarakat Tana Toraja.
Berdasarkan
latar belakang di atas maka rumusan penelitian ini yaitu; 1) Bagaimana Hukum Kekerabatan
dan waris Di Masyarakat Toraja? 2) Bagaimana Hukum Perkawinan Di Masyarakat
Toraja? 3) Bagaimana kekayaan Perekonomian Di Masyarakat Toraja? 4) Bagaimana
Delik Adat Di Masyarakat Toraja?
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
yuridis normatif yaitu penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka atau disebut dengan penelitian Hukum
Kepustakaan (Marzuki,
2005). Jenis penelitan yang dipergunakan oleh penulis adalah
yuridis normatif. yaitu penelitian Hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka disebut dengan penelitian
Hukum Kepustakaan. Pertimbangan penulis dalam mempergunakan jenis penelitian
ini adalah untuk mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan tentang Analisis
Yuridis Tentang Hukum Adat Toraja.
Dalam penelitian hukum yuridis normative ini,
penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statuta approach).
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan karena yang
menjadi bahan kajian utama adalah peraturan perundang-undangan tentang Analisis
Yuridis Tentang Hukum Adat Toraja.
Pada penelitian ini, bahan hukum yang digunakan
terdiri dari tiga jenis yaitu:
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah
hukum positif di Indonesia yang terdiri dari peraturan tertulis yang diwujudkan
dari Undang-undang dan peraturan tidak tertulis yang diwujudkan dalam hukum
adat. Adapun peraturan tertulis yang menjadi bahan hukum primer di penelitian
ini adalah: UU Perkawinan, Hukum Adat Toraja, Hukum Waris
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini
menggunakan buku-buku, dokumen, makalah, jurnal, risalah dan artikel-artikel
dari media cetak maupun elektronik yang terkait dengan permasalahan yang
dikaji.
3) Bahan hukum Tersier
Bahan hukum tersier terdiri dari kamus hukum dan
Ensiklopedia hukum. Adapun teknik yang digunakan dalam memperoleh bahan hukum
primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penelusuran studi
kepustakaan (library research) yang berkaitan dengan kekosongan norma mengenai
mengenai regulasi yang mengatur tentang kejahatan Analisis Yuridis Tentang
Hukum Adat Toraja. Bahan hukum sekunder dan tersier diperoleh dari studi
literatur (literature study) dan studi dokumen (document study) koleksi pribadi
penulis serta dengan cara mengunduh berbagai artikel di internet yang berkaitan
dengan topik yang hendak dibahas.
Teknik penelusuran bahan hukum dilakukan dengan
cara mempelajari dan mencatat data dari bahan pustaka yang telah dikumpulkan.
Selanjutnya hasilnya dikumpulkan untuk dianalisis dan diambil kesimpulannya
sesuai dengan pokok permasalahan yang telah penulis kemukakan sebelumnya dalam
rumusan masalah. Penelitian ini menggunakan metode interpretasi sistematis.
Metode interpretasi sistematis adalah interpretasi dengan melihat kepada
hubungan diantara aturan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang saling
bergantung.
Metode interpretasi sistematis digunakan untuk
melihat perundang-undangan lain yang mengatur tentang Analisis Yuridis Tentang
Hukum Adat Toraja. t. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa kaidah hukum terkandung
tujuan dan asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran demikian
juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual.
Hasil dan Pembahasan
A. Hukum Kekerabatan dan waris Di Masyarakat Toraja
Apabila kita berbicara
tentang hukum adat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan anak angkat maka
kita juga akan berbicara mengenai harta warisan, sistem kekerabatan dan cara
pewarisannya. Begitupun dengan pengangkatan anak di Tana Toraja, anak angkat
akan selalu dikaitkan dengan sistem kekerabatan dan cara pewarisan menurut
hukum adat Tana Toraja (Imron, 2005).
Dalam masyarakat adat
Tana Toraja pada umumnya ada 2 (dua) pranata yang dapat menggambarkan
perwujudan suatu kekerabatan orang Toraja, yaitu Banua Tongkonan (rumah adat)
dan liang (kuburan keluarga). Banua Tongkonan adalah rumah adat keluarga Toraja
sebagai simbol kekerabatan yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi
kehidupan orang Toraja. Tongkonan berasal dari kata tongkon adalah tempat duduk
mendengarkan perintah dan penjelasan serta duduk menyelesaikan masalah.
Tongkonan ini mula-mula
didirikan oleh pangala tondok (penguasa), sebagai tempat untuk menjalankan
pemerintahan dan tempat membuat peraturanperaturannya. Akan tetapi perkembangan
jaman maka bulo dia’pa’ atau rakyat biasa juga mendirikan banua tongkonan yang
dahulunya rumah mereka tidak disebut tongkonan, tetapi hanya disebut banua
(rumah) (Hadikusuma & Indonesia,
1995).
Menurut para pemuka
adat banua tongkonan (rumah adat) ini mempunyai beberapa fungsi yaitu: a) Sebagai lambang
kebesaran dan tempat sumber kekuasaan dan peraturan pemerintahan adat. b) Sebagai
istana atau tempat tinggal. c) Sebagai tempat menyimpan dan membina warisan
keluarga (mana’) baik warisan berupa hak dan kekuasaan maupun warisan berupa
harta pusaka. d) Sebagai tempat duduk bermusyawarah dan meyelesaikan persoalan
keluarga maupun masyarakat. e) Sebagai tempat berkumpul masyarakat untuk
mendengarkan perintah adat dari pemangku adat di Tongkonan tersebut. f) Sebagai
pusat tempat melaksakan setiap kegiatan adat atau upacara adat baik rambu solo’
maupun rambu tuka’ oleh keluarga atau keturunan dari Tongkonan tersebut. g) Sebagai
tempat menuturkan silsilah keluarga dari Tongkonan tersebut. h) Sebagai lambang
persatuan dan pusat pembinaan keutuhan keluarga dari Tongkonan itu.
Keluarga atau
keturunan dari Tongkonan-tongkonan tersebut di atas disebut rapu termasuk juga
anak angkat. Maksud daripada keterangan diatas adalah orang-orang yang berhak
atas tongkonan adalah keluarga atau keturunannya atau bisa disebut dengan ahli
waris. Setiap rapu dari Tongkonan mempunyai kewajiban untuk tetap mengabdi
kepada Tongkonannya, baik Tongkonan dari pihak ibu maupun Tongkonan dari pihak
ayah.
Jadi ayah maupun ibu
biasanya mempunyai tongkonan dari nenek moyangnya sebagai ahli waris atau rapu
mempunyai kewajiban untuk menjaga tongkonan dari pihak ayah atau pihak ibu.
Pengabdian orang Toraja ini terhadap Tongkonannya diwujudkan dalam bentuk tetap
turut mangngiu’ artinya tetap memberikan bantuan dan sumbangan sesuai dengan
kemampuannya guna memelihara dan memperbaiki atau membangun kembali Tongkonan10.
Kesadaran sikap
pengabdian orang Toraja pada Tongkonan dalam bentuk adat mangngiu’ ini,
dianggap oleh masyarakat suatu keharusan. Barang siapa yang melalaikan adat
mangngiu’ ini terhadap Tongkonan berarti orang tersebut telah menyangkali dan
melalaikan pula orang tua serta leluhurnya. Sehingga bisa saja hak warisnya
dalam segala bentuk menjadi hilang karena dianggap telah murtad kepada orang
tua dan leluhurnya serta perbuatan ini dianggap perbuatan tercela.
Setiap orang Toraja
harus mengenal semua Tongkonan baik Tongkonan yang mempunyai peranan dan fungsi
adat, maupun Tongkonan yang hanya sebagai Tongkonan persatuan dan pertalian
keluarga. Semua Tongkonan ini harus mendapat perhatian yang sama dari keluarga
atau rapunna. Pranata yang kedua yang menjadi lambang dari kesatuan keluarga
adalah liang (kuburan) dari suatu keluarga besar (rapu) yang biasa juga disebut
Tongkonan tang merambu (rumah tak berasap = tidak mempunyai dapur) sama halnya
dengan banua Tongkonan, liang itu juga dimulai oleh leluhur dan yang berhak
dikuburkan dalam suatu liang tertentu adalah semua keturunan leluhur yang
membangun liang tersebut (Theodorus, 2008).
Suami atau isteri dari
keturunan yang membangun liang tersebut tidak dapat dikuburkan dalam liang itu,
hanya anak laki-laki (keturunan) mereka yang dapat dikuburkan pada liang
tersebut. Jika terjadi hal yang demikian yaitu suami atau isteri dari rapu
Tongkonan tang merambu (liang) yang akan dikubur dalam liang itu maka harus
melalui musyawarah keluarga besar dari Tongkonan tang merambu tersebut.
Liang sebagaimana
halnya dengan Tongkonan, juga dipelihara secara gotong-royong dari seluruh
keluarga (to ma’rapu) dan upacara-upacara yang berhubungan dengan arwah leluhur
diadakan dekat liang. Jadi dasar pengabdian orang Toraja pada Tongkonannya,
baik Tongkonan merambu maupun Tongkonan tang merambu karena adanya prinsip
cinta kasih dan tetap menjunjung tinggi rasa hormat kepada orang tua dan leluhurnya.
Bentuk pengabdian ini pulalah yang menjadi landasan sehingga hubungan
kekeluargaan, kesatuan dan kegotong-royongan rapu Tongkonan secara khusus dan
masyarakat Toraja secara umum tetap terpelihara (Ter
Haar, 1939).
Ketiga hal tersebut
dapat dilihat pada saat pelaksanaan upacara rambu solo’ maupun rambu tuka. stem
pewarisan di masyarakat hukum adat Tana Toraja tidak berlaku terhadap semua
objek harta warisan, karena di Tana Toraja dikenal juga harta pusaka tinggi dan
harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi (mana’ disiossoi’) di Toraja cara
pewarisannya cenderung lebih kepada sistem pewarisan kolektif. Contohnya rumah
Tongkonan, semua anggota keluarga dapat menempati tetapi kepemilikannya tidak
boleh dimiliki secara perorangan, jadi ahli waris hanya bisa menikmati. Harta
pusaka rendah (mana’ ba’gi), penguasaan dan kepemilikannya dapat dibagi menurut
hak dan kepentingan para warisnya.
B. Hukum Perkawinan Di Masyarakat Toraja
Penduduk asli Rantepao
ialah orang-orang suku Toraja. Keadaan geografis di Toraja Utara yang terdiri
dari bukit barisan maka dipastikan bahwa mata pencaharian rakyat pada umumnya
adalah bertani. Selain bertani juga mempunyai keahlian khusus yaitu mengukir (seni
mengukir) yang terkenal dengan Ukiran Toraja, yang dalam bahasa Toraja disebut
“Passura”. Masyarakat Toraja juga dikenal dengan adat yang biasa dilakukan
yaitu Rampanan Kapa’ Sule Langngan Banua yang dapat diterjemahkan berarti
perkawinan yang kembali kedalam keluarga sendiri. Sule berarti kembali,
Langngan berarti kedalam atau keatas, Banua berarti rumah.
Jadi perkawinan ini
dilakukan antara anggota kerabat yang memiliki hubungan dekat atau masih
memilki satu marga (nama keluarga), apakah itu antara saudara, saudara dari
orangtua maupun saudara dari nenek, yang dalam silsilah keluarga masih nampak
pertalian darah yang sangat dekat. Bagi masyarakat adat Toraja hal ini dianggap
sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging, karena mereka meyakini perkawinan
dalam keluarga atau sesama kerabat itu akan tetap membuat mereka dapat
mempertahankan darah leluhur dan membuat keturunan mereka tetap berada dalam
satu gelar. Ada juga yang berpendapat agar harta peninggalan atau harta warisan
mereka tidak akan terbagi kemana-mana hanya dalam lingkup keluarga saja (Muhammad,
1976).
Sedangkan dalam
Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang terdapat dalam Pasal 8 ayat 2, disitu jelas
mengatur larangan kawin yang berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya; apabila ini dilanggar maka perkawinan
tersebut dapat batal demi hukum.
Undang-Undang yang
mengatur jelas mengenai larangan kawin namun tetap dalam masyarakat adat
ditemukan kasus dimana seorang wanita yang kawin dengan paman yang notabenenya
ada saudara dari pihak ayah, karena di Tana Toraja ini memiliki kecenderungan
marga itu diturunkan dari pihak ayah maka dalam kasus ini si wanita dan
laki-laki memiliki marga yang sama. Di Toraja ini terdapat beberapa kasta, yang
tertinggi di juluki puang julukan untuk tallulembangna (Makale, Sangalla,
Mengekendek – Tana Toraja) untuk Toraja barat dikenal sebutan Ma’dika.
Sedangkan untuk Toraja
Utara dikenal dengan Toparengnge atau Siindo’ sedangkan kasta renda di juluki
Kaunan, dari alasan ini pula Rampanan Kapa’ (Perkawinan) Sule Langngan Banua
tetap dilakukan karena untuk mengindari perkawinan beda kasta ini. Dalam
masyarakat Toraja kasta ini masih sangat kental di lingkungan mereka karena
itulah sebagai pertanda keberadaan mereka, siapa yang akan duduk sebagai tuan
dan siapa yang akan menjadi bawahan.
Terutama bagi wanita
sangat dihindarkan agar tidak kawin dengan kasta rendah, sebab di masyarakat
Toraja memiliki kebiasaan apabila perkawinan dilaksanakan di Tongkonan maka acara
perkawinan tersebut akan diadakan di Tongkonan wanita, sedangkan yang berasal
dari kaunan tidak di perkenankan duduk setara dengan puang. Dari
permasalahan-permasalahan inilah yang mendasari para leluhur masyarakat adat
yang ada di Tana Toraja ini melakukan Rampanan Kapa’ Sule Langngan Banua lalu
kebiasaaan ini pun dilakukan secara turun- temurun, namun masyarakat adat pun
tetap bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki aturan untuk mengatur rakyat
Indonesia secara umum.
Pandangan masyarakat
terhadap Rampana Kapa Sule Langngan Banua adalah untuk mempererat hubungan
kekeluargaan melalui perkawinan dalam lingkup keluarga itu sendiri, sehingga
masyarakat adat Toraja menganggap Rampanan Kapa Sule Langngan Banua perlu
dipertahankan, karena dianggap memiliki unsur positif. Rampanan Kapa Sule
Langngan Banua berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 bertentangan dengan, aturan yang
terdapat dalam pasal 8 ayat 2, yang menyatakan: perkawinan dilarang antar dua
orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya (Djun’astuti,
Tahir, & Marnita, 2022).
C. Hukum Kekayaan Perekonomian Di Masyarakat Toraja
Falsafah hidup dan
kehidupan suku toraja yang telah membentuk masyarakat yang berdasar kesatuan,
kekeluargaan, dan kegotong-royongan yang menyebabkan susunan masyarakat Toraja
kekerabatan yang Bilateral tidak sama dengan sistem kerabatan di daerah lain. Kedudukan
suami istri sama, maka demikian pula seterusnya anak-anak baik laki-laki maupun
perempuan mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam semua bentuk.
Hal ini dibuktikan
hukum warisan di Tana Toraja yaitu semua anak-anak mempunyai kedudukan yang
sama sebagai pewaris dan mempunyai kewajiban-kewajiban yang sama pula, dan
disesuaikan dengan kemampuannya dalam pada saat mengadakan upacara rambu solo’
melalui musyawarah penguasa-penguasa adat. Bahwa “Penguasa adat terbagi atas
tiga (3) kelompok wilayah adat yaitu, wilayah adat kapuangan, wilayah adat
ma’dika, dan wilayah adat pekaamberan”.
Lokasi penelitian ini
termasuk dalam wilayah adat pekamberan, apabila dalam pembagian harta warisan
khususnya di kecamatan Sesean menurut hukum adat waris Toraja harus dimulai dan
dilakukan di hadapan para penguasa adat setempat. Penguasa adat setempat yang
dimaksud terdiri dari To parengnge’, Ambe’ Tondok, To minaa, dan pemerintah
setempat. Para penguasa tersebut akan memberikan petunjuk-petunjuk serta
nasihat mengenai cara yang terbaik dalam pelaksanaan pembagian warisan (Salombe,
1972).
Menurut Dasius D.
Rangan salah seorang Ambe’ Tondok, manyatakan bahwa cara yang terbaik untuk
pembagian harta warisan yang belum dibagi orang tua sesudah meninggal harus
melalui musyawarah dan mufakat dengan melihat pengorbanan masing-masing anak
kepada orang tuanya pada saat diupacarakan. Lebih lanjut menyatakan hutang dan
piutang juga didata dan dibagi bersama-sama dengan harta yang belum dibagi. Hal
senada dikemukakan oleh Y.P. Mangiwa sebagai Toparengnge’ bahwa harta warisan
yang belum dibagi oleh orang tua kedua belah pihak, kalau masih ada salah
satunya orang tuanya yang masih hidup, maka hanya separuhnya harta warisan yang
dibagi berdasarkan dengan pengorbanannya.
Sisanya yang belum
dibagi dimiliki oleh orang tuanya yang masih hidup untuk tempat pencarian
nafkah. Setelah meninggal dunia, maka harta yang tersisa itu akan dibagi
berdasarkan dengan pengorbanan anak-anaknya. Pembagiannya didasarkan dengan
pengorbanan yang disebut pa’tallang. Untuk membagi harta warisan tersebut
diupayakan ada penguasa adat, petunjuk-petunjuk, serta nasihat mengenai cara
terbaik dalam pelaksanaan pembagian warisan (Hasil Wawancara).
Jadi pembagian warisan melalui penguasa adat
mendata harta yang belum dibagi baik harta bawaan maupun harta pencaharian
bersama masing-masing suami istri selama perkawinan berlangsung. Setelah harta
warisan itu telah diketahui penguasa adat kemudian meneliti tiap-tiap harta
warisan tersebut yang dimiliki oleh pewaris seperti tanah, sawah, ternak,
barang-barang berharga lainnya, serta hutang pewaris yang dicatat dalam buku
hariannya termasuk di dalamnya (Soekanto,
2005).
Hutang yang diwariskan
kepada ahli waris adalah hutang sebelum dan sesudah meninggal dunia yaitu
hutang kerbau, babi dan lain-lain yang belum sempat dibayar pada saat dia masih
hidup. Begitu pula pada saat orang tua diupacarakan, pihak keluarga turut
berkorban membawa kerbau , babi, dan lain-lain dan mengatas namakan orang tua
dengan nama ma’ waimata. Jika keluarga mengalami hal yang sama seperti di atas,
maka wajib anak-anaknya turut mengambil bagian dalam upacara pesta kematian
tersebut. Hutang orang Toraja dalam perspektif adat Toraja tidak akan pernah
tuntas yang utuh karena persaudaraan masih dipegang teguh terutama dalam hal
pengorbanan.
Menurut B. Kadang
bahwa lasimnya sebelum upacara rambu solo’ dimulai, ahli waris mengadakan
musyawarah tentang utang pewaris pada saat masih hidup kepada si berpiutang.
Oleh karena itu, si berpiutang harus datang menyampaikan bahwa ia mempunyai
piutang dengan kata Sae mellambi’ kalau tidak ada bukti berupa surat atau
kwitansi, serta jenis piutang dan bagaimana bentuk dan sifatnya.
Penyampaian dari
orang-orang yang berpiutang pada musyawarah sebelum pelaksanaan pesta rambu
solo’ sangat penting, demi menjaga kemungkinan timbulnya pengelakan dari pada
ahli waris bilamana telah tiba masa pengembaliannya. Penyampaian yang demikian
disebut “Kada Mellambi”. Kada mellambi’ artinya penyampaian sebelumnya agar
dimusyawarahkan sebelum upacara rambu solo’ dilaksanakan. Jenis Harta kekayaan
Tanah Toraja (Tuken,
2020):
1. Ba’gi adalah suatu harta
yang diterima langsung dari pewaris atau orang tuanya yang dibawa masuk ke
dalam rumah tangga suami istri. Umumnya harta warisan berupa sawah, tanah
memiliki kedudukan dan nilai yang sangat tinggi. Sawah mempunyai nilai yang
sangat tinggi dari harta warisan lainnya karena masyarakat di Kecamatan Sesean
menganggap bahwa sumber makanan dan kehiduhidupan manusia dan hewan adalah asalnya
dari tanah.
Sejak lahirnya manusia selalu berhubungan dengan tanah, menerima bahan makanan dari tanah. Mereka percaya bahwa manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan kehidupannya sangat bergantung dengan tanah. Masyarakat di Kecamatan Sesean berusaha sedemikian rupa untuk memiliki sebidang tanah terutama sawah walaupun hanya sepetak saja. Bagaimanapun miskinnya seseorang ia tetap berusaha memiliki sebidang tanah (Hasil Wawancara, T. Kadang). Lebih lanjut dikatakan bahwa ada harta yang dimiliki pewaris tidak dibagi seperti keris (Gayang), Kandaure, parang orang dulu (La’bo’ Todolo), rumah Tongkonan. Barang -barang ini tidak dibagi dan siapa yang tinggal di tongkonan itu, dialah yang akan memeliharanya.
2. Daka’ belangna adalah
harta yang diperoleh oleh suami atau istri sebagai hasil usahanya sendiri
semasa ia masih perjaka atau gadis, dalam hukum waris disebut harta bawaan.
Jenis harta bawaan berupa sawah yang dibeli sebelum nikah atau dia membuka
tanah menjadi sawah yang disebut Pamakka, kerbau, babi, periasan dan lain-lain.
Pamakka diolah dan menghasilkan berupa beras, maka dijual ke pasar untuk
membeli keperluan sehari-hari. Juga hasilnya berupa padi yang belum diolah jadi
beras dapat dijual atau ditukar dengan seekor kerbau atau babi dan dapat dijadikan
modal usaha melalui berdagang. Sesudah dianggap matang barulah menikah.
Cara lain untuk memiliki
kerbau dan babi adalah dengan memelihara ternak orang lain. Kerbau atau babi
dipelihara mulai dari kecil, apabila sudah besar yang memelihara mendapatkan setengah
dari binatang peliharaan itu. Di Kecamatan Sesean biasanya masih banyak suami
istri yang mengambil ternak orang lain untuk dipelihara, kecil dengan perjanjian jangka waktu
penyediaan kerbau itu melalui kesepakatan. Kerbau atau babi merupakan harta bawaan
dari seseorang yang dengan usaha sendiri untuk memilikinya.
Menurut T. Kadang, umumnya
pemuda atau pemudi yang sudah putus sekolah di Kecamatan Sesean sebelum
memasuki rumah tangga sudah berusaha untuk mandiri dengan beternak. Kalau
pemuda mengambil kerbau betina atau jantan orang lain untuk dipelihara, sesudah
besar dijual dan harganya dibagi dengan perbandingan duapertiga yang diberikan
kepada pemiliknya sedangkan sepertiga untuk yang memelihara.
Begitu pula dengan kerbau
betina sudah melahirkan tiga kali maka anak yang ketiga sudah dimiliki oleh
yang memeliharanya. Pemudi yang putus sekolah umumnya mengambil ternak babi
betina dari orang lain untuk di pelihara. Nanti kalau sudah besar dan
berkembang biak, maka anak-anaknya dibagi dengan perbandingan duapertiga untuk
pemiliknya, sedangkan yang memeliharanya bahagiannya sepertiga. Bahagian dari
tx dijual
untuk dibelikan perhiasan sebagi modal awal sebelum memasuki rumah tangga.
terutama babi karena babi banyak manfaatnya apabila ada upacara rambu tuka’
(syukuran) orang tidak tanggungtanggung meminta babi orang lain untuk ditukar
dengan kerbau kecil dengan perjanjian jangka waktu penyediaan kerbau itu
melalui kesepakatan. Kerbau atau babi merupakan harta bawaan dari seseorang
yang dengan usaha sendiri untuk memilikinya.
Menurut T. Kadang, umumnya
pemuda atau pemudi yang sudah putus sekolah di Kecamatan Sesean sebelum
memasuki rumah tangga sudah berusaha untuk mandiri dengan beternak. Kalau
pemuda mengambil kerbau betina atau jantan orang lain untuk dipelihara, sesudah
besar dijual dan harganya dibagi dengan perbandingan duapertiga yang diberikan
kepada pemiliknya sedangkan sepertiga untuk yang memelihara.
Begitu pula dengan kerbau
betina sudah melahirkan tiga kali maka anak yang ketiga sudah dimiliki oleh
yang memeliharanya. Pemudi yang putus sekolah umumnya mengambil ternak babi
betina dari orang lain untuk di pelihara. Nanti kalau sudah besar dan
berkembang biak, maka anak-anaknya dibagi dengan perbandingan duapertiga untuk
pemiliknya, sedangkan yang memeliharanya bahagiannya sepertiga. Bahagian dari
ternak itu dijual untuk dibelikan perhiasan sebagi modal awal sebelum memasuki
rumah tangga.
3. Bunga rangka’na
rampanan kapa’ adalah harta yang diperoleh suami istri dalam perkawinan. Jenis
barang-barang berupa sawah, tanah, perhiasan, dan lain-lain. Bunga rangka’na
rampanan kapa’ sama dengan harta gono-gini di Jawa dan harta bersama di
Sumatra. Dalam kehidupan rumah tangga suatu yang ada di masyarakat Kecamatan
Sesean memberikan batas-batas yang tegas bilamana harta ba’gi, harta bawaan
yang berkembang dalam perkawinan, misalnya sawah maka hasilnya merupakan harta
bersama sedangkan sawah itu sendiri tetap sebagai harta bawaan.
Untuk hewan ternak yang
berkembang setelah perkawinan, maka anak-anak dari ternak itu dibagi dengan
perbandingan 2/3 masuk harta asal, sedangkan 1/3 untuk harta pencarian bersama.
Apabila suami istri bercerai, kemudian masing-masing kawin lagi, sedangkan di
dalam perkawinannya yang pertama terdapat anak, maka harta pencarian bersama mengikuti
anak tersebut. Sedangkan harta asal dan harta bawaan kembali ke asalnya.
Antara harta pencarian
dalam perkawinan pertama dengan harta pencaharian bersama dalam perkawinan
kedua tetap merupakan harta yang terpisah. Jika harta asal atau harta bawaan
dari salah satu pihak lain, maka pihak yang yang telah mengambilnya akan tetap
merupakan hutang yang wajib dibayar oleh yang berhutang. Jadi di sini nampak
bahwa harta bawaan akan dibagi secara bersama oleh ahli waris. Pembagian harta
bawaan dapat dilakukan dengan pa’tallang.
4. Pa’tallang adalah harta yang
didapatkan melalui pengorbanan pada upacara rambu solo’ di mana harta yang
didapatkan masing-masing ahli waris. Apabila ada ahli waris yang tidak turut
dalam pengorbanan upacara rambu solo’ maka ahli waris tersebut tidak
mendapatkan bagian. Harta warisan yang didapatkan oleh ahli waris yang tidak
turut berkorban kepada orang tuanya, hanya dia mendapatkan ba’gi yang dibagikan
orang tuanya pada saat dia masih hidup. Harta pewaris yang belum dibagikan kepada
ahli waris pada saat pewaris masih hidup secara tidak langsung dipersiapkan
untuk diperebutkann oleh anaknya/ahli warisnya melalui pengorbanan ketika orang
tuanya meninggal dunia.
Pada
dasarnya harta pewaris semua anak-anaknya baik anak kandung maupun anak angkat
samasama berhak mendapatkan harta warisan melalui pa’tallang. Anak kandung
maupun anak angkat tidak dipaksakan dalam kegiatan ini mengingat kemampuannya,
tetapi kalau tingkat perekonomiannya cukup, lantas tidak ikut berpartisipasi
dalam kegiatan rambu solo’, maka anak tersebut akan dikucilkan dari keluarga
pewaris. Upacara rambu solo’ merupakan salah satu prestise dalam masyarakat di
Kecamatan Sesean, oleh sebab itu setiap keluarga berusaha mengangkat prestise
orang tuanya di dalam masayakat. Makin banyak kerbau makin tinggi derajatnya
dalam masyarakat.
D. Delik Adat
Di Masyarakat Toraja
Lembaga adat
merupakan bangunan yang dibuat oleh masyarakat sebagai upaya pemberdayaan
komunitas dalam mempertahankan kedaulatan (Tangdilintin, 1981). Lembaga
tersebut sebagai wadah musyawarah untuk membuat aturan-aturan adat yang
dipimpin oleh seorang pemangku adat. Dalam setiap komunitas asli atau
masyarakat adat, bangunan kelembagaan dan perangkatnya diangkat serta disetujui
oleh masyarakat melalui suatu perjanjian untuk atau kontrak sosial (basse).
Dalam
melakukan kesepakatan tersebut harus pula Sebagai suku yang tertua nenek moyang
suku-suku di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah bermula dari sebuah legenda
to lembang (orang perahu). Ribuan tahun yang lalu datanglah sekelompok manusia
dalam beberapa perahu dan menepi di sebuah pantai bernama Bungin sekarang
dikenal sebagai Kabupaten Pinrang. Setelah menepi, mereka berupaya mencari
tempat di ketinggian dan akhirnya tiba di suatu tempat bernama Rura di kaki
Gunung Bamba Puang yang termasuk dalam Kecamatan Alla’ Kabupaten Enrekang.
Di tempat
tersebut, mereka membangun pemukiman namun polanya mengikuti bentuk dan
struktur layaknya sebuah perahu. Sehingga terbentuk komunitas yang warganya
berdasarkan para penghuni di masing-masing perahu. Komunitas pertama tersebut
yang dinamakan to lembang (orang perahu). Pembagian kerja serta tanggung jawab
diatur mengikuti aturan seperti saat berada di perahu, seperti to bendan
paloloan (juragan), to massuka’ (juru masak), bunga lalan (juru batu), dan
takian la’bo’ (pasukan/prajurit). Oleh karena itu, bentuk dari rumah Toraja
menyerupai perahu dan selamanya menghadap dari Selatan ke Utara (Tangdilintin,
1978).
Alasan
masyarakat adat lebih memilih untuk menyelesaikan tindak pidana pencurian benda
purbakala melalui aparat penegak hukum menurut kedua hakim adat pendamai adalah
masyarakat adat menganggap bahwa aparat penegak hukum lebih mampu untuk
menangani kasus tindak pidana pencurian benda purbakala, terutama dalam
menemukan bukti-bukti sebagai dasar untuk menindak si pelaku.
Selain itu,
masyarakat adat merasa lebih memperoleh keadilan jika menyelesaikan tindak
pidanamelalui jalur litigasi karena pelaku pencurian dapat dikenakan hukuman
penjara dibandingkan melalui lembaga adat yang hanya menjatuhkan sanksi adat
berupa denda untuk keseimbangan kosmis Meskipun aparat penegak hukum dan
lembaga adat sama-sama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan tindak pidana
pencurian benda purbakala namun dalam kenyataannya masyarakat adat Toraja lebih
memilih untuk menyelesaikan tindak pidana pencurian benda purbakala melalui
jalur litigasi dibanding melalui lembaga adat.
Hal tersebut
dikarenakan, aparat penegak hukum dipandang lebih mampu untuk menemukan
bukti-bukti yang sangat diperlukan dalam menyelesaikan permasalahan serta
pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada pelaku dinilai lebih memberi rasa
keadilan dibandingkan dengan lembaga adat yang hanya menjatuhkan sanksi adat
berupa denda adat. Meskipun demikian, untuk kasus-kasus tertentu lainnya
masyarakat adat toraja memilih untuk menyelesaikan permasalahan melalui lembaga
adat, contohnya, sengketa tanah Tongkonan, penyerobotan, pemukulan, pencurian
ayam dan pencemaran nama baik.
Penulis
berpendapat bahwa lembaga adat harusnya berperan penting tidak hanya sebatas
perkara-perkara pidana yang disebutkan sebelumnya, namun lembaga adat juga
harus tegas dan berusaha untuk berperan menyelesaikan tindak pidana pencurian
benda purbakala yang terjadi pada masyarakat adat karena pencurian benda
purbakala merupakan pelanggaran adat. Penanggulangan tindak pidana pencurian
benda purbakala tidak hanya membutuhkan peran dari aparat penegak hukum dan
lembaga adat saja, tetapi peran pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan.
Peran
pemerintah daerah yang sangat diperlukan adalah upaya untuk segera melakukan
pendaftaran dan pengkajian bagi benda-benda purbakala di Tana Toraja agar bisa
ditetapkan sebagai cagar budaya serta menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang
khusus mengatur mengenai hakhak masyarakat adat dan kewenangan lembaga adat
yang ada di kabupaten Tana Toraja. Meskipun aparat penegak hukum dan lembaga
adat saja yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan tindak pidana pencurian
benda purbakala, namun peran pemerintah daerah juga sangat diperlukan untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap benda-benda purbakala di Tana Toraja
yaitu dengan melakukan pengkajian terhadap bendabenda purbakala yang telah
didaftarkan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya.
Kesimpulan
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah
manusia yang berasal dari nirwana. Upacara Aluk Ma’lolo merupakan upacara
kelahiran. Tujuannya adalah agar setelah tumbuh dewasa nanti ia tidak lupa
dengan kampung halamannya dan juga selalu bersikap sopan tingkah laku ataupun
ucapan dengan tidak mau mengucapkan kata yang mengandung arti pembodohan.
Upacara Rambu Solo adalah sebuah upacara kematian. Tujuannya adalah untuk
menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh.
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di
Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh
masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di
Tana Toraja. Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas
tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning.
Alang merupakan tempat penyimpanan padi, didaerah lain sering disebut lumbung.
Alat Musik Tradisional Suku Toraja yaitu Passuling, Pa'pelle'/Pa'barrung, Pa'pombang/Pa'bas,
Pa'karobbi, Pa'tulali', Pa'geso'geso'
BIBLIOGRAFI
Deapati, Andi Karina. (2009). Ruang
dan Ritual Kematian. Hubungan Upacara Dan Arsitektur Kelompok Etnis Toraja,
FT-UI.
Djun’astuti, Erni, Tahir, Muhammad, & Marnita,
Marnita. (2022). Studi Komparatif Larangan Perkawinan Antara Hukum Adat, Hukum
Perdata dan Hukum Islam. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam,
4(2), 119–128.
Duli, Akin, & Hasanuddin, A. (2003). Toraja Dulu
dan Kini. Pustaka Refleksi, Makassar.
Hadikusuma, Hilman, & Indonesia, Antropologi
Hukum. (1995). Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Imron, Ali. (2005). Pola Perkawinan Saibatin. Bandar
Lampung: Universitas Lampung.
Manurung, Rotua Tresna Nurhayati. (2009). Upacara
kematian di tana toraja: Rambu Solo. Skripsi, Tidak Diterbitkan, Fakultas
Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian Hukum,
Kencana. Jakarta.
Muhammad, Bushar. (1976). Asas asas hukum adat: suatu
pengantar. (No Title).
Salombe, Cornelius. (1972). Orang Toraja dengan
ritusnya: in memoriam Lasoʾ Rinding Puang Sangallaʾ. (No Title).
Soekanto, Soerjono. (2005). Hukum adat indonesia.
Tangdilintin, L. T. (1978). Sejarah dan pola-pola
hidup Toraja. Yayasan Lepongan Bulan (Yalbu) Tana-Toraja.
Tangdilintin, L. T. (1981). Upacara pemakaman adat
Toraja. (No Title).
Ter Haar, Barend. (1939). Beginselen en Stelsel van
het Adatrecht. JB Wolters’ uitgevers-maat-schappij nv.
Theodorus, Kobong. (2008). Injil dan Tongkonan. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Tuken, Ritha. (2020). Pembagian Harta Warisan
Berdasarkan Hukum Adat Toraja. AGMA.
Copyright holder: Martin
Rich Arianto (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |