Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9, No. 2, Februari 2024
LEGITIMASI PENGELOLAAN TANAH BENGKOK DESA
DI INDONESIA
Dwi Winarto
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tanah bengkok yang dimiliki desa sebagai
aset kekayaan desa haruslah mengedepankan asas kepastian hukum beserta
efektivitasnya, sehingga pengelolaannya perlu melihat sejauh apakah legitimasi
pengelolaan tanah bengkok yang dimiliki oleh desa sebelum dan sesudah
disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 beserta peraturan turunannya,
tentunya tanah bengkok perlu dikaji secara mendalam terkait praktik pengelolaan
beserta dampak pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat setempat di desa.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Data diperoleh dari peraturan
perundang-undangan, studi kepustakaan berupa buku-buku, jurnal, dan literatur
lainnya. Penelitian ini dikaji menggunakan deskriptif analisis untuk memaparkan
susbtansi hukum yang ditemukan dalam menemukan solusi permasalahan, kemudian
dianalisis dengan membuat kesimpulan khusus. Kebaharuan dari penilitian ini
adalah mengkaji status dan akibat hukum tanah bengkok beserta pengelolaannya
oleh pemerintah desa dengan tujuan untuk memajukan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah bengkok
mengalami beberapa perubahan status hukum yang semula dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang desa mengubah status menjadi aset desa yang kepemilikannya
diberikan sertifikat atas nama pemerintahan desa guna kesejahteraan bersama, walaupun
terjadi beberapa perubahan status hukum, tanah bengkok tetap ditujukan untuk
pembangunan desa dengan dikelola melalui sistem sewa yang digarap oleh warga
daerah setempat, maupun pemerintah desa sendiri.
Kata
kunci: Desa,
Pengelolaan, Tanah Bengkok
Abstract
As one of the
village's wealth assets, Tanah Bengkok must be managed with an eye toward
ensuring legal certainty and efficacy. This means examining the legitimacy of
managing the village's crooked land both before and after the enactment of Law
Number 6 of 2014 and its ancillary regulations. Naturally, crooked land
requires a thorough examination of management techniques and the effects of
their use on the welfare of the village's local communities. Normative
juridical research methodology is applied. Data was gathered from published
works, books, journals, and other material, as well as from laws and
regulations. Descriptive analysis was used in this study to explain the legal
substance discovered in problem-solving techniques, and specific findings were drawn
from the analysis. Examining Tanah Bengkok's legal status and implications, as
well as how the village administration manages it to promote the welfare and
growth of village residents, is what makes this research novel. The research's
findings indicate that, despite multiple legal status changes, Tanah Bengkok is
still intended for village development. Law Number 6 of 2014, for example,
changed Tanah Bengkok's status from that of an asset in the village to one that
is owned by the village government and is certificated for the purpose of
shared prosperity.
Keywords: Village, Management, Crooked Land
Pendahuluan
Pada
dasarnya otonomi yang dimiliki oleh setiap daerah memberikan ruang kebebasan
untuk mengatur kepentingan di daerahnya dan segala aspek yang dibutuhkan oleh
masyarakat setempat sesuai dengan masing-masing kondisi di setiap daerah.
Kekuasaan tertinggi dari otonom tersebut adalah bupati yang dalam perangkat
daerah dibawahnya meliputi desa maupun kecamatan dengan kondisi daerah yang
bermacam-macam, seperti agraris dll.Isharyanto and Dila Eka Juli Prasetya, Hukum Pemerintahan
Desa:(Perspektif, Konseptualisasi Dan Konteks Yuridis) (Jakarta: Absolute
Media, 2021). Desa
sebagai bagian dari suatu wilayah memiliki urusan pemerintahannya sendiri yang
dilandasi atas prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan hak tradisional yang
melekat disertai penghormatan dan pengakuan dalam sistem kenegaraan Indonesia.
Desa
dalam menjalankan pemerintahannya meliputi beberapa jabatan seperti Kepala Desa
dan Perangkat Desa yang memiliki kewajiban membantu menyelenggarakan wewenang
dan tugas yang diemban Kepala Desa. Sebagaimana yang terkandung dalam UUD 1945
bahwa pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk mengurus sendiri dan
mengatur pemerintahannya berdasarkan perspektif asas otonomi dan tugas perbantuan,
dimana penyelenggaraan pemerintahan desa terhadap pengelolaan tanah bengkok
menjadi kewenangan khusus demi mewujudkan kepentingan rakyat beserta
kesejahteraannya sebagai hak-hak konstitusional warga negara untuk berupaya
mencapai pembangunan nasional yang merata. Hasil dari tanah bengkok tentunya
digunakan juga oleh pemerintahan desa untuk mencukupi kebutuhan kehidupan
keluarganya secara layak.
Dalam
hal ini perangkat desa dimaksudkan sebagai sekretaris desa dan pelaksana yang
terbagi atas kewilayahan serta teknis. Kewenangan yang dimiliki oleh desa dalam
mengatur dan mengurusi rumah tangga sendiri tentunya berkaitan dengan aset desa
yang dikelola sebagai bagian dari pembangunan desa (Irawan, 2017).
Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
bahwa salah satu klasifikasi aset yang dimiliki oleh masing-masing desa di
setiap wilayah adalah tanah bengkok yang dari rangkaiannya dimulai dari tahap
perencanaan, penggunaan, pemanfaatan, hingga pengendalian sebagai kekayaan desa
yang dimiliki (Yanti & Arifin, 2020).
Peruntukkan
tanah bengkok yang ditujukan kepada perangkat desa diartikan sebagai tanah
milik desa yang dikelola oleh kepala Desa atau lurah selama menduduki
jabatannya untuk dapat dipergunakan sebagai gaji tambahan. Penyerahan mengenai
tanah bengkok hanya akan diberikan kepada seseorang yang baru terpilih yaitu
kepala desa bersamaan dengan lurah atau kepala desa yang sebelumnya telah
selesai dari masa jabatannya (Savitri, 2016). Tanah
bengkok nantinya juga akan digunakan sebagai kas desa dengan
pengalihfungsiannya menjadi salah satu sumber bagian pendapatan desa yaitu
kepala beserta perangkat desanya. Kebermanfaatan dari tanah bengkok hakikatnya
disesuaikan dengan wujud tanah berupa kondisi, letak, dan jumlah tanah yang
dimiliki setiap desa dengan pengelolaannya dibedakan secara sendiri yaitu
langsung dari Kepala Desa dan Perangkat Desa maupun secara tidak langsung yaitu
disewakan atau pelelangan kepada orang lain yang dibuat secara terbuka (Hartanto, 2016).
Pengelolaan
tanah bengkok awalnya menjadi bagian utama sumber penghasilan terhadap Kepala
Desa beserta perangkatnya sebelum Undang-Undang Desa diberlakukan. Pemberlakuan
tersebut juga menegaskan bahwa Kepala Desa dan Perangkat desa tidak dapat
melakukan pelepasan tanah bengkok tersebut dikarenakan terdapat hak asal-usul
yang terikat dari jabatan yang diemban (Aji & Rokhaniyah, 2023).
Dengan demikian, tanah bengkok sedemikian rupa tidak memungkinkan dikelola atas
dasar kewenangan pribadi kepala desa, tetapi kewenangan jelas diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Raharjo 2021).
Aturan ini tentunya menjadi langkah besar dalam otonomi daerah desa dengan
mengatur seluruh cakupan aset desa hingga bagaimana cara mengelolanya, bahwa orientasi
hasil pengelolaan digunakan untuk memberikan gaji perangkat desa yang tidak
bertatus hukum sebagai pegawai negeri maupun sebagai anggaran kas desa untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Prasetyo, 2018).
Kebijakan
tanah bengkok termuat dalam BAB VII Undang-Undang Desa yang menjelaskan ruang
lingkup keuangan dan aset desa, yaitu Pasal 76 dan 77, sehingga dengan adanya
peraturan yang berlaku ini, kepada desa dan perangkat desa tidak diperbolehkan
mengelola secara kesewenang-wenangan melebihi dari apa yang ditentukan
peraturan perundang-undangan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara
Nomor 2014, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5495). Tanah
bengkok yang dimiliki desa sebagai aset haruslah mengedepankan asas kepastian
hukum beserta efektivitasnya, sehingga pengelolaannya perlu melihat sejauh
apakah kewenangan yang dimiliki oleh Kepala Desa sebelum dan sesudah
disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 beserta peraturan turunannya,
tentunya tanah bengkok perlu dikaji secara mendalam teknis dan tujuan
pengelolaannya agar memberikan dampak meluas bagi warga setempat di desa
tersebut (Marshaliany, 2019).
Metode
Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan tanah bengkok
oleh kepala desa disertai dengan studi kepustakaan berupa buku-buku, jurnal,
dan literatur lainnya sebagai bahan pendukung penelitian ini (Rachman, 2022).
Penelitian ini dikaji menggunakan deskriptif analisis untuk memaparkan
susbtansi hukum yang ditemukan untuk menemukan solusi permasalahan, kemudian
dianalisis dengan membuat kesimpulan khusus dalam penelitian ini (Qamar et al., 2017). Kebaharuan
dari penilitian ini adalah mengkaji status dan akibat hukum tanah bengkok
beserta pengelolaannya oleh kepala desa dengan orientasi untuk memajukan
pembangunan dan kesejahteraan desa di masing-masing wilayah di Indonesia.
Hasil dan Pembahasan
Dinamika
Kebijakan Tanah Bengkok Sebelum dan Sesudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa
Perkembangan
pengelolaan tanah bengkok diinterpretasikan oleh pemerintah sebagai bagian dari
kewenangan yang dimiliki oleh kepala desa, bahwa kedudukan tanah bengkok
mengalami perubahan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Sebelum Undang-Undang Tentang Desa, tanah bengkok diposisikan sebagai
sumber penghasilan yang diterima oleh pejabat desa yaitu berupa Kepala Desa dan
Perangkat Desa (Isfardiyana, 2017). Hak
yang diperoleh mereka antara lain dapat menikmati hasil dari pemanfaatan tanah
sesuai dengan jabatan dengan syarat selama masih memegang jabatannya, sehingga
demikian apabila pejabat desa telah menyelesaikan jabatannya atau mundur selama
masih menjabat maka tanah bengkok akan dialihfungsikan sebagai kas desa.
Kebijakan pengelolaan dan perolehan hasil pemanfaatan tanah bengkok awalnya
diberikan kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa, namun setelah hadirnya
Undang-Undang Desa maka tanah bengkok diserahkan kembali pada desa sebagai
kekayaaan/aset desa atau yang disebut sebagai kekayaan milik desa (Dewi & Darsono, 2017).
Pengalihan
ini juga menggantikan sumber pendapatan yang diterima oleh perangkat desa,
dimana tanah bengkok akan digantikan dengan tunjangan, penghasilan tetap
ataupun lainnya secara sah dari pemerintah (Dewi, 2017). Pengesahan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada akhirnya diiringi dengan peraturan
pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014, dimana pada Pasal 82
telah ditegaskan bahwa tanah bengkok tidak lagi ditempatkan sebagai penghasilan
utama oleh kepala desa beserta perangkatnya, namun demikian gaji yang telah
ditetapkan pemerintah sebagai bagian dari pegawai negeri. Walaupun demikian,
tanah bengkok sebetulnya memiliki fungsi yang melekat sebagai hak asal usul
yang dimiliki pejabat desa, sehingga dengan perubahan semacam ini justru
menimbulkan keberatan dari kalangan kepala beserta perangkat desa karena
nominal yang diterima tidak sebanding dengan hasil pemanfaatan tanah bengkok,
apalagi tentunya terdapat biaya sosial yang begitu tinggi yang dikeluarkan oleh
perangkat desa (Ningrum & Sri Sudaryatmi,
2017).
Eksistensi
Undang-Undang Desa menjadi bagian dari produk hukum baru yang dikeluarkan tahun
2014, secara otomatis PP No. 72 Tahun 2005 tidak lagi diberlakukan, karena
diganti dengan PP No. 60 Tahun 2014 dan PP No. 47 Tahun 2015 sebagai peraturan
pelaksana dari UU No. 6 Tahun 2014. Undang-Undang tersebut memuat bahwa
penggunaan terhadap penghasilan asli dari desa yang bertujuan untuk
melaksanakan pemerintahan desa dalam bentuk anggaran pembangunan desa dan
anggaran rutin salah satunya adalah tanah bengkok. Terdapat pengurangan
persentase anggaran yang dapat digunakan, yaitu sebagaimana tercantum dalam PP
No. 43 Tahun 2014 menjelaskan bahwa sebelumnya pemanfaatan tanah bengkok yang
dapat menjadi hak dari kepala desa adalah 100 persen, kini berkurang
setidak-tidaknya paling sedikit adalah 70% untuk dialokaskan untuk
penyelenggaraan pemerintahan desa untuk tujuan mendanai pemberdayaan beserta
pelaksanaan dari pembangunan fasilitas maupun kualitas Sumber Daya Manusia
setempat. Kemudian sisanya yaitu 30 persen yang berasal dari keseluruhan
anggaran belanja desa yang diakumulasikan akan menjadi bagian hak kepala desa
beserta perangkat desa, berupa penghasilan dalam jumlah tetap maupun tunjangan
kinerja dan operasional pemerintahan desa yang dipertanggungjawabkan kepada
kepala desa. Selain itu juga dapat digunakan untuk insentif rukun warga dan
tetangga maupun penyelenggaraan Badan Permusywaratan Desa (Irfan, 2021).
Tanah
bengkok yang berada di masing-masing wilayah desa menjadi aset desa yang
menjadi kekayaan seutuhnya yang dimiliki desa, yaitu tanah yang bersertifikat
diatasnamakan oleh kepala desa. Dalam hal ini ketentuan tersebut telah termuat
dalam Pasal 76 ayat (4) Undang-Undang Desa dengan menyatakan bahwa tanah dapat
diatasnamakan oleh pemerintah desa melalui pembuatan sertifikat berupa tanah
yang berada di wilayah tanah tersebut (Dewi et al., 2017). Berdasarkan
hal yang termuat dalam UU Desa bahwa tanah milik desa salah satunya merupakan
tanah bengkok, dimana tanah yang dimiliki senyatanya dilarang untuk menjadi
obyek yang diperjualbelikan atas kepentingan pribadi atau segolongan orang
tanpa adanya kesepakatan warga desa secara kompherensif. Penegasan mengenai
larangan memperjualbelikan tanah bengkok diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 yang
berbunyi:
(1) Kekayaan
Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak
kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum;
(2) Pelepasan
hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
mendapat ganti rugi sesuai harga yang menguntungkan desa dengan memperhatikan
harga pasar dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP);
(3) Penggantian
ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk membeli tanah lain yang lebih baik
dan berlokasi di Desa setempat;
(4) Pelepasan
hak kepemilikan timah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Desa; dan
(5) Keputusan
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah mendapat
persetujuan BPD dan mendapat ijin tertulis dari Bupati/Walikota dan Gubernur.
Namun
demikian, larangan itu hanya ditujukan untuk tanah bengkok yang diperjualbelikan,
sehingga dikatakan tetap diperbolehkan melakukan hal lain, yaitu penyewaan.
Sewa tanah bengkok dapat diperbolehkan dengan memberikan hak pengelolaan kepada
suatu pihak (Oksafiama et al., 2017). Penyewaan
tersebut sama sekali
tidak menyalahi ketentuan hukum yang telah berlaku karena hasil dari penyewaan
tetap akan diberikan oleh masyarakat setempat, dimana penyewaan akan diberikan
kepada warga yang memiliki profesi sebagai penggarap. Status hukum mengenai
tanah bengkok yang disewakan justru tidak mengubah atau mengalihkan kepemilikan
tanah tersebut, dan nantinya hasil pemanfaatan tetap akan diperoleh oleh kepala
desa beserta perangkatnya sebesar 2/3 bagian (Putra et al., 2022).
Hakikatnya
ketentuan tersebut memberikan dampak terhadap pemasukan yang diterima oleh
kepala desa dan perangkat desa, bahwa terjadi penurunan pendapatan yang
diterima oleh mereka karena tanah bengkok telah dimasukan sebagai aset desa
sehingga apapun yang dihasilkan dari pengelolaan tanah bengkok dan hasilnya
dimanfaatkan harus dibuat suatu catatan rekening dalam kas desa sebagaimana
termaktub dalam Pasal 91 PP No. 43 Tahun 2014. Namun beberapa waktu muncullah
PP No. 47 Tahun 2015 yang secara langsung mencabut PP No. 43 Tahun 2014, dimana
perubahan yang terjadi terdapat pada Pasal 100 yang menegaskan bahwa pengelolaan
tanah bengkok yang didapati hasilnya dapat dialokasikan sebagai tambahan tunjangan
terhadap kepala dan perangkat desa, dimana penambahan ini diluar dari bagian
penghasilan tetap dan tunjangan yang telah ditetapkan undang-undang. Perubahan
aturan ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh tuntutan oleh para kepala desa
di seluruh Indonesia yang merasa keberatan atas aturan sebelumnya, sehingga
mengajukan perubahan yaitu dikembalikan haknya untuk tanah bengkok sesuai
dengan fungsi semula untuk dapat dikelola kepala desa beserta perangkat desa (Wahyudi, 2023).
Berdasarkan
Pasal 100 ayat 2 juga menegaskan bahwa dalam menghitung anggaran belanja yang
dimiliki desa yang berasal dari pendapatan luar dapat bersumber dari hasil
tanah bengkok yang telah dikelola. Selain penghasilan tetap kepala desa dan
perangkat desa yang dimuat dalam peraturan bupati, juga terdapat pengelolaan
tanah bengkok sebagai penghasilan lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa aturan mengenai status dari tanah bengkok didasari oleh pendapatan yang bersumber dari pemanfaatan
tanah bengkok yang memperoleh hasil berupa hasil dari dikelola perkebunan atau
pertanian yang dalam uang maupun barang (Arridho et al., 2022). Dalam
hal ini hasil dari tanah bengkok tidak termasuk dalam klasifikasi belanja desa
yang kemudian ditetapkan sebagai bagian anggaran pendapatan belanja desa, namun
sebaliknya hanya dikhususkan sebagai tambahan-tambahan tunjangan untuk kepala
beserta perangkat desa yang dikecualikan dari penghasilan tetap yang disertai
tunjangan desa (Abrianto & Fikri, 2021).
Dengan
demikian, tanah bengkok mengalami beberapa perubahan status hukum yang semula
secara penuh hanya dapat dikelola dan diambil manfaat dari hasilnya oleh kepala
desa dan perangkat desa, lalu perubahan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tetang desa yang kemudian mengubah status menjadi bagian dari aset desa yang
kepemilikannya diberikan sertifikat atas nama pemerintahan desa untuk orientasi
kesejahteraan warga desa yang diatur dalam PP No. 43 Tahun 2014, kini mengalami
perubahan kembali dengan kedudukannya sebagai bagian tambahan untuk tunjangan
kepala desa beserta perangkatnya, maka dengan demikian penghasilan perangkat
desa tidak hanya dari tanah bengkok saja, melainkan terdapat penghasilan tetap,
tunjangan, maupun penerimaan-penerimaan lainnya yang dibuat secara sah oleh
hukum yang berlaku (Rudy, 2022). Pengembalian
status hukum tanah bengkok sebagai aset desa yang dikembalikan menjadi kekayaan
desa dengan orientasi dimanfaatkan sebagai pemasukan lainnya atau tunjangan
yang sah untuk diberikan kepada kepala desa dan perangkat desa. Dengan demikian
peruntukkan tanah bengkok yang semula diamanahi sebagai kepentingan warga
setempat dalam praktik pengelolaanya seketika berubah menjadi kepentingan
golongan pejabat pemerintahan desa yaitu kepala desa dan perangkat desa.
Pengelolaan
Tanah Bengkok oleh Kepala Desa Sebagai Hak Asal Usul
Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merubah ketentuan pengelolaan
tanah bengkok yang didasari hak asal usul, dimana terdapat keharusan
pemerintahan desa yang mengelola tanah bengkok. Pada dasarnya tanah bengkok
adalah salah satu dari sekian banyak aset desa yang dijadikan sebagai kekayaan
milik desa dengan orientasi penggunaan hanyalah untuk kepentingan dari desa
tersebut. Pengelolaan tanah bengkok awalnya menjadi bagian utama sumber
penghasilan terhadap Kepala Desa beserta perangkatnya sebelum Undang-Undang
Desa diberlakukan. Pemberlakuan tersebut juga menegaskan bahwa Kepala Desa dan
Perangkat desa tidak dapat melakukan pelepasan tanah bengkok tersebut
dikarenakan terdapat hak asal-usul yang terikat dari jabatan yang diemban, selama
ini penghasilan dari tanah bengkok digunakan untuk gaji atau kompensasi dari
kepala desa dan perangkat desa, kini harus dikembalikan lagi menjadi aset desa,
walaupun ketentuan terbaru mengharuskan alokasi anggaran untuk pemerintahan
desa.
Berkenaan
dengan tanah bengkok yang dikelola sebagai bagian hak asal usul pasca
disahkannya Undang-Undang Desa, Pemerintah menemukan ruang tersendiri untuk
mengubah cara pengelolaan dengan sistem sewa tanah bengkok untuk nantinya
dipergunakan sebagai kesejahteraan warga setempat. Penggarapan dapat dilakukan
oleh kepala desa beserta perangkatnya sendiri yang sebelumnya telah mereka
garap, nantinya uang sewa tersebut dapat dialokasikan sebagai anggaran
pendapatan asli desa yang berasal dari apa yang dihasilkan oleh desa tersebut,
sedangkan untuk hasil yang didapat dari penggarapan tanah bengkok dapat
memperoleh sebagian atau seluruh haknya, dalam hal ini penggarap sebagai warga
desa setempat maupun kepala desa beserta perangkatnya.
Karena
tanah bengkok dalam status mengenai hak asal usul sangat berkaitan dengan
jabatan, maka pengelolaan tanah bengkok tidak boleh dilepaskan. Namun, setelah
UU No. 6/2014 tentang Desa disahkan, tanah bengkok ini diubah menjadi aset desa
yang kini dikelola oleh masyarakat sebagai kekayaan desa dan perangkat desa
mendapatkan gaji tetap. Menurut UU Desa dan Peraturan Pemerintah, tanah bengkok
yang diberikan kepada desa dapat digunakan untuk tunjangan dan pendapatan lain
yang sah, tetapi karena tidak ada peraturan daerah yang mengatur lebih lanjut,
hal ini tidak memungkinkan karena tidak ada payung hukumnya.
Warga
setempat dalam hal ini diberikan kesempatan kepada pemerintah desa untuk
berkontribusi dalam pengadaan aset mengenai penyewaan tanah bengkok melalui
penyelenggaraan musyawarah, seringkali ditetapkan mekanisme pelaksanaan
dilakukan melalui sistem bergilir antar satu kepala keluarga dengan keluarga
lainnya, sehingga diharapkan sistem penyewaan tanah bengkok dapat mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan tiap-tiap masyarakat. Proses sewa tentunya tidak
terlepas dari pelelangan walaupun tidak seperti lelang pada biasanya, dimana
bukan harga tertinggi yang menjadi pemenang, namun pemenang hanya akan
memperoleh bagian undian pertama dengan harga yang telah ditentukan oleh
pemerintah desa sesuai dengan tanah bengkok yang ada. Pada umumnya peserta
lelang hanya diikuti oleh masing-masing penggarap yang ada di wilayah tersebut
dengan kapasitas kemampuan mengolah tanah bengkok dengan baik, misalnya menjadi
sawah bagi para petani. Tentunya harga sewa yang ditentukan tidak terlalu mahal
agar para penggarap tidak merasa terbebani secara finansial, sehingga disinilah
yang menjadi letak pembeda antara sewa tanah pribadi dengan tanah bengkok.
Apabila
kepala desa maupun perangkat desa justru memiliki keinginan tersendiri untuk
menggarapnya, maka demikian mereka tetap membayar sewa dari tanah bengkoknya
sendiri dan memasukkan anggarannya ke dalam bagian kas desa, karena asal usul
tanah bengkok itu sendiri menjadi bagian aset yang tidak terpisahkan dari
sumber kekayaan yang dimiliki desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa menegaskan aspek pemanfaatan aset desa
yang mengizinkan untuk dilakukannya praktik sewa, atau pinjam pemakai dan
membangun kolaborasi untuk mengambil manfaat dari tanah bengkok tersebut.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Pengelolaan Aset Desa.
Beberapa tahapan pemanfaatan tanah bengkok tentunya dimulai dari bagian
perencanaan melalui rapat yang diadakan secara tahunan agar dapat mewujudkan
kesejahteraan sebagai bagian dari tujuan pembangunan desa yang dialokasikan
sebagai tambahan tunjangan perangkat desa melalui mekanisme pemusyawarakatan
desa. Perencanaan ini tentu saja mengalokasikan tanah bengkok kepada para
penggarap melalui rapat bersama para Badan Pengawas Desa (BPD) dan perangkat
desa untuk membentuk agenda jangka panjang mengenai pelaksanaan sewa bengkok
itu sendiri, dimana kesepakatan untuk tanah bengkok yang disewakan tertuang
dalam surat perjanjian tertulis atau secara lisan. Perencanaan program mengenai
penyewaan tanah bengkok akan disusun dalam surat pemberitahuan kepada
masyarakat mengenai pengadaan sewa yang berisikan pemberitahuan terkait tempat
dan harga lelang yang telah disepakati bersama, proses sewa hingga sistem
pembayarannnya.
Pengadaan
sewa tanah bengkok dengan difasilitasi oleh pemerintah desa dilakukan dengan
memasang patok tanah bengkok sebagai pemberian kemudahan dalam mengukur luas
dari tanah bengkok tersebut disertai dengan pemberian alokasi bibit atau pupuk
sehat melalui koordinasi bersama dengan para warga agar batasan patok tidak
mengganggu tanah pribadi warga setempat. Dengan demikian bentuk pengadaan ini
diwujudkan kepala desan dan perangkat desa untuk menganggarkan subsidi bagi
para penggarap sebagai bentuk motivasi dan keringanan bagi masyarakat, serta
menghindari dari segala bentuk kerugian dari tanah bengkok. Masyarakat selaku
penggarap yang terpilih melalui sistem bergilir bebas untuk mengelola tanah
bengkok sesuai persetujuan serta mengambil manfaat dari tanah tersebut, namun
demikian pemerintahan desa tetap akan melakukan pengawasan melalui administrasi
sewa seperti dokumentasi, bukti pembayaran, surat perjanjian, dll. Dalam hal
ini tanah bengkok meskipun dalam status sewa, namun tetap pertanggungjawbannya
ada pada pemerintahan desa, sehingga perlu adanya pengendalian seluruh tahapan
oleh kepala desa dan perangkatnya.
Pengawasan
yang turut dialakukan oleh kepala desa dan perangkatnya menjadi bagian dari
serangkaian proses eksternal terhadap pengelolaan tanah bengkok sebagai bagian
dari penyelenggaraan yang menjunjung tinggi transparansi dan pertanggungjawaban
oleh pemerintahan desa, dimana setiap perkembangan dari perolehan hasil
pemanfaatan tanah bengkok dibuat laporan pertanggungjawaban desa yang kemudian
disampaikan ke Badan permusyawaratan Desa (BPD).
Setelah
praktik sewa dalam jangka waktu tertentu dinyatakan selesai, maka tanah bengkok
tersebut tetap dikembalikan sebagai aset desa, bahkan sebagai siasat untuk
dapat memperoleh hasil dari tanah bengkok tersebut, pemerintah desa tetap akan
melakukan garapan sendiri dan menyewa sendiri tanah bengkok tersebut, sehingga
terdapat keuntungan, disatu sisi uang sewa tersebut akan masuk ke dalam bagian
kas desa, dan di sisi lain hasil dari pemanfaatan akan dijadikan sebagai
tunjangan tambahan pemerintah desa.
Pengelolaan
tanah bengkok oleh perangkat desa di Desa Sojopuro berdasarkan persetujuan
antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hal tersebut sesuai
dengan yang dinyatakan dalam UU Desa Tahun 2014. Hal mana dinyatakan bahwa
tanah bengkok yang merupakan aset desa melalui pengelolaan dan pemanfaatannya
dapat disewakan pada warga yang membutuhkan. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah
bengkok yang merupakan aset desa pada Desa Sojopuro telah sesuai dengan azas
kepentingan umum, azas efisiensi, azas pengelolaan dan pemanfaatan tanah desa
yang memiliki tujuan tidak hanya memfasilitasi para perangkat desa tetapi dapat
pula memberikan manfaat bagi desa serta masyarakat desa.
Senada
dengan pernyataan di atas, pengelolaan tanah bengkok sebagai hak asal usul
sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pemerintah
desa dapat melakukan sistem sewa bagi tanah bengkok. Uang sewa dimasukkan ke
dalam pendapatan asli desa yang bersumber pada hasil usaha desa, sedangkan
hasil usaha dari pengelolaan tanah bengkok tersebut menjadi hak sepenuhnya
penyewa, yaitu Kepala Desa dan Perangkat Desa). Pada intinya hak pengelolaannya
tidak pada Kepala Desa dan Perangkat Desa melainkan dikembalikan kepada desa.
Perjanjian
sewa menyewa di Desa Sojopuro dilakukan dengan perjanjian lisan yang dilakukan
antara perangkat desa dengan masyarakat yang mendapatkan hak sewa atau
kerjasama dengan perangkat desa. Sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli
dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya adalah suatu perjanjian konsensuil.
Kewajiban pihak yang satu, menyerahkan barangnya untuk dinikmati pihak lain,
sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini, membayar harga sewa. Jadi barang
itu diserahkan tidak untuk dimiliki, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati
kegunaannya. Dengan demikian penyerahan tadi hanya bersifat menyerahkan
kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu.
Pengelolaan
tanah bengkok sebagai hak asal usul sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, tanah bengkok dikembalikan kepada desa karena
merupakan tanah kas desa yang merupakan aset desa atau kekayaan desa. Dengan
demikian hak asal usul tersebut lepas, tetapi Undang-Undang dan peraturan
pelaksananya mengatur bahwa tanah bengkok yang dikembalikan kepada desa, dapat
dikembalikan dalam bentuk tunjangan kepada perangkat desa. Sedangkan Pemerintah
Desa mensiasati bagi Perangkat Desa yang tetap ingin menggarap tanah bengkoknya
dapat menyewa tanah bengkoknya sendiri dan uang sewa tersebut dimasukkan ke
dalam kas desa karena tanah bengkok tersebut merupakan aset desa sebagai salah
satu sumber kekayaan desa. Terdapat keragaman pengelolaan tanah bengkok yang
tergantung pada jenis tanahnya yaitu tanah kering yang dapat dimanfaatkan untuk
dibuat kolam ikan atau tambak, atau juga persawahan yang digarap oleh petani.
Nantinya tanah bengkok harus diserahkan kembali sebagai aset desa apabila
pemerintahan desa, yaitu kepala desa dan perangkatnya tidak lagi menjabat,
sehingga demikian harus dilakukan penyerahan terhadap kepala desa dan perangkat
desa berikutnya yang menjabat.
Dengan
demikian, hak asal usul sebagai bagian dari tanah bengkok yang dikelola pasca
disahkannya UU desa menjadikan tanah bengkok kembali dimiliki oleh desa untuk
diorientasikan sebagai kas desa yang menjadi aset dan kekayaan desa tersebut.
Tanah bengkok yang yang diserahkan kembali ke desa adalah tanah kas desa yang
menjadikan hak asal usul lepas, tetapi demikian peraturan pelaksana yang
merubah UU Desa dikembalikan kembali dengan perwujudan tunjangan yang didapati
kepala desa dan perangkat desa selama menjabat. Terkadang untuk mensiasatinya
adalah pemerintahan desa yang dalam hal ini kepala desa maupun pereangkatnya
tetap menginginkan tanah bengkok tersebut digarap olehnya sendiri, nantinya
uang sewa akan dimasukkan kedalam bagian kas desa. Tetapi lazimnya pengelolaan
tanah bengkok dibuat sewa menyewa dengan penggarap yaitu masyarakat setempat
agar keuntungan yang diperoleh tidak hanya dinikmati perangkat desa tetapi juga
warga desa setempat.
Dampak
Pemanfaatan Tanah Bengkok Terhadap Kepala Desa dan Perangkat Desa
Implementasi
memanfaatkan tanah bengkok sepenuhnya mengacu pada PP No. 47 Tahun 2015 dengan
hasil yang diperoleh sepenuhnya akan dibagi berdasarkan kesepakatan antara
penggarap dan pemerintah desa, dimana hal tersebut menjadi wewenang yang
dimiliki oleh kepala dan perangkat desa. Pemberlakuan peraturan tersebut
menjadikan kepala desa beserta dengan perangkatnya mendapatkan tunjangan
tambahan yang tentunya lebih besar karena tidak ada lagi pemotongan persentase
anggaran hasil dari pengelolaan tanah bengkok untuk dialokasikan ke anggaran
pendapatan belanja desa yaitu maksimal sebesar 70% yang sisanya dipakai sebagai
biaya membangun desa. Berdasarkan Permendagri Nomor 4 Tahun 2007 yang membahas
mengenai pedomaan terkait pengelolaan kekayaan desa menyebutkan bahwa
sepenuhnya pemerintah desa dapat memanfaatkan aset yang ada sebagai bentuk kemudahan
dan kepentingan terhadap urusan pemerintahan desa, yang dalam hal ini
diwujudkan sebagai pelayanan terhadap masyarakat.
Semenjak
disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 maka mekanisme pemanfaatan
tanah bengkok semula diberikan kepada warga setempat berubah menjadi tambahan
pendapatan yang disebut tunjangan berdasarkan jabatan mereka, yang kemudian
diposisikan sebagai pamong desa Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Tanah
bengkok yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintahan desa didominasi oleh upaya
kerjasama dengan warga-warga di di wilayah tersebut, dimana tanah bengkok yang
dalam kepemilikannya tetap menjadi aset desa dan hasil pemanfaatannya menjadi
bagian hak melekat yang diperoleh kepala desa dan perangkat desa. Walaupun
demikian kerjasama hanya menjadikan penyerahan tanah bengkok kepada masyarakat
sebagai penggarap, sehingga masing-masing warga desa turut berperan membangun
pengelolaan tersebut. Prosedur pemanfaatan tentunya dilalui dengan beberapa
proses yang tidak sulit yaitu masyarakat selaku penggarap yang tertarik atau
berminat mengelola tanah bengkok tersebut pertama-tama membentuk kesepakatan
bersama pemiliknya, yaitu kepala desa dan perangkat yang sedang menjabat.
Kemudian terjadilah suatu perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak
untuk melakukan pengelolaan (Ahmad & Karim, 2022). Terkadang
beberapa kesepakatan muncul dimana keseluruhan tanah bengkok yang dimiliki desa
tersebut tidak hanya digarap oleh masyarakat saja, namun juga perangkat desa
itu sendiri dengan tetap memberikan uang sewa, sehingga secara pribadi
pengerjaan pengelolaan tanah tersebut menjadikan hasil yang diperoleh dimiliki
mereka untuk nantinya dapat dijual atau dimanfaatkan (Aswandi & Sinilele, 2021).
Tanah
bengkok hakikatnya berasal dari adat istiadat suatu daerah yang berfungsi
memberikan penambahan pendapatan terhadap pihak yang bersangkutan yaitu kepala
desa dan perangkat desa, dimana saat ini secara hukum telah ditegaskan bahwa
penambahan tersebut berupa tunjangan yang diterima oleh kepala desa dan
perangkat desa selama masih memegang jabatan (Al Hafiz et al., 2022).
Sepenuhnya tanah bengkok secara akuntabilitas tetap tertuju pada kepala desa
dan perangkat desa selama masih ada yang mengelola atau mereka kelola sendiri.
Penduduk yang sebagian besar merupakan petani disertai dengan jenis tanah yang
cocok menanam padi menjadikan tanah bengkok dapat dimanfaatkan untuk lahan
pertanian sebagai pekerjaan bercocok tanam (Basri et al., 2020). Bergantung
dari jenis tanah tersebut, perangkat desa dapat mengidentifikasikan apakah
tanah bengkok yang ada dapat cocok ditanam padi atau tanaman lainnya, atau
misalkan didapati tanah kering maka pemerintahan desa dapat menginstruksikan
untuk dikelola dengan membangun kolam ikan atau tambak.
Dalam hal
ini pemanfaatan yang dilakukan secara bebas tetap tidak mengubah status
kepemilikan tanah bengkok, karena hak kepemilikan tanah tetap dikembalikan
menjadi aset desa yang senyatanya dapat dinikmati oleh masyarakat atau
pemerintahan desa yang memegang jabatan selanjutnya, sehingga keuntungan yang
diperoleh hanya sebatas mengambil manfaat, bukan mengklaim dan menjadikan tanah
bengkok sebagai hak milik seutuhnya atas nama pribadi. Pelepasan hak atas tanah bengkok bisa saja
dilakukan untuk kepentingan umum dengan orientasi menguntungkan desa,
setidaknya dengan nilai yang dikatakan cukup seimbang.
Kemudian
perlu untuk diketahui bahwa tanah yang dikelola dengan statusnya sebagai tanah
bengkok yang menjadi tanggungjawaban aparatur desa, orientasi dari pengelolaan
tanah tidak hanya memberikan wadah fasilitas kepada kepala desa beserta dengan
perangkatnya, namun juga memberikan aspek kebermanfaatan secara langsung maupun
tidak langsung terhadap pembangunan desa, khususnya terhadap masyarakat. Tanah
bengkok yang hak kepemilikan sebagai aset desa yang dipegang oleh pemerintahan
desa akan menghasilkan nilai jual dari hasil pengelolaan, dimana nantinya harga
penjualan akan dibuat lebih rendah dibanding harga normal yang berada di pasar.
Terhadap petani yang juga turut serta dalam melakukan pengelolaan, maka petani
yang awalnya tidak memiliki pekerjaan dan lahan kini dapat juga mengambil
manfaat dari tanah bengkok yang digarapnya sehingga secara langsung berdampak
pada tingkatan kesejahteraan warga desa setempat. Tanah bengkok yang menjadi
salah satu bagian dari aset besar yang dimiliki oleh desa haruslah dimanfaatkan
dengan sebaik mungkin sebagai penambahan pendapatan mengenai keuangan agar
memberikan keuntungan, keuntungan bagi penggarap terhadap apa yang dihasilkan, maupun
kas desa dan hasil manfaat yang didapat oleh kepala desa dan perangkat desa,
maka demikian pengelolaan dalam produk hukum bertujuan untuk memberikan
keuntungan terhadap desa tersebut.
Pengelolaan
tanah bengkok yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintahan desa sendiri
akan memberikan peningkatan terhadap kesejahteraan masyarakat sebagai pengaruh
besar terhadap kemajuan pembangunan. Tanah bengkok yang sedemikian rupa subur
jika dimanfaatkan dengan baik tentunya akan memberikan hasil pertanian yang juga
baik. Hasil dari apa yang dikelola kemudian juga dijual pada masyarakat harus
berpatokan dengan harga yang berada di pasar, dimana sebisa mungkin patokan
harga tidak melebihi atau setara dengan harga komoditi yang berada di pasaran,
sehingga keuangan desa dapat dikatakan menjadi stabil. Pertanggungjawaban
pemerintahan desa kepada warga desa setempat akan tercapai melalui kekayaan
aset desa dari tanah bengkok yang dinikmati oleh seluruh warga melalui
koordinasi dengan perangkat desa, walaupun memang tanah bengkok yang
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat tetap kembali sebagai tambahan tunjangan
kepala desa dan pemerintahan desa diluar dari gaji yang telah diteteapkan
pemerintah, namun demikian pengelolaan tanah bengkok yang berhasil memperoleh
manfaat tetap disalurkan kepada masyarakat juga sebagaimana ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sebagaimana
yang terkandung dalam UUD 1945 bahwa pemerintahan daerah memiliki kewenangan
untuk mengurus sendiri dan mengatur pemerintahannya berdasarkan perspektif asas
otonomi dan tugas pemabntuan, dimana penyelenggaraan pemerintahan desa terhadap
pengelolaan tanah bengkok menjadi kewenangan khusus demi mewujudkan kepentingan
rakyat beserta kesejahteraannya sebagai hak-hak konstitusional warga negara
untuk berupaya mencapai pembangunan nasional yang merata. Hasil dari tanah
bengkok tentunya digunakan juga oleh pemerintahan desa untuk mencukupi
kebutuhan kehidupan keluarganya secara layak.
Dengan
demikian, tanah bengkok yang dimanfaatkan akan berfungsi sebagai tambahan
tunjangan pemerintahan desa sebagai bagian meningkatkan kinerja-kinerja kepala
desa beserta perangkatnya untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat,
sehingga pemerintahan yang diselenggarakan dapat berjalan dengan baik untuk
mencapai kesejahteraan warga desa setempat, dimana warga sebagai penggarap dan
yang membeli hasil pemanfaatan tanah bengkok akan berkontribusi terhadap
kemajuan pembangunan desa.
Kesimpulan
Pengelolaan
tanah bengkok dalam perkembangan aturan saat ini mengacu pada Peraturan Pemerintah
No. 47 Tahun 2015 dengan diarahkan untuk tambahan tunjangan kepala desa dan
perangkat desa selain penghasilan tetap dan tunjangan kepada desa paling banyak
30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah anggaran belanja desa. Tanah bengkok
yang diklasifikasikan sebagai bagian dari aset desa dapat dikelola melalui
praktik sewa kepada para penggarap yang juga warga desa setempat. Kepala Desa
beserta perangkatnya berupaya untuk mengawasi jalannya pengelolaan dan
melakukan pengendalian yang dimulai dari tahap perencanaan program pengelolaan
tanah bengkok, agar nantinya menjadi tepat sasaran untuk kesejahteraan
perangkat desa dan masyarakat. Tanah bengkok yang semula diatur di
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur mengenai prosentase
perolehan hasil pemanfaatan tanah bengkok dihapus, dan kembali
dipertanggungjawabkan kepada kepala desa dan perangkat desa sebagai tambahan
pendapatannya. Namun demikian pengelolaan tanah tidak mengubah kepemilikan
tanah karena hakikatnya tanah bengkok merupakan aset desa, sehingga tidak dapat
diperjualbelikan dan pertanggungjawaban hanya akan bergeser kepada kepala desa
dan perangkat desa selanjutnya yang memegang jabatan.
Warga
setempat diberikan kesempatan kepada pemerintah desa untuk berkontribusi dalam
pengadaan aset mengenai penyewaan tanah bengkok melalui penyelenggaraan
musyawarah, seringkali ditetapkan mekanisme pelaksanaan dilakukan melalui
sistem bergilir antar satu kepala keluarga dengan keluarga lainnya, sehingga
diharapkan sistem penyewaan tanah bengkok dapat mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan tiap-tiap masyarakat. Proses sewa tentunya tidak terlepas dari
pelelangan walaupun tidak seperti lelang pada biasanya, dimana bukan harga
tertinggi yang menjadi pemenang, namun pemenang hanya akan memperoleh bagian
undian pertama dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah desa.
Peruntukkan
tanah bengkok yang ditujukan kepada perangkat desa diartikan sebagai tanah
milik desa yang dikelola oleh kepala Desa atau lurah selama menduduki
jabatannya untuk dapat dipergunakan sebagai gaji tambahan. Penyerahan mengenai
tanah bengkok hanya akan diberikan kepada seseorang yang baru terpilih yaitu
kepala desa bersamaan dengan lurah atau kepala desa yang sebelumnya telah
selesai dari masa jabatannya.
BIBLIOGRAFI
Abrianto, B. O., & Fikri, M. A. (2021). Status Hak Atas
Tanah Kas Desa dan Prosedur Pendaftarannya Menurut Hukum Administrasi
Pertanahan. Pandecta Research Law Journal, 16(2).
Ahmad, Z., & Karim,
B. (2022). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Sewa Menyewa Tanah Bengkok
dengan Sistem Berantai (Studi Kasus Desa Tawing Kabupaten Trenggalek). Kaffa:
Jurnal Fakultas Keislaman, 3(1), 74–85.
Aji, D. R., &
Rokhaniyah, S. (2023). Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Praktik Sewa-Menyewa
Tanah Bengkok Sebagai Strategi Peningkatan Pendapatan Perangkat Desa. UIN
Raden Mas Said Surakarta.
Al Hafiz, M., Suradi, S.,
& Adhi, Y. P. (2022). Tinjauan Yuridis Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah
Bengkok Desa Papasan Yang Dianyatakan Batal Demi Hukum (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Jepara Nomor: 36/Pdt. G/2020/Pn. Jpa). Diponegoro Law
Journal, 11(2).
Arridho, M. R., Ariesta,
W., & Mashuri, M. (2022). Kedudukan Hukum Aset Desa Yang Berada Di Atas
Tanah Yang Berstatus Pertahanan Dan Keamanan Nasional (Studi di Desa Semedusari
Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan). Yurijaya: Jurnal Ilmiah Hukum, 4(1).
Aswandi, I., &
Sinilele, A. (2021). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Tanah Bengkok Di
Desa Tanete Kabupaten Gowa. Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum
Ekonomi Syari’ah, 172–181.
Basri, B., Pramesti, D.
A., Iftitah, S. N., & Masithoh, R. F. (2020). Pemanfaatan Tanah Bengkok
dalam Meningkatkan Potensi Kelompok Tanaman Hias di Wilayah Kedungsari
Kabupaten Magelang. Prosiding University Research Colloquium, 117–120.
Dewi, I. G. A. G. S.
(2017). Pengaturan Tanah Bengkok Di Desa Sojopuro Kabupaten Wonosobo
Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Diponegoro Private
Law Review, 1(1).
Dewi, L. A., &
Darsono, S. H. (2017). Pengelolaan Dan Pemanfaatan Tanah Kas Desa Oleh
Perangkat Desa (Ex-Tanah Bengkok)(Studi Kasus di Desa Kandangan Kecamatan Ngawi
Kabupaten Ngawi). Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Dewi, P. E. D. M.,
Saputra, K. A. K., & Prayudi, M. A. (2017). Optimalisasi Pemanfaatan dan
Profesionalisme Pengelolaan Aset Desa dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa. JIA
(Jurnal Ilmiah Akuntansi), 2(2).
Hartanto, D. A. (2016).
Kedudukan Tanah Bengkok Sebagai Hak Asal Usul Pasca Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa. Jurnal Mahkamah: Kajian Ilmu Hukum Dan Hukum Islam, 1(2).
Irawan, N. (2017). Tata
Kelola Pemerintahan Desa Era UU Desa. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Irfan Rizky, H. (2021).
Eksistensi Tanah Bengkok Pasca Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa Dan
Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan Di Kabupaten Kendal. Jurnal
Penelitian Hukum Indonesia, 2(1).
Isfardiyana, S. H.
(2017). Keabsahan Hak Gadai Tanah Bengkok yang Dilakukan oleh Kepala Desa. Arena
Hukum, 10(1).
Isharyanto, S. H., &
Dila Eka Juli Prasetya, S. H. (2021). Hukum Pemerintahan Desa:(Perspektif,
Konseptualisasi Dan Konteks Yuridis). Absolute Media.
Marshaliany, E. F.
(2019). Pengelolaan Aset Desa Oleh Pemerintah Desa Di Desa Utama Kecamatan
Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi
Negara, 6(1).
Ningrum, D. A. S., &
Sri Sudaryatmi, S. (2017). Pemanfaatan Tanah Bengkok Setelah Berlakunya Pp No
47 Tahun 2015 di Desa Tampir Wetan Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang. Diponegoro
Law Journal, 6(2).
Oksafiama, L., Suparnyo,
S., & Wicaksono, A. (2017). Pemanfaatan Aset Desa dalam Upaya Meningkatkan
Pendapatan Desa. Jurnal Suara Keadilan, 18(2).
Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa.
Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Prasetyo, A. B. (2018).
Mengenal Karateristik Pengaturan Tanah Bengkok Di Indonesia. Law,
Development and Justice Review, 1(1).
Putra, R. A., Arifin, N.
R., Patonah, R., & Susanti, Y. (2022). Optimalisasi Pemanfaatan Tanah
Bengkok Guna Tercapainya Kesejahteraan Perangkat Desa. Abdimas Galuh, 4(2).
Qamar, N., Syarif, M.,
Busthami, D. S., Hidjaz, M. K., Aswari, A., Djanggih, H., & Rezah, F. S.
(2017). Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods). CV. Social
Politic Genius (SIGn).
Rachman, F. (2022). Metode
Penelitian Kualitatif. Penerbit Lakeisha.
Raharjo, M. M. (2021). Tata
Kelola Pemerintahan Desa. Bumi Aksara.
Rudy, R. (2022). Hukum
pemerintahan desa. CV. Anugrah Utama Raharja.
Savitri, M. (2016).
Analisis Kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Terhadap Pengelolaan Tanah
Bengkok Desa. Jurnal Panorama Hukum, 1(2).
Undang-Undang No. 6 Tahun
2014 Tentang Desa (Lembaran Negara Nomor 2014, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5495). (n.d.).
Wahyudi, W. (2023).
Kedudukan Hukum Tukar Menukar Tanah Aset Desa Bagi Kepentingan Strategis
Nasional. Mendapo: Journal of Administrative Law, 4(1).
Yanti, R. A. E., &
Arifin, N. R. (2020). Akuntabilitas pemanfaatan tanah bengkok dalam
Meningkatkan kesejahteraan perangkat desa. Sosio E-Kons, 12(3).
Copyright
holder: Dwi Winarto (2024) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |