Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
3, Maret 2024
PENGURANGAN HUKUMAN PIDANA TERDAKWA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA PADA TINGKAT KASASI OLEH MAHKAMAH AGUNG (Studi Kasus Putusan Nomor 816 K/Pid/2023)
Andrew Trinovada, Hery Firmansyah
Universitas Tarumanagara, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Email: [email protected],
heryf@fh.untar.ac.id
Abstrak
Pada hakikatnya, konsep pidana merupakan sarana
penunjang keadilan bagi masyarakat. Di sisi lain, Pengurangan hukuman penjara
menjadi elemen krusial dalam struktur peradilan pidana yang mempertimbangkan
beragam faktor, termasuk rehabilitasi narapidana dan kebijakan pemasyarakatan.
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 816 K/Pid/2023 menjadi fokus utama dalam
eksplorasi implementasi pengurangan hukuman penjara pada level kasasi, dengan
penekanan pada dasar kebijakan hukum yang mendasarinya. Penelitian ini
bertujuan untuk mendalami pemahaman mengenai tinjauan pengurangan hukuman
penjara oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dengan fokus khusus pada
analisis Keputusan Mahkamah Agung Nomor 816 K/Pid/2023. Tujuan khususnya adalah
mengevaluasi dasar hukum, pertimbangan, dan dampak pengurangan hukuman penjara
dalam konteks penegakan hukum dan kebijakan pemasyarakatan. Metode penelitian
yang digunakan bersifat normatif, dengan meneliti dan menganalisis bahan hukum
primer dan sekunder yang terkait dengan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 816
K/Pid/2023. Analisis hukum dilakukan untuk menemukan struktur teoritis dan
konseptual yang mendukung tinjauan terhadap pengurangan hukuman penjara pada
tingkat kasasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Keputusan Mahkamah Agung
Nomor 816 K/Pid/2023 memberikan pandangan yang komprehensif terhadap
pertimbangan pengurangan hukuman penjara pada tingkat kasasi, termasuk
aspek-aspek yang sebelumnya tidak dipertimbangkan dalam keputusan judex
facti.
Kata kunci: Pertimbangan, Kasasi,
Pembunuhan, Mahkamah Agung.
Abstract
In essence, the concept of criminal law serves as a tool to
support justice for society. On the other hand, the reduction of imprisonment
sentences is a crucial element within the structure of the criminal justice
system, considering various factors, including inmate rehabilitation and
penitentiary policies. Supreme Court Decision Number 816 K/Pid/2023 takes
center stage in the exploration of the implementation of imprisonment sentence
reduction at the cassation level, with an emphasis on its underlying legal
policies. This research aims to delve deeply into the examination of
imprisonment sentence reduction by the Supreme Court at the cassation level,
with a specific focus on the analysis of Supreme Court Decision Number 816
K/Pid/2023. The specific objectives include evaluating the legal foundations,
considerations, and impacts of imprisonment sentence reduction within the
context of law enforcement and penitentiary policies. The research method
employed is normative, involving the examination and analysis of primary and
secondary legal materials related to Supreme Court Decision Number 816
K/Pid/2023. Legal analysis is conducted to identify theoretical and conceptual
frameworks supporting the review of imprisonment sentence reduction at the
cassation level. The research findings indicate that Supreme Court Decision
Number 816 K/Pid/2023 provides a comprehensive perspective on the
considerations of imprisonment sentence reduction at the cassation level,
including aspects that were previously not considered in judex facti decisions.
Keywords:
Consideration,
Cassation, Murder, Supreme Court.
Pendahuluan
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi lembaga
peradilan
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) sampai dengan (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kekuasaan
kehakiman bertujuan untuk melaksanakan peradilan demi hukum dan keadilan.
Mahkamah Agung selaku pemeran utama dalam kekuasaan
kehakiman mempunyai sifat kemandirian yang terpisahkan dari kekuasaan negara
lainnya. Adapun, independensi Mahkamah Agung tersebut meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1)
Kemandirian
Substansial, mengacu pada kemampuan Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi
pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam suatu perkara semata-mata untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Contohnya,
dalam mengadili kasus-kasus, Mahkamah Agung harus mendasarkan putusannya pada
norma hukum yang berlaku, tanpa pengaruh atau tekanan dari kekuasaan lain.
2)
Kemandirian
Institusional, merujuk pada kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi lembaga kenegaraan dan pemerintahan
lainnya dalam proses pengambilan keputusan dalam suatu perkara. Contohnya,
Mahkamah Agung tidak seharusnya dipengaruhi oleh kebijakan atau kepentingan
politik dari lembaga-lembaga lain, sehingga tetap dapat menjalankan fungsi
peradilan dengan objektivitas.
3)
Kemandirian
Internal, menyangkut kemandirian peradilan dalam mengatur urusan kepersonaliaan
kehakiman, seperti rekruitmen, mutasi, promosi, pengupahan, masa kerja, dan
masa pensiun. Contoh dari kemandirian internal ini adalah kemampuan Mahkamah Agung untuk mengelola dan
mengatur personelnya sendiri tanpa campur tangan eksternal, sehingga dapat
memastikan keberlanjutan dan keberlanjutan institusi kehakiman.
4)
Kemandirian
Personal, berarti bahwa para hakim harus memiliki kemandirian dari pengaruh
rekan sejawat, pimpinan, dan institusi kehakiman itu sendiri. Misalnya, seorang
hakim di Mahkamah Agung harus
dapat membuat keputusan berdasarkan pemahaman dan keyakinannya sendiri, tanpa
terpengaruh oleh opini atau tekanan dari sesama hakim, pimpinan, atau lembaga
kehakiman.
Dalam suatu lembaga hukum dan masyarakat demokrasi,
Mahkamah Agung memiliki peranan yang sangat krusial sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman. Perannya tidak hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai
penekan terhadap setiap pelanggaran hukum, tempat terakhir mencari kebenaran
dan keadilan, serta penjaga kemerdekaan warga masyarakat dari segala bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, pertanyaan yang muncul adalah
apakah peranan Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman telah
berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam hal kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung juga memegang andil dalam
peradilan pada tingkat kasasi. Dalam realitas peradilan, tidak dapat dihindari
bahwa keputusan hakim sering kali dapat terjadi kekeliruan atau kekhilafan,
bahkan terkadang dapat mencerminkan sikap yang bersifat memihak. Untuk
memastikan bahwa kebenaran dan keadilan tetap menjadi landasan utama dalam sistem peradilan, peran peradilan
kasasi di Indonesia menjadi sangat penting
Salah
satu contoh kasus pada peradilan tingkat kasasi yang sempat menarik perhatian
publik adalah kasasi terhadap kasus Putri Candrawathi terkait pembunuhan
berencana atas Almarhum Nofiransyah Yosua Hutabarat. Adapun pihak-pihak yang
terlibat (Para Terdakwa) dalam kasus pembunuhan berencana tersebut salah
satunya adalah Terdakwa Putri Candrawathi. Pada mulanya, Terdakwa Putri
Candrawathi mengakui bahwa ia telah mengalami pelecehan dari korban Nofriansyah
Yosua Hutabarat. Akibat kejadian tersebut, terdakwa Ferdy Sambo merasa marah
dan merencanakan sebuah strategi untuk mengakhiri nyawa korban Nofriansyah
Yosua Hutabarat. Dalam usahanya untuk melaksanakan niat jahat ini, terdakwa
Ferdy Sambo meminta bantuan dari Richard Elizer Pudihang Lumiu, yang juga menjadi
saksi dalam kasus ini, untuk menembak korban Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Permintaan ini diterima oleh Richard Eliezer Pudihang Lumiu, dan ia akhirnya
mengikuti instruksi dari terdakwa Ferdy Sambo
Akan
tetapi, dalam proses persidangan pada tingkat pertama, pengakuan terkait
pelecehan seksual yang dialami oleh Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan,
sehingga Putri Candrawathi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana turut
serta melakukan pembunuhan berencana terhadap korban Nofriansyah Yosua
Hutabarat. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
797/Pid.B/2022/PN JKT.SEL tanggal 13 Februari 2023 (Putusan Nomor
797/Pid.B/2022/PN JKT.SEL), Putri Candrawathi dinyatakan bersalah dan dijatuhi
hukuman penjara selama 20 tahun atas keterlibatannya dalam kasus pembunuhan
berencana terhadap mantan ajudan Ferdy Sambo tersebut, yakni Nofriansyah Yosua
Hutabarat. Setelahnya, perkara Terdakwa Putri Candrawathi dinaikkan ke tingkat
banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Meskipun demikian, putusan akhir yang
diberikan oleh hakim tetap menguatkan Putusan Nomor 797/Pid.B/2022/PN JKT.SEL
Namun,
pada tahap kasasi, masyarakat kembali dihebohkan oleh berita bahwa Mahkamah
Agung telah mengurangi hukuman penjara yang awalnya 20 tahun menjadi 10 tahun
terhadap Terdakwa Putri Candrawathi. Informasi ini tercatat dalam Keputusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 816 K/Pid/2023 (Putusan Nomor 816
K/Pid/2023), yang diumumkan pada hari Selasa tanggal 8 Agustus 2023. Anggota
majelis hakim yang terlibat dalam pemeriksaan perkara tersebut melibatkan Ketua
Majelis Hakim, Suhadi, bersama dengan anggota lainnya, yaitu Suharto,
Jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kasasi merupakan upaya
hukum yang dapat ditempuh oleh barang siapa yang merasa belum memperoleh
keadilan atau bahkan dirugikan melalui pelaksanaan peradilan pada tingkat
pertama maupun banding. Pasalnya, Mahkamah Agung memiliki beberapa pertimbangan
dalam melakukan pengurangan terhadap masa pidana penjara Putri Candrawathi.
Akan tetapi, keputusan tersebut justru dibanjiri kontra sebagian besar
masyarakat. Bilaman kasasi merupakan upaya hukum bagi seseorang dalam
memperoleh keadilan, maka timbul pertanyaan apakah pertimbangan yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hanya berpusat pada situasi terdakwa, atau juga
memperhatikan aspirasi publik lainnya?
Secara teoritis, keadilan tidak hanya bersifat yuridis
semata, tetapi juga merupakan isu sosial yang seringkali dianalisis melalui
perspektif sosiologi hukum. Keadilan substantif, yang secara khusus
menitikberatkan pada tanggapan masyarakat, menjadi dasar untuk menyelesaikan
permasalahan dengan berlandaskan pada hukum yang benar-benar memperhatikan
pandangan masyarakat. Dengan kata lain, hukum memiliki kapasitas untuk
mengenali aspirasi masyarakat dan memiliki komitmen untuk mencapai keadilan
substantif
Mengutip pernyataan Bagir Manan, keputusan yang diberikan
oleh seorang hakim tidak hanya mencakup ketentuan hukum semata, tetapi juga
mencerminkan aspek-aspek kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban
umum
Kendati demikian, hal tersebut tidak membenarkan apabila
seorang hakim sewenang-wenangnya menyimpangi ketentuan hukum. Terdapat beberapa
ketentuan serta kemampuan penafsiran hukum dalam menerapkan prinsip keadilan
substantif pada suatu putusan, yaitu sebagai berikut
1)
Jika
peristiwa hukum yang tengah diadili atau berpotensi menimbulkan ketidakadilan
tidak dapat diakomodasi oleh ketentuan hukum, maka hakim berhak untuk
memutuskan suatu perkara di luar ruang lingkup ketentuan hukum tersebut.
2)
Hakim
memiliki kewajiban untuk mengkaji maksud dan tujuan pembentukan ketentuan
hukum, kecuali jika maksud dan tujuan tersebut tidak lagi relevan dengan
perkembangan zaman.
3)
Proses
penafsiran dilakukan untuk menjunjung tinggi prinsip keadilan.
4)
Penafsiran
dilakukan dengan tujuan merealisasikan ketentuan hukum, tanpa maksud mengubah
isi dari ketentuan hukum itu sendiri.
5)
Penafsiran
dilakukan dengan menerapkan metode penafsiran hukum, sejalan dengan
prinsip-prinsip hukum, ketertiban hukum, kemaslahatan hukum, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
6)
Penafsiran
dapat merujuk pada doktrin hukum selama doktrin tersebut memiliki relevansi
dengan kasus yang sedang dibahas.
7)
Pendekatan
penafsiran bersifat progresif, tidak mengakomodasi pemahaman yang ketinggalan
zaman.
Berangkat dari pendahuluan di atas, penulisan ini bertujuan menelaah dan menganalisa permasalahan
sebagai berikut: (1) Bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan
pengurangan masa pidana penjara terhadap Putri Candrawathi dalam Putusan Nomor
816 K/Pid/2023?; dan (2) Bagaimana penerapan prinsip keadilan substantif dalam Putusan Nomor 816 K/Pid/2023?
Metode Penelitian
Metode penelitian yang diterapkan adalah penelitian
normatif. Suatu penelitian hukum dikategorikan sebagai normatif apabila
tujuannya adalah untuk mengklarifikasi norma-norma yang berlaku dalam suatu
sistem hukum tertentu. Peneliti menunjukkan tindakan yang seharusnya diambil
berdasarkan perspektif hukum dalam kerangka sistem hukum yang relevan.
Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan pandangan para ahli hukum tentang
tindakan yang sesuai, tetapi juga memberikan interpretasi terbaik mengenai
norma-norma sistem, meskipun terdapat perdebatan seputar hal tersebut.
Keterkaitan penelitian ini dengan filsafat moral dan politik menjadi jelas
karena apa yang dianggap sebagai normatif menurut perspektif hukum memiliki
korelasi dengan apa yang seharusnya terjadi secara moral. Ini mencerminkan
jenis normativitas khusus yang beroperasi dalam konteks lembaga hukum, konsep,
dan tradisi tertentu
Artikel ini bersifat deskriptif dengan tujuan untuk
menyusun deskripsi yang terstruktur, berdasarkan fakta, dan akurat mengenai
keadaan tertentu. Fokus penelitian ini adalah menggambarkan situasi hukum yang
berlaku dalam suatu lokasi tertentu serta peristiwa hukum spesifik yang terjadi
dalam masyarakat
Artikel ini menggunakan jenis data berupa data sekunder,
yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer
yang dimanfaatkan mencakup:
1)
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
2)
Putusan
Nomor 797/Pid.B/2022/PN JKT.SEL;
3)
Putusan
Nomor 54/PID/2023/PT.DKI; dan
4)
Putusan
Nomor 816 K/Pid/2023.
Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penulisan artikel ini didapatkan dari pendapat serta pandangan para ahli hukum
yang terdokumentasikan dalam buku, jurnal ilmiah, artikel, dan sumber-sumber
lainnya. Terakhir, bahan hukum tersier, yang bersifat nonhukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan
melalui penelusuran informasi dan studi dokumentasi. Sumber-sumber informasi
mencakup buku-buku, perpustakaan, internet, serta berbagai media dan institusi
lain yang menyimpan dan menyediakan dokumen terkait dengan permasalahan
penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder dilakukan
melalui pendekatan studi dokumen dengan menggunakan sistem kartu. Selanjutnya,
informasi tersebut diinventarisasi dan dikelompokkan sesuai dengan permasalahan
yang dibahas dalam artikel ini
Dalam konteks klasifikasi pendekatan penelitian yang
diajukan oleh Johnny Ibrahim, penelitian ini mengadopsi pendekatan kasus. Lebih
lanjut, Ibrahim mengemukakan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk mengevaluasi
bagaimana norma-norma atau prinsip hukum diterapkan dalam praktik hukum
Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan analisis yang
bersifat kualitatif. Pendekatan ini melibatkan interpretasi atau penafsiran
terhadap bahan-bahan hukum yang telah diolah. Penerapan metode interpretasi ini
bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana hukum diterapkan pada bahan hukum
tersebut, terutama pada bahan hukum primer. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi apakah ada kekosongan norma hukum, konflik norma hukum, atau
norma hukum yang ambigu dalam bahan hukum tersebut
Hasil dan Pembahasan
Pembunuhan berencana adalah salah satu tindak pidana yang
dianggap paling serius dalam hukum pidana. Ancaman pidana yang lebih berat
dibandingkan dengan pembunuhan biasa mencerminkan peningkatan keseriusan
pelanggaran ini, seiring dengan pertanggungjawaban moral yang lebih tinggi.
Dalam konteks ini, Mitchell & Roberts menyatakan bahwa pembunuhan berencana
menunjukkan tingkat kesengajaan yang lebih tinggi, di mana pelaku dianggap
lebih bersalah dan lebih tekad dalam mencapai tujuannya dibandingkan dengan pembunuhan
biasa. Pembunuhan berencana menimbulkan konsekuensi hukum yang lebih berat
dibandingkan dengan pembunuhan biasa. Faktor ini menjadi cerminan dari tingkat
moral yang lebih tinggi yang diterapkan dalam penegakan hukum. Ancaman pidana
yang lebih tinggi menjadi instrumen untuk memberikan efek jera kepada pelaku
dan masyarakat, sekaligus sebagai wujud keadilan terhadap korban dan
keluarganya. Lebih lanjut, Mitchell & Roberts berpandangan bahwa pelaku
pembunuhan berencana dianggap lebih bersalah karena tindakan mereka tidak hanya
bersifat impulsif atau emosional, melainkan telah direncanakan dengan matang.
Perencanaan ini mencerminkan kesengajaan dan pertimbangan matang dalam
melaksanakan aksi kekerasan, yang pada gilirannya menunjukkan tingkat bahaya yang
lebih besar. Abidin & Hamzah mendeskripsikan pelaku pembunuhan berencana
sebagai “pembunuh berdarah dingin”. Hal ini menyoroti keadaan batin pelaku yang
berbeda dengan pembunuh emosional. Pembunuhan berencana seringkali melibatkan
perencanaan yang cermat dan analisis yang dingin, tanpa dipengaruhi oleh emosi
yang berlebihan. Dalam konteks ini, pelaku pembunuhan berencana dianggap lebih
berbahaya dibandingkan dengan pembunuh biasa atau pembunuh emosional.
Secara sederhana, pembunuhan berencana diakui terjadi
ketika pelaku telah merencanakan dan mempertimbangkan secara matang jauh
sebelumnya. Ini mencakup pemilihan tempat, acara, waktu, serta cara dan sarana
yang akan digunakan dalam pelaksanaan pembunuhan yang telah dipersiapkan. Topik
tentang pembunuhan berencana menjadi perbincangan menarik di kalangan
masyarakat (Jeremiah & Manurung, 2022).
Berita mengenai tewasnya Nofriansyah Yosua Hutabarat, korban dalam insiden baku
tembak di rumah dinas Polisi Republik Indonesia, telah menimbulkan kehebohan di
kalangan masyarakat dan memicu berbagai spekulasi di antara orang awam dan para
ahli hukum. Kejadian tragis tersebut terjadi di kediaman Ferdy Sambo, dan
korban Yosua ditemukan tewas akibat lebih dari satu tembakan. Meskipun
peristiwa itu terjadi pada tanggal 8 Juli 2022, pihak kepolisian baru
mengumumkan kematian korban Yosua dalam sebuah konferensi pers pada hari Senin,
11 Juli 2022. Informasi ini disampaikan oleh Divisi Humas Polri, yang
menyebabkan pihak kepolisian melakukan penyelidikan lebih lanjut
Pada tanggal 12 Agustus 2022, Polri melakukan pemeriksaan
terhadap Ferdy Sambo. Dalam proses pemeriksaan tersebut, Ferdy Sambo mengakui
bahwa dia merasa marah dan emosional setelah menerima laporan dari istrinya,
Putri Candrawathi. Hal ini diungkapkan oleh Brigadir Jenderal Andi Rian
Djajadi, Kepala Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri,
dalam konferensi pers. Selama pemeriksaan, Sambo juga menyatakan bahwa Putri
Candrawathi melaporkan bahwa dirinya dan keluarganya telah mengalami tindakan
yang merendahkan martabat dari korban Yosua di Magelang. Mendengar laporan
tersebut, Ferdy Sambo disebut telah meminta Bharada Richard Eliezer Pudihang
Lumiu (Richard Eliezer) dan Bripka Ricky Rizal (Ricky Rizal) untuk mengakhiri
nyawa korban Yosua
Kemudian, pada tanggal 12 Agustus 2022, Brigadir Jenderal
Andi Rian Djajadi, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, mengumumkan bahwa
laporan mengenai pelecehan seksual yang dilaporkan oleh Putri Candrawathi pada
tanggal 9 Juli telah dihentikan. Dalam pengumuman tersebut, disebutkan bahwa
laporan terkait upaya pembunuhan terhadap Richard Eliezer, dengan terlapor
korban Yosua, juga telah dihentikan. Pada tanggal 19 Agustus 2022, Bareskrim
Polri menetapkan Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, sebagai tersangka dalam
kasus pembunuhan berencana terhadap korban Yosua. Putri Candrawathi menjadi
tersangka kelima dalam perkara ini. Ia dijerat dengan pasal pembunuhan
berencana, yang sama dengan pasal yang dikenakan terhadap suaminya, Ferdy
Sambo. Salah satu pasal yang disebutkan menunjukkan bahwa Putri diduga sengaja turut
serta dalam perencanaan sebelumnya untuk mengambil nyawa orang lain, sebagaimana
diatur dalam Pasal 340 subsider 338 jo. Pasal 55 jo. Pasal 56 KUHP
Adapun Penasihat Hukum Putri Candrawathi dalam persidangan
menyampaikan Nota Pembelaan dengan alasan pada pokoknya antara lain:
1)
Putri Candrawathi
benar mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban Yosua berdasarkan
pendapat ahli Psikologi Forensik.
2)
Fakta
persidangan hanya didukung oleh satu orang saksi, yaitu Richard Eliezer,
sehingga harus dikesampingkan berdasarkan prinsip “satu saksi bukanlah saksi”.
Selain itu, Richard Eliezer dalam menyampaikan keterangan dinilai tidak
konsisten.
Berdasarkan fakta persidangan, ketentuan hukum, dan
lainnya, Majelis Hakim mengadili Putri Candrawathi dengan amar putusan pada
pokoknya sebagai berikut:
1)
Menyatakan
Terdakwa Putri Candrawathi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“turut serta melakukan pembunuhan berencana”;
2)
Menjatuhakn
pidana terhadap Terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama 20 (dua
puluh) tahun; dan
3)
Menetapkan
lamanya masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Lebih lanjut, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertahankan
hukuman penjara selama 20 (dua puluh) tahun terhadap terdakwa Putri Candrawathi
dalam kasus pembunuhan berencana terhadap korban Yosua, dengan pokok amar
putusan sebagai berikut:
1)
Menerima
permintaan banding Penasihat Hukum Terdakwa dan Penuntut Umum tersebut;
2)
Menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 797/Pid.B/2022/PN Jkt.Sel
tanggal 13 Februari 2023 yang dimintakan banding tersebut;
3)
Memerintahkan
Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
4)
Menetapkan
lamanya terdakwa selama penangkapan dan penahanan untuk dikurangkan seluruhnya
dari pidana yang dijatuhkan; dan
5)
Membebani
Terdakwa untuk membayar biaya perkara dikedua tingkat peradilan yang untuk
tingkat banding sejumlah Rp 2.500.- (dua ribu lima ratus rupiah).
Perjalanan kasus ini berlanjut hingga tahap kasasi. Adapun
pada tahap ini, Mahkamah Agung memberikan pengurangan hukuman terhadap Putri
Candrawathi dari 20 tahun menjadi 10 tahun penjara
1)
terkait sah
atau tidaknya alasan kasasi Putri Candrawathi;
2)
terkait
peran Terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Korban Nofriansyah
Yosua Hutabarat;
3)
terkait
dugaan terjadinya kekerasan seksual atas Putri Candrawathi;
4)
terkait
penerapan asas unus testis nullus testis dalam Judex Facti; dan
5)
hal-hal
meringankan yang kurang dipertimbangkan dalam putusan Judex Facti.
Berdasarkan pandangan Mahkamah Agung, hal-hal meringankan
yang kurang dipertimbangkan dalam putusan Judex Facti terhadap
penjatuhan masa pidana Putri Candrawathi adalah sebagai berikut:
1)
Sejak awal,
Putri Candrawathi telah meminta Ferdy Sambo untuk menyelesaikan masalah tanpa
kekerasan. Selain itu, Putri Candrawathi secara sukarela memanggil korban dan
memberikan pengampunan atas perbuatannya. Oleh karena itu, seharusnya Putri
Candrawathi tidak dianggap sebagai inisiator tindakan pembunuhan terhadap
korban.
2)
Dilihat
dari perspektif keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatannya, Putri
Candrawathi tidak dapat dianggap sebagai pelaku langsung dalam aksi pembunuhan
terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat. Mengingat terdakwa sebelumnya, Richard
Eliezer Pudihang Lumia, telah dihukum penjara selama 1 tahun 6 bulan yang telah
berkekuatan hukum tetap, maka hukuman yang diberikan kepada Putri Candrawathi
seharusnya sebanding dan sesuai dengan tingkat kesalahannya.
3)
Keberadaan
4 anak Putri Candrawathi, di mana salah satunya (putri bungsu) masih berusia di
bawah 3 tahun atau masuk dalam kategori batita, menjadi faktor penting.
Anak-anak tersebut memerlukan perhatian, kasih sayang, dan asuhan dari ibu
kandungnya.
Merujuk pada pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi
dari Penasihat Hukum Putri Candrawathi dan Penuntut Umum dinyatakan ditolak
dengan perbaikan. Adapun perbaikan tersebut diuraikan melalui Putusan Mahkamah
Agung dalam perkara aquo, yaitu sebagai berikut:
1)
Menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan;
2)
Menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa Putri Candrawathi tersebut;
3)
Memperbaiki
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 54/PID/2023/PT DKI, tanggal 12
April 2023 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
797/Pid.B/2022/PN Jkt.Sel., tanggal 13 Februari 2023 tersebut mengenai pidana
penjara yang dijatuhkan kepada Terdakwa menjadi pidana penjara selama 10
(sepuluh) tahun;
4)
Membebankan
kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar
Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
Adapun pertimbangan Mahkamah Agung nyatanya bertolak belakang
dengan pandangan sebagian besar masyarakat yang menyaksikan proses peradilan
terhadap Putri Candrawathi sejak pada tingkat pertama. Komjen Agus Andrianto
dari Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Kabareskrim Polri)
menguraikan bahwa Putri Candrawathi telah terbukti turut serta membantu dan
mengikuti rencana pembunuhan yang disusun oleh Ferdy Sambo
1)
Mengikuti
skenario yang disusun oleh Ferdy Sambo sebagai pemeran utama dalam kasus ini;
2)
Menjanjikan
adanya pemberian uang untuk para pelaku lainnya;
3)
Mengajak
korban serta para pelaku lainnya ke rumah Dinas Ferdy Sambo; dan
4)
Memberikan
pernyataan atau laporan palsu terkait adanya pelecehan seksual yang dilakukan
oleh korban terhadap Putri Candrawathi.
Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan
bahwa Putri Candrawathi kurang kooperatif ketika diminta keterangan terkait
kasus pembunuhan berencana tersebut. Hasto menyatakan bahwa LPSK sudah
melakukan dua kali pertemuan langsung dengan Putri untuk melakukan penilaian
dan penyelidikan terkait kematian Novriansyah Yosua Hutabarat. Meskipun sudah
dua kali bertemu, Putri Candrawathi tidak memberikan informasi apapun kepada
LPSK
Nursyahbani Katjasungkana, Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK
Indonesia, berpendapat bahwa apapun yang diakui oleh Putri, tidak dapat
dipisahkan dari konteks tindakan menghambat keadilan (obstruction of justice)
yang melibatkan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua
Berdasarkan KUHAP, terdapat dua syarat pengajuan kasasi,
yaitu syarat formil dan materil. Berdasarkan
Pasal 253 ayat (1) KUHAP, syarat materil pengajuan kasasi oleh terdakwa adalah
sebagai berikut
a)
Suatu
aturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sesuai dengan yang
seharusnya;
b)
Peradilan
tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang; dan
c)
Pengadilan
telah melebihi batas kewenangannya.
Atas persyaratan materiil tersebut, Mahkamah Agung
berpandangan bahwa putusan Judex Facti telah menerapkan hukum dengan
sesuai ketika menyatakan Putri Candrawathi terbutki secara sah dan meyakinkan
bersalah atas tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,
sebagaimana diatur dalam Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu, putusan Judec Facti juga tidak
melanggar prinsip satu saksi bukanlah saksi, dikarenakan keterangan dari
Richard Eliezer Pudihang Lumio dan Ricky Rizal Wibowo telah diperkuat dengan
keterangan saksi lainnya yang saling berkesinambungan.
Akan tetapi, Mahkamah Agung tetap melakukan perbaikan
pidana penjara terhadap Putri Candrawathi dari 20 tahun menjadi 10 tahun. Hal
ini dikarenakan Mahkamah Agung berpendapat bahwa Putri Candrawathi bukanlah
inisiator pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat. Meski
demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu praktisi hukum, Victor
Harianja, berpandangan bahwa Putri Candrawathi seharusnya dipandang sebagai
sebab awal peristiwa atau latar belakang terjadinya konflik sejak awal.
Mengingat bahwasanya sedari awal Putri Candrawathi mengaku mengalami pelecehan
seksual oleh korban sehingga pembunuhan berencana tersebut terjadi sebagai
bentuk reaksi dari pelecehan tersebut. Akan tetapi, nyatanya pengakuan terkait
pelecehan seksual tersebut tidak dapat dibuktikan, sehingga dapat disimpulkan
Putri Candrawathi memberikan keterangan palsu yang dilakukan demi menutupi
proses pencarian kebenaran maupun keadilan dalam persidangan (obstruction of
justice).
Bila menilik berdasarkan keadilan substantif, tentu saja
penjatuhan hukuman terhadap Putri Candrawathi tidak sejalan dengan asas tersebut.
Keadilan substantif merangkum konsep keadilan yang lebih mendalam dan
melibatkan substansi hukum serta dampak sosialnya terhadap masyarakat. Dalam
usaha untuk menghadirkan keadilan substantif, peran hakim menjadi sentral.
Hakim tidak hanya diharapkan untuk mengimplementasikan hukum secara formal,
tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk bersikap peka terhadap kehendak
masyarakat. Keadilan substantif mengakui bahwa keberlakuan hukum tidak hanya
sekadar mengikuti norma-norma yang tercantum dalam undang-undang, tetapi juga
harus memperhitungkan dampaknya terhadap kehidupan nyata masyarakat. Hakim
sebagai penegak hukum harus mampu membaca dan memahami dinamika sosial,
aspirasi, dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, kepekaan hakim terhadap
kehendak masyarakat menjadi kunci utama.
Hakim, sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan, harus
lebih dari sekadar menjalankan aturan-aturan yang ada. Mereka memiliki tanggung
jawab moral untuk memastikan bahwa keputusan hukum mereka mencerminkan
nilai-nilai, norma, dan aspirasi masyarakat yang mereka layani. Keadilan
substantif membutuhkan hakim yang mampu melihat melampaui teks hukum formal dan
memahami implikasi praktisnya terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun,
bersikap peka terhadap kehendak masyarakat bukanlah tugas yang ringan. Ini
melibatkan kemampuan hakim untuk meresapi dinamika sosial, nilai-nilai budaya,
dan perubahan dalam masyarakat. Hakim yang bersifat inklusif dan terbuka
terhadap pandangan-pandangan yang beragam akan lebih mampu membawa unsur
keadilan substansial ke dalam ruang sidang. Tantangan terbesar adalah menjaga
keseimbangan antara keinginan masyarakat dengan prinsip-prinsip hukum yang
objektif. Hakim harus mampu menghindari sikap populisme yang dapat mengorbankan
prinsip-prinsip keadilan formal. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan yang
mendalam untuk meningkatkan pemahaman hakim tentang dinamika masyarakat
sangatlah penting.
Kesimpulan
Berdasarkan pandangan Mahkamah Agung, sejumlah faktor
meringankan yang mungkin kurang mendapatkan pertimbangan yang cukup dalam
putusan Judex Facti terkait penjatuhan hukuman terhadap Putri Candrawathi dapat
diidentifikasi. Pertama, tindakan Putri Candrawathi yang sejak awal telah
berupaya menyelesaikan masalah tanpa kekerasan dan memberikan pengampunan
kepada korban seharusnya mencerminkan bahwa ia tidak seharusnya dianggap
sebagai inisiator pembunuhan. Kedua, dari sudut pandang keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatannya, perbandingan hukuman Putri Candrawathi dengan
terdakwa sebelumnya, Richard Eliezer Pudihang Lumia, yang telah dihukum penjara
selama 1 tahun 6 bulan, seharusnya mencerminkan tingkat kesalahan yang
sebanding. Dengan demikian, hukuman yang diberikan kepada Putri Candrawathi
seharusnya menggambarkan keadilan yang sesuai. Ketiga, keberadaan empat anak
Putri Candrawathi, terutama yang masih berusia di bawah 3 tahun, merupakan
faktor yang tidak boleh diabaikan. Kondisi batita ini menunjukkan bahwa
anak-anak memerlukan perhatian, kasih sayang, dan asuhan dari ibu kandungnya.
Oleh karena itu, dalam penjatuhan hukuman, perhatian terhadap keberlanjutan
fungsi keluarga dan kesejahteraan anak-anak menjadi penting untuk
dipertimbangkan. Kesimpulannya, dalam merespons penjatuhan hukuman terhadap
Putri Candrawathi, Mahkamah Agung seharusnya memberikan perhatian lebih
mendalam terhadap faktor-faktor meringankan yang telah disebutkan, guna
memastikan keadilan substansial, konsistensi hukuman, dan keberlanjutan
kesejahteraan keluarga, terutama anak-anak yang menjadi tanggung jawab Putri
Candrawathi.
BIBLIOGRAFI
Aji, A. (2023, April
12). Vonis Sidang Banding: Putri Candrawathi Tetap Dipenjara 20 Tahun.
Dipetik Desember 18, 2023, dari CNN Indonesia: https://cnnindonesia.com/nasional/20230412072143-12-936529/vonis-sidang-banding-putri-candrawathi-tetap-dipenjara-20-tahun
Angkouw, K. (2014).
Fungsi Mahkamah Agung Sebagai Pengawas Internal Tugas Hakim Dalam Proses
Peradilan. Lex Administratum, 2(2), 131-140.
Anwar. (2010). Problematika Mewujudkan
Keadilan Substantif Dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Jurnal Konstitusi,
3(1), 127-140.
Butarbutar, E. N. (2010). Sistem
Peradilan Satu Atap dan Perwujudan Negara Hukum Menurut UU No. 4 Tahun 2004. Mimbar
Hukum Faskultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22(1), 188-200.
Fadhil, H. (2022,
Agustus 27). Melihat Lagi Peran-Peran Putri Candrawathi di Pembunuhan
Brigadir Yosua. Dipetik Desember 19, 2023, dari detiknews:
https://news.detik.com/berita/d-6257400/melihat-lagi-peran-peran-putri-candrawathi-di-pembunuhan-brigadir-yosua/3
HS, S., & Nurbaini,
E. S. (2013). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Ibrahim, J. (2008). Teori
dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishing.
Iriyanto, E. (2021). Unsur Rencana Dalam
Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Kajian Putusan Nomo
201/Pid.B/2011/PN.Mrs. Jurnal Yudisial, 14(1), 19-35.
Jeremiah, K. S., &
Manurung, K. H. (2022). Analisis Perbuatan Obstruction of Justice yang
Dilakukan oleh Aparat Kepolisian Dalam Perkara Pembunuhan Berencana. Jurnal
Esensi Hukum, 4(2), 99-111.
Jeremiah, K. S., &
Manurung, K. H. (2022). Analisis Perbuatan Obstruction of Justice yang
Dilakukan oleh Aparat Kepolisian Dalam Perkara Pembunuhan Berencana. Jurnal
Esensi Hukum, 4(2), 99-111.
Konardi, S. M. (2017).
Upaya Hukum Kasasi Demi Kepentingan Hukum di Indonesia. 1-11.
Mahmud, A. (2021).
Keadilan Substantif Dalam Porses Asset Recovery Hasil Tindak Pidana Korupsi. Jurnal
Suara Hukum, 3(2), 227-250.
Manan, B. (2004). Hukum
Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik). Yogyakarta: FH UII Press.
Mantalean, V. (2022,
September 11). LBH APIK Sebut Dugaan Kekerasaan Seksual Putri Candrawathi
Obstruction of Justice Jilid II. Dipetik Desember 19, 2023, dari
Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/11/11253051/lbh-apik-sebut-dugaan-kekerasan-seksual-putri-candrawathi-obstruction-of
Marzuki, P. M. (2005). Penelitian
Hukum. Jakarta: Prenada Media.
Muhaimin. (2020). Metode
Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press.
Naibaho, R. (2021).
Peranan Mahkamah Agung Dalam Penegakan Hukum dan Keadilan Melalui Kekuasaan
Kehakiman. Nommensen Journal of Legal Opinion, 2(2), 203-2014.
Nasution, B. J. (2015).
Eksistensi Lembaga Peradilan Dalam Negara Hukum Sebagai Bentuk Perlindungan
Terhadap Hak Asasi Manusia. Al-Risalah, 15(2), 199-211.
Novelino, A. (2023,
Agustus 8). Kasasi MA Sunat Hukuman Putri Candrawathi dari 20 Tahun Jadi
10 Tahun. Dipetik Desember 18, 2023, dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230808125816-12-983351/kasasi-ma-sunat-hukuman-putri-candrawathi-dari-20-tahun-jadi-10-tahun
Nufus, W. H. (2023,
Januari 11). Dalih Putri Tak Kooperatif Diperiksa LPSK: Ditanya Hubungan
Spesial Yosua. Dipetik Desember 19, 2023, dari detikNews:
https://news.detik.com/berita/d-6510239/dalih-putri-tak-kooperatif-diperiksa-lpsk-ditanya-hubungan-spesial-yosua
Purnomo, K. (2023,
Februari 13). Kasasi MA, Ini Rincian Hukuman Ferdy Sambo, Putri
Candrawati, Kuat Ma'ruf, dan Ricky Rizal. Dipetik Desember 19, 2023, dari
KOMPAS.com:
https://www.kompas.com/tren/read/2023/08/09/064500665/kasasi-ma-ini-rincian-hukuman-ferdy-sambo-putri-candrawati-kuat-ma-ruf-dan?page=all
Putra, I. S. (2023). Tinjauan Yuridis
Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana dalam Kasus Pembunuhan Brigadir
Nogriansyah Yosua Hutabarat oleh Ferdy Sambo, S.H., S.I.K., M.H (Stud Kasus
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 796/Pid.B/2022/PN Jkt. Sel). Jurnal
Res Justitia, 3(2), 491-516.
Santoso, B., &
Prayoga, N. (2018). Pengajuan Kasasi Terdakwa Terhadap Putusan Pengadilan
Tinggi Dan Pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Memutus Perkara Penipuan (Studi
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 342 K/Pid/2017). Jurnal Verstek, 8(2),
188-196.
Syamsudin, M. (2014).
Keadilan Prosedural dan Substantif Dalam Putusan Sengketa Tanah Megarsari. Jurnal
Yudisial, 7(1), 18-33.
Tan, D. (2021). Metode
Penelitian Hukum: Mengupas dan Mengulas Metodologi Dalam Menyelenggarakan
Penelitian Hukum. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(8), 2463-2478.
Voi. (2022, Desember
2). Mengingat Lagi Peran Putri Candrawathi Dalam Pembunuhan Brigadir J.
Dipetik Desember 19, 2023, dari Voi.id:
https://voi.id/berita/232199/mengingat-lagi-peran-putri-candrawathi-dalam-pembunuhan-brigadir-j
Copyright holder: Andrew Trinovada, Hery Firmansyah (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |