Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 12, Desember 2023
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
DARI PRODUK KOSMETIK YANG ILEGAL
Firyal
Arribah Syafiqoh, Amad Sudiro
Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Perkembangan teknologi
membawa perubahan pada dunia perdagangan, saat ini E-Commerce tumbuh dengan
begitu pesat. pertumbuhan tersebut membawa dampak pada menjamurnya industri
kosmetik di online shop, namun hal tersebut menyebabkan maraknya kosmetik illegal
yang beredaran dipasar salah satunya merek Zayora. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk memberikan kontribusi terhadap kesadaran konsumen mengenai
penerapan perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik ilegal dan memberikan
rekomendasi perbaikan sistem.Metode penelitian yang digunakan dalam analisis
kasus adalah penelitian hukum normatif yang sistematis. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan data sekunder, dimana alat hukum primer yang digunakan
adalah peraturan perundang-undangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini disebut penelitian kepustakaan (LR). Teknik analisis data
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif, dimana analisis
tersebut berkaitan dengan komponen-komponen substansi hukum yaitu teori, konsep,
dan beberapa undang-undang yang berlaku Perlindungan hukum konsumen terhadap
kosmetik illegal pada studi kasus Putusan No Nomor 687/Pid.Sus/2021/PN Ckr
bahwa pelaku memperoleh sanksi pidana selama kurang lebih dua tahun dengan
denda sebesar 10.000.000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat upaya dalam
melindungan konsumen. Penarikan serta penghentian produk yang beredar secara
illegal tanpa adanya surat izin dari BPOM menunjukkan implementasi perlindungan
hukum kepada konsumen, hal ini disebabkan karena sulitnya BPOM mengawasi
perederan kosmetik yang dijual secara online untuk itu masyarakat dihimbau
lebih teliti dalam membeli produk secara online.Berdasarkan temuan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa peran BPOM dalam pengawasan kosmetik illegal masih
kurang, hal ini dapat dilihat dari ribuan kosmetik illegal tanpa izin yang
beredar secara online.
Kata Kunci: Perlindungan
Hukum Konsumen, Kosmetik Ilegal, BPOM
Abstract
Technological
developments have brought changes to the world of commerce, currently
E-Commerce is growing very rapidly. This growth has had an impact on the
mushrooming of the cosmetics industry in online shops, but this has led to the
rise of illegal cosmetics circulating on the market, one of which is the Zayora
brand. The aim of this research is to
contribute to consumer awareness regarding the implementation of consumer
protection against illegal cosmetic products and provide recommendations for
system improvements. The research method used in the case analysis is
systematic normative legal research. In this research, researchers used
secondary data, where the primary legal tool used was statutory regulations.
The data collection technique used in this research is called library research
(LR). The data analysis technique that will be used in this research is
normative law, where the analysis is related to the components of legal
substance, namely theory, concepts and several applicable laws. Legal protection
of consumers against illegal cosmetics in the case study of Decision No.
687/Pid. .Sus/2021/PN Ckr that the perpetrator received criminal sanctions for
approximately two years with a fine of 10,000,000, this shows that there are
efforts to protect consumers. The withdrawal and termination of products
circulating illegally without a permit from BPOM shows the implementation of
legal protection for consumers, this is due to the difficulty of BPOM
monitoring the distribution of cosmetics sold online, therefore the public is
advised to be more careful in purchasing products online. Based on the findings
above, it can be seen It can be concluded that BPOM's role in monitoring
illegal cosmetics is still lacking, this can be seen from the thousands of
illegal cosmetics without permits circulating online.
Keywords: Consumer Legal Protection, Illegal
Cosmetics, BPOM
Pendahuluan
Meningkatnya permintaan terhadap produk kosmetik disebabkan oleh semakin besarnya potensi perekonomian Indonesia, khususnya di bidang industri kosmetik dan kosmetik. Pedagang di sektor ini memiliki keuntungan besar di pasar, terutama jika menyangkut perempuan, yang merupakan 130 juta dari 267 juta pemilih di Indonesia. Hal ini menyebabkan industri kosmetik mengalami kemerosotan yang disebabkan oleh pergeseran perilaku konsumen ke arah lebih sering bertransaksi online (Pratiwi & Nurmawati, 2019). Kemajuan teknologi informasi, khususnya dalam bentuk platform marketplace, telah mengubah cara dunia usaha beroperasi. Transaksi online melalui website atau aplikasi telah menjadi pilihan utama, mencapai puncaknya sebesar 2,36 juta pengguna bisnis marketplace pada tahun 2020. Meski semakin memudahkan dalam memperoleh beragam produk kosmetik, tren ini juga menimbulkan kekhawatiran terhadap keselamatan dan kesehatan konsumen (Fauzela, 2023).
Masuknya produk kosmetik terlarang ke pasaran tanpa izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan persoalan serius. Banyaknya produk tanpa label yang menonjol di pasaran menunjukkan tidak konsistennya kualitas baik BPOM maupun platform yang bersangkutan. Risiko penggunaan produk kosmetik tanpa izin edar mengurangi kemungkinan kerusakan pada kulit, bahkan mungkin risiko kanker (Pratiwi & Nurmawati, 2019).
Dalam konteks ini, perlindungan konsumen
merupakan aspek krusial. Peraturan Perundang-undangan Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen memberikan landasan hukum bagi perlindungan
hak-hak konsumen. Perlindungan Konsumen:
Perlindungan Konsumen adalah hal ini yang diklamaskan pada Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999. Perlindungan konsumen mempunyai arti yang luas, meliputi
perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat dari
pemakaian barang atau jasa tersebut (Fauzela, 2023).
Menurut Fizgerald, tujuan dari teori pembelaan
hukum adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai permasalahan
sosial karena dalam situasi tertentu pembelaan seseorang terhadap suatu
permasalahan tertentu dapat dilakukan dengan cara mereduksi kekhawatiran pihak
lain. Pentingnya hukum adalah mengurus hak dan kepentingan manusia, yang segera
menentukan kepentingan manusia yang secara dan berguna. Namun, masih terdapat
beberapa permasalahan dalam penerapannya, terutama terkait dengan produk
kosmetik terlarang. Berdasarkan laporan BPOM tahun 2019, terdapat kurang lebih
2.000 produk yang terdaftar namun belum memiliki izin BPOM dan tersedia di
berbagai marketplace. Dari 39 distributor, 29 diantaranya memamerkan razia yang
tidak memenuhi standar ketentuan. Dengan ekuivalen dengan Rp 1,5 miliar lebih,
sebanyak 13.254 produk berbagai merek terdiri dari pemutih kulit, masker secara
khusus untuk bibir, wajah, perawatan kulit dan parfum (Pertiwi & Yahya,
2019).
Salah satu kasusnya adalah terkait dengan undang-undang perlindungan konsumen yang melarang penjualan produk kosmetik kepada individu yang tidak memiliki dokumen identitas yang sah, sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 687/Pid.Sus/2021/PN Ckr. Metodologi studi kasus ini didasarkan pada informasi yang tersedia secara publik mengenai harga produk kosmetik di Kabupaten Bekasi yang tidak memiliki tanggal kadaluwarsa. Berdasarkan informasi tersebut di atas, disarankan agar Balai Besar BPOM Bandung dapat dihubungi. Mereka melakukan penyelidikan dan menemukan seorang wanita bernama Siti Kurniati memiliki usaha salon rambut. Selain menjalankan salon, ia juga bekerja sebagai sambilan yang menjual produk kosmetik. Hasil pemeriksaan laboratorium sebagaimana tercantum dalam Surat No. Contoh 12.20.18.CK tanggal 28 September 2020, antara lain HIDRKOKINON. Berbeda dengan yang tertuang dalam Pasal 98 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, Siti Kurniati mempromosikan produk kosmetik yang layak digunakan di apotek atau tempat layanan kesehatan lainnya, namun tidak memenuhi standar atau prinsip etika terkait keselamatan. khasiat, dan kesejahteraan manusia (Mahkamah Agung, 2021)
Dalam menyikapi permasalahan penjualan kosmetik ilegal, beberapa penelitian akhirnya menunjukkan masih relatif rendahnya tingkat kesadaran pasar dan BPOM. Meningkatnya kuantitas produk kosmetik ilegal yang tersedia di berbagai platform online menunjukkan kurangnya kecermatan dalam menilai kualitas produk yang tidak memenuhi standar. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Pertiwi & Yahya, (2019), ditemukan bahwa penerapan undang-undang perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik yang dijual secara online kurang efektif. Hal ini disebabkan karena banyaknya produk kosmetik yang dijual secara online dan tidak mentaati peraturan perundang-undangan. standar BPOM (Pertiwi & Yahya, 2019)
Lebih lanjut dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Elfiane Rumuat, C. A., menjelaskan bahwa industri kosmetik di Indonesia merupakan kasus yang termasuk dalam undang-undang perlindungan konsumen karena berkaitan dengan hak-hak konsumen yang dilanggar oleh pemilik usaha, sedangkan hak-hak konsumen dapat dilaksanakan. melalui proses memperoleh resep atau melalui resep itu sendiri. Penyelesaian peradilan di dalam pengadilan yang diatur dalam pasal 45 ayat (1) UUPK, maupun penyelesaian di luar pengadilan yakni yang diatur dalam pasal 45 ayat (2) UUPK. Dengan cara ini, perlindungan hukum berkorelasi signifikan dengan kepatuhan hukum, yang berarti bahwa setiap kepatuhan hukum bergantung pada kepatuhan terhadap standar hukum yang berlaku dan pemahaman bahwa standar tersebut dapat ditegakkan. Hal ini sejalan dengan upaya perlindungan hukum yang mencegah adanya keseimbangan, keserasian, atau keselarasan antar pihak terkait (Sari & Tan, 2021).
Banyaknya produk kosmetik yang berbasis media internet menyebabkan terbatasnya kesadaran BPOM terhadap produk yang berbasis permintaan pasar massal. Oleh karena itu, perlu ada semacam pengamanan untuk melindungi konsumen dari produk kosmetik yang mereka beli. Alasan terjadinya bedah kosmetik adalah produsen tidak mengumumkan produk yang akan diserahkan ke BPOM. Bagi konsumen, hal ini mengakibatkan harga yang relatif murah sehingga sulit diprediksi apa yang akan terjadi. Bidang pengawasan, pemeriksaan, dan penindakan melemahkan bagi BPOM. Apapun tujuan dan strateginya, BPOM dilakukan dengan melakukan pemeriksaan, penilaian ulang, dan pemeriksaan mutu terhadap setiap produk yang memenuhi ketentuan pemerintah terkait produk kosmetik perawatan kulit dengan meminta nomor identifikasi edar palsu tersebut. Oleh karena itu, produsen kosmetika dikenakan sanksi hukum apabila nomor identifikasi produknya melanggar Pasal UPK 19 ayat (1) dan 62 ayat (1). Menginformasikan kepada pemilik usaha agar mereka memahami pentingnya mengikuti Prosedur Operasional Standar ketika memulai operasinya. Pelanggan diimbau untuk lebih berhati-hati dan bijaksana dalam memilih kosmetik. Partai pengawasan dan penyuluhan BBPOM dan Dinas terkait harus terkait dengan memberikan sanksi yang tepat dan tegas dalam membawa produk kosmetik yang tidak memiliki nomor izin edar (Sari & Tan, 2021).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai perlindungan hukum konsumen terhadap penjualan kosmetik ilegal melalui e-commerce, dengan fokus pada Studi No. 687/Pid.Sus/2021/PN Ckr. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi terhadap kesadaran konsumen mengenai penerapan perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik ilegal dan memberikan rekomendasi perbaikan sistem.
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam analisis kasus adalah penelitian hukum normatif yang sistematis. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menentukan berbagai peraturan hukum, asas-asas hukum, dan doktrin-doktrin hukum dalam rangka menjawab permasalahan hukum yang sedang diangkat. Dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan yaitu Pendekatan Statuta, yaitu penerapan hukum terkait perselisihan bisnis yang timbul dari pemilik usaha, dan Pendekatan Kasus, yaitu penerapan putusan pengadilan terkait perselisihan bisnis yang timbul dari pemilik usaha. pemilik bisnis (Sari & Tan, 2021).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder, dimana alat hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan. Bahan hukum kedua yang digunakan penyidik adalah data hasil kajian Paten, dimana keterangan tersebut diperoleh dengan cara mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan permohonan Paten yang mempunyai kualifikasi hukum yang kuat serta dengan maksud untuk berpegang pada hukum Paten. peraturan. Peneliti juga menggunakan buku sebagai referensi dalam penelitian ini. Setiap dokumen yang memuat keterangan berkaitan dengan materi hukum pertama dan kedua. Bahan kajian antara lain ensiklopedia, hukum kamus, artikel, literatur hukum (Eriyanti & Fazial, 2020).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini disebut penelitian kepustakaan (LR). Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki, menantang, memilih, dan mempelajari tentang buku, dokumen, undang-undang yang mengatur penggunaan dan pengembangan lahan, dan materi lain yang terkait dengan topik penelitian. Dokumentasi dalam pengumpulan data dipahami sebagai sarana pengumpulan data melalui analisis dan identifikasi unsur-unsur penting yang terdapat dalam temuan penelitian. Dokumentasi merupakan catatan temuan penelitian penting yang telah dilakukan sebelumnya atau baru-baru ini. Secara umum, hal ini tidak diungkapkan kepada publik dan hanya diketahui oleh beberapa organisasi yang memiliki akses. Dokumen tersebut dapat berupa dokumen badan pengelola, dokumen pihak yang berkepentingan, dokumen sarjana hukum, dan dokumen penyidik hukum (Eriyanti & Fazial, 2020).
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah hukum normatif, dimana analisis tersebut berkaitan dengan komponen-komponen
substansi hukum yaitu teori, konsep, dan beberapa undang-undang yang berlaku
dan benar serta berkaitan. Penelitian ini tidak menggunakan teknik menghitung
melalui angka; sebaliknya, ia menggunakan teori dan sangkutan
peraturan-undangan (HTP, 2021).
Hasil
dan Pembahasan
Bentuk perlindungan hukum bagi
konsumen terhadap peredaran kosmetik yang dijual secara online dalam Putusan
NNomor 687/Pid.Sus/2021/Pn Ckr
Pemilik usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik itu badan usaha atau bukan, baik badan usaha yang diatur oleh undang-undang atau tidak, baik badan usaha yang berdiri sendiri dan menjalankan kegiatan usaha. dalam wilayah hukum Indonesia, ataukah mereka bekerja sama dengan pihak lain melalui penelitian bersama yang bertujuan untuk memperluas kegiatan usaha di berbagai sektor ekonomi (HTP, 2021). Sehubungan dengan hal tersebut, Az. Nasution menyebutkan, badan usaha yang termasuk dalam pengertian usaha adalah: korporasi, persekutuan, BUMN, pedagang besar, pedagang, dan lain-lain. Produsen, juga dikenal sebagai pemilik usaha, biasanya dianggap sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam penelitian ini, hal ini mencakup pembuatan barang, penyediaan jasa, dan pelatihan profesional untuk setiap individu atau bisnis yang berpartisipasi, serta penyediaan barang dan jasa hingga ke depan pintu pelanggan (HTP, 2021).
Untuk melindungi konsumen dari penipuan penjualan kosmetik yang menyertakan barang palsu dalam transaksi penjualan online (e-commerce). Kosmetik kini dianggap sebagai alat penting yang digunakan setiap hari untuk membantu mengatasi rambut rontok. Kosmetik tidak hanya dibutuhkan oleh wanita; laki-laki, anak laki-laki, dan bahkan bayi juga dibutuhkan, menjadikan mereka garda baru dalam industri ini. Penggunaan kosmetik dilakukan untuk meningkatkan rasa percaya diri dan mengurangi kerutan. Kebutuhan akan produk kosmetik akan menjadikan industri kosmetik sebagai pemain penting dalam dunia usaha (Pratiwi & Nurmawati, 2019). Hal ini ditambah dengan globalisasi yang sedang berlangsung dan menjamurnya teknologi informasi, seperti internet. Globalisasi menyebabkan perdagangan menjadi kurang sensitif terhadap ruang dan waktu. Waktu menjadi semakin langka dan kurang relevan dalam interaksi dan komunikasi dalam skala global. Hal ini berdampak buruk bagi pemilik usaha yang lebih mudah menjual produknya tanpa mengalami bencana alam. Hal ini juga memberikan dampak yang signifikan terhadap konsumen sebagai pengguna kosmetik. Karena kemudahan penanganan barang yang diperlukan (Soemarwi & Ridzkia, 2023).
Perlindungan hukum terhadap konsumen dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Faktor-faktor yang diubah antara lain tuntutan dan hak konsumen, tuntutan dan hak pemilik usaha, tanggung jawab pemilik usaha, pembinaan, dan pengawasan pemerintah. Perlindungan hukum yang dituangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen perorangan, termasuk konsumen yang membeli produk kosmetik yang dijual secara online (Nanda & Tarina, 2022).
Dalam kasus Merk Zayora, pelanggan yang telah menggunakan produk tersebut mungkin mengalami kesulitan dalam memperoleh perlindungan hukum yang memuaskan, terutama jika produk tersebut telah menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan. Produk yang tidak memiliki hak kekayaan intelektual atau ilegal sangat berharga karena menggunakan bahan baku berpemilik seperti merkuri (Hg) atau rhodamin B. Akibatnya, setelah beberapa waktu, produk tersebut tidak lagi memiliki umur simpan dan bahkan aman. bermanfaat, bagi konsumen bila digunakan baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Penjualan secara kosmetik ilegal tidak bisa bergantung pada keberadaan kosmetik yang efektif berhubungan dengan kulit manusia. Oleh karena itu, suplemen makanan seperti metilmerkuri (Hg) dan rhodamin B dapat menyebabkan iritasi kulit, dan perubahan pigmen kulit bahkan dapat menyebabkan keratitis (Djaya, 2020).
Perkara tersebut mendalilkan bahwa SITI KURNIATI BINTI AHMAD bertanggung jawab sepenuhnya dalam memproduksi dan/atau mengedarkan produk kosmetika tanpa melanggar Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 36 Kesehatan tahun 2009. Produk-produk yang dimaksud dijual baik secara offline, melalui sistem tatap muka dengan pelanggan yang mengunjungi toko, maupun secara online melalui Shopee. Proses hukum diawali dengan evaluasi oleh Badan POM Bandung, dilanjutkan dengan pemeriksaan dan persetujuan pihak terkait. Beberapa jenis produk kosmetik tanpa izin edar berhasil disita, yaitu Zayora Skincare dan berbagai lainnya, berupa barang bukti (Mahkamah Agung, 2021).
Terdapat peraturan mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pendistribusian Obat dan Alat Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175 Tahun 2010 tentang Pemeriksaan Produk Kosmetik, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1176 Tahun 2009 tentang Pemberitahuan Kosmetik. Ini menyoroti integritas produksi, integritas material, keselamatan, dan kegunaan produk. Seluruh pelanggaran yang dituangkan dalam surat dakwaan didasarkan pada peraturan terkait dan undang-undang terkait kesehatan. Penyusunan barang bukti yang lain-lain mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap persyaratan produksi dan peredaran produk kosmetik (Djaya, 2020).
Studi kasus ini membahas tentang perlindungan konsumen terhadap produk kosmetik yang dijual secara online tanpa resep dokter. Penegakan hukum terhadap konsumen sangat penting untuk mengurangi risiko masalah kesehatan akibat penggunaan produk terlarang. Tunjangan yang dibicarakan terdiri dari hukuman penjara selama empat bulan dan denda minimal Rp 10.000.000, atau hukuman penjara selama dua bulan jika denda tersebut tidak dibayarkan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa SITI KURNIATI BINTI AHMAD pada awalnya tidak mengindikasikan bahwa penjualan produk kosmetik tanpa segel edar yang sah adalah melanggar hukum (Mahkamah Agung, 2021). Hal ini menunjukkan ambang batas hukum yang harus dipertimbangkan oleh produsen kosmetik independen. Fakta bahwa perempuan yang berada dalam hubungan hukum satu sama lain memastikan bahwa transaksi berjalan lancar setelah mengetahui persyaratan hukum meningkatkan kesadaran sosial dan keinginan untuk mengikuti hukum (Thalib, 2020).
Hal ini berkaitan dengan ayat 45 ayat (1) Perjanjian Perlindungan Konsumen yang memberikan hak kepada konsumen untuk mengajukan pengaduan terhadap pemilik usaha melalui gugatan. Namun selain menggunakan proses litigasi, Pasal 45 Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen juga memberikan kesempatan kepada konsumen dan pemilik usaha untuk menyelesaikan perselisihan secara damai melalui litigasi non-litigator sesuai dengan hasil perkaranya masing-masing. Sanksi pidana yang ditambahkan oleh pelaku usaha kosmetik palsu yang dikelas konsumen (Pratiwi & Nurmawati, 2019).
Hak konsumen untuk menjunjung tinggi integritas dan moralitas dalam menggunakan barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pemilik usaha telah diakomodasi dalam Pasal 4 Perjanjian Perlindungan Konsumen. Hakikat dari ayat di atas adalah perlindungan terhadap segala sesuatu yang dapat menyebabkan memudarnya rasa kepolosan dan kesejahteraan konsumen. Artinya, produk kosmetik yang berkualitas harus ditangani dengan hati-hati agar masyarakat umum dapat terus menggunakannya tanpa dirugikan (Ameliani et al., 2022).
Tindakan hukum yang dilakukan Siti Kurniati dapat dimaknai sebagai bentuk perlindungan konsumen. Sebab, tindakan tersebut berpotensi menghambat penjualan produk kosmetik yang tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan. Perlindungan tidak langsung bagi konsumen adalah penggeledahan dan penyertaan produk ilegal oleh petugas BPOM (Nanda & Tarina, 2022). Hal ini menurunkan harga produk berbahaya di pasaran. Konsumen yang mengalami kesulitan akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemilik usaha dapat mengajukan pengaduan hukum. Pembayaran hukum di luar pengadilan dapat dilakukan melalui peradilan umum, sedangkan pembayaran hukum diluar pengadilan dapat dilakukan melalui BPSK dengan melalui proses mediasi, arbitrase, atau konsiliasi (Ameliani et al., 2022).
Pemerintahan terbatas menyatakan tindakan untuk produk-produk kosmetik yang tidak ada label POM yang dijual secara online. Selanjutnya produk kosmetik haram tanpa label Badan POM diidentifikasi dan dibahas beserta rincian acara penarikan dan pemusnahan. Hal ini dilakukan dalam rangka penyeimbangan dan pengawasan terhadap pemilik usaha. Jenis tindakan lainnya termasuk peringatan, pencabutan izin usaha, dan tindakan hukum, yang melibatkan pengungkapan pemilik bisnis yang terutama menjual produk kosmetik ilegal tanpa POM kepada otoritas pajak (Asirah et al., 2023).
Penekanan hukumnya terhadap sarana yang menjual kosmetik ilegal atau kosmetik yang mengandung bahan berbahaya adalah penilapan hukum terhadap konsumen yang mengalami kerugian. Memang belum ada konsumen yang mengadu langsung ke BBPOM mengenai kerugian misalnya wajahnya rusak ataupun alergi. Dengan demikian, safeguarding yang dilakukan adalah safeguarding mengenai izin. Jika ada oknum yang menjual kosmetik ilegal akan diberikan teguran. Setelah itu, jika tidak ada perubahan atau koreksi, peringatan akan diulangi dan masalah tersebut akan ditangani sesuai hukum, terlepas dari apakah itu dijual secara online (Pertiwi & Yahya, 2019).
Peran
BPOM Dalam Pengawasan
Prosedur kosmetik tanpa izin edar membahayakan kesehatan konsumen. Setiap laboratorium menunjukkan adanya bahan-bahan rapuh seperti HYDROCINONE di dalam produk, yang dapat berdampak buruk pada kesehatan kulit dan organ tubuh lainnya. Menggunakan produk tanpa sirkulasi minyak dalam waktu lama dapat menyebabkan kerutan pada wajah dan kemungkinan merusak organ dalam. Hal ini menimbulkan risiko terhadap kesehatan konsumen yang tidak mereka sadari (Eriyanti & Fazial, 2020).
Tujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah menjamin kualitas produknya. Namun ketidakkonsistenan pasar dan praktik BPOM menyebabkan masuknya barang haram ke pasar. Pasar online memiliki peran penting dalam memantau produk yang dijual di platformnya. Diperlukan kolaborasi yang lebih intensif antara BPOM dan pihak marketplace untuk memastikan produk yang dijual memenuhi standar keamanan dan kesehatan (Fauzela, 2023).
Keberhasilan industri kosmetik ilegal tidak lepas dari upaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Guna mencegah penggunaan kosmetik ilegal atau penggunaan tanda pengenal palsu, BPOM melakukan pemeriksaan dan investigasi di berbagai lokasi usaha. Penjualan produk ilegal masih cukup jarang terjadi, terutama karena dilakukan melalui pasar online/darknet (Putri Nur Anisa & Tatty Aryani Ramli, 2022). Tindakan pengendalian pasca pasar terhadap produk kosmetik yang telah memiliki izin edar selanjutnya diperiksa lebih lanjut dengan nomor izin edar yang bersangkutan, yang dapat berupa fiktif atau resmi yang diperoleh secara transparan dari BBPOM, sebelum diambil sampelnya dan diperiksa. Kosmetik yang menunjukkan jumlah edar imajiner harus dipertimbangkan kembali karena tidak terlalu efektif. Namun, ini merupakan produk kosmetik yang relatif baru yang memiliki edar iris mata yang terukur dan tidak melanggar standar yang ditetapkan oleh peraturan-undangan (Putri Nur Anisa & Tatty Aryani Ramli, 2022).
Hasil penelitian menyoroti pentingnya pengendalian kualitas dalam produksi kosmetik untuk memastikan bahwa fasilitas manufaktur memenuhi standar produksi dan standar kualitas yang ditetapkan. Artikel ini juga menekankan pentingnya mengikuti Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) untuk menjamin keamanan dan efektivitas produk kosmetik. Salah satu cara utama pemerintah membayar konsumen ketika mereka membeli produk kosmetik secara online adalah melalui kegiatan sosial, informasi, dan pendidikan (Asirah et al., 2023). Misalnya saja sosialisasi dengan mengajak pelajar ke masyarakat untuk memberikan informasi kepada mereka tentang cara memilih kosmetik yang tepat. Dengan cara ini, masyarakat tidak hanya bergantung pada BBPOM untuk melakukan penjangkauan seperti ini; sebaliknya, masyarakat mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dalam memilih produk kosmetik yang aman dan tidak menimbulkan bahaya. Dengan demikian, pendekatan tersebut melibatkan penggunaan strategi penanggulangan (sosialisasi, pendidikan), tinjauan ke masa depan, dan tinjauan ke masa depan (Asirah et al., 2023).
Temuan penelitian ini sejalan dengan temuan BPOM tahun 2019
yang menunjukkan banyak produk haram yang beredar di pasaran. Hal ini menggambarkan
belum memadainya regulasi dalam mengatur penjualan kosmetik ilegal. Sehubungan
dengan dampak negatif dari skandal kosmetik ilegal BBPOM, masyarakat diimbau
menghubungi BBPOM untuk mengambil tindakan lebih lanjut jika mengetahui
kosmetik tersebut dan meyakini mengandung bahan berbahaya (Han & Ukas,
2021).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut ini; (1) perlindungan
hukum konsumen terhadap kosmetik illegal pada studi kasus Putusan No Nomor 687/Pid.Sus/2021/PN Ckr bahwa
pelaku memperoleh sanksi pidana selama kurang lebih dua tahun dengan denda
sebesar 10.000.000, hal ini menunjukkan bahwa terdapat upaya dalam melindungan
konsumen, (2) penarikan serta penghentian produk yang beredar secara illegal
tanpa adanya surat izin dari BPOM menunjukkan implementasi perlindungan hukum
kepada konsumen, hal ini disebabkan karena sulitnya BPOM mengawasi perederan
kosmetik yang dijual secara online untuk itu masyarakat dihimbau lebih teliti
dalam membeli produk secara online, dan (3) berdasarkan temuan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa peran BPOM dalam pengawasan kosmetik illegal masih
kurang, hal ini dapat dilihat dari ribuan kosmetik illegal tanpa izin yang
beredar secara online.
Agung, M. (2021). Putusan No Nomor 687/Pid.Sus/2021/PN Ckr.
Ameliani, P., Iskandar, H., & Wardana, D. J. (2022). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Kosmetik yang Tidak Terdaftar BPOM. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 4(2), 653–660. https://doi.org/10.37680/almanhaj.v4i2.2062
Asirah, Sofya, A. M., & Muin, A. M. (2023). Upaya Penegakan Hukum Peredaran Kosmetik Ilegal Melalui E-Commerce Oleh PPNS BBPOM Makassar. Unes, 5(3), Hal. 1018. https://www.review-unes.com/index.php/law/article/view/437/256
Djaya, F. (2020). Tinjauan Yuridis terhadap Pemasaran Kosmetik Ilegal secara Online di Indonesia. Journal of Judicial Review, 22(01), 98–111. https://doi.org/10.37253/jjr.v22i1.822
Eriyanti, N., & Fazial, L. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen pada Pembelian Kosmetik Secara Online dalam Perspektif Mabi’ Dalam Aqad Bai’ Salam. TAWAZUN : Journal of Sharia Economic Law, 3(1), 95. https://doi.org/10.21043/tawazun.v3i1.7848
Fauzela, D. S. (2023). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Yang Mengandung Bahan Berbahaya Dalam Jual Beli Online (E-Commerce). Inovasi Pembangunan : Jurnal Kelitbangan, 11(01), 1. https://doi.org/10.35450/jip.v11i01.358
Han, D., & Ukas. (2021). Perlindungan Konsumen Terhadap Pembelian Kosmetik Ilegal Melalui Situs Online. SCIENTIA JOURNAL: Jurnal Ilmiah Mahasiswa. https://mail.puterabatam.com/index.php/scientia_journal/article/view/4231%0Ahttps://mail.puterabatam.com/index.php/scientia_journal/article/download/4231/2217
HTP, E. M. S. (2021). perlindungan hukum terhadap konsumen atas peredaran produk kosmetik ilegal yang mengandung bahan berbahaya (Studi Badan Pengawas Obat dan Makanan Medan). Skripsi Universitas Medan Area.
Nanda, R., & Tarina, D. D. Y. (2022). Perlindungan konsumen terhadap transaksi jual beli online kosmetik palsu melalui e-commerce. Humani (Hukum Dan Masyarakat Madani), 12(1), 13–27.
Pertiwi, Y. I., & Yahya, A. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Kosmetik Yang Mencantumkan Nomor Izin Edar Fiktif Di Kota Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan, 3(4), 829–842.
Pratiwi, N. K. D. S., & Nurmawati, M. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Kosmetik Impor Tanpa Izin Edar Yang Dijual Secara Online? Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, 7(5), 1. https://doi.org/10.24843/km.2019.v07.i05.p03
Putri Nur Anisa, & Tatty Aryani Ramli. (2022). Implementasi Peraturan Pengawasan Kosmetik Tanpa Izin Edar dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sebagai Upaya Perlindungan Konsumen. Jurnal Riset Ilmu Hukum, 1(2), 111–116. https://doi.org/10.29313/jrih.v1i2.528
Sari, N., & Tan, W. (2021). Analisis Hukum Produk Kosmetika Yang Di Impor Untuk Digunakan Secara Pribadi Oleh Konsumen. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(3), 959–973.
Soemarwi, V. W. S., & Ridzkia, Y. (2023). Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Peredaran Kosmetik Palsu Berdasarkan Uu Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Dan Peraturan Bpom Nomor 23 Tahun 2019. 5(1), 995–1010. https://bnr.bg/post/101787017/bsp-za-balgaria-e-pod-nomer-1-v-buletinata-za-vota-gerb-s-nomer-2-pp-db-s-nomer-12
Thalib, M. C. (2020). Legal Responsibility Of Perpetrators Against
Illegal Cosmetiic Circulation ”. 12(2),
100–109.
Copyright holder: Firyal Arribah Syafiqoh, Amad Sudiro (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |