Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 3, Maret 2024

 

PENGURANGAN HUKUMAN PIDANA TERDAKWA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA PADA TINGKAT KASASI OLEH MAHKAMAH AGUNG (Studi Kasus Putusan Nomor 816 K/Pid/2023)

 

Andrew Trinovada, Hery Firmansyah

Universitas Tarumanagara, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], heryf@fh.untar.ac.id

 

Abstrak

Pada hakikatnya, konsep pidana merupakan sarana penunjang keadilan bagi masyarakat. Di sisi lain, Pengurangan hukuman penjara menjadi elemen krusial dalam struktur peradilan pidana yang mempertimbangkan beragam faktor, termasuk rehabilitasi narapidana dan kebijakan pemasyarakatan. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 816 K/Pid/2023 menjadi fokus utama dalam eksplorasi implementasi pengurangan hukuman penjara pada level kasasi, dengan penekanan pada dasar kebijakan hukum yang mendasarinya. Penelitian ini bertujuan untuk mendalami pemahaman mengenai tinjauan pengurangan hukuman penjara oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dengan fokus khusus pada analisis Keputusan Mahkamah Agung Nomor 816 K/Pid/2023. Tujuan khususnya adalah mengevaluasi dasar hukum, pertimbangan, dan dampak pengurangan hukuman penjara dalam konteks penegakan hukum dan kebijakan pemasyarakatan. Metode penelitian yang digunakan bersifat normatif, dengan meneliti dan menganalisis bahan hukum primer dan sekunder yang terkait dengan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 816 K/Pid/2023. Analisis hukum dilakukan untuk menemukan struktur teoritis dan konseptual yang mendukung tinjauan terhadap pengurangan hukuman penjara pada tingkat kasasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Keputusan Mahkamah Agung Nomor 816 K/Pid/2023 memberikan pandangan yang komprehensif terhadap pertimbangan pengurangan hukuman penjara pada tingkat kasasi, termasuk aspek-aspek yang sebelumnya tidak dipertimbangkan dalam keputusan judex facti.Top of Form

Kata kunci: Pertimbangan, Kasasi, Pembunuhan, Mahkamah Agung.

 

Abstract

In essence, the concept of criminal law serves as a tool to support justice for society. On the other hand, the reduction of imprisonment sentences is a crucial element within the structure of the criminal justice system, considering various factors, including inmate rehabilitation and penitentiary policies. Supreme Court Decision Number 816 K/Pid/2023 takes center stage in the exploration of the implementation of imprisonment sentence reduction at the cassation level, with an emphasis on its underlying legal policies. This research aims to delve deeply into the examination of imprisonment sentence reduction by the Supreme Court at the cassation level, with a specific focus on the analysis of Supreme Court Decision Number 816 K/Pid/2023. The specific objectives include evaluating the legal foundations, considerations, and impacts of imprisonment sentence reduction within the context of law enforcement and penitentiary policies. The research method employed is normative, involving the examination and analysis of primary and secondary legal materials related to Supreme Court Decision Number 816 K/Pid/2023. Legal analysis is conducted to identify theoretical and conceptual frameworks supporting the review of imprisonment sentence reduction at the cassation level. The research findings indicate that Supreme Court Decision Number 816 K/Pid/2023 provides a comprehensive perspective on the considerations of imprisonment sentence reduction at the cassation level, including aspects that were previously not considered in judex facti decisions.Top of Form.

Keywords: Consideration, Cassation, Murder, Supreme Court.

 

Pendahuluan

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi lembaga peradilan (Nasution, 2015), Indonesia memiliki lembaga negara yang berwenang dalam memutuskan perkara pada tingkat kasasi, menguji keberlakuan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan memiliki wewenang lain sesuai dengan ketentuan undang-undang, yaitu Mahkamah Agung. Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia yang berperan sebagai pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. (Angkouw, 2014)

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) sampai dengan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kekuasaan kehakiman bertujuan untuk melaksanakan peradilan demi hukum dan keadilan. (Butarbutar, 2010) Kekuasaan kehakiman merupakan pilar penting dalam struktur negara, yang menjadi penjamin terpeliharanya hukum dan keadilan. Dalam konteks kehakiman Indonesia, kemerdekaan atau independensi menjadi landasan utama, di mana kekuasaan ini diharapkan dapat beroperasi tanpa terpengaruh oleh kekuasaan lainnya. Pernyataan ini secara tegas tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Pasal tersebut menyatakan dengan jelas bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Kemerdekaan ini tidak hanya bersifat formal, tetapi juga mencakup kebebasan dari pengaruh kekuasaan lain yang mungkin dapat mengganggu proses peradilan. Adanya kebebasan ini menjadi landasan bagi lembaga kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penting untuk memahami bahwa kekuasaan kehakiman bukan hanya sekadar menjalankan tugas rutin peradilan, tetapi juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam memastikan bahwa keadilan dan hukum di Indonesia berdasarkan prinsip Pancasila dan UUD 1945. Ini mencerminkan komitmen untuk menjaga dan melindungi nilai-nilai dasar negara dalam sistem hukumnya. Dengan adanya kemerdekaan, Kekuasaan Kehakiman diharapkan dapat berfungsi sebagai penjaga keadilan, tanpa adanya tekanan atau campur tangan yang dapat merusak proses peradilan. Sebagai penegak hukum, kekuasaan ini memiliki peran strategis dalam memastikan kepastian hukum, hak asasi manusia, dan keadilan sosial di masyarakat. (Naibaho, 2021)

Mahkamah Agung selaku pemeran utama dalam kekuasaan kehakiman mempunyai sifat kemandirian yang terpisahkan dari kekuasaan negara lainnya. Adapun, independensi Mahkamah Agung tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: (Naibaho, 2021)

1)  Kemandirian Substansial, mengacu pada kemampuan Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam suatu perkara semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Contohnya, dalam mengadili kasus-kasus, Mahkamah Agung harus mendasarkan putusannya pada norma hukum yang berlaku, tanpa pengaruh atau tekanan dari kekuasaan lain.

2)  Kemandirian Institusional, merujuk pada kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya dalam proses pengambilan keputusan dalam suatu perkara. Contohnya, Mahkamah Agung tidak seharusnya dipengaruhi oleh kebijakan atau kepentingan politik dari lembaga-lembaga lain, sehingga tetap dapat menjalankan fungsi peradilan dengan objektivitas.

3)  Kemandirian Internal, menyangkut kemandirian peradilan dalam mengatur urusan kepersonaliaan kehakiman, seperti rekruitmen, mutasi, promosi, pengupahan, masa kerja, dan masa pensiun. Contoh dari kemandirian internal ini adalah kemampuan Mahkamah Agung untuk mengelola dan mengatur personelnya sendiri tanpa campur tangan eksternal, sehingga dapat memastikan keberlanjutan dan keberlanjutan institusi kehakiman.

4)  Kemandirian Personal, berarti bahwa para hakim harus memiliki kemandirian dari pengaruh rekan sejawat, pimpinan, dan institusi kehakiman itu sendiri. Misalnya, seorang hakim di Mahkamah Agung harus dapat membuat keputusan berdasarkan pemahaman dan keyakinannya sendiri, tanpa terpengaruh oleh opini atau tekanan dari sesama hakim, pimpinan, atau lembaga kehakiman.

Dalam suatu lembaga hukum dan masyarakat demokrasi, Mahkamah Agung memiliki peranan yang sangat krusial sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Perannya tidak hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai penekan terhadap setiap pelanggaran hukum, tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, serta penjaga kemerdekaan warga masyarakat dari segala bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah peranan Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman telah berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam hal kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung juga memegang andil dalam peradilan pada tingkat kasasi. Dalam realitas peradilan, tidak dapat dihindari bahwa keputusan hakim sering kali dapat terjadi kekeliruan atau kekhilafan, bahkan terkadang dapat mencerminkan sikap yang bersifat memihak. Untuk memastikan bahwa kebenaran dan keadilan tetap menjadi landasan utama dalam sistem peradilan, peran peradilan kasasi di Indonesia menjadi sangat penting (Konardi, 2017). Secara sederhana, kasasi adalah suatu mekanisme hukum yang memungkinkan pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap putusan-putusan pengadilan tingkat banding yang diajukan untuk kasasi. Dalam pemeriksaan ini, Mahkamah Agung memeriksa argumen-argumen hukum yang diajukan oleh pihak-pihak yang mengajukan kasasi dan memutuskan apakah putusan pengadilan tingkat banding tersebut memang memiliki kekeliruan hukum atau tidak.

Salah satu contoh kasus pada peradilan tingkat kasasi yang sempat menarik perhatian publik adalah kasasi terhadap kasus Putri Candrawathi terkait pembunuhan berencana atas Almarhum Nofiransyah Yosua Hutabarat. Adapun pihak-pihak yang terlibat (Para Terdakwa) dalam kasus pembunuhan berencana tersebut salah satunya adalah Terdakwa Putri Candrawathi. Pada mulanya, Terdakwa Putri Candrawathi mengakui bahwa ia telah mengalami pelecehan dari korban Nofriansyah Yosua Hutabarat. Akibat kejadian tersebut, terdakwa Ferdy Sambo merasa marah dan merencanakan sebuah strategi untuk mengakhiri nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat. Dalam usahanya untuk melaksanakan niat jahat ini, terdakwa Ferdy Sambo meminta bantuan dari Richard Elizer Pudihang Lumiu, yang juga menjadi saksi dalam kasus ini, untuk menembak korban Nofriansyah Yosua Hutabarat. Permintaan ini diterima oleh Richard Eliezer Pudihang Lumiu, dan ia akhirnya mengikuti instruksi dari terdakwa Ferdy Sambo (Jeremiah & Manurung, Analisis Perbuatan Obstruction of Justice yang Dilakukan oleh Aparat Kepolisian Dalam Perkara Pembunuhan Berencana, 2022).

Akan tetapi, dalam proses persidangan pada tingkat pertama, pengakuan terkait pelecehan seksual yang dialami oleh Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan, sehingga Putri Candrawathi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 797/Pid.B/2022/PN JKT.SEL tanggal 13 Februari 2023 (Putusan Nomor 797/Pid.B/2022/PN JKT.SEL), Putri Candrawathi dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas keterlibatannya dalam kasus pembunuhan berencana terhadap mantan ajudan Ferdy Sambo tersebut, yakni Nofriansyah Yosua Hutabarat. Setelahnya, perkara Terdakwa Putri Candrawathi dinaikkan ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Meskipun demikian, putusan akhir yang diberikan oleh hakim tetap menguatkan Putusan Nomor 797/Pid.B/2022/PN JKT.SEL (Aji, 2023).

Namun, pada tahap kasasi, masyarakat kembali dihebohkan oleh berita bahwa Mahkamah Agung telah mengurangi hukuman penjara yang awalnya 20 tahun menjadi 10 tahun terhadap Terdakwa Putri Candrawathi. Informasi ini tercatat dalam Keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 816 K/Pid/2023 (Putusan Nomor 816 K/Pid/2023), yang diumumkan pada hari Selasa tanggal 8 Agustus 2023. Anggota majelis hakim yang terlibat dalam pemeriksaan perkara tersebut melibatkan Ketua Majelis Hakim, Suhadi, bersama dengan anggota lainnya, yaitu Suharto, Jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana (Novelino, 2023).

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kasasi merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh barang siapa yang merasa belum memperoleh keadilan atau bahkan dirugikan melalui pelaksanaan peradilan pada tingkat pertama maupun banding. Pasalnya, Mahkamah Agung memiliki beberapa pertimbangan dalam melakukan pengurangan terhadap masa pidana penjara Putri Candrawathi. Akan tetapi, keputusan tersebut justru dibanjiri kontra sebagian besar masyarakat. Bilaman kasasi merupakan upaya hukum bagi seseorang dalam memperoleh keadilan, maka timbul pertanyaan apakah pertimbangan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hanya berpusat pada situasi terdakwa, atau juga memperhatikan aspirasi publik lainnya?

Secara teoritis, keadilan tidak hanya bersifat yuridis semata, tetapi juga merupakan isu sosial yang seringkali dianalisis melalui perspektif sosiologi hukum. Keadilan substantif, yang secara khusus menitikberatkan pada tanggapan masyarakat, menjadi dasar untuk menyelesaikan permasalahan dengan berlandaskan pada hukum yang benar-benar memperhatikan pandangan masyarakat. Dengan kata lain, hukum memiliki kapasitas untuk mengenali aspirasi masyarakat dan memiliki komitmen untuk mencapai keadilan substantif (Syamsudin, 2014).

Mengutip pernyataan Bagir Manan, keputusan yang diberikan oleh seorang hakim tidak hanya mencakup ketentuan hukum semata, tetapi juga mencerminkan aspek-aspek kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum (Manan, 2004). Bagir Manan berpandangan bahwa apabila dua aspek tersebut bertentangan, maka seorang hakim seyogianya menjunjung tinggi aspek kedua, yaitu kepatutan, keadilan, kepentingan umum, dan ketertiban umum (Anwar, 2010).

Kendati demikian, hal tersebut tidak membenarkan apabila seorang hakim sewenang-wenangnya menyimpangi ketentuan hukum. Terdapat beberapa ketentuan serta kemampuan penafsiran hukum dalam menerapkan prinsip keadilan substantif pada suatu putusan, yaitu sebagai berikut (Anwar, 2010):

1)  Jika peristiwa hukum yang tengah diadili atau berpotensi menimbulkan ketidakadilan tidak dapat diakomodasi oleh ketentuan hukum, maka hakim berhak untuk memutuskan suatu perkara di luar ruang lingkup ketentuan hukum tersebut.

2)  Hakim memiliki kewajiban untuk mengkaji maksud dan tujuan pembentukan ketentuan hukum, kecuali jika maksud dan tujuan tersebut tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

3)  Proses penafsiran dilakukan untuk menjunjung tinggi prinsip keadilan.

4)  Penafsiran dilakukan dengan tujuan merealisasikan ketentuan hukum, tanpa maksud mengubah isi dari ketentuan hukum itu sendiri.

5)  Penafsiran dilakukan dengan menerapkan metode penafsiran hukum, sejalan dengan prinsip-prinsip hukum, ketertiban hukum, kemaslahatan hukum, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

6)  Penafsiran dapat merujuk pada doktrin hukum selama doktrin tersebut memiliki relevansi dengan kasus yang sedang dibahas.

7)  Pendekatan penafsiran bersifat progresif, tidak mengakomodasi pemahaman yang ketinggalan zaman.

Berangkat dari pendahuluan di atas, penulisan ini bertujuan menelaah dan menganalisa permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan pengurangan masa pidana penjara terhadap Putri Candrawathi dalam Putusan Nomor 816 K/Pid/2023?; dan (2) Bagaimana penerapan prinsip keadilan substantif dalam Putusan Nomor 816 K/Pid/2023?

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang diterapkan adalah penelitian normatif. Suatu penelitian hukum dikategorikan sebagai normatif apabila tujuannya adalah untuk mengklarifikasi norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem hukum tertentu. Peneliti menunjukkan tindakan yang seharusnya diambil berdasarkan perspektif hukum dalam kerangka sistem hukum yang relevan. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan pandangan para ahli hukum tentang tindakan yang sesuai, tetapi juga memberikan interpretasi terbaik mengenai norma-norma sistem, meskipun terdapat perdebatan seputar hal tersebut. Keterkaitan penelitian ini dengan filsafat moral dan politik menjadi jelas karena apa yang dianggap sebagai normatif menurut perspektif hukum memiliki korelasi dengan apa yang seharusnya terjadi secara moral. Ini mencerminkan jenis normativitas khusus yang beroperasi dalam konteks lembaga hukum, konsep, dan tradisi tertentu (Tan, 2021).

Artikel ini bersifat deskriptif dengan tujuan untuk menyusun deskripsi yang terstruktur, berdasarkan fakta, dan akurat mengenai keadaan tertentu. Fokus penelitian ini adalah menggambarkan situasi hukum yang berlaku dalam suatu lokasi tertentu serta peristiwa hukum spesifik yang terjadi dalam masyarakat (Muhaimin, 2020). Dari segi bentuk, penelitian ini melakukan analisis terinci terhadap suatu peristiwa (perbaikan pidana penjara Terdakwa Putri Candrawathi), sejalan dengan karakteristik penelitian evaluatif. Selain itu, penelitian ini juga dapat dikategorikan sebagai diagnostik, yakni suatu penelitian yang bertujuan menganalisis data tertentu (dalam hal ini Putusan No. 816 K/Pid/2023), terutama pada “sebab terjadinya suatu peristiwa”, dengan kata lain, mengapa Hakim memberikan perbaikan pidana penjara terhadap Terdakwa Putri Candrawathi (analisis pertimbangan hakim).

Artikel ini menggunakan jenis data berupa data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer yang dimanfaatkan mencakup:

1)    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);

2)    Putusan Nomor 797/Pid.B/2022/PN JKT.SEL;

3)    Putusan Nomor 54/PID/2023/PT.DKI; dan

4)    Putusan Nomor 816 K/Pid/2023.

Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan artikel ini didapatkan dari pendapat serta pandangan para ahli hukum yang terdokumentasikan dalam buku, jurnal ilmiah, artikel, dan sumber-sumber lainnya. Terakhir, bahan hukum tersier, yang bersifat nonhukum (Marzuki, 2005), juga digunakan untuk melengkapi atau memahami bahan hukum primer dan/atau sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Bahasa Inggris.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran informasi dan studi dokumentasi. Sumber-sumber informasi mencakup buku-buku, perpustakaan, internet, serta berbagai media dan institusi lain yang menyimpan dan menyediakan dokumen terkait dengan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder dilakukan melalui pendekatan studi dokumen dengan menggunakan sistem kartu. Selanjutnya, informasi tersebut diinventarisasi dan dikelompokkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam artikel ini (Muhaimin, 2020). Adapun dalam penulisan, pengumpulan data-data dilakukan dengan melakukan pengajuan terhadap instansi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, penelusuran melalui bahan hukum seperti buku, peraturan perundang-undangan, maupun jurnal penelitian hukum terdahulu.

Dalam konteks klasifikasi pendekatan penelitian yang diajukan oleh Johnny Ibrahim, penelitian ini mengadopsi pendekatan kasus. Lebih lanjut, Ibrahim mengemukakan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana norma-norma atau prinsip hukum diterapkan dalam praktik hukum (Ibrahim, 2008). Fokus utama penelitian ini terarah pada kasus-kasus yang telah diadili, sebagaimana tercermin dalam yurisprudensi yang terkait dengan perkaraperkara yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian.

Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan analisis yang bersifat kualitatif. Pendekatan ini melibatkan interpretasi atau penafsiran terhadap bahan-bahan hukum yang telah diolah. Penerapan metode interpretasi ini bertujuan untuk mengevaluasi bagaimana hukum diterapkan pada bahan hukum tersebut, terutama pada bahan hukum primer. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi apakah ada kekosongan norma hukum, konflik norma hukum, atau norma hukum yang ambigu dalam bahan hukum tersebut (HS & Nurbaini, 2013).

 

Hasil dan Pembahasan

Pembunuhan berencana adalah salah satu tindak pidana yang dianggap paling serius dalam hukum pidana. Ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan dengan pembunuhan biasa mencerminkan peningkatan keseriusan pelanggaran ini, seiring dengan pertanggungjawaban moral yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, Mitchell & Roberts menyatakan bahwa pembunuhan berencana menunjukkan tingkat kesengajaan yang lebih tinggi, di mana pelaku dianggap lebih bersalah dan lebih tekad dalam mencapai tujuannya dibandingkan dengan pembunuhan biasa. Pembunuhan berencana menimbulkan konsekuensi hukum yang lebih berat dibandingkan dengan pembunuhan biasa. Faktor ini menjadi cerminan dari tingkat moral yang lebih tinggi yang diterapkan dalam penegakan hukum. Ancaman pidana yang lebih tinggi menjadi instrumen untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan masyarakat, sekaligus sebagai wujud keadilan terhadap korban dan keluarganya. Lebih lanjut, Mitchell & Roberts berpandangan bahwa pelaku pembunuhan berencana dianggap lebih bersalah karena tindakan mereka tidak hanya bersifat impulsif atau emosional, melainkan telah direncanakan dengan matang. Perencanaan ini mencerminkan kesengajaan dan pertimbangan matang dalam melaksanakan aksi kekerasan, yang pada gilirannya menunjukkan tingkat bahaya yang lebih besar. Abidin & Hamzah mendeskripsikan pelaku pembunuhan berencana sebagai “pembunuh berdarah dingin”. Hal ini menyoroti keadaan batin pelaku yang berbeda dengan pembunuh emosional. Pembunuhan berencana seringkali melibatkan perencanaan yang cermat dan analisis yang dingin, tanpa dipengaruhi oleh emosi yang berlebihan. Dalam konteks ini, pelaku pembunuhan berencana dianggap lebih berbahaya dibandingkan dengan pembunuh biasa atau pembunuh emosional. (Iriyanto, 2021)

Secara sederhana, pembunuhan berencana diakui terjadi ketika pelaku telah merencanakan dan mempertimbangkan secara matang jauh sebelumnya. Ini mencakup pemilihan tempat, acara, waktu, serta cara dan sarana yang akan digunakan dalam pelaksanaan pembunuhan yang telah dipersiapkan. Topik tentang pembunuhan berencana menjadi perbincangan menarik di kalangan masyarakat (Jeremiah & Manurung, 2022). Berita mengenai tewasnya Nofriansyah Yosua Hutabarat, korban dalam insiden baku tembak di rumah dinas Polisi Republik Indonesia, telah menimbulkan kehebohan di kalangan masyarakat dan memicu berbagai spekulasi di antara orang awam dan para ahli hukum. Kejadian tragis tersebut terjadi di kediaman Ferdy Sambo, dan korban Yosua ditemukan tewas akibat lebih dari satu tembakan. Meskipun peristiwa itu terjadi pada tanggal 8 Juli 2022, pihak kepolisian baru mengumumkan kematian korban Yosua dalam sebuah konferensi pers pada hari Senin, 11 Juli 2022. Informasi ini disampaikan oleh Divisi Humas Polri, yang menyebabkan pihak kepolisian melakukan penyelidikan lebih lanjut (Putra, 2023).

Pada tanggal 12 Agustus 2022, Polri melakukan pemeriksaan terhadap Ferdy Sambo. Dalam proses pemeriksaan tersebut, Ferdy Sambo mengakui bahwa dia merasa marah dan emosional setelah menerima laporan dari istrinya, Putri Candrawathi. Hal ini diungkapkan oleh Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi, Kepala Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri, dalam konferensi pers. Selama pemeriksaan, Sambo juga menyatakan bahwa Putri Candrawathi melaporkan bahwa dirinya dan keluarganya telah mengalami tindakan yang merendahkan martabat dari korban Yosua di Magelang. Mendengar laporan tersebut, Ferdy Sambo disebut telah meminta Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Richard Eliezer) dan Bripka Ricky Rizal (Ricky Rizal) untuk mengakhiri nyawa korban Yosua (Putra, 2023).

Kemudian, pada tanggal 12 Agustus 2022, Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, mengumumkan bahwa laporan mengenai pelecehan seksual yang dilaporkan oleh Putri Candrawathi pada tanggal 9 Juli telah dihentikan. Dalam pengumuman tersebut, disebutkan bahwa laporan terkait upaya pembunuhan terhadap Richard Eliezer, dengan terlapor korban Yosua, juga telah dihentikan. Pada tanggal 19 Agustus 2022, Bareskrim Polri menetapkan Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan berencana terhadap korban Yosua. Putri Candrawathi menjadi tersangka kelima dalam perkara ini. Ia dijerat dengan pasal pembunuhan berencana, yang sama dengan pasal yang dikenakan terhadap suaminya, Ferdy Sambo. Salah satu pasal yang disebutkan menunjukkan bahwa Putri diduga sengaja turut serta dalam perencanaan sebelumnya untuk mengambil nyawa orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 340 subsider 338 jo. Pasal 55 jo. Pasal 56 KUHP (Putra, 2023).

Adapun Penasihat Hukum Putri Candrawathi dalam persidangan menyampaikan Nota Pembelaan dengan alasan pada pokoknya antara lain:

1)  Putri Candrawathi benar mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban Yosua berdasarkan pendapat ahli Psikologi Forensik.

2)  Fakta persidangan hanya didukung oleh satu orang saksi, yaitu Richard Eliezer, sehingga harus dikesampingkan berdasarkan prinsip “satu saksi bukanlah saksi”. Selain itu, Richard Eliezer dalam menyampaikan keterangan dinilai tidak konsisten.

Berdasarkan fakta persidangan, ketentuan hukum, dan lainnya, Majelis Hakim mengadili Putri Candrawathi dengan amar putusan pada pokoknya sebagai berikut:

1)  Menyatakan Terdakwa Putri Candrawathi terbukti secara sah dan meyakinkan  bersalah melakukan tindak pidana “turut serta melakukan pembunuhan berencana”;

2)  Menjatuhakn pidana terhadap Terdakwa Putri Candrawathi dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun; dan

3)  Menetapkan lamanya masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

Lebih lanjut, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mempertahankan hukuman penjara selama 20 (dua puluh) tahun terhadap terdakwa Putri Candrawathi dalam kasus pembunuhan berencana terhadap korban Yosua, dengan pokok amar putusan sebagai berikut:

1)  Menerima permintaan banding Penasihat Hukum Terdakwa dan Penuntut Umum tersebut;

2)  Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 797/Pid.B/2022/PN Jkt.Sel tanggal 13 Februari 2023 yang dimintakan banding tersebut;

3)  Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

4)  Menetapkan lamanya terdakwa selama penangkapan dan penahanan untuk dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan

5)  Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara dikedua tingkat peradilan yang untuk tingkat banding sejumlah Rp 2.500.- (dua ribu lima ratus rupiah).

Perjalanan kasus ini berlanjut hingga tahap kasasi. Adapun pada tahap ini, Mahkamah Agung memberikan pengurangan hukuman terhadap Putri Candrawathi dari 20 tahun menjadi 10 tahun penjara (Purnomo, 2023). Dalam mempertimbangkan Permohonan Kasasi Putri Candrawathi, Mahkamah Agung memiliki 5 (lima) pandangan, yaitu:

1)    terkait sah atau tidaknya alasan kasasi Putri Candrawathi;

2)    terkait peran Terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Korban Nofriansyah Yosua Hutabarat;

3)    terkait dugaan terjadinya kekerasan seksual atas Putri Candrawathi;

4)    terkait penerapan asas unus testis nullus testis dalam Judex Facti; dan

5)    hal-hal meringankan yang kurang dipertimbangkan dalam putusan Judex Facti.

Berdasarkan pandangan Mahkamah Agung, hal-hal meringankan yang kurang dipertimbangkan dalam putusan Judex Facti terhadap penjatuhan masa pidana Putri Candrawathi adalah sebagai berikut:

1)    Sejak awal, Putri Candrawathi telah meminta Ferdy Sambo untuk menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Selain itu, Putri Candrawathi secara sukarela memanggil korban dan memberikan pengampunan atas perbuatannya. Oleh karena itu, seharusnya Putri Candrawathi tidak dianggap sebagai inisiator tindakan pembunuhan terhadap korban.

2)    Dilihat dari perspektif keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatannya, Putri Candrawathi tidak dapat dianggap sebagai pelaku langsung dalam aksi pembunuhan terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat. Mengingat terdakwa sebelumnya, Richard Eliezer Pudihang Lumia, telah dihukum penjara selama 1 tahun 6 bulan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka hukuman yang diberikan kepada Putri Candrawathi seharusnya sebanding dan sesuai dengan tingkat kesalahannya.

3)    Keberadaan 4 anak Putri Candrawathi, di mana salah satunya (putri bungsu) masih berusia di bawah 3 tahun atau masuk dalam kategori batita, menjadi faktor penting. Anak-anak tersebut memerlukan perhatian, kasih sayang, dan asuhan dari ibu kandungnya.

Merujuk pada pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi dari Penasihat Hukum Putri Candrawathi dan Penuntut Umum dinyatakan ditolak dengan perbaikan. Adapun perbaikan tersebut diuraikan melalui Putusan Mahkamah Agung dalam perkara aquo, yaitu sebagai berikut:

1)  Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan;

2)  Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa Putri Candrawathi tersebut;

3)  Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 54/PID/2023/PT DKI, tanggal 12 April 2023 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 797/Pid.B/2022/PN Jkt.Sel., tanggal 13 Februari 2023 tersebut mengenai pidana penjara yang dijatuhkan kepada Terdakwa menjadi pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun;

4)  Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).

Adapun pertimbangan Mahkamah Agung nyatanya bertolak belakang dengan pandangan sebagian besar masyarakat yang menyaksikan proses peradilan terhadap Putri Candrawathi sejak pada tingkat pertama. Komjen Agus Andrianto dari Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Kabareskrim Polri) menguraikan bahwa Putri Candrawathi telah terbukti turut serta membantu dan mengikuti rencana pembunuhan yang disusun oleh Ferdy Sambo (Voi, 2022). Dilansir berdasarkan laman detiknews, keikutsertaan Putri Candrawathi dalam pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat, antara lain yaitu (Fadhil, 2022):

1)  Mengikuti skenario yang disusun oleh Ferdy Sambo sebagai pemeran utama dalam kasus ini;

2)  Menjanjikan adanya pemberian uang untuk para pelaku lainnya;

3)  Mengajak korban serta para pelaku lainnya ke rumah Dinas Ferdy Sambo; dan

4)  Memberikan pernyataan atau laporan palsu terkait adanya pelecehan seksual yang dilakukan oleh korban terhadap Putri Candrawathi.

Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan bahwa Putri Candrawathi kurang kooperatif ketika diminta keterangan terkait kasus pembunuhan berencana tersebut. Hasto menyatakan bahwa LPSK sudah melakukan dua kali pertemuan langsung dengan Putri untuk melakukan penilaian dan penyelidikan terkait kematian Novriansyah Yosua Hutabarat. Meskipun sudah dua kali bertemu, Putri Candrawathi tidak memberikan informasi apapun kepada LPSK (Nufus, 2023).

Nursyahbani Katjasungkana, Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia, berpendapat bahwa apapun yang diakui oleh Putri, tidak dapat dipisahkan dari konteks tindakan menghambat keadilan (obstruction of justice) yang melibatkan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua (Mantalean, 2022). Pengakuan dari Putri Candrawathi sebagai korban kekerasan seksual, yang didukung oleh kesaksian dua individu yang kredibilitasnya dapat dipertanyakan secara hukum, seharusnya tidak dianggap sebagai kasus yang terisolasi. Sebaliknya, hal tersebut sebaiknya dipandang sebagai bagian dari kasus pembunuhan, dimana telah terdeteksi adanya tindakan penghalangan terhadap keadilan dalam konteks kasus tersebut.

Berdasarkan KUHAP, terdapat dua syarat pengajuan kasasi, yaitu syarat formil dan materil.  Berdasarkan Pasal 253 ayat (1) KUHAP, syarat materil pengajuan kasasi oleh terdakwa adalah sebagai berikut (Santoso & Prayoga, 2018):

a)   Suatu aturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sesuai dengan yang seharusnya;

b)  Peradilan tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang; dan

c)   Pengadilan telah melebihi batas kewenangannya.

Atas persyaratan materiil tersebut, Mahkamah Agung berpandangan bahwa putusan Judex Facti telah menerapkan hukum dengan sesuai ketika menyatakan Putri Candrawathi terbutki secara sah dan meyakinkan bersalah atas tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu, putusan  Judec Facti juga tidak melanggar prinsip satu saksi bukanlah saksi, dikarenakan keterangan dari Richard Eliezer Pudihang Lumio dan Ricky Rizal Wibowo telah diperkuat dengan keterangan saksi lainnya yang saling berkesinambungan.

Akan tetapi, Mahkamah Agung tetap melakukan perbaikan pidana penjara terhadap Putri Candrawathi dari 20 tahun menjadi 10 tahun. Hal ini dikarenakan Mahkamah Agung berpendapat bahwa Putri Candrawathi bukanlah inisiator pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat. Meski demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu praktisi hukum, Victor Harianja, berpandangan bahwa Putri Candrawathi seharusnya dipandang sebagai sebab awal peristiwa atau latar belakang terjadinya konflik sejak awal. Mengingat bahwasanya sedari awal Putri Candrawathi mengaku mengalami pelecehan seksual oleh korban sehingga pembunuhan berencana tersebut terjadi sebagai bentuk reaksi dari pelecehan tersebut. Akan tetapi, nyatanya pengakuan terkait pelecehan seksual tersebut tidak dapat dibuktikan, sehingga dapat disimpulkan Putri Candrawathi memberikan keterangan palsu yang dilakukan demi menutupi proses pencarian kebenaran maupun keadilan dalam persidangan (obstruction of justice).

Bila menilik berdasarkan keadilan substantif, tentu saja penjatuhan hukuman terhadap Putri Candrawathi tidak sejalan dengan asas tersebut. Keadilan substantif merangkum konsep keadilan yang lebih mendalam dan melibatkan substansi hukum serta dampak sosialnya terhadap masyarakat. Dalam usaha untuk menghadirkan keadilan substantif, peran hakim menjadi sentral. Hakim tidak hanya diharapkan untuk mengimplementasikan hukum secara formal, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk bersikap peka terhadap kehendak masyarakat. Keadilan substantif mengakui bahwa keberlakuan hukum tidak hanya sekadar mengikuti norma-norma yang tercantum dalam undang-undang, tetapi juga harus memperhitungkan dampaknya terhadap kehidupan nyata masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum harus mampu membaca dan memahami dinamika sosial, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, kepekaan hakim terhadap kehendak masyarakat menjadi kunci utama. (Mahmud, 2021)

Hakim, sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan, harus lebih dari sekadar menjalankan aturan-aturan yang ada. Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa keputusan hukum mereka mencerminkan nilai-nilai, norma, dan aspirasi masyarakat yang mereka layani. Keadilan substantif membutuhkan hakim yang mampu melihat melampaui teks hukum formal dan memahami implikasi praktisnya terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, bersikap peka terhadap kehendak masyarakat bukanlah tugas yang ringan. Ini melibatkan kemampuan hakim untuk meresapi dinamika sosial, nilai-nilai budaya, dan perubahan dalam masyarakat. Hakim yang bersifat inklusif dan terbuka terhadap pandangan-pandangan yang beragam akan lebih mampu membawa unsur keadilan substansial ke dalam ruang sidang. Tantangan terbesar adalah menjaga keseimbangan antara keinginan masyarakat dengan prinsip-prinsip hukum yang objektif. Hakim harus mampu menghindari sikap populisme yang dapat mengorbankan prinsip-prinsip keadilan formal. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan yang mendalam untuk meningkatkan pemahaman hakim tentang dinamika masyarakat sangatlah penting.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pandangan Mahkamah Agung, sejumlah faktor meringankan yang mungkin kurang mendapatkan pertimbangan yang cukup dalam putusan Judex Facti terkait penjatuhan hukuman terhadap Putri Candrawathi dapat diidentifikasi. Pertama, tindakan Putri Candrawathi yang sejak awal telah berupaya menyelesaikan masalah tanpa kekerasan dan memberikan pengampunan kepada korban seharusnya mencerminkan bahwa ia tidak seharusnya dianggap sebagai inisiator pembunuhan. Kedua, dari sudut pandang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatannya, perbandingan hukuman Putri Candrawathi dengan terdakwa sebelumnya, Richard Eliezer Pudihang Lumia, yang telah dihukum penjara selama 1 tahun 6 bulan, seharusnya mencerminkan tingkat kesalahan yang sebanding. Dengan demikian, hukuman yang diberikan kepada Putri Candrawathi seharusnya menggambarkan keadilan yang sesuai. Ketiga, keberadaan empat anak Putri Candrawathi, terutama yang masih berusia di bawah 3 tahun, merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan. Kondisi batita ini menunjukkan bahwa anak-anak memerlukan perhatian, kasih sayang, dan asuhan dari ibu kandungnya. Oleh karena itu, dalam penjatuhan hukuman, perhatian terhadap keberlanjutan fungsi keluarga dan kesejahteraan anak-anak menjadi penting untuk dipertimbangkan. Kesimpulannya, dalam merespons penjatuhan hukuman terhadap Putri Candrawathi, Mahkamah Agung seharusnya memberikan perhatian lebih mendalam terhadap faktor-faktor meringankan yang telah disebutkan, guna memastikan keadilan substansial, konsistensi hukuman, dan keberlanjutan kesejahteraan keluarga, terutama anak-anak yang menjadi tanggung jawab Putri Candrawathi.

 

BIBLIOGRAFI

 

Aji, A. (2023, April 12). Vonis Sidang Banding: Putri Candrawathi Tetap Dipenjara 20 Tahun. Dipetik Desember 18, 2023, dari CNN Indonesia: https://cnnindonesia.com/nasional/20230412072143-12-936529/vonis-sidang-banding-putri-candrawathi-tetap-dipenjara-20-tahun

Angkouw, K. (2014). Fungsi Mahkamah Agung Sebagai Pengawas Internal Tugas Hakim Dalam Proses Peradilan. Lex Administratum, 2(2), 131-140.

Anwar. (2010). Problematika Mewujudkan Keadilan Substantif Dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 3(1), 127-140.

Butarbutar, E. N. (2010). Sistem Peradilan Satu Atap dan Perwujudan Negara Hukum Menurut UU No. 4 Tahun 2004. Mimbar Hukum Faskultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22(1), 188-200.

Fadhil, H. (2022, Agustus 27). Melihat Lagi Peran-Peran Putri Candrawathi di Pembunuhan Brigadir Yosua. Dipetik Desember 19, 2023, dari detiknews: https://news.detik.com/berita/d-6257400/melihat-lagi-peran-peran-putri-candrawathi-di-pembunuhan-brigadir-yosua/3

HS, S., & Nurbaini, E. S. (2013). Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ibrahim, J. (2008). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishing.

Iriyanto, E. (2021). Unsur Rencana Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Kajian Putusan Nomo 201/Pid.B/2011/PN.Mrs. Jurnal Yudisial, 14(1), 19-35.

Jeremiah, K. S., & Manurung, K. H. (2022). Analisis Perbuatan Obstruction of Justice yang Dilakukan oleh Aparat Kepolisian Dalam Perkara Pembunuhan Berencana. Jurnal Esensi Hukum, 4(2), 99-111.

Jeremiah, K. S., & Manurung, K. H. (2022). Analisis Perbuatan Obstruction of Justice yang Dilakukan oleh Aparat Kepolisian Dalam Perkara Pembunuhan Berencana. Jurnal Esensi Hukum, 4(2), 99-111.

Konardi, S. M. (2017). Upaya Hukum Kasasi Demi Kepentingan Hukum di Indonesia. 1-11.

Mahmud, A. (2021). Keadilan Substantif Dalam Porses Asset Recovery Hasil Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Suara Hukum, 3(2), 227-250.

Manan, B. (2004). Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik). Yogyakarta: FH UII Press.

Mantalean, V. (2022, September 11). LBH APIK Sebut Dugaan Kekerasaan Seksual Putri Candrawathi Obstruction of Justice Jilid II. Dipetik Desember 19, 2023, dari Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2022/09/11/11253051/lbh-apik-sebut-dugaan-kekerasan-seksual-putri-candrawathi-obstruction-of

Marzuki, P. M. (2005). Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media.

Muhaimin. (2020). Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press.

Naibaho, R. (2021). Peranan Mahkamah Agung Dalam Penegakan Hukum dan Keadilan Melalui Kekuasaan Kehakiman. Nommensen Journal of Legal Opinion, 2(2), 203-2014.

Nasution, B. J. (2015). Eksistensi Lembaga Peradilan Dalam Negara Hukum Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia. Al-Risalah, 15(2), 199-211.

Novelino, A. (2023, Agustus 8). Kasasi MA Sunat Hukuman Putri Candrawathi dari 20 Tahun Jadi 10 Tahun. Dipetik Desember 18, 2023, dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230808125816-12-983351/kasasi-ma-sunat-hukuman-putri-candrawathi-dari-20-tahun-jadi-10-tahun

Nufus, W. H. (2023, Januari 11). Dalih Putri Tak Kooperatif Diperiksa LPSK: Ditanya Hubungan Spesial Yosua. Dipetik Desember 19, 2023, dari detikNews: https://news.detik.com/berita/d-6510239/dalih-putri-tak-kooperatif-diperiksa-lpsk-ditanya-hubungan-spesial-yosua

Purnomo, K. (2023, Februari 13). Kasasi MA, Ini Rincian Hukuman Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Kuat Ma'ruf, dan Ricky Rizal. Dipetik Desember 19, 2023, dari KOMPAS.com: https://www.kompas.com/tren/read/2023/08/09/064500665/kasasi-ma-ini-rincian-hukuman-ferdy-sambo-putri-candrawati-kuat-ma-ruf-dan?page=all

Putra, I. S. (2023). Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana dalam Kasus Pembunuhan Brigadir Nogriansyah Yosua Hutabarat oleh Ferdy Sambo, S.H., S.I.K., M.H (Stud Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 796/Pid.B/2022/PN Jkt. Sel). Jurnal Res Justitia, 3(2), 491-516.

Santoso, B., & Prayoga, N. (2018). Pengajuan Kasasi Terdakwa Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Dan Pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Memutus Perkara Penipuan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 342 K/Pid/2017). Jurnal Verstek, 8(2), 188-196.

Syamsudin, M. (2014). Keadilan Prosedural dan Substantif Dalam Putusan Sengketa Tanah Megarsari. Jurnal Yudisial, 7(1), 18-33.

Tan, D. (2021). Metode Penelitian Hukum: Mengupas dan Mengulas Metodologi Dalam Menyelenggarakan Penelitian Hukum. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(8), 2463-2478.

Voi. (2022, Desember 2). Mengingat Lagi Peran Putri Candrawathi Dalam Pembunuhan Brigadir J. Dipetik Desember 19, 2023, dari Voi.id: https://voi.id/berita/232199/mengingat-lagi-peran-putri-candrawathi-dalam-pembunuhan-brigadir-j

 

Copyright holder:

Andrew Trinovada, Hery Firmansyah (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: