Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 1, Januari 2024
MAKNA
SIMBOLIK UBORAMPE RITUAL TEMANTEN MANDI DI SENDANG MODO KANDANGSAPI JENAR
SRAGEN DAN POTENSINYA SEBAGAI SUMBER
KETAHANAN BUDAYA
R.
Sri Wahyuni1*, Parji2, Muhammad Hanif3
1*,2,3 Program Studi
Magister Pendidikan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Pascasarjana,
Universitas Pgri Madiun, Indonesia
Email: 1*[email protected],
2[email protected], 3[email protected]
Abstrak
Salah satu unsur budaya adalah
sistem keagamaan. Sistem agama adalah bentuk penyerahan manusia terhadap
ketidakberdayaan menghadapi segala sesuatu yang tidak dapat mereka tangani.
Oleh karena itu, manusia selalu menjaga hubungan emosional dengan kekuatan
gaib. Hubungan antara manusia dan kekuatan gaib umumnya diwujudkan dalam
berbagai bentuk ritual, seperti ritual transisi. Ritual transisi memiliki makna
ganda, religius dan sosial. Makna religius adalah "simbol untuk
komunikasi," sedangkan makna sosial dimanifestasikan sebagai "ritus
intensifikasi" dan regenerasi semangat hidup yang dibutuhkan pada interval
tertentu secara berulang. Salah satu tahap transisi dalam masyarakat Indonesia,
pada umumnya, dan Sragen, khususnya, adalah pernikahan. Ritual pernikahan dalam
adat Jawa didahului dengan ritual persiapan, seperti siraman dan midodareni.
Namun, di Kandangsapi Jenar, Sragen, ada ritual unik yang disebut
"Temanten Mandi di Sendang Modo." Ritual ini menggunakan berbagai
"uborampe" (peralatan ritual dan persembahan) sebagai media ritual.
Penelitian ini berfokus pada pelaksanaan ritual, jenis-jenis uborampe beserta
makna dan nilainya, serta potensi ritual sebagai sumber ketahanan budaya.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan ritual upacara
temanten mandi, uborampe, dan potensi ritual tersebut sebagai sumber ketahanan
budaya. Manfaat penelitian antara lain pemanfaatan hasil pembelajaran IPAS,
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang makna dan nilai uborampe dalam
temanten mandi, serta sebagai acuan penelitian selanjutnya.
Kata Kunci: Makna Simbolik, Uborampe, Ritual
Temanten
Abstract
One of the cultural elements is the
religious system. Religious systems are a form of human surrender to the
powerlessness of facing everything that they cannot handle. Therefore, humans
always maintain an emotional relationship with supernatural powers. The
relationship between humans and supernatural powers is generally manifested in
various forms of rituals, such as the ritual of transition. The ritual of
transition has a double meaning, religious and social. The religious meaning is
"symbols for communication," while the social meaning is manifested
as "rite of intensification" and regeneration of the spirit of life
needed at certain intervals repeatedly. One of the transition stages in
Indonesian society, in general, and Sragen, in particular, is marriage. The
marriage ritual in Javanese customs is preceded by a preparation ritual, such
as siraman and midodareni. However, in Kandangsapi Jenar, Sragen, there is a
unique ritual called "Temanten Mandi di Sendang Modo." This ritual
uses various "uborampe" (ritual equipment and offerings) as a ritual
medium. The research focuses on the implementation of the ritual, the types of
uborampe and their meanings and values, as well as the potential of the ritual
as a source of cultural resilience. The research aims to describe and explain
the ceremonial ritual of temanten mandi, uborampe, and the potential of the
ritual as a source of cultural resilience. The benefits of the research include
the utilization of the results for IPAS learning, increasing public knowledge
about the meaning and value of uborampe in temanten mandi, and as a reference
for further research.
Keyword:
Symbolic Meaning, Uborampe, Temanten Ritual
Pendahuluan
Kehidupan
di era revolusi industri 4.0 dan society
5.0 semakin yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi. Pada era ini,
masyarakat diharapkan mampu menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan
sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era revolusi industri
4.0 untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Manusia kian bersentuhan dengan
teknologi komputer super, digitalisasi, dan kecerdasan buatan atau intelegensi
artifisial. Jika masyarakat bangsa tidak memiliki kemampuan menyeleksi dan
kesadaran terhadap kebudayaan yang telah dimilikinya (ketahanan budaya), maka
kebudayaan lokal atau nasional sebagai identitas dan jati dirinya lambat laun
akan pudar. Sebaliknya, jika masyarakat bangsa memiliki ketahanan budaya maka
budaya luar yang relevan dapat dijadikan sebagai unsur penggerak menuju
kebudayaan yang lebih maju, baik, dan modern (Hanif, M., Hartono, Y., dan
Wibowo, 2019a) (Hanif, M., Hartono, Y., dan Wibowo, 2019b). Kebudayaan tumbuh
dan berkembang sejalan dengan dinamika masyarakat pendukung. Kebudayaan
memiliki cakupan yang sangat luas dan untuk memudahkan dalam memamahinya
dikelompokkan ke dalam tujuh unsur kebudayaan. Salah satu unsur kebudayaan
tersebut yaitu sistem religi (Koentjaraningrat, 2009).
Sistem
religi merupakan bentuk rasa pasrah manusia atas ketidakberdayaan menghadapi
segala sesuatu yang tidak mampu dihadapinya (Parera, M.M.A.E., dan Marzuki,
2020). Oleh sebab itulah, manusia senantiasa memelihara hubungan emosional
dengan kekuatan-kekuatan gaib. Hubungan manusia dengan kekuatan gaib pada
umumnya diwujudkan dalam berbagai bentuk ritual, yakni aktifitas dan ekspresi
dari sistem keyakinan sebagai bagian dari tahapan upacara yang bersifat sakral
(Rumahru, 2018). Ritual yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia
yakni ritus peralihan.
Ritus
peralihan (rite of crisis, rite of
passage) sebagai fenomena budaya bermakna ganda yaitu religius dan sosial.
Makna religius sebagai “symbols for
communication” sedangkan makna sosial mewujud sebagai “rite of intensification” dan regenerasi semangat kehidupan yang
dibutuhkan dalam interval tertentu secara berulang. Setiap masyarakat dalam
kehidupan secara individu maupun kolektif terbagi oleh sistem sosial budayanya
ke dalam tahapan-tahapan tertentu. Peralihan dari satu tahapan ke tahapan yang
lebih luas diadakan ritus karena adanya kepercayaan peralihan sebagai suatu
krisis (Habibi, R.K., Kusdarini, 2020). Salah satu tahap peralihan pada
masyarakat Indonesia pada umumnya dan Sragen pada khususnya yaitu perkawinan.
Ritual
dan ritus perkawinan atau pernikahan pada hakikatnya upacara-upacara perkawinan
sebagai simbol persatuan suami dan istri. Ritual perkawinan dalam adat Jawa
sebelum ritual temu atau “panggih temanten” ada ritual persiapan. Ritual yang
dilakukan sebelum temu temanten oleh masyarakat dilakukan dengan untuk
menyiapkan sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan perkawinan, sifat-sifat
upacara akan terlihat sungguh-sungguh sebelum berlangsungnya perkawinan,
seperti siraman dan midodareni. Sebelum perkawinan harus melakukan
persiapan-persiapan sekitar empat puluh hari, calon pengantin wanita akan
dipingit atau disengker, berarti dilarang bepergian, apalagi menemui calon
pengantin laki-laki. Ia juga harus menjalankan puasa dengan makanan yang
berlemak. Namun di daerah Kandangsapi Jenar Sragen Jawa Tengah ada yang berbeda
dan unik. Masyarakat Kandangsapi selain melaksanakan ritual seperti yang
dilakukan masyarakat Jawa pada umumnya juga melaksanakan ritual “Temanten Mandi
di Sedang Modo”.
Ritual
temanten mandi di Sendang Modo Kandangsapi sudah dilakukan oleh para
pendahulunya dan membudaya hingga saat ini. Dalam ritual terbut menggunakan
berbagai “uborampe” (perlengkapan dan sesaji) sebagai sarana ritual. Namun dari
penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, peneliti mendapatkan temuan bahwa
tidak sedikit masyarakat yang memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung
dalam ritual. Mereka melaksanakan mandi di Sendang Modo hanya sebatas
menggugurkan kewajibannya terhadap adat istiadat. Padahal ritual temanten mandi
di sendang ini sudah membudaya, terdapat simbol-simbol, dan sudah barang tentu
ada nilai-nilai yang baik. Nilai budaya tersebut menurut (Kluckhohn, 1991)
direkonstruksi ke dalam suatu sistem nilai kehidupan umat manusia dan dijadikan
rujukan dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. (Fitriana, 2019)
menyampaikan bahwa nilai-nilai kesenian tersebut bila ditransformasikan dengan
baik dan dijadikan rujukan maka ketahanan budayanya semakin meningkat. Oleh
karena itu penelitian ini perlu dan penting dilaksanakan agar hasilnya dapat
dijadikan sumber penyadaran bagi masyarakat dalam menyikapi dinamika jaman yang
serba cepat dengan infiltrasi budaya dari luar yang begitu kuat.
Penelitian
ini difokuskan pada pelaksanaan ritual mandi temanten di Sendang Modo
Kandangsapi Jenar Sragen, dengan penjelasan mengenai uborampe yang digunakan
beserta makna dan nilainya, serta potensi nilai-nilai ritual tersebut sebagai
sumber membangun ketahanan budaya. Rumusan masalah melibatkan pertanyaan
mengenai pelaksanaan ritual, jenis uborampe dan makna-nilainya, serta potensi
sebagai pembangun ketahanan budaya. Tujuan penelitian mencakup deskripsi dan
penjelasan mengenai ceremonial ritual temanten mandi, uborampe, dan potensi
ritual sebagai sumber ketahanan budaya. Manfaat penelitian melibatkan
pemanfaatan hasil bagi guru dalam pembelajaran IPAS, peningkatan pengetahuan
masyarakat tentang makna dan nilai uborampe temanten mandi, serta sebagai
referensi bagi peneliti selanjutnya. Definisi istilah yang digunakan meliputi
uborampe sebagai perlengkapan ritual, makna uborampe sebagai responsi dan
stimulus, serta nilai uborampe sebagai kesepakatan masyarakat terkait kebiasaan
ritual temanten mandi di Sendang Modo.
Metode
Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sendang Modo Desa
Kadangsapi Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen, dengan batasan berbatas dengan
Desa Banyuurip (utara), Desa Mantingan (timur), Kecamatan Sambung Macan
(selatan), dan Desa Dawung (barat). Pemilihan lokasi ini didasarkan pada
ketertarikan peneliti dan belum pernah diteliti sebelumnya. Lokasi yang
strategis dan mudah dijangkau juga menjadi pertimbangan. Waktu penelitian
berlangsung dari Maret hingga Juli 2023, sesuai dengan agenda mata kuliah dan
keinginan penulis untuk melanjutkan penelitian ini hingga tahap tesis. Jadwal
penelitian melibatkan tahap persiapan, pengambilan dan analisis data, serta
penyelesaian, dengan aktivitas seperti pengajuan judul, penyusunan proposal,
seminar proposal, pengambilan data, analisis data, penyusunan laporan, dan
ujian tesis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan pendekatan etnografis untuk menjelaskan ceremonial ritual temanten
mandi, uborampe ritual, dan potensi ritual sebagai sumber ketahanan budaya.
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan fokus pada
permasalahan seputar ritual dan uborampe temanten mandi di Sendang Modo Desa
Kadangsapi. Sumber data terdiri dari data primer (wawancara dengan narasumber
seperti juru kunci Sendang Modo, pemimpin ritual, peracik uborampe, dan Ketua
RT) dan data sekunder (arsip, dokumen, buku, jurnal, internet).
Instrumen pengambilan data melibatkan peneliti sebagai
instrumen utama, pedoman wawancara terstruktur, alat rekam, dan format dokumen.
Teknik pengumpulan data mencakup wawancara, observasi nonpartisipasi, dan
dokumentasi. Analisis data menggunakan model Miles and Huberman dengan tahapan
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Keabsahan
data diuji melalui triangulasi sumber, waktu, dan teknik. Tahap penelitian
melibatkan persiapan, pelaksanaan, analisis data, dan penyelesaian, dengan
teknik keabsahan data menggunakan triangulasi. Hasil penelitian diharapkan
dapat memberikan pemahaman mendalam tentang makna dan nilai-nilai budaya dalam
ritual temanten mandi di Sendang Modo.
Hasil
dan Pembahasan
A.
Tinjauan
Singkat Desa Kandangsapi Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen
Desa Kandangsapi
Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen secara geografis terletak pada 7o
15 Lintang Selatan dan 7o 30 Lintang Selatan 110o 45
Bujur Timur dan 111o 10 Bujur Timur. Luas wilayah desa Kandangsapi
adalah 9,70 Km2 dengan ketinggian rata-rata 109 mdpl.
Batas wilayah Desa
Kandangsapi Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen Jawa Tengah adalah sebagai
berikut:
1.
Sebelah
utara berbatasan dengan Desa Banyuurip
2.
Sebelah
Timur berbatasan langsung dengan Desa Mantingan
3.
Sebelah
Selatan berbatasan langsung dengan Kecamatan Sambung Macan
4.
Sebelah
Barat berbatasan langsung dengan Desa Dawung.
Desa
Kandangsapi secara historis diawali dengan adanya perang Mangkubumen pada
dekade 1746 – 1757 M. Kandangsapi sendiri memiliki arti tempat sapi. Sapi pada
jaman dahulu dikenal sebagai simbol perjuangan. Jadi Kandangsapi diartikan
sebagai tempat perjuangan.
Secara
struktur pemerintahan, Desa Kandangsapi terdiri dari 7 RW dan 33 RT. Pertanian
dan hortikulturan yang dikembangkan warga desa Kandangsapi adalah Tebu dan
Jagung. Usaha di bidang peternakan sebagian besar yang dikelola warga adalah
peternakan ayam, sedangkan pada sektor perkebunan buah-buahan, desa Kandangsapi
mempunyai komoditi yaitu buah Nangka dan Pepaya.
Kependudukan/demografi Desa Kandangsapi
Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Data Penduduk Desa Kandangsapi Per Bulan Mei
2023
Nomor |
Uraian |
Jumlah |
|
L |
P |
||
1 |
Penduduk awal bulan ini |
2.664 |
2.554 |
2 |
Kelahiran bulan ini |
2 |
4 |
3 |
Kematian bulan ini |
4 |
0 |
4 |
Datang bulan ini |
2 |
1 |
5 |
Pindah bulan ini |
5 |
1 |
6 |
Jumlah akhir bulan ini |
2.659 |
2.558 |
Sumber: Arsip Kantor Desa Kandangsapi
B.
Temuan
Penelitian
Mendasar pada hasil penelitian di atas
dapat dideskripsikan beberapa hal terkait Sendang Modo sebagai berikut:
1.
Pelaksanaan ritual mandi
temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen.
a.
Sebelum
ritual mandi temanten di Sendang Modo
1)
Mempersiapkan
uborampe yang akan digunakan untuk ritual. Bahan untuk oborampe disiapkan oleh
keluarga, sedangkan yang meracik adalah I2 selaku pemimpin ritual dibantu I3
agar uborampe benar-benar lengkap.
2)
Temanten melaksanakan
pamitan kepada kedua orang tua
3)
Juru
kunci membersihkan sendang sehari sebelum ritual dilaksanakan.
b.
Aktivitas
pelaksanaan ritual di Sendang Modo
1)
Menata
dan meletakkan uborampe di sebelah sendang. Diatur oleh I1 selaku juru kunci
sendang.
2)
I2
selaku pemimpin ritual memulai acara memandikan pengantin.
3)
Pengantin
duduk bersimpuh menghadap sendang.
4)
I2
membakar dupa untuk meminta ijin melaksanakan
ritual
5)
I2
memandikan calon temanten dengan
menggunakan kelapa yang telah dibelah menjadi dua
6)
Calon manten mandi
sendiri dengan menggunakan gayung biasa
7)
Calon
temanten ganti baju
8)
Pemimpin ritual mengusap
kembang di ubun ubun ke kedua calon temanten
9)
Pemimpin ritual membakar
dua batang rokok dan ditiupkan ke wajah kedua calon temanten
10) Kedua
calon temanten menggendong bungkusan daun pisang
11) Ritual
selesai dan pulang ke rumah
c.
Aktivitas
meninggalkan tempat ritual Sendang Modo
a. Sesampai dirumah kedua calon temanten disambut kedua
orang tua dan disawur dengan beras kuning yang dicampur dengan uang koin
b. Diguyur air kendi diatas payung yang dipakai
c. Diagak agak (seakan-akan
disapu, tetapi tidak kena) sapu
lidi
d. Kedua calon temanten diajak masuk kerumah dengan dikaitkan
selendang kebelakang pinggulnya
2.
Uborampe apa saja yang
digunakan dan apa makna serta nilainya.
Uborampe yang
digunakan pada ritual temanten mandi di Sendang Modo beserta makna serta
nilainya adalah seperti pada tabel berikut:
Tabel 2. Uborampe Ritual Temanten Mandi di Sendang
Modo
No |
Nama
Uborampe |
Makna |
Pra
Acara Ritual |
||
1 |
Kembang |
Agar kedua calon temanten akan harum
selamanya |
2 |
Menyan |
Biar wangi |
3 |
Bawang |
Kersane mboten malang megung (biar tidak
melintang) |
4 |
Jenang abang atau merah |
Kondangke (biar semua orang tahu bila
mereka calon temanten) |
5 |
Kambil secuil |
Pikirane kudu mikir (punya pikiran harus
bisa berfikir |
6 |
Trasi secuil |
Mboten nginti nginti (agar makhluk goib
yang ada disendang tidak menyertai) |
7 |
Kacang tunggak |
Bejane awak bila disakiti orang tidak
disimpan dihati |
8 |
Telur ayam jawa |
Mugo mugo diberi sehat (mudah mudahan
diberi kesehatan |
9 |
Uang koin 500 rupiah |
Biar tidak ngetus ati (meskipun uang
tinggal 500 rupiah tapi masih punya uang) |
Pada
Saat Ritual |
||
1 |
Pisang |
Supaya calon penganten
menjadi pasangan Raja dan Ratu sehari |
2 |
Nasi Bucu |
Meminta kepada yang mbaurekso sendang
agar selamat. |
3 |
Ayam Ingkung |
Biar ayem, tentram,
sehat dan lancar dalam bekerja |
4 |
Jadah |
Ben berkah (hidupnya biar berkah) |
5 |
Pondoh |
Biar tidak ngondo ngondo |
6 |
Sambel goreng kering |
Biar dieling eling (diingat ingat) |
7 |
Mie |
Menehi nami utowo jeneng (memberi nama) |
8 |
Opak |
Ben ora nerak, kenceng, tenang |
9 |
Krupuk abang |
Ben kondang (biar terkenal) |
10 |
Srundeng |
Kalau punya anak biar nangis ngengkeng
(ndak diam diam) |
11 |
Peyek |
Ben ora dienyek (tidak dihina) |
12 |
Tape |
Apabila hamil tidak luntur (keguguran) |
13 |
Jenang |
Ojo nganti keliru leh nyawang (jangan
sampai salah dalam memandang) |
14 |
Sego (nasi) |
Mengirim do’a untuk Rosul |
15 |
Kelapa dibelah menjadi dua |
Melepas lajang |
Sumber: Hasil Olah Data Primer
3.
Potensi nilai-nilai
ritual temanten mandi di Sendang Modo tersebut sebagai sumber membangun
ketahanan budaya.
Hasil penelitian
menemukan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ritual temanten mandi di
Sendang Modo adalah sebagai berikut:
a. Membersihkan
diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik merupakan nilai dari
ritual temanten mandi di Sendang Modo.
b. Menjaga
norma kesopanan merupakan nilai yang terkandung dari sikap duduk bersimpuh
ketika menjalani ceremonial ritual temanten mandi.
c. Bersikap
hati-hati merupakan nilai yang terkandung dalam uborampe Jenang (Ojo nganti keliru leh nyawang)
d. Menjaga
nama baik yang diibaratkan dalam uborampe kembang
e. Tangguh
merupakan nilai yang terkandung dalam uborampe Uang koin 500 rupiah yang
bermakna biar tidak ngetus ati (meskipun uang tinggal 500 rupiah tapi masih
punya uang).
Pembahasan
Interaksi
Simbolik adalah suatu faham yang menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi
sosial antara individu dan antar individu dengan kelompok, kemudian antara
kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah karena komunikasi, suatu
kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-masing yang terlibat
berlangsung Pinternalisasi atau pembatinan (Siregar, 2016).
Karakter
dasar dari teori interaksionisme simbolik adalah hubungan yang terjadi secara
alami antara manusia dalam masyarakat dan masyarakat dengan individu. Interaksi
antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan.
Simbol-simbol ini meliputi gerak tubuh antara lain; suara atau vokal, gerakan
fisik, ekspresi tubuh atau bahasa tubuh, yang dilakukan dengan sadar. Hal ini
disebut simbol (Derung, 2017). Bentuk paling
sederhana dan pokok dalam komunikasi interaksionisme simbolik adalah
menggunakan isyarat karena manusia mampu menjadi obyek untuk dirinya sendiri
dan melihat tindakan-tindakannya seperti orang lain melihat tindakannya. Dalam
komunikasi, manusia juga menggunakan kata-kata atau suara yang mengandung arti
dan dipahami bersama dalam masyarakat itu. Komunikasi menggunakan kata-kata
atau suara merupakan komunikasi standar dalam relasi dengan sesama. Komunikasi
ini merupakan komunikasi simbolik (Derung, 2017). Mendasar pada teori ini
dilakukan pembahasan sebagai berikut:
A.
Pelaksanaan
Ritual Mandi Temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen
Ritual
merupakan tata cara dalam pelaksanaan upacara atau suatu perbuatan keramat yang
dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan tujuan tertentu. Ritual telah
dijadikan sebagai tradisi oleh masyarakat, termasuk oleh komunitas agama yang
memiliki berbagai variasi tujuan. Ritual ditandai dengan adanya berbagai macam
unsur dan komponen. Komponen tersebut terdiri atas adanya waktu, tempat dimana
upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan
upacara (Kusalanana et al, 2020).
Pelaksanaan ritual mandi temanten di
Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen pada dasarnya hampir sama dengan ritual
siraman. Siraman,
dari kata siram yang artinya menguyur atau mandi. Banyak sekali ritual mandi
yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama ketika akan melakukan sebuah
upacara budaya. Sepasang pengantin akan melangsungkan ijab qabul sehari
sebelumnya juga melakukan upacara siraman (Maulana, 2017). Mandi dalam
kehidupan sehari-hari dilakukan agar orang menjadi bersih badannya, segala
kotoran yang melekat di badan akan hilang tersapu air dan sabun. Akan tetapi
hakikat dari mandi (siraman) dalam upacara pengantin adat Jawa tidak hanya
sekedar membersihkan wadag badan tetapi juga membersihkan jiwa. Membersihkan
diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik.
Hasil
penelitian ini menemukan bahwa ritual mandi
temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen terdiri dari tiga tahap
sebagai berikut:
1. Sebelum ritual mandi temanten di Sendang Modo
a.
Mempersiapkan
uborampe yang akan digunakan untuk ritual.
Bahan untuk oborampe disiapkan oleh keluarga,
sedangkan yang meracik adalah I2 selaku pemimpin ritual dibantu I3 agar
uborampe benar-benar lengkap.
b.
Temanten melaksanakan
pamitan kepada kedua orang tua
Pamitan melaksanakan
ritual pamitan kepada kedua orang tua sebagai simbol komunikasi simbolik
memohon restu dalam menjalani ritual. Tahun boleh berganti, zaman boleh
berubah, tetapi jangan pernah melupakan restu dan doa orang tua agar segala
kegiatan yang dilakukan dapat berjalan lancar. Adat jawa selalu mengajarkan
untuk meminta restu kepada orang tua. Terlebih pada kegiatan yang mempunyai
arti penting dalam kehidupan seperti mandi temanten sebelum melaksanakan
pernikahan.
c.
Juru
kunci membersihkan sendang sehari sebelum ritual dilaksanakan.
Kegiatan
ini merupakan tradisi untuk mempersiapkan ritual yang akan dilaksanakan. Salah
satu tugas juru kunci sendang Modo adalah membersihkan sendang sehari sebelum
ritual temanten mandi. Hal ini dilakukan dengan makna simbolik yaitu setiap
kegiatan perlu dilakukan dengan hati yang bersih agar niat yang baik dapat
terlaksana dengan baik pula.
2. Aktivitas pelaksanaan ritual di Sendang Modo
a.
Menata
dan meletakkan uborampe di sebelah sendang. Diatur oleh I1 selaku juru kunci
sendang.
Sendang
merupakan sumber air yang tidak pernah mengalami kekeringan. Kebanyakan sendang
di tanah Jawa bersifat sakral serta di hormati. Penataan uborampe di sebelah
sendang diatur oleh juru kunci sendang. Dalam adat Jawa terdapat seseorang yang
memang mempunyai tugas dan berwenang mengatur berbagai macam kegiatan yang ada
pada sendang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat makna simbolik yang tersaji
dalam wujud peletakan uborampe di dekat sendang oleh seseorang yang berwenang
melakukan kegiatan tersebut.
b.
I2
selaku pemimpin ritual memulai acara memandikan pengantin.
Ritual
mandi temanten di Sendang Modo dipimpin oleh tokoh masyarakat yang mempunyai
kemampuan dalam menjalankan ritual tersebut. Pemimpin ritual memulai acara
dengan melaksanakan interaksi simbolik berupa komunikasi dengan seluruh peserta
ritual.
c.
Pengantin
duduk bersimpuh menghadap sendang.
Makna
simbolik dari kegiatan ini adalah pengantin harus selalu menjaga tata krama dan
kesopanan dimanapun berada. Adat Jawa menjunjung tinggi nilai-nilai tata krama
dan kesopanan. Hal ini juga dilakukan ketika ritual temanten mandi.
d.
I2
membakar dupa untuk meminta ijin
melaksanakan ritual
Kegiatan pemimpin ritual
(I2) membakar dupa merupakan wujud komunikasi simbolik. Hal ini dikarenakan
kegiatan tersebut mempunyai maksud tertentu yaitu meminta ijin melaksanakan
ritual. Komunikasi simbolik yang dilakukan dengan “sing mbaurekso” atau
penunggu Sendang Modo dilakukan agar segala aktivitas yang dilakukan di Sendang
Modo diberikan keselamatan serta meminta maaf apabila ada kesalahan dalam
melaksanakan ritual serta ada kekurangan dalam penyajian uborampe.
e.
I2
memandikan calon temanten dengan
menggunakan kelapa yang telah dibelah menjadi dua.
Kegiatan ini jelas
menunjukkan adanya alat yang mempunyai makna simbolis yaitu kelapa yang telah
dibelah menjadi dua. Masyarakat di sekitar Senang Modo memaknainya sebagai
melepas lajang. Jadi mandi temanten yang dilakukan pemimpin ritual
menggambarkan restu dari sesepuh setempat kepada calon temanten untuk melepas
masa lajang.
f.
Calon manten mandi
sendiri dengan menggunakan gayung biasa
Ritual ini mempunyai
makna simbolis yaitu calon temanten mensucikan diri sebelum melaksanakan
rangkaian acara pernikahan.
g.
Calon
temanten ganti baju
Ganti
baju menjadi pertanda bahwa calon pengantin sudah selesai mensucikan diri dan
siap menjalani rangkaian pernikahan adat Jawa.
h.
Pemimpin ritual mengusap
kembang di ubun ubun ke kedua calon temanten
Maksud
dari ritual ini adalah untuk membuang sengkolo
(mara bahaya). Terdapat gerakan mengusap kembang di ubun-ubun kedua calon
temanten menunjukkan terdapat gerakan sebagai bentuk komunikasi simbolis yang
dilakukan dalan kegiatan ritual ini.
i.
Pemimpin ritual membakar
dua batang rokok dan ditiupkan ke wajah kedua calon temanten
Tahapan ritual membakar
dua batang rokok dan ditiupkan ke wajah kedua calon temanten bermaksud nyuwuk
(mendo’akan) biar jadi kelurga yang baik dan mendapatkan keturunan yang baik.
Hal ini menunjukkan adanya komunikasi simbolis dalam wujud gerakan namun
mempunyai arti yang baik.
j.
Kedua calon temanten
menggendong bungkusan daun pisang
Kedua calon temanten
menggendong bungkusan daun pisang/daun jati yang berisi kepala ayam, ceker dan
dompet, kepala ayam maknanya biar sehat terus dan tidak sakit kepala. Ceker
bermakna biar bisa mencari rezeki, dompet bermakna untuk menyimpan rezki.
Kepala ayam dan ceker dimakan oleh kedua calon temanten di rumah.
k.
Ritual selesai dan pulang
ke rumah
Setelah
ritual selesai maka calon temanten dan seluruh tamu yang hadir dalam ritual
mandi temanten di Sendang Modo pulang ke rumah masing-masing.
3. Aktivitas meninggalkan tempat ritual Sendang Modo
a. Sesampai dirumah kedua calon temanten disambut kedua
orang tua dan disawur dengan beras kuning yang dicampur dengan uang koin.
Makna dari ritual ini
adalah untuk tolak balak agar
tidak ada musibah baik selama menjalani
prosesi pernikahan maupun setelah menikah nanti. Kedua orang tua temanten
memberikan doa tolak balak tersebut melalui kegiatan simbolik berupa disawur
beras kuning dicampur uang koin.
b. Diguyur air kendi di atas payung yang dipakai
Tahapan ritual diguyur air kendi di
atas payung yang
dipakai ini mempunyai makna agar kedua calon
temanten mendapatkan panjang
umur, seger kewarasan (kesehatan)
dan penak ati (kenyamanan
hati) dan rosone
(rasa ketentraman).
c. Diagak agak (seakan-akan
disapu, tetapi tidak kena) sapu
lidi
Tahapan ritual ini
mempunyai maksud agar tidak
diontang-anting.
Ontang-anting ibarat sehelai daun yang tersapu angin ke kanan dan ke kiri.
Maksudnya, dalam sehelai daun itu nggak ada daun lain yang menghalangi atau
yang ikut tersapu angin juga. Dengan demikian makna dari diagak-agak (seakan-akan
disapu, tetapi tidak kena) sapu
lidi ini adalah agar calon pengantin tidak
mudah mendapatkan pengaruh buruk dan selalu mendapat pertolongan serta dapat
bekerja sama dengan orang lain dalam kebaikan.
d. Kedua calon temanten diajak masuk kerumah dengan
dikaitkan selendang kebelakang pinggulnya.
Kedua calon
temanten diajak masuk ke dalam rumah oleh kedua orang tuanya dengan dikaitkan selendang
ke belakang pinggulnya dimana ujung selendang tersebut dipegang ayahnya dan
ibunya mendorong dari belakang. Arti dari
tahapan ritual ini adalah orangtua berharap kedua calon mempelai selalu rukun
dan hubungannya erat satu sama lain. Ini juga sebagai tanda bahwa kedua calon
pengantin telah siap dipersatukan oleh ayah pengantin perempuan.
Temuan penelitian di atas menunjukkan
bahwa dalam melaksanakan ritual mandi temanten di Sendang Modo Kandangsapi
Jenar Sragen terdapat beberapa tahap yang harus dilalui. Masing-masing tahap
harus dilaksanakan sesuai dengan petunjuk pemimpin ritual karena mempunyai
makna simbolik dari setiap tahapan kegiatan yang dilakukan. teori interaksi simbolik dikatakan
bahwasanya suatu hubungan yang terjadi antara individu dengan masyarakat maupun
sebaliknya yang terjadi secara alami. Interaksi yang terjadi antar individu
akan berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Dan interaksi yang
mereka lakukan secara sadar. Interaksi simbolik berkaitan dengan gerak tubuh
seperti suara, gerak fisik, ekspresi tubuh, selain itu juga ada bahasa,
tulisan, kata-kata dan lainnya yang semua memiliki maksud, inilah yang disebut
dengan simbol (Wirawan, 2012).
B.
Uborampe
yang Digunakan dalam Ritual Beserta Makna dan Nilainya
Nilai-nilai
yang terkandung pada uborampe ritual temanten mandi di Sendang Modo Kandangsapi
Jenar Sragen dilestarikan dan dijadikan sebagai sumber kesadaran dalam
kaitannya dengan hubungan dengan
kebudayaan lain. Artinya ketika masyarakat Kandangsapi Jenar Sragen berinteraksi
dengan budaya lain, ini sebagai sumber kesadaran mereka. Sumber kesadaran
dijadikan sebagai alat untuk menyaring nilai-nilai budaya asing yang tidak
sesuai dengan kebudayaan yang mereka yakini mempunyai nilai adiluhung atau
keutamaan. Oleh karena itu nilai-nilai yang ada pada uborampe menjadi ketahanan
budaya mereka. Ketahanan budaya ini diartikan sebagai kesadaran masyarakat
untuk tidak digantikan dengan budaya lain. Dengan kata lain, masyarakat
Kandangsapi tidak anti budaya asing. Mereka menyadari menerima budaya asing
yang sesuai untuk dijadikan sebagai dorongan untuk memoderenisasi tata
kehidupan mereka.
Dari
referensi tentang masalah faktor-faktor yang menentukan lestari atau tidaknya
sebuah kebudayaan, karena mati hidupnya kebudayaan itu tergantung pada para
pendukung kebudayaan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Koentjaraningrat
(2009) bahwa kesenian tradisional mengandung nilai-nilai luhur yang ditujukan
untuk menuntun masyarakat agar menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya,
sehingga generasi penerus bangsa yang baik untuk mewujudkan stabilitas nasional
yang sehat dan dinamis.
Budaya bisa
lestari jika terdapat nilai yang mereka anggap masih sesuai dan mereka dukung.
Nilai-nilai tersebut mengandung keutamaan atau adiluhung. Menurut keterangan
dari narasumber penelitian uborampe yang digunakan
pada ritual temanten mandi di Sendang Modo beserta makna serta nilainya adalah
seperti pada tabel berikut:
Tabel
3. Uborampe Ritual Temanten Mandi di Sendang Modo
No |
Nama
Uborampe |
Makna
dan Nilai |
Pra
Acara Ritual |
||
1 |
Kembang |
Agar kedua calon temanten akan harum
selamanya |
2 |
Menyan |
Biar wangi |
3 |
Bawang |
Kersane mboten malang megung (biar tidak
melintang) |
4 |
Jenang abang atau merah |
Kondangke (biar semua orang tahu bila
mereka calon temanten) |
5 |
Kambil secuil |
Pikirane kudu mikir (punya pikiran harus
bisa berfikir |
6 |
Trasi secuil |
Mboten nginti nginti (agar makhluk goib
yang ada disendang tidak menyertai) |
7 |
Kacang tunggak |
Bejane awak bila disakiti orang tidak
disimpan dihati |
8 |
Telur ayam jawa |
Mugo mugo diberi sehat (mudah mudahan
diberi kesehatan |
9 |
Uang koin 500 rupiah |
Biar tidak ngetus ati (meskipun uang
tinggal 500 rupiah tapi masih punya uang) |
Pada
Saat Ritual |
||
1 |
Pisang |
Supaya calon penganten
menjadi pasangan Raja dan Ratu sehari |
2 |
Nasi Bucu |
Meminta kepada yang mbaurekso sendang
agar selamat. |
3 |
Ayam Ingkung |
Biar ayem, tentram,
sehat dan lancar dalam bekerja |
4 |
Jadah |
Ben berkah (hidupnya biar berkah) |
5 |
Pondoh |
Biar tidak ngondo ngondo |
6 |
Sambel goreng kering |
Biar dieling eling (diingat ingat) |
7 |
Mie |
Menehi nami utowo jeneng (memberi nama) |
8 |
Opak |
Ben ora nerak, kenceng, tenang |
9 |
Krupuk abang |
Ben kondang (biar terkenal) |
10 |
Srundeng |
Kalau punya anak biar nangis ngengkeng
(ndak diam diam) |
11 |
Peyek |
Ben ora dienyek (tidak dihina) |
12 |
Tape |
Apabila hamil tidak luntur (keguguran) |
13 |
Jenang |
Ojo nganti keliru leh nyawang (jangan
sampai salah dalam memandang) |
14 |
Sego (nasi) |
Mengirim do’a untuk Rosul |
15 |
Kelapa dibelah menjadi dua |
Melepas lajang |
Sumber: Hasil Olah Data
Primer
Nilai-nilai
tersebut ternyata mempredisposisi sikap, tindakan dan perilaku masyarakat.
Masyarakat memiliki kesadaran terhadap nilai-nilai yang dimiliki untuk
menyaring dari budaya lain. Oleh karena itu nilai-nilai yang sebagaimana di
bahas di atas dapat dijadikan sebagai sumber untuk membangun ketahanan budaya
masyarakat dalam kontek kehidupan di era globalisasi atau ketika derasnya arus
informasi budaya dari luar.
Hasil penelitian
di atas menunjukkan ada makna simbolik pada setiap uborampe yang digunakan pada
ritual temanten mandi di Sendang Modo. Makna dan nilai simbolik tersebut dijelaskan
oleh pemimpin ritual, sehingga dapat digunakan sebagai perlengkapan yang
mendukung pelaksanaan ritual. Makna-makna yang terkandung dalam uborampe ritual
temanten mandi di Sendang Modo semuanya berupa doa untuk kebaikan, dijauhkan
dari mara bahaya, serta nasihat agar manusia yang baik dan tangguh dalam
menjalani kehidupan setelah berumah tangga.
Penekanan yang
utama adalah pada makna simbolis, bentuk simbolis ini merupakan ungkapan
perasaan yang dalam. Lahirnya bentuk-bentuk simbolis ini adalah manifestasi
religius dari suatu masyarakat, tetapi makna simbolis yang dikandungnya mungkin
berbeda dengan masyarakat lainnya (Saragi, 2018). Makna simbolik adalah
pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk yang menandai sesuatu yang lain
diluar perwujudan bentuk symbol itu sendiri. Simbol dapat dianggap sebagai
bagian dari lambang, meskipun tidak semua lambang dapat dibedakan dalam
pengertian tertentu (Ramadani et al., 2022).
C.
Potensi
Nilai-Nilai Ritual Temanten Mandi di Sendang Modo Sebagai Sumber Membangun
Ketahanan Budaya
Ketahanan budaya
dapat mengarahkan, dan mengembangkan lambang-lambang yang semula telah ada
untuk disalurkan kembali pada pembentukan nilai-nilai dan bentuk-bentuk
perilaku yang wujud dalam kebudayaan. Hal itu berarti, ketahanan budaya
dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri terhadap situasi-situasi luaran
tanpa banyak merusak kebudayaan yang telah menjadi tatanan kehidupannya
(Ismadi, 2014). Ketahanan budaya pada dasarnya adalah upaya pelestariannya dan
pengembangannya secara dinamis dengan upaya-upaya yang lebih khusus. Upaya
lebih khusus pelestarian ritual adat merupakan tindakan yang lebih
diorientasikan untuk meningkatkan “nilai-tambah sosial-kultural”, yaitu
nilai-tambah kemartabatan, nilai-tambah kebanggaan, nilai-tambah jati-diri dan
nilai-tambah akal-budi serta budi pekerti (Hanif, 2017).
Dalam kedudukannya
sebagai agen, kebudayaan akan disesuaikan dengan pilihan-pilihan budaya yang
sedang berkembang, dan sekaligus dapat memberi bentuk dan identitas kepada
pendukung kebudayaan secara berterusan, tanpa banyak menghilangkan ciri-ciri
khas dari kebudayaan mereka sendiri, seperti pengungkapan bahasa, penghayatan
atas agama dan kesenian, asas-asas keluarga dan kekeluargaan atau sistem
kemasyarakatannya (Ismadi, 2014).
Sistem kemasyarakatan
acap kali menjadi wujud dengan kuat untuk mewarnai ketentuan-ketentuan dasar
keluarga dan kehidupan kekeluargaan. Oleh karena itu, melalui asas ketahanan
budaya serupa itulah suatu kebudayaan memperlihatkan wujudnya yang berbeda
dengan kebudayaan lainnya. Itu artinya, dengan mengamalkan asas-asas ketahanan
budaya seperti dalam kehidupan kesehariannya, pelaku dari kebudayaan itu
sekaligus dapat mempertahankan identitas kebudayaannya. Atau sebaliknya,
manakala mereka mengabaikan salah satu dari asas-asas dari ketahanan kebudayaan
itu, boleh jadi dapat menimbulkan resiko besar terhadap identitas kebudayaan
dari suku bangsa itu menjadi tererosi keteguhannya (Ismadi, 2014).
Mendasar pada
temuan penelitian pada BAB sebelumnya diketahui bahwa ritual temanten mandi di
Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen masih dilestarikan. Sebagaimana pada
umumnya namanya kebudayaan, kebudayaan itu akan mati atau sebaliknya lestari
tergantung pada para pendukungnya. Dengan kata lain namanya kebudayaan bisa
bertahan atau tidak tergantung pendukung kebudayaan. Pendukung kebudayaan
melestarikan sesuatu termasuk apa yang terjadi di desa Kandangsapi karena
persepsi mereka bahwa ritual tersebut mengandung nilai. Nilai adalah sesuatu
yang sangat berharga yang mengandung konsepsi-konsepsi tentang hidup, sehingga
mempredisposisi tindakan dan perilaku masyarakat. Nilai-nilai itu sebagaimana
yang dicermin dari ritual temanten mandi di Sendang Modo Kandangsapi Jenar
Sragen. Hasil penelitian menemukan ritual temanten mandi dan uborampenya
mengandung nilai simbolik sebagai berikut:
1.
Membersihkan
diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik merupakan nilai dari
ritual temanten mandi di Sendang Modo.
Ritual
mandi temanten di sendang Modo mempunyai nilai membersihkan diri dari noda dan
dosa serta sifat-sifat yang kurang baik.
Tujuan diadakannya siraman dalam rangka memohon berkah dan rahmat Tuhan
Yang Maha Esa agar calon pengantin dibersihkan dari segala godaan dan pengaruh
buruk, sehingga dapat melaksanakan upacara hingga selesai dengan lancar dan
selamat. Selain itu, calon pengantin juga selamat dalam membangun rumah tangga
dan dapat mencapai tujuan pekawinan. Hal ini sesuai dengan filsafat Jawa yang
berdasarkan pada tiga aras yaitu atas dasar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan
aras keberadaban manusia. Atas dasar ber-Tuhan menyatakan adanya Tuhan yang Murbeng Dumadi (Penguasa Alam Semesta).
Di dalam siraman pun aras filosofi dasar ber Tuhan ini muncul yaitu bahwa Tuhan
sebagai tempat memohon berkah, segala sesuatu berasal dari-Nya sehingga konsep
permohonan inipun dilakukan. Tuhan sebagai tempat seluruh permintaan manusia
terutama berkah keselamatan dan kelancaran dalam kehidupan (Irmawati, 2013).
Prosesi siraman itu sendiri sesungguhnya merupakan
media yang bertujuan untuk memohon keselamatan atas segala bahaya ataupun
rintangan yang kemungkinan bisa mencelakakan calon pengantin. Pelaku budaya
(masyarakat Jawa) menyakini bahwa jika berbaik dengan alam semesta dan
melibatkannya dalam suatu proses siraman itu sendiri, maka alampun akan
menunjukkan jalan agar pernikahan bisa berjalan dengan lancar tanpa suatu
halangan apapun, karena bagaimanapun kita harus sadar darimana kita berasal dan
akan kembali (Maulana, 2017).
2.
Menjaga
norma kesopanan merupakan nilai yang terkandung dari sikap duduk bersimpuh
ketika menjalani ceremonial ritual temanten mandi.
Norma kesopanan adalah aturan atau tata tertib yang
mengatur bagaimana seorang individu harus bersikap dan bertingkah laku sesuai
dengan standar yang dianggap sopan dan sesuai dengan budaya dan kebiasaan
masyarakat. Norma kesopanan biasanya meliputi cara bertutur kata, cara
berpakaian, dan cara berperilaku di masyarakat.
Norma kesopanan adalah aturan yang mengatur tingkah
laku seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Norma ini bertujuan untuk
menjaga keharmonisan dan kenyamanan dalam bergaul serta menghargai hak orang
lain. Norma kesopanan bisa terdiri dari aturan-aturan yang bersifat umum,
seperti menghormati orang lain, tidak bersikap sombong atau arogan, serta tidak
menggunakan bahasa yang kasar atau tidak sopan.
Norma kesopanan merupakan bagian dari budaya dan adat
istiadat setiap negara atau budaya. Oleh karena itu, tidak ada satu istilah
yang dapat merujuk pada norma kesopanan secara universal. Namun, beberapa
istilah lain yang mungkin dapat digunakan untuk merujuk pada norma kesopanan
adalah tata krama, etiket, sopan santun, dan kebiasaan sosial.
3. Bersikap hati-hati
merupakan nilai yang terkandung dalam uborampe Jenang (Ojo nganti keliru
leh nyawang)
Setiap orang harus
berhati–hati dalam melakukan tindakan dan bekerja untuk mencapai kesejahteraan
tanpa menggunakan hal–hal yang licik kepada orang lain. Uborampe Jenang (Ojo nganti keliru
leh nyawang) pada ritual mandi
temanten di Sendang Modo mempunyai nilai untuk bersikap hati-hati dalam
menjalani kehidupan.
Sikap hati-hati
pada dasarnya merupakan nilai penting dalam menjalani kehidupan. Calon temanten
akan menghadapi berbagai macam cobaan, hambatan dan kendala dalam mengarungi
bahtera rumah tangga. Dengan demikian perlu diterapkan nilai kehati-hatian
dalam menjalankan aktivitas kehidupannya agar dapat terhindar dari berbagai
cobaan, mampu menghadapi hambatan dan kendala dengan baik, serta mempertahankan
rumah tangga dengan baik pula.
4. Menjaga nama baik yang
diibaratkan dalam uborampe kembang
Karakteristik
orang Jawa dikenal memiliki sikap yang sopan, ramah tamah, dan menghargai orang
lain. Sikap sopan tersebut dapat di lihat dari perilaku orang Jawa yang
menghormati orang yang lebih tua, berbicara dengan menggunakan bahasa yang sesuai
dan tata krama orang Jawa. Sikap ramah tamah orang Jawa dapat di lihat dari
sikap menyapa. Sikap ramah tamah seperti ketika bertemu orang yang dikenal
menyapa, misal melewati rumah tetangga yang orangnya ada di depan rumah atau di
teras, atau melewati sekumpulan orang di desa yang berkumpul di poskampling.
Hal ini dikarenakan jika tidak menyapa ketika bertemu dengan orang yang di
kenal biasa disebut dengan sebutan anggep atau tidak sesuai dengan tata krama.
Selain itu orang Jawa juga dikenal dengan Andhap Asor yaitu perilaku yang
merendahkan diri dengan sopan terhadap orang yang berstatus sederajat atau
lebih tinggi.
Beberapa
karakteristik di atas perlu dilakukan oleh calon temanten agar mampu menjaga
nama baik dirinya sendiri dan keluarga. Jadi nilai yang terkandung dalam
uborampe kembang pada ritual mandi temanten di Sendang Modo merupakan gambaran
karakteristik orang Jawa.
5. Tangguh
merupakan nilai yang terkandung dalam uborampe Uang koin 500 rupiah yang
bermakna biar tidak ngetus ati (meskipun uang tinggal 500 rupiah tapi masih
punya uang).
Nilai tangguh yang
digambarkan dari ritual manten mandri di Sendang Modo di atas menunjukkan bahwa
calon pengantin mempunyai keteguhan hati dalam menghadapi berbagai macam
kondisi ketika mengaruhi bahtera rumah tangga. Kondisi terburuk yang
digambarkan dari nilai tersebut adalah ketika uang hanya tinggal 500 rupiah
saja, harus tetap tenang dan berusaha keras agar dapat bertahan hidup. Hal ini
juga sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini dalam nasihat jawa yaitu tatag,
teteg, tutug.
Tatag,
teteg dan tutug sebagai suatu nasihat atau pitutur (dalam Bahasa Jawa yang
sering disampaikan orangtua kepada anaknya) untuk membentuk karakter generasi
muda yang tangguh, cerdas, dan rendah hati agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan
sangat perlu untuk dikupas secara menyeluruh sehingga generasi muda saat ini
dapat mengambil nilai-nilai positifnya untuk kehidupannya. Tatag berarti “tanpa duwe uwas sumelang” atau tidak
mempunyai kekhawatiran yang berasal dari dalam diri dan luar pribadinya atau
lingkungannya / dapat beradaptasi bisa
juga diartikan bahwa seseorang harus punya rasa percaya diri. Teteg mempunyai
arti kukuh, ora obah-obah utawa panggah. Bisa diartikan juga seseorang yang
mempunyai tekad dan komitmen yang kuat seperti karang, tidak akan goyah walau
diterjang oleh badai atau apapun tetap berdiri tegak seperti karang dipinggir
laut yang dihempas oleh gelombang laut yang sangat dahsyat. Tidak ada
kebimbangan sedikitpun dalam kehidupannya. Tutug yang artinya dumugi, ngantos ing pungkasan, ngantos katog
lan marem, mongkok ugi syukur dene kalampahan kanthi prayogi, yang berarti
sampailah pada tujuan yang diharapkan sehingga menjadi bahagia dan proses
kehidupannya menjadi lebih baik. Setiap orang
menginginkan kehidupannya berakhir dengan baik sesuai dengan tujuannya,
tidak berhenti di tengah jalan atau mudah putus asa.
Mendasar
pada temuan di atas bahwa terdapat beberapa nilai yang terkandung dalam ritual
temanten mandi di Sendang Modo. Nilai-nilai tersebut masih diterima dan
diyakini. Bahkan hasil penelitian juga menemukan adanya rasa takut dari
masyarakat di sekitar Sendang Modo jika tidak melaksanakan ritual tersebut.
Kondisi ini membuat pemanfaatan nilai-nilai ritual sebagai sumber ketahanan
budaya dapat dilakukan dengan baik. Penyampaian makna dan nilai simbolik pada
uborampe serta tahapan ritual mandi temanten di Sendang Modo kepada generasi
penerus perlu senantiasa dilaksanakan.
Generasi
penerus akan bersedia melestarikan tradisi yang sudah ada ketika memahami
berbagai makna dan arti dari tradisi yang harus dijalani. Tradisi dilaksanakan
bukan karena takut dampak buruk ketika tidak melaksanakan, namun memahami
dampak baik dari tradisi yang dijalani. Hasil penelitian menemukan bahwa ritual
mandi temanten di Sendang Modo mempunyai makna dan nilai yang baik yaitu berupa
doa untuk kebaikan, dijauhkan dari mara bahaya, serta nasihat agar manusia yang
baik dan tangguh dalam menjalani kehidupan setelah berumah tangga. Hal ini yang
perlu senantiasa disampaikan kepada generasi penerus agar nilai ritual mandi
temanten di Sendang Modo dapat menjadi sumber ketahanan budaya.
Kesimpulan
Hasil penelitian
dan pembahasan mengenai pelaksanaan ritual mandi temanten di Sendang Modo
Kandangsapi Jenar Sragen dapat disimpulkan sebagai berikut: Pelaksanaan ritual
melibatkan serangkaian aktivitas sebelum, selama, dan setelah ritual, termasuk
pemakaian uborampe dengan makna dan nilai tertentu. Uborampe yang digunakan
mencakup berbagai elemen seperti kembang, menyan, bawang, dan lainnya, masing-masing
dengan makna filosofis yang mengandung pesan untuk calon temanten. Nilai-nilai
yang terkandung dalam ritual tersebut mencakup norma kesopanan, hati-hati,
menjaga nama baik, dan keberanian, yang masih diyakini dan perlu dilestarikan.
Implikasi dari kajian ini adalah potensi kehilangan tradisi turun temurun
karena pengaruh pengetahuan dan teknologi serta budaya asing. Jika tidak ada
kajian lanjutan, pemahaman terhadap makna dan nilai adiluhung dalam ritual ini
dapat berkurang, mengakibatkan kurangnya pemanfaatan budaya lokal sebagai
sumber ketahanan budaya. Saran yang dapat diberikan mencakup perlunya guru
menyampaikan makna dan nilai simbolik ritual kepada siswa, masyarakat perlu
melestarikan tradisi ini, dan penelitian selanjutnya dapat mengembangkan aspek
kearifan lokal dalam tradisi tersebut.
BIBLIOGRAFI
Aksan, E. F. (2022). Kajian Nilai-nilai
Budaya dalam Prosesi Temu Temanten Adat Jawa di Kabupaten Kediri. E-Jurnal,
1(1), 12–23.
Ambarwati, A. P. A., & Mustika, I. L.
(2018). Pernikahan Adat Jawa Sebagai Salah Satu Kekuatan Budaya Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Ilmu Pengetahuan Sosial (SENASBASA), 2(2).
Aziz, T., Khoiri, A. (2021). Makna
Filosofis Uborampe dan Prosesi Temu Temanten di Jawa. Spiritualis, Jurnal
Pemikiran Islam Dan Tasawuf, 7(2), 155–171.
Ciptaningrum, A. N., Arzan, A. B., Fadia,
A. N., & Wirmaningsih, D. (2022). Etnobotani Tanaman Pada Ritual Kematian
di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ( Ethnobotany of Death Rituals
Plants in Setu Babakan Betawi Cultural Village ). 126–138.
Creswell, J. W. (2014). Penelitian
Kualitatif&Desain Riset (S. Z. Qudsy (ed.); 3rd ed.).
Derung, T. N. (2017). Interaksionisme
Simbolik Dalam Kehidupan Bermasyarakat. SAPA - Jurnal Kateketik Dan Pastoral,
2(1), 118–131. https://doi.org/10.53544/sapa.v2i1.33
Diah Triani, Suntoro, I., & Yanzi, H.
(2018). Central Java Customary Marriage ( Descriptive Study. Jurnal FKIP Unila,
3(5).
Habibi, R. K., & Kusdarini, E. (2020).
Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Melestarikan radisi Pernikahan Pepadun di Lampung Utara.
Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(1), 60.
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020
Hafid, A., & Raodah. (2019). Makna
Simbolik Tradisi Ritual Massorong Lopi-Lopi Oleh Masyarakat Mandar Di Tapango,
Kabupaten Polman, Provinsi Sulawesi Barat. WALASUJI, 10(1), 33–46.
Hanif, M. (2017). Kesenian Ledug Kabupaten
Magetan (Studi Nilai Simbolik Dan Sumber Ketahanan Budaya) Folk Art “ Ledug ”
Originated from Magetan Regency ( A Study of Symbolic Values and Sources of
Culture Protection ). 2, 79– 90.
Hasbullah, A. R., Ahid, N., &
Sutrisno. (2022). Penerapan Teori Interaksi Simbolik dan Perubahan Sosial di
Era Digital. At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam Dan Mu’amalah, 10, 633–634.
Irmawati, W. (2013). Makna Simbolik
Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa. Walisongo, 21(2), 309–330.
Ismadi, H. D. (2014). Ketahanan Budaya
Pemikiran dan Wacana. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan.
Kusalanana, S., Metta Puspita Dewi, &
Marjianto. (2020). Makna Simbolik Ritual Selamatan Methik Pari Dalam Pandangan
Agama Buddha Di Desa Gembongan Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar. Sabbhata
Yatra: Jurnal Pariwisata Dan Budaya, 1(1), 32–44.
https://doi.org/10.53565/sabbhatayatra.v1i1.149
Marverial, A. P., Astuti, H., &
Meilina, M. (2019). Makna Simbol Pada Ritual Siraman Pernikahan Adat Jawa
Tengah. Jurnal Komunikasi Mahasiswa, 1(1).
Maulana, D. (2017). Prosesi Upacara
Siraman Pengantin Adat Jawa Di Kota Semarang (Kajian Etnolinguistik).
Universitas Negeri Semarang.
Miles, M. B., & Huberman, M. (1992).
Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia.
Nurjannah, R. (2013). Makna Simbolik Yang
Terdapat Pada Kesenian Tradisional Bokoran Dalam Upacara Adat Mitoni Di Desa Sidanegara Kecamatan Kaligondang Kabupaten
Purbalingga. Universitas Negeri Yogyakarta.
Parera, M. M. A. E., & Marzuki.
(2020). Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Membangun Kerukunan Umat Beragama Di
Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya,
22(01), 38–47.
Pramanik, N. D., Dienaputra, R. D.,
Wikagoe, B., & Adji, M. (2021). Makna Simbolik dan Nilai-Nilai yang
Terkandung dalam Seni Pakemplung di Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur. Panggung, 31(1), 74–92.
https://doi.org/10.26742/panggung.v31i1.1273
Pratama, B. A., & Wahyuningsih, N.
(2018). Pernikahan Adat Jawa Di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat, Kabupaten
Klaten. Haluan Sastra Budaya, 2(1), 19. https://doi.org/10.20961/hsb.v2i1.19604
Putro, F.B.C., Hanif, M. (2023).
Nilai-nilai Sosial Pendidikan Tradisi Mantu Bubak dalam Pernikahan Adat Jawa di
Desa Gunungan. Wewarah Jurnal Pendidikan Multidisipliner, 2(1), 21–27.
Ramadani, U., Daeng, K., & M, A.
(2022). Bentuk Dan Makna Simbolik Tradisi Adat Kalomba Pada Kajang Luar (Teori
Semiotika Peirce). PANRITA: Jurnal Bahasa Dan Sastra Daerah Serta
Pembelajarannya, 3(2), 33–40.
Rumahuru, Y. Z. (2018). Ritual Sebagai
Media Konstruksi Identitas : Suatu Perspektif Teoretisi. Dialektika: Jurnal
Pemikiran Islam Dan Ilmu Sosial, 11(01), 22–30.
Sa’diyah, F. S. (2020). Upacara Pernikahan
Adat Jawa (Kajian Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Pernikahan Adat Jawa di
Desa Jatirembe Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik). AL-THIQAH: Jurnal Ilmu
Keislaman, 3(02), 171–190.
Saragi, D. (2018). Pengembangan Tekstil
Berbasis Motif dan Nilai Filosofis Ornamen Tradisional Sumatra Utara. Panggung, 28(2).
https://doi.org/10.26742/panggung.v28i2.445
Sholihah, A., Sholiha, R., Safiro, E.,
Khasanah, U., Khafida, Z. L., & Syarochil, A. I. (2022). Makna Leksikal dan
Kultural Ubo Rampe Pernikahan Adat Kemanten Malang Keputren: Kajian
Antropolinguistik. Jurnal Iswara : Jurnal Kajian Bahasa, Budaya, Dan Sastra
Indonesia, 2(2), 13–25.
Siregar, N. S. S. (2016). Kajian Tentang
Interaksionisme Simbolik. Perspektif, 1(2), 100–110.
https://doi.org/10.31289/perspektif.v1i2.86
Subandi, A. (2018). Nilai Spiritual Tradisi
Temu Temanten Adat Jawa dalam Perspektif Masyarakat Buddhis. Jurnal Pendidikan,
Sains, Sosial, Dan Agama, 4(1), 43–55.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif & RND.
Suharsaputra, U. (2012). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, Tindakan. Refika Aditama.
Sujarweni, V. W. (2014). Metodologi
Penelitian. Pustaka Baru Press.
Utami, D. P., Melliani, D., Maolana, F.
N., Marliyanti, F., & Hidayat, A. (2021). Iklim Organisasi Kelurahan Dalam
Perspektif Ekologi. Jurnal Inovasi Penelitian (JIP), 1(12), 2735–2742.
Wardani, L. K. (2010). Fungsi , Makna dan
Simbol ( Sebuah Kajian Teoritik ) Ruang Dalam Arsitektur-Interior. Fungsi,
Makna Dan Simbol (Sebuah Kajian Teoritik), 1–10.
Wirawan. (2012). Teori-Teori Sosial Dalam
Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial dan Perilaku Sosial). Kencana
Prenada Media Group.
Copyright holder: R.
Sri Wahyuni, Parji, Muhammad Hanif (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |