Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
12, Desember 2023
PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PENJUAL DALAM TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT DI PASAR MODAL INDONESIA
Annabelle Octaviany
Josephine Karamoy, Meirani Suyawan
Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pasar modal merupakan tempat bertemunya pihak yang memiliki kelebihan kapasitas modal dengan pihak yang membutuhkan tambahan modal, baik berupa modal jangka panjang maupun jangka pendek. Salah satu bentuk transaksi yang cukup diminati dalam pasar modal adalah Transaksi Repurchase Agreement atau yang dikenal dengan Transaksi Repo. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam Transaksi Repo di pasar modal Indonesia dalam kaitannya dengan kewajiban peralihan hak milik atas objek Transaksi Repo tersebut beserta akibat hukumnya dan apakah peraturan perundang-undangan Indonesia telah memberikan perlindungan hukum terhadap pihak penjual dalam Transaksi Repo. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Adapun hasil penelitian ini, yaitu Hak dan kewajiban para pihak terkait dengan kewajiban peralihan hak milik tersebut adalah bahwa para pihak dalam perjanjian Transaksi Repo tersebut wajib mencantumkan ketentuan kesepakatan mengenai adanya peralihak hak atas kepemilikan saham tersebut. Selain itu, pihak penjual wajib menyerahkan efek yang bersangkutan kepada pihak pembeli pada saat jual beli pertama kali dan pada saat jatuh tempo pembelian kembali, pihak penjual juga wajib membayar harga yang telah disepakati sebelumnya untuk mendapatkan kembali sahamnya. Sedangkan kewajiban pihak pembeli dalam hal ini adalah membayar harga efek yang telah disepakati kepada pihak penjual pada saat jual beli pertama kali dan pada saat jatuh tempo pembelian kembali, pihak pembeli wajib wajib menyerahkan kembali efek yang bersangkutan kepada pihak penjual. Kemudian, ketentuan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya belum memberikan perlindungan hukum secara khusus kepada pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo.
Kata kunci: Transaksi Repo, Saham, Pasar Modal
Abstract
The capital market is
a meeting place for parties who have excess capital capacity with parties who
need additional capital, both in the form of long-term and short-term capital.
One form of transaction that is quite popular in the capital market is a Repurchase
Agreement Transaction or what is known as a Repo Transaction. The main problem
in this research is what are the rights and obligations of the parties in a
Repo Transaction in the Indonesian capital market in relation to the obligation
to transfer ownership rights to the object of the Repo Transaction along with
the legal consequences and whether Indonesian laws and regulations have
provided legal protection for the seller in the Transaction Repos. This
research was prepared using normative juridical legal research methods. The
results of this research, namely the rights and obligations of the parties
related to the obligation to transfer ownership rights, are that the parties in
the Repo Transaction agreement are required to include the provisions of the
agreement regarding the transfer of rights to share ownership. Apart from that,
the seller is obliged to hand over the relevant securities to the buyer at the
time of the first sale and purchase and at the repurchase maturity date, the
seller is also obliged to pay the previously agreed price to get back the
shares. Meanwhile, the buyer's obligation in this case is to pay the agreed
securities price to the seller at the time of the first sale and purchase and
at the repurchase maturity date, the buyer is obliged to hand over the
securities in question to the seller. Legal provisions in Indonesia basically
do not provide specific legal protection to sellers in implementing Repo
Transactions.
Keywords: Repurchase
Agreement, Stock, Capital Market
Pendahuluan
Pasar modal merupakan tempat
bertemunya pihak yang memiliki kelebihan kapasitas modal dengan pihak yang
membutuhkan tambahan modal, baik berupa modal jangka panjang maupun jangka
pendek
Melalui pengertian tersebut,
dapat dilihat bahwa pasar modal mempunyai peran strategis dalam pembangunan
nasional, yaitu sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha serta
media investasi bagi masyarakat secara keseluruhan
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal) mendefinisikan pasar modal sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek (Pratama, 2016). Adapun yang dimaksud dengan efek, yaitu surat berharga berupa surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan/atau setiap derivatif dari efek sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 UU Pasar Modal.
Di Indonesia, pihak yang
berwenang menyelenggarakan dan menyediakan sistem atau sarana perdagangan efek
adalah PT. Bursa Efek Indonesia (BEI)
Dalam kegiatan perdagangan
saham di BEI, terdapat salah satu bentuk transaksi yang cukup diminati oleh
pelaku pasar modal, yaitu Transaksi Repurchase Agreement atau yang
dikenal dengan Transaksi Repo
Dalam praktiknya, penggunaan
Transaksi Repo mengalami perkembangan setiap tahunnya. Sebelumnya dalam kurun
waktu 2011-2015 tercatat bahwa volume Transaksi Repo tahunan tertinggi telah
mencapai Rp150.200.000.000.000 (seratus lima puluh triliun dua ratus miliar
rupiah) dengan nilai transaksi sebesar Rp136.800.000.000.000 (seratus tiga
puluh enam triliun delapan ratus miliar rupiah)
Dalam kaitannya dengan pelaku
pasar modal, para pihak yang terdapat dalam Transaksi Repo adalah investor
penjual dan investor pembeli. Investor penjual merupakan pihak yang mempunyai
saham dan investor pembeli merupakan pihak yang mempunyai dana dan membeli
saham tersebut. Lebih lanjut, kedua pihak dalam Transaksi Repo tersebut dapat
berupa investor domestik maupun investor asing, baik perorangan ataupun
institusi seperti Lembaga Jasa Keuangan (LJK)
LJK dalam Transaksi Repo bertindak sebagai agen dari investor penjual maupun pembeli. Ketentuan Pasal 8 POJK Transaksi Repo menentukan bahwa LJK yang dapat bertindak sebagai agen Transaksi Repo hanyalah LJK yang menjadi partisipan pada sistem penyelesaian Bank Indonesia dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Artinya, LJK dapat bertindak sebagai agen Transaksi Repo apabila LJK tersebut telah menjadi partisipan pada sistem penyelesaian Bank Indonesia dan/atau PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Kemudian, ketentuan Pasal 9 POJK Transaksi Repo menentukan bahwa sebagai agen Transaksi Repo bagi nasabahnya, LJK mempunyai kewajiban untuk memperoleh kuasa dari nasabah untuk melakukan Transaksi Repo bagi kepentingan nasabah, mencatat identitas nasabah yang melakukan Transaksi Repo dan menyampaikan kepada lawan Transaksi Repo, mencatat identitas lawan Transaksi Repo dan menyampaikannya kepada nasabah, dan membuat laporan secara berkala sebagaimana disepakati dalam perjanjian kepada nasabah yang memuat informasi atas Transaksi Repo yang dilakukan atas nama nasabah. Adapun LJK yang dimaksud dalam POJK Transaksi Repo tersebut, yaitu Perusahaan Efek.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 21 UU Pasar Modal, Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi. Dalam kapasitasnya sebagai Perantara Pedagang Efek (PPE), Perusahaan Efek dapat melakukan kegiatan usaha jual beli efek untuk kepentingan sendiri atau pihak lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 50/POJK.04/2020 tentang Pengendalian Internal Perusahaan Efek Yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai Perantara Pedagang Efek (POJK No. 50/POJK.04/2020). Artinya, para pihak dalam Transaksi Repo diwakili oleh Perusahaan Efek yang menjalankan fungsinya sebagai PPE.
Pada saat melakukan Transaksi Repo, para pihak wajib melaksanakan kewajibannya masing-masing berdasarkan perjanjian tertulis yang sudah dibuat sebelumnya sebagaimana Pasal 4 ayat (1) POJK Transaksi Repo. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (2) POJK Transaksi Repo ditentukan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud paling sedikit wajib memuat ketentuan mengenai peralihan atas hak kepemilikan efek, kewajiban penyesuaian nilai efek dengan nilai pasar wajar, marjin awal dan/atau haircut efek dalam Transaksi Repo, pemeliharaan marjin termasuk substitusi efek marjin, hak dan kewajiban para pihak terkait kepemilikan efek dalam Transaksi Repo termasuk waktu pelaksanaannya dan kewajiban perpajakan, peristiwa kegagalan, tata cara penyelesaian peristiwa kegagalan serta hak dan kewajiban yang mengikutinya, perjanjian tunduk pada hukum Indonesia, kedudukan LJK dalam Transaksi Repo sebagai agen atau bertindak untuk dirinya sendiri, dan tata cara konfirmasi atas Transaksi Repo dan/atau perubahan material terkait Transaksi Repo tersebut.
Berangkat dari ketentuan
mengenai perjanjian tertulis tersebut, dapat dilihat bahwa kewajiban atau
prestasi yang wajib dilaksanakan oleh pihak penjual dalam Transaksi Repo adalah
menerima pembayaran dan mengalihkan efek yang dibeli kepada pihak pembeli.
Kemudian, pada waktu yang telah ditentukan pihak pembeli berkewajiban
menyerahkan kembali efek yang bersangkutan kepada pihak penjual dengan harga
yang telah disepakati sebelumnya. Apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi
kewajiban atau prestasi tersebut, baik dalam bentuk terlambat memenuhi
prestasi, keliru memenuhi prestasi, ataupun sama sekali tidak memenuhi
prestasi, pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini dapat mengajukan gugatan
wanprestasi ke pengadilan
Tri Legono Yanuarachmadi selaku Direktur Eksekutif Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2013-2014 permasalahan yang sering muncul di industri pasar modal adalah terkait Transaksi Repo. Salah satu permasalahan yang dimaksud, yaitu pembeli selaku pihak yang menerima saham biasanya melakukan Transaksi Repo kembali atau merepokan kembali (Re-Repo) saham yang diperolehnya kepada pihak lain, padahal yang bersangkutan memiliki kewajiban untuk mengembalikan saham tersebut kepada pihak penjual dalam kurun waktu tertentu. Dengan dilakukannya Re-Repo saham tersebut, pihak penjual kerap kali mengalami kerugian akibat kesulitan memperoleh kembali asetnya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan dirugikannya pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo. Maka dari itu, penting untuk dikaji lebih lanjut mengenai bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam Transaksi Repo di pasar modal Indonesia dalam kaitannya dengan kewajiban peralihan hak milik atas objek Transaksi Repo tersebut beserta akibat hukumnya dan apakah peraturan perundang-undangan Indonesia telah memberikan perlindungan hukum terhadap pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo di pasar modal Indonesia.
Metode Penelitian
Penelitian ini disusun dengan
menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Artinya, pendekatan
dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum,
serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Transaksi Repo di
pasar modal Indonesia. Adapun pendekatan ini juga dikenal dengan pendekatan
kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan,
dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan pokok penelitian terkait
Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan,
melainkan melalui bahan-bahan kepustakaan yang biasa disebut sebagai data
sekunder
Metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dengan analisis
kualitatif, data yang diperoleh akan dikelola dan dianalisis dengan cara
menyusun data-data mengenai Transaksi Repo, kemudian dilakukan interpretasi
untuk memahami makna dari hak dan kewajiban para pihak dalam kaitannya dengan
kewajiban peralihan hak milik atas objek Transaksi Repo tersebut dan
perlindungan hukum terhadap pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo di
pasar modal Indonesia
Hasil dan Pembahasan
Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Transaksi Repo di Pasar Modal
Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Kewajiban Peralihan Hak Milik Atas Objek
Transaksi Repo Beserta Akibat Hukumnya
Pasal 1 angka 1 POJK Transaksi Repo mendefinisikan Transaksi Repo sebagai kontrak jual atau beli efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. Melalui pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa Transaksi Repo pada dasarnya merupakan suatu perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Apabila merujuk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam kaitannya dengan hak membeli kembali, Pasal 1519 KUHPerdata menentukan bahwa kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual timbul karena suatu perjanjian, yang tetap memberikan hak kepada penjual untuk mengambil kembali barang yang dijualnya dengan mengembalikan uang harga pembelian asal dan memberikan penggantian sebagaimana dimaksud Pasal 1532 KUHPerdata.
Apabila dicermati lebih lanjut, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan mengenai konsep jual beli dengan hak membeli kembali yang diatur dalam KUHPerdata dan yang dimaksud dalam Transaksi Repo. Dalam KUHPerdata, pihak penjual memiliki “hak” untuk mengambil kembali barang yang dijualnya dan mengembalikan pembayaran yang sebelumnya sudah diberikan. Hal ini juga berarti bahwa penjual mungkin saja menggunakan atau tidak menggunakan haknya tersebut. Dalam artian, penjual dalam hal ini memiliki kebebasan atau pilihan untuk menggunakan hak pembelian kembali tersebut atau tidak. Berbeda dengan konsep Transaksi Repo, hak untuk membeli kembali bukan merupakan suatu pilihan, melainkan suatu kewajiban yang harus dipenuhi. Suatu perjanjian jual beli efek tidak dapat dikatakan sebagai Transaksi Repo apabila tidak terdapat janji beli atau jual kembali di dalamnya.
Dalam setiap Transaksi Repo
terdapat 2 (dua) pihak utama yang terlibat di dalamnya, yaitu penjual dan
pembeli. Penjual merupakan pihak yang mempunyai saham dan pembeli merupakan
pihak yang mempunyai dana dan membeli saham tersebut. Lebih lanjut, kedua pihak
dalam Transaksi Repo tersebut dapat berupa investor domestik maupun investor
asing, baik perorangan ataupun institusi seperti LJK
Dalam Transaksi Repo, LJK bertindak sebagai agen dari pihak penjual maupun pembeli. Ketentuan Pasal 8 POJK Transaksi Repo menentukan bahwa LJK yang dapat bertindak sebagai agen Transaksi Repo hanyalah LJK yang menjadi partisipan pada sistem penyelesaian Bank Indonesia dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Artinya, LJK dapat bertindak sebagai agen Transaksi Repo apabila LJK tersebut telah menjadi partisipan pada sistem penyelesaian Bank Indonesia dan/atau PT. KSEI. Kemudian, Pasal 9 POJK Transaksi Repo menyatakan bahwa sebagai agen Transaksi Repo bagi nasabahnya, LJK mempunyai kewajiban untuk (1) memperoleh kuasa dari nasabah untuk melakukan Transaksi Repo bagi kepentingan nasabah, (2) mencatat identitas nasabah yang melakukan Transaksi Repo dan menyampaikan kepada lawan Transaksi Repo, (3) mencatat identitas lawan Transaksi Repo dan menyampaikannya kepada nasabah, dan (4) membuat laporan secara berkala sebagaimana disepakati dalam perjanjian kepada nasabah yang memuat informasi atas Transaksi Repo yang dilakukan atas nama nasabah. Adapun LJK yang dimaksud dalam POJK Transaksi Repo tersebut, yaitu Perusahaan Efek. Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU Pasar Modal, Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan/atau Manajer Investasi. Dalam kapasitasnya sebagai PPE, Perusahaan Efek dapat melakukan kegiatan usaha jual beli efek untuk kepentingan sendiri atau pihak lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 4 POJK No. 50/POJK.04/2020. Artinya, para pihak dalam Transaksi Repo diwakili oleh Perusahaan Efek yang menjalankan fungsinya sebagai PPE.
Dalam pelaksanaannya, setiap Transaksi Repo wajib berdasarkan pada perjanjian tertulis yang sudah dibuat sebelumnya sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (2) POJK Transaksi Repo. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (2) POJK Transaksi Repo ditentukan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud paling sedikit wajib memuat ketentuan mengenai:
a.
Peralihan
atas hak kepemilikan efek;
b.
Kewajiban
penyesuaian nilai efek dengan nilai pasar wajar (mark to market);
c.
Marjin
awal dan/atau haircut efek dalam Transaksi Repo;
d.
Pemeliharaan
marjin termasuk substitusi efek marjin;
e.
Hak
dan kewajiban para pihak terkait kepemilikan efek dalam Transaksi Repo termasuk
waktu pelaksanaannya dan kewajiban perpajakan;
f.
Peristiwa
kegagalan;
g.
Tata
cara penyelesaian peristiwa kegagalan serta hak dan kewajiban yang
mengikutinya;
h.
Perjanjian
tunduk pada hukum Indonesia;
i.
Kedudukan
Lembaga Jasa Keuangan dalam Transaksi Repo sebagai agen atau bertindak untuk
dirinya sendiri; dan
j.
Tata
cara konfirmasi atas Transaksi Repo dan/atau perubahan material terkait
Transaksi Repo tersebut.
Selain memenuhi ketentuan di atas, setiap perjanjian tertulis tersebut juga wajib menerapkan Global Master Repurchase Agreement (GMRA) Indonesia, yang diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/SEOJK.04/2015 tentang Global Master Repurchase Agreement Indonesia (SEOJK Transaksi Repo). GMRA merupakan standar perjanjian Transaksi Repo yang diterbitkan oleh International Capital Market Association. Adapun GMRA Indonesia yang dimaksud terdiri dari:
a. Perjanjian induk global pembelian kembali (GMRA)
b. Lampiran transaksi domestik di Indonesia (Indonesia Annex)
c. Lampiran I syarat dan ketentuan tambahan (Annex I Supplemental terms and condition)
d. Lampiran II format konfirmasi (Annex II Confirmation)
e. Lampiran Pembelian/Penjualan Kembali (buy/sell back Annex)
f. Lampiran ekuitas (Equity Annex)
g. Lampiran keagenan (Agency Annex)
Dalam hal Transaksi Repo saham dilakukan di Bursa Efek Indonesia maka lampiran transaksi domestik (Indonesia Annex) mengikat terhadap perjanjian tertulis tersebut. Adapun lampiran transaksi domestik di Indonesia (Indonesia Annex) terdiri dari beberapa paragraf, yaitu:
a. Paragraf 1 tentang Ruang Lingkup
b. Paragraf 2 tentang Interpretasi
c. Paragraf 3 tentang Pernyataan
d. Paragraf 4 tentang Peristiwa Kegagalan
e. Paragraf 5 tentang Pasal 1425 – Pasal 1435 KUHPerdata
f. Paragraf 6 tentang Pengalihan Kepemilikan
g. Paragraf 7 tentang Perpajakan Berlaku di Inggris
h. Paragraf 8 tentang Tidak Dapat Dialihkan
i. Paragraf 9 tentang Hukum yang Berlaku dan Arbitrase
j. Paragraf 10 tentang Pengesampingan Kekebalan Hukum
k. Paragraf 11 tentang Hak Pihak Ketiga
Dari ketentuan tersebut diketahui Indonesia mewajibkan penerapan perjanjian Induk GMRA dalam Transaksi Repo yang dilakukan di Indonesia. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa kewajiban pihak penjual melalui PPE adalah memberikan saham kepada pembeli yang juga dapat diwakili oleh PPE yang kemudian akan dilakukan penyerahan dana dari pembeli. Setelah jatuh tempo pembelian kembali yang disepakati oleh kedua pihak maka pihak pembeli akan memberikan saham tersebut kepada penjual melalui PPE masing-masing. Proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan oleh KSEI dan dilakukan dengan cara sistem scripless trading melalui book entry settlement, yaitu merupakan sistem transaksi tanpa warkat yang dilakukan melalui sistem komputerisasi. Sistem tersebut dilakukan dengan mengurangkan efek atau saham dari rekening penjual dan ditambahkan ke rekening pembeli dan sebaliknya.
Proses dalam pemindahbukuan dapat dilakukan dengan cara mengurangkan efek atau saham dari rekening penjual, lalu dapat ditambahkan ke rekening pembeli. Demikian pula sebaliknya, rekening dana dari Anggota Bursa akan dikurangkan dan ditambahkan dari rekening pembeli melalui Anggota Bursa. Peralihan hak atas Efek yang terjadi pada saat penyerahan Efek atau pada waktu Efek dikurangkan dari rekening Efek pertama dan dilanjutkan dengan penambahan pada rekening efek lain yang tertera dalam Pasal 55 UU Pasar Modal. Dapat disimpulkan bahwa perpindahan hak milik dalam setiap Transaksi Repo sudah terjadi pada saat penyelesaian transaksi pertama kali (1st leg), lalu dapat diketahui bahwa efek yang telah menjadi objek dalam Transaksi Repo yang bersangkutan telah dikuasai oleh pihak pembeli sejak transaksi yang pertama (1st leg) selesai hingga sebelum jatuh tempo pembelian kembali yang ditentukan para pihak dari transaksi kedua (2nd leg) yang disimpulkan dari uraian di atas.
Dari semua di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam Transaksi Repo saham yang pada awalnya seluruh penjual wajib memindahkan kepemilikannya kepada pembeli. Bahkan telah ditegaskan juga bahwa semua pihak dengan cara apapun tidak dapat atau tidak diperkenankan untuk membatasi pemindahan kepemilikan tersebut yang tertera dalam SEOJK Transaksi Repo. Selanjutnya dengan adanya pernyataan titel hak milik tersebut, berdasarkan Pasal 570 KUHPerdata yang mengatur mengenai hak milik, yang sejatinya pengalihan kembali oleh pihak pembeli kepada pihak ketiga terhadap saham dari pihak penjual bukanlah suatu pelanggaran sebab pemegang titel hak milik atas saham tersebut ada dari pihak pembeli. Dengan demikian semua peralihan kepemilikan yang mengatas dasarkan saham dalam semua Transaksi Repo saham, pada dasarnya pihak pembeli pun berhak untuk mengalikan kembali semua objek saham yang juga bersangkutan dengan pihak ketiga. Meskipun sesuai dengan SEOJK Transaksi Repo yang sebelumnya diuraikan, semua penjual berhak untuk memiliki kembali saham yang telah dijual. Kemudian, pihak pembeli pun dalam transaksi Repo saham juga berhak untuk mengalikan seluruh objek saham yang juga bersangkutan dengan pihak ketiga, dan dalam jangka waktu jatuh tempo pembelian kembali (2nd leg), pihak pembeli memiliki kewajiban untuk memastikan kembalinya saham tersebut kepada pihak penjual sesuai dengan waktu jatuh temponya.
Perlindungan Hukum Terhadap Penjual Dalam Transaksi Repo di Pasar
Modal Indonesia
Perlindungan hukum adalah
perlindungan yang diberikan terkait dengan adanya hak dan kewajiban, yang dalam
hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya
dengan sesama manusia serta lingkungannya (Sutantio, 2010). Berangkat dari
pengertian tersebut, yang dimaksud dengan perlindungan hukum terhadap penjual
dalam Transaksi Repo saham di pasar modal Indonesia adalah perlindungan yang
diberikan oleh hukum terhadap penjual yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
yang terdapat dalam Transaksi Repo saham di BEI. Dengan demikian dalam bagian
ini akan dibahas juga mengenai hak dan kewajiban yang berhubungan dengan
penjual dalam Transaksi Repo saham di pasar modal Indonesia.
Transaksi Repo saham di BEI dilakukan
oleh LJK yakni perusahaan efek dalam fungsinya sebagai PPE yang mewakili
kepentingan investor jual dan investor beli. Pasal 30 UU Pasar Modal menyatakan
bahwa yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai perusahaan efek adalah
perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam (OJK). Perusahaan harus
mendapat izin usaha untuk menjadi PPE. Untuk melakukan Transaksi Repo harus
mempunyai direktur atau pegawai yang berwenang, harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman kerja yang memadai. PPE juga harus memastikan adanya efek dan dana
dari pihak yang diwakilinya untuk penyelesaian Transaksi Repo sesuai dengan
Pasal 6 ayat (1) huruf c POJK Transaksi Repo.
Dalam hal PPE bertindak untuk dan
atas nama nasabahnya, PPE wajib memperoleh kuasa dari nasabahnya, mencatat
identitas nasabah yang melakukan Transaksi Repo dan menyampaikan kepada lawan
Transaksi Repo nasabahnya, mencatat identitas lawan Transaksi Repo dan
menyampaikan kepada nasabahnya serta membuat laporan secara berkala sebagaimana
yang telah disepakati sebagaimana Pasal 9 POJK Transaksi Repo. Dapat
disimpulkan bahwa POJK Transaksi Repo memberikan perlindungan yang dalam hal
ini baik kepada penjual maupun pembeli yakni memberikan protokol administrasi
agar Transaksi Repo saham dapat berjalan baik. Pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan POJK Transaksi Repo baik mengenai kewajiban LJK mempunyai
direksi yang berwenang dalam melakukan Transaksi Repo, kewajiban LJK mempunyai
pengetahuan mengenai Transaksi Repo, maupun kewajiban LJK memastikan adanya dana/efek
yang akan ditransaksikan dalam Transaksi Repo serta kewajiban
memenuhi protokol-protokol
administrasi dalam Transaksi Repo adalah sanksi yang diberikan OJK.
POJK Transaksi Repo memberikan
perlindungan kepada penjual maupun pembeli, yakni diberikannya sanksi ataupun
tindakan-tindakan tertentu apabila LJK melanggar ketentuan-ketentuan POJK
Transaksi Repo. Sanksi tersebut dapat berupa macamnya sebagaimana termuat Pasal
11 Ayat (1) POJK Transaksi Repo, yaitu peringatan tertulis, denda untuk
membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan
usaha, pencabutan izin udaha, pembatalan persetujuan, dan pembatalan
pendaftaran. Dalam Transaksi Repo saham, wajib adanya peralihan hak milik yakni
dari pihak penjual kepada pembeli (pada saat 1st leg) dan dari pihak pembeli
kepada pihak penjual (pada saat jatuh tempo pembelian kembali atau 2nd leg).
Peralihan hak milik tersebut membawa konsekuensi bahwa tidak dapat diperolehnya
kembali saham milik penjual pada saat jatuh tempo pembelian kembali (2nd
leg) karena pembeli memiliki landasan hak untuk mengalihkan kembali saham
yang dimilikinya dari penjual.
Dengan adanya ketentuan SEOJK
Transaksi Repo tersebut di atas yang menyebutkan bahwa pada tidak ada maksud
dari para pihak bahwa setiap Transaksi dengan cara apapun akan menimbulkan atau
mengakibatkan timbulnya hak jaminan atau hak terbatas lain yang bersifat accesoir
atas kepemilikan, pada dasarnya menyulitkan pihak penjual untuk menjamin
didapatkannya kembali saham yang telah dijualnya kepada pihak pembeli.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin kembalinya saham seperti
misalnya memasukkan klausul larangan bagi pihak pembeli untuk mengalihkan objek
saham Transaksi Repo atau memasukkan klausul kewajiban bagi pihak pembeli untuk
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pihak penjual apabila hendak
mengalihkan objek saham yang bersangkutan, tampaknya tidaklah dapat dilakukan
sebab upaya-upaya tersebut membatasi hak kepemilikan atas objek Transaksi Repo.
Meskipun demikian di sisi lain, haruslah dapat dipahami bahwa kewajiban
peralihan hak milik tersebut merupakan hakikat dari suatu perjanjian jual beli.
Sebagaimana diuraikan pada bagian awal bab ini, berdasarkan POJK Transaksi
Repo, dapat disimpulkan bahwa Transaksi Repo pada dasarnya adalah suatu
perjanjian jual beli, hanya memang memiliki karakteristik khusus yakni adanya
kewajiban pembelian atau penjualan kembali.
Apabila pembeli tidak dapat menyerahkan
kembali saham milik penjual pada saat jatuh tempo pembelian kembali (2nd leg)
adalah dengan cara menggugat atas dasar cidera janji atau wanprestasi sebab
berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) POJK Transaksi Repo. BEI sebagai pihak
penyelenggara perdagangan efek dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam
kedudukannya sebagai turut tergugat oleh penjual apabila pembeli tidak dapat
menyerahkan kembali saham penjual pada saat jatuh tempo pembelian kembali (2nd
leg). Namun demikian dengan cara gugat menggugat sekalipun tidak ada yang dapat
menjamin penjual dapat memiliki kembali sahamnya. Peraturan perundang-undangan
pada dasarnya sudah berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap penjual
dalam Transaksi Repo saham di BEI namun perlu diperhatikan secara khusus
perihal objek Transaksi Repo yang dapat dialihkan oleh pembeli atas titel hak
milik yang dimilikinya. Dengan adanya titel hak milik tersebut, penjual
berpotensi untuk tidak dapat memiliki kembali sahamnya akibat saham yang
bersangkutan telah dialihkan kepada pihak lain. SEOJK Transaksi Repo juga
secara tegas dan ketat melarang upaya-upaya dalam bentuk apapun untuk membatasi
hak milik sehingga sulit bagi penjual untuk meminimalisir risiko akan tidak
kembalinya saham yang dimilikinya.
Melalui uraian di atas, dapat
dilihat bahwa dikarenakan ketentuan perundang- undangan yang dimiliki Indonesia
sampai pada saat ini masih belum memberikan perlindungan hukum yang memadai
bagi pihak penjual. Maka dari itu, pihak penjual dalam Transaksi Repo dapat
memasukkan klausula pembatalan perjanjian apabila pihak pembeli tidak dapat
menyerahkan kembali saham penjual saat jatuh tempo pembelian kembali. Pasal
1265 KUHPerdata menyebutkan bahwa apabila suatu syarat batal dipenuhi, maka
syarat tersebut menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian,
apabila pihak pembeli tidak dapat menyerahkan kembali saham pihak penjual pada
saat jatuh tempo pembelian kembali, maka perjanjian menjadi batal dan pihak
pernjual berhak mendapatkan kembali sahamnya sebagaimana keadaan semula sebelum
terjadinya perjanjian. Selain itu, pihak penjual dalam Transaksi Repo juga
dapat meminta kepada pihak pembeli agar diadakan penanggungan risiko seperti
asuransi terhadap objek Transaksi Repo bersangkutan sehingga apabila pembeli
melakukan wanprestasi, penjual setidaknya dapat segera meminimalisir kerugian
yang terjadi dengan melakukan klaim terhadap pihak penanggung.
Kesimpulan
Transaksi Repo di pasar modal
Indonesia mengakibatkan terjadinya perallihan hak milik atas objek Transaksi
Repo yang bersangkutan. Hak dan kewajiban para pihak terkait dengan kewajiban
peralihan hak milik tersebut adalah bahwa para pihak dalam perjanjian Transaksi
Repo tersebut wajib mencantumkan ketentuan kesepakatan mengenai adanya
peralihak hak atas kepemilikan saham tersebut. Selain itu, pihak penjual wajib
menyerahkan efek yang bersangkutan kepada pihak pembeli pada saat jual beli
pertama kali dan pada saat jatuh tempo pembelian kembali, pihak penjual juga
wajib membayar harga yang telah disepakati sebelumnya untuk mendapatkan kembali
sahamnya. Sedangkan kewajiban pihak pembeli dalam hal ini adalah membayar harga
efek yang telah disepakati kepada pihak penjual pada saat jual beli pertama
kali dan pada saat jatuh tempo pembelian kembali, pihak pembeli wajib wajib
menyerahkan kembali efek yang bersangkutan kepada pihak penjual. Adapun akibat
hukum terhadap gagalnya pembeli untuk menyerahkan kembali saham penjual pada saat
jatuh tempo pembelian kembali, yaitu didudukannya pihak pembeli tersebut
sebagai pihak yang cidera janji atau wanprestasi. Dalam hal ini, pihak penjual
dapat mengajukan gugatan wanprestasi terhadap pembeli tersebut, baik melalui
pengadilan maupun lembaga arbistrase sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam
perjanjian. Selain itu, pihak pembeli juga dapat menarik BEI sebagai turut
tergugat dalam hal ini selaku pihak yang berwenang untuk menyelenggarakan
perdagangane efek di pasar modal Indonesia.
Pada dasarnya ketentuan
perundang-undangan di Indonesia belum memberikan perlindungan hukum secara
khusus kepada pihak penjual dalam pelaksanaan Transaksi Repo. SEOJK Transaksi
Repo mengatur secara rinci dengan menyatakan bahwa para pihak dengan cara
apapun tidak diperbolehkan untuk membatasi hak atas kepemilikan objek Transaksi
Repo hal ini bertujuan agar lebih terjaminnya saham penjual akan kembali ketika
jatuh tempo pembelian kembali dengan cara memasukkan klausul larangan bagi
pihak pembeli untuk mengalihkan objek saham Transaksi Repo atau memasukkan
klausul kewajiban bagi pihak pembeli untuk terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan dari pihak penjual apabila hendak mengalihkan objek saham yang
bersangkutan kepada pihak ketiga, namun hal tersebut tidak dapat dilakukan
karena tindakan tersebut membatasi hak kepemilikan atas objek Transaksi Repo.
Larangan pencantuman klausul tersebut secara tidak langsung memperlihatkan
bahwa belum terdapat ketentuan yang memberikan perlindungan hukum secara khusus
kepada pihak penjual dalam Transaksi Repo. Dalam praktiknya, hal yang dapat
dilakukan oleh pihak penjual dalam Transaksi Repo, yaitu memasukkan klausula
pembatalan perjanjian apabila pihak pembeli tidak dapat menyerahkan kembali
saham penjual saat jatuh tempo dan/atau sebelumnya meminta kepada pihak pembeli
agar diadakan penanggungan risiko seperti asuransi terhadap objek Transaksi
Repo bersangkutan sehingga apabila pembeli melakukan wanprestasi.
BIBLIOGRAFI
Arifardhani, Y.
(2020). Hukum Pasar Modal di Indonesia: Dalam Perkembangan. Jakarta:
Prenada Media.
Hadad, M. D. (2016, January 29). Otoritas Jasa Keuangan.
Retrieved from Otoritas Jasa Keuangan Web site:
https://www.ojk.go.id/id/kanal/pasar-modal/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/sambutan-ketua-ojk-dalam-peluncuran-global-master-repurchase-agreement-indonesia.aspx.
Harahap, M. Y. (2017). Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar
Grafika.
Lasmini, Y., & Abubakar, L. (2018). Perlindungan Hukum
Bagi Investor Sehubungan Dengan Adanya Pengalihan Kepemilikan Efek Dalam
Transaksi Repo Di Pasar Modal. Jurnal Hukum Kenotariatan dan PPAT,
154-155.
Nasarudin, M., Surya, I., Yustiavandana, I., Nefi, A., &
Adiwarman. (2014). Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Kencana.
Pasaribu, A. F. (2020). Pelaksanaan Penawaran Tender Dalam
Pasar Modal dan Akibat Hukumnya di Indonesia. Jurnal Justitia Et Pax,
92.
Pratama, A. (2016). Perdagangan Oleh Orang
Dalam (Insider Trading) Dalam Transaksi Efek Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun
1995 Tentang Pasar Modal
Puteri, K. A. (2019). Pengaturan Hukum Transaksi Repurchase
Agreement di Indonesia. Jurnal Privat Law, 214-215.
Rahadiyan, I. (2014). Hukum Pasar Modal Indonesia:
Pengawasan Pasar Modal di Indonesia Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan.
Yogyakarta: UII Press.
Rechtschaffen, A. N. (2009). Capital Markets, Derivatives,
and The Law. New York: Oxford University Press, Inc.
Rokhmatussa'dyah, A., & Suratman. (2015). Hukum
Investasi & Pasar Modal. Jakarta: Sinar Grafika.
Sembiring, S. (2019). Hukum Pasar Modal. Bandung:
Nuansa Aulia.
Soekanto, S. (2010). Pengantar Penelitian Hukum.
Jakarta: UI Press.
Sunggono, B. (2015). Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers.
Sutedi, A. (2009). Segi-Segi Hukum Pasar Modal. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Winarta, F. H. (2022). Hukum Penyelesaian Sengketa
Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Copyright holder: Annabelle Octaviany Josephine
Karamoy, Meirani Suyawan (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |