Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 1, Januari 2024

 

MAKNA SIMBOLIK UBORAMPE RITUAL TEMANTEN MANDI DI SENDANG MODO KANDANGSAPI JENAR SRAGEN  DAN POTENSINYA SEBAGAI SUMBER KETAHANAN BUDAYA

 

R. Sri Wahyuni1*, Parji2, Muhammad Hanif3

1*,2,3 Program Studi Magister Pendidikan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Pascasarjana, Universitas Pgri Madiun, Indonesia

Email: 1*[email protected], 2[email protected], 3[email protected]

 

Abstrak

Salah satu unsur budaya adalah sistem keagamaan. Sistem agama adalah bentuk penyerahan manusia terhadap ketidakberdayaan menghadapi segala sesuatu yang tidak dapat mereka tangani. Oleh karena itu, manusia selalu menjaga hubungan emosional dengan kekuatan gaib. Hubungan antara manusia dan kekuatan gaib umumnya diwujudkan dalam berbagai bentuk ritual, seperti ritual transisi. Ritual transisi memiliki makna ganda, religius dan sosial. Makna religius adalah "simbol untuk komunikasi," sedangkan makna sosial dimanifestasikan sebagai "ritus intensifikasi" dan regenerasi semangat hidup yang dibutuhkan pada interval tertentu secara berulang. Salah satu tahap transisi dalam masyarakat Indonesia, pada umumnya, dan Sragen, khususnya, adalah pernikahan. Ritual pernikahan dalam adat Jawa didahului dengan ritual persiapan, seperti siraman dan midodareni. Namun, di Kandangsapi Jenar, Sragen, ada ritual unik yang disebut "Temanten Mandi di Sendang Modo." Ritual ini menggunakan berbagai "uborampe" (peralatan ritual dan persembahan) sebagai media ritual. Penelitian ini berfokus pada pelaksanaan ritual, jenis-jenis uborampe beserta makna dan nilainya, serta potensi ritual sebagai sumber ketahanan budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan ritual upacara temanten mandi, uborampe, dan potensi ritual tersebut sebagai sumber ketahanan budaya. Manfaat penelitian antara lain pemanfaatan hasil pembelajaran IPAS, meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang makna dan nilai uborampe dalam temanten mandi, serta sebagai acuan penelitian selanjutnya.

Kata Kunci: Makna Simbolik, Uborampe, Ritual Temanten

 

Abstract

One of the cultural elements is the religious system. Religious systems are a form of human surrender to the powerlessness of facing everything that they cannot handle. Therefore, humans always maintain an emotional relationship with supernatural powers. The relationship between humans and supernatural powers is generally manifested in various forms of rituals, such as the ritual of transition. The ritual of transition has a double meaning, religious and social. The religious meaning is "symbols for communication," while the social meaning is manifested as "rite of intensification" and regeneration of the spirit of life needed at certain intervals repeatedly. One of the transition stages in Indonesian society, in general, and Sragen, in particular, is marriage. The marriage ritual in Javanese customs is preceded by a preparation ritual, such as siraman and midodareni. However, in Kandangsapi Jenar, Sragen, there is a unique ritual called "Temanten Mandi di Sendang Modo." This ritual uses various "uborampe" (ritual equipment and offerings) as a ritual medium. The research focuses on the implementation of the ritual, the types of uborampe and their meanings and values, as well as the potential of the ritual as a source of cultural resilience. The research aims to describe and explain the ceremonial ritual of temanten mandi, uborampe, and the potential of the ritual as a source of cultural resilience. The benefits of the research include the utilization of the results for IPAS learning, increasing public knowledge about the meaning and value of uborampe in temanten mandi, and as a reference for further research.

Keyword: Symbolic Meaning, Uborampe, Temanten Ritual

 

Pendahuluan

Kehidupan di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 semakin yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi. Pada era ini, masyarakat diharapkan mampu menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era revolusi industri 4.0 untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Manusia kian bersentuhan dengan teknologi komputer super, digitalisasi, dan kecerdasan buatan atau intelegensi artifisial. Jika masyarakat bangsa tidak memiliki kemampuan menyeleksi dan kesadaran terhadap kebudayaan yang telah dimilikinya (ketahanan budaya), maka kebudayaan lokal atau nasional sebagai identitas dan jati dirinya lambat laun akan pudar. Sebaliknya, jika masyarakat bangsa memiliki ketahanan budaya maka budaya luar yang relevan dapat dijadikan sebagai unsur penggerak menuju kebudayaan yang lebih maju, baik, dan modern (Hanif, M., Hartono, Y., dan Wibowo, 2019a) (Hanif, M., Hartono, Y., dan Wibowo, 2019b). Kebudayaan tumbuh dan berkembang sejalan dengan dinamika masyarakat pendukung. Kebudayaan memiliki cakupan yang sangat luas dan untuk memudahkan dalam memamahinya dikelompokkan ke dalam tujuh unsur kebudayaan. Salah satu unsur kebudayaan tersebut yaitu sistem religi (Koentjaraningrat, 2009).

Sistem religi merupakan bentuk rasa pasrah manusia atas ketidakberdayaan menghadapi segala sesuatu yang tidak mampu dihadapinya (Parera, M.M.A.E., dan Marzuki, 2020). Oleh sebab itulah, manusia senantiasa memelihara hubungan emosional dengan kekuatan-kekuatan gaib. Hubungan manusia dengan kekuatan gaib pada umumnya diwujudkan dalam berbagai bentuk ritual, yakni aktifitas dan ekspresi dari sistem keyakinan sebagai bagian dari tahapan upacara yang bersifat sakral (Rumahru, 2018). Ritual yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia yakni ritus peralihan.

Ritus peralihan (rite of crisis, rite of passage) sebagai fenomena budaya bermakna ganda yaitu religius dan sosial. Makna religius sebagai “symbols for communication” sedangkan makna sosial mewujud sebagai “rite of intensification” dan regenerasi semangat kehidupan yang dibutuhkan dalam interval tertentu secara berulang. Setiap masyarakat dalam kehidupan secara individu maupun kolektif terbagi oleh sistem sosial budayanya ke dalam tahapan-tahapan tertentu. Peralihan dari satu tahapan ke tahapan yang lebih luas diadakan ritus karena adanya kepercayaan peralihan sebagai suatu krisis (Habibi, R.K., Kusdarini, 2020). Salah satu tahap peralihan pada masyarakat Indonesia pada umumnya dan Sragen pada khususnya yaitu perkawinan.

Ritual dan ritus perkawinan atau pernikahan pada hakikatnya upacara-upacara perkawinan sebagai simbol persatuan suami dan istri. Ritual perkawinan dalam adat Jawa sebelum ritual temu atau “panggih temanten” ada ritual persiapan. Ritual yang dilakukan sebelum temu temanten oleh masyarakat dilakukan dengan untuk menyiapkan sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan perkawinan, sifat-sifat upacara akan terlihat sungguh-sungguh sebelum berlangsungnya perkawinan, seperti siraman dan midodareni. Sebelum perkawinan harus melakukan persiapan-persiapan sekitar empat puluh hari, calon pengantin wanita akan dipingit atau disengker, berarti dilarang bepergian, apalagi menemui calon pengantin laki-laki. Ia juga harus menjalankan puasa dengan makanan yang berlemak. Namun di daerah Kandangsapi Jenar Sragen Jawa Tengah ada yang berbeda dan unik. Masyarakat Kandangsapi selain melaksanakan ritual seperti yang dilakukan masyarakat Jawa pada umumnya juga melaksanakan ritual “Temanten Mandi di Sedang Modo”.

Ritual temanten mandi di Sendang Modo Kandangsapi sudah dilakukan oleh para pendahulunya dan membudaya hingga saat ini. Dalam ritual terbut menggunakan berbagai “uborampe” (perlengkapan dan sesaji) sebagai sarana ritual. Namun dari penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, peneliti mendapatkan temuan bahwa tidak sedikit masyarakat yang memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam ritual. Mereka melaksanakan mandi di Sendang Modo hanya sebatas menggugurkan kewajibannya terhadap adat istiadat. Padahal ritual temanten mandi di sendang ini sudah membudaya, terdapat simbol-simbol, dan sudah barang tentu ada nilai-nilai yang baik. Nilai budaya tersebut menurut (Kluckhohn, 1991) direkonstruksi ke dalam suatu sistem nilai kehidupan umat manusia dan dijadikan rujukan dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. (Fitriana, 2019) menyampaikan bahwa nilai-nilai kesenian tersebut bila ditransformasikan dengan baik dan dijadikan rujukan maka ketahanan budayanya semakin meningkat. Oleh karena itu penelitian ini perlu dan penting dilaksanakan agar hasilnya dapat dijadikan sumber penyadaran bagi masyarakat dalam menyikapi dinamika jaman yang serba cepat dengan infiltrasi budaya dari luar yang begitu kuat.

Penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan ritual mandi temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen, dengan penjelasan mengenai uborampe yang digunakan beserta makna dan nilainya, serta potensi nilai-nilai ritual tersebut sebagai sumber membangun ketahanan budaya. Rumusan masalah melibatkan pertanyaan mengenai pelaksanaan ritual, jenis uborampe dan makna-nilainya, serta potensi sebagai pembangun ketahanan budaya. Tujuan penelitian mencakup deskripsi dan penjelasan mengenai ceremonial ritual temanten mandi, uborampe, dan potensi ritual sebagai sumber ketahanan budaya. Manfaat penelitian melibatkan pemanfaatan hasil bagi guru dalam pembelajaran IPAS, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang makna dan nilai uborampe temanten mandi, serta sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya. Definisi istilah yang digunakan meliputi uborampe sebagai perlengkapan ritual, makna uborampe sebagai responsi dan stimulus, serta nilai uborampe sebagai kesepakatan masyarakat terkait kebiasaan ritual temanten mandi di Sendang Modo.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sendang Modo Desa Kadangsapi Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen, dengan batasan berbatas dengan Desa Banyuurip (utara), Desa Mantingan (timur), Kecamatan Sambung Macan (selatan), dan Desa Dawung (barat). Pemilihan lokasi ini didasarkan pada ketertarikan peneliti dan belum pernah diteliti sebelumnya. Lokasi yang strategis dan mudah dijangkau juga menjadi pertimbangan. Waktu penelitian berlangsung dari Maret hingga Juli 2023, sesuai dengan agenda mata kuliah dan keinginan penulis untuk melanjutkan penelitian ini hingga tahap tesis. Jadwal penelitian melibatkan tahap persiapan, pengambilan dan analisis data, serta penyelesaian, dengan aktivitas seperti pengajuan judul, penyusunan proposal, seminar proposal, pengambilan data, analisis data, penyusunan laporan, dan ujian tesis.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pendekatan etnografis untuk menjelaskan ceremonial ritual temanten mandi, uborampe ritual, dan potensi ritual sebagai sumber ketahanan budaya. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan fokus pada permasalahan seputar ritual dan uborampe temanten mandi di Sendang Modo Desa Kadangsapi. Sumber data terdiri dari data primer (wawancara dengan narasumber seperti juru kunci Sendang Modo, pemimpin ritual, peracik uborampe, dan Ketua RT) dan data sekunder (arsip, dokumen, buku, jurnal, internet).

Instrumen pengambilan data melibatkan peneliti sebagai instrumen utama, pedoman wawancara terstruktur, alat rekam, dan format dokumen. Teknik pengumpulan data mencakup wawancara, observasi nonpartisipasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model Miles and Huberman dengan tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Keabsahan data diuji melalui triangulasi sumber, waktu, dan teknik. Tahap penelitian melibatkan persiapan, pelaksanaan, analisis data, dan penyelesaian, dengan teknik keabsahan data menggunakan triangulasi. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam tentang makna dan nilai-nilai budaya dalam ritual temanten mandi di Sendang Modo.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Tinjauan Singkat Desa Kandangsapi Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen

Desa Kandangsapi Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen secara geografis terletak pada 7o 15 Lintang Selatan dan 7o 30 Lintang Selatan 110o 45 Bujur Timur dan 111o 10 Bujur Timur. Luas wilayah desa Kandangsapi adalah 9,70 Km2 dengan ketinggian rata-rata 109 mdpl.

Batas wilayah Desa Kandangsapi Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

1.     Sebelah utara berbatasan dengan Desa Banyuurip

2.     Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Desa Mantingan

3.     Sebelah Selatan berbatasan langsung dengan Kecamatan Sambung Macan

4.     Sebelah Barat berbatasan langsung dengan Desa Dawung.

Desa Kandangsapi secara historis diawali dengan adanya perang Mangkubumen pada dekade 1746 – 1757 M. Kandangsapi sendiri memiliki arti tempat sapi. Sapi pada jaman dahulu dikenal sebagai simbol perjuangan. Jadi Kandangsapi diartikan sebagai tempat perjuangan.

Secara struktur pemerintahan, Desa Kandangsapi terdiri dari 7 RW dan 33 RT. Pertanian dan hortikulturan yang dikembangkan warga desa Kandangsapi adalah Tebu dan Jagung. Usaha di bidang peternakan sebagian besar yang dikelola warga adalah peternakan ayam, sedangkan pada sektor perkebunan buah-buahan, desa Kandangsapi mempunyai komoditi yaitu buah Nangka dan Pepaya.

Kependudukan/demografi Desa Kandangsapi Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen dapat dilihat pada tabel berikut:

 

 

 

Tabel 1. Data Penduduk Desa Kandangsapi Per Bulan Mei 2023

Nomor

Uraian

Jumlah

L

P

1

Penduduk awal bulan ini

2.664

2.554

2

Kelahiran bulan ini

2

4

3

Kematian bulan ini

4

0

4

Datang bulan ini

2

1

5

Pindah bulan ini

5

1

6

Jumlah akhir bulan ini

2.659

2.558

Sumber: Arsip Kantor Desa Kandangsapi

B.    Temuan Penelitian

Mendasar pada hasil penelitian di atas dapat dideskripsikan beberapa hal terkait Sendang Modo sebagai berikut:

1.     Pelaksanaan ritual mandi temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen.

a.     Sebelum ritual mandi temanten di Sendang Modo

1)    Mempersiapkan uborampe yang akan digunakan untuk ritual. Bahan untuk oborampe disiapkan oleh keluarga, sedangkan yang meracik adalah I2 selaku pemimpin ritual dibantu I3 agar uborampe benar-benar lengkap.

2)    Temanten melaksanakan pamitan kepada kedua orang tua

3)    Juru kunci membersihkan sendang sehari sebelum ritual dilaksanakan.

b.     Aktivitas pelaksanaan ritual di Sendang Modo

1)    Menata dan meletakkan uborampe di sebelah sendang. Diatur oleh I1 selaku juru kunci sendang.

2)    I2 selaku pemimpin ritual memulai acara memandikan pengantin.

3)    Pengantin duduk bersimpuh menghadap sendang.

4)    I2 membakar dupa untuk meminta ijin melaksanakan ritual

5)    I2 memandikan calon temanten dengan menggunakan kelapa yang telah dibelah menjadi dua

6)    Calon manten mandi sendiri dengan menggunakan gayung biasa

7)    Calon temanten ganti baju

8)    Pemimpin ritual mengusap kembang di ubun ubun ke kedua calon temanten

9)    Pemimpin ritual membakar dua batang rokok dan ditiupkan ke wajah kedua calon temanten

10) Kedua calon temanten menggendong bungkusan daun pisang

11) Ritual selesai dan pulang ke rumah

c.     Aktivitas meninggalkan tempat ritual Sendang Modo

a.     Sesampai dirumah kedua calon temanten disambut kedua orang tua dan disawur dengan beras kuning yang dicampur dengan uang koin

b.     Diguyur air kendi diatas payung yang dipakai

c.     Diagak agak (seakan-akan disapu, tetapi tidak kena) sapu lidi

d.     Kedua calon temanten diajak masuk kerumah dengan dikaitkan selendang kebelakang pinggulnya

2.     Uborampe apa saja yang digunakan dan apa makna serta nilainya.

Uborampe yang digunakan pada ritual temanten mandi di Sendang Modo beserta makna serta nilainya adalah seperti pada tabel berikut:

Tabel 2. Uborampe Ritual Temanten Mandi di Sendang Modo

No

Nama Uborampe

Makna

Pra Acara Ritual

1

Kembang

Agar kedua calon temanten akan harum selamanya

2

Menyan

Biar wangi

3

Bawang

Kersane mboten malang megung (biar tidak melintang)

4

Jenang abang atau merah

Kondangke (biar semua orang tahu bila mereka calon temanten)

5

Kambil secuil

Pikirane kudu mikir (punya pikiran harus bisa berfikir

6

Trasi secuil

Mboten nginti nginti (agar makhluk goib yang ada disendang tidak menyertai)

7

Kacang tunggak

Bejane awak bila disakiti orang tidak disimpan dihati

8

Telur ayam jawa

Mugo mugo diberi sehat (mudah mudahan diberi kesehatan

9

Uang koin 500 rupiah

Biar tidak ngetus ati (meskipun uang tinggal 500 rupiah tapi masih punya uang)

Pada Saat Ritual

1

Pisang

Supaya calon penganten menjadi pasangan Raja dan Ratu sehari

2

Nasi Bucu

Meminta kepada yang mbaurekso sendang agar selamat.

3

Ayam Ingkung

Biar ayem, tentram, sehat dan lancar dalam bekerja

4

Jadah

Ben berkah (hidupnya biar berkah)

5

Pondoh

Biar tidak ngondo ngondo

6

Sambel goreng kering

Biar dieling eling (diingat ingat)

7

Mie

Menehi nami utowo jeneng (memberi nama)

8

Opak

Ben ora nerak, kenceng, tenang

9

Krupuk abang

Ben kondang (biar terkenal)

10

Srundeng

Kalau punya anak biar nangis ngengkeng (ndak diam diam)

11

Peyek

Ben ora dienyek (tidak dihina)

12

Tape

Apabila hamil tidak luntur (keguguran)

13

Jenang

Ojo nganti keliru leh nyawang (jangan sampai salah dalam memandang)

14

Sego (nasi)

Mengirim do’a untuk Rosul

15

Kelapa dibelah menjadi dua

Melepas lajang

Sumber: Hasil Olah Data Primer

3.     Potensi nilai-nilai ritual temanten mandi di Sendang Modo tersebut sebagai sumber membangun ketahanan budaya.

Hasil penelitian menemukan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ritual temanten mandi di Sendang Modo adalah sebagai berikut:

a.     Membersihkan diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik merupakan nilai dari ritual temanten mandi di Sendang Modo.

b.     Menjaga norma kesopanan merupakan nilai yang terkandung dari sikap duduk bersimpuh ketika menjalani ceremonial ritual temanten mandi.

c.     Bersikap hati-hati merupakan nilai yang terkandung dalam uborampe Jenang (Ojo nganti keliru leh nyawang)

d.     Menjaga nama baik yang diibaratkan dalam uborampe kembang

e.     Tangguh merupakan nilai yang terkandung dalam uborampe Uang koin 500 rupiah yang bermakna biar tidak ngetus ati (meskipun uang tinggal 500 rupiah tapi masih punya uang).

 

Pembahasan

Interaksi Simbolik adalah suatu faham yang menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu dan antar individu dengan kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah karena komunikasi, suatu kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-masing yang terlibat berlangsung Pinternalisasi atau pembatinan (Siregar, 2016).

Karakter dasar dari teori interaksionisme simbolik adalah hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan masyarakat dengan individu. Interaksi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Simbol-simbol ini meliputi gerak tubuh antara lain; suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh atau bahasa tubuh, yang dilakukan dengan sadar. Hal ini disebut simbol (Derung, 2017). Bentuk paling sederhana dan pokok dalam komunikasi interaksionisme simbolik adalah menggunakan isyarat karena manusia mampu menjadi obyek untuk dirinya sendiri dan melihat tindakan-tindakannya seperti orang lain melihat tindakannya. Dalam komunikasi, manusia juga menggunakan kata-kata atau suara yang mengandung arti dan dipahami bersama dalam masyarakat itu. Komunikasi menggunakan kata-kata atau suara merupakan komunikasi standar dalam relasi dengan sesama. Komunikasi ini merupakan komunikasi simbolik (Derung, 2017). Mendasar pada teori ini dilakukan pembahasan sebagai berikut:

A.    Pelaksanaan Ritual Mandi Temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen

Ritual merupakan tata cara dalam pelaksanaan upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan tujuan tertentu. Ritual telah dijadikan sebagai tradisi oleh masyarakat, termasuk oleh komunitas agama yang memiliki berbagai variasi tujuan. Ritual ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen. Komponen tersebut terdiri atas adanya waktu, tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara (Kusalanana et al, 2020).

Pelaksanaan ritual mandi temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen pada dasarnya hampir sama dengan ritual siraman. Siraman, dari kata siram yang artinya menguyur atau mandi. Banyak sekali ritual mandi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama ketika akan melakukan sebuah upacara budaya. Sepasang pengantin akan melangsungkan ijab qabul sehari sebelumnya juga melakukan upacara siraman (Maulana, 2017). Mandi dalam kehidupan sehari-hari dilakukan agar orang menjadi bersih badannya, segala kotoran yang melekat di badan akan hilang tersapu air dan sabun. Akan tetapi hakikat dari mandi (siraman) dalam upacara pengantin adat Jawa tidak hanya sekedar membersihkan wadag badan tetapi juga membersihkan jiwa. Membersihkan diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa ritual mandi temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen terdiri dari tiga tahap sebagai berikut:

1.     Sebelum ritual mandi temanten di Sendang Modo

a.     Mempersiapkan uborampe yang akan digunakan untuk ritual.

Bahan untuk oborampe disiapkan oleh keluarga, sedangkan yang meracik adalah I2 selaku pemimpin ritual dibantu I3 agar uborampe benar-benar lengkap.

b.     Temanten melaksanakan pamitan kepada kedua orang tua

Pamitan melaksanakan ritual pamitan kepada kedua orang tua sebagai simbol komunikasi simbolik memohon restu dalam menjalani ritual. Tahun boleh berganti, zaman boleh berubah, tetapi jangan pernah melupakan restu dan doa orang tua agar segala kegiatan yang dilakukan dapat berjalan lancar. Adat jawa selalu mengajarkan untuk meminta restu kepada orang tua. Terlebih pada kegiatan yang mempunyai arti penting dalam kehidupan seperti mandi temanten sebelum melaksanakan pernikahan.

c.     Juru kunci membersihkan sendang sehari sebelum ritual dilaksanakan.

Kegiatan ini merupakan tradisi untuk mempersiapkan ritual yang akan dilaksanakan. Salah satu tugas juru kunci sendang Modo adalah membersihkan sendang sehari sebelum ritual temanten mandi. Hal ini dilakukan dengan makna simbolik yaitu setiap kegiatan perlu dilakukan dengan hati yang bersih agar niat yang baik dapat terlaksana dengan baik pula.

2.     Aktivitas pelaksanaan ritual di Sendang Modo

a.     Menata dan meletakkan uborampe di sebelah sendang. Diatur oleh I1 selaku juru kunci sendang.

Sendang merupakan sumber air yang tidak pernah mengalami kekeringan. Kebanyakan sendang di tanah Jawa bersifat sakral serta di hormati. Penataan uborampe di sebelah sendang diatur oleh juru kunci sendang. Dalam adat Jawa terdapat seseorang yang memang mempunyai tugas dan berwenang mengatur berbagai macam kegiatan yang ada pada sendang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat makna simbolik yang tersaji dalam wujud peletakan uborampe di dekat sendang oleh seseorang yang berwenang melakukan kegiatan tersebut.

b.     I2 selaku pemimpin ritual memulai acara memandikan pengantin.

Ritual mandi temanten di Sendang Modo dipimpin oleh tokoh masyarakat yang mempunyai kemampuan dalam menjalankan ritual tersebut. Pemimpin ritual memulai acara dengan melaksanakan interaksi simbolik berupa komunikasi dengan seluruh peserta ritual.

c.     Pengantin duduk bersimpuh menghadap sendang.

Makna simbolik dari kegiatan ini adalah pengantin harus selalu menjaga tata krama dan kesopanan dimanapun berada. Adat Jawa menjunjung tinggi nilai-nilai tata krama dan kesopanan. Hal ini juga dilakukan ketika ritual temanten mandi.

d.     I2 membakar dupa untuk meminta ijin melaksanakan ritual

Kegiatan pemimpin ritual (I2) membakar dupa merupakan wujud komunikasi simbolik. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut mempunyai maksud tertentu yaitu meminta ijin melaksanakan ritual. Komunikasi simbolik yang dilakukan dengan “sing mbaurekso” atau penunggu Sendang Modo dilakukan agar segala aktivitas yang dilakukan di Sendang Modo diberikan keselamatan serta meminta maaf apabila ada kesalahan dalam melaksanakan ritual serta ada kekurangan dalam penyajian uborampe.

e.     I2 memandikan calon temanten dengan menggunakan kelapa yang telah dibelah menjadi dua.

Kegiatan ini jelas menunjukkan adanya alat yang mempunyai makna simbolis yaitu kelapa yang telah dibelah menjadi dua. Masyarakat di sekitar Senang Modo memaknainya sebagai melepas lajang. Jadi mandi temanten yang dilakukan pemimpin ritual menggambarkan restu dari sesepuh setempat kepada calon temanten untuk melepas masa lajang.

f.      Calon manten mandi sendiri dengan menggunakan gayung biasa

Ritual ini mempunyai makna simbolis yaitu calon temanten mensucikan diri sebelum melaksanakan rangkaian acara pernikahan.

g.     Calon temanten ganti baju

Ganti baju menjadi pertanda bahwa calon pengantin sudah selesai mensucikan diri dan siap menjalani rangkaian pernikahan adat Jawa.

h.     Pemimpin ritual mengusap kembang di ubun ubun ke kedua calon temanten

Maksud dari ritual ini adalah untuk membuang sengkolo (mara bahaya). Terdapat gerakan mengusap kembang di ubun-ubun kedua calon temanten menunjukkan terdapat gerakan sebagai bentuk komunikasi simbolis yang dilakukan dalan kegiatan ritual ini.

i.      Pemimpin ritual membakar dua batang rokok dan ditiupkan ke wajah kedua calon temanten

Tahapan ritual membakar dua batang rokok dan ditiupkan ke wajah kedua calon temanten bermaksud nyuwuk (mendo’akan) biar jadi kelurga yang baik dan mendapatkan keturunan yang baik. Hal ini menunjukkan adanya komunikasi simbolis dalam wujud gerakan namun mempunyai arti yang baik.

j.      Kedua calon temanten menggendong bungkusan daun pisang

Kedua calon temanten menggendong bungkusan daun pisang/daun jati yang berisi kepala ayam, ceker dan dompet, kepala ayam maknanya biar sehat terus dan tidak sakit kepala. Ceker bermakna biar bisa mencari rezeki, dompet bermakna untuk menyimpan rezki. Kepala ayam dan ceker dimakan oleh kedua calon temanten di rumah.

k.     Ritual selesai dan pulang ke rumah

Setelah ritual selesai maka calon temanten dan seluruh tamu yang hadir dalam ritual mandi temanten di Sendang Modo pulang ke rumah masing-masing.

3.     Aktivitas meninggalkan tempat ritual Sendang Modo

a.     Sesampai dirumah kedua calon temanten disambut kedua orang tua dan disawur dengan beras kuning yang dicampur dengan uang koin.

Makna dari ritual ini adalah untuk tolak balak agar tidak ada musibah baik selama menjalani prosesi pernikahan maupun setelah menikah nanti. Kedua orang tua temanten memberikan doa tolak balak tersebut melalui kegiatan simbolik berupa disawur beras kuning dicampur uang koin.

b.     Diguyur air kendi di atas payung yang dipakai

Tahapan ritual diguyur air kendi di atas payung yang dipakai ini mempunyai makna agar kedua calon temanten mendapatkan panjang umur, seger kewarasan (kesehatan) dan penak ati (kenyamanan hati) dan rosone (rasa ketentraman).

c.     Diagak agak (seakan-akan disapu, tetapi tidak kena) sapu lidi

Tahapan ritual ini mempunyai maksud agar tidak diontang-anting. Ontang-anting ibarat sehelai daun yang tersapu angin ke kanan dan ke kiri. Maksudnya, dalam sehelai daun itu nggak ada daun lain yang menghalangi atau yang ikut tersapu angin juga. Dengan demikian makna dari diagak-agak (seakan-akan disapu, tetapi tidak kena) sapu lidi ini adalah agar calon pengantin tidak mudah mendapatkan pengaruh buruk dan selalu mendapat pertolongan serta dapat bekerja sama dengan orang lain dalam kebaikan.

d.     Kedua calon temanten diajak masuk kerumah dengan dikaitkan selendang kebelakang pinggulnya.

Kedua calon temanten diajak masuk ke dalam rumah oleh kedua orang tuanya dengan dikaitkan selendang ke belakang pinggulnya dimana ujung selendang tersebut dipegang ayahnya dan ibunya mendorong dari belakang. Arti dari tahapan ritual ini adalah orangtua berharap kedua calon mempelai selalu rukun dan hubungannya erat satu sama lain. Ini juga sebagai tanda bahwa kedua calon pengantin telah siap dipersatukan oleh ayah pengantin perempuan.

Temuan penelitian di atas menunjukkan bahwa dalam melaksanakan ritual mandi temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen terdapat beberapa tahap yang harus dilalui. Masing-masing tahap harus dilaksanakan sesuai dengan petunjuk pemimpin ritual karena mempunyai makna simbolik dari setiap tahapan kegiatan yang dilakukan. teori interaksi simbolik dikatakan bahwasanya suatu hubungan yang terjadi antara individu dengan masyarakat maupun sebaliknya yang terjadi secara alami. Interaksi yang terjadi antar individu akan berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Dan interaksi yang mereka lakukan secara sadar. Interaksi simbolik berkaitan dengan gerak tubuh seperti suara, gerak fisik, ekspresi tubuh, selain itu juga ada bahasa, tulisan, kata-kata dan lainnya yang semua memiliki maksud, inilah yang disebut dengan simbol  (Wirawan, 2012).

B.    Uborampe yang Digunakan dalam Ritual Beserta Makna dan Nilainya

Nilai-nilai yang terkandung pada uborampe ritual temanten mandi di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen dilestarikan dan dijadikan sebagai sumber kesadaran dalam kaitannya dengan  hubungan dengan kebudayaan lain. Artinya ketika masyarakat Kandangsapi Jenar Sragen berinteraksi dengan budaya lain, ini sebagai sumber kesadaran mereka. Sumber kesadaran dijadikan sebagai alat untuk menyaring nilai-nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan yang mereka yakini mempunyai nilai adiluhung atau keutamaan. Oleh karena itu nilai-nilai yang ada pada uborampe menjadi ketahanan budaya mereka. Ketahanan budaya ini diartikan sebagai kesadaran masyarakat untuk tidak digantikan dengan budaya lain. Dengan kata lain, masyarakat Kandangsapi tidak anti budaya asing. Mereka menyadari menerima budaya asing yang sesuai untuk dijadikan sebagai dorongan untuk memoderenisasi tata kehidupan mereka.

Dari referensi tentang masalah faktor-faktor yang menentukan lestari atau tidaknya sebuah kebudayaan, karena mati hidupnya kebudayaan itu tergantung pada para pendukung kebudayaan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Koentjaraningrat (2009) bahwa kesenian tradisional mengandung nilai-nilai luhur yang ditujukan untuk menuntun masyarakat agar menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya, sehingga generasi penerus bangsa yang baik untuk mewujudkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Budaya bisa lestari jika terdapat nilai yang mereka anggap masih sesuai dan mereka dukung. Nilai-nilai tersebut mengandung keutamaan atau adiluhung. Menurut keterangan dari narasumber penelitian uborampe yang digunakan pada ritual temanten mandi di Sendang Modo beserta makna serta nilainya adalah seperti pada tabel berikut:

Tabel 3. Uborampe Ritual Temanten Mandi di Sendang Modo

No

Nama Uborampe

Makna dan Nilai

Pra Acara Ritual

1

Kembang

Agar kedua calon temanten akan harum selamanya

2

Menyan

Biar wangi

3

Bawang

Kersane mboten malang megung (biar tidak melintang)

4

Jenang abang atau merah

Kondangke (biar semua orang tahu bila mereka calon temanten)

5

Kambil secuil

Pikirane kudu mikir (punya pikiran harus bisa berfikir

6

Trasi secuil

Mboten nginti nginti (agar makhluk goib yang ada disendang tidak menyertai)

7

Kacang tunggak

Bejane awak bila disakiti orang tidak disimpan dihati

8

Telur ayam jawa

Mugo mugo diberi sehat (mudah mudahan diberi kesehatan

9

Uang koin 500 rupiah

Biar tidak ngetus ati (meskipun uang tinggal 500 rupiah tapi masih punya uang)

Pada Saat Ritual

1

Pisang

Supaya calon penganten menjadi pasangan Raja dan Ratu sehari

2

Nasi Bucu

Meminta kepada yang mbaurekso sendang agar selamat.

3

Ayam Ingkung

Biar ayem, tentram, sehat dan lancar dalam bekerja

4

Jadah

Ben berkah (hidupnya biar berkah)

5

Pondoh

Biar tidak ngondo ngondo

6

Sambel goreng kering

Biar dieling eling (diingat ingat)

7

Mie

Menehi nami utowo jeneng (memberi nama)

8

Opak

Ben ora nerak, kenceng, tenang

9

Krupuk abang

Ben kondang (biar terkenal)

10

Srundeng

Kalau punya anak biar nangis ngengkeng (ndak diam diam)

11

Peyek

Ben ora dienyek (tidak dihina)

12

Tape

Apabila hamil tidak luntur (keguguran)

13

Jenang

Ojo nganti keliru leh nyawang (jangan sampai salah dalam memandang)

14

Sego (nasi)

Mengirim do’a untuk Rosul

15

Kelapa dibelah menjadi dua

Melepas lajang

Sumber: Hasil Olah Data Primer

Nilai-nilai tersebut ternyata mempredisposisi sikap, tindakan dan perilaku masyarakat. Masyarakat memiliki kesadaran terhadap nilai-nilai yang dimiliki untuk menyaring dari budaya lain. Oleh karena itu nilai-nilai yang sebagaimana di bahas di atas dapat dijadikan sebagai sumber untuk membangun ketahanan budaya masyarakat dalam kontek kehidupan di era globalisasi atau ketika derasnya arus informasi budaya dari luar.

Hasil penelitian di atas menunjukkan ada makna simbolik pada setiap uborampe yang digunakan pada ritual temanten mandi di Sendang Modo. Makna dan nilai simbolik tersebut dijelaskan oleh pemimpin ritual, sehingga dapat digunakan sebagai perlengkapan yang mendukung pelaksanaan ritual. Makna-makna yang terkandung dalam uborampe ritual temanten mandi di Sendang Modo semuanya berupa doa untuk kebaikan, dijauhkan dari mara bahaya, serta nasihat agar manusia yang baik dan tangguh dalam menjalani kehidupan setelah berumah tangga.  

Penekanan yang utama adalah pada makna simbolis, bentuk simbolis ini merupakan ungkapan perasaan yang dalam. Lahirnya bentuk-bentuk simbolis ini adalah manifestasi religius dari suatu masyarakat, tetapi makna simbolis yang dikandungnya mungkin berbeda dengan masyarakat lainnya (Saragi, 2018). Makna simbolik adalah pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk yang menandai sesuatu yang lain diluar perwujudan bentuk symbol itu sendiri. Simbol dapat dianggap sebagai bagian dari lambang, meskipun tidak semua lambang dapat dibedakan dalam pengertian tertentu (Ramadani et al., 2022).

C.    Potensi Nilai-Nilai Ritual Temanten Mandi di Sendang Modo Sebagai Sumber Membangun Ketahanan Budaya

Ketahanan budaya dapat mengarahkan, dan mengembangkan lambang-lambang yang semula telah ada untuk disalurkan kembali pada pembentukan nilai-nilai dan bentuk-bentuk perilaku yang wujud dalam kebudayaan. Hal itu berarti, ketahanan budaya dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri terhadap situasi-situasi luaran tanpa banyak merusak kebudayaan yang telah menjadi tatanan kehidupannya (Ismadi, 2014). Ketahanan budaya pada dasarnya adalah upaya pelestariannya dan pengembangannya secara dinamis dengan upaya-upaya yang lebih khusus. Upaya lebih khusus pelestarian ritual adat merupakan tindakan yang lebih diorientasikan untuk meningkatkan “nilai-tambah sosial-kultural”, yaitu nilai-tambah kemartabatan, nilai-tambah kebanggaan, nilai-tambah jati-diri dan nilai-tambah akal-budi serta budi pekerti (Hanif, 2017).

Dalam kedudukannya sebagai agen, kebudayaan akan disesuaikan dengan pilihan-pilihan budaya yang sedang berkembang, dan sekaligus dapat memberi bentuk dan identitas kepada pendukung kebudayaan secara berterusan, tanpa banyak menghilangkan ciri-ciri khas dari kebudayaan mereka sendiri, seperti pengungkapan bahasa, penghayatan atas agama dan kesenian, asas-asas keluarga dan kekeluargaan atau sistem kemasyarakatannya (Ismadi, 2014).

Sistem kemasyarakatan acap kali menjadi wujud dengan kuat untuk mewarnai ketentuan-ketentuan dasar keluarga dan kehidupan kekeluargaan. Oleh karena itu, melalui asas ketahanan budaya serupa itulah suatu kebudayaan memperlihatkan wujudnya yang berbeda dengan kebudayaan lainnya. Itu artinya, dengan mengamalkan asas-asas ketahanan budaya seperti dalam kehidupan kesehariannya, pelaku dari kebudayaan itu sekaligus dapat mempertahankan identitas kebudayaannya. Atau sebaliknya, manakala mereka mengabaikan salah satu dari asas-asas dari ketahanan kebudayaan itu, boleh jadi dapat menimbulkan resiko besar terhadap identitas kebudayaan dari suku bangsa itu menjadi tererosi keteguhannya (Ismadi, 2014).

Mendasar pada temuan penelitian pada BAB sebelumnya diketahui bahwa ritual temanten mandi di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen masih dilestarikan. Sebagaimana pada umumnya namanya kebudayaan, kebudayaan itu akan mati atau sebaliknya lestari tergantung pada para pendukungnya. Dengan kata lain namanya kebudayaan bisa bertahan atau tidak tergantung pendukung kebudayaan. Pendukung kebudayaan melestarikan sesuatu termasuk apa yang terjadi di desa Kandangsapi karena persepsi mereka bahwa ritual tersebut mengandung nilai. Nilai adalah sesuatu yang sangat berharga yang mengandung konsepsi-konsepsi tentang hidup, sehingga mempredisposisi tindakan dan perilaku masyarakat. Nilai-nilai itu sebagaimana yang dicermin dari ritual temanten mandi di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen. Hasil penelitian menemukan ritual temanten mandi dan uborampenya mengandung nilai simbolik sebagai berikut:

1.     Membersihkan diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik merupakan nilai dari ritual temanten mandi di Sendang Modo.

Ritual mandi temanten di sendang Modo mempunyai nilai membersihkan diri dari noda dan dosa serta sifat-sifat yang kurang baik.  Tujuan diadakannya siraman dalam rangka memohon berkah dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa agar calon pengantin dibersihkan dari segala godaan dan pengaruh buruk, sehingga dapat melaksanakan upacara hingga selesai dengan lancar dan selamat. Selain itu, calon pengantin juga selamat dalam membangun rumah tangga dan dapat mencapai tujuan pekawinan. Hal ini sesuai dengan filsafat Jawa yang berdasarkan pada tiga aras yaitu atas dasar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Atas dasar ber-Tuhan menyatakan adanya Tuhan yang Murbeng Dumadi (Penguasa Alam Semesta). Di dalam siraman pun aras filosofi dasar ber Tuhan ini muncul yaitu bahwa Tuhan sebagai tempat memohon berkah, segala sesuatu berasal dari-Nya sehingga konsep permohonan inipun dilakukan. Tuhan sebagai tempat seluruh permintaan manusia terutama berkah keselamatan dan kelancaran dalam kehidupan (Irmawati, 2013).

Prosesi siraman itu sendiri sesungguhnya merupakan media yang bertujuan untuk memohon keselamatan atas segala bahaya ataupun rintangan yang kemungkinan bisa mencelakakan calon pengantin. Pelaku budaya (masyarakat Jawa) menyakini bahwa jika berbaik dengan alam semesta dan melibatkannya dalam suatu proses siraman itu sendiri, maka alampun akan menunjukkan jalan agar pernikahan bisa berjalan dengan lancar tanpa suatu halangan apapun, karena bagaimanapun kita harus sadar darimana kita berasal dan akan kembali (Maulana, 2017).

2.     Menjaga norma kesopanan merupakan nilai yang terkandung dari sikap duduk bersimpuh ketika menjalani ceremonial ritual temanten mandi.

Norma kesopanan adalah aturan atau tata tertib yang mengatur bagaimana seorang individu harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan standar yang dianggap sopan dan sesuai dengan budaya dan kebiasaan masyarakat. Norma kesopanan biasanya meliputi cara bertutur kata, cara berpakaian, dan cara berperilaku di masyarakat.

Norma kesopanan adalah aturan yang mengatur tingkah laku seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Norma ini bertujuan untuk menjaga keharmonisan dan kenyamanan dalam bergaul serta menghargai hak orang lain. Norma kesopanan bisa terdiri dari aturan-aturan yang bersifat umum, seperti menghormati orang lain, tidak bersikap sombong atau arogan, serta tidak menggunakan bahasa yang kasar atau tidak sopan.

Norma kesopanan merupakan bagian dari budaya dan adat istiadat setiap negara atau budaya. Oleh karena itu, tidak ada satu istilah yang dapat merujuk pada norma kesopanan secara universal. Namun, beberapa istilah lain yang mungkin dapat digunakan untuk merujuk pada norma kesopanan adalah tata krama, etiket, sopan santun, dan kebiasaan sosial.

3.     Bersikap hati-hati merupakan nilai yang terkandung dalam uborampe Jenang (Ojo nganti keliru leh nyawang)

Setiap orang harus berhati–hati dalam melakukan tindakan dan bekerja untuk mencapai kesejahteraan tanpa menggunakan hal–hal yang licik kepada orang lain. Uborampe Jenang (Ojo nganti keliru leh nyawang) pada ritual mandi temanten di Sendang Modo mempunyai nilai untuk bersikap hati-hati dalam menjalani kehidupan.

Sikap hati-hati pada dasarnya merupakan nilai penting dalam menjalani kehidupan. Calon temanten akan menghadapi berbagai macam cobaan, hambatan dan kendala dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Dengan demikian perlu diterapkan nilai kehati-hatian dalam menjalankan aktivitas kehidupannya agar dapat terhindar dari berbagai cobaan, mampu menghadapi hambatan dan kendala dengan baik, serta mempertahankan rumah tangga dengan baik pula.

4.     Menjaga nama baik yang diibaratkan dalam uborampe kembang

Karakteristik orang Jawa dikenal memiliki sikap yang sopan, ramah tamah, dan menghargai orang lain. Sikap sopan tersebut dapat di lihat dari perilaku orang Jawa yang menghormati orang yang lebih tua, berbicara dengan menggunakan bahasa yang sesuai dan tata krama orang Jawa. Sikap ramah tamah orang Jawa dapat di lihat dari sikap menyapa. Sikap ramah tamah seperti ketika bertemu orang yang dikenal menyapa, misal melewati rumah tetangga yang orangnya ada di depan rumah atau di teras, atau melewati sekumpulan orang di desa yang berkumpul di poskampling. Hal ini dikarenakan jika tidak menyapa ketika bertemu dengan orang yang di kenal biasa disebut dengan sebutan anggep atau tidak sesuai dengan tata krama. Selain itu orang Jawa juga dikenal dengan Andhap Asor yaitu perilaku yang merendahkan diri dengan sopan terhadap orang yang berstatus sederajat atau lebih tinggi.

Beberapa karakteristik di atas perlu dilakukan oleh calon temanten agar mampu menjaga nama baik dirinya sendiri dan keluarga. Jadi nilai yang terkandung dalam uborampe kembang pada ritual mandi temanten di Sendang Modo merupakan gambaran karakteristik orang Jawa.

5.     Tangguh merupakan nilai yang terkandung dalam uborampe Uang koin 500 rupiah yang bermakna biar tidak ngetus ati (meskipun uang tinggal 500 rupiah tapi masih punya uang).

Nilai tangguh yang digambarkan dari ritual manten mandri di Sendang Modo di atas menunjukkan bahwa calon pengantin mempunyai keteguhan hati dalam menghadapi berbagai macam kondisi ketika mengaruhi bahtera rumah tangga. Kondisi terburuk yang digambarkan dari nilai tersebut adalah ketika uang hanya tinggal 500 rupiah saja, harus tetap tenang dan berusaha keras agar dapat bertahan hidup. Hal ini juga sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini dalam nasihat jawa yaitu tatag, teteg, tutug.

Tatag, teteg dan tutug sebagai suatu nasihat atau pitutur (dalam Bahasa Jawa yang sering disampaikan orangtua kepada anaknya) untuk membentuk karakter generasi muda yang tangguh, cerdas, dan rendah hati agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan sangat perlu untuk dikupas secara menyeluruh sehingga generasi muda saat ini dapat mengambil nilai-nilai positifnya untuk kehidupannya. Tatag berarti “tanpa duwe uwas sumelang” atau tidak mempunyai kekhawatiran yang berasal dari dalam diri dan luar pribadinya atau lingkungannya / dapat beradaptasi  bisa juga diartikan bahwa seseorang harus punya rasa percaya diri. Teteg mempunyai arti kukuh, ora obah-obah utawa panggah. Bisa diartikan juga seseorang yang mempunyai tekad dan komitmen yang kuat seperti karang, tidak akan goyah walau diterjang oleh badai atau apapun tetap berdiri tegak seperti karang dipinggir laut yang dihempas oleh gelombang laut yang sangat dahsyat. Tidak ada kebimbangan sedikitpun dalam kehidupannya. Tutug yang artinya dumugi, ngantos ing pungkasan, ngantos katog lan marem, mongkok ugi syukur dene kalampahan kanthi prayogi, yang berarti sampailah pada tujuan yang diharapkan sehingga menjadi bahagia dan proses kehidupannya menjadi lebih baik. Setiap orang  menginginkan kehidupannya berakhir dengan baik sesuai dengan tujuannya, tidak berhenti di tengah jalan atau mudah putus asa.

Mendasar pada temuan di atas bahwa terdapat beberapa nilai yang terkandung dalam ritual temanten mandi di Sendang Modo. Nilai-nilai tersebut masih diterima dan diyakini. Bahkan hasil penelitian juga menemukan adanya rasa takut dari masyarakat di sekitar Sendang Modo jika tidak melaksanakan ritual tersebut. Kondisi ini membuat pemanfaatan nilai-nilai ritual sebagai sumber ketahanan budaya dapat dilakukan dengan baik. Penyampaian makna dan nilai simbolik pada uborampe serta tahapan ritual mandi temanten di Sendang Modo kepada generasi penerus perlu senantiasa dilaksanakan.

Generasi penerus akan bersedia melestarikan tradisi yang sudah ada ketika memahami berbagai makna dan arti dari tradisi yang harus dijalani. Tradisi dilaksanakan bukan karena takut dampak buruk ketika tidak melaksanakan, namun memahami dampak baik dari tradisi yang dijalani. Hasil penelitian menemukan bahwa ritual mandi temanten di Sendang Modo mempunyai makna dan nilai yang baik yaitu berupa doa untuk kebaikan, dijauhkan dari mara bahaya, serta nasihat agar manusia yang baik dan tangguh dalam menjalani kehidupan setelah berumah tangga. Hal ini yang perlu senantiasa disampaikan kepada generasi penerus agar nilai ritual mandi temanten di Sendang Modo dapat menjadi sumber ketahanan budaya.

 

Kesimpulan

Hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan ritual mandi temanten di Sendang Modo Kandangsapi Jenar Sragen dapat disimpulkan sebagai berikut: Pelaksanaan ritual melibatkan serangkaian aktivitas sebelum, selama, dan setelah ritual, termasuk pemakaian uborampe dengan makna dan nilai tertentu. Uborampe yang digunakan mencakup berbagai elemen seperti kembang, menyan, bawang, dan lainnya, masing-masing dengan makna filosofis yang mengandung pesan untuk calon temanten. Nilai-nilai yang terkandung dalam ritual tersebut mencakup norma kesopanan, hati-hati, menjaga nama baik, dan keberanian, yang masih diyakini dan perlu dilestarikan. Implikasi dari kajian ini adalah potensi kehilangan tradisi turun temurun karena pengaruh pengetahuan dan teknologi serta budaya asing. Jika tidak ada kajian lanjutan, pemahaman terhadap makna dan nilai adiluhung dalam ritual ini dapat berkurang, mengakibatkan kurangnya pemanfaatan budaya lokal sebagai sumber ketahanan budaya. Saran yang dapat diberikan mencakup perlunya guru menyampaikan makna dan nilai simbolik ritual kepada siswa, masyarakat perlu melestarikan tradisi ini, dan penelitian selanjutnya dapat mengembangkan aspek kearifan lokal dalam tradisi tersebut.

 

BIBLIOGRAFI

 

Aksan, E. F. (2022). Kajian Nilai-nilai Budaya dalam Prosesi Temu Temanten Adat Jawa di Kabupaten Kediri. E-Jurnal, 1(1), 12–23.

Ambarwati, A. P. A., & Mustika, I. L. (2018). Pernikahan Adat Jawa Sebagai Salah Satu Kekuatan Budaya Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Pengetahuan Sosial (SENASBASA), 2(2).

Aziz, T., Khoiri, A. (2021). Makna Filosofis Uborampe dan Prosesi Temu Temanten di Jawa. Spiritualis, Jurnal Pemikiran Islam Dan Tasawuf, 7(2), 155–171.

Ciptaningrum, A. N., Arzan, A. B., Fadia, A. N., & Wirmaningsih, D. (2022). Etnobotani Tanaman Pada Ritual Kematian di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ( Ethnobotany of Death Rituals Plants in Setu Babakan Betawi Cultural Village ). 126–138.

Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif&Desain Riset (S. Z. Qudsy (ed.); 3rd ed.).

Derung, T. N. (2017). Interaksionisme Simbolik Dalam Kehidupan Bermasyarakat. SAPA - Jurnal Kateketik Dan Pastoral, 2(1), 118–131. https://doi.org/10.53544/sapa.v2i1.33

Diah Triani, Suntoro, I., & Yanzi, H. (2018). Central Java Customary Marriage ( Descriptive Study. Jurnal FKIP Unila, 3(5).

Habibi, R. K., & Kusdarini, E. (2020). Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Melestarikan  radisi Pernikahan Pepadun di Lampung Utara. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(1), 60. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020

Hafid, A., & Raodah. (2019). Makna Simbolik Tradisi Ritual Massorong Lopi-Lopi Oleh Masyarakat Mandar Di Tapango, Kabupaten Polman, Provinsi Sulawesi Barat. WALASUJI, 10(1), 33–46.

Hanif, M. (2017). Kesenian Ledug Kabupaten Magetan (Studi Nilai Simbolik Dan Sumber Ketahanan Budaya) Folk Art “ Ledug ” Originated from Magetan Regency ( A Study of Symbolic Values and Sources of Culture Protection ). 2, 79– 90.

Hasbullah, A. R., Ahid, N., & Sutrisno. (2022). Penerapan Teori Interaksi Simbolik dan Perubahan Sosial di Era Digital. At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam Dan Mu’amalah, 10, 633–634.

Irmawati, W. (2013). Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa. Walisongo, 21(2), 309–330.

Ismadi, H. D. (2014). Ketahanan Budaya Pemikiran dan Wacana. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan.

Kusalanana, S., Metta Puspita Dewi, & Marjianto. (2020). Makna Simbolik Ritual Selamatan Methik Pari Dalam Pandangan Agama Buddha Di Desa Gembongan Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar. Sabbhata Yatra: Jurnal Pariwisata Dan Budaya, 1(1), 32–44. https://doi.org/10.53565/sabbhatayatra.v1i1.149

Marverial, A. P., Astuti, H., & Meilina, M. (2019). Makna Simbol Pada Ritual Siraman Pernikahan Adat Jawa Tengah. Jurnal Komunikasi Mahasiswa, 1(1).

Maulana, D. (2017). Prosesi Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa Di Kota Semarang (Kajian Etnolinguistik). Universitas Negeri Semarang.

Miles, M. B., & Huberman, M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia.

Nurjannah, R. (2013). Makna Simbolik Yang Terdapat Pada Kesenian Tradisional Bokoran Dalam           Upacara            Adat     Mitoni  Di        Desa   Sidanegara        Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga. Universitas Negeri Yogyakarta.

Parera, M. M. A. E., & Marzuki. (2020). Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Membangun Kerukunan Umat Beragama Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 22(01), 38–47.

Pramanik, N. D., Dienaputra, R. D., Wikagoe, B., & Adji, M. (2021). Makna Simbolik dan Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Seni Pakemplung di Kecamatan Naringgul Kabupaten       Cianjur. Panggung,        31(1),   74–92. https://doi.org/10.26742/panggung.v31i1.1273

Pratama, B. A., & Wahyuningsih, N. (2018). Pernikahan Adat Jawa Di Desa Nengahan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Haluan Sastra Budaya, 2(1), 19. https://doi.org/10.20961/hsb.v2i1.19604

Putro, F.B.C., Hanif, M. (2023). Nilai-nilai Sosial Pendidikan Tradisi Mantu Bubak dalam Pernikahan Adat Jawa di Desa Gunungan. Wewarah Jurnal Pendidikan Multidisipliner, 2(1), 21–27.

Ramadani, U., Daeng, K., & M, A. (2022). Bentuk Dan Makna Simbolik Tradisi Adat Kalomba Pada Kajang Luar (Teori Semiotika Peirce). PANRITA: Jurnal Bahasa Dan Sastra Daerah Serta Pembelajarannya, 3(2), 33–40.

Rumahuru, Y. Z. (2018). Ritual Sebagai Media Konstruksi Identitas : Suatu Perspektif Teoretisi. Dialektika: Jurnal Pemikiran Islam Dan Ilmu Sosial, 11(01), 22–30.

Sa’diyah, F. S. (2020). Upacara Pernikahan Adat Jawa (Kajian Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Pernikahan Adat Jawa di Desa Jatirembe Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik). AL-THIQAH: Jurnal Ilmu Keislaman, 3(02), 171–190.

Saragi, D. (2018). Pengembangan Tekstil Berbasis Motif dan Nilai Filosofis Ornamen Tradisional            Sumatra            Utara.   Panggung,        28(2). https://doi.org/10.26742/panggung.v28i2.445

Sholihah, A., Sholiha, R., Safiro, E., Khasanah, U., Khafida, Z. L., & Syarochil, A. I. (2022). Makna Leksikal dan Kultural Ubo Rampe Pernikahan Adat Kemanten Malang Keputren: Kajian Antropolinguistik. Jurnal Iswara : Jurnal Kajian Bahasa, Budaya, Dan Sastra Indonesia, 2(2), 13–25.

Siregar, N. S. S. (2016). Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik. Perspektif, 1(2), 100–110. https://doi.org/10.31289/perspektif.v1i2.86

Subandi, A. (2018). Nilai Spiritual Tradisi Temu Temanten Adat Jawa dalam Perspektif Masyarakat Buddhis. Jurnal Pendidikan, Sains, Sosial, Dan Agama, 4(1), 43–55.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif & RND.

Suharsaputra, U. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Tindakan. Refika Aditama.

Sujarweni, V. W. (2014). Metodologi Penelitian. Pustaka Baru Press.

Utami, D. P., Melliani, D., Maolana, F. N., Marliyanti, F., & Hidayat, A. (2021). Iklim Organisasi Kelurahan Dalam Perspektif Ekologi. Jurnal Inovasi Penelitian (JIP), 1(12), 2735–2742.

Wardani, L. K. (2010). Fungsi , Makna dan Simbol ( Sebuah Kajian Teoritik ) Ruang Dalam Arsitektur-Interior. Fungsi, Makna Dan Simbol (Sebuah Kajian Teoritik), 1–10.

Wirawan. (2012). Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial dan Perilaku Sosial). Kencana Prenada Media Group.

 

Copyright holder:

R. Sri Wahyuni, Parji, Muhammad Hanif (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: