Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
09, September 2022
AKIBAT HUKUM PENERAPAN
PASAL 53 KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) MENGENAI PERKAWINAN BAGI WANITA HAMIL
SEBAGAI DASAR DISPENSASI PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR
Dhiya Dinar Kuswulandari1*,
Flora Dianti2
1*,2
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Email: 1*[email protected],
2[email protected]
Abstrak
Perkawinan
merupakan peristiwa hukum yang seharusnya dapat dilaksanakan sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Namun, maraknya kasus anak yang
hamil di luar nikah, menjadi pembahasan penting yang mengakibatkan adanya
pengesahan bagi perkawinan anak di bawah umur. Menurut Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terdapat batas minimun dalam usia kawin yaitu bagi pria dan wanita adalah 19
tahun. Dengan adanya Pasal 53 KHI yang mengatur mengenai perkawinan bagi wanita
hamil (kawin hamil), membuat pengecualian terhadap aturan mengenai usia kawin,
sehingga tetap bisa melangsungkan perkawinan walaupun wanita tersebut masih di
bawah umur, dengan syarat pria yang mengawininya adalah pria yang
menghamilinya. Dalam kasus seperti itu, dapat diberikan Dispensasi Kawin dengan
diajukannya permohonan ke Pengadilan Agama. Penelitian ini membahas terkait
Putusan Pengadilan Agama Bintuhan Nomor 87/Pdt.P/2020/PA.Bhn dimana
diberikannya Dispensasi Kawin terhadap perkawinan anak di bawah umur
dikarenakan kehamilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan
mengenai perkawinan bagi wanita hamil, dan akibat hukum penerapan Pasal 53 KHI
mengenai perkawinan bagi wanita hamil sebagai dasar Dispensasi Perkawinan anak
di bawah umur. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan bentuk penelitian
hukum yuridis normatif (doktrinal), dan penggunaan metode analisis data, dengan
pendekatan kualitatif, dimana mengumpulkan data sekunder untuk mendapat
kesimpulan yang berdasar pada peraturan yang terkait. Hasil penelitian yang
didapat, yaitu dengan penerapan Pasal 53 KHI sebagai dasar Dispensasi
Perkawinan anak di bawah umur, menimbulkan akibat hukum yaitu anak tersebut
dianggap sudah dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum, perkawinan tersebut
sah, dan anak yang akan dilahirkan sebagai anak sah.
Kata Kunci:
Kawin Hamil, Dispensasi Kawin, Perkawinan di bawah Umur
Abstract
Marriage is a legal event
that applicable laws and regulations should carry out. However, the rise of
cases of children who become pregnant out of wedlock has become a critical
discussion that has resulted in the legalization of child marriage. According
to Law No. No 16 of 2019 about Revision of Indonesian Law No 1 of 1974 about
Marriage, there is a minimun limit on the age of marriage, namely for men and women
that is 19 years. Article 53 of the KHI regulates marriage for pregnant women,
making exceptions to the marriage age rules so that they can still carry out
marriage even though the woman is a minor, provided that the man who marries
her is the man who impregnated her. Marriage dispensation may be granted by applying
with the Religious Court in such cases. This study discusses the Bintuhan
Religious Court Decision Number 87/Pdt.P/2020/PA. Bhn. is written where the
granting of Marriage Dispensation against the marriage of minors due to
pregnancy. This study aims to determine the regulation of marriage for pregnant
women and the legal consequences of applying Article 53 of the KHI regarding
marriage for pregnant women as the basis for the Dispensation of Marriage of
minors. In this research on these issues, normative (doctrinal) juridical legal
research forms are used, and data analysis methods are used with a qualitative
approach, namely by collecting secondary data so that conclusions can be drawn
based on related regulations. The results of the research obtained by applying Article
53 KHI as the basis for the Dispensation of Marriage of minors have legal
consequences, namely that the child has been considered an adult and is
considered capable of performing legal acts, the marriage is valid, and the
child will be born as a legal child.
Keywords:
Pregnant Marriage, Dispensation of Marriage, Underage Marriage
Pendahuluan
Pengertian
mengenai perkawinan memiliki arti dari berbagai sudut pandang. Menurut
ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
�perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa�. Perkawinan dipandang
sebagai suatu pertistiwa hukum, yang harus dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan dengan tujuan yang baik dan mulia serta tidak melanggar
ketentuan aturan yang berlaku (Kamal Muchtar, 1974).
Perkawinan
mempunyai hubungan yang erat dengan agama, hal ini dikarenakan perkawinan bukan
hanya hubungan jasmani saja, tetapi juga rohani. Perkawinan yang sah yaitu
apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam Agama Islam,
perkawinan bukan hanya betujuan untuk
mendapatkan keturunan , melainkan juga bertujuan untuk
mendapat ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup baik di dunia maupun di
akhirat. Al-Qur'an menguraikan bahwa pernikahan adalah suatu bentuk perjanjian
yang kokoh dan sacral (Ahmad Azhar Basyir, 1999). Tujuan dari perkawinan yaitu
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan Rahmah,
dimana perkawinan merupakan misaqan ghaliza atau ikatan yang
sangat kuat, dan melaksanakannya termasuk ibadah (Kompilasi Hukum Islam, 1991).
Oleh karena perkawinan
merupakan suatu peristiwa hukum, maka yang melaksanakannya harus memenuhi
syarat yang sudah diatur dalam perundang-undangan. Salam satunya mengenai
syarat kecakapan melakukan perbuatan hukum yaitu telah dewasa (Sayuti Thalib,
2007). Sebagaimana perkawinan pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, maka aturan dalam undang-undang ini pada prinsipnya harus diaati
oleh semua golongan masyarakat. Terkait hal tersebut, calon suami dan istri
diharapkan telah matang secara jiwa raganya, agar dapat membina rumah tangga
dan perkawinan yang baik. Dimana dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan, telah diatur batas usia kawin bagi wanita 16 tahun dan pria adalah
19 tahun, yang kemudian ketentuan tersebut telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila
pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Dimana berdasarkan persyaratan
tersebut, jika calon mempelai di bawah umur yang sudah disebutkan, maka yang
bersangkutan dianggap belum dewasa dan tidak cakap dalam melakukan perbuatan
hukum berupa perkawinan.
Namun dengan adanya Undang-Undang No. 16 Tahun
2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, memberikan kemungkinan untuk dapat dilakukan perkawinan di bawah
umur. Dimana
dalam keadaan yang sangat memaksa, perkawinan di bawah umur dapat dilaksanakan
dengan adanya Dispensasi Kawin dari Pengadilan atas permohonan orang tua. Ada
permasalahan di masyarakat yaitu kehamilan , dimana dari faktor sosiologis yang
banyak terjadi saat ini, semakin maraknya pergaulan bebas yang menyebabkan
terjadinya hamil di luar nikah, yang dilatarbelakangi oleh faktor kurangnya
pengawasan dari orang tua dan faktor-faktor lain yang
dapat menjerumuskan anak ke dalam pergaulan bebas (Djamil Latif, 1985).
Untuk kasus-kasus
hamil di luar nikah, dalam agama Islam, perkawinan bagi wanita hamil atau
disebut juga kawin hamil diperbolehkan terjadi. Dimana sudah diatur dalam Pasal
53 KHI. Dalam pasal tersebut menerangkan tentang kebolehan untuk melaksanakan
perkawinan bagi wanita hamil di luar nikah. Walaupun begitu, terdapat ketentuan
yang harus diperhatikan guna melangsungkan perkawinan tersebut, yaitu bisa
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, selain itu perkawinan dapat dilakukan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, selain itu jika dilangsungkannya
perkawinan pada saat wanita tersebut hamil, maka tidak perlu perkawinan ulang
setelah anak tersebut lahir.
Oleh karena itu
dengan adanya Pasal 53 KHI mengenai kawin hamil tersebut, menjadi dasar bagi
Hakim dalam menetapkan Dispensasi Kawin bagi perkawinan anak di bawah umur. Penelitian
ini membahas Putusan Pengadilan Agama Bintuhan Nomor 87/Pdt.P/2020/PA.Bhn
dimana Pemohon merupakan orang tua dari anaknya yang telah hamil di luar nikah,
dengan usia kehamilan 3 bulan, yang memohonkan Dispensasi Kawin, agar anaknya
dapat dinikahkan secara dah dengan calon suaminya yaitu pria yang telah
menghamilinya, yang dimana kedua calon mempelai masih di bawah umur.
Dari latar
berlakang yang telah disebutkan di atas, maka dalam penelitian ini dapat
dirumuskan permasalahan-permasalahan yaitu, terkait bagaimana pengaturan
mengenai perkawinan bagi wanita hamil, dan akibat hukum penerapan pasal 53 KHI
mengenai perkawinan bagi wanita hamil sebagai dasar Dispensasi Perkawinan anak
di bawah umur berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Bintuhan Nomor
87/Pdt.P/2020/PA.Bhn. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
penulis dan pembaca di bidang Hukum Islam serta Hukum Perdata, serta dapat memberikan
masukan bagi para praktisi hukum yang terkait, agar dapat meningkatkan
kinerjanya di bidang hukum demi menegakkan keadilan dan menjamin kepastian
hukum.
Metode Penelitian
Metode
penelitian adalah unsur yang harus ada dalam suatu penelitian ilmiah, karena
dapat membantu peneliti dalam menelaah masalah yang dihadapi dengan teori yang
ada, lalu menghubungkannya dengan kenyataan yang terjadi. Bentuk penelitian yang
digunakan adalah penelitian yuridis normatif (doktrinal), yaitu penelitian yang
mengkaitkan pada aturan hukum yang ada dalam peraturan
perundang-undangan atau norma tertulis (Sri Mamudji et
al., 2005), yang
dilakukan melalui studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah jenis data sekunder yang dimana data diperoleh dari kepustakaan. Penulis
dalam mencari data sekunder tersebut dalam penelitian ini menggunakan alat
pengumpulan data studi dokumen meliputi studi bahan- bahan hukum. Data-data yang diperoleh lalu dianalisis dengan
menggunakan metode analisis data dengan pendekatan kualitatif, yaitu pengumpulan
data sekunder lalu ditarik kesimpulan yang berdasarkan peraturan yang terkait sehingga
dapat menjawab rumusan permasalahan dalam penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
Perkawinan Bagi Wanita
Hamil
Pergaulan bebas
antara dua insan yang berlainan jenis semakin marak
terjadi bahkan sampai mengakibatkan banyak terjadinya kasus kehamilan di
luar nikah. Sebetulnya suatu kehamilan itu bisa terjadi oleh karena hasil dari
perkawinan yang sah atau dari hubungan akibat perkosaan, atau hasil dari
hubungan suka sama suka yang dilakukan di
luar nikah yang dapat disebut dengan perzinahan (M. Anshari MK, 2010).
Dimana
perkawinan wanita hamil adalah perkawinan yang didahului adanya sebab perzinahan
yang mengakibatkan terjadi kehamilan di luar nikah. Dapat disebut juga dengan kawin
hamil, yaitu kawin dengan seorang wanita yang telah hamil diluar nikah baik
dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya, maupun yang bukan menghamilinya. Tujuan
dari perkawinan wanita hamil yaitu agar memberikan status yang jelas dan sah
bagi anak yang sedang dikandungnya. Sejatinya setiap anak yang dilahirkan dari
seorang wanita atau ibu, baik itu dilahirkan dalam perkawinan maupun di luar
perkawinan, anak tersebut tetap mempunyai status dan kondisi yang fitrah, suci
dan bersih tanpa dosa dan noda. Sekalipun kedua orang tuanya melakukan
perzinahan tetapi anak yang dilahirkan
tidak membawa dosa turunan dari perbuatan ayah dan ibunya.
Menurut
pendapat Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah berkata: �Hukum menikahi wanita
pezina telah dinyatakan keharamannya oleh Allah dengan tegas dalam Surat
An-Nur. Allah memberitahukan, bahwa siapa Adakalanya orang terikat dengan
hukum-Nya serta mengimani kewajiban-Nya kepada dirinya atau tidak. Jika tidak
terikat dan tidak mengimaninya, maka dia musyrik. Jika terikat dan mengimani kewajiban-Nya,
tetapi menyalahinya, maka dia disebut pezina. Kemudian Allah dengan tegas menyatakan keharamannya: Yang demikian diharamkan atas orang-orang
Mukmin.� (Q.S. An-Nur [24]: 3).
Dalam Pasal 4 KHI menegaskan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Perkawinan. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan
bahwa syarat sahnya perkawinan itu jika hanya dilakukan berdasarkan hukum agama
masing-masing. Apabila orang tersebut beragama Islam maka harus berdasarkan
tata cara perkawinan yang berasal dari agama Islam.
Begitu juga sebaliknya, orang yang beragama selain Islam harus melaksanakan
perkawinan berdasarkan aturan yang berasal dari agama dan kepercayaannya.
Dimana
pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan
menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing (Soerjono Soekanto, 1980).
Dapat dikatakan bahwa kawin hamil secara implisit terkait dengan pasal
tersebut, karena konsep perkawinan bagi wanita hamil tersebut terdapat dalam
ajaran Islam yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun memang secara
eksplisit undang-undang perkawinan tidak mengatur mengenai perkawinan wanita
hamil tersebut. Sehingga menurut Undang-undang Perkawinan syarat sah nya
perkawinan itu jika perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum agama
masing-masing, dan apabila menyalahi ketentuan dari hukum agamanya tersebut
maka perkawinan yang dilakukan dianggap batal dan tidak sah. Hal itu juga
berdampak dengan hubungan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan yang
melangsungkan perkawinan tersebut bukan sebagai hubungan suami isteri melainkan
dianggap sebagai zina (Gatot Supramono, 1998).
Di dalam perkawinan wanita hamil karena
zina, terdapat beberapa pendapat yang berbeda mengenai hal tersebut. Sebagian
ulama sepakat bahwa wanita dapat menikah sah dengan pria yang menghamilinya, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum menikahi
bagi orang yang bukan menghamilinya. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan
ulama tersebut disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memahami �larangan
menikahi pezina�. Beberapa pendapat tersebut yaitu (Moh. Nafik, 2018):
a.
Mazhab Syafi�i
Mazhab ini memperbolehkan perkawinan wanita hamil
akibat zina, baik dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, maupun laki-laki yang
tidak menghamilinya, tanpa harus menunggu bayi sedang dikandungnya lahir.
b.
Mazhab Hanafi
Mazhab ini mengemukakan pendapat yang hampir sama, yaitu perkawinan bagi wanita hamil merupakan sah, dengan
ketentuan pria yang menghamilinya yang menikahinya. Namun dapat juga yang
menikahinya bukan pria yang menghamilinya, dan perkawinan tersebut tetap sah,
tetapi dengan ketentuan tidak boleh berhubungan intim dengan si wanita sampai ia melahirnya bayi yang sedang dikandungnya.
b.
Mazhab Hanbali
Mazhab
Hanbali menyatakan menikahi wanita hamil dibolehkan dengan syarat (Zainudin Ali , 2006) :
1.
Bertaubat dengan
taubat nashuha.
2.
Kehamilannya telah
berakhir atau masa iddahnya habis.
Dimana yang menikahinya boleh pria yang menghamilinya,
atau yang bukan menghamilinya, yang dilakukan setelah si wanita tersebut bertaubat,
yaitu dengan taubat nashuha.
c.
�Imam Maliki
Menurut
Imam Maliki, perkawinan wanita hamil tersebut diperbolehkan dan sah, asalkan
yang mengawininya adalah pria yang menghamilinya. Keduanya boleh dikawinkan dan
boleh bercampur, dengan ketentuan bila telah bertaubat.
d.
Ibnu Hazm (Zhahiriyah)
Menurut
Ibnu Hazm (Zhahiriyah) perkawinan wanita hamil tersebut diperbolehkan
dan sah, dan boleh bercampur dengan ketentuan bila mereka telah bertaubat,
serta menjalani hukum dera (cambuk) karena keduanya telah berzina (Abd. Aziz
Dahlan, 1999).
Selain daripada pendapat-pendapat
di atas, namun terdapat juga pendapat lain mengenai perkawinan bagi wanita
hamil, seperti menurut Al-Imam Ahmad Bin Hambal,
dimana seorang wanita sedang hamil, tidak boleh menikah atau dinikahi sampai ia
melahirkan kandungannya, dan melanggar, maka
akad tersebut dianggap tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits dari Ruwaifi� Bin Tsabit, bahwa Rasulullah
bersabda: �tidak halal bagi seseorang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiram airnya pada tanaman lain�.
Pasal 53 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Mengenai Perkawinan Bagi Wanita Hamil
Ketentuan mengenai Perkawinan bagi wanita hamil atau
kawin hamil secara khusus diatur dalam Pasal 53 KHI. Dalam pasal tersebut
menerangkan tentang kebolehan untuk melaksanakan perkawinan bagi wanita hamil
di luar nikah. Walaupun begitu, terdapat ketentuan yang harus diperhatikan guna
melangsungkan perkawinan tersebut, yaitu ayat (1), seorang wanita hamil di luar
nikah bisa dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Selanjutnya pada ayat (2),
perkawinan dengan wanita hamil yang dimaksud dalam ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa harus menunggu kelahiran anaknya. Kemudian ayat (3), dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita itu hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anaknya lahir.
Pasal 53 KHI tersebut menimbulkan perdebatan dan
perbedaan pendapat dari berbagai kalangan. Dari segi kontra, hal ini dinilai
memberikan kelonggaran bahkan ketentuan dalam pasal ini bisa dijadikan sebagai
payung hukum bagi mereka yang melakukan perzinahan. Dalam ketentuan ini
terkesan justru tidak memberikan hukuman bagi pihak yang melakukan perzinahan,
melainkan memberi solusi kepada wanita yang hamil akibat perzinahan, untuk dapat
melaksanakan perkawinan. Namun demikian, pasal 53 KHI tersebut mendasarkan pada
alasan logis, dan diniliai bisa dijadikan dasar hukum untuk diterapkan, demi
menegakkan hukum dan menciptakan keadilan bagi masyarakat Indonesia.
Pengaturan mengenai perkawinan bagi wanita hamil dalam
pasal 53 KHI, secara tegas dibatasi hanya boleh perkawinan dengan pria yang menghamilinya.
Tidak boleh menikah dengan pria yang tidak menghamilinya. Hal ini sebetulnya
banyak terjadi di Indonesia, dimana ketika wanita itu hamil diluar nikah
kemudian menikah dengan sembarang laki-laki dengan tujuan untuk menutupi malu
karena sudah terlanjur hamil. Ada tiga aspek yang menjadi
landasan hukum atas terbitnya ketentuan pasal 53 KHI ini yaitu (Nurul Huda,
2009):
a.
Aspek
Filosofis
Ketentuan dalam Pasal 53 KHI ini berlandaskan
pada aspek filosofis yang mana pasal ini dimaksudkan untuk melindungi
keberlangsungan hidup bagi wanita hamil diluar nikah, menjaga kelangsungan
hidup anaknya supaya nanti setelah lahir anak tersebut bisa melangsungkan
kehidupannya secara normal dan tidak kehilangan haknya sebagai manusia secara
individu maupun sebagai anggota masyarakat, serta tidak mengganggu kehidupannya
dalam bersosialisasi dalam masyarakat. Atas dasar itulah maka ketentuan dalam Pasal 53
KHI membolehkan wanita hamil di luar nikah untuk melangsungkan perkawinan dengan
laki-laki yang menghamilinya.
Selain itu juga hal ini dimaksudkan guna
menghindari dampak negatif lain yang akan diterima oleh wanita dan anak yang
dikandungnya sebagai pihak yang paling merasakan akibatnya. Hal lain yang diharapkan
dengan adanya ketentuan ini adalah menjadi landasan untuk pihak wanita
yang hamil di luar nikah tersebut agar dapat menuntut tanggungjawab dari pihak
laki-laki dan diwujudkan dengan melangsungkan perkawinan serta menjalankan
kewajiban-kewajibannya sebagai suami.
b. Aspek Sosiologis
Aspek sosiologis ini melihat bahwa di kalangan
masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan mengenai
kehamilan wanita di luar nikah yaitu
dengan melangsungkan perkawinan antara wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran
anak yang dikandung. Hal ini dimaksudkan untuk menutup aib mengenai kehamilannya supaya tidak diketahui oleh masyarakat
disekitarnya.
Dalam merespon perzinahan ini
biasanya masyarakat melakukan pengasingan terhadap pelaku zina tersebut, bahkan
bisa sampai kepada keturunan dan keluarganya yang sebetulnya tidak melakukan dosa
namun harus menerima pengasingan itu. Oleh sebab itu guna menjamin kelangsungan
hidup dari pelaku zina terutama anak atau keturunanya nanti, maka perlu adanya
payung hukum berupa ketentuan yang mengatur mengenai kebolehan untuk
melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil karena zina.
c. Aspek Psikologis
Kehamilan bagi sebagian wanita yang terikat dalam
suatu perkawinan yang sah adalah suatu anugerah yang paling ditunggu-tunggu
kehadirannya. Namun lain hal apabila kehamilan
tersebut disebabkan karena
zina, biasanya kehamilan
tersebut menjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dihadapkan dengan situasi
seperti ini tentu membuat wanita menjadi pihak yang paling merasakan tekanan
psikologis yang sangat kuat. Si wanita merasa beban yang sangat berat dengan
aib yang ia tanggung, menderita tekanan psikologis
yang sangat hebat atas akibat kehamilannya di luar nikah dan akan semakin
memburuk apabila si laki-laki tidak diperbolehkan untuk bertanggungjawab atas
kehamilan tersebut. Maka harus segara dilangsungkan perkawinan agar menghindari
dari situasi yang lebih buruk seperti aborsi dan yang lebih parah sampai bunuh
diri.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut
diatas, dapat ditarik kesimpulan pada dasarnya Pasal 53 KHI memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia, seperti
halnya untuk melindungi Hak Asasi Manusia,
serta dapat menjaga anak dari fitnah yang kemungkinan didapatnya dikeesokan
hari. Selain itu pasal 53 KHI ini dapat
menjadi payung hukum bagi seseorang wanita yang telah hamil di luar nikah,
sehingga dapat menikah dengan pria yang menghamilinya dan memperjelas status
anak yang nanti dilahirkannya.
Dispensasi Perkawinan
Anak di Bawah Umur
Dispensasi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti, pengecualian dari aturan karena
adanya pertimbangan yang khusus. Menurut Kamus Hukum, dispensasi memiliki arti sebuah
pengecualian terhadap pengaturan hukum atau undang-undang yang seharusnya
berlaku formil (Dzulkifli & Ustman, 2010). Sehingga Dispensasi Kawin itu
sendiri adalah pemberian izin untuk melakukan perkawinan, karena adanya suatu
hal yang mengharuskan untuk dilakukannya perkawinan itu. Dalam hal ini,
terdapat pengecualian dari aturan, karena adanya pertimbangan yang khusus bagi laki-laki
maupun perempuan yang belum memenuhi persyaratan untuk menikah, sehingga Pengadilan
Agama dapat memberikan Dispensasi Kawin kepada pemohon.
Salah satunya
terkait dispensasi perkawinan untuk anak di bawah umur dikarenakan kehamilan.
Dimana pada dasanya dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, telah
diatur batas usia kawin bagi wanita 16 tahun dan pria adalah 19 tahun, yang
kemudian ketentuan tersebut telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita
sudah mencapai umur 19 tahun. Jika dalam Hukum Islam, khususnya Al Qur�an dan
hadits tidak menyebutkan secara spesifik batas usia
minimum untuk melaksanakan perkawinan. Persyaratan umum yang lazim dikenal yaitu
tanda baligh dimana jika wanita telah mengalami menstruasi dan jika pria
telah mengeluarkam air mani, selain itu berakal sehat,
bisa membedakan yang baik dan buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya
untuk menikah (Ahmad Rofiq, 1997).
Jika menurut ketentuan
di dalam Pasal 15 KHI, diatur mengenai batas minimum umur calon mempelai adalah
sesuai dengan undang-undang yang berada di atasnya yaitu Undang-Undang
Perkawinan. Hanya saja, batasan ini dapat disimpangi dengan mengajukan Dispensasi
Perkawinan ke Pengadilan Agama yang diajukan oleh kedua orang tua baik dari
pihak wanita atau pihak pria, dengan alasan hukum agama dan kepercayaan masing
masing yang bersangkutan. Mengenai prosedur permohonan Dispensasi Kawin diajukan
oleh orang tua calon mempelai, dimana prosedur permohonan tersebut sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 jo.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PERMENAG No. 3 Tahun
1975.
Adapun
alasan-alasan untuk permohonan Dispensasi Perkawinan di Pengadilan Agama seperti
diantaranya adalah masih di bawah umur yang telah hamil di luar nikah, memiliki
hubungan yang terlalu dekat sehingga dikhawatirkan terjerumus ke jalan yang
dilarang oleh agama dan peraturan perundang-undangan atau sudah berpacaran
terlalu lama. Meskipun adanya Dispensasi Kawin memberikan kelonggaran bagi
calon suami istri yang belum memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan di
bawah umur, namun bukan berarti setiap permohonan dispensasi dapat dikabulkan.
Karena Pengadilan Agama dapat menolak permohonan dispensasi jika saat dilakukan
pemeriksaan, masih ada hal-hal yang memungkinkan dapat dicegahnya perkawinan di
bawah umur tersebut. Hakim patut memastikan faktanya, yang merupakan
alasan-alasan yang sah untuk Dispensasi Kawin tersebut dapat dikabulkan,
selanjutnya dilakukan pertimbangan hukumnya.
����������� Hakim
kerap menggunakan syllogisme dengan merumuskan premis mayor, premis
minor dan konklusi dalam proses pembuatan putusan. Premis mayor yaitu berbentuk
aturan hukum yang berlaku serta meliputi perkara yang diajukan. Premis minor
yaitu fakta-fakta yang didapatkan dalam persidangan. Konklusi yaitu putusan
hakim mengenai perkara yang diajukan. Dalam perkara Disepensai Kawin, premis
mayor berupa aturan batas usia dalam melakukan
perkawinan. Premis minor adalah fakta persidangan berupa alasan-alasan yang
diajukan oleh pemohon dispensai nikah. Untuk menemukan fakta adanya alasan yang
sah, hakim memilih faktor mana yang benar-benar relevan sebagai alasan
dispensai nikah melalui bukti-bukti yang ada. Dengan kata lain, faktor yang
diajukan sebagai alasan, harus didukung bukti, sebagai dasar hakim membuat
putusan.
Penerapan Pasal 53
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Mengenai Perkawinan Bagi Wanita Hamil Sebagai Dasar
Dispensasi Perkawinan Anak Di Bawah Umur diketahui terjadi dalam Putusan
Pengadilan Agama Bintuhan Nomor 87/Pdt.P/2020/PA.Bhn. Dimana Pemohon merupakan
orang tua dari anaknya yaitu wanita (berumur 16 tahun 10 bulan) yang telah
hamil di luar nikah. Pemohohon mengajukan Dispensasi Kawin ke Pengadilan Agama
Bintuhan, agar anaknya dapat dinikahkan secara sah dengan calon suaminya yang
merupakan pria yang telah menghamili anaknya (berumur 17 tahun), yang dimana keduanya
masih di bawah umur untuk melangsungkan perkawinan.
Keterangan Pemohon
tentang kondisi anaknya, yaitu telah tamat Sekolah Menengah Pertama dan telah kelas
III SMK. Sejak diketahuinya dalam kondisi hamil maka anak Pemohon tidak bisa
lagi melanjutkan untuk menamatkan pendidikannya, anak Pemohon dengan calon
suaminya saling mencintai, sangat akrab dan telah terlanjur melakukan perbuatan
zina, serta anak Pemohon telah dalam kondisi hamil 3 bulan. Rencana perkawinan
ini atas dasar kerelaan kedua belah pihak dengan sadar tanpa ada paksaan, dan
telah dilaksanakannya proses peminanagan yang telah diterima oleh Pemohon
dengan kesanggupan dari kedua orang tua untuk membina, membantu dan mendidik
anak-anaknya dalam menjalani rumah tangga nantinya.
Dimana dalam hal
ini, berarti sudah adanya restu dan izin dari kedua orang tua mereka, sehingga
tidak terdapat larangan yang menghalangi mereka untuk menikah. Dikarenakan
syarat-syarat perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan(2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, jo. Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 16 (1) dan
(2) Kompilasi Hukum Islam, mengenai perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai dan seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua telah terpenuhi, akan tetapi karena
usia anak Pemohon baru 16 tahun sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila
pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Namun dikarenakan sudah adanya
izin dari orang tua, maka dapat menjadi pertimbangan hakim untuk mengabulkan
permohonan tersebut.
Terlebih dikaitkan pula dengan kondisi
anak pemohon yang telah hamil 3 bulan, sehingga hal ini mengakibatkan adanya
penerapan pasal 53 KHI mengenai perkawinan bagi wanita hamil sebagai dasar Dispensasi
Perkawinan anak di bawah umur tersebut, yaitu wanita hamil dapat dikawinkan
dengan pria yang menghamilinya, tanpa menunggu anaknya lahir terlebih dahulu.
Dimana hakim menitikberatkan pada alasan dan pasal tersebut dalam menangani
permohonan Dispensasi Kawin tersebut. Hakim juga menggunakan dasar hukum lain
yakni Kaidah Fiqih yang berbunyi : " Menghindari kerusakan didahulukan dari
menimbulkan kemaslahatan" . Serta tidak ada hubungan mahram baik dari segi nasab
maupun radlo'ah (susuan) dengan demikian maka perkawinan tersebut dapat
dilangsungkan.
Sehingga dengan adanya penerapan pasal 53
KHI mengenai perkawinan wanita hamil sebagai dasar Dispensasi Perkawinan anak
di bawah umur tersebut, menimbulkan akibat hukum setelah perkawinan itu
dilaksanakan yaitu anak yang melangsungkan perkawinan tersebut dianggap telah
dewasa dan memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, yang dimana
tidak berada di bawah pengampuan orang tuanya lagi. Selain itu, dikarenakan
perkawinannya sah, maka anak yang dilahirnya dalam perkawinan tersebut menjadi
anak sah. Serta mengakibatkan timbulnya hubungan keperdataan antara anak dengan
kedua orang tuanya terhadap harta benda perkawinan,
yang dimana nantinya terkait dalam hal kewarisan. Oleh karena itu, pada dasarnya
Pasal 53 KHI memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia, seperti halnya untuk
melindungi Hak Asasi Manusia, serta dapat menjaga anak dari fitnah yang
kemungkinan didapatnya dikeesokan hari, serta dapat memperjelas status anak
yang nanti dilahirkan. Namun
diharapkan, penerapan Pasal 53 KHI ini tidak diterima begitu saja sebagai dasar
pengabulan permohonan dispensasi perkawinan anak di bawah umur. Tetapi juga
harus disertakan bukti-bukti yang kuat dan memenuhi persyaratan dispensasi
kawin tersebut.
Kesimpulan
Perkawinan
merupakan peristiwa hukum yang seharusnya dapat dilaksanakan sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Namun, maraknya kasus anak yang
hamil di luar nikah, menjadi pembahasan penting yang mengakibatkan adanya
pengesahan bagi perkawinan anak di bawah umur. Menurut Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terdapat batas minimun dalam usia kawin yaitu bagi pria dan wanita
adalah 19 tahun. Dengan adanya Pasal 53 KHI yang mengatur mengenai perkawinan
bagi wanita hamil (kawin hamil), membuat pengecualian terhadap aturan mengenai
usia kawin, sehingga tetap bisa melangsungkan perkawinan walaupun wanita
tersebut masih di bawah umur, dengan syarat pria yang mengawininya adalah pria
yang menghamilinya. Dalam kasus seperti itu, dapat diberikan Dispensasi Kawin
dengan diajukannya permohonan ke Pengadilan Agama.
Terkait Putusan
Pengadilan Agama Bintuhan Nomor 87/Pdt.P/2020/PA.Bhn dimana diberikannya
Dispensasi Kawin terhadap perkawinan anak di bawah umur dikarenakan kehamilan.
Hasil penelitian yang didapat, yaitu dengan penerapan Pasal 53 KHI sebagai
dasar Dispensasi Perkawinan anak di bawah umur, menimbulkan akibat hukum yaitu
anak tersebut dianggap sudah dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum,
perkawinan tersebut sah, dan anak yang akan dilahirkan sebagai anak sah, serta
timbulnya hubungan keperdataan antara anak dengan kedua orangtuanya terhadap
harta benda perkawinan, yang dimana nantinya terkait dalam hal kewarisan.
Diharapkan hakim dalam
menangani permohonan dispensasi nikah, dapat lebih cermat dan teliti dalam
memeriksa alasan-alasan yang diajukan dengan kesesuaian fakta dan bukti-bukti
dalam persidangan. Sehingga penerapan Pasal 53 KHI mengenai perkawinan bagi
wanita hamil tidak saja diterima begitu saja sebagai dasar pengabulan
permohonan dispensasi perkawinan anak di bawah umur. Tetapi juga harus
disertakan bukti-bukti yang kuat dan memenuhi persyaratan dispensasi kawin
tersebut.
Serta, perlunya
penyuluhan bagi anak muda dan para remaja yang masih di bawah umur tentang
bahayanya pergaulan bebas dan pernikahan anak yang di bawah umur, dimana dapat
terjadi resiko terhentinya pendidikan, kesiapan berketurunan, kematangan jiwa,
kemampuan ekonomi, dan bermasyarakat, juga kemungkinan adanya ketidakstabilan
psikologis yang merembet kepada KDRT. Sehingga dengan penyuluhan tersebut
diharapkan dapat menekan angka pernikahan dini. Serta pentingnya peran orang
tua pula dalam menjaga anaknya, agar terhidar dari hal yang tidak diinginkan.
BIBLIOGRAFI
Hoedojo, R.,
& Sungkar, S. (2013). Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Parasitol
Kedokt Ed Keempat Jakarta: Badan Penerbit Fak Kedokt Univ Indones.
Indrayati, S.,
Sari, R. I., & others. (2018). Gambaran Candida albicans pada Bak Penampung
Air di Toilet SDN 17 Batu Banyak Kabupaten Solok. J Kesehat Perintis, 5(2),
159�164.
Desi Pramita
Sari, & Mawardi Badar. (2019). Hubungan Hygienitas Vagina dengan Kejadian
Candidiasis Vaginalis pada Remaja di Puskesmas Tanjung Sengkuang Kota Batam
Tahun 2018. Prodi DIII Kebidanan, STIKes Mitra Bunda Persada Batam, 1�7.
Mutiawati, V. K.
(2016). Pemeriksaan mikrobiologi pada Candida albicans. J Kedokt Syiah Kuala,
16(1), 53�63.
Lukito, J. I.
(2019). Antifungal Echinocandin. Cermin Dunia Kedokt, 46(2), 131�136.
Mambang, D. E.
P., & Rezi, J. (2018). Efektivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Nangka
(Artocarpus Heterophyllus L) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus
aureus. J Agroteknosains, 2(1).
Pebriyani, R.,
Marcella, S., & Tutik. (2021). Uji Ekstrak Etil Asetat Daun Nangka
(Artocarpus heterophyllus L) Terhadap Candida albicans. J Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan, 8(4).
Kusumawati, E.,
Apriliana, A., & Yulia, R. (2017). Kemampuan Antibakteri Ekstrak Etanol
Daun Nangka (Atrocarpus Heterophyllus Lam.) Terhadap Escherichia coli. J Sains
dan Kesehat, 1(7), 327�332.
Hidayat, Y. A.,
Marlina, E. T., & DZB. (2017). Pemanfaatan Daun Nangka (Artocarpus
Heterophyllus Lamk) sebagai Disinfektan Mesin Tetas Telur Itik terhadap Cameran
Bakteri. J Kedokt dan Kesehat Publ Ilm Fak Kedokt Univ Sriwij.
Setiati, S.,
Alwi, I., Sudoyo, B. S., & others. (2018). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi Ke VI. Jakarta: InternaPublishing.
Nuri, N.,
Puspitasari, E., Hidayat, M. A., & others. (2020). Pengaruh Metode
Ekstraksi terhadap Kadar Fenol dan Flavonoid Total, Aktivitas Antioksidan serta
Antilipase Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia). J Sains Farm & Klin,
7(2), 143�150.
Lestari, D. W.,
Atika, V., Isnaini, I., Haerudin, A., & Arta, T. K. (2020). Pengaruh PH
Ekstraksi Pada Pewarnaan Batik Sutera Menggunakan Pewarna Alami Kulit Kayu
Mahoni (Switenia Mahagoni). J Rekayasa Proses, 14(1).
Pebriyani, R.,
Marcellia, S., & Tutik. (2021). Uji Aktivitas Ekstrak Etil Asetat Daun
Nangka (Artocarpus heterophyllus L) terhadap Candida albicans. J Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan, 8(1).
Majid, N. S.
(2019). Formulasi Dan Uji Efektivitas Krim Antibakteri Ekstrak Daun Nangka
(Artocarpus Heterophyllus Lam.) Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus. Manado:
Pharmacon.
Serly, R. R.
(2020). Uji Efek Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Nangka (Artocarpus
Heterophyllus L) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus. Medan:
Jurnal Farmakologi.
Pebriyani, R.
(2020). Uji Aktivitas Ekstrak Etil Asetat Daun Nangka (Artocarpus Heterophyllus
L.) Terhadap Candida Albicans. Mahalayati: Jurnal Kesehatan.
Nikmah, N. R.
(2020). Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Salam Terhadap Pertumbuhan Jamur Candida
Albicans. Jombang: Jurnal Farmakologi.
Copyright holder: Dhiya Dinar Kuswulandari, Flora Dianti (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |