Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022
PROBLEMATIKA KEWENANGAN DALAM PEMUNGUTAN DAN PENGOLAAN PAJAK ROKOK
Doni Fanni Septyandi
Terok1*, Lingga Parama Liofa2
1*,2 Magister
Ilmu Hukum, Universitas Surabaya, Indonesia
Email:
1*[email protected], 2[email protected]
Abstrak
Kebijakan Pajak di Indonesia mengarah pada pemberian
amanat kepada daerah untuk dikelola secara mandiri. Hal tersebut termasuk juga
berlaku bagi pajak rokok. Namun, berdasarkan ketentuan dalam pasal 34 ayat 4
Undang Undang nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah memberi kewenangan kepada pemerintah daerah namun dibatasi kewenangannya oleh Pemerintah Pusat.
Hal tersebut disebabkan karena
dalam ketentuan pasal tersebut menyatakan untuk
meberikan kewenangan pada setiap daerah untuk melakukan pengeolaan terhadap
pajak rokok namun penyetoran kepada kas daerah
di dasarkan pada jumlah penduduk.
Hal tersebut tentu bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 4 ayat 1 huruf f Undang Undang
nomor 1 tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah yang memberi kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk secara mandiri melakukan pemungutan pajak rokok. Atas dasar hal tersebut,
artikel ini menggunakan rumusan masalah pertama,
bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam
rangka pengelolaan dan pemungutan pajak rokok?. Kedua,
apakah melalui ketentuan dalam pasal 34 ayat 4 Undang Undang nomor
1 tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan bentuk
pembatasan kewenangan pemerintah daerah dalam rangka
menjalankan kewenangan dari otonomi daerah?. Penelitian ini menggunakan
pendekatan normatif yuridis sehingga dalam artikel ini akan
mengkaji peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah dan pemungutan pajak
rokok oleh pemerintah daerah.
Kata kunci: Otonomi Daerah, Pajak Rokok
Abstract
Tax policy
in Indonesia leads to a mandate for regions to manage independently. This also applies
to cigarette taxes. However,
based on the provisions in Article 34 paragraph 4 of Law No. 1 of 2022 concerning
Financial Relations between the Central Government and Regional Governments,
the authority given to regional governments is limited by the Central
Government. This is because the provisions of the article state to give each
region the authority to manage cigarette tax but the deposit to the regional
treasury is based on population. This is certainly contrary to the provisions
in article 4 paragraph 1 letter f of Law number 1 of 2022 concerning Financial
Relations between the Central Government and the Government which authorises local governments to independently collect
cigarette taxes. On the basis of this, this article uses the formulation of the first problem, how is the authority of local governments in the management and collection of cigarette taxes? Secondly, is the provision in Article 34 paragraph 4 of Law No. 1 of 2022 on
Financial Relations between the Central Government and Local Governments a form
of limitation on the authority of local
governments in order to exercise
the authority of regional autonomy? This research uses a normative juridical approach so that this article will examine regulations relating to regional autonomy
and cigarette tax collection by local governments.
Keywords: Regional Autonomy, Cigarette Tax.
Pajak bukan merupakan sebuah hal yang baru dalam kehidupan bernegara. Keberadaannya bahkan memiliki
rentang sejarah tersendiri. Meskipun demikian, pajak pernah mengalami sejarah
kelam. Hal tersebut
terjadi ketika pemerintah kolonial Inggris
memberlakukan pajak di negara jajahannya yakni Amerika Serikat. Terdapat sebuah
slogan yang merupakan salah satu penyebab terjadinaya Revolusi Amerika untuk
menentang kekuasaan Raja George III yakni No Taxation without
Represntation atau dapat diartikan sebagai
tiada pemungutan pajak tanpa perwakilan. Atas dasar slogan tersebut,
terdapat pandangan pemikiran yang menyatakan bahwa Taxation without Representation is Tyrany atau
dalam bahasa terjemahannya yakni pemungutan pajak tanpa perwakilan merupakan
sebuah tirani (A. Ahsin Thohari 2011).
Dengan berlandaskan pada pemikiran tersebut
perkembangan hukum pajak mencapai tahap setiap pungutan pajak yang dilakukan
oleh pemerintah maka harus didasarkan pada sebuah peraturan. Kondisi tersebut
juga berlaku di negara Indonesia yang secara tegas melalui ketentuan dalam
pasal 23 A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dimana
dalam ketentuan pasal tersebut menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang Undang.
Atas
dasar pemikiran tersebut maka diaturlah ketentuan tentang pajak melalui Undang
Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisaasi Peraturan Perpajakan. Namun,
Undang Undang tersebut sudah mengalami beberapa perubahan. Berkaitan dengan
definisi pajak dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1 ayat 1 Undang Undang nomor
28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang Nomor 6 tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam ketentuan
pasal tersebut pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
dengan sifat memaksa yang didasarkan pada undang undang. Dalam ketentuan pasal
tersebut bahkan mendefinisikan dengan mengaitkan pada tujuan dilakukannya pemungutan
pajak yakni digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Penekanan kusus pada aspek tujuan dalam melakukan
pemungutan pajak berusaha diimplementasikan pada politik hukum dalam melakukan pemungutan
pajak. Melalui otonomi daerah, kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat
didelagasikan kepada pemerintah daerah termasuk
dalam hal kewenangan untuk melakukan pemungutan serta melakukan pengelolaan
terhadap pajak (Kader Pamuji, 2014). Tujuan yang ingin dicapai yakni melakukan
pemaksimalan terhadap proses pemungutan pajak. Selain hal tersebut, setiap
daerah memiliki kebutuhan tersendiri sehingga melalui kewenangan dalam
melakukan pengelolaan pajak daerah dapat dimaksimalkan untuk kebutuhan daerah.
Melalui
Undang Undang nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah maka terdapat pola hubungan yang berusaha diatur
oleh undang undang terkait dengan pemungutan dan pengeloaan pajak yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun terdapat permasalahan berupa kekaburan
norma dalam pasal 34 ayat 4 Undang Undang nomor 1 tahun 2022 dimana dalam pasal
tersebut mengatur tentang pajak rokok. Dalam ketentuan pasal tersebut
menyatakan bahwa dalam hal pajak rokok dilakukan pemungutan oleh instansi
pemerintah maka disetor ke rekening kas umum daerah provinsi yang didasarkan
pada jumlah penduduk. Peraturan tersebut menjadi kabur dalam pemakanaan yakni
disebabkan karena keberadaan pendasaran penyotaran pada kas daerah didasarkan
pada jumlah penduduk.
Hal
tersebut bertentangan dengan pasal 4 ayat 1 huruf f Undang nomor 1 tahun 2022
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
menyatakan bahwa pajak yang dapat dipungut oleh pemerintah provinsi yakni salah
satunya adalah pajak rokok. Sehingga dengan adanya pengaturan dalam pasal 34
ayat 4 Undang Undang nomor 1 tahun 2022 yang mengatur sampai pada tahap
penyetoran yang didasarkan pada jumlah penduduk merupakan bentuk pembatasan
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi. Sementara dalam penjelasan pasal tidak dijelaskan maksud dari pasal tersebut.
Dalam perkembangan ilmu hukum, terdapat teori kepastian
hukum yang pada pokok pemikirannya menggariskan adanya kewajiban
untuk merumuskan secara pasti dalam bentuk tertulis, Keberadaan teori ini
bertujuan agar dalam setiap produk hukum yang dibuat untuk menjamin adanya
kejelasan dalam setiap rumusan pasal yang mengatur dalam produk hukum yang
diciptakan. (Julyano dan Sulistyawan, 2019)
Atas
dasar hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti dengan judul Problematika
Kewenangan Dalam Pengelolaan Pajak Rokok. Rumusan masalah dalam penulisan ini
yakni bagaimana kewenangan dalam melakukan pengelolaan pajak rokok? Dengan
rumusan masalah tersebut maka penulis ingin melakukan analisis yang didasarkan
pada kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pemungutan dan pengelolaan
pajak namun justru dalam konteks pajak rokok terdapat pembatasan pendasaran
penyetoran kepada kas daerah yang didasarkan pada jumlah penduduk. Penulis
menggunakan teori kepastian hukum untuk mendapatkan analisa tentang apakah
dengan adanya pembatasan tersebut justru akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kewenangan pemerintah provinsi untuk
menjalankan otonomi daerah dibidang perpajakan.
Metode Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif
yuridis. Pendekatan ini dipilih karena penelitian ini lebih fokus pada analisis
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan otonomi daerah dan
pemungutan pajak rokok oleh pemerintah daerah. Data yang digunakan adalah data
sekunder yang diperoleh dari studi dokumen, berupa undang-undang, peraturan
daerah, dan literatur hukum terkait. Penelitian ini akan mengkaji secara
mendalam ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, khususnya pada pasal 34
ayat 4 yang mengatur mengenai pemungutan pajak rokok oleh pemerintah daerah.
Dalam analisisnya, penelitian ini akan
mempertimbangkan aspek-aspek hukum yang relevan, termasuk prinsip-prinsip hukum
seperti kepastian hukum. Kesimpulan dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam memahami permasalahan kewenangan dalam pemungutan
dan pengelolaan pajak rokok, serta memberikan rekomendasi terkait kejelasan norma dalam konteks otonomi daerah dan perpajakan.
Sejarah dan Perkembangan Pengaturan Pajak Daerah
Dalam
perkembangan dan runutan sejarah tentang pajak daerah, terdapat beragam
peraturan Perundangan Undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat yang sudah
dimulai sejak masa kemerdekaan. Beragam peraturan yang memberi kewenangan untuk
melakukan pemungutan terhadap pajak daerah yakni pertama, Undang Undang Darurat
nomor 11 tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah. Kedua, Undang Undang
Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ketiga, Undang
Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 18 tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam
UU darurat nomor 11 tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah merupakan
undang undang pertama yang mengatur terkait penyelenggaraan pemerintah daerah
di Indonesia. Pasal 14 UU darurat nomor 11 tahun 1957 menyatakan bahwa Daerah
Tingkat II (sekarang disebut Daerah Kabupaten/ Kota) diberikan kewenangan untuk
melakukan pemungutan terhadap pajak daerah. Selanjutnya, pada tahun 1956
pemerintah mengeluarkan UU nomor 32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan
antara Negara dengan Daerah. Dalam pasal 3 ayat 1 menyatakan bahwa terdapat
kewenangan daerah untuk melakukan pemungutan terhadap beberapa jenis pajak dan
dikategorikan sebagai pajak daerah.
Perubahan
terhadap ketentuan tentang pajak daerah dirubah kembali dengan serangkaian
perbaikan yang terjadi pada tahun 1997. Pemerintah menerbitkan Undang Undang
nomor 18 tahun 1997 tengtang Pajak dan Retribusi Daerah. Dalam memberlakukan
Undang Undang ini, pemerintah mempertimbangkan bahwa pajak daerah dan retribusi
daerah merupakan sumber pendapatan daeraj yang penting guna membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Selain
itu, masih terdapat rentetan peraturann yang mengatur tentang kewenangan daerah
dalam melakukan pemungutan dan pengolaan pajak. Hal itu yang mendasari
kewenangan dari setiap daerah secara mandiri untuk melakukan pemungutan dan
pengelolaan pajak. Kedudukan pemerintah daerah merupakan representasi dari
pemerintah pusat dalam ranah untuk mengurus dan mengatur terkait urusan
pemerintahan di setiap daerah. Tujuan yang ingin dicapai yakni adanya efesiensi
dan hal tersebut juga berlaku dibidang perpajakan.
Ketentuan
mengenai sistem pemerintah daerah berubah pasca terjadinya amandemen terhadap
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD NRI Tahun 1945). Sebelum terjadinya amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945,
pengaturan terkait otonomi daerah hanya diatur dalam satu pasal saja. Namun,
setelah terjadinya amandemen maka pengaturan terkait otonomi daerah dirubah
menjadi 3 pasal yang didalamnya terdapat 11 ayat.
Salah
satu perubahan yang cukup signifikan dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945 yakni
terdapat didalam pasal 18 ayat 2 dan pasal 18 ayat 5. Dalam kedua pasal
tersebut menyatakan bahwa pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan pembantuan serta memiliki
otonomi seluas luasnya kecuali terhadap urusan pemerintahan yang telah
ditentukan sebagai urusan dari pemerintahan pusat.
Secara
konseptual, otonomi mensyaratkan untuk memberikan kewenangan seluas luasnya
bagi pemerintah daerah dalam menjalankan urusan pemerintahannya. Namun, hal
tersebut tidak dapat dimaknai untuk memberikan kewenangan sebesar besar atau
memberikan kewenangan tanpa ada batasan batasan tertentu yang harus dipenuhi
oleh setiap penyelenggaran pemerintahan daerah. Batasan tersebut yakni
diharuskan untuk mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan (I
Wayan Arthanaya, 2011). Hal tersebut telah diatur dalam pasal 18 ayat 5 UUD NRI
Tahun 1945 yang pada pokoknya mengatur pembatasan terhadap pelaksanaan otonomi
seluas luasnya, kecuali terhadap urusan yang telah ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat. (Wasisto Raharjo Jati 2012)
Selain
itu, kewenangan dari pemerintah daerah juga meliputi melakukan penetapan
terhadap peraturan daerah dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan
penyelenggaraan dan tugas pembantuan. Namun, seperti yang telah diuraikan
sebelumnya maka kedudukan untuk membuat peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional. Apabila ditarik dalam sebuah
kesimpulan maka dapat dinyatakan bahwa inti dari penyelenggaraan pemerintahan
daerah yakni bermuara pada aspek pelayanan publik.
Negara
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut paham sebagai negara
kesatuan. Secara konseptual, negara dapat dikategorikan sebagai negara kesatuan
apabila kedudukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak
sederajat. Dalam aspek pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah, Presiden
berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan Pusat. Terdapat asas dalam
penyelenggaraan pemerintahan yakni Pertama, desentralisasi yakni pemberian
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pelimpahan
wewenang pemerintahan�
oleh� pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/ atau instansi vertikal di wilayah
tertentu. Pelimpahan kewenangan ini didasarkan pada perintah yang diberikan
kepada pejabat yang telah dilimpahi wewenang dalam rangka untuk melakukan
penyelenggaraan pemerintah pusat di tingkat daerah. Hal tersebut disebabkan
karena pemerintah daerah merupakan wakil dari pemerintah pusat di tingkat
daerah yang bersangkutan.
Asas ini merupakan asas keikutsertaan pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih
luas dan lebih tinggi didaerah tersebut.
Tugas pembantuan merupakan wujud dari dekonsentrasi namun pemerintah tidak membentuk badan sendiri untuk itu yang
tersususn secara vertikal.
Sebuah daerah apabila telah ditetapkan sebagai daerah
otonom maka diberikan hak dan wewenang untuk mengurus dan
menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Namun, dalam pelaksanaannya tetap
untuk mengacu pada peraturan pemerintah pusat. Pemberian kewenangan tersebut
dilaksanakan dalam rangka perlindungan terhadap urusan kepentingan di setiap
daerah yang memiliki corak dan kondisi yang berbeda.
Dasar
hukum terkait kewenangan daerah dalam melakukan penyelenggaraan pemerintah
ditingkat daerah yakni dapat dirujuk dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Apabila merujuk dalam pasal 11 ayat 3 Undang Undang
Nomor 32 tahun 2004 maka membagi urusan pemerintah daerah yakni meliputi urusan
wajib dan urusan pilihan. Dalam pasal 14 ayat 2 menyebutkan bahwa urusan yang
termasuk dalam urusan wajib pilihan bagi pemerintah daerah yakni meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotens untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekakhasan dan potensi unggulan
dari daerah yang bersangkutan. Sementara berkaitan dengan urusan wajib
digariskan dalam ketentuan pasal 11 ayat 2 Undang Undang Nomor 32 tahun 2004
terdiri atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
Dalam
perkembangan peraturan yakni melalui Undang Undang nomor 1 tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten untuk melakukan
pengelolaan dan pemungutan pajak. Bahkan kewenangan yang dimiliki daerah sampai
pada tahap pembuatan surat pajak daerah. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa terdapat usaha dari pemerintah pusat untuk berusaha
menerapkan asas-asas dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal ini yakni
asas otonomi dan tugas pembantuan. Namun, prinsip yang harus dipegang bagi
setiap daerah yakni dalam setiap aspek pengelolaan dan pemungutan pajak daerah
tidak diperbolehkan oleh kontitusi untuk bertentangan dengan kepentingan
nasional. Kerena sebagaimana yang telah diuraikan di atas Kebijakan
desentralisasi membawa konsekuensi daerah mempunyai kebebasan untuk mengatur
dan mengurus sendiri dengan pengawasan dari Pemerintah Pusat atau satuan
pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya dari daerah yang bersangkutan. Akan
tetapi dengan adanya pengawasan dari Pusat, maka kebebasan yang dimiliki oleh
daerah tidak mengandung arti adanya kemerdekaan, apalagi jika dikaitkan bahwa
Indonesia adalah negara hukum, maka segala kebijakan harus mendasarkan pada
aturan hukum yang berlaku. Salah satunya mengenai pemungutan pajak rokok
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat 4 Undang-undang nomor 1 tahun 2022
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dimana
dalam pasal tersebut mengatur bahwa Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum
daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Akan tetapi
dengan adanya aturan tersebut membuat kewenangan pemerintah daerah dibatasi
karena dalam pasal tersebut jumlah pajak yang harus dipunggut langsung
ditentukan tidak diserahkan kepada pemerintah daerah yang dimana dalam hal
pajak rokok diberikan wewenang untuk melakukan pemungutan pajak rokok
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Huruf F Undang-undang Nomor 1 tahun 2022
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah
Pemerintah Daerah Provinsi. Sebagaimana diketahui pula Pajak Rokok masuk dalam
kategori pajak provinsi yang menjadi penyempurna kebijakan dan peraturan pajak
daerah dalam bentuk perluasaan objek pajak daerah. Hal ini bermakna bahwa Pajak
Rokok ini nantinya akan menjadi sumber pendapatan asli
daerah (PAD). Akan tetapi dalam pasal tersebut terdapat suatu permasalahan
dimana untuk tarif pajak yang dikenakan berdasarkan
jumlah penduduk yang dimana menyebabkan Multitafsir tidak dijelaskan maksud dari jumlah penduduk itu seperti
apa, apakah jumlah penduduk konsumen rokok atau jumlah
penduduk secara nasional atau berdasarkan jumlah penduduk
provinsi. Dengan adanya aturan tersebut
juga bertolak belakang dengan
tujuan dibentuk kebijakan desentralisasi yang dimana memiliki maka daerah
mempunyai kebebasan (vrijheid) untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya.
Kesimpulan
Dalam
amandemen UUD NRI Tahun 1945 yakni terdapat didalam pasal 18 ayat 2 dan pasal 18 ayat 5. Dalam kedua pasal tersebut
menyatakan bahwa pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi
dan pembantuan serta memiliki otonomi seluas luasnya kecuali
terhadap urusan pemerintahan yang telah ditentukan sebagai urusan dari
pemerintahan pusat. Dalam hal pajak rokok pemerintah daerah yang dimana
diberikan wewenang untuk melakukan pemungutan pajak rokok sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 4 Huruf F Undang-undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Akan tetapi dengan
adanya Pasal 34 ayat 4 Undang- undang nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dimana dalam pasal tersebut
mengatur bahwa Pajak Rokok yang dipungut
oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening
kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk
memberikan batasan kepada pemerintah daerah dalam mengurus rumah tangganya
sendiri khususnya dalam hal pemungutan dan pengelolaan pajak rokok yang dimana
dalam pasal tersebut pemerintah pusat turut serta menentukan jumlah tarif pajak
rokok seharusnya berdasarkan Pasal 18 ayat 2 dan Pasal 18 ayat 5 UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 4 Huruf F Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sangat jelas memberikan kebebasan kewenangan pemerintah provinsi yang mengelola dan melakukan pungutan
pajak rokok dan dengan adanya Pasal 34 Ayat 4 Udang-undang Nomor 1 Tahun
2022 juga menentukan jumlah punggutan pajak rokok berdasarkan jumlah penduduk
yang tidak dijelaskan secara rinci maksud dari jumlah penduduk itu seperti apa yang menimbulkan multitafsir.
A. Ahsin Thohari.
2011. �Epistemologi Pajak,
Perpektif Hukum Tata Negara�, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 8 No. 1:
69�77
I
Wayan Arthanaya. 2011. �Otonomi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah�, Jurnal Kertha Wicaksana, 17: 178
Julyano, Mario, and Aditya
Yuli Sulistyawan. 2019. �Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui
Konstruksi Penalaran� Positivisme� Hukum�,� CREPIDO,� 1.1:� 13�22
<https://doi.org/10.14710/crepido.1.1.13-22>
Kader Pamuji.
2014. �Kebijakan Pengelolaan Pajak Daerah Dalam
Kerangka Penyelenggaraan
Otonomi Daerah �, Jurnal Dinamika
Hukum, 14 No. 3: 430�44
Wasisto Raharjo
Jati. 2012. �Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema Sentralisasi Atau Desentralisasi�, Jurnal Konstitusi, Vol. 9[Reviewer1]
Copyright holder: Doni
Fanni Septyandi, Lingga Parama Liofa (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |
[Reviewer1]Minimal 15 referensi dengan 80% kajian inti yang berasal dari jurnal ilmiah