Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 12, Desember 2023

 

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENJUAL DALAM TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT DI PASAR MODAL INDONESIA

 

Annabelle Octaviany Josephine Karamoy, Meirani Suyawan

Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Pasar modal merupakan tempat bertemunya pihak yang memiliki kelebihan kapasitas modal dengan pihak yang membutuhkan tambahan modal, baik berupa modal jangka panjang maupun jangka pendek. Salah satu bentuk transaksi yang cukup diminati dalam pasar modal adalah Transaksi Repurchase Agreement atau yang dikenal dengan Transaksi Repo. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam Transaksi Repo di pasar modal Indonesia dalam kaitannya dengan kewajiban peralihan hak milik atas objek Transaksi Repo tersebut beserta akibat hukumnya dan apakah peraturan perundang-undangan Indonesia telah memberikan perlindungan hukum terhadap pihak penjual dalam Transaksi Repo. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Adapun hasil penelitian ini, yaitu Hak dan kewajiban para pihak terkait dengan kewajiban peralihan hak milik tersebut adalah bahwa para pihak dalam perjanjian Transaksi Repo tersebut wajib mencantumkan ketentuan kesepakatan mengenai adanya peralihak hak atas kepemilikan saham tersebut. Selain itu, pihak penjual wajib menyerahkan efek yang bersangkutan kepada pihak pembeli pada saat jual beli pertama kali dan pada saat jatuh tempo pembelian kembali, pihak penjual juga wajib membayar harga yang telah disepakati sebelumnya untuk mendapatkan kembali sahamnya. Sedangkan kewajiban pihak pembeli dalam hal ini adalah membayar harga efek yang telah disepakati kepada pihak penjual pada saat jual beli pertama kali dan pada saat jatuh tempo pembelian kembali, pihak pembeli wajib wajib menyerahkan kembali efek yang bersangkutan kepada pihak penjual. Kemudian, ketentuan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya belum memberikan perlindungan hukum secara khusus kepada pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo.

Kata kunci: Transaksi Repo, Saham, Pasar Modal

 

Abstract

The capital market is a meeting place for parties who have excess capital capacity with parties who need additional capital, both in the form of long-term and short-term capital. One form of transaction that is quite popular in the capital market is a Repurchase Agreement Transaction or what is known as a Repo Transaction. The main problem in this research is what are the rights and obligations of the parties in a Repo Transaction in the Indonesian capital market in relation to the obligation to transfer ownership rights to the object of the Repo Transaction along with the legal consequences and whether Indonesian laws and regulations have provided legal protection for the seller in the Transaction Repos. This research was prepared using normative juridical legal research methods. The results of this research, namely the rights and obligations of the parties related to the obligation to transfer ownership rights, are that the parties in the Repo Transaction agreement are required to include the provisions of the agreement regarding the transfer of rights to share ownership. Apart from that, the seller is obliged to hand over the relevant securities to the buyer at the time of the first sale and purchase and at the repurchase maturity date, the seller is also obliged to pay the previously agreed price to get back the shares. Meanwhile, the buyer's obligation in this case is to pay the agreed securities price to the seller at the time of the first sale and purchase and at the repurchase maturity date, the buyer is obliged to hand over the securities in question to the seller. Legal provisions in Indonesia basically do not provide specific legal protection to sellers in implementing Repo Transactions.

Keywords: Repurchase Agreement, Stock, Capital Market

 

Pendahuluan

Pasar modal merupakan tempat bertemunya pihak yang memiliki kelebihan kapasitas modal dengan pihak yang membutuhkan tambahan modal, baik berupa modal jangka panjang maupun jangka pendek (Rechtschaffen, 2009). Pasar modal juga dapat didefinisikan sebagai suatu pasar untuk berbagai instrumen keuangan atau sekuritas jangka panjang yang dapat diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang ataupun modal sendiri yang diterbitkan oleh pemerintah, otoritas publik, atau perusahaan swasta (Pasaribu A. F., 2020). Dengan kata lain, pasar modal dapat diartikan sebagai salah satu bentuk kegiatan dari lembaga keuangan non-bank sebagai sarana untuk memperluas sumber-sumber pembiayaan perusahaan. Pembiayaan tersebut diperlukan sebagai sumber dana alternatif akibat tidak dapat dipenuhinya pemberian dana dalam jumlah besar dan berjangka panjang oleh lembaga perbankan (Sutedi, 2009).

Melalui pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa pasar modal mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha serta media investasi bagi masyarakat secara keseluruhan (Sembiring, 2019). Dalam artian, potensi dan kemampuan pasar modal untuk menghimpun dana dari masyarakat dapat dimanfaatkan untuk memajukan pembangunan nasional (Nasarudin, et al., 2014). Sebagai salah satu penunjang kegiatan pembangunan nasional, peran pemerintah dalam bidang pasar diperlukan untuk menjamin kepastian hukum bagi pihak-pihak yang melakukan kegiatan di pasar modal. Dalam rangka memperoleh kepastian hukum tersebut, pemerintah membentuk suatu undang-undang mengenai pasar modal.

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) mendefinisikan pasar modal sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek (Pratama, 2016). Adapun yang dimaksud dengan efek, yaitu surat berharga berupa surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan/atau setiap derivatif dari efek sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 UU Pasar Modal.

Di Indonesia, pihak yang berwenang menyelenggarakan dan menyediakan sistem atau sarana perdagangan efek adalah PT. Bursa Efek Indonesia (BEI) (Rahadiyan, 2014). BEI secara khusus dibentuk untuk mengelola Bursa Efek, yaitu sistem terorganisasi yang mempertemukan penawaran jual dan beli efek dengan tujuan memperdagangkan efek tersebut di antara pihak yang bersangkutan. Secara umum, efek yang diterbitkan dan diperdagangkan di BEI dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu efek bersifat ekuitas dan efek bersifat utang (Rokhmatussa'dyah & Suratman, 2015). Efek bersifat ekuitas yang dimaksud adalah saham atau efek yang dapat ditukar dengan saham atau efek yang mengandung hak untuk memperoleh saham (Pasaribu A. F., 2020). Sedangkan efek bersifat utang adalah surat utang emiten atau perusahaan terbuka kepada investor yang memuat janji membayar kembali sejumlah terutang pada waktu tertentu (Arifardhani, 2020). Dengan kata lain, salah satu contoh efek bersifat ekuitas yang dikenal umum dalam masyarakat adalah saham dan turunannya, sementara contoh efek bersifat utang yang dikenal adalah obligasi.

Dalam kegiatan perdagangan saham di BEI, terdapat salah satu bentuk transaksi yang cukup diminati oleh pelaku pasar modal, yaitu Transaksi Repurchase Agreement atau yang dikenal dengan Transaksi Repo (Hadad, 2016). Pengaturan mengenai Transaksi Repo terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 9/POJK.04/2015 tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement Bagi Lembaga Jasa Keuangan (POJK Transaksi Repo). Pasal 1 angka 1 POJK Transaksi Repo mendefinisikan Transaksi Repo sebagai kontrak jual atau beli efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. Melalui pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa Transaksi Repo pada dasarnya merupakan suatu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam praktiknya, penggunaan Transaksi Repo mengalami perkembangan setiap tahunnya. Sebelumnya dalam kurun waktu 2011-2015 tercatat bahwa volume Transaksi Repo tahunan tertinggi telah mencapai Rp150.200.000.000.000 (seratus lima puluh triliun dua ratus miliar rupiah) dengan nilai transaksi sebesar Rp136.800.000.000.000 (seratus tiga puluh enam triliun delapan ratus miliar rupiah) (Hadad, 2016). Selain itu, berdasarkan data transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) diketahui bahwa pada tahun 2020-2021 terjadi peningkatan volume Transaksi Repo tahunan, yaitu dari Rp3.088.000.000.000 (tiga triliun delapan puluh delapan miliar rupiah) menjadi Rp3.249.000.000.000 (tiga triliun dua ratus empat puluh sembilan miliar rupiah) (Kariastanto, et al., 2022). Peningkatan volume Transaksi Repo tahunan tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bahwa sampai pada saat ini penggunaan Transaksi Repo masih cukup diminati oleh pelaku pasar modal.

Dalam kaitannya dengan pelaku pasar modal, para pihak yang terdapat dalam Transaksi Repo adalah investor penjual dan investor pembeli. Investor penjual merupakan pihak yang mempunyai saham dan investor pembeli merupakan pihak yang mempunyai dana dan membeli saham tersebut. Lebih lanjut, kedua pihak dalam Transaksi Repo tersebut dapat berupa investor domestik maupun investor asing, baik perorangan ataupun institusi seperti Lembaga Jasa Keuangan (LJK) (Lasmini & Abubakar, 2018). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 POJK Transaksi Repo, LJK merupakan lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan LJK lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK).

LJK dalam Transaksi Repo bertindak sebagai agen dari investor penjual maupun pembeli. Ketentuan Pasal 8 POJK Transaksi Repo menentukan bahwa LJK yang dapat bertindak sebagai agen Transaksi Repo hanyalah LJK yang menjadi partisipan pada sistem penyelesaian Bank Indonesia dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Artinya, LJK dapat bertindak sebagai agen Transaksi Repo apabila LJK tersebut telah menjadi partisipan pada sistem penyelesaian Bank Indonesia dan/atau PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Kemudian, ketentuan Pasal 9 POJK Transaksi Repo menentukan bahwa sebagai agen Transaksi Repo bagi nasabahnya, LJK mempunyai kewajiban untuk memperoleh kuasa dari nasabah untuk melakukan Transaksi Repo bagi kepentingan nasabah, mencatat identitas nasabah yang melakukan Transaksi Repo dan menyampaikan kepada lawan Transaksi Repo, mencatat identitas lawan Transaksi Repo dan menyampaikannya kepada nasabah, dan membuat laporan secara berkala sebagaimana disepakati dalam perjanjian kepada nasabah yang memuat informasi atas Transaksi Repo yang dilakukan atas nama nasabah. Adapun LJK yang dimaksud dalam POJK Transaksi Repo tersebut, yaitu Perusahaan Efek.

Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 21 UU Pasar Modal, Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi. Dalam kapasitasnya sebagai Perantara Pedagang Efek (PPE), Perusahaan Efek dapat melakukan kegiatan usaha jual beli efek untuk kepentingan sendiri atau pihak lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 50/POJK.04/2020 tentang Pengendalian Internal Perusahaan Efek Yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai Perantara Pedagang Efek (POJK No. 50/POJK.04/2020). Artinya, para pihak dalam Transaksi Repo diwakili oleh Perusahaan Efek yang menjalankan fungsinya sebagai PPE.

Pada saat melakukan Transaksi Repo, para pihak wajib melaksanakan kewajibannya masing-masing berdasarkan perjanjian tertulis yang sudah dibuat sebelumnya sebagaimana Pasal 4 ayat (1) POJK Transaksi Repo. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (2) POJK Transaksi Repo ditentukan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud paling sedikit wajib memuat ketentuan mengenai peralihan atas hak kepemilikan efek, kewajiban penyesuaian nilai efek dengan nilai pasar wajar, marjin awal dan/atau haircut efek dalam Transaksi Repo, pemeliharaan marjin termasuk substitusi efek marjin, hak dan kewajiban para pihak terkait kepemilikan efek dalam Transaksi Repo termasuk waktu pelaksanaannya dan kewajiban perpajakan, peristiwa kegagalan, tata cara penyelesaian peristiwa kegagalan serta hak dan kewajiban yang mengikutinya, perjanjian tunduk pada hukum Indonesia, kedudukan LJK dalam Transaksi Repo sebagai agen atau bertindak untuk dirinya sendiri, dan tata cara konfirmasi atas Transaksi Repo dan/atau perubahan material terkait Transaksi Repo tersebut.

Berangkat dari ketentuan mengenai perjanjian tertulis tersebut, dapat dilihat bahwa kewajiban atau prestasi yang wajib dilaksanakan oleh pihak penjual dalam Transaksi Repo adalah menerima pembayaran dan mengalihkan efek yang dibeli kepada pihak pembeli. Kemudian, pada waktu yang telah ditentukan pihak pembeli berkewajiban menyerahkan kembali efek yang bersangkutan kepada pihak penjual dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajiban atau prestasi tersebut, baik dalam bentuk terlambat memenuhi prestasi, keliru memenuhi prestasi, ataupun sama sekali tidak memenuhi prestasi, pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini dapat mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan (Harahap, 2017). Selain melalui pengadilan, gugatan wanprestasi tersebut juga dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase sesuai dengan klausula penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para pihak (Winarta, 2022).

Tri Legono Yanuarachmadi selaku Direktur Eksekutif Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2013-2014 permasalahan yang sering muncul di industri pasar modal adalah terkait Transaksi Repo. Salah satu permasalahan yang dimaksud, yaitu pembeli selaku pihak yang menerima saham biasanya melakukan Transaksi Repo kembali atau merepokan kembali (Re-Repo) saham yang diperolehnya kepada pihak lain, padahal yang bersangkutan memiliki kewajiban untuk mengembalikan saham tersebut kepada pihak penjual dalam kurun waktu tertentu. Dengan dilakukannya Re-Repo saham tersebut, pihak penjual kerap kali mengalami kerugian akibat kesulitan memperoleh kembali asetnya tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan dirugikannya pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo. Maka dari itu, penting untuk dikaji lebih lanjut mengenai bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam Transaksi Repo di pasar modal Indonesia dalam kaitannya dengan kewajiban peralihan hak milik atas objek Transaksi Repo tersebut beserta akibat hukumnya dan apakah peraturan perundang-undangan Indonesia telah memberikan perlindungan hukum terhadap pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo di pasar modal Indonesia.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Artinya, pendekatan dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum, serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Transaksi Repo di pasar modal Indonesia. Adapun pendekatan ini juga dikenal dengan pendekatan kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan pokok penelitian terkait (Sunggono, 2015).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan, melainkan melalui bahan-bahan kepustakaan yang biasa disebut sebagai data sekunder (Soekanto, 2010). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu bahan hukum primer berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 9/POJK.04/2015 tentang Pedoman Transaksi Repurchase Agreement Bagi Lembaga Jasa Keuangan, dan Peraturan KPEI Nomor II-5 tentang Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi Bursa Atas Efek Bersifat Ekuitas; dan bahan hukum sekunder berupa buku, teks, jurnal hukum, dan tesis atau disertasi yang berkaitan dengan Transaksi Repo di pasar modal Indonesia.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dengan analisis kualitatif, data yang diperoleh akan dikelola dan dianalisis dengan cara menyusun data-data mengenai Transaksi Repo, kemudian dilakukan interpretasi untuk memahami makna dari hak dan kewajiban para pihak dalam kaitannya dengan kewajiban peralihan hak milik atas objek Transaksi Repo tersebut dan perlindungan hukum terhadap pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo di pasar modal Indonesia (Sunggono, 2015). Maka dari itu, penelitian ini memiliki bentuk hasil penelitian deskriptif-analitis.

 

Hasil dan Pembahasan

Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Transaksi Repo di Pasar Modal Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Kewajiban Peralihan Hak Milik Atas Objek Transaksi Repo Beserta Akibat Hukumnya

Pasal 1 angka 1 POJK Transaksi Repo mendefinisikan Transaksi Repo sebagai kontrak jual atau beli efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. Melalui pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa Transaksi Repo pada dasarnya merupakan suatu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Apabila merujuk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam kaitannya dengan hak membeli kembali, Pasal 1519 KUHPerdata menentukan bahwa kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual timbul karena suatu perjanjian, yang tetap memberikan hak kepada penjual untuk mengambil kembali barang yang dijualnya dengan mengembalikan uang harga pembelian asal dan memberikan penggantian sebagaimana dimaksud Pasal 1532 KUHPerdata.

Apabila dicermati lebih lanjut, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan mengenai konsep jual beli dengan hak membeli kembali yang diatur dalam KUHPerdata dan yang dimaksud dalam Transaksi Repo. Dalam KUHPerdata, pihak penjual memiliki “hak” untuk mengambil kembali barang yang dijualnya dan mengembalikan pembayaran yang sebelumnya sudah diberikan. Hal ini juga berarti bahwa penjual mungkin saja menggunakan atau tidak menggunakan haknya tersebut. Dalam artian, penjual dalam hal ini memiliki kebebasan atau pilihan untuk menggunakan hak pembelian kembali tersebut atau tidak. Berbeda dengan konsep Transaksi Repo, hak untuk membeli kembali bukan merupakan suatu pilihan, melainkan suatu kewajiban yang harus dipenuhi. Suatu perjanjian jual beli efek tidak dapat dikatakan sebagai Transaksi Repo apabila tidak terdapat janji beli atau jual kembali di dalamnya.

Dalam setiap Transaksi Repo terdapat 2 (dua) pihak utama yang terlibat di dalamnya, yaitu penjual dan pembeli. Penjual merupakan pihak yang mempunyai saham dan pembeli merupakan pihak yang mempunyai dana dan membeli saham tersebut. Lebih lanjut, kedua pihak dalam Transaksi Repo tersebut dapat berupa investor domestik maupun investor asing, baik perorangan ataupun institusi seperti LJK (Lasmini & Abubakar, 2018). Pasal 1 angka 3 POJK Transaksi Repo mendefinisikan LJK sebagai lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan LJK lainnya sebagaimana dimaksud UU OJK.

Dalam Transaksi Repo, LJK bertindak sebagai agen dari pihak penjual maupun pembeli. Ketentuan Pasal 8 POJK Transaksi Repo menentukan bahwa LJK yang dapat bertindak sebagai agen Transaksi Repo hanyalah LJK yang menjadi partisipan pada sistem penyelesaian Bank Indonesia dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Artinya, LJK dapat bertindak sebagai agen Transaksi Repo apabila LJK tersebut telah menjadi partisipan pada sistem penyelesaian Bank Indonesia dan/atau PT. KSEI. Kemudian, Pasal 9 POJK Transaksi Repo menyatakan bahwa sebagai agen Transaksi Repo bagi nasabahnya, LJK mempunyai kewajiban untuk (1) memperoleh kuasa dari nasabah untuk melakukan Transaksi Repo bagi kepentingan nasabah, (2) mencatat identitas nasabah yang melakukan Transaksi Repo dan menyampaikan kepada lawan Transaksi Repo, (3) mencatat identitas lawan Transaksi Repo dan menyampaikannya kepada nasabah, dan (4) membuat laporan secara berkala sebagaimana disepakati dalam perjanjian kepada nasabah yang memuat informasi atas Transaksi Repo yang dilakukan atas nama nasabah. Adapun LJK yang dimaksud dalam POJK Transaksi Repo tersebut, yaitu Perusahaan Efek. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU Pasar Modal, Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi. Dalam kapasitasnya sebagai PPE, Perusahaan Efek dapat melakukan kegiatan usaha jual beli efek untuk kepentingan sendiri atau pihak lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 4 POJK No. 50/POJK.04/2020. Artinya, para pihak dalam Transaksi Repo diwakili oleh Perusahaan Efek yang menjalankan fungsinya sebagai PPE.

Dalam pelaksanaannya, setiap Transaksi Repo wajib berdasarkan pada perjanjian tertulis yang sudah dibuat sebelumnya sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (2) POJK Transaksi Repo. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (2) POJK Transaksi Repo ditentukan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud paling sedikit wajib memuat ketentuan mengenai:

a.   Peralihan atas hak kepemilikan efek;

b.   Kewajiban penyesuaian nilai efek dengan nilai pasar wajar (mark to market);

c.   Marjin awal dan/atau haircut efek dalam Transaksi Repo;

d.   Pemeliharaan marjin termasuk substitusi efek marjin;

e.   Hak dan kewajiban para pihak terkait kepemilikan efek dalam Transaksi Repo termasuk waktu pelaksanaannya dan kewajiban perpajakan;

f.    Peristiwa kegagalan;

g.   Tata cara penyelesaian peristiwa kegagalan serta hak dan kewajiban yang mengikutinya;

h.   Perjanjian tunduk pada hukum Indonesia;

i.    Kedudukan Lembaga Jasa Keuangan dalam Transaksi Repo sebagai agen atau bertindak untuk dirinya sendiri; dan

j.    Tata cara konfirmasi atas Transaksi Repo dan/atau perubahan material terkait Transaksi Repo tersebut.

Selain memenuhi ketentuan di atas, setiap perjanjian tertulis tersebut juga wajib menerapkan Global Master Repurchase Agreement (GMRA) Indonesia, yang diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/SEOJK.04/2015 tentang Global Master Repurchase Agreement Indonesia (SEOJK Transaksi Repo). GMRA merupakan standar perjanjian Transaksi Repo yang diterbitkan oleh International Capital Market Association. Adapun GMRA Indonesia yang dimaksud terdiri dari:

a.   Perjanjian induk global pembelian kembali (GMRA)

b.   Lampiran transaksi domestik di Indonesia (Indonesia Annex)

c.   Lampiran I syarat dan ketentuan tambahan (Annex I Supplemental terms and condition)

d.   Lampiran II format konfirmasi (Annex II Confirmation)

e.   Lampiran Pembelian/Penjualan Kembali (buy/sell back Annex)

f.    Lampiran ekuitas (Equity Annex)

g.              Lampiran keagenan (Agency Annex)

Dalam hal Transaksi Repo saham dilakukan di Bursa Efek Indonesia maka lampiran transaksi domestik (Indonesia Annex) mengikat terhadap perjanjian tertulis tersebut. Adapun lampiran transaksi domestik di Indonesia (Indonesia Annex) terdiri dari beberapa paragraf, yaitu:

a.   Paragraf 1 tentang Ruang Lingkup

b.   Paragraf 2 tentang Interpretasi

c.   Paragraf 3 tentang Pernyataan

d.   Paragraf 4 tentang Peristiwa Kegagalan

e.   Paragraf 5 tentang Pasal 1425 – Pasal 1435 KUHPerdata

f.    Paragraf 6 tentang Pengalihan Kepemilikan

g.   Paragraf 7 tentang Perpajakan Berlaku di Inggris

h.   Paragraf 8 tentang Tidak Dapat Dialihkan

i.    Paragraf 9 tentang Hukum yang Berlaku dan Arbitrase

j.    Paragraf 10 tentang Pengesampingan Kekebalan Hukum

k.   Paragraf 11 tentang Hak Pihak Ketiga

Dari ketentuan tersebut diketahui Indonesia mewajibkan penerapan perjanjian Induk GMRA dalam Transaksi Repo yang dilakukan di Indonesia. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa kewajiban pihak penjual melalui PPE adalah memberikan saham kepada pembeli yang juga dapat diwakili oleh PPE yang kemudian akan dilakukan penyerahan dana dari pembeli. Setelah jatuh tempo pembelian kembali yang disepakati oleh kedua pihak maka pihak pembeli akan memberikan saham tersebut kepada penjual melalui PPE masing-masing. Proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan oleh KSEI dan dilakukan dengan cara sistem scripless trading melalui book entry settlement, yaitu merupakan sistem transaksi tanpa warkat yang dilakukan melalui sistem komputerisasi. Sistem tersebut dilakukan dengan mengurangkan efek atau saham dari rekening penjual dan ditambahkan ke rekening pembeli dan sebaliknya.

Proses dalam pemindahbukuan dapat dilakukan dengan cara mengurangkan efek atau saham dari rekening penjual, lalu dapat ditambahkan ke rekening pembeli. Demikian pula sebaliknya, rekening dana dari Anggota Bursa akan dikurangkan dan ditambahkan dari rekening pembeli melalui Anggota Bursa. Peralihan hak atas Efek yang terjadi pada saat penyerahan Efek atau pada waktu Efek dikurangkan dari rekening Efek pertama dan dilanjutkan dengan penambahan pada rekening efek lain yang tertera dalam Pasal 55 UU Pasar Modal. Dapat disimpulkan bahwa perpindahan hak milik dalam setiap Transaksi Repo sudah terjadi pada saat penyelesaian transaksi pertama kali (1st leg), lalu dapat diketahui bahwa efek yang telah menjadi objek dalam Transaksi Repo yang bersangkutan telah dikuasai oleh pihak pembeli sejak transaksi yang pertama (1st leg) selesai hingga sebelum jatuh tempo pembelian kembali yang ditentukan para pihak dari transaksi kedua (2nd leg) yang disimpulkan dari uraian di atas.

Dari semua di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam Transaksi Repo saham yang pada awalnya seluruh penjual wajib memindahkan kepemilikannya kepada pembeli. Bahkan telah ditegaskan juga bahwa semua pihak dengan cara apapun tidak dapat atau tidak diperkenankan untuk membatasi pemindahan kepemilikan tersebut yang tertera dalam SEOJK Transaksi Repo. Selanjutnya dengan adanya pernyataan titel hak milik tersebut, berdasarkan Pasal 570 KUHPerdata yang mengatur mengenai hak milik, yang sejatinya pengalihan kembali oleh pihak pembeli kepada pihak ketiga terhadap saham dari pihak penjual bukanlah suatu pelanggaran sebab pemegang titel hak milik atas saham tersebut ada dari pihak pembeli. Dengan demikian semua peralihan kepemilikan yang mengatas dasarkan saham dalam semua Transaksi Repo saham, pada dasarnya pihak pembeli pun berhak untuk mengalikan kembali semua objek saham yang juga bersangkutan dengan pihak ketiga. Meskipun sesuai dengan SEOJK Transaksi Repo yang sebelumnya diuraikan, semua penjual berhak untuk memiliki kembali saham yang telah dijual. Kemudian, pihak pembeli pun dalam transaksi Repo saham juga berhak untuk mengalikan seluruh objek saham yang juga bersangkutan dengan pihak ketiga, dan dalam jangka waktu jatuh tempo pembelian kembali (2nd leg), pihak pembeli memiliki kewajiban untuk memastikan kembalinya saham tersebut kepada pihak penjual sesuai dengan waktu jatuh temponya.

 

Perlindungan Hukum Terhadap Penjual Dalam Transaksi Repo di Pasar Modal Indonesia

Perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan terkait dengan adanya hak dan kewajiban, yang dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya (Sutantio, 2010). Berangkat dari pengertian tersebut, yang dimaksud dengan perlindungan hukum terhadap penjual dalam Transaksi Repo saham di pasar modal Indonesia adalah perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap penjual yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang terdapat dalam Transaksi Repo saham di BEI. Dengan demikian dalam bagian ini akan dibahas juga mengenai hak dan kewajiban yang berhubungan dengan penjual dalam Transaksi Repo saham di pasar modal Indonesia.

Transaksi Repo saham di BEI dilakukan oleh LJK yakni perusahaan efek dalam fungsinya sebagai PPE yang mewakili kepentingan investor jual dan investor beli. Pasal 30 UU Pasar Modal menyatakan bahwa yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai perusahaan efek adalah perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam (OJK). Perusahaan harus mendapat izin usaha untuk menjadi PPE. Untuk melakukan Transaksi Repo harus mempunyai direktur atau pegawai yang berwenang, harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman kerja yang memadai. PPE juga harus memastikan adanya efek dan dana dari pihak yang diwakilinya untuk penyelesaian Transaksi Repo sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf c POJK Transaksi Repo.

Dalam hal PPE bertindak untuk dan atas nama nasabahnya, PPE wajib memperoleh kuasa dari nasabahnya, mencatat identitas nasabah yang melakukan Transaksi Repo dan menyampaikan kepada lawan Transaksi Repo nasabahnya, mencatat identitas lawan Transaksi Repo dan menyampaikan kepada nasabahnya serta membuat laporan secara berkala sebagaimana yang telah disepakati sebagaimana Pasal 9 POJK Transaksi Repo. Dapat disimpulkan bahwa POJK Transaksi Repo memberikan perlindungan yang dalam hal ini baik kepada penjual maupun pembeli yakni memberikan protokol administrasi agar Transaksi Repo saham dapat berjalan baik. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan POJK Transaksi Repo baik mengenai kewajiban LJK mempunyai direksi yang berwenang dalam melakukan Transaksi Repo, kewajiban LJK mempunyai pengetahuan mengenai Transaksi Repo, maupun kewajiban LJK memastikan adanya dana/efek yang akan ditransaksikan dalam Transaksi Repo serta kewajiban

memenuhi protokol-protokol administrasi dalam Transaksi Repo adalah sanksi yang diberikan OJK.

POJK Transaksi Repo memberikan perlindungan kepada penjual maupun pembeli, yakni diberikannya sanksi ataupun tindakan-tindakan tertentu apabila LJK melanggar ketentuan-ketentuan POJK Transaksi Repo. Sanksi tersebut dapat berupa macamnya sebagaimana termuat Pasal 11 Ayat (1) POJK Transaksi Repo, yaitu peringatan tertulis, denda untuk membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin udaha, pembatalan persetujuan, dan pembatalan pendaftaran. Dalam Transaksi Repo saham, wajib adanya peralihan hak milik yakni dari pihak penjual kepada pembeli (pada saat 1st leg) dan dari pihak pembeli kepada pihak penjual (pada saat jatuh tempo pembelian kembali atau 2nd leg). Peralihan hak milik tersebut membawa konsekuensi bahwa tidak dapat diperolehnya kembali saham milik penjual pada saat jatuh tempo pembelian kembali (2nd leg) karena pembeli memiliki landasan hak untuk mengalihkan kembali saham yang dimilikinya dari penjual.

Dengan adanya ketentuan SEOJK Transaksi Repo tersebut di atas yang menyebutkan bahwa pada tidak ada maksud dari para pihak bahwa setiap Transaksi dengan cara apapun akan menimbulkan atau mengakibatkan timbulnya hak jaminan atau hak terbatas lain yang bersifat accesoir atas kepemilikan, pada dasarnya menyulitkan pihak penjual untuk menjamin didapatkannya kembali saham yang telah dijualnya kepada pihak pembeli. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin kembalinya saham seperti misalnya memasukkan klausul larangan bagi pihak pembeli untuk mengalihkan objek saham Transaksi Repo atau memasukkan klausul kewajiban bagi pihak pembeli untuk terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pihak penjual apabila hendak mengalihkan objek saham yang bersangkutan, tampaknya tidaklah dapat dilakukan sebab upaya-upaya tersebut membatasi hak kepemilikan atas objek Transaksi Repo. Meskipun demikian di sisi lain, haruslah dapat dipahami bahwa kewajiban peralihan hak milik tersebut merupakan hakikat dari suatu perjanjian jual beli. Sebagaimana diuraikan pada bagian awal bab ini, berdasarkan POJK Transaksi Repo, dapat disimpulkan bahwa Transaksi Repo pada dasarnya adalah suatu perjanjian jual beli, hanya memang memiliki karakteristik khusus yakni adanya kewajiban pembelian atau penjualan kembali.

Apabila pembeli tidak dapat menyerahkan kembali saham milik penjual pada saat jatuh tempo pembelian kembali (2nd leg) adalah dengan cara menggugat atas dasar cidera janji atau wanprestasi sebab berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) POJK Transaksi Repo. BEI sebagai pihak penyelenggara perdagangan efek dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam kedudukannya sebagai turut tergugat oleh penjual apabila pembeli tidak dapat menyerahkan kembali saham penjual pada saat jatuh tempo pembelian kembali (2nd leg). Namun demikian dengan cara gugat menggugat sekalipun tidak ada yang dapat menjamin penjual dapat memiliki kembali sahamnya. Peraturan perundang-undangan pada dasarnya sudah berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap penjual dalam Transaksi Repo saham di BEI namun perlu diperhatikan secara khusus perihal objek Transaksi Repo yang dapat dialihkan oleh pembeli atas titel hak milik yang dimilikinya. Dengan adanya titel hak milik tersebut, penjual berpotensi untuk tidak dapat memiliki kembali sahamnya akibat saham yang bersangkutan telah dialihkan kepada pihak lain. SEOJK Transaksi Repo juga secara tegas dan ketat melarang upaya-upaya dalam bentuk apapun untuk membatasi hak milik sehingga sulit bagi penjual untuk meminimalisir risiko akan tidak kembalinya saham yang dimilikinya.

Melalui uraian di atas, dapat dilihat bahwa dikarenakan ketentuan perundang- undangan yang dimiliki Indonesia sampai pada saat ini masih belum memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pihak penjual. Maka dari itu, pihak penjual dalam Transaksi Repo dapat memasukkan klausula pembatalan perjanjian apabila pihak pembeli tidak dapat menyerahkan kembali saham penjual saat jatuh tempo pembelian kembali. Pasal 1265 KUHPerdata menyebutkan bahwa apabila suatu syarat batal dipenuhi, maka syarat tersebut menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian, apabila pihak pembeli tidak dapat menyerahkan kembali saham pihak penjual pada saat jatuh tempo pembelian kembali, maka perjanjian menjadi batal dan pihak pernjual berhak mendapatkan kembali sahamnya sebagaimana keadaan semula sebelum terjadinya perjanjian. Selain itu, pihak penjual dalam Transaksi Repo juga dapat meminta kepada pihak pembeli agar diadakan penanggungan risiko seperti asuransi terhadap objek Transaksi Repo bersangkutan sehingga apabila pembeli melakukan wanprestasi, penjual setidaknya dapat segera meminimalisir kerugian yang terjadi dengan melakukan klaim terhadap pihak penanggung.

 

Kesimpulan

Transaksi Repo di pasar modal Indonesia mengakibatkan terjadinya perallihan hak milik atas objek Transaksi Repo yang bersangkutan. Hak dan kewajiban para pihak terkait dengan kewajiban peralihan hak milik tersebut adalah bahwa para pihak dalam perjanjian Transaksi Repo tersebut wajib mencantumkan ketentuan kesepakatan mengenai adanya peralihak hak atas kepemilikan saham tersebut. Selain itu, pihak penjual wajib menyerahkan efek yang bersangkutan kepada pihak pembeli pada saat jual beli pertama kali dan pada saat jatuh tempo pembelian kembali, pihak penjual juga wajib membayar harga yang telah disepakati sebelumnya untuk mendapatkan kembali sahamnya. Sedangkan kewajiban pihak pembeli dalam hal ini adalah membayar harga efek yang telah disepakati kepada pihak penjual pada saat jual beli pertama kali dan pada saat jatuh tempo pembelian kembali, pihak pembeli wajib wajib menyerahkan kembali efek yang bersangkutan kepada pihak penjual. Adapun akibat hukum terhadap gagalnya pembeli untuk menyerahkan kembali saham penjual pada saat jatuh tempo pembelian kembali, yaitu didudukannya pihak pembeli tersebut sebagai pihak yang cidera janji atau wanprestasi. Dalam hal ini, pihak penjual dapat mengajukan gugatan wanprestasi terhadap pembeli tersebut, baik melalui pengadilan maupun lembaga arbistrase sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam perjanjian. Selain itu, pihak pembeli juga dapat menarik BEI sebagai turut tergugat dalam hal ini selaku pihak yang berwenang untuk menyelenggarakan perdagangane efek di pasar modal Indonesia.

Pada dasarnya ketentuan perundang-undangan di Indonesia belum memberikan perlindungan hukum secara khusus kepada pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo. SEOJK Transaksi Repo mengatur secara rinci dengan menyatakan bahwa para pihak dengan cara apapun tidak diperbolehkan untuk membatasi hak atas kepemilikan objek Transaksi Repo hal ini bertujuan agar lebih terjaminnya saham penjual akan kembali ketika jatuh tempo pembelian kembali dengan cara memasukkan klausul larangan bagi pihak pembeli untuk mengalihkan objek saham Transaksi Repo atau memasukkan klausul kewajiban bagi pihak pembeli untuk terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pihak penjual apabila hendak mengalihkan objek saham yang bersangkutan kepada pihak ketiga, namun hal tersebut tidak dapat dilakukan karena tindakan tersebut membatasi hak kepemilikan atas objek Transaksi Repo. Larangan pencantuman klausul tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bahwa belum terdapat ketentuan yang memberikan perlindungan hukum secara khusus kepada pihak penjual dalam Transaksi Repo. Dalam praktiknya, hal yang dapat dilakukan oleh pihak penjual dalam Transaksi Repo, yaitu memasukkan klausula pembatalan perjanjian apabila pihak pembeli tidak dapat menyerahkan kembali saham penjual saat jatuh tempo dan/atau sebelumnya meminta kepada pihak pembeli agar diadakan penanggungan risiko seperti asuransi terhadap objek Transaksi Repo bersangkutan sehingga apabila pembeli melakukan wanprestasi.

 

BIBLIOGRAFI

Arifardhani, Y. (2020). Hukum Pasar Modal di Indonesia: Dalam Perkembangan. Jakarta: Prenada Media.

 

Hadad, M. D. (2016, January 29). Otoritas Jasa Keuangan. Retrieved from Otoritas Jasa Keuangan Web site: https://www.ojk.go.id/id/kanal/pasar-modal/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/sambutan-ketua-ojk-dalam-peluncuran-global-master-repurchase-agreement-indonesia.aspx.

 

Harahap, M. Y. (2017). Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

 

Lasmini, Y., & Abubakar, L. (2018). Perlindungan Hukum Bagi Investor Sehubungan Dengan Adanya Pengalihan Kepemilikan Efek Dalam Transaksi Repo Di Pasar Modal. Jurnal Hukum Kenotariatan dan PPAT, 154-155.

 

Nasarudin, M., Surya, I., Yustiavandana, I., Nefi, A., & Adiwarman. (2014). Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Kencana.

 

Pasaribu, A. F. (2020). Pelaksanaan Penawaran Tender Dalam Pasar Modal dan Akibat Hukumnya di Indonesia. Jurnal Justitia Et Pax, 92.

 

Pratama, A. (2016). Perdagangan Oleh Orang Dalam (Insider Trading) Dalam Transaksi Efek Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

 

Puteri, K. A. (2019). Pengaturan Hukum Transaksi Repurchase Agreement di Indonesia. Jurnal Privat Law, 214-215.

 

Rahadiyan, I. (2014). Hukum Pasar Modal Indonesia: Pengawasan Pasar Modal di Indonesia Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan. Yogyakarta: UII Press.

 

Rechtschaffen, A. N. (2009). Capital Markets, Derivatives, and The Law. New York: Oxford University Press, Inc.

 

Rokhmatussa'dyah, A., & Suratman. (2015). Hukum Investasi & Pasar Modal. Jakarta: Sinar Grafika.

 

Sembiring, S. (2019). Hukum Pasar Modal. Bandung: Nuansa Aulia.

 

Soekanto, S. (2010). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

 

Sunggono, B. (2015). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

 

Sutedi, A. (2009). Segi-Segi Hukum Pasar Modal. Bogor: Ghalia Indonesia.

 

Winarta, F. H. (2022). Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.

 

 

Copyright holder:

Annabelle Octaviany Josephine Karamoy, Meirani Suyawan (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: