Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

PENGARUH KEPALA KELUARGA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

 

Junedi1*, M. Tahir Kasnawi2, Sakaria3

Master's Degree Program in Sociology Population Concentration, Department of Sociology, Universitas Hasanuddin, Indonesia1

Department of Sociology, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Hasanuddin, Indonesia2,3

Email: [email protected]*

 

Abstrak

Perkawinan anak merupakan persoalan serius yang terjadi di banyak negara. Bahkan memerangi praktik berbahaya perkawinan anak merupakan target pemerintah Indonesia yang tertuang dalam SDG’s 20230 dan RPJMN 2020-2024. Salah satu Provinsi dengan angka perkawinan anak sangat tinggi adalah Provinsi Sulawesi Tenggara. Selama 5 tahun berturut-turut (2017-2021) selalu berada diatas angka nasional. Bahkan tahun 2018 pernah berada di posisi ke-3 di Indonesia. Penelitian ini memiliki tujuan yaitu mendeskripsikan hubungan tingkat pendidikan kepala rumah tangga dengan keputusan menikahkan anak perempuan di bawah umur. Data yang digunakan adalah SUSENAS maret tahun 2022. Dari analisis deskriptif diperoleh bahwa KRT perempuan lebih cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur dibanding KRT Laki-laki, begitupun dengan KRT yang tinggal di Pedesaan lebih cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur dibanding KRT yang tinggal di Perkotaan. Dari sisi Ekonomi, KRT Miskin lebih cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur di banding KRT tidak miskin. KRT dengan pendidikan SMA kebawah lebih cenderung menikahkan anak perempuan dibanding KRT dengan pendidikan Tinggi. 

Kata kunci: Perkawinan anak, Kepala rumah tangga.

 

Abstract

Child marriage is a serious problem in many countries. Even combating the harmful practice of child marriage is a target of the Indonesian government as stated in SDG's 20230 and RPJMN 2020-2024. One of the provinces with a very high rate of child marriage is Southeast Sulawesi Province. For 5 consecutive years (2017-2021) it has always been above the national figure. Even in 2018 it was in 3rd position in Indonesia. This study aims to describe the relationship between the education level of the head of the household and the decision to marry underage girls. The data used is SUSENAS in March 2022. From the descriptive analysis, it was found that female KRTs are more likely to marry underage girls than male KRTs, as well as KRTs living in rural areas are more likely to marry underage girls than KRTs living in urban areas. In terms of economy, poor KRT is more likely to marry underage girls than non-poor KRT. KRTs with high school education and below are more likely to marry off girls than KRTs with higher education. 

Keywords: Child marriage, Head of household

 

 

Pendahuluan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang menjadi suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Mustofa, 2015). Berdasarkan undang-undang tersebut, syarat usia utama untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Pada tahun 2019, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengalami revisi menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019. Revisi ini dilakukan untuk menaikkan batas usia pernikahan menjadi 19 tahun baik untuk wanita maupun pria. Tujuan perubahan undang-undang ini adalah untuk menghindari dampak negatif terhadap perkembangan anak, memastikan pemenuhan hak dasar anak, dan secara khusus melindungi wanita dari risiko kesehatan serta kekerasan seksual (Utami, 2018).

Pernikahan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak (Maknun, 2017). Anak yang terpaksa menikah atau menikah di bawah usia 18 tahun karena berbagai alasan rentan mengalami dampak serius, termasuk keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan yang tidak optimal, risiko tinggi terhadap tindak kekerasan, serta kehidupan dalam kemiskinan (Nasional, 2020). Dalam studi "Child marriage and intimate partner violence: A comparative study of 34 countries," hasilnya menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sebanyak 26% dari mereka yang menikah sebelum usia 18 tahun melaporkan kekerasan fisik dan seksual, sementara hanya 18% dari mereka yang menikah sebagai orang dewasa yang melaporkan hal serupa (Rahmita & Nisa, 2019). Penelitian lain juga menemukan bahwa anak yang menikah, baik perempuan maupun laki-laki, terpaksa mengemban tanggung jawab orang dewasa tanpa kesiapan yang memadai. Pernikahan anak membuat mereka menjadi orang tua pada usia yang masih sangat muda, yang pada gilirannya menimbulkan tekanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mengorbankan peluang pendidikan dan pekerjaan mereka (Gastón et al., 2019).

Indonesia tercatat sebagai salah satu dari sepuluh negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di dunia. Di tingkat ASEAN, Indonesia menempati peringkat kedua dalam hal ini (Verawati et al., 2019). Perubahan tren angka perkawinan anak dari tahun ke tahun dapat diobservasi melalui gambaran statistik berikut:

Gambar 1. Tren Proporsi Anak Usia 20-24 Tahun yang Menikah Sebelum Usia 18 Tahun di Indonesia Tahun 2011-2021

Sumber: BPS

 

Berdasarkan ilustrasi di atas, terdapat fluktuasi yang signifikan dalam angka perkawinan anak di Indonesia Nahdiyanti, Yunus, & Qamar, (2021), menunjukkan penurunan selama empat tahun terakhir (2008-2021), dengan penurunan paling drastis terjadi dari tahun 2020, yaitu sebesar 10,35%, menjadi 9,23% pada tahun 2021. Meskipun terjadi penurunan, bila dibandingkan dengan target RPJMN tahun 2020-2024 yang menetapkan target penurunan sebesar 8,74% pada tahun 2024, dapat disimpulkan bahwa pencapaian masih jauh dari target yang ditetapkan. Provinsi Sulawesi Tenggara mencatatkan tingkat perkawinan anak yang sangat tinggi, konsisten berada di atas angka rata-rata nasional selama lima tahun berturut-turut (2017-2021).

Sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka perkawinan di Indonesia, salah satunya adalah melalui revisi batas usia pernikahan (Mahmudah et al., 2022). Pada tahun 2019, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 direvisi menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, dengan peningkatan batas usia pernikahan menjadi 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki. Meskipun demikian, masih ada celah dimana batas usia minimum perkawinan dapat diabaikan melalui dispensasi pengadilan yang diberikan atas permohonan orang tua untuk menikahkan anak di bawah usia 18 tahun (Permono et al., 2021). Oleh karena itu, peran orang tua menjadi sangat krusial, karena tanpa persetujuan dan dispensasi dari orang tua kepada pengadilan, perkawinan anak di bawah usia tersebut tidak sah secara hukum.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mencoba untuk menggambarkan bagaimana pengaruh orang tua dalam perkawinan anak di bawah umur di Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini merujuk pada metadata indikator SDG’s. Hal ini dimaksudkan agar terdapat kesamaan konsep dari hasil penelitian ini dengan target pemerintah. Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu: (1) mendeskripsikan karakteristik KRT yang menikahkan anak perempuannya dibawah umur di Provinsi Sulawesi Tenggara dan (2) menganalisis pengaruh KRT terhadap perkawinan anak dibawah umur di Provinsi Sulawesi Tenggara.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat eksplanatori dengan tujuan untuk menguji teori dan temuan penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan peran faktor pendidikan kepala rumah tangga dalam pernikahan anak perempuan di bawah umur (Prani et al., 2017). Fokus penelitian ini adalah pada kepala rumah tangga yang menjalankan pernikahan anak perempuannya pada usia di bawah 18 tahun, sesuai dengan kerangka konsep SDGs. Karakteristik yang dianalisis adalah tingkat pendidikan kepala rumah tangga, yang sesuai dengan teori Arroba (1998) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi proses pengambilan keputusan. Penelitian ini berlokasi di Provinsi Sulawesi Tenggara.

   Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang berupa raw data, diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara. Raw data yang digunakan berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS pada bulan Maret tahun 2022. Data yang diperoleh dari SUSENAS mencakup karakteristik individu, rumah tangga, konsumsi dan pengeluaran (Sugiyono, 2020).

Populasi yang digunakan dalam SUSENAS Maret 2022 adalah populasi blok sensus, dengan sekitar 720 ribu blok sensus biasa yang dihasilkan dari Sensus Penduduk (SP) 2010. Kerangka sampel utama mencakup 40 persen dari populasi blok sensus, dipilih dengan metode probability proportional to size (PPS). Pengambilan sampel 40% dari blok sensus dianggap memadai untuk merepresentasikan karakteristik populasi. Kerangka sampel tahap kedua adalah daftar rumah tangga hasil pemutakhiran di setiap blok sensus. Jumlah sampel SUSENAS Maret 2022 mencapai 324.948 rumah tangga yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Sampel diambil dengan metode stratifikasi, memperhatikan klasifikasi perkotaan/perdesaan dan kategori kesejahteraan rumah tangga (Statistik, 2019). Jumlah sampel SUSENAS di Sulawesi Tenggara mencapai 9.170 rumah tangga. Dalam konteks penelitian ini, sampel terfokus pada kepala rumah tangga (KRT) dari anak perempuan berusia 20-24 tahun yang usia perkawinan pertamanya dibawah 18 tahun.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis inferensia. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik KRT dari anak perempuan berusia 20-24 tahun yang usia perkawainan pertamanya dibawah 18 tahun. Adapun analisis inferensia berupa regresi logistik biner untuk melihat pengaruh KRT terhadap perkawinan anak peremuan dibawah umur (usia<18 tahun). Secara rinci variabel yang digunakan dalam analisis inferensia pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Variabel yang digunakan dalam Analisis Inferensia

 

Adapun defenisi operasional dari variabel pada analisis inferensia dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

 

Tabel 1. Defenisi Operasional dari Variabel pada Analisis Inferensia

No.

Variabel

Kategori

Variabel

Dummy

Nilai Dummy

 

Variabel Dependen

 

 

 

1.

Kecenderungan orang tua menikahkan anak perempuan

1. Usia ˂18 tahun

Y

1

2. Usia ≥18 tahun

0

 

Variabel Independen

 

 

 

1.

Tingkat Pendidikan orang tua

1. Pendidikan Tinggi*

X1

0

2. Pendidikan Rendah

1

2.

Status Bekerja orang tua

1. Tidak Bekerja

X2

1

2. Bekerja*

0

3.

Wilayah Tempat Tinggal orang tua

1. Perdesaan

X3

1

2. Perkotaan*

0

4.

Status Miskin/Tidak Miskin orang tua

1. Miskin

X4

1

2. Tidak Miskin*

0

5.

Jenis Kelamin

1. Laki-laki

X5

1

2. Perempuan*

0

      Keterangan : *) Kategori Referensi

 

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Orang Tua yang Menikahkan Anak Perempuannya dibawah Umur (Usia<18 tahun)

Analisis deskriptif pada penelitian ini difokuskan untuk melihat gambaran/karakteristik orang tua dari anak perempuan usia 20-24 tahun yang telah berstatus menikah. Adapun gambaran karakteristik orang tua tersebut adalah sebagai berikut:

 

Tabel 2. Persentase Kepala Rumah Tangga (KRT) dari Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut Usia Kawin Pertama Anak Perempuan dan Jenis Kelamin Kepala Kepala Rumah Tangga

Usia Kawin Anak Perempuan

Jenis Kelamin KRT

Perempuan (%)

Laki-laki (%)

Usia 18+

74,9

76,0

Usia <18

25,1

24,0

Total

100,0

100,0

 

Berdasarkan tabel diatas, data menunjukkan bahwa Kepala Rumah Tangga (KRT) perempuan cenderung memiliki kecenderungan yang sedikit lebih tinggi (25,1%) untuk menikahkan anak perempuan di bawah umur dibandingkan dengan KRT laki-laki (24%). Meskipun perbedaan ini mungkin terlihat kecil, namun dapat memberikan pemahaman lebih lanjut tentang peran dan dinamika keputusan di dalam rumah tangga yang berpotensi memengaruhi keputusan terkait pernikahan anak. Perbedaan ini dapat mencerminkan beberapa potensi faktor pengaruh. Pertama, peran dan ekspektasi gender dalam rumah tangga mungkin memainkan peran dalam keputusan pernikahan anak. Norma-norma budaya atau tanggapan sosial terhadap peran KRT perempuan dapat memengaruhi keputusan tersebut (Tamba, 2017). Kedua, faktor ekonomi dan kondisi keuangan rumah tangga mungkin turut berperan, dengan KRT perempuan mungkin menghadapi tekanan finansial yang dapat memengaruhi keputusan pernikahan anak. Meskipun kecil, perbedaan ini memerlukan perhatian dan analisis lebih lanjut untuk memahami faktor-faktor penyebabnya. Langkah-langkah pencegahan pernikahan anak perlu mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan ekonomi di tingkat rumah tangga. Analisis lebih lanjut juga dapat menggali variabel-variabel tambahan, seperti tingkat pendidikan, akses terhadap informasi, atau adanya program-program pemberdayaan perempuan yang dapat memengaruhi keputusan tersebut.

 

Tabel 3. Persentase Kepala Rumah Tangga (KRT) dari Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut Usia Kawin Pertama Anak Perempuan dan Status Bekerja Kepala Rumah Tangga

Usia Kawin Anak Perempuan

Status Bekerja KRT

Bekerja (%)

Tidak Bekerja (%)

Usia 18+

75,3

79,4

Usia <18

24,7

20,6

Total

100,0

100,0

 

Terdapat perbedaan sekitar 4,1% dalam kecenderungan antara Kepala Rumah Tangga (KRT) yang bekerja dan yang tidak bekerja dalam menikahkan anak perempuan di bawah umur. KRT yang bekerja menunjukkan kecenderungan lebih tinggi untuk menikahkan anak perempuan di bawah umur dibandingkan dengan KRT yang tidak bekerja. Persentase yang lebih tinggi pada KRT yang bekerja dapat mengindikasikan bahwa faktor pekerjaan mungkin memainkan peran dalam keputusan menikahkan anak perempuan di bawah umur. Pekerjaan KRT dapat berpengaruh melalui tekanan ekonomi, norma sosial di lingkungan kerja, atau faktor-faktor lain yang terkait dengan pekerjaan. Dapat diasumsikan bahwa KRT yang bekerja mungkin menghadapi tekanan ekonomi yang lebih besar, sehingga lebih mungkin terlibat dalam praktik menikahkan anak perempuan di bawah umur sebagai respons terhadap tantangan finansial. Analisis lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana kondisi ekonomi dan jenis pekerjaan dapat memengaruhi kecenderungan ini.

 

Tabel 4. Persentase Kepala Rumah Tangga (KRT) dari Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut Usia Kawin Pertama Anak Perempuan dan Status Wilayah Tempat Tinggal Kepala Rumah Tangga

Usia Kawin Anak Perempuan

Wilayah Tempat Tinggal KRT

Perkotaan (%)

Pedesaan (%)

Usia 18+

87,1

71,0

Usia <18

12,9

29,0

Total

100,0

100,0

 

Data dari analisis crosstab menyoroti perbedaan yang signifikan dalam kecenderungan pernikahan anak perempuan di bawah umur antara Kepala Rumah Tangga (KRT) yang tinggal di kota dan di desa. Hasil menunjukkan bahwa KRT di desa memiliki kecenderungan yang lebih tinggi, mencapai 29%, untuk menikahkan anak perempuan di bawah umur, sementara KRT di kota hanya sebesar 12,9%. Perbedaan drastis ini mengindikasikan bahwa faktor lingkungan dan dinamika sosial di desa memainkan peran penting dalam keputusan pernikahan anak perempuan. Norma-norma tradisional, tekanan sosial, dan keterbatasan akses terhadap pendidikan atau informasi mungkin menjadi pendorong kuat di desa, memperkuat kecenderungan pernikahan dini. Di sisi lain, di lingkungan kota, di mana akses terhadap pendidikan dan informasi lebih mudah, serta norma-norma sosial mungkin lebih progresif, kecenderungan untuk menikahkan anak perempuan di bawah umur lebih rendah. Hasil ini mencerminkan adanya disparitas signifikan antara kedua lingkungan tersebut dan menunjukkan perlunya perhatian khusus dalam merancang kebijakan pencegahan pernikahan dini, terutama di wilayah pedesaan dengan prevalensi yang lebih tinggi.

 

Tabel 5. Persentase Kepala Rumah Tangga dari Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut Usia Kawin  Pertama Anak Perempuan dan Status Kemiskinan Kepala Rumah Tangga

Usia Kawin Anak Perempuan

Status Kemiskinan

Tidak Miskin (%)

Miskin (%)

Usia 18+

76,9

68,8

Usia <18

23,1

31,2

Total

100,0

100,0

 

Melalui analisis crosstab, terlihat perbedaan yang mencolok dalam kecenderungan pernikahan anak perempuan di bawah umur antara Kepala Rumah Tangga (KRT) dengan status miskin dan tidak miskin. KRT yang tergolong miskin menunjukkan kecenderungan lebih tinggi, mencapai 31,2%, dalam menikahkan anak perempuan di bawah umur dibandingkan dengan KRT yang tidak miskin yang memiliki kecenderungan sebesar 23,1%.

Perbedaan signifikan ini mencerminkan dampak langsung dari kondisi ekonomi terhadap keputusan pernikahan anak. KRT dengan status miskin mungkin menghadapi tekanan ekonomi yang lebih besar, menjadikan pernikahan anak sebagai respons terhadap tantangan finansial atau strategi untuk mengurangi beban biaya keluarga. Faktor-faktor ekonomi, termasuk keterbatasan akses terhadap pendidikan dan peluang pekerjaan yang memadai, turut berkontribusi dalam membentuk kecenderungan ini.

Sebaliknya, KRT yang tidak miskin cenderung memiliki stabilitas ekonomi yang lebih baik, memberikan mereka akses yang lebih besar terhadap pendidikan. Mereka mungkin melihat pernikahan anak di bawah umur sebagai opsi yang kurang diinginkan dalam konteks kestabilan ekonomi yang lebih baik (Uyuni, 2023).

Hasil ini menegaskan perlunya kebijakan dan program yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pemberdayaan akses pendidikan, khususnya untuk keluarga dengan status miskin, guna mencegah pernikahan anak perempuan di bawah umur.

 

Tabel 6. Persentase Kepala Rumah Tangga dari Perempuan Usia 20-24 Tahun menurut Usia Kawin Pertama Anak Perempuan dan Pendidikan Terakhir yang Ditamatkan Kepala Rumah Tangga

Usia Kawin Anak Perempuan

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Perguruan Tinggi (%)

SMA/Sederajat (%)

SMP/Sederajat (%)

SD Kebawah (%)

Usia 18+

75,0

67,5

86,1

73,9

Usia <18

25,0

32,5

13,9

26,1

Total

100,0

100,0

100,0

100,0

 

Analisis data menunjukkan bahwa pendidikan menjadi faktor penting dalam kecenderungan kepala rumah tangga (KRT) menikahkan anak perempuan di bawah umur. Dengan persentase sebanyak 72,5%, terlihat bahwa mayoritas KRT yang menikahkan anak perempuan di bawah umur memiliki tingkat pendidikan SMA ke bawah. Penting untuk dicatat bahwa angka ini menyoroti hubungan kuat antara rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya kecenderungan pernikahan anak perempuan di bawah umur. Kelompok dengan pendidikan SMA ke bawah mungkin lebih rentan terhadap berbagai faktor yang mendukung praktik pernikahan dini, seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan formal, tekanan ekonomi, dan norma budaya.

 

Analisis Pengaruh Kepala Rumah Tangga terhadap Perkawinana Anak dibawah Umur (Usia<18 tahun)

Pada analisis regresi logistik biner ini akan menggunakan model yang mencakup seluruh variabel yang sudah disebutkan sebelumnya. Seluruh variabel dependen dan independen pada penelitian ini akan dianalisis menggunakan program pengolahan IBM SPSS Statistics versi 21 dengan metode enter.

 

Tabel 7. Classification Tablea,b

 

 

 

 

Predicted

 

 

 

 

Usia perkawinan anak

 

 

Observed

 

Bukan perkawinan anak

Perkawinan anak

Percentage Correct

Step 0

Usia perkawinan anak

Bukan perkawinan anak

11784

0

100.0

 

 

Perkawinan anak

3755

0

.0

 

Overall Percentage

 

 

 

75.8

a.     Constant is included in the model

b.     The cut value is .500

Berdasarkan Classification Table nilai Percentage Correct dari model logit yang dibuat mencapai 75,8. Artinya adalah model logit ini dapat mengklasifikasikan objek 75,8 persen secara benar.

 

Tabel 8. Omnibus Tests of Model Coefficients

 

 

Chi-square

df

Sig.

Step 1

Step

566.646

5

.000

 

Block

566.646

5

.000

 

Model

566.646

5

.000

 

Berdasarkan hasil uji simultan menggunakan likelihood ratio test diperoleh hasil statistik uji G sebesar 566,646 dan p-value sebesar 0,000. Karena nilai p-value nya lebih kecil dari 0,05 sehingga H0 uji simultan regresi logistik biner dapat ditolak. Artinya, dengan tingkat signifikansi 5 persen, variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Atau daengan kata lain, model dengan menambahkan variabel independen lebih baik dibandingkan model tanpa variabel independen dalam menganalisis variabel perkawinana anak dibawah umur.

 

Tabel 9. Koefisien Determinasi (R2)

Model Summary

Step

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Negelkerke R Square

1

16619.244a

.036

.054

a.    Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimated changed by less than .001

Di samping itu, nilai koefisien determinasi (R2) pada model logit dilihat melalui nilai Cox & Snell R Square, yaitu sebesar 0,054. Artinya adalah, 5,4 persen variasi dalam variabel perkawinan perempuan dibawah umur dapat dijelaskan oleh variabel- variabel independennya. Sisanya lagi mampu dijelaskan oleh variabel lain yang belum dapat dimasukkan ke model ini. Berikut adalah output hasil uji simultan dengan menggunakan SPSS.

Setelah melihat nilai Goodness of Fit dan uji simultan dari model logit yang dibentuk, selanjutnya adalah melakukan uji parsial untuk melihat pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel usia kawin pertama. Hipotesis nol (H0) pada uji parsial adalah variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Hasil pengujian parsial untuk masing-masing variabel independent dapat dilihat pada tabel berikut.

 

Tabel 10. Uji Parsial

Variabel

Koefisien (β)

SE(β)

Uji Wald

Sig.

Exp(β) / Odds Ratio

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Jenis kelamin KRT

-0.214

0.062

11.947

0.001*

0.912

Status Bekerja KRT

-0.156

0.064

5.875

0.015*

0.971

Wilayah Tempat Tinggal KRT

0.974

0.049

391.337

0.000*

2.918

Status kemiskinan KRT

0.287

0.053

29.729

0.000*

1.477

Pendidikan KRT

-0.269

0.053

25.931

0.000*

0.848

Constant

-1.487

0.085

307.437

 

 

Ket : *) signifikan pada α = 5%

 

Tabel diatas menunjukkan bahwa kelima variabel memiliki nilai p-value kurang dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat signifikansi 5 persen semua variabel independen secara signifikan berpengaruh terhadap variabel perkawinan perempuan dibawah umur. Berdasarkan uji parsial dengan tingkat signifikansi 5 persen, dapat disimpulkan bahwa:

1)      KRT dengan jenis kelamin perempuan cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur 1 kali lebih tinggi dibanding KRT dengan jenis kelamin laki laki. Pemahaman yang lebih mendalam terhadap fenomena di mana Kepala Rumah Tangga (KRT) perempuan cenderung lebih mungkin menikahkan anak perempuan di bawah umur dibandingkan dengan KRT laki-laki memerlukan analisis yang mendalam terhadap konteks sosial dan budaya yang dapat memengaruhi pola kecenderungan ini. Faktor-faktor seperti norma sosial, peran gender tradisional, dan harapan masyarakat terhadap perempuan dalam konteks pernikahan menjadi unsur kunci yang perlu dijelajahi untuk merinci fenomena ini. Di dalam masyarakat yang masih kuat memegang norma sosial dan peran gender tradisional, KRT perempuan mungkin merasa tertekan atau dihadapkan pada ekspektasi untuk mengikuti norma pernikahan yang sudah mapan. Pernyataan ini mencerminkan adanya pengaruh budaya patriarki, di mana perempuan diharapkan untuk mengemban peran tertentu, termasuk dalam mengelola pernikahan anak. Faktor-faktor ini memiliki potensi untuk memperkuat kecenderungan menikahkan anak perempuan di bawah umur.

Pengambilan keputusan dalam konteks pernikahan sering kali dipengaruhi oleh peran yang dimainkan oleh kepala rumah tangga. Jika KRT perempuan memiliki dominasi dalam pengambilan keputusan keluarga, hal ini dapat memberikan dampak signifikan pada keputusan terkait pernikahan anak perempuan. Kecenderungan ini mencerminkan dinamika internal pengambilan keputusan dalam rumah tangga, yang dapat menciptakan pola kecenderungan menuju pernikahan dini. Kondisi ekonomi dan akses terhadap pendidikan KRT perempuan juga memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam fenomena ini. Ketika KRT perempuan menghadapi kendala ekonomi atau terbatas dalam akses pendidikan, mereka mungkin cenderung mengandalkan pernikahan anak perempuan sebagai respons terhadap tekanan finansial atau keterbatasan sumber daya

2)      KRT yang bekerja cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur 1 kali lebih tinggi dibanding KRT yang tidak bekerja. Pernyataan bahwa Kepala Rumah Tangga (KRT) yang bekerja memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menikahkan anak perempuan di bawah umur dibandingkan dengan KRT yang tidak bekerja menunjukkan sebuah korelasi yang perlu diperhatikan secara cermat. Fenomena ini membuka ruang untuk analisis lebih lanjut terkait pengaruh pekerjaan KRT terhadap keputusan pernikahan anak, yang kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial, dan budaya. KRT yang terlibat dalam dunia pekerjaan mungkin menghadapi tekanan ekonomi atau tantangan keuangan tertentu, yang dapat memengaruhi keputusan terkait pernikahan anak perempuan. Pernikahan sering kali dianggap sebagai strategi ekonomi untuk mengatasi beban biaya hidup atau sebagai upaya untuk meningkatkan status ekonomi keluarga. Oleh karena itu, keterlibatan KRT dalam pekerjaan dapat menciptakan situasi di mana pernikahan anak dianggap sebagai solusi untuk mengatasi tantangan ekonomi. Pengaruh pekerjaan KRT pada kecenderungan menikahkan anak perempuan juga dapat berkaitan dengan pengaruh sosial dan norma budaya.

Di beberapa masyarakat, pekerjaan KRT, khususnya jika dilakukan oleh perempuan, dapat dianggap sebagai faktor yang memicu ekspektasi terhadap pernikahan dini. Norma budaya tertentu mungkin memanfaatkan peran perempuan dalam dunia pekerjaan sebagai alasan untuk mendorong pernikahan pada usia yang lebih muda. Meskipun KRT yang bekerja mungkin memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi dan kesadaran akan dampak negatif pernikahan anak perempuan di bawah umur, namun demikian, pernyataan ini menunjukkan bahwa akses informasi tersebut mungkin belum cukup untuk mengubah kecenderungan pernikahan dini. Pemahaman mengenai korelasi antara pekerjaan KRT dan pernikahan anak perempuan di bawah umur memiliki implikasi yang signifikan untuk perancangan kebijakan dan upaya pencegahan. Upaya dapat dilakukan untuk mengatasi akar masalah, termasuk pemberdayaan ekonomi perempuan, peningkatan kesadaran akan dampak pernikahan anak, dan pembentukan norma sosial yang mendukung hak-hak anak dan pendidikan. Ini menjadi esensial dalam membentuk lingkungan di mana pernikahan dini tidak lagi dianggap sebagai solusi yang dapat diterima dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.

3)      KRT yang tinggal di desa cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur 3 kali lebih tinggi dibanding KRT yang tinggal di kota. Wilayah tempat tinggal memainkan peran krusial dalam membentuk kecenderungan orang tua untuk menikahkan perempuan anak di bawah umur. Daerah pedesaan, misalnya, cenderung memiliki struktur sosial dan norma budaya yang lebih tradisional, di mana pernikahan dianggap sebagai langkah yang wajar dan diterima. Tekanan dari masyarakat setempat dan ekspektasi normatif dapat memberikan dorongan tambahan kepada orang tua untuk mengamini pernikahan anak perempuannya di usia yang relatif muda. Selain itu, akses terbatas terhadap pendidikan dan informasi di daerah pedesaan dapat menciptakan kurangnya kesadaran tentang risiko dan konsekuensi negatif dari pernikahan dini.

4)      KRT yang hidup di bawah garis kemiskinan lebih cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur 1 sampai 1,5 kali lebih tinggi dibanding KRT yang hidupa diatas garis kemiskinan. Status kemiskinan merupakan faktor krusial yang seringkali menjadi pemicu pernikahan anak di bawah umur. Keluarga yang hidup dalam kemiskinan mungkin menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan, dan pernikahan anak dianggap sebagai strategi untuk mengurangi beban finansial keluarga. Orang tua mungkin melihat pernikahan anak sebagai cara untuk memastikan kehidupan ekonomi yang lebih baik, meskipun pada kenyataannya, pernikahan dini sering kali memperburuk siklus kemiskinan dengan membatasi akses anak perempuan terhadap pendidikan dan peluang pekerjaan yang layak.

5)      KRT dengan pendidikan tinggi cenderung menikahkan anak perempuan dibawah umur 0,8 kali lebih tinggi dibanding KRT dengan pendidikan rendah. Pernyataan bahwa Kepala Rumah Tangga dengan latar belakang pendidikan tinggi lebih mungkin menikahkan anak perempuan di bawah umur, dibandingkan dengan Kepala Rumah Tangga yang memiliki tingkat pendidikan rendah, muncul sebagai sesuatu yang tidak terduga. Kesimpulan ini bisa bertentangan dengan ekspektasi umum, yang mungkin menganggap bahwa pendidikan tinggi akan memberikan pemahaman yang lebih matang mengenai dampak negatif pernikahan dini. Oleh karena itu, diperlukan klarifikasi dan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi korelasi tersebut. Dalam menjelajahi fenomena ini, kita perlu mempertimbangkan kemungkinan adanya variabel tambahan yang dapat mendukung hubungan antara pendidikan tinggi Kepala Rumah Tangga dan kecenderungan untuk menikahkan anak perempuan di bawah umur. Mungkin saja pandangan tradisional terkait pernikahan atau tekanan sosial yang lebih besar di kalangan lapisan masyarakat berpendidikan tinggi memberikan kontribusi pada tren ini.

Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa tingkat pendidikan tinggi tidak selalu mencerminkan pandangan progresif terhadap pernikahan anak. Sosial dan budaya, sebagai variabel kontekstual, juga perlu diperhitungkan. Kepala Rumah Tangga dengan pendidikan tinggi mungkin terjerat dalam lingkungan yang mendasarkan nilai pada tradisi tertentu atau memegang norma budaya yang kuat terkait pernikahan. Dalam konteks ini, penelitian menunjukkan bahwa pernyataan tersebut mungkin mencerminkan lebih dari sekadar tingkat pendidikan, melibatkan elemen-elemen sosial dan budaya yang membentuk keputusan mengenai pernikahan anak. Untuk pemahaman lebih mendalam tentang hubungan antara pendidikan Kepala Rumah Tangga dan kecenderungan pernikahan anak di bawah umur, penting untuk mempertimbangkan variabel lain yang mungkin memainkan peran signifikan. Aspek ekonomi, akses terhadap informasi, dan struktur sosial dalam masyarakat adalah beberapa faktor yang perlu diintegrasikan dalam analisis untuk menggambarkan dan mengklarifikasi hubungan ini secara lebih komprehensif.

Kesimpulan

Hasil analisis menunjukkan adanya kecenderungan bahwa Kepala Rumah Tangga (KRT) dengan jenis kelamin perempuan, tergolong miskin, dan tinggal di desa memiliki tingkat pernikahan anak perempuan di bawah umur yang lebih tinggi. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas interaksi antara faktor sosial, ekonomi, dan geografis dalam membentuk keputusan pernikahan di masyarakat. Identifikasi pola ini dapat memberikan pemahaman mendalam tentang tantangan dan dinamika yang dihadapi oleh kelompok ini.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Gastón, C. M., Misunas, C., & Cappa, C. (2019). Child marriage among boys: a global overview of available data. Vulnerable Children and Youth Studies, 14(3), 219–228.

Mahmudah, U. D., Iftitah, A., & Alfaris, M. (2022). Efektivitas Penerapan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dalam Upaya Meminimalisir Perkawinan Dini. Jurnal Supremasi, 44–58.

Maknun, L. (2017). Kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua (child abuse). Muallimuna, 3(1), 66–77.

Mustofa, I. (2015). Politik Hukum Islam di Indonesia, Pergulatan Politik dibalik lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dvifa Percetakan.

Nahdiyanti, N., Yunus, A., & Qamar, N. (2021). Implementasi perubahan kebijakan batas usia perkawinan terhadap perkawinan di bawah umur. Journal of Lex Generalis (JLG), 2(1), 150–167.

Nasional, K. P. P. (2020). Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan ….

Permono, K. D., Busro, A., & Lumbanraja, A. D. (2021). Tinjauan Hukum Pengaruh Dispensasi Perkawinan Di Bawah Umur Terhadap Efektivitas Peraturan Batas Minimum Usia Menikah. Notarius, 14(1), 178–193.

Prani, A. I. E., Parno, P., & Hidayat, A. (2017). Penelitian Eksplanatori: Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA Pada Materi Fluida Statis. Seminar Nasional Pendidikan IPA 2017, 2.

Rahmita, N. R., & Nisa, H. (2019). Perbedaan Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Ditinjau dari Usia saat Menikah dan Tingkat Pendidikan. Jurnal Ilmiah Psikologi, 6, 73–84.

Statistik, B. P. (2019). Statistik Kakao Indonesia 2019 [internet].[diunduh 2021 Oktober 07]. Tersedia Pada: Https://Www. Bps. Go. Id/Publication/202 0/12/02/2ac5a729f43e5f6b666e482d/St Atistik-Kakao-Indonesia-2019. Html.

Sugiyono, P. D. (2020). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mix Methods)(DI Sutopo (ed.). ALFABETA, CV.

Tamba, D. (2017). Pengaruh faktor budaya, sosial, pribadi dan psikologi terhadap keputusan membeli di Indomaret (studi kasus pada mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara). Jurnal Manajemen Dan Bisnis, 30–50.

Utami, P. N. (2018). Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hak Atas Rasa Aman Di Nusa Tenggara Barat (Prevention of Violence to Children from the Perspective of the Rights to Security in West Nusa Tenggara). Jurnal HAM Vol, 9(1), 1–17.

Uyuni, U. F. (2023). Pandangan Masyarakat Terhadap Pernikahan Anak Di Bawah Umur Di Kecamatan Kalideres Kota Jakarta Barat. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Verawati, M., Kartikasari, D., Mariza, N., Wicaksono, B., Anggraini, N., & Yulianti, R. (2019). Perkawinan Bukan Untuk Anak: Potret Perkawinan Anak Di 7 Daerah Paska Perubahan UU Perkawinan. Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan Dan Demokrasi (KPI), Jakarta Selatan.

 

 

Copyright holder:

Junedi, M. Tahir Kasnawi, Sakaria (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: