Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
2, Februari 2024
POLICY NETWORK DARI UNDANG – UNDANG
CIPTA KERJA KEKHUSUSAN TERKAIT PERIZINAN
Eva Eliza Wibisono1,
Rendy Ananta Prasetya2, Savira Ayu Arsita3
Universitas Indonesia, Indonesia1,3
Direktur Eksekutif, Pusat Analisis Jaringan Sosial (PAJS), Indonesia2
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penerapan model jaringan/ jejaring kebijakan public
(policy network) merupakan pendekatan baru untuk melihat fenomena yang semakin
kompleks melalui struktur jaringan yang tumpang tindih dari berbagai
perlintasan struktur sosial yang melibatkan banyak instansi/ pemerintahan
publik. Model ini dipilih peneliti karena mempunyai relevansi dengan pembahasan
penelitian, identifikasi permasalahan ditemukan tepat pada saat dilakukan
penelitian model Waarden, dan teori yang digunakan peneliti yakni jejaring /
jaringan kebijakan pada UU Cipta Kerja (omnibus law) khususnya pada bidang
perizinan. Kebijakan jaringan (policy network) melibatkan ketergantungan sumber
daya yang dibentuk oleh lebih organisasi – organisasi kepemerintahan yang
saling berkaitan satu dengan yang lain. Penelitian ini fokus kepada dua (2)
permasalahan yakni (1) kerangka policy network pada UU Cipta Kerja; (2) aktor –
aktor yang terlibat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif – eksploratif
dengan pendekatan fenomenologis yang secara spesifik menitikberatkan pada
pembahasan norma perundang – undangan khususnya UU Cipta Kerja kekhususan
perizinan. Temuan dari penelitian dan karya ilmiah ini: i) penerapan UU Cipta
Kerja telah memangkas banyak peraturan yang tumpang tindih; ii) Policy Network
dapat mempermudah pemahaman atas peraturan perundang – undangan yang kompleks
di Indonesia; iii) peran dan kewenangan yang saling lintas batas antar
kementerian dan antar aktor akan dapat dipermudah dengan kerangka berpikir
Policy Network.
Kata kunci: Policy Networks, peran dan
kewenangan, UU Cipta Kerja
Abstract
The application of the public policy network model is a new
approach to see increasingly complex phenomena through overlapping network
structures from various crossings of social structures involving many public
agencies/governments. This model was chosen by researchers because it has
relevance to research discussions, problem identification was found right at
the time of Waarden's model research, and the theory used by researchers is a
network/network of policies in the Job Creation Law (omnibus law), especially
in the field of licensing. Policy networks involve the dependence of resources
formed by more governmental organizations that are interrelated with each
other. This research focuses on two (2) problems, namely (1) the network policy
framework in the Job Creation Law; (2) actors involved. This research uses
qualitative – exploratory methods with a phenomenological approach that
specifically focuses on discussing statutory norms, especially the Job Creation
Law, licensing specificity. Findings from this research and scientific work: i)
the implementation of the Job Creation Law has cut many overlapping
regulations; ii) Policy Network can facilitate understanding of complex laws
and regulations in Indonesia; iii) roles and authorities that cross borders
between ministries and between actors will be facilitated with the Policy
Network frame of mind.
Keywords: Policy Networks, role and authority,
Job Creation Law
Pendahuluan
Hidayat (2015) meneliti Model Jaringan Kebijakan Publik
(policy network) yang menundukkan kedudukan sipil dan pemerintahan dalam fungsi
– fungsi yang berjalan maksimal secara konsultatif melalui struktur jaringan
walaupun terjadi tumpang tindih keanggotaan baik diantara lembaga – Lembaga
jaringan kebijakan yang pola interaksinya bersifat konsultatif, distribusi
kekuasaan yang seimbang, keterlibatan LSM yang partisipatif. Model Jaringan
yang dipilih dalam penelitian ini menggunakan model yang digagas oleh Van Waarden (1992). Model ini dipilih peneliti karena mempunyai
relevansi dengan pembahasan penelitian, identifikasi permasalahan ditemukan
tepat pada saat dilakukan penelitian model Waarden, dan teori yang digunakan
peneliti berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
Analisa kewenangan dan fungsi dari Analisa pemangku kepentingan yang berbasis
pada interkoneksi relasi dan hubungan lintas kementerian dan atau badan (Barelly et al., 2021). Karena pengembangan aplikasi dan aturan
kebijakan tidak bisa hanya melibatkan satu pemangku kepentingan saja, harus ada
beberapa pemangku kepentingan yang terlibat untuk menyukseskan kebijakan. Kebijakan
publik diartikan sebagai pemanfaatan strategis untuk mengelola sumber daya yang
terdapat di suatu daerah untuk menyelesaikan permasalahan sosial (Manna & Syafiie, 2014). Jadi, berdasarkan kedua pendapat tersebut
dapat dipahami bahwa kepentingan masyarakat dapat diperoleh jika ada kebijakan
yang strategis.
Lebih lanjut Nugroho (2021) mengelompokkan kebijakan publik menjadi tiga
bagian, yaitu: kebijakan publik makro, kebijakan publik menengah, dan kebijakan
publik mikro. Klijn dan Koppenjan (2000) mengamati bahwa penggunaan konsep jaringan
dalam ilmu kebijakan dimulai pada awal tahun 1970an. Mereka berpendapat bahwa
dalam kajian implementasi kebijakan khususnya pada pendekatan “bottom-up”
dibandingkan dengan pendekatan “top-down”. Konsep ini digunakan untuk memetakan
hubungan antar organisasi dan menilai pengaruh pola-pola tersebut terhadap
proses kebijakan. Ada beberapa pemahaman mengenai jaringan kebijakan,
tergantung dari konteks mana jaringan tersebut berasal, sebagaimana dikemukakan
oleh Raab dan Kenis (2009). Kebijakan jaringan adalah kelompok organisasi
yang terhubung karena ketergantungan sumber daya dan dibentuk oleh lebih dari
dua organisasi yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan bersama. Jaringan
kebijakan secara umum dapat dipahami sebagai elemen struktural dari jaringan
kolaboratif yang mendokumentasikan komponen-komponen seperti hubungan timbal
balik, kesetaraan, dan keterwakilan (Damenta & Digdowiseiso,
2023; DeLeon & Varda, 2009).
Jaringan kebijakan Menurut Rhodes (2006) menunjukkan lebih banyak variasi interaksi
antara pemerintah, swasta, komunitas dan aktor internasional dalam suatu arena
kebijakan. Bukan sekedar pola komunikasi atau interaksi antar aktor terkait
dalam struktur yang berbeda dan independent (Soenar, 2021). Jaringan kebijakan pada hakikatnya memuat
kondisi alamiah strategi bertindak dalam konteks kelembagaan yang mencakup
penajaman persepsi, pertimbangan, dan interaksi para aktor kebijakan.
Maka pada tulisan
ilmiah kali ini penulis berkesempatan untuk memfokuskan kepada Undang – undang
Cipta Kerja, secara khusus di bagian perizinan. Dengan memperlihatkan bagaimana
Undang – undang ini bekerja dalam kerangka hubungan inter-relasi daripada aktor
– aktor lintas kementerian yang tergabung dalam muatan sosial dalam pengurusan
perizinan berdasarkan Undang – Undang Cipta Kerja (omnibus law). Maka rumusan
masalah dalam karya ilmiah ini adalah: 1) Bagaimana kerangka policy network
dalam pengurusan perizinan berdasarkan UU Cipta Kerja?;
2) Siapa saja aktor – aktor yang terlibat dalam pengurusan perizinan
berdasarkan norma yang terdapat di UU Cipta Kerja?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-eksploratif
dengan pendekatan fenomenologis (Creswell & Poth, 2016) sebagai eksplorasi pada Analisa jaringan yang
ada dalam pembahasan norma – norma perundang – undangan Undang – undang Cipta
Kerja. Data dan fakta yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dengan cara
mempelajari dan membaca buku – buku, jurnal, dokumen resmi dan sumber data lain
yang relevan sehingga menghasilkan penelitian yang berkualitas secara spesifik
dokumen yang dijadikan pusat analisis dalam karya ilmiah ini adalah Undang –
Undang Nomor 11 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Setelah diperoleh, data
kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dengan menggunakan Miles, Huberman
dan Saldana (2013) dengan tahapan pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data dan verifikasi data hingga menghasilkan kesimpulan. Penelitian
ini menghasilkan temuan – temuan baru yang bermanfaat bagi pembaca dalam
melihat kerangka kebijakan peraturan perundang – undangan dalam perspektif yang
baru yakni policy networks / UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
Hasil dan Pembahasan
Secara umum, jaringan sosial didefinisikan sebagai suatu jaringan interaksi atau hubungan, dimana titik simpulnya terdiri dari aktor-aktor, dan bagian tepinya terdiri dari hubungan atau interaksi antar aktor-aktor tersebut. Generalisasi gagasan jaringan sosial adalah jaringan informasi, yang mana simpul-simpulnya dapat terdiri dari aktor-aktor atau entitas-entitas, dan ujung-ujungnya menunjukkan hubungan di antara mereka. Jelasnya, konsep jejaring sosial tidak terbatas pada kasus spesifik jejaring sosial berbasis internet seperti Facebook; Masalah jejaring sosial sering kali dipelajari dalam bidang sosiologi dalam kaitannya dengan interaksi umum antara kelompok aktor mana pun. Interaksi tersebut dapat berbentuk konvensional atau non-konvensional, baik interaksi tatap muka, interaksi telekomunikasi, interaksi email, atau interaksi surat pos.
Analisis jaringan sosial, kemudian, berkonsentrasi pada hubungan antara anggota suatu sistem dan bukan pada atribut individu dari anggota tersebut. Sebab, pola hubungan mempunyai konsekuensi (Kurniawan et al., 2020). Analis jaringan tidak hanya berhenti pada “siapa yang Anda kenal”, namun menyelidiki lebih dalam pola-pola hubungan tersebut. Pola hubungan inilah yang kita sebut “struktur” (Wasserman, 1994). Banyak penelitian ilmu sosial di berbagai bidang berfokus secara eksklusif pada atribut individu (seperti bakat, dalam contoh di atas) dan mengabaikan informasi penting tentang pola hubungan antar anggota sistem (Wasserman, 1994).
Pola yang dimaksud dalam konteks karya ilmiah ini adalah keterkaitan antara: a) konsep – konsep yang ada dalam norma peraturan perundang – undangan (“UU Cipta Kerja”); b) aktor atau pemangku kepentingan terkait yang disebutkan dalam UU Cipta Kerja tersebut.
UU Cipta Kerja di Indonesia setidaknya membuat sekitar 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal bisa direvisi sekaligus hanya dengan satu UU Cipta Kerja yang mengatur multisector.
Gambar 1. Booklet UU Cipta
Kerja (Omnibus Law)
Kemunculan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) banyak disebutkan bertujuan untuk menyederhanakan peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena peraturan-peraturan yang ada di Indonesia tidak saja banyak secara kuantitas tetapi banyak juga peraturan antar sektor yang saling tumpang tindih (Roihan, 2021). Salah satu kluster aturan dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law) adalah penyederhanaan perizinan dan dalam penelitian ini yang menjadi fokus adalah aturan terkait perizinan lokasi atau perizinan pemanfaatan ruang.
Gambar 2. Booklet UU Cipta
Kerja (Omnibus Law)
Kerangka berpikir jaringan dapat digunakan dalam melihat interkoneksi aktor yang saling terkoneksi satu dengan yang lainnya, begitupun dalam peraturan perundang-undangan. Aktor di sini termasuk juga dengan segala peraturan-peraturan yang telah ada sebelum UU Cipta Kerja (Omnibus Law), tidak hanya lembaga/organisasi yang terdiri dari individu-individu lagi di dalamnya. Demikian kemunculan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) itu sendiri telah mengubah dan memunculkan masalah terhadap dua jejaring yakni jejaring antar lembaga/organisasi yang terlibat dan terikat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja (Omnibus Law) dan jejaring peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya. Untuk melihat siapa saja lembaga/organisasi yang terlibat dan terikat dalam aturan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) dan bagaimana apa muatan yang menghubungkan mereka maka penting untuk menguraikan aturan apa saja yang mengikat hubungan tersebut.
Sebelum UU Cipta Kerja (Omnibus Law) dibuat ada empat undang-undang yang sekiranya mengatur tentang pemanfaatan ruang yang kemudian menjadi rujukan untuk aturan izin lokasi. Keempat undang-undang tersebut adalah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014; UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan; dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004; serta UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial sebagai aturan utama terkait informasi keruangan (Arifin & Satria, 2020). Demikian setidaknya ada tiga jenis pemanfaatan ruang dan berikut skema izin lokasi atau pemanfaatan ruang sebelum dan setelah ada UU Cipta Kerja (Omnibus Law):
Gambar
3. UU Cipta Kerja (UU Cipta Kerja / Omnibus Law) Perizinan Lokasi
Sebelum UU Cipta Kerja / Omnibus Law
Gambar 4. UU Cipta Kerja
(UU Cipta Kerja (Omnibus Law) Perizinan Lokasi Setelah UU Cipta Kerja (Omnibus
Law)
Alur dan jejaring birokrasi setelah UU Cipta Kerja (Omnibus Law). memang terlihat sederhana karena perizinan lokasi menjadi terintegrasi dengan izin usaha, artinya segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang disesuaikan dengan perizinan usaha yang secara garis besar pedoman dan pelaksanaannya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Namun perlu diingat bahwa perizinan usaha itu sendiri diberikan oleh Kementerian Investasi/BKPM jadi secara tidak langsung segala perizinan dibebankan kepada Kementerian Investasi/BKPM. Hal ini membuat aktor-aktor yang sebelumnya memiliki peran harus menunggu kewenangan Pemerintah Pusat atas perannya setelah adanya UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Terlebih lagi jika dilihat lebih jauh lagi aktor-aktor yang terlibat tidaklah sedikit. Hal ini terlihat dalam banyaknya peraturan perundang-undangan sebelum UU Cipta Kerja (Omnibus Law). terkait dengan izin lokasi dari beberapa kementerian akan merujuk ke aturan-aturan lain dengan hirarki lebih tinggi yang mengatur lebih banyak kementerian dan lembaga. Oleh karena itu tidak hanya melibatkan banyak aktor, peraturan yang saling tumpang tindih justru berpotensi membuat banyak sektor bentrok karena terikat pada peraturan-peraturan tersebut. Tumpang tindih aturan terlihat pada aturan-aturan yang sudah banyak diubah.
Gambar 5. Jejaring Permen
ESDM Nomor 7 Tahun 2020
Gambar 6. Jejaring Permen ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2019
Gambar 7. Jejaring Permen ATR/BPN
Nomor 17 Tahun 2019 (2)
Gambar 8. Jejaring Permen ATR/BPN
Nomor 17 Tahun 2019 (3)
Gambar 9. Jejaring Permen
Pariwisata Nomor 10 Tahun 2018
Gambar 10. Jejaring Permen KP Nomor
24 Tahun 2019
Gambar 11. Jejaring Permen ESDM
Nomor 11 Tahun 2018
Salah satu contohnya, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sudah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 namun di dalam Omnibus Law aturan yang diubah adalah UU Nomor 27 Tahun 2007. Jika dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007 terdapat pasal yang tidak sesuai dengan perubahan dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law) maka UU Nomor 1 Tahun 2014 dapat diubah/dicabut begitu saja oleh Pemerintah Pusat tanpa melibatkan aktor-aktor lain yang terlibat. Ini secara tidak langsung UU Cipta Kerja (Omnibus Law) seolah berada di hirarki yang lebih tinggi dari undang-undang lainnya dan ini berkontradiksi dengan ketentuan bahwa semua peraturan undang-undang memiliki hirarki yang sama.
Selain itu UU Cipta Kerja (Omnibus Law) sama sekali tidak mengubah
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang banyak
sekali dirujuk dalam berbagai aturan terkait dengan perizinan lokasi. Demikian
jika ada pasal dalam UU tersebut yang tidak sesuai dengan UU Cipta Kerja
(Omnibus Law) tidak jelas atau belum jelas mana yang akan berlaku karena secara
hirarkis tidak ada aturan turunan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang bisa
mengubah isi UU Nomor 5 Tahun 1960.
Kesimpulan
Perjanjian titip jual melalui media sosial oleh makelar
kurang menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Meskipun syarat dan unsur
perjanjian secara umum terpenuhi, bentuknya yang tidak tertulis dalam kontrak
konkret membuatnya kurang kuat secara hukum. Pembuktian percakapan melalui
media sosial juga menjadi lebih sulit dibandingkan dengan kontrak tertulis.
Secara materiil, perjanjian tersebut juga kurang memberikan kepastian karena
formulasi yang tidak komprehensif, menyebabkan multitafsir hukum dalam kasus
wanprestasi. Makelar, meskipun bertanggung jawab secara kolektif dengan
penjual, seharusnya tidak menanggung seluruh kerugian pembeli akibat kesalahan
penjual yang tidak bertanggung jawab. Meskipun dalam teori makelar memiliki hak
untuk menuntut penjual atas wanprestasi, sulit dilakukan jika identitas penjual
tidak diketahui.
BIBLIOGRAFI
Arifin, Z., & Satria, A. P. (2020).
Analisis Kritis Pengelolaan Perairan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia
(Studi Pengaturan Pengelolaan Perairan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Pasca
Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 2014 dan Undang-Undang No 23 Tahun 2014). Ganec
Swara, 14(1), 521–525.
Barelly, A. M., Muhammad, M., Kambo, G. A.,
& Abdillah, A. (2021). The Political Identity of Ethnicity in the Local
Election of Makassar City 2018. Journal of Governance, 6(2).
Creswell, J. W., & Poth, C. N. (2016). Qualitative
inquiry and research design: Choosing among five approaches. Sage
publications.
Damenta, U. A., & Digdowiseiso, K.
(2023). Collaborative Governance Oversight in Corruption Prevention Efforts in
Indonesia. Journal of Governance, 8(3), 384–395.
DeLeon, P., & Varda, D. M. (2009).
Toward a theory of collaborative policy networks: Identifying structural
tendencies. Policy Studies Journal, 37(1), 59–74.
Hidayat, A. R., Alwi, A., & Susanti, G.
(2015). Model jaringan kebijakan publik (Perumusan kebijakan masyarakat adat
ammatoa kajang di kabupaten bulukumba). JAKPP (Jurnal Analisis Kebijakan
& Pelayanan Publik), 209–218.
Klijn, E.-H., & Koppenjan, J. F. M.
(2000). Public management and policy networks: foundations of a network
approach to governance. Public Management an International Journal of
Research and Theory, 2(2), 135–158.
Kurniawan, D., Iriani, A., & Manongga,
D. (2020). Pemanfaatan Social Network Analysis (Sna) Untuk Menganalisis
Kolaborasi Karyawan Pada PT. Arum Mandiri Group. Jurnal Transformatika, 17(2),
149–159.
Manna, Z. H., & Syafiie, I. K. (2014).
Strategi Pemerintah Daerah Poso Periode 2010-2015 dalam Menghadapi Konflik
Sosial. Journal of Governance and Public Policy, 1(2).
Miles, M. B., Huberman, M. A., &
Saldana, J. (2013). Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. In SAGE
Publication (3rd Ed). SAGE Publications.
Nugroho, R. (2021). Kebijakan Publik:
Implementasi dan Pengendalian Kebijakan. Elex Media Komputindo.
Raab, J., & Kenis, P. (2009). Heading
toward a society of networks: Empirical developments and theoretical
challenges. Journal of Management Inquiry, 18(3), 198–210.
Rhodes, J. E., & DuBois, D. L. (2006).
Understanding and Facilitating the Youth Mentoring Movement. Society for
Research in Child Development.
Roihan, M. I. (2021). Omnibus Law
Ditinjau Dari Perspektif Sistem Perundang-Undangan Di Indonesia (Studi
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja).
Soenar, H. M. (2021). Analisis Jaringan
Komunikasi dan Eksistensi dalam Komunitas X Kota Bandung. Jurnal Riset
Public Relations, 96–103.
Van Waarden, F. (1992). Dimensions and
types of policy networks. European Journal of Political Research, 21(1‐2),
29–52.
Wasserman, S. (1994). Social network
analysis: methods and applications. Cambridge University Press Google Schola,
2, 131–134.
Copyright holder: Eva Eliza Wibisono, Rendy Ananta Prasetya, Savira Ayu Arsita (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |