Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

IMPLEMENTASI ATURAN HUKUM YANG MENJAWAB KONSEP WELFARE STATE DALAM PROSPEKTIF KESEJAHRAAN ANAK DISABILITAS DI INDONESIA

 

Lisa Lamusul Afiyah*, Edi Pranoto

Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, Jawa Tengah, Indonesia

Email: [email protected]*, [email protected]

 

Abstrak

Konsep negara kesejahteraan di Indonesia bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Negara, sebagai penyedia dan penjamin kesejahteraan, menganggap tanggung jawab untuk pembangunan dan perawatan anak-anak di seluruh wilayah Indonesia, tanpa terkecuali, termasuk anak-anak dengan disabilitas. Penelitian ini bertujuan untuk memahami lebih lanjut tentang konsep negara kesejahteraan dalam kesejahteraan masa depan anak-anak dengan disabilitas dan implementasi peraturan hukum yang ada di Indonesia dalam menjawab konsep tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini melibatkan penelitian hukum normatif, di mana metodenya mencari dasar hukum, dengan menganalisis perundang-undangan yang terkait dengan kesejahteraan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah telah melakukan upaya keras dalam mengimplementasikan peraturan hukum untuk kesejahteraan anak-anak dengan disabilitas. Namun, masih terdapat beberapa kendala dan kekurangan dalam praktiknya, termasuk kurangnya sosialisasi, data terbatas, kendala anggaran yang dihadapi pemerintah, keterbatasan aksesibilitas bagi anak-anak dengan disabilitas, serta pendidikan yang kurang memadai terkait guru dan fasilitas. Tujuan mendirikan aturan hukum dan mengimplementasikannya adalah untuk mewujudkan hak dan peluang yang sama bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera dan mandiri.

Kata Kunci: Negara Kesejahteraan, Aturan Hukum, Anak-anak dengan Disabilitas

 

Abstract

The concept of a welfare state or "negara kesejahteraan" in Indonesia aims to provide welfare to its society. The state, as the provider and guarantor of welfare, assumes responsibility for the development and care of children throughout the entire territory of Indonesia, without exception, including children with disabilities. This study aims to learn more about the concept of welfare state in the prospective welfare of children with disabilities and the implementation of existing legal rules in Indonesia in answering its concept. The research method used in this study involved normative legal research, where the method is looking for a legal basis, by analyzing the legislation related to child welfare. The results indicate that the government has made strong efforts in implementing legal regulations for the welfare of children with disabilities. However, there are still several obstacles and shortcomings in practice, including a lack of socialization, limited data and budgetary constraints faced by the government, insufficient accessibility for children with disabilities, as well as inadequate education related to teachers and facilities. The purpose of establishing the rule of law and implementing it aims to realize equal rights and opportunities for people with disabilities towards a prosperous and independent life.

Keywords: Welfare State, Rule Of Law, Children With Disabilities

 

Pendahuluan

Konsep welfare state atau negara kesejahteraan merupakan sistem yang mewajibkan negara memiliki tanggungjawab atas kesejahteraan publik melalui pengelola negara secara intensif serta mempunyai tanggungjawab atas sektor perekonomian dan seluruh pertumbuhan yang memfokuskan pada pencapaian kesejahteraan warga secara optimal, lewat memberikan kewenangan kepada negara untuk turut berperan aktif dalam seluruh aktifitas serta urusan publik dengan mengingatkan asas legalitasnya. Dalam rancangan wekfare state ini ialah suatu pandangan negara dengan memakai sistem pemerintahan secara demokratis serta untuk kesejahteraan penduduknya. Program ini memiliki tujuan guna menurunkan penderitaan publik contohya pengangguran, kemiskinan, gangguan kesehatan serta lain sebagainya, sehingga sebuah negara yang mengimplemenntasikan konsep ini memiliki kebijakan publik serta memiliki sifat seperti bantuan, pelayanan, pencegahan maupun perlindungan dalam permasalahan social (Huda, 2009).

Kesejahteraan atau welfare state bisa diamati melalui dua aspek, yang pertama yakni kesejahteraan sebagai sebuah keadaan terpenuhinya mayoritas publik dalam tingkatan tertentu, serta yang kedua ialah terwujudnya kebutuhan beragam sektor kehidupan dasar misalnya pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, kesehatan, keamanan serta pekerjaan dalam tingkatan  tertentu dibantu oleh kementerian bidang pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak (Sukmana, 2016).

Menurut penulis negara Indonesia menjadi penjamin serta pemberi kesejahteraan untuk semua masyarakatnya dengan mengembang tanggungjawab pada situasi pemeliharan serta pembinaan anak-anak pada semua Kawasan Indonesia. Tanggungjawab serta Kewajiban negara untuk melindungi serta menjamin pemberian berbagia hak dasar pada anak menjadi suatu amanat yang termuat pada UU NKRI Tahun 1945 yang menjadi konstitusi negara (Ginting et al., 2021).

Anak ialah individu yang memiliki umur belum menggapai 18 tahun, termasuk untuk anak yang berada di dalam rahim. Perlindungan kepada anak ialah seluruh aktifitas dalam memberi jaminan serta perlindungan Anak serta berbagai haknya supaya bisa hidup, bertumbuh, berkembang, serta berperan serta dengan maksimal berdasarkan harkat serta martabat kemanusiaan, dan memperoleh perlindungan atas diskirminasi serta kekerasan (Fitriani, 2016). Definisi anak berlandaskan hukum, yang dimana definisi anak ditempatkan menjadi sebuah objek sekalian subjek pokok untuk sebuah system legitimasi, generalisasi serta sistematika peraturan yang mengatur mengenai anak.

Anak pada definisi secara lazim memperoleh perhatian tak hanya pada ilmu pengetahuan, namun bisa diberi perhatian melalui sudut pandang terpusat pada kehidupan, misalnya hukum, agama, serta sosiologis yang membuat anak makin actual serta rasional pada lingkungan sosial. Definisi anak berlandaskan hukum, yang dimana definisi anak ditempatkan menjadi sebuah objek sekalian subjek pokok untuk sebuah system legitimasi, generalisasi serta sistematika peraturan yang mengatur mengenai anak kesejahteraan anak yang diberi pengaruh sama pendapatan per kapita, angka melek huruf, distribusi pendapatan, konflik perperangan serta sosial-ekonomi (Maulana, 2000).

Anak mempunyai hak asasi maupun hak dasar semenjak terlahir, yakni jaminan buat bertumbuh kembang dengan menyeluruh baik fisik, mental ataupun sosial, serta memiliki akhlak mulia, harus dilaksanakan usaha perlindungan dan menciptakan kesejahteraannya melalui menjamin atas terpenuhinya berbagai haknya dan terdapatnya perbuatan atas diskriminasi, agar tak terdapat manusia maupun pihak lainnya yang bisa mengambil hak tersebut (Tang, 2020). Seorang anak biasanya berproses bertumbuh serta berkembang secara berlainan diantara satu dan lainnya. Proses pertumbuhan untuk anak bsia diamati melalui meningkatnya ukuran fisik, sebaliknya perkembangan untuk anak bsia diamati melalui kapabilitas kognitif anak tersebut. Anak yang menghadapi permasalahan pada pertumbuhan bisa diamati melalui pada pertumbuhan secara fisik yang tak normal, hambatan maupun gangguan pada periode perkembangan anak disertai melalui terdapatnya intelligence quotient (IQ) secara minim terhadap anak yang berusia sama dengannya. Kondisi ini menjadi suatu tanda awal untuk disabilitas (Panzilion et al., 2021).

Anak Penyandang disabilitas ialah seoarang anak yang berketerbatasan mental, fisik, sensorik maupun intelektual dengan periode waktu yang lama serta untuk berinteraksi terhadap lingkungan serta sikap bermasyarakat bisa mengalami hambatan serta membebani dalam berkontribusi secara penuh serta efektif berlandaskan kemiripan hak (Jauhari, 2017).

Dalam menggambarkan kondisi penyandang disabilitas pada negara Indonesia berdasarkan pada hambatan-hambatan yang dialami sama seseorang adalah mendapati gangguan/kesulitan pada pendengaran, penglihatan, berjalan maupun naik tangga (mobilitas), memakai serta menggerakkan jari/tangan, pada keadaan mengingat maupun konsentrasi, untuk mengendalikan emosional dan atau perilaku, bercerita serta atau memafumi /berkomunikasi bersama orang lain, untuk mengatur pribadi sendiri (misalnya berpakaian, makan, mandi, Buang air besar, dan buang air kecil).

Anak penyandang disabilitas ialah anak yang berkeistimewaan serta tak pernah dipunyai sama Sebagian anak biasanya. Anak dengan menyandang menjadi kaum disabilitas, berkedudukan secara rawan serta kurang memberikan keuntungan, pada kondisi ini yang dimaksudkan kurang memberi keuntungan adalah bahwa anak penyandang disabilitas sangat beresiko besar dalam menghadapi ganguan serta perbuatan pidana (Gultom, 2012).

Negara Indonesia memberikan konsistensinya dalam perlindungan pada penyandang disabilitas, hal ini bisa dilihat melalui diratifikasinya Convention on the Rights of Persons with Disabilities melalui peraturan Undang-undang No 19 tahun 2011, melalui car aitu negara Indonesia memperlihatkan pada dunia bahwa negara Indonesia berkomitmen dalam memberi kesejahteraan pada penyandang-penyandang disabilitas diantarannya ialah para anak yang menyandang disabilitas.

Melalui UU No 8 pada tahun 2016 mengenai Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, ialah suatu Tindakan awal untuk penyandang disabilitas guna menjalankan perjuangan baru guna dapat hidup secara makin baik. Sehingga, dibutuhkan keikutsertaan seluruh pihak dalam memiliki peranan yang aktif pada usaha implementasinya, khususnya mulai melakukan perubahan pada paradigma pengendalian atas persoalan penyandang disabilitas, yang mulanya melalui melakukan pendekatan kesejahteraan sosial yang sudah dilakukan perubahan jadi pola pengendalian melaluin pendekatan memnuhi haknya. Pastinya peralihan ini wajib diberi dukungan melalui tersedianya saranan yang layak supaya pemenuhan hak itu bisa terlaksana.

Berdasarkan pandangan penulis dalam upaya pemberian kesejahteraan untuk mencapai konsep welfare state dibutuhkan kepedulian serta keseriusan seluruh golongam terutama pada tingkatan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten serta Kota dan semua lapisan publik yang merupakan bagian dari kerangkan Negara, wajib bertugas untuk beragam urusan termasuk pada situai memberi kesejahteraan kepada para anak penyandang disabilitasi, seluruh golongan memiliki tanggungjawab untuk menerapkan peraturam hukum mengenai kesejahteraan pada anak penyandang disabilitas. Indonesia yakni sebuah bangsa yang bersumber kepada peraturan hukum, sampai perbuatan orang maupun masyarakat yang menjadi alktifitas kehidupannya wajib bersumber pada peraturan serta norma yang berlaku pada masyarakat, peraturan hukum tersebut diterapkan pada beragam elemen serta bidang masyarakat dengan tidak terkecuali.

Implementasi tidak hanya kegiatan, namun sebuah aktifitas yang memiliki pernecanaan serta dilaksanakan dengan benar-benar berlandaskan acuan norma tertentu guna mengapai tujuan aktifitas. Berbncang mengenai penerapan aturan hukum memiliki makna bahwa berbincang tentang implementasi hukum itu sendiri dimana hukum dibentuk buat dikerjakan. Hukum tak dapat kembali disebut menjadi hukum, bila tak pernah dilakukan, implementasi hukum senantiasa mengiktusertakan manusia serta perilakunya. Tujuan penulisan artikel ini ialah guna melakukan pengkajian lebih lanjut tentang implementasi aturan hukum yang ada diindonesia dalam menjawab konsep welfare state dalam prospeksif kesejahteraan anak disabilitas.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan teknik penelitian hukum normatif, karena menggunakan data sekunder yang menyangkut aturan-aturan perundangan terkait implementasi tentang kesejahteraan. Penelitian ini memiliki sifat deskriptif, yakni sebuah penelitian yang memberikan deskripsi dengan rinci, jelas, serta sistematis tentang objek yang akan diamati. Penelitian deskriptif dilaksanakan bertujuan untuk mendapatkan deskripsi secara lengkap mengenai implementasi aturan hukum yang berlangsung di Indonesia serta memberikan pemaparan dan penjelasan terkait kesejahteraan anak penyandang disabilitas.

Pendekatan pada penulisan artikel ini dengan hukum yuridis normatif, yakni pendekatan melalui metode menelaah serta mengintepretasikan yang berkaitan terhadap ketentuan hukum guna menghimpun beragam macam aturan perundangan, berbagai teori, serta beberapa referensi yang sangat erat hubungannya terhadap permasalahan yang akan diteliti dalam mengimplementasikan kesejahteraan anak penyandang disabilitas dan ketentuan hukum terkait.

Dalam penelitian hukum normatif ini, data yang dibutuhkan ialah data sekunder. Data sekunder ialah sebuah data yang sudah didapatkan lewat studi kepustakaan yang mencangkup undang-undang, serta, yaitu buku referensi hukum maupun bahan hukum secara tertulis lainnya, yakni bahan hukum tersier, sekunder, serta primer. Bahan hukum primer ialah suatu bahan hukum secara mengikat contohnya aturan-aturan perundangan yang berkorelasi terhadap penelitian ini, yaitu UU No. 4 Tahun 1979 mengenai Kesejahteraan,  UU No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, UU No. 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas serta Angkutan Jalan, UU No. 19 Tahun 2011 mengenai Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), UU No. 35 Tahun 2014 mengenai Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak serta UU No. 8 Tahun 2016 mengenai Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

 

Hasil dan Pembahasan

Konsep Welfare State Dalam Prospektif Kesejahteraan Anak Disabilitas

Welfare state atau negara kesejahteraan, ialah suatu konsep ideal bagaimana sebuah negara menjalankan pekerjaannya guna memberikan pelayanan kepada warga negara mengarah pada tatanan kehidupan secara sejahtera serta harmonis (Barr, 2020). Kesejahteraan (welfare) paling sedikit memuat tiga subklasifikasi, yaitu:

1)  Social welfare, yang mengarah kepada menerima secara kolektif kesejahteraan

2)  Economic welfare, yang mengarah kepada menjami keamanan lewat perekonomian formal maupun pasar; serta

3)  State welfare, yang mengarah pada menajmin layanan kesejahteraan sosial lewat agen dari negara. Negara Kesejahteraan secara singkat diberi definisi menjadi sebuah negara dimana pemerintahannya dipandang memiliki tanggung jawab untuk memnberi jaminan standar kesejahteraan hidup minimal untuk tiap masyarakat negaranya (Pierson & Castles, 2006).

Konsep dasar negara kesejahteraan dimulai melalui usaha negara dalam melakukan pengelolaan seluruh sumber daya yang tersedia untuk mengapai satu dari beberapa tujuan negara yakni melakukan peningkatan kesejahteraan publiknya. Cita-cita ideal ini yang selanjutnya diterjemahkan pada suatu peraturan yang sudah dilakukan konsultasi pada masyarakat sebelumnya serta selanjutnya bisa diamati apakah suatu negara benar-benar menciptakan kesejahteraan untuk masyarakatnya muapun tidak. Permasalahan Kesehatan serta kemiskinan masyarakat ialah suatu mayoritas permasalahan yang wajib cepat diberi respon sama pemerintah untuk menyusun kebijakan kesejahteraan.

Indonesia ialah satu dari beberapa penganut gagasan negara hukum secara material serta mengadopsi berbagai konsep negara wekfare state, serta secara implisit dapat ditemui
dalam keterangan umum UUD 1945, dan bisa ditelusuri secara menyeluruh dari kandungan pada UUD 1945 bisa diambil suatu kesimpulan bahwa Indonesia ialah sebuah negara hukum secara material maupun negara yang berkonsep wakfare state dimana negara bertanggungjawab secara mutlak dalam menaikkan kesejahteraan publik serta menciptakan keadilan sosial untuk semua masyarakatnya
(Hadiyono, 2020).

Beberapa unsur welfare state sudah dimasukkan pada landasan negara Indonesia (Pancasila serta UUD 1945) Ketika menyiapkan rapat membahas persiapan serta setelah kemerdekaan Indonesia. Unsur Welfare state ada pada sila kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Konsep negara kesejahteraan sejalan terhadap tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alenea ke IV.”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”. Kesejahteraan Sosial keadaan tercukupinya kebutuhan spiritual, material, serta sosial masyarakat negara supaya bisa hidup secara memadai serta bisa melakukan pengembangan diri, agar bisa menjalankan fungsi sosialnya.

Gagasan welfare state oleh karenanya umumnya dilandaskan kepada prinsip kesamaan peluang (equality of opportunity), pemerataan pendapatan (equitable distribution of wealth), serta tanggung jawab umum (public responsibility) atas mereka yang tak bisa buat mempersiapkan secara mandiri keperluan minimum guna dapat hidup memadai untuk semua masyarakat Indonesia termasuk anak penyandang disabilitas (Alfitri, 2012).

Pada penerapannya, mayoritas tanggung jawab suatu negara buat kesejahteraan penduduknya, lewat pengelolaan social welfare serta/atau security/ social insurance, menghasilkan dua kelompok besar model welfare state, yakni residualist welfare state serta institutional welfare state. Perbandingan utama diantara keduanya ialah pada  institutional welfare state, negara menempatkan diri memiliki tanggung jawab dalam memberi jaminan standar kehidupan secara memadai untuk seluruh anak, termasuk anak penyandang disabilitas serta memberi beberapa hak umum konsekuensinya, makin banyak persyaratan yang ditempatkan sama negara supaya masyarakatnya dapat mengakses beberapa hak universal tadi serta makin kurang serta lemah pengaruh pemerataan atas program perlindungan tadi, memiliki makna makin jauh suatu negara tersebut terhadap model institutional welfare state. Adapun residualist welfare state, suatu negara baru yang berperan serta mengatur permasalahan kesejahteraan saat sumber daya lainnya tak layak. Sehingga negara menciptakan ketetapan minimal maupun sangat selektif atas program kesejahteraan serta meletakkan tanggung jawab secara makin besar untuk seseorang dalam mencukupi kesejahteraan.

Menurut penulis, dalam penerapan konsep negara kesejahteraan atau welfare state diindonesia, pemerintah harus berperan aktif dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan semua warganya tanpa terkecuali. Anak penyandang disabilitas memerlukan perhatian khusus dalam hal pemenuhan kebutuhan dan diperlukan dukungan keluarga yang memiliki anak disabilitas untuk meningkatan taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Terdapat fokus utama kaitannya dengan kesejahteraan dan aksesibilitas anak penyandang disabilitas, yaitu kesejahteraan, akses untuk mendapatkan pendidikan dengan fasilitas memadai untuk anak disabilitas, dan akses kepada teknologi dan inklusi keuangan. Aspek kesejahteraan mencakup kondisi ekonomi keluarga dari yang memiliki anak disabilitas, kesehatan fisik dan mental, akses pada fasilitas kesehatan, dan perilaku hidup bersih dan sehat.

 

Implementasi Aturan Hukum Kesejahraan Anak Disabilitas Negara Indonesia

Aturan hukum kesejahteraan pada anak disabilitas tidak lepas dari aturan kesejahteraan pada anak pada umumnya, dalam UU No. 4 Tahun 1979 bahwa Kesejahteraan Anak ialah sebuah tatanan pada kehidupan serta penghidupan anak yang bisa memberi jaminan bertumbuh serta berkembang dengan wajar, baik untuk rohani, jasmani ataupun sosial. Pada Upaya Kesejahteraan anak ialah suatu Upaya kesejahteraan sosial yang difokuskan buat memberi jaminan terciptanya Kesejahteraan Anak khususnya terpenuhinya keperluan utama anak.

Pada bab II pasal 2-8 menjelaskan hak anak yakni anak memiliki hak terhadap perawatan, kesejahteraan, asuhan, serta bimbingan berlandaskan kasih sayang yang baik pada keluarganya ataupun pada pola asuhan khusus buat bertumbuh serta berkembang secara wajar, meningkatkan kapabilitas serta kehidupan sosialnya, selaras terhadap kepribadian serta kebudayaan bangsa, memiliki hak terhadap perlindungan serta pemeliharaan, baik selama di Rahim ataupun seletah terlahir dan perlindungan atas lingkungan hidup yang bisa menghambat ataupun membahayan pertumbuhan serta perkembangannya secara proporsional. Pelayanan serta Bantuan, yang memiliki tujuan dalam menciptakan kesejahteraan anak jadi hak bagi tiap anak dengan tidak memberi perbedaan agama, jenis kelamin, kedudukan sosial serta pendirian politik.

Dalam BAB III tanggungjawab dari orang tua atas kesejahteraan anak yaitu memiliki tanggungjawab terhadap terciptanya kesejahteraan anak secara sosial, jasmani atau rohani, Pasal 10:

(1)  Orang tua yang kelihatan mengabaikan tanggungjawabnya sehingga meneybabkan terjadinya gangguan pada pertumbuhan serta perkembangan anak, bisa dicopot kuasa asuhnya menjadi orang tua atas anaknya. pada situasi itu ditentukan seseorang maupun badan menjadi wali.

(2)  Pencopotan kuasa asuh pada ayat (1) tak menghilangkan kewajiban dari orang tua berkaitan dalam melakukan pembiayaan, selaras terhadap kapabilitasnya, pemeliharaan, penghidupan, serta pendidikan anaknya.

(3)  Mencopot serta mengembalikan kuasa asuh dari orang tua ditentukan melalui ketetapan hakim.

(4)  Penyelenggaraan ketetapan ayat (1), (2) dan (3) dilakukan pengaturan selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Dalam BAB IV tentang engenai Upaya kesejahteraan anak dalam Pasal 11

Upaya kesejahteraan anak melingkupi Upaya membina, mengembangkan, mengcegah serta merehabilitasi.

(1)    Upaya kesejahteraan anak dilaksanakan sama masyarakat serta ataupun Pemerintah.

(2)    Upaya kesejahteraan anak yang dilaksanakan sama masyarakat serta ataupun Pemerintah dilakukan pada dalam ataupun luar Panti.

(3)    Pemerintah melaksanakan bimbingan, pengarahan, pengawasan serta bantuanatas Upaya kesejahteraan anak yang dilaksanakan sama publik.

(4)    Peneerapan Upaya kesejahteraan anak jadi yang termaktub pada ayat (1) sampai (4) diatur kemudian melalui PP.

Dalam BAB V tentang usaha kesejahteraan anak Pasal 12

(1)   Mengangkat anak berlandaskan kebiasaan serta adat dilakukan melalui memprioritaskan kebutuhan kesejahteraan anak.

(2)   Kebutuhan kesejahteraan anak yang dimaksudkan pada ayat (1) tertuang selanjutnya dalam PP.

(3)   Mengangkat anak buat keperluaan kesejahteraan anak serta dilaksanakan pada luar kebiasaan serta adat, dilakukan berlandaskan pada aturan-aturan perundangan.

Dalam BAB IV tentang usaha kesejahteraan anak Pasal 13 klaborasi international pada sektor kesejahteraan anak dilakukan sama Pemerintah maupun melalui Lembaga lainnya lewat persetujuan dari Pemerintah.

Penyandang Disabilitas merupakan tiap individu yang mendapati keterbatasan intelektual, sensorik, mental, fisik, serta/ ataupun sensorik dengan periode waktu lama serta buat melakukan interkasi terhadap lingkungan bisa mendapati kesulitan serta hambatan dalam berkolaborasi dengan efektif serta penuh bersama masyarakat negara lainnya berlandaskan kemiripan hak.

Anak penyandang disabilitas berlandaskan pada UU No. 8 Tahun 2016 bahwa penyandang disabilitas memiliki hak bebas atas penelantaran, diskriminasi, eksploitasi serta penyiksaan bagi penyandang disabilitas melingkupi hak berinterkasi serta bersosialisasi pada kehidupan bermasyarakat, berkeluarga, srta bernegara dengan tidak merasa takut serta memperoleh pelindungan atas seluruh wujud kekerasan psikis, fisik, seksual serta ekonomi. berhak pengasuhan tehradap keluarga maupun keluarga pengganti buat bertumbuh serta berkembang dengan maksimal, diberi perlindungan kepentingannya untuk penetapan keputusan, Tindakan anak yang manusiawi selaras tehradap haka nak serta martabat, terpenuhi keperluann khusus, Tindakan yang mirip terhadap anak lainnya dalam mengapai integrasi sosial serta pengembangan manusia, serta memperoleh pendampingan sosial.

Negara Indonesia memiliki empat asas yang bisa memberi jamonan keringanan maupun aksesibilitas penyandang disabilitas ecara mutlak wajib terpenuhi, yakni seperti berikut (Rahayu & Ahdiyana, 2013):

a.      Asas keringanan, yakni tiap individu bisa mengapai seluruh bangunan maupun tempat yang memiliki sifat publik pada sebuah lingkungan.

b.      Asas kemanfaatan, yakni seluruhindividu bisa memanfaatkan seluruh bangunan maupun tempat yang memiliki sifat publik pada sebuah lingkungan.

c.      Asas keselamatan, yakni tiap bangunan pada sebuah lingkungan terbangun wajib menjaga keselamatan untuk seluruh individu termasuk disabilitas.

d.      Asas kemandirian, yakni tiap individu wajib dapat mengapai serta masuk guna memanfaatkan seluuh bangunan maupun tempat pada lingkungan lewat tanpa memerlukan pertolongan orang lain.

Pada pasal 2 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2019 memiliki tujuan guna terpebuhinya keperlua dasar, penerapan fungsi sosial, melakukan peningkatan Kesejahteraan Sosial secara memiliki martabat untuk Penyandang Disabilitas; serta menciptakan warga secara inklusi.

Indonesia dalam upaya kesejahraan sosial melakukan rehabilitasi dalam melakukn apemulihan serta pengembangan kapabilitas Penyandang Disabilitas yang menghadapi disfungsi sosial supaya bisa menjalankna fungsi sosialnya dengan proporsional. Rehabilitasi Sosial dilakukan melalui wujudn motivasi serta diagnosis psikososial, pengasuhan serta perawatan, pembinaan kewirausahaan serat pelatihan vokasional, bimbingan fisik, mental spiritual, konseling psikososial serta sosial, layanan Aksesibilitas, asistensi sosial serta bantuan, bimbingan resosialisasi, lanjut; serta maupun rujukan. Rehabilitasi Sosial bisa berbentuk, terapi mental spiritual, fisik, psikososial, buat penghidupan berkesinambungan, dorongan terpenuhinya keperluan hidup yang memadai, dorongan Aksesibilitas; serta /ataupun wujudn lain yang menunjang kegunaan sosial Penyandang Disabilitas.

Sesuai yang tertuang pada Pasal 45 pada PP No. 52 Tahun 2019, pemerintah Indonesia memberi dukungan secara langsung yang dikasihkan pada Penyandang Disabilitas yang tidak memiliki penghasilan maupun miskin dimana keperluan kehiduapannya bergantung seluruhmya pada individu lain melalui wujud uang tunai untuk Penyandang Disabilitas yang terdapay pada masyarakat serta keluarga, maupun layanan untuk Penyandang Disabilitas yang terdapat pada badan sosial, bisa dikasihkan dengan berkepanjangan selama kehidupannya.

Bentuk dukungan secara langsung seperti dalam Pasal 65 pada PP No. 52 Tahun 2019 berwujud Pangan, Sandang serta papan; uang tunai, layanann kesehatan, layanan pendidikan, penyiapan Gedung penampungan temporer, layanan terapi psikososial pada rumah perlindungan, tempat maupun bilik khusus untuk pasangan yang telah menikah, kemudahan dalam pembiayaan pengelolaan arsip kependudukan serta kepemilikan, penyiapan pemakaman serta alat bantu. Pembiayaan pelaksanaan Kesejahteraan Sosial untuk Penyandang Disabilitas memilki sumber melalui, APBN, APBD; serta berbagai sumber pembiayaan lainnya yang sah serta tak mengikat selaras terhadap ketetapan aturan-aturan perundangan.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2OI9 pada pasal 2 menjelaskan bahwa pelaksanaan Kesejahteraan Sosial untuk Penyandang Disabilitas memiliki tujuan untuk melengkapi kebutuhan dasar, memberi jaminan penyelengaraan fungsi sosial, melakukan peningkatan Kesejahteraan Sosial secara bermartabat untuk Penyandang Disabilitas serta menciptakan publik inklusi. Pasal 4 ayat (1) menjelaskan kewajiban pemerintah seperti menteri, gubernur, menteri/pimpinan lembaga terkait, serta walikota/bupati untuk menyelenggarakan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas yang meliputi rehabilitasi, Pemberdayaan, Jaminan, serta Perlindungan Sosial.

Pada UU No 8 tahun 2016 Pemerintah pusat serta Pemerintah Daerah harus mempersiapkan unit pelayanan informasi serta bertindak cepat bagi anak serta Wanita penyandang disabilitas yang jadi objek kekerasan Pelindungan atas perbuatan Penelantaran, Diskriminasi, EKsploitasi serta Penyiksaan.

Implementasi perlindungan sosial pada penyandang disabilitas diindonesia masih kurang maksimal, hal ini dibuktikan pada kejadian kekerasan anak disabilitas yang meningkat tiap tahunnya. Berlandsakan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pertanggal 19 Desember 2022, ditemukan sebanyak 987 Laporan Kekerasan Yang terjadi pada Penyandang Disabilitas Tahun 2022. Anak Penyandang disabilitas pada wilayah Indonesia mayoritas kehidupannay pada situasi terbelakang, rentan, serta miskin diakibatkan masih terdapatnya hambatan, pembatasan, kesulitan, serta penghilangan maupun pengurangan hak penyandang disabilitas. Golongan penyandang disabilitas di tengah-tengah publik condong menghadapi diskriminasi pada kehidupan setiap harinya dikarenakan lingkungan fisik serta sosial secara tidak inklusif. Memiliki arti bahwa lingkungan di mana sebagian penyandang disabilitas berada condong kurang memberi dukungan aktualisasi atas kemampuan yang mereka punyai.

Rehabilitasi Sosial sebagai salahsatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas, tertuang dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2OI9 yang bertujuan guna melakukan pemulihan serta pengembangan potensi Penyandang Disabilitas yang menghadapi disfungsi sosial supaya bisa melakukan fungsi sosialnya dengan wajar. Target rehabilitas sosial meliputi Penyandang Disabilitas, kelompok Penyandang Disabilitas; keluarga Penyandang Disabilitas, serta/atau kelompok Penyandang Disabilitas.

Dalam Pasal 14 menjelaskan bahwa Rehabilitasi Sosial dilaksanakan melalui wujud dukungan serta diagnosis psikososial, pengasuhan serta perawatan, pelatihan kewirausahaan serta vokasional, pembinaan, bimbingan fisik, bimbingan mental spiritual, pelayanan Aksesibilitas, bimbingan sosial dan konseling psikososial, asistensi serta bantuan asistensi sosial, bimbingan lanjut, bimbingan resosialisasi, serta /atau rujukan.

Dalam proses implementasi rehabilitas anak dengan disabilitas, pemerintah melakukan pemberian terapi secara berkesinambungan yang biasa dilakukan di kecamatan untuk menadapatkan terapi dasar dalam melakukan peningkatan kemampuan psikologis, fisik, serta sosial. Layanan terapi dasar yang dikasihkan ketika pelatihan diselaraskan terhadap ragam disabilitas yang tersedia, misalnya disabilitas daksa/fisik, disabilitas netra, cerebral palsy, autis, disabilitas rungu wicara, down syndrome, hiperaktif, serta disabilitas grahita /intelektual.

Bentuk-Bentuk Layanan rehabilitasi yang disediakan pemerintah berupa terapi Fisik yang dilaksanakan melalui dukungan alat bantu, metode latihan terapeutik, urut, pijat, serta terapi elektronik, serta pelatihan serta terapi olahraga. Terapi Psikosisal, ialah gabungan terapi guna menanggulangi permasalahan yang timbul pada interaksi terhadap lingkungan sosialnya baik kelompok, keluarga, publik ataupun komunitas. Dilaksanakan melalui metode melaksanakan beragam terapi dalam menangulangi permasalahan yang berhubungan terhadap aspek psikis, kognisi, serta dan sosial, dan bantuan alat bantu. Terapi Mental Spiritual, ialah suatu terapi yang memakai berbagai nilai spiritual, moral, serta agama dalam megharmonisasikan tubuh, pikiran, serta jiwa pada usaha mengendalikan depresi serta kecemasan. Dilaksanakan melalui metode terapi ibadah keagamaan, seni, meditasi, serta/atau terapi yang memfokuskan harmoni bersma alam, dan banutan alat bantu. Memberikan Alat Mobilitas serta terapi penghidupan, pembinaan kewirausahaan dan/atau Pelatihan vokasional ialah suatu Upaya memberi keahlihan supaya bisa hidup secara produkti dan/atau mandiri. Pelatihan ini dilaksanakan melalui metode penyaluran serta pengembangan potensi, bakat, minat, serta mewujudkan kegiatan secara produktif, akses permodalan bisnis ekonomi, dukungan kemandirian, dukungan sarana serta prasarana produksi, sdan melakukan pengembangan jejaring pemasaran.

Dalam PP No. 52 Tahun 20I9 Pasal 21 menjelaskan Pelayanan Aksesibilitas ialah suatu penyediaan fasilitasi buat Penyandang Disabilitas untuk Rehabilitasi Sosial dalam menciptakan kesetaraan kesempatan serta hak. Layanan Aksesibilitas dilaksanakan melalui metode meanata lingkungan nonfisik serta fisik yang dialksanakan sama Menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait, gubernur, serta walikota/bupati, dilakukan pada Rehabilitasi Sosial dasar dan Rehabilitasi Sosial lanjut melalui metode memberi dukungan berbentuk jasa maupun barang ataupun uang, kondisi survei pada tahun 2020 setelah penerapan pasal tersebut menunjukan hasil tingginya tingkatan kemiskinan penyandang disabilitas (PD) relatif atas non penyandang disabilitas (Non-PD). Sebanyak 11,42 persen atas kelompok PD kehidupannya masih dibawah garis kemiskinan sedangkan Non-PD nberjumlah 9,63%., disamping tingkatan kemiskinan untuk PD ganda maupun multi (melebihi satu) kain naik Kembali yaitu sebanyak 13,38 persen. Implementasi dari peraturan ini adalah pemerintah memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada Penyandang Disabilitas, pada tahun 2023 besaran uang yang diberikan sama dengan bantuan sosial lainnya, yaitu bakal memperoleh dukungan uang tunai sebanyak Rp2,4 juta per tahun, dan disalurkan secara bertahap Rp600.000 (Fikaria Br, 2023).

Implementasi penerapan pelayanan aksesibilitas adalah dengan pemberian kursi roda gratis sudah dilakukan oleh pemerintah tersebar di wilayah Indonesia, namun berdasarkan data Susenas pada tahun 2020 ditemukan sebanyak 10,3 juta rumah tangga (RT) yang beranggotakan keluarga difabel. Sejumlah 8,2 juta difabel tersebut dengan tidak memiliki asuransi kesehatan. Elanjutnya sejumlah 8.795.033,76 difabel memiliki permasalahan pada kaki, tetapi 70 % maupun sebanyak 6.156.523 atas total tersebut tidak memiliki kursi roda (Agustin, 2023).

Pemerintah membentuk PP No. 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan melalui Tinjauan meningkatkan Akses serta Taraf Hidup untuk Penyandang Disabilitas Indonesia, serta Bencana untuk Penyandang Disabilitas membuat pemerintah pusat sekalian PEMDA menjadi pihak yang memeberi jaminan penyelenggaraan layanan umum serta BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang memiliki tugas guna memberi jaminan pelindungan kebencanaan terhadap penyandang disabilitas.

Tujuan pembentukan peraturan tersebut buat menciptakan kesetaraam kesempatan serta hak untuk penyandang disabilitas mengarah kepada kehidupan yang mandiri serta sejahtera lewat wujud kemudahan dalam mengaksas atas permukiman, layanan umum, serta pelindungan terhadap bencana. Aturan-aturan ini merancang tentang Kawasan tinggal yang gampang untuk dilakukan akses untuk penyandang disabilitas, layanan umum yang gambang diakses untuk Penyandang Disabilitas, pelindungan terhadap bencana untuk penyandang disabilitas, pendanaan, pembinaan, serta pelaporan.

Pada Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 diterangkan bahwa tiap jalan yang dipakai buat lalu lintas publik harus diberi kelengkapan lewat perlengkapan jalan berbentuk sarana buat pejalan kaki serta penyandang disabilitas (cacat). Implementasi pada saat ini penyangdang disabilitas masih kukurangan aksetabilitas pada trotoar jalan, faktanya saat ini banyak trotoar jalan untuk aksetabilitas penyandang disabilitas yang banyak tertutup oleh PKL, pengendara motor, pot bunga, galian, tiang, pohon dan lain-lain. Berdasarkan survei rapor trotoar yang diadakan Koalisi Pejalan Kaki pada 2022, hanya ada tiga kota yang mencetak skor 6 (dalam skala 1-10) dalam kualitas trotoar, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Skor rata-rata kota/kabupaten lain adalah 4. Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengatakan, salah satu indikator penilaian pada survei itu adalah aksesibilitas trotoar. Semakin rendah skornya, semakin buruk pula aksesibilitas trotoar. Aksesibilitas yang buruk membuat penyandang disabilitas rentan mengalami kecelakaan. Hal ini tidak jarang pengguna kursi roda harus melintas di badan jalan karena trotoar tidak memadai.

Menurut penulis dalam upaya meningkatkan kesejahteraan anak disabilitas, salahsatunya adalah dengan memberikan pendidikan bagi anak disabilitas atau yang disebut dengan pendidikan inklusif ialah suatu pendidikan inklusif menjadi wujud pelaksanaan pendidikan yang memberi peluang kepada anak yang memiliki kebutuhan khusus buat belajar pada sekolah paling dekat, di kelas regular, serta dengan teman sebayanya. Tujuannya ialah agar dengan sadar serta terencana buat menciptakan situasi belajar serta menghasilkan proses pembelajaran supaya murid makin aktif memaksimalkan kemampuan pribadinya guna mempunyai kekuatan pengendalian diri, spiritual keagamaan, kecerdasan, kepribadian, berakhlak mulia serat keterampilan yang dibutuhkan oleh pribadinya, publik negara serta bangsa. Anak penyandang disabilitas memiliki kebutuhan khusus memiliki hak memperoleh kesamaan untuk pendidikan. Pemenuhan tersebut dilaksanakan sama Pemda yang harus melaksanakan serta memberi fasilitas pendidikan disabilitas buat seluruh jalur serta tiap tingkatan selaras terhadap kewenangannya serta bertujuan dalam menaikkan kesejahteraan untuk anak disabilits

Dalam Undang-undang No 8 tahun 2016 pada pasal 10 menyatakan bahwa hak pendidikan bagi penyandang disabilitas melingkupi memperoleh pendidikan secara bermutu dalam satuan pendidikan pada seluruh jalur, jenis serta tingkatan pendidikan yang khusus serta inklusif dan khusus; memiliki kesetaraan peluang dalam menjadi tenaga kepenididikan maupun pendidik dalam satuan pendidikan pada seluruh jalur, jenis, serta tingkatan pendidikan; memiliki kesetaraan peluan menjadi pelaksana pendidikan secara berkualitas dalam satuan pendidikan pada seluruh jalur, jenis, serta tingkatan pendidikan; serta memperoleh akomodasi secara memadai menjadi seorang peserta didik.

Pada implentasinya pemerintah telah berupaya untuk memberikan pendidikan terbaik dan layak untuk penyandang disabilitas, namun pada penerapannya buat pendidikan secara inklusif bagi anak penyandang disabilitas pada wilayah Indonesia masih kurang, sebab terdapat fasilitas yang belum layak, minimnya pelatihan untuk guru, data yang kurang lengkap bagi anak yang memiliki disabilitas tertentu yang terdapat pada luar sekolah, serta pemikiran keluarga yang berfikir anak dengan disabilitas tidak akan merasa manfaat pendidikan sebaik anak dengan tidak disabilitas. Pendidikan secara layak untuk anak penyandang disabilitas dengan sarana serta prasarana yang memadai dapat secara langsung meningkatkan kesejahteraan bagi mereka.

Anak penyandang disabilitas juga rentan terhadap bullying (penindasan) untuk itu perlu perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban bullying anak. Perlindungan hukum dapat secara preventif dan perlindungan hukum secara represif. Adapun perlindungan secara preventif diberikan dengan melibatkan keluarga, satuan pendidik, dan masyarakat dengan tujuan mencegah terjadinya bullying terhadap mereka, sedangkan perlindungan secara represif diberikan dengan memberikan penanggulangan guna menyelesaikan kasus bullying yang terjadi sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di Indonesia.

 

Kesimpulan

Dalam menerapkan konsep welfare state, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan semua warga, termasuk anak-anak penyandang disabilitas. Tanggung jawab ini tidak hanya berada pada tingkat pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten, tetapi juga melibatkan semua lapisan masyarakat. Implementasi upaya kesejahteraan untuk penyandang disabilitas mencakup rehabilitasi, aksesibilitas, bantuan hidup dasar, perlindungan hukum, dan pendidikan. Meskipun pemerintah telah berusaha keras dalam menerapkan aturan hukum untuk kesejahteraan anak disabilitas, masih terdapat beberapa hambatan seperti layanan terapi rehabilitasi yang tidak konsisten dan kurangnya akseptabilitas serta pendidikan yang memadai. Namun, tujuan dari pembentukan aturan hukum dan implementasinya adalah untuk menciptakan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas menuju hidup mandiri dan sejahtera.

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Agustin, P. (2023). 6 Juta Penyandang Disabilitas Tak Punya Kursi Roda. https://difabel.tempo.co/read/1678315/6-juta-penyandang-disabilitas-tak-punya-kursi-roda

Alfitri, A. (2012). Ideologi Welfare State Dalam Dasar Negara Indonesia: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jurnal Konstitusi, 9(3), 449–472.

Barr, N. (2020). Economics of the welfare state. Oxford University Press, USA.

Fikaria Br, T. (2023). BLT Penyandang Disabilitas 2023 Akan Cair Rp2,4 Juta. Cekbansos.Kemensos.Go.Id. https://depok.pikiran-rakyat.com/

Fitriani, R. (2016). Peranan penyelenggara perlindungan anak dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 11(2), 250–358.

Ginting, O. A., Lubis, M. Y., & Affan, I. (2021). Analisis Kebijakan Kewajiban Vaksinasi COVID-19 Oleh Pemerintah Terhadap Setiap Warga Masyarakat Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hak Konstitusional Warga Negara. Jurnal Ilmiah Metadata, 3(2), 508–524.

Gultom, M. (2012). Perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan: kumpulan makalah-makalah seminar. PT. Refika Aditama.

Hadiyono, V. (2020). Indonesia dalam Menjawab Konsep Negara Welfare State dan Tantangannya. Jurnal Hukum, Politik Dan Kekuasaan, 1.

Huda, M. (2009). Pekerjaan sosial & kesejahteraan sosial: sebuah pengantar. Pustaka Pelajar.

Jauhari, A. (2017). Pendidikan inklusi sebagai alternatif solusi mengatasi permasalahan sosial anak penyandang disabilitas. IJTIMAIYA: Journal of Social Science Teaching, 1(1).

Maulana, H. W. (2000). Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. PT Gramedia Widiasrana Indonesia, Jakarta.

Panzilion, P., Padila, P., & Andri, J. (2021). Intervention of numbers puzzle against short memory mental retardated children. JOSING: Journal of Nursing and Health, 1(2), 41–47.

Pierson, C., & Castles, F. G. (2006). The welfare state reader. Polity.

Rahayu, U. D. S., & Ahdiyana, M. (2013). Pelayanan publik bidang transportasi bagi difabel di Daerah Istimewa Yogyakarta. SOCIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, 10(2).

Sukmana, O. (2016). Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan (Welfare State). Jurnal Sospol, 2(1), 103–122.

Tang, A. (2020). Hak-Hak Anak dalam Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Jurnal Al-Qayyimah, 2(2), 98–111.

 

Copyright holder:

Lisa Lamusul Afiyah, Edi Pranoto (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: