Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
2, Februari 2024
PENGARUH KEPALA KELUARGA
TERHADAP PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Junedi1*, M.
Tahir Kasnawi2, Sakaria3
Master's Degree Program in Sociology Population Concentration, Department of Sociology, Universitas Hasanuddin, Indonesia1
Department of Sociology, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Hasanuddin, Indonesia2,3
Email: [email protected]*
Abstrak
Perkawinan anak merupakan persoalan serius yang
terjadi di banyak negara. Bahkan memerangi praktik berbahaya perkawinan anak
merupakan target pemerintah Indonesia yang tertuang dalam SDG’s 20230 dan RPJMN
2020-2024. Salah satu Provinsi dengan angka perkawinan anak sangat tinggi
adalah Provinsi Sulawesi Tenggara. Selama 5 tahun
berturut-turut (2017-2021) selalu berada diatas angka nasional. Bahkan tahun
2018 pernah berada di posisi ke-3 di Indonesia. Penelitian ini memiliki tujuan
yaitu mendeskripsikan hubungan tingkat pendidikan kepala rumah tangga dengan
keputusan menikahkan anak perempuan di bawah umur. Data yang digunakan adalah
SUSENAS maret tahun 2022. Dari analisis deskriptif diperoleh bahwa KRT
perempuan lebih cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur dibanding KRT
Laki-laki, begitupun dengan KRT yang tinggal di Pedesaan lebih cenderung
menikahkan anak perempuan dibawah umur dibanding KRT yang tinggal di Perkotaan. Dari
sisi Ekonomi, KRT Miskin lebih cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur
di banding KRT tidak miskin. KRT
dengan pendidikan SMA kebawah lebih cenderung menikahkan anak perempuan
dibanding KRT dengan pendidikan Tinggi.
Kata
kunci: Perkawinan anak,
Kepala rumah tangga.
Abstract
Child marriage is
a serious problem in many countries. Even combating the harmful practice of
child marriage is a target of the Indonesian government as stated in SDG's
20230 and RPJMN 2020-2024. One of the provinces with a very high rate of child
marriage is Southeast Sulawesi Province. For 5 consecutive years (2017-2021) it
has always been above the national figure. Even in 2018 it was in 3rd position
in Indonesia. This study aims to describe the relationship between the
education level of the head of the household and the decision to marry underage
girls. The data used is SUSENAS in March 2022. From the descriptive analysis,
it was found that female KRTs are more likely to marry underage girls than male
KRTs, as well as KRTs living in rural areas are more likely to marry underage
girls than KRTs living in urban areas. In terms of economy, poor KRT is more
likely to marry underage girls than non-poor KRT. KRTs with high school
education and below are more likely to marry off girls than KRTs with higher education.
Keywords: Child marriage, Head of household
Pendahuluan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang menjadi suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Mustofa, 2015). Berdasarkan undang-undang tersebut, syarat usia utama untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Pada tahun 2019, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengalami revisi menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019. Revisi ini dilakukan untuk menaikkan batas usia pernikahan menjadi 19 tahun baik untuk wanita maupun pria. Tujuan perubahan undang-undang ini adalah untuk menghindari dampak negatif terhadap perkembangan anak, memastikan pemenuhan hak dasar anak, dan secara khusus melindungi wanita dari risiko kesehatan serta kekerasan seksual (Utami, 2018).
Pernikahan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak (Maknun, 2017). Anak yang terpaksa menikah atau menikah di bawah usia 18 tahun karena berbagai alasan rentan mengalami dampak serius, termasuk keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan yang tidak optimal, risiko tinggi terhadap tindak kekerasan, serta kehidupan dalam kemiskinan (Nasional, 2020). Dalam studi "Child marriage and intimate partner violence: A comparative study of 34 countries," hasilnya menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sebanyak 26% dari mereka yang menikah sebelum usia 18 tahun melaporkan kekerasan fisik dan seksual, sementara hanya 18% dari mereka yang menikah sebagai orang dewasa yang melaporkan hal serupa (Rahmita & Nisa, 2019). Penelitian lain juga menemukan bahwa anak yang menikah, baik perempuan maupun laki-laki, terpaksa mengemban tanggung jawab orang dewasa tanpa kesiapan yang memadai. Pernikahan anak membuat mereka menjadi orang tua pada usia yang masih sangat muda, yang pada gilirannya menimbulkan tekanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mengorbankan peluang pendidikan dan pekerjaan mereka (Gastón et al., 2019).
Indonesia tercatat sebagai salah satu dari sepuluh negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia. Di tingkat ASEAN, Indonesia menempati peringkat kedua dalam hal ini (Verawati et al., 2019). Perubahan tren angka perkawinan anak dari tahun ke tahun dapat diobservasi melalui gambaran statistik berikut:
Gambar 1. Tren
Proporsi Anak Usia 20-24 Tahun yang Menikah Sebelum Usia 18 Tahun di Indonesia
Tahun 2011-2021
Sumber: BPS
Berdasarkan ilustrasi di atas,
terdapat fluktuasi yang signifikan dalam angka perkawinan anak di Indonesia Nahdiyanti, Yunus, & Qamar, (2021), menunjukkan penurunan selama empat tahun terakhir (2008-2021),
dengan penurunan paling drastis terjadi dari tahun 2020, yaitu sebesar 10,35%,
menjadi 9,23% pada tahun 2021. Meskipun terjadi penurunan, bila dibandingkan
dengan target RPJMN tahun 2020-2024 yang menetapkan target penurunan sebesar
8,74% pada tahun 2024, dapat disimpulkan bahwa pencapaian masih jauh dari
target yang ditetapkan. Provinsi
Sulawesi Tenggara mencatatkan tingkat perkawinan anak yang sangat tinggi,
konsisten berada di atas angka rata-rata nasional selama lima tahun
berturut-turut (2017-2021).
Sejumlah
upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka perkawinan di
Indonesia, salah satunya adalah melalui revisi batas usia pernikahan (Mahmudah et
al., 2022). Pada tahun 2019, Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 direvisi menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, dengan
peningkatan batas usia pernikahan menjadi 19 tahun baik untuk perempuan maupun
laki-laki. Meskipun demikian, masih ada celah dimana batas usia minimum
perkawinan dapat diabaikan melalui dispensasi pengadilan yang diberikan atas
permohonan orang tua untuk menikahkan anak di bawah usia 18 tahun (Permono et al.,
2021). Oleh karena itu, peran orang tua
menjadi sangat krusial, karena tanpa persetujuan dan dispensasi dari orang tua
kepada pengadilan, perkawinan anak di bawah usia tersebut tidak sah secara
hukum.
Berdasarkan
uraian di atas, penelitian ini mencoba untuk menggambarkan bagaimana pengaruh
orang tua dalam perkawinan anak di bawah umur di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Penelitian ini merujuk pada metadata indikator SDG’s. Hal ini dimaksudkan agar
terdapat kesamaan konsep dari hasil penelitian ini dengan target pemerintah.
Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu: (1) mendeskripsikan karakteristik KRT
yang menikahkan anak perempuannya dibawah umur di Provinsi Sulawesi Tenggara
dan (2) menganalisis pengaruh KRT terhadap perkawinan anak dibawah umur di
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat eksplanatori dengan
tujuan untuk menguji teori dan temuan penelitian sebelumnya yang berkaitan
dengan peran faktor pendidikan kepala rumah tangga dalam pernikahan anak perempuan
di bawah umur (Prani et al.,
2017). Fokus penelitian ini adalah pada
kepala rumah tangga yang menjalankan pernikahan anak perempuannya pada usia di
bawah 18 tahun, sesuai dengan kerangka konsep SDGs. Karakteristik yang
dianalisis adalah tingkat pendidikan kepala rumah tangga, yang sesuai dengan
teori Arroba (1998) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah
satu faktor yang memengaruhi proses pengambilan keputusan. Penelitian ini
berlokasi di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Penelitian
ini memanfaatkan data sekunder yang berupa raw data, diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara. Raw data yang digunakan berasal
dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS pada bulan Maret tahun 2022.
Data yang diperoleh dari SUSENAS mencakup karakteristik individu, rumah tangga,
konsumsi dan pengeluaran (Sugiyono, 2020).
Populasi yang digunakan dalam SUSENAS Maret
2022 adalah populasi blok sensus, dengan sekitar 720 ribu blok sensus biasa
yang dihasilkan dari Sensus Penduduk (SP) 2010. Kerangka sampel utama mencakup
40 persen dari populasi blok sensus, dipilih dengan metode probability
proportional to size (PPS). Pengambilan sampel 40% dari blok sensus dianggap
memadai untuk merepresentasikan karakteristik populasi. Kerangka sampel tahap
kedua adalah daftar rumah tangga hasil pemutakhiran di setiap blok sensus.
Jumlah sampel SUSENAS Maret 2022 mencapai 324.948 rumah tangga yang tersebar di
seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Sampel diambil dengan metode stratifikasi,
memperhatikan klasifikasi perkotaan/perdesaan dan kategori kesejahteraan rumah
tangga (Statistik,
2019). Jumlah sampel SUSENAS di Sulawesi
Tenggara mencapai 9.170 rumah tangga. Dalam konteks penelitian ini, sampel
terfokus pada kepala rumah tangga (KRT) dari anak perempuan berusia 20-24 tahun
yang usia perkawinan pertamanya dibawah 18 tahun.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik KRT dari anak perempuan berusia 20-24 tahun yang usia perkawainan pertamanya dibawah 18 tahun. Adapun analisis inferensia berupa regresi logistik biner untuk melihat pengaruh KRT terhadap perkawinan anak peremuan dibawah umur (usia<18 tahun). Secara rinci variabel yang digunakan dalam analisis inferensia pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Variabel yang digunakan dalam Analisis Inferensia
Adapun defenisi operasional dari variabel pada analisis inferensia dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Defenisi Operasional dari Variabel pada Analisis Inferensia
No. |
Variabel |
Kategori |
Variabel Dummy |
Nilai Dummy |
|
Variabel Dependen |
|
|
|
1. |
Kecenderungan
orang tua menikahkan anak perempuan |
1. Usia
˂18 tahun |
Y |
1 |
2.
Usia ≥18 tahun |
0 |
|||
|
Variabel
Independen |
|
|
|
1. |
Tingkat
Pendidikan orang tua |
1.
Pendidikan Tinggi* |
X1 |
0 |
2.
Pendidikan Rendah |
1 |
|||
2. |
Status
Bekerja orang tua |
1.
Tidak Bekerja |
X2 |
1 |
2.
Bekerja* |
0 |
|||
3. |
Wilayah Tempat Tinggal orang tua |
1. Perdesaan |
X3 |
1 |
2. Perkotaan* |
0 |
|||
4. |
Status
Miskin/Tidak Miskin orang tua |
1.
Miskin |
X4 |
1 |
2. Tidak
Miskin* |
0 |
|||
5. |
Jenis
Kelamin |
1.
Laki-laki |
X5 |
1 |
2.
Perempuan* |
0 |
Keterangan : *) Kategori
Referensi
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Orang Tua yang Menikahkan Anak
Perempuannya dibawah Umur (Usia<18 tahun)
Analisis
deskriptif pada penelitian ini difokuskan untuk melihat gambaran/karakteristik
orang tua dari anak perempuan usia 20-24 tahun yang telah berstatus menikah.
Adapun gambaran karakteristik orang tua tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Persentase Kepala Rumah Tangga
(KRT) dari Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut Usia Kawin Pertama Anak Perempuan
dan Jenis Kelamin Kepala Kepala Rumah Tangga
Usia
Kawin Anak Perempuan |
Jenis
Kelamin KRT |
|
Perempuan
(%) |
Laki-laki
(%) |
|
Usia 18+ |
74,9 |
76,0 |
Usia <18 |
25,1 |
24,0 |
Total |
100,0 |
100,0 |
Berdasarkan
tabel diatas, data menunjukkan bahwa Kepala Rumah Tangga (KRT) perempuan
cenderung memiliki kecenderungan yang sedikit lebih tinggi (25,1%) untuk
menikahkan anak perempuan di bawah umur dibandingkan dengan KRT laki-laki
(24%). Meskipun perbedaan ini mungkin terlihat kecil, namun dapat memberikan
pemahaman lebih lanjut tentang peran dan dinamika keputusan di dalam rumah
tangga yang berpotensi memengaruhi keputusan terkait pernikahan anak. Perbedaan
ini dapat mencerminkan beberapa potensi faktor pengaruh. Pertama, peran dan
ekspektasi gender dalam rumah tangga mungkin memainkan peran dalam keputusan
pernikahan anak. Norma-norma budaya atau tanggapan sosial terhadap peran KRT
perempuan dapat memengaruhi keputusan tersebut (Tamba, 2017). Kedua, faktor
ekonomi dan kondisi keuangan rumah tangga mungkin turut berperan, dengan KRT
perempuan mungkin menghadapi tekanan finansial yang dapat memengaruhi keputusan
pernikahan anak. Meskipun kecil, perbedaan ini memerlukan perhatian dan
analisis lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor penyebabnya. Langkah-langkah
pencegahan pernikahan anak perlu mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan
ekonomi di tingkat rumah tangga. Analisis lebih lanjut juga dapat menggali
variabel-variabel tambahan, seperti tingkat pendidikan, akses terhadap
informasi, atau adanya program-program pemberdayaan perempuan yang dapat
memengaruhi keputusan tersebut.
Tabel 3. Persentase Kepala Rumah Tangga
(KRT) dari Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut Usia Kawin Pertama Anak Perempuan
dan Status Bekerja Kepala Rumah Tangga
Usia
Kawin Anak Perempuan |
Status
Bekerja KRT |
|
Bekerja
(%) |
Tidak
Bekerja (%) |
|
Usia 18+ |
75,3 |
79,4 |
Usia <18 |
24,7 |
20,6 |
Total |
100,0 |
100,0 |
Terdapat perbedaan
sekitar 4,1% dalam kecenderungan antara Kepala Rumah Tangga (KRT) yang bekerja
dan yang tidak bekerja dalam menikahkan anak perempuan di bawah umur. KRT yang
bekerja menunjukkan kecenderungan lebih tinggi untuk menikahkan anak perempuan di
bawah umur dibandingkan dengan KRT yang tidak bekerja. Persentase yang lebih
tinggi pada KRT yang bekerja dapat mengindikasikan bahwa faktor pekerjaan
mungkin memainkan peran dalam keputusan menikahkan anak perempuan di bawah
umur. Pekerjaan KRT dapat berpengaruh melalui tekanan ekonomi, norma sosial di
lingkungan kerja, atau faktor-faktor lain yang terkait dengan pekerjaan. Dapat
diasumsikan bahwa KRT yang bekerja mungkin menghadapi tekanan ekonomi yang
lebih besar, sehingga lebih mungkin terlibat dalam praktik menikahkan anak
perempuan di bawah umur sebagai respons terhadap tantangan finansial. Analisis
lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana kondisi ekonomi dan jenis
pekerjaan dapat memengaruhi kecenderungan ini.
Tabel 4.
Persentase Kepala Rumah Tangga (KRT) dari Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut
Usia Kawin Pertama Anak Perempuan dan Status Wilayah Tempat Tinggal Kepala
Rumah Tangga
Usia
Kawin Anak Perempuan |
Wilayah
Tempat Tinggal KRT |
|
Perkotaan
(%) |
Pedesaan
(%) |
|
Usia 18+ |
87,1 |
71,0 |
Usia <18 |
12,9 |
29,0 |
Total |
100,0 |
100,0 |
Data dari analisis
crosstab menyoroti perbedaan yang signifikan dalam kecenderungan pernikahan
anak perempuan di bawah umur antara Kepala Rumah Tangga (KRT) yang tinggal di
kota dan di desa. Hasil menunjukkan bahwa KRT di desa memiliki kecenderungan
yang lebih tinggi, mencapai 29%, untuk menikahkan anak perempuan di bawah umur,
sementara KRT di kota hanya sebesar 12,9%. Perbedaan drastis ini
mengindikasikan bahwa faktor lingkungan dan dinamika sosial di desa memainkan
peran penting dalam keputusan pernikahan anak perempuan. Norma-norma
tradisional, tekanan sosial, dan keterbatasan akses terhadap pendidikan atau
informasi mungkin menjadi pendorong kuat di desa, memperkuat kecenderungan
pernikahan dini. Di sisi lain, di lingkungan kota, di mana akses terhadap
pendidikan dan informasi lebih mudah, serta norma-norma sosial mungkin lebih
progresif, kecenderungan untuk menikahkan anak perempuan di bawah umur lebih
rendah. Hasil ini mencerminkan adanya disparitas signifikan antara kedua
lingkungan tersebut dan menunjukkan perlunya perhatian khusus dalam merancang
kebijakan pencegahan pernikahan dini, terutama di wilayah pedesaan dengan
prevalensi yang lebih tinggi.
Tabel 5.
Persentase Kepala Rumah Tangga dari Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut Usia
Kawin Pertama Anak Perempuan dan Status
Kemiskinan Kepala Rumah Tangga
Usia Kawin Anak Perempuan |
Status Kemiskinan |
|
Tidak Miskin (%) |
Miskin (%) |
|
Usia 18+ |
76,9 |
68,8 |
Usia <18 |
23,1 |
31,2 |
Total |
100,0 |
100,0 |
Melalui analisis
crosstab, terlihat perbedaan yang mencolok dalam kecenderungan pernikahan anak
perempuan di bawah umur antara Kepala Rumah Tangga (KRT) dengan status miskin
dan tidak miskin. KRT yang tergolong miskin menunjukkan kecenderungan lebih
tinggi, mencapai 31,2%, dalam menikahkan anak perempuan di bawah umur
dibandingkan dengan KRT yang tidak miskin yang memiliki kecenderungan sebesar
23,1%.
Perbedaan signifikan
ini mencerminkan dampak langsung dari kondisi ekonomi terhadap keputusan
pernikahan anak. KRT dengan status miskin mungkin menghadapi tekanan ekonomi
yang lebih besar, menjadikan pernikahan anak sebagai respons terhadap tantangan
finansial atau strategi untuk mengurangi beban biaya keluarga. Faktor-faktor
ekonomi, termasuk keterbatasan akses terhadap pendidikan dan peluang pekerjaan
yang memadai, turut berkontribusi dalam membentuk kecenderungan ini.
Sebaliknya, KRT yang tidak miskin
cenderung memiliki stabilitas ekonomi yang lebih baik, memberikan mereka akses
yang lebih besar terhadap pendidikan. Mereka mungkin melihat pernikahan anak di
bawah umur sebagai opsi yang kurang diinginkan dalam konteks kestabilan ekonomi
yang lebih baik (Uyuni, 2023).
Hasil ini menegaskan perlunya
kebijakan dan program yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan ekonomi
dan pemberdayaan akses pendidikan, khususnya untuk keluarga dengan status
miskin, guna mencegah pernikahan anak perempuan di bawah umur.
Tabel 6. Persentase Kepala Rumah Tangga dari Perempuan
Usia 20-24 Tahun menurut Usia Kawin Pertama Anak Perempuan dan Pendidikan
Terakhir yang Ditamatkan Kepala Rumah Tangga
Usia
Kawin Anak Perempuan |
Pendidikan
Tertinggi yang Ditamatkan |
|||
Perguruan
Tinggi (%) |
SMA/Sederajat
(%) |
SMP/Sederajat
(%) |
SD
Kebawah (%) |
|
Usia 18+ |
75,0 |
67,5 |
86,1 |
73,9 |
Usia <18 |
25,0 |
32,5 |
13,9 |
26,1 |
Total |
100,0 |
100,0 |
100,0 |
100,0 |
Analisis data menunjukkan bahwa pendidikan menjadi faktor penting dalam
kecenderungan kepala rumah tangga (KRT) menikahkan anak perempuan di bawah
umur. Dengan persentase sebanyak 72,5%, terlihat bahwa mayoritas KRT yang
menikahkan anak perempuan di bawah umur memiliki tingkat pendidikan SMA ke
bawah. Penting untuk dicatat bahwa angka ini menyoroti hubungan kuat antara
rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya kecenderungan pernikahan anak
perempuan di bawah umur. Kelompok dengan pendidikan SMA ke bawah mungkin lebih
rentan terhadap berbagai faktor yang mendukung praktik pernikahan dini, seperti
keterbatasan akses terhadap pendidikan formal, tekanan ekonomi, dan norma
budaya.
Analisis
Pengaruh Kepala Rumah Tangga terhadap Perkawinana Anak dibawah Umur (Usia<18
tahun)
Pada analisis regresi logistik biner ini akan menggunakan model yang mencakup seluruh variabel yang sudah disebutkan sebelumnya. Seluruh variabel dependen dan independen pada penelitian ini akan dianalisis menggunakan program pengolahan IBM SPSS Statistics versi 21 dengan metode enter.
Tabel 7. Classification
Tablea,b
|
|
|
|
Predicted
|
|
|
|
|
Usia
perkawinan anak |
|
|
|
Observed |
|
Bukan perkawinan anak |
Perkawinan anak |
Percentage Correct |
Step 0 |
Usia perkawinan anak |
Bukan perkawinan anak |
11784 |
0 |
100.0 |
|
|
Perkawinan anak |
3755 |
0 |
.0 |
|
Overall Percentage |
|
|
|
75.8 |
a.
Constant is included in the model
b.
The cut value is .500
Berdasarkan Classification Table nilai Percentage Correct dari model logit yang dibuat mencapai 75,8. Artinya adalah model logit ini dapat mengklasifikasikan objek 75,8 persen secara benar.
Tabel 8. Omnibus Tests of
Model Coefficients
|
|
Chi-square |
df |
Sig.
|
Step 1 |
Step |
566.646 |
5 |
.000 |
|
Block |
566.646 |
5 |
.000 |
|
Model |
566.646 |
5 |
.000 |
Berdasarkan hasil uji simultan menggunakan likelihood
ratio test diperoleh hasil statistik uji G sebesar 566,646 dan p-value sebesar
0,000. Karena nilai
p-value nya lebih kecil dari 0,05 sehingga H0 uji simultan regresi logistik
biner dapat ditolak. Artinya, dengan tingkat signifikansi 5 persen, variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen. Atau daengan kata lain, model dengan menambahkan variabel independen
lebih baik dibandingkan model tanpa variabel independen dalam menganalisis
variabel perkawinana anak dibawah umur.
Tabel
9. Koefisien Determinasi (R2)
Model Summary |
|||
Step |
-2 Log likelihood |
Cox & Snell R Square |
Negelkerke R Square |
1 |
16619.244a |
.036 |
.054 |
a.
Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimated
changed by less than .001
Di samping itu, nilai
koefisien determinasi (R2) pada model logit dilihat melalui nilai Cox &
Snell R Square, yaitu sebesar 0,054. Artinya adalah, 5,4 persen variasi dalam
variabel perkawinan perempuan dibawah umur dapat dijelaskan oleh variabel-
variabel independennya. Sisanya lagi mampu dijelaskan oleh variabel lain yang
belum dapat dimasukkan ke model ini. Berikut adalah output hasil uji simultan
dengan menggunakan SPSS.
Setelah melihat nilai Goodness of Fit dan uji simultan dari model logit yang dibentuk, selanjutnya adalah melakukan uji parsial untuk melihat pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel usia kawin pertama. Hipotesis nol (H0) pada uji parsial adalah variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Hasil pengujian parsial untuk masing-masing variabel independent dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 10. Uji Parsial
Variabel |
Koefisien (β) |
SE(β) |
Uji Wald |
Sig. |
Exp(β) / Odds Ratio |
(1) |
(2) |
(3) |
(4) |
(5) |
(6) |
Jenis
kelamin KRT |
-0.214 |
0.062 |
11.947 |
0.001* |
0.912 |
Status
Bekerja KRT |
-0.156 |
0.064 |
5.875 |
0.015* |
0.971 |
Wilayah
Tempat Tinggal KRT |
0.974 |
0.049 |
391.337 |
0.000* |
2.918 |
Status
kemiskinan KRT |
0.287 |
0.053 |
29.729 |
0.000* |
1.477 |
Pendidikan
KRT |
-0.269 |
0.053 |
25.931 |
0.000* |
0.848 |
Constant |
-1.487 |
0.085 |
307.437 |
|
|
Ket : *) signifikan pada α = 5%
Tabel diatas menunjukkan bahwa kelima variabel memiliki nilai p-value kurang dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat signifikansi 5 persen semua variabel independen secara signifikan berpengaruh terhadap variabel perkawinan perempuan dibawah umur. Berdasarkan uji parsial dengan tingkat signifikansi 5 persen, dapat disimpulkan bahwa:
1)
KRT dengan jenis kelamin perempuan
cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur 1 kali lebih tinggi dibanding
KRT dengan jenis kelamin laki laki. Pemahaman yang lebih mendalam terhadap
fenomena di mana Kepala Rumah Tangga (KRT) perempuan cenderung lebih mungkin
menikahkan anak perempuan di bawah umur dibandingkan dengan KRT laki-laki
memerlukan analisis yang mendalam terhadap konteks sosial dan budaya yang dapat
memengaruhi pola kecenderungan ini. Faktor-faktor seperti norma sosial, peran
gender tradisional, dan harapan masyarakat terhadap perempuan dalam konteks
pernikahan menjadi unsur kunci yang perlu dijelajahi untuk merinci fenomena
ini. Di dalam masyarakat yang masih kuat memegang norma sosial dan peran gender
tradisional, KRT perempuan mungkin merasa tertekan atau dihadapkan pada
ekspektasi untuk mengikuti norma pernikahan yang sudah mapan. Pernyataan ini
mencerminkan adanya pengaruh budaya patriarki, di mana perempuan diharapkan
untuk mengemban peran tertentu, termasuk dalam mengelola pernikahan anak.
Faktor-faktor ini memiliki potensi untuk memperkuat kecenderungan menikahkan
anak perempuan di bawah umur.
Pengambilan
keputusan dalam konteks pernikahan sering kali dipengaruhi oleh peran yang
dimainkan oleh kepala rumah tangga. Jika KRT perempuan memiliki dominasi dalam
pengambilan keputusan keluarga, hal ini dapat memberikan dampak signifikan pada
keputusan terkait pernikahan anak perempuan. Kecenderungan ini mencerminkan
dinamika internal pengambilan keputusan dalam rumah tangga, yang dapat
menciptakan pola kecenderungan menuju pernikahan dini. Kondisi ekonomi dan
akses terhadap pendidikan KRT perempuan juga memiliki potensi untuk memainkan
peran penting dalam fenomena ini. Ketika KRT perempuan menghadapi kendala
ekonomi atau terbatas dalam akses pendidikan, mereka mungkin cenderung
mengandalkan pernikahan anak perempuan sebagai respons terhadap tekanan
finansial atau keterbatasan sumber daya
2)
KRT yang bekerja cenderung menikahkan anak
perempuan dibawah umur 1 kali lebih tinggi dibanding KRT yang tidak bekerja.
Pernyataan bahwa Kepala Rumah Tangga (KRT) yang bekerja memiliki kecenderungan
lebih tinggi untuk menikahkan anak perempuan di bawah umur dibandingkan dengan
KRT yang tidak bekerja menunjukkan sebuah korelasi yang perlu diperhatikan
secara cermat. Fenomena ini membuka ruang untuk analisis lebih lanjut terkait
pengaruh pekerjaan KRT terhadap keputusan pernikahan anak, yang kemungkinan
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial, dan budaya. KRT yang terlibat
dalam dunia pekerjaan mungkin menghadapi tekanan ekonomi atau tantangan
keuangan tertentu, yang dapat memengaruhi keputusan terkait pernikahan anak
perempuan. Pernikahan sering kali dianggap sebagai strategi ekonomi untuk
mengatasi beban biaya hidup atau sebagai upaya untuk meningkatkan status
ekonomi keluarga. Oleh karena itu, keterlibatan KRT dalam pekerjaan dapat
menciptakan situasi di mana pernikahan anak dianggap sebagai solusi untuk
mengatasi tantangan ekonomi. Pengaruh pekerjaan KRT pada kecenderungan
menikahkan anak perempuan juga dapat berkaitan dengan pengaruh sosial dan norma
budaya.
Di
beberapa masyarakat, pekerjaan KRT, khususnya jika dilakukan oleh perempuan,
dapat dianggap sebagai faktor yang memicu ekspektasi terhadap pernikahan dini.
Norma budaya tertentu mungkin memanfaatkan peran perempuan dalam dunia pekerjaan
sebagai alasan untuk mendorong pernikahan pada usia yang lebih muda. Meskipun
KRT yang bekerja mungkin memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi dan
kesadaran akan dampak negatif pernikahan anak perempuan di bawah umur, namun
demikian, pernyataan ini menunjukkan bahwa akses informasi tersebut mungkin
belum cukup untuk mengubah kecenderungan pernikahan dini. Pemahaman mengenai
korelasi antara pekerjaan KRT dan pernikahan anak perempuan di bawah umur
memiliki implikasi yang signifikan untuk perancangan kebijakan dan upaya
pencegahan. Upaya dapat dilakukan untuk mengatasi akar masalah, termasuk
pemberdayaan ekonomi perempuan, peningkatan kesadaran akan dampak pernikahan
anak, dan pembentukan norma sosial yang mendukung hak-hak anak dan pendidikan.
Ini menjadi esensial dalam membentuk lingkungan di mana pernikahan dini tidak
lagi dianggap sebagai solusi yang dapat diterima dalam menghadapi tantangan
kehidupan sehari-hari.
3)
KRT yang tinggal di desa cenderung
menikahkan anak perempuan dibawah umur 3 kali lebih tinggi dibanding KRT yang
tinggal di kota. Wilayah tempat tinggal memainkan peran krusial dalam membentuk
kecenderungan orang tua untuk menikahkan perempuan anak di bawah umur. Daerah
pedesaan, misalnya, cenderung memiliki struktur sosial dan norma budaya yang
lebih tradisional, di mana pernikahan dianggap sebagai langkah yang wajar dan
diterima. Tekanan dari masyarakat setempat dan ekspektasi normatif dapat
memberikan dorongan tambahan kepada orang tua untuk mengamini pernikahan anak
perempuannya di usia yang relatif muda. Selain itu, akses terbatas terhadap
pendidikan dan informasi di daerah pedesaan dapat menciptakan kurangnya
kesadaran tentang risiko dan konsekuensi negatif dari pernikahan dini.
4)
KRT yang hidup di bawah garis kemiskinan
lebih cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur 1 sampai 1,5 kali lebih
tinggi dibanding KRT yang hidupa diatas garis kemiskinan. Status kemiskinan
merupakan faktor krusial yang seringkali menjadi pemicu pernikahan anak di
bawah umur. Keluarga yang hidup dalam kemiskinan mungkin menghadapi tekanan
ekonomi yang signifikan, dan pernikahan anak dianggap sebagai strategi untuk
mengurangi beban finansial keluarga. Orang tua mungkin melihat pernikahan anak
sebagai cara untuk memastikan kehidupan ekonomi yang lebih baik, meskipun pada
kenyataannya, pernikahan dini sering kali memperburuk siklus kemiskinan dengan
membatasi akses anak perempuan terhadap pendidikan dan peluang pekerjaan yang
layak.
5)
KRT dengan pendidikan tinggi cenderung
menikahkan anak perempuan dibawah umur 0,8 kali lebih tinggi dibanding KRT
dengan pendidikan rendah. Pernyataan bahwa Kepala Rumah Tangga dengan latar
belakang pendidikan tinggi lebih mungkin menikahkan anak perempuan di bawah
umur, dibandingkan dengan Kepala Rumah Tangga yang memiliki tingkat pendidikan
rendah, muncul sebagai sesuatu yang tidak terduga. Kesimpulan ini bisa
bertentangan dengan ekspektasi umum, yang mungkin menganggap bahwa pendidikan
tinggi akan memberikan pemahaman yang lebih matang mengenai dampak negatif
pernikahan dini. Oleh karena itu, diperlukan klarifikasi dan penelitian lebih
lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi
korelasi tersebut. Dalam menjelajahi fenomena ini, kita perlu mempertimbangkan
kemungkinan adanya variabel tambahan yang dapat mendukung hubungan antara
pendidikan tinggi Kepala Rumah Tangga dan kecenderungan untuk menikahkan anak
perempuan di bawah umur. Mungkin saja pandangan tradisional terkait pernikahan
atau tekanan sosial yang lebih besar di kalangan lapisan masyarakat
berpendidikan tinggi memberikan kontribusi pada tren ini.
Oleh
karena itu, perlu ditekankan bahwa tingkat pendidikan tinggi tidak selalu
mencerminkan pandangan progresif terhadap pernikahan anak. Sosial dan budaya,
sebagai variabel kontekstual, juga perlu diperhitungkan. Kepala Rumah Tangga
dengan pendidikan tinggi mungkin terjerat dalam lingkungan yang mendasarkan
nilai pada tradisi tertentu atau memegang norma budaya yang kuat terkait
pernikahan. Dalam konteks ini, penelitian menunjukkan bahwa pernyataan tersebut
mungkin mencerminkan lebih dari sekadar tingkat pendidikan, melibatkan
elemen-elemen sosial dan budaya yang membentuk keputusan mengenai pernikahan
anak. Untuk pemahaman lebih mendalam tentang hubungan antara pendidikan Kepala
Rumah Tangga dan kecenderungan pernikahan anak di bawah umur, penting untuk
mempertimbangkan variabel lain yang mungkin memainkan peran signifikan. Aspek
ekonomi, akses terhadap informasi, dan struktur sosial dalam masyarakat adalah
beberapa faktor yang perlu diintegrasikan dalam analisis untuk menggambarkan
dan mengklarifikasi hubungan ini secara lebih komprehensif.
Kesimpulan
Hasil analisis menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa Kepala Rumah Tangga (KRT) dengan jenis kelamin perempuan,
tergolong miskin, dan tinggal di desa memiliki tingkat pernikahan anak
perempuan di bawah umur yang lebih tinggi. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas
interaksi antara faktor sosial, ekonomi, dan geografis dalam membentuk
keputusan pernikahan di masyarakat. Identifikasi pola ini dapat memberikan
pemahaman mendalam tentang tantangan dan dinamika yang dihadapi oleh kelompok
ini.
BIBLIOGRAFI
Gastón, C. M., Misunas, C., &
Cappa, C. (2019). Child marriage among boys: a global overview of available
data. Vulnerable Children and Youth Studies, 14(3), 219–228.
Mahmudah, U. D., Iftitah, A., &
Alfaris, M. (2022). Efektivitas Penerapan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 16 Tahun 2019 dalam Upaya Meminimalisir Perkawinan Dini. Jurnal
Supremasi, 44–58.
Maknun, L. (2017). Kekerasan terhadap anak
yang dilakukan oleh orang tua (child abuse). Muallimuna, 3(1),
66–77.
Mustofa, I. (2015). Politik Hukum Islam
di Indonesia, Pergulatan Politik dibalik lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. Dvifa Percetakan.
Nahdiyanti, N., Yunus, A., & Qamar, N.
(2021). Implementasi perubahan kebijakan batas usia perkawinan terhadap
perkawinan di bawah umur. Journal of Lex Generalis (JLG), 2(1),
150–167.
Nasional, K. P. P. (2020). Strategi
Nasional Pencegahan Perkawinan Anak. Jakarta: Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan ….
Permono, K. D., Busro, A., &
Lumbanraja, A. D. (2021). Tinjauan Hukum Pengaruh Dispensasi Perkawinan Di
Bawah Umur Terhadap Efektivitas Peraturan Batas Minimum Usia Menikah. Notarius,
14(1), 178–193.
Prani, A. I. E., Parno, P., & Hidayat,
A. (2017). Penelitian Eksplanatori: Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA Pada
Materi Fluida Statis. Seminar Nasional Pendidikan IPA 2017, 2.
Rahmita, N. R., & Nisa, H. (2019).
Perbedaan Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Ditinjau dari Usia saat Menikah
dan Tingkat Pendidikan. Jurnal Ilmiah Psikologi, 6, 73–84.
Statistik, B. P. (2019). Statistik Kakao
Indonesia 2019 [internet].[diunduh 2021 Oktober 07]. Tersedia Pada:
Https://Www. Bps. Go. Id/Publication/202 0/12/02/2ac5a729f43e5f6b666e482d/St
Atistik-Kakao-Indonesia-2019. Html.
Sugiyono, P. D. (2020). Metode
Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mix Methods)(DI Sutopo (ed.).
ALFABETA, CV.
Tamba, D. (2017). Pengaruh faktor budaya,
sosial, pribadi dan psikologi terhadap keputusan membeli di Indomaret (studi
kasus pada mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera
Utara). Jurnal Manajemen Dan Bisnis, 30–50.
Utami, P. N. (2018). Pencegahan Kekerasan
Terhadap Anak Dalam Perspektif Hak Atas Rasa Aman Di Nusa Tenggara Barat
(Prevention of Violence to Children from the Perspective of the Rights to
Security in West Nusa Tenggara). Jurnal HAM Vol, 9(1), 1–17.
Uyuni, U. F. (2023). Pandangan
Masyarakat Terhadap Pernikahan Anak Di Bawah Umur Di Kecamatan Kalideres Kota
Jakarta Barat. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Verawati, M., Kartikasari, D., Mariza, N.,
Wicaksono, B., Anggraini, N., & Yulianti, R. (2019). Perkawinan Bukan Untuk
Anak: Potret Perkawinan Anak Di 7 Daerah Paska Perubahan UU Perkawinan. Yayasan
Plan International Indonesia (Plan Indonesia) Koalisi Perempuan Indonesia Untuk
Keadilan Dan Demokrasi (KPI), Jakarta Selatan.
Copyright holder: Junedi,
M. Tahir Kasnawi, Sakaria (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |