Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 1, Januari 2024

 

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DENGAN ALASAN EFISIENSI PASCA PERPU CIPTA KERJA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1345 K/PDT.SUS-PHI/2022)

 

Bryan Alexander Basri, Rasji

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 43 PP Nomor 35 Tahun 2021. Pasal 43 ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021 yang mengatur PHK dengan alasan efisiensi karena pengusaha mengalami kerugian harus membuktikan dengan hasil audit baik itu internal maupun eksternal. Tetapi kemudian pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1345 K/Pdt.Sus-PHI/2022, Mahkamah Agung memperbaiki amar judex factie yang secara tidak langsung mengakui bukti berupa laporan keuangan masuk dalam kualifikasi Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021 dimana frasa ‘antara lain’ seharusnya bertentangan dengan asas kepastian hukum dan lebih jauh lagi Mahkamah Agung memperkuat ketidakadilan tersebut.

Kata Kunci : PHK, Efisiensi, Pertimbangan Hakim, Perselisihan PHK, Putusan Mahkamah Agung

 

Abstract

This article want to find out what is the judge’s ratio on layoff dispute because of efficiency as of Article 43 on Peraturan Pemerintah Number 35 of 2021. Article 43 section 1 that rules out layoff because of efficiency because the employer suffered economical loss, could be proved with either internal or external audit report. Indonesia’s supreme court decision number 1345K/Pdt.Sus-PHI/2022 then changed judex factie decision which implicitly stated that annual financial report is qualified as a proof as of Article 43 section 1 stated which the phrase ‘antara lain’ should have been annuled by Indonesian supreme court, in which Indonesian supreme court constitute the injustice further.

Keyword: layoff, efficiency, Ratio Decidendi, layoff dispute, Indonesia’s Supreme Court Decision

 

 

 

Pendahuluan

 “Negara Indonesia adalah negara hukum,” begitulah bunyi dari Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut menimbulkan suatu implikasi bahwa di Indonesia, segala sesuatu harus berdasarkan dan/atau sesuai dengan hukum. Sebagai contoh, dalam hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha maka hukum ketenagakerjaan lah yang harus dirujuk.

Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan Pasal 28D ayat (2) yang berbunyi, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” adalah dasar dari hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.

Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang terhibrida antara hukum publik dengan hukum privat (Widiastiani, 2022). Di satu sisi, Hukum ketenagakerjaan mengatur mengenai hubungan antara pengusaha dan pekerja saja—inilah yang membuat hukum ketenagakerjaan mula-mula bersifat privat. Tetapi seiring berjalannya waktu, negara harus menegakkan konstitusi yaitu melindungi hak setiap orang, tak terkecuali dalam hubungan ketenagakerjaan yang mana pekerja/buruh memiliki power yang lebih lemah dibandingkan pengusaha (Widiastiani, 2022).

Hukum ketenagakerjaan adalah evolusi dari hukum perburuhan. Dalam hukum perburuhan tidak dikenal adanya hubungan indsutrial, melainkan hanya hubungan kerja (Widiastiani, 2022). Seiring berjalannya waktu, berbagai faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, sosial, budaya, dan politik mulai memengaruhi hubungan kerja. Disitulah istilah hubungan Industrial mulai berkembang. Istilah hubungan Industrial muncul menggantikan istilah hubungan kerja/perburuhan (Suwarto, 2005).

Hubungan Industrial, menurut Payaman Simanjuntak adalah sebagai hubungan antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa di suatu perusahaan (Simanjuntak, 2000). Muzni Tambusai menambahkan, hubungan Industrial merupakan pola interaksi yang terbentuk antara para pihak yang berkepentingan dalam proses barang dan jasa, yang terdiri atas pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah (Tambusai, 2006). Dapat dikatakan bahwa dalam hubungan Industrial, terdapat tiga aktor yang berkepentingan. Mengapa kemudian pemerintah ikut andil dalam hubungan yang mulanya privat ini? Alasannya agar dapat memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah, dalam hal ini Pekerja/buruh (Sutedi, 2009).

Salah satu contoh ketimpangan power tersebut dapat dilihat dalam kasus-kasus Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) (Ferricha, 2019). Apabila PHK dibiarkan tetap dalam ranah privat, maka pengusaha dengan powernya dapat sewaktu-waktu memecat pekerja/buruh tanpa alasan, atau bahkan dicari-cari alasannya. Maka dari itu perlu adanya pelindung bagi pekerja/buruh, yaitu negara sebagai regulator agar pengusaha tidak melakukan kesewenangan.           

Setiap hubungan kerja yang berakhir wajib diberikan kompensasi kepada pekerja/buruh oleh pengusaha. Kompensasi tersebut terdiri atas 3 komponen yaitu uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Jumlah kompensasi tersebut dapat berubah tergantung dari lamanya masa kerja pekerja/buruh dan alasan yang mendasari pemutusan hubungan kerja tersebut.

Berbicara mengenai PHK, terdapat berbagai alasan yang dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerja/buruhnya, salah satunya adalah PHK dengan alasan efisiensi. PHK dengan alasan efisiensi telah exist sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Namun setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perpu Cipta Kerja”) yang disahkan sebagai Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, ketentuan mengenai efisiensi yang lama kemudian diganti dengan makna yang baru. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”), Alasan efisiensi dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

1.   Efisiensi karena perusahaan mengalami kerugian; atau

2.   Efisiensi karena perusahaan mencegah kerugian.

Perlu diketahui bahwa PHK dengan alasan efisiensi dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja jo. PP 35/2021 sangatlah bertolak belakang. Dalam UU Ketenagakerjaan, PHK dengan alasan efisiensi mewajibkan pengusaha untuk memberikan pesangon 2 (dua) kali lipat. Sedangkan dalam Perpu Cipta Kerja jo. PP 35/2021, apabila pengusaha melakukan PHK efisiensi atas dasar mencegah kerugian, pengusaha cukup memberikan pesangon 1 (satu) kali lipat. Bahkan, pengusaha yang melakukan PHK efisiensi karena mengalami kerugian hanya cukup memberikan pesangon 0,5 (nol koma lima) kali lipat.

Dalam hal pengusaha melakukan PHK efisiensi atas dasar mengalami kerugian dapat dibuktikan antara lain berdasarkan hasil audit internal atau audit eksternal, sedangkan apabila pengusaha melakukan PHK efisiensi atas dasar mencegah kerugian, dapat ditandai dengan antara lain adanya potensi penurunan produktivitas perusahaan atau penurunan laba yang berdampak pada operasional perusahaan (Wibowo, 2022).

Beranjak dari ketentuan diatas, terdapat sebuah kasus mengenai PHK dengan alasan efisiensi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1345 K/Pdt.Sus-PHI/2022. Dalam penerapannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Perusahaan (“Tergugat/Pemohon Kasasi”) terbukti melakukan langkah efisiensi (tanpa adanya penjelasan lebih lanjut antara karena kerugian atau karena mencegah kerugian) dengan bukti Laporan Keuangan, sehingga Para Penggugat memperoleh uang kompensasi PHK berupa pesangon 0,5 kali.

Atas ketentuan PHK dengan alasan efisiensi karena perusahaan mengalami kerugian dengan pesangon 0,5 kali, muncul perdebatan bahwa terdapat ketidakadilan karena perusahaan dapat sewaktu-waktu memutus hubungan kerja dengan karyawannya dengan alasan efisiensi.

Berdasarkan latar belakang diatas terumuskanlah sebuah permasalahan, yaitu bagaimana Pertimbangan hakim dalam perselisihan pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi pasca perpu cipta kerja.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (Soekanto, 2007), yaitu studi kepustakaan. Sifat dari penelitian hukum ini adalah preskriptif yaitu untuk mencari kebenaran koherensi antara tindakan seseorang sesuai atau tidak dengan norma atau prinsip hukum melalui analisis.

Pendekatan penelitian hukum ini adalah pendekatan kasus (case approach). dalam penelitian dengan pendekatan kasus, pertimbangan hakim (ratio decidendi) yang akan menjadi objek yang ditelaah. Ratio Decidendi dapat ditemukan dari fakta-fakta materiil yang terdapat dalam persidangan yang kemudian dirumuskan dalam bagian “Tentang Pertimbangan Hukumnya” (Marzuki, 2019).

Selanjutnya, Jenis data dan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang sudah diinventarisir dalam sistem kepustakaan sehingga tidak diperlukannya pengumpulan data primer di lapangan. Data sekunder juga dapat diperoleh tanpa ikatan waktu dan/atau tempat (Soekanto, 2007). Dalam data sekunder, dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat otoritatif (Marzuki, 2019). Maka dari itu, bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1345 K/Pdt.Sus-PHI/2022; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja; dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer. Dalam konteks penelitian ini, bahan hukum sekunder dapat berupa buku-buku mengenai hukum ketenagakerjaan, artikel ilmiah mengenai Pemutusan Hubungan Kerja ataupun publikasi-publikasi yang relevan.

Bahan hukum tersier atau sering juga disebut bahan non-hukum adalah bahan hukum yang bukan ditujukan sebagai bahan hukum, tetapi dapat dijadikan rujukan dalam penelitian hukum. Contohnya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia.

 

Hasil dan Pembahasan

Tinjauan Mengenai PHK dengan Alasan Efisiensi karena Kerugian

   Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah berakhirnya perikatan hukum antara pekerja/buruh dengan pengusaha dengan dasar perusahaan sudah tidak lagi mampu mempekerjakan pekerja/buruh atau pekerja/buruh tidak lagi mampu mencapai ekspektasi perusahaan (Sastrohadiwiryo, 2002). Artinya, tidak ada lagi hak dan kewajiban di antara para pihak dalam hubungan kerja tersebut. Dalam UU Ketenagakerjaan, definisi PHK tertuang dalam Pasal 1 angka 25, yang berbunyi: Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.” Para aktor hubungan industrial harus mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Apabila memang tidak dapat dicegah, maka pengusaha harus memberitahukan alasan-alasan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh (Pakpahan et al., 2022).

Adrian Sutedi mengklasifikasikan PHK dari segi penyebabnya (Sutedi, 2009), yaitu :

1.      PHK yang diinisiasi oleh pengusaha, yaitu PHK yang terjadi karena kehendak atau keinginan pengusaha, misalnya efisiensi karena perusahaan mengalami kerugian atau untuk mencegah kerugian;

2.      PHK yang diinisiasi oleh pekerja/buruh, yaitu PHK yang terjadi karena kehendak atau keinginan pekerja/buruh, misalnya pekerja/buruh mengundurkan diri;

3.      PHK demi hukum, yaitu PHK yang secara otomatis terjadi karena ketentuan hukum mengaturnya, misalnya kematian pekerja/buruh atau berakhirnya kontrak kerja waktu tertentu.

4.      PHK berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu PHK yang dijatuhkan oleh pengadilan karena masing-masing pihak yang berperkara tak lagi ingin melanjutkan hubungan kerja.

Salah satu alasan yang kerap kali digunakan oleh pengusaha untuk memutus hubungan kerja dengan pekerja/buruh adalah efisiensi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efisiensi merupakan ketepatan cara dalam lingkup usaha atau kerja dalam menjalankan sesuatu tanpa membuang waktu, tenaga, dan biaya. Dalam lingkup kegiatan usaha, efisiensi dapat diartikan sebagai perbandingan antara input dan output (Machfoedz, 1999). Semakin kecil input yang diperlukan dan/atau semakin besar output yang dihasilkan, maka usaha tersebut dapat dikatakan efisien. Sebaliknya apabila input yang diperlukan besar atau output yang dihasilkan kecil, maka usaha tersebut untuk mencapai efisien perlu melakukan efisiensi. Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa efisiensi merupakan suatu langkah (measure) perusahaan untuk kepentingannya yaitu mencapai kondisi keuangan dan manajemen yang sehat. Apabila perusahaan memiliki kondisi keuangan dan manajemen yang sehat, maka dapat dikatakan perusahaan itu efisien. Berbeda apabila keuangan dan manajemen suatu perusahaan tidak sehat, maka dapat dikatakan perusahaan itu tidak efisien dan harus melakukan efisiensi. Untuk melakukan efisiensi perusahaan tersebut, dapat dilakukan dengan pengurangan tenaga kerja melalui PHK.

PHK dengan alasan efisiensi seringkali berakhir menjadi konflik antara pengusaha dan pekerja/buruh dikarenakan kepentingan pekerja/buruh seringkali tidak diperhitungkan oleh pengusaha (Husni, 2012). Hal ini bertitik tolak dari Pengusaha yang mementingkan kepentingannya sendiri. Dalam sistem hukum ketenagakerjaan indonesia, ketentuan mengenai efisiensi (pernah) diatur pada Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 154A ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan sebagaimana diubah Perpu Cipta Kerja juncto Pasal 43 PP 35/2021.

Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai PHK dengan alasan efisiensi yang berbunyi :

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau buka karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

            Ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengenai efisiensi kemudian dihapus Perpu Cipta Kerja, yang kemudian alasan efisiensi tersebut kemudian dihadirkan kembali dalam PP 35/2021. Dalam Pasal 43 PP 35/2021, terdapat dua jenis PHK dengan alasan efisiensi yang dikenal. Pada ayat (1) merupakan efisiensi karena kerugian yang berbunyi ketentuan :

 

Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian maka Pekerja/buruh berhak atas :

a.   uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

b.   uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

PHK dengan alasan efisiensi ini merupakan PHK yang dinilai tidak berpihak kepada pekerja/buruh. Menurut Mirah Sumirat, aturan seperti itu sarat akan celah-celah hukum yang dilakukan pengusaha terhadap pekerja/buruh (Yahya & Meiliana, 2023). Hal ini dikarenakan terdapat perubahan yang signifikan atas ketentuan uang pesangon. Pada UU Ketenagakerjaan, tidak ada faktor pengalian ketentuan pesangon yang berjumlah 0,5 (setengah). Kemudian Pada Penjelasannya, terdapat keterangan tambahan bahwa perusahaan mengalami kerugian, dapat dibuktikan antara lain dengan hasil audit internal atau hasil audit eksternal.

Untuk menganalisis maksud dari Pasal 43 ayat (1) diatas, perlu dipecah menjadi beberapa unsur-unsur, yaitu :

1.   Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap Pekerja/buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi. Unsur ini mengandung makna bahwa Pengusaha diperbolehkan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya dengan alasan efisiensi, tanpa adanya keharusan untuk menutup perusahaan. Alasan efisiensi dapat dipersamakan dengan upaya pengusaha menyelamatkan perusahaannya dari kondisi perusahaan yang tidak efisien.

2.   Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian. Unsur ini kemudian melanjutkan makna efisiensi tadi diatas, yaitu langkah yang diambil pengusaha dari kondisi perusahaan yang tidak efisien, dimana penyebab ketidakefisienan tersebut adalah karena perusahaan mengalami kerugian.

3.   Perusahaan mengalami kerugian dapat dibuktikan antara lain berdasarkan hasil audit internal atau audit eksternal. Unsur ini merupakan unsur tambahan yang ditemukan dari Penjelasan pasal tersebut. Pada unsur ini, apabila ditelaah, perusahaan dibebani pembuktian untuk membuktikan kerugian yang dideritanya dengan hasil audit internal atau audit eksternal.

Apabila interpretasi atas unsur-unsur Pasal 43 ayat (1) seperti demikian, maka alasan efisiensi pada PHK yang digunakan oleh pengusaha adalah akibat. Penyebabnya adalah perusahaan mengalami kerugian. Timbullah sebuah hubungan sebab-akibat yang keduanya harus dipahami secara menyeluruh. Apabila diteliti, PHK dilakukan oleh pengusaha karena mengalami kerugian. Bagaimana caranya? caranya adalah dengan pengusaha melakukan efisiensi. Bagaimana membuktikan pengusaha melakukan efisiensi karena kerugian? caranya adalah dengan hasil audit eksternal atau hasil audit internal,

   Ketentuan Pasal 43 PP 35/2021 memang menyebutkan PHK karena alasan perusahaan melakukan efisiensi. Perbedaan antara ayat (1) dengan ayat (2) terletak pada penyebabnya, yang satu mengatur efisiensi karena mengalami kerugian dan yang lainnya mengatur efisiensi untuk mencegah kerugian.

            Baik dalam Pasal 43 PP 35/2021 maupun Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang telah dihapus Perpu Cipta Kerja, tidak menjelaskan makna dari efisiensi itu sendiri. Artinya, ada indikasi bahwa sebenarnya yang menjadi permasalahan pada PHK dengan alasan efisiensi adalah merugi atau tidaknya suatu perusahaan, sehingga menggunakan alasan tersebut. Perluasan PHK dengan alasan efisiensi pada PP 35/2021 adalah sebagai penggantian PHK dengan alasan efisiensi pada UU Ketenagakerjaan yang rigid, dimana alasan efisiensi tersebut harus dibarengi dengan penutupan usaha secara permanen. Dengan begitu, timbul sebuah kemanfaatan hukum yaitu pengusaha tak lagi harus mem-PHK-kan seluruh pekerjanya untuk menggunakan alasan efisiensi.

 

Pertimbangan Hakim terhadap PHK dengan alasan Efisiensi dalam Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1345 K/Pdt.Sus-PHI/2022

   Salah satu kasus PHK dengan alasan efisiensi adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1345 K/Pdt.Sus-PHI/2022. Dalam kasus itu, PT. Samwha Indonesia (selanjutnya disebut “Tergugat/Pemohon Kasasi”) melawan 2 (dua) orang karyawannya (selanjutnya disebut “Para Penggugat/Termohon Kasasi”). Kasus ini berawal dari Tergugat yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja dengan Para Penggugat. Pada bulan November 2021, Tergugat memanggil Para Penggugat beserta 26 rekan kerja lainnya untuk menghadap Tergugat diwakili oleh HRD di ruang Show Room Perusahaan. Pada tanggal 19 November 2021, Tergugat diwakili oleh HRD memanggil Penggugat II dan rekan karyawan lainnya untuk menerima tawaran pesangon 0,5 kali dengan tambahan uang sebesar Rp 4.000.000 (Empat Juta Rupiah). Penggugat II berketetapan untuk tidak menerima tawaran tersebut (Pracelia & Yurikosari, 2019).

   Tergugat menyatakan akan melakukan PHK terhadap Para Penggugat dengan alasan efisiensi dan menawarkan pesangon sebesar 0,5 kali. 26 rekan kerja Para Penggugat menerima keputusan Tergugat sedangkan Para Penggugat menolak akan tawaran tersebut dengan alasan masa kerja yang sudah lama dan sebentar lagi memasuki usia pensiun. Pada waktu yang berbeda, Tergugat memanggil Penggugat I dan Penggugat II secara sendiri-sendiri untuk menghadap HRD yang pada intinya Tergugat memberikan Surat Pemutusan Hubungan Kerja kepada Para Penggugat dengan alasan efisiensi dan pesangon 0,5 kali. Baik Penggugat I maupun Penggugat II menolak tawaran tersebut karena Para Termohon Kasasi menghendaki Tergugat untuk memberikan uang pesangon 2 kali ketentuan.

   Pada tanggal 29 November dan 2 Desember 2021 Para Penggugat melayangkan surat penolakan PHK sekaligus pengajuan perundingan bipartit tetapi tidak ada tanggapan setelah dua kali upaya bipartit dilakukan. Selanjutnya Para Penggugat menyampaikan alasan Tergugat yang diwakili HRD kepada Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (selanjutnya disebut Disnakertrans”) Kabupaten Purwakarta. Para Penggugat kemudian melanjutkan perselisihan ini melalui mediasi di Mediator Disnakertrans Kabupaten Purwakarta dengan hasil tidak tercapainya sebuah kesepakatan antara Para Penggugat dengan Tergugat yang kemudian dikeluarkan Risalah Penyelesaian Perselisihan melalui Mediasi tanggal 28 Januari 2022. Dikarenakan tidak tercapainya perdamaian pada upaya tripartit (Mediasi), maka kemudian Para Penggugat mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 25 Maret 2022.

   Dalam PHI pada PN Bandung, Majelis Hakim mengabulkan sebagian gugatan Para Penggugat. Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan hak Para Penggugat atas putusnya hubungan kerja dengan Tergugat adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat (2) PP 35/2021, sehingga Majelis hakim menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan Uang Penghargaan Masa Kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021.

   Tidak puas atas putusan PHI pada PN Bandung, Tergugat  yang kemudian disebut sebagai Pemohon Kasasi mengajukan Permohonan Kasasi pada tanggal 29 Juni 2022 melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 27 Juni 2022, sebagaimana dalam Akta Pernyataan Permohonan Kasasi Nomor 55/Kas/G/2022/PHI/PN Bdg yang dibuat oleh Panitera PHI pada PN Bandung disertai dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan PHI pada PN Bandung tertanggal 6 Juli 2022.

   Ketika hakim menghadapi perkara PHK dengan alasan efisiensi, maka perlu mengacu pada ketentuan Pasal 43 PP 35/2021. Pada ketentuan Pasal 43 tersebut, terdapat 2 (dua) ayat yang dapat diterapkan hakim sebagaimana telah disinggung pada subbab sebelumnya, yaitu :

(1)    Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian maka Pekerja/buruh berhak atas:

a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

(1)           Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah terjadi kerugian maka Pekerja/Buruh berhak atas:

a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2);

b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan

c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

   Pada kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1345 K/Pdt.Sus-PHI/2022, Mahkamah Agung secara tidak langsung mengabulkan gugatan rekonvensi yang diajukan oleh Tergugat dengan memperbaiki amar putusan yang telah dijatuhkan oleh judex factie. Judex factie menilai bahwa benar tergugat terbukti melakukan efisiensi berdasarkan bukti berupa Laporan keuangan tahun 2019 dan 2020 yang diajukan oleh tergugat. Kemudian judex factie menilai akan adil apabila tergugat dihukum untuk memberikan kompensasi sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat (2) PP 35/2021.

   Judex factie tidak menyatakan dengan tegas bahwa efisiensi yang dilakukan perusahaan dikarenakan mengalami kerugian atau mencegah kerugian. Secara tersirat, judex factie menyatakan bahwa PHK dengan alasan efisiensi yang dilakukan oleh tergugat adalah untuk mencegah terjadinya kerugian, hal ini tercermin dari amar putusannya yang mendasari perhitungan kompensasi berupa 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (2) dan 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021.

   Pada tingkat kasasi, judex juris kemudian memperbaiki amar putusan judex factie mengenai kompensasi yang diterima para penggugat menjadi berdasarkan Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021 dengan bersandar pada bukti Laporan Keuangan tahun 2019 dan 2020.

Judex juris juga tidak menyatakan dengan tegas langkah PHK dengan alasan efisiensi yang dilakukan oleh tergugat/pemohon kasasi adalah dikarenakan mengalami kerugian ataupun untuk mencegah kerugian. Menurut analisis peneliti, judex juris tidak seharusnya memperbaiki amar putusan yang telah dijatuhi judex factie. Pada putusan judex factie, majelis hakim telah benar menerapkan hukum karena Tergugat dalam membuktikan dalilnya tidak sesuai dengan apa yang dipersyaratkan pada Penjelasan Pasal 43 ayat (1) yaitu dengan bukti hasil audit internal maupun eksternal, sedangkan yang diajukan oleh tergugat/pemohon kasasi adalah laporan keuangan saja.

   Menurut analisis peneliti, Mahkamah Agung menilai bahwa laporan keuangan adalah bukti yang memenuhi kualifikasi Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021 yang berbunyi, “perusahaan mengalami kerugian dapat dibuktikan antara lain berdasarkan hasil audit internal atau audit eksternal.”

   Memang dalam interpretasinya, frasa ‘antara lain’ memiliki sinonim dengan kata contohnya atau misalnya. Berdasarkan frasa tersebut tidak menutup kemungkinan adanya indikator-indikator lain yang menyatakan bahwa perusahaan mengalami kerugian. Adanya frasa seperti demikian sangatlah bertentangan dengan kepastian hukum. Menurut Gustav Radbruch, kepastian hukum harus berdasarkan fakta dan fakta tersebut dirumuskan dengan jelas. Frasa ‘antara lain’ akan menjadi multitafsir sehingga menjadi yurisprudensi yang buruk. Seharusnya, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi dapat menafsirkan frasa antara laintersebut adalah frasa yang multitafsir.

Dengan demikian, menurut penulis seyogianya hakim dalam hal ini judex juris dalam pertimbangannya mempertimbangkan tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Hakim seharusnya dapat bijak agar putusannya dirasakan memiliki keadilan formil maupun substantive.

 

 

Kesimpulan

Berdasarkan paparan diatas dan analisis yang telah dilakukan,  PHK yang dilakukan pengusaha dengan alasan efisiensi karena kerugian, berdasarkan Penjelasan Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021 dapat dibuktikan antara lain dengan bukti hasil audit internal maupun eksternal. Laporan keuangan tidak seharusnya memenuhi kualifikasi pembuktian bahwa perusahaan mengalami kerugian atau tidak. Tidak mampunya membuktikan efisiensi karena kerugian dengan bukti hasil audit, maka seharusnya dapat dianggap sebagai efisiensi untuk mencegah kerugian. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi dapat menafsirkan frasa ‘antara lain’ tersebut adalah frasa yang multitafsir. Hakim seharusnya dapat bijak agar putusannya dirasakan memiliki keadilan formil maupun substantif.

Dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1345 K/Pdt.Sus-PHI/2022 tidak tepat. Dengan memperbaiki amar putusan judex factie yang mempertimbangkan berdasarkan keadilan untuk memberikan kompensasi para penggugat berdasarkan Pasal 43 ayat (2) PP 35/2021, secara tidak langsung membenarkan laporan keuangan memenuhi kualifikasi Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021. Begitu pula ketidaktegasan Mahkamah Agung dalam menyatakan bahwa tergugat benar mengalami kerugian menyebabkan ketidakadilan bagi para penggugat.

 

BIBLIOGRAFI

 

Ferricha, D. (2019). Eksistensi Hukum Acara Perdata dalam Penyelesaian Perselisihan Hak tentang Upah pada Pekerja Honorer di Indonesia. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 4(2), 75–89.

Husni, L. (2012). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada.

Machfoedz, M. (1999). Pengaruh Krisis Moneter pada Efisiensi Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Indonesia, 14(1), 37–49.

Marzuki, P. M. (2019). Penelitian Hukum Edisi Revisi Cet-11. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Pakpahan, T. M. R., Ardhya, S. N., & Setianto, M. J. (2022). Tinjauan Yuridis Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Tenaga Kerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Jurnal Komunitas Yustisia, 5(3), 129–144.

Pracelia, Y., & Yurikosari, A. (2019). Analisis Putusan Sela Terhadap Permohonan Pembayaran Upah Proses Dalam Pengadilan Hubungan Industrial (Studi Putusan: Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 181/Pdt. Sus-Phi/2016/Pn. Bdg Jo Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 82/Pdt. Sus-Phi/2016/Pn. Bdg). Jurnal Hukum Adigama, 2(1), 124–147.

Sastrohadiwiryo, B. S. (2002). Manajemen tenaga kerja Indonesia: Pendekatan administratif dan operasional. Bumi aksara.

Simanjuntak, P. J. (2000). Peranan serikat pekerja dan paradigma baru hubungan industrial de Indonesia. Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonseia (HIPSMI).

Soekanto, S. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

Sutedi, A. (2009). Hukum perburuhan. Sinar Grafika.

Suwarto. (2005). Hubungan Industrial Dalam Praktek. Penerbit Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia.

Tambusai, M. (2006). Hubungan Industrial Era Baru. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Jakarta.

Wibowo, R. N. K. P. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Universitas Jenderal Soedirman.

Widiastiani, N. S. (2022). Pengantar Hukum Perburuhan: Pasca-Undang-Undang Cipta Kerja. PT Kanisius.

Yahya, A. N., & Meiliana, D. (2023). Perusahaan Bisa PHK Tanpa Bayar Penuh Pesangon, Buruh: Makin Buka Celah Pelanggaran. https://nasional.kompas.com/read/2021/02/23/15424121/perusahaan-bisa-phk-tanpa-bayar-penuh-pesangon-buruh-makin-buka-celah

 

 

 

Copyright holder:

Bryan Alexander Basri, Rasji (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: