Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 1, Januari 2024

 

PELIBATAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PMI) DALAM KEJAHATAN TERORISME

 

Tegar Bimantoro

Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Terorisme merupakan bentuk tindak kejahatan yang masuk ke dalam extraordinary crime. Sering kali Pekerja Migran terlibat dalam Tindakan terorisme melalui penyebaran paham Radikal yang berkembang. Jurnal penelitian ini bertujuan untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana proses pelibatan pekerja migran Indonesia hingga menjadi anggota kelompok terorisme, dan menjadi acuan untuk pembuatan kebijakan penanganan terorisme. Jurnal penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Selanjutnya teori yang digunakan peneliti dalam menjawab tujuan dan permasalahan penelitian yaitu menggunakan teori Golose terkait 9 aktivitas terorisme dan Sutherland terkait teori Differential Association  Adapun hasil dari penelitian ini adalah para pekerja migran yang terlibat dalam tindakan terorisme merupakan mereka yang memiliki latar belakang ekonomi yang kurang baik, selanjutnya kondisi diri yang sudah mulai jenuh akan kehidupan dunia, dan aktivitas sehari-hari mereka sebagai pengguna sosial media membuat mereka salah menentukan pilihan. Sosial media dan lingkungan sosial para pelaku terorisme merupakan temuan yang sangat penting dalam penelitian ini bagi para pelaku tindak terorisme yang terpapar paham radikalisme.

Kata Kunci: Pekerja Migran, Radikalisme, Terorisme

 

Abstract

Terrorism is a form of crime that falls into extraordinary crime. Often Migrant Workers are involved in acts of terrorism through the spread of radicalism that develops. This research journal aims to provide knowledge to the public about how the process of involving Indonesian migrant workers to become members of terrorist groups, and become a reference for making policies for handling terrorism. This research journal uses qualitative descriptive methods. Furthermore, the theory used by researchers in answering the objectives and problems of the research is using Golose's theory related to 9 terrorist activities and Sutherland's related to the Differential Association theory The results of this study are migrant workers involved in acts of terrorism are those who have an unfavorable economic background, then self-conditions that have begun to saturate world life,  And their daily activities as social media users make them make the wrong choice. Social media and the social environment of terrorism perpetrators are very important findings in this study for perpetrators of terrorism acts exposed to radicalism.

Keywords : Migrant Workers, Radicalism, Terrorism

 

 

 

 

Pendahuluan

Radikalisme berasal dari bahasa Latin, yaitu radix yang berarti akar. Hal ini dapat diartikan sebagai bentuk pola pikir atau pemikiran secara mendalam terhadap sesuatu hingga ke dasar sumber informasi tersebut didapat. Radikal ialah suatu usaha yang dilakukan untuk menunjukkan keyakinan dalam melakukan perubahan sosial yang sangat besar atau secara ekstrim. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme diterjemahkan menjadi sebuah ajaran atau paham (isme) yang kegiatan sangat erat pada seseorang atau komunitas orang yang menginginkan pergantian baik secara sosial maupun politik dengan menggunakan kekerasan, berpikir kritis dan bertindak ekstrim. Aksi radikalisme menjadi suatu ajaran yang tidak selalu menggunakan kekerasan dalam aksinya (Khamdan, 2016).

Namun, akibat dari paham radikalisme yang berkembang di masyarakat dikhawatirkan dapat menyebabkan perpecahan sehingga perlu dicegah agar dapat tercipta tatanan masyarakat yang harmonis (Satriawan et al., 2019).

Asrori (2015) menyebutkan setidaknya terdapat 3 faktor pendorong munculnya radikalisme di Indonesia. Pertama, munculnya aksi teror pada tataran global; Kedua, menyebarnya paham wahabisme; Ketiga ialah tingkat ekonomi di bawah rata-rata. Kelompok radikal menganggap kondisi politik yang tidak seimbang di Timur Tengah merupakan hasil dari intervensi negara Amerika, Israel dan negara pengikut lainnya. Selain itu, paham Wahabisme yang mengedepankan ajaran Islam layaknya budaya Arab konservatis juga mempengaruhi timbulnya kelompok yang memahami ajaran Islam untuk menilai orang lain yang berada di luar dari anggotanya di anggap sebagai lawan. Kemiskinan juga menjadi salah satu faktor munculnya radikalisme di Indonesia. Meskipun kemiskinan tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemunculan radikalisme, namun pandangan manusia sebagai bagian dari orang yang terpinggirkan menjadi salah satu pengaruh bagi seseorang untuk ikut dalam ajakan menjadi kaum radikal (Asrori, 2015). Widyaningrum dan Dugis (2018) menyatakan bahwa radikalisme merupakan benih dari lahirnya tindak teror.

Terorisme adalah bentuk tindak kejahatan yang masuk kedalam extraordinary crime. Undang – Undang Tahun 2018 No. 5  menyatakan bahwa tindakan teror merupakan perbuatan yang menerapkan kekerasan serta menggunakan ancaman sehingga menciptakan kondisi panik luar biasa, serta muncul rasa takut yang dapat menimbulkan korban massa, serta menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas Internasional dengan dalih ideologi, politik dan gangguan keamanan.

Schaudt dan Gassebner (2020) menggunakan data dari 183 negara pada rentang tahun 1980 – 2010, menyebutkan bahwa kemungkinan terjadinya serangan teroris akan meningkat di negara dengan Warga Negara Asing (WNA) yang lebih banyak. Teror tersebut kemungkinan dibawa oleh WNA yang berasal dari negara mayoritas muslim (Dreher et al., 2020).

Pada 10 tahun terakhir terdapat 7 kasus teror yang telah terjadi di Indonesia. Pada Bulan April 2011 terjadi ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat umat muslim melaksanakan shalat Jum’at. Kemudian di Bulan Juni 2013 terjadi kasus bom bunuh diri di depan Masjid Mapolresta Kota Poso. Bulan Agustus 2015, terjadi baku tembak antara kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Januari 2016, terjadi peristiwa enam ledakan dan penembakan di sekitar Plaza Sarinah, daerah Jakarta Pusat. Bulan Mei 2018, Mapolrestasbes Surabaya juga mendapat teror bom yang dilakukan oleh satu keluarga yang menggunakan sepeda motor. Pada Mei 2018 juga terjadi ledakan di tiga rumah ibadah di Kota Surabaya, yakni Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan. Maret 2021, terjadi ledakkan bom di depan Gereja Katedral Makassar (Wardhani, 2022). Beberapa kasus terorisme di Indonesia tersebut mengindikasikan adanya perekrutan terorisme dari Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Asumsi tersebut didasarkan atas Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang menjual jasa PRT dengan harga murah sebagai strategi agar dapat bersaing dengan PRT dari Filipina yang lebih terlatih dan terorganisir dengan baik, sehingga banyak PRT dari Indonesia yang dibayar di bawah upah minimum. Pelanggaran yang dilakukan PJTKI mengarah pada pembentukan Forum Komunikasi Peduli Umat (FKMPU) oleh PRT sehingga munculnya komunitas-komunitas perkumpulan PMI dengan berbagai macam minat, mulai dari kiat – kiat bagaimana cara melayani majikan, komunitas pemberdayaan PMI,  komunitas pendidikan untuk PMI, hingga bermunculan komunitas yang disisipi ideologi radikal (IPAC, 2017).

Penelitian yang dilakukan Andayani (2018) menyebutkan, 45 perempuan pekerja rumah tangga di Hongkong dilaporkan terlibat dalam kegiatan ISIS. Aktifitas yang dilakukan ialah membantu dan ikut serta membiayai tiket ke Suriah sampai ahirnya  menikah dengan pembebas ISIS yang dilakukan secara online (dalam jaringan). Lebih jauh, berdasarkan informasi melalui data primer yang penulis dapatkan dari informan terkait pelibatan PMI dalam terorisme, dalam hal ini data yang dikemukakan bersifat rahasia dan dapat dipertanggung jawabkan, terdapat indikasi adanya korelasi antara perekrutan terorisme dengan PMI yang melibatkan beberapa masyarakat Indonesia. Temuan di lapangan menyatakan bahwa sepasang kekasih yang merupakan PMI di Hongkong akan menjadi pengantin bom bunuh diri setelah sebelumnya berkenalan melalui media online lalu saling bertemu dengan melakukan perjalanan lintas negara, Jakarta – Hongkong – Turki.

Faktor hidup jauh dari rumah dan berada di lingkungan asing, serta sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari majikan, menjadikan pekerja migran ini sangat mudah untuk menjadi korban pendoktrinan online (dalam jaringan). Ditambah lagi akses media sosial yang sangat terbuka tanpa ada batasan. Selain itu kegiatan yang dilakukan pekerja migran di waktu luang adalah mendengarkan podcast salafi. Pekerja migran juga berteman dengan orang-orang yang profilnya nampak sangat Islami di facebook. Mereka (Informan) mengaku membutuhkan teman yang bisa membimbing dalam hal agama, serta hatinya sangat mudah tersentuh oleh tampilan yang muncul pada akun Instagram terkait kondisi warga Muslim yang menjadi korban penindasan di Suriah.

Penulis memperoleh data dari Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) milik Kementerian Sosial. RPTC telah memulangkan 7.600 PMI dari berbagai sektor. Menurut data RPTC, dari tahun 2015 – 2021, terdapat 205 PMI yang terpapar kasus terorisme. PMI yang terpapar terorisme akan ditangani langsung oleh Kementerian Sosial di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK).

Jika merujuk pada hasil penelitian sebelumnya, temuan oleh Forrester, dkk pada tahun 2019 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara migrasi dan terorisme, baik diukur dengan jumlah serangan atau korban terorisme di negara tujuan. Berseberangan dengan itu, Bove dah Bohmelt (2016) menunjukkan, memang migran “menjadi” kendaraan penting bagi teroris untuk menyebarkan ajarannya lintas negara. Namun, terdapat temuan menarik bahwa negara dengan arus migran yang besar justru mengarah pada tingkat serangan teroris yang lebih rendah. Selanjutnya penelitian yang dilakukan satgas Foreign Terrorist Fighters (FTF) juga menunjukkan bahwasannya terdapat gambaran hubungan yang melibatkan PMI dalam terorisme.

Untuk itu, Jurnal penelitian ini lebih rinci membahas bagaimana akhirnya pekerja migran Indonesia dilibatkan dalam aktivitas kelompok teror. Penelitian ini melihat tiga masa, yakni sebelum berangkat menjadi PMI, kemudian setelah jadi PMI hingga mereka bisa terpapar kasus terorisme. Jurnal penelitian ini bertujuan untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana proses pelibatan pekerja migran Indonesia hingga menjadi anggota kelompok terorisme, dan juga dapat menjadi salah satu acuan bagi pemangku kepentingan untuk merumuskan kebijakan agar pekerja migran Indonesia tidak terpapar paham radikalisme dan terorisme ketika bekerja di luar negeri.

 

Metode Penelitian

Dalam penulisan ini metode yang digunakan yaitu studi deskriptif secara kualitatif. Studi deskriptif digambarkan sebagai studi yang mencoba menjelaskan sesuatu peristiwa dalam keadaan sejujurnya dan seadanya, Oleh karenanya hanya berkenaan menerangkan kebenaran dan tidak memerlukan pemeriksaan hipotesa. Arikunto (2010) menuturkan bahwa studi deskriptif adalah pengkajian yang bertujuan yang hendak menggabungkan keterangan tentang sesuatu fenomena yang ada, yaitu bentuk fenomena yang menggambarkan keadaan apa adanya pada saat studi dilaksanakan.

Studi ini memaparkan se-alamiah mungkin terkait variabel, fenomena atau keadaan dan tidak ada pengujian terhadap hipotesa. Studi seperti ini tidak hanya khusus pada pengumpulan dan pengelolaan sebuah data, akan tetapi berniat menguraikan serta  mengintervensi data.Penelitian kualitatif bertujuan untuk memodifikasi dan menganalisis wacana tentang makna di balik peristiwa dan fakta untuk melatih dasar-dasar pemahaman dan interpretasi berdasarkan argumen yang  diterima oleh akal sehat dan logika.

 

Hasil dan Pembahasan

Dalam jurnal penelitian ini, teori yang digunakan sebagai guidance bagi peneliti dalam menjawab tujuan penelitian yaitu menggunakan teori Golose terkait 9 aktivitas terorisme dan Sutherland terkait teori Differential Association. Adapun dalam penelitian ini data-data dan informasi terkait paham radikalisme dan terorisme didapatkan dari dua orang informan. Informan pertama merupakan seorang wanita yang pernah menjadi tersangka kasus terorisme yang berasal dari Jawa Tengah dan pernah menjadi pekerja migran di beberapa negara seperti Malaysia, dan Hong Kong. Selanjutnya informan kedua merupakan seorang laki-laki yang bekerja sebagai seorang pekerja migran di negara Arab Saudi.

Kedua informan memiliki latar belakang pengalaman yang berbeda, yang akhirnya menjadikan mereka terpapar paham radikalisme dan terorisme. Informan 1 berasal dari keluarga broken home, yang menjadikan Ia kurang mendapat kasih sayang dari kedua orangtua. Berbeda dengan Informan kedua yang memiliki keluarga yang lengkap namun hidup dalam keluarga yang memiliki kesulitan dalam hal ekonomi. Berdasarkan hasil wawancara dari kedua informan tersebut, dalam perjalanan hidup mereka juga ditemukan beberapa kesamaan. Keduanya memiliki kekurangan dalam hidup, informan 1 merasa kurangnya kasih sayang dari kedua orangtuanya yang menyebabkan hidupnya hancur, sementara informan kedua menganggap kurangnya penghasilan yang membawanya terjerumus kepada terorisme.

Upaya mencari anggota baru dalam kelompok terorisme paling mudah dilakukan pada kelompok dengan tingkat ekonomi rendah (Nainggolan, 2018). Hal ini terlihat dengan apa yang dialami oleh informan 2. Strategi perekrutan anggota kelompok terorisme pada masyarakat kelas bawah dilakukan dengan cara menyalurkan pemberian jasa kebutuhan pokok untuk kehidupan sehari-hari dengan dalih kemanusiaan. Selain itu, informan 2juga teriming-imingi dengan keinginannya untuk bisa melakukan ibadah umroh di tanah suci. Kedua informan, ketika mereka memutuskan untuk menjadi pekerja migran, keduanya berada pada posisi yang ‘rentan’, sehingga mudah untuk dimasuki paham radikal yang sebelumnya asing bagi mereka. Ketika memutuskan untuk menjadi pekerja migran, usia informan 1 masih sangat muda bahkan ia sampai memalsukan identitasnya agar bisa menjadi pekerja migran. Pada usia yang sangat muda informan 1 sudah menjadi tulang punggung keluarga. Begitu juga dengan informan 2, pada usia 10 tahun Ia sudah bekerja dengan membantu orangtuanya mencari babrang rongsok. Hal ini tentu mempengaruhi kondisi psikologis kedua informan yang masih labil, sehingga berujung pada perbuatan yang dilarang oleh agama dan negara.

Teori pertahanan diri yang dicetuskan oleh Reckless (1973) melihat bahwa individu memiliki pertahanan untuk membentengi dirinya dari hal-hal negative (Cardwell, 2013). Pertahanan itu disebut pertahanan diri internal dan pertahanan diri eksternal. Pertahanan diri internal merupakan kemampuan dari dalam diri seseorang untuk menolak penyimpangan norma. Berdasarkan penuturan dari informan 1, Ia tidak memiliki pertahanan diri internal. Ia membiarkan dirinya untuk terjerumus ke dalam perbuatan menyimpang. Kondisi ini menggambarkan betapa labilnya kondisi psikologis informan 1 sehingga mudah terpengaruh oleh paham atau ideologi lain.

Selanjutnya Beeman (2001) menyebutkan terdapat dua faktor penting yang mendorong munculnya terorisme. Pertama, lemahnya kekuatan kaum muslim, yang oleh para tokoh kaum radikalis, dikarenakan adanya kemerosotan moral penguasa muslim. Kedua, pengakuan objektif kaum radikalis terhadap dunia non-muslim yang telah mencapai puncak kemajuan, baik di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi dan stabilitas politik (Beeman, 2001). Pekerja migran sangat rentan terkena tindak kejahatan di luar negeri. Kerentanan pekerja migran dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, keterampilan dan penegakan hukum di tingkat provinsi. Penyebaran paham radikalisme dan terorisme seringkali menyasar kepada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah (Habibie Center, 2018).

Keterlibatan informan 1 pada kasus terorisme bermula ketika Ia merasa jenuh dengan hiruk pikuk duniawi. Informan 1 ingin kembali ke pada jalan yang benar dengan menjadi orang yang taat beragama. Dia sering kali mencari informasi terkait dakwah-dakwah islam dan jihad pengampunan dosa masa lalu. Dari hasil pencarian informasi itu, informan 1 mengetahui adanya kegiatan amaliyah yang dilakukan oleh seorang pemuda di Gereja Kapunten Solo melalui situs arrahmah.com. Sejak itu, informan 1 rutin mencari informasi dari situs arrahmah.com, seperti berita tentang jihad mujahidin yang sedang perang di seluruh dunia, khususnya pasukan Al – Qaeda. Informan 1 menuturkan, semakin Ia membaca berita dengan tone ekstrimis tersebut, Ia semakin tertarik dan penasaran dengan dunia tauhid wal jihad. Selanjutnya terus menerus memenuhi rasa ingin tahu dengan mencari informasi sejenis di Facebook. Di platfom Facebook Ia berteman dengan orang-orang dari berbagai organisasi kemasyarakatan seperti FPI (Front Pembela Islam) dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Pertemuan informan 1 dengan orang-orang dari berbagai organisasi kemasyarakatan membuat Ia semakin mudah untuk berbagi cerita dan mempelajari tentang dunia tauhid wal jihad. Informan 1 menuturkan Ia kemudian mengenal secara bertahap bab jihad, khilafah, kafir demokrasi dan anshor thoghut. Tasnima merasa senang belajar tentang hal baru. Tasnima merasa ini adalah suatu pencerahan bagi Tasnima yang sebelumnya terasa gelap dan suram.

Tidak seperti informan 1, keterlibatan informan 2 dalam kasus terorisme dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi yang tidak baik. Informan 2 menjadi pekerja migran karena ingin membantu kondisi perekonomian keluarganya. Selain itu, Ia memilih negara Arab Saudi karena ingin melaksanakan ibadah umroh secara mudah. Ketertarikan nya terhadap jihad bermula saat Ia mendapat informasi melalui video di internet terkait anak kecil di Suriah yang dibunuh ketika perang. Atas dasar itulah, informan 2 yang tadinya berniat untuk memperbaiki perekonomian keluarga dengan menjadi pekerja migran di Arab Saudi, berubah haluan ingin pergi ke Suriah dengan misi kemanusaiaan. Setelah tiba di Arab Saudi, informan 2 berangkat dari Mekkah menuju Madinah, lalu melanjutkan perjalanannya ke Arar (perbatasan Arab-Iraq) menggunakan jalur darat dan menghabiskan waktu selama dua hari.

Awal mula keterlibatan kedua informan memiliki garis merah yang sama, yakni keduanya tertarik dengan dunia jihad dan terorisme setelah mendapat informasi dari dunia digital. Informan 1 mendapat informasi dari berita daring situs arrahmah.com, sedangkan informan 2 mendapat kiriman video tentang anak-anak korban perang di Suriah. Petrus R. Golose menyebut ada 9 aktivitas terorisme yang dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi (Bambang & Fitriana, 2017), yakni Propaganda, Perekrutan, Pendanaan, Penyediaan Logistik, Pembentukan Angkatan Bersenjata, Perencanaan, Pelaksanaan Serangan Teroris, Pelatihan dan Persembunyian. Fenomena yang dialami kedua informan merupakan salah satu bentuk dari propaganda, yakni kegiatan yang digunakan untuk mempengaruhi kegiatan manusia. Kedua informan terkena propaganda terorisme sehingga memiliki keinginan untuk mengikuti paham atau aliran tersebut.

Di tahun 2014, Informan 1 melakukan bai’at melalui media sosial Telegram dengan cara mengetik teks bai’at dan membagikannya di grup yang disaksikan oleh seluruh anggota grup. Bai’at dilakukan secara verbal karena di dalam grup juga terdapat laki-laki, jadi hanya boleh dilakukan secara verbal. Setelah bai’at, informan 1 merasa semakin yakin bahwa adanya eksistensi Daulah Islamiyah yang telah dideklarasikan di Negeri Syam pada tahun 2014 dan mengakui Syekh Abu Bakar Al – Baghdadi selaku Amirul Mukminan sebagai pimpinan Daulah Islamiyah. Di tahun 2015, pengetahuan informan 1 akan Daulah Islamiyah semakin berkembang. Dia bahkan seringkali mengirimkan dana ke sebuah toko yang menjual makanan Indonesia. Diketahui pekerja toko tersebut merupakan Ikhwan yang aktif mensyiarkan Daulah Islamiyah, yang bernama Abi Zaid alias Riswandi. Sejak saat itu, informan 1 sering mendanai orang – orang yang berniat untuk melakukan amaliyah. Abi Zaid menghubungi informan 1 kembali untuk meminta dana Rp 1.500.000 untuk mempermudah mempelajari pembuatan bom. Selain itu, informan 1 juga mengeluarkan dana Rp 2.000.000 untuk rencana amaliyah yang dilakukan pada bulan Desember 2015. Namun saat pembuatan bom, kurang beberapa barang yang tidak ditemukan di Bandung sehingga aksi tersebut dibatalkan. Informan 1 juga pernah mendanai pembelian panah untuk I’dad sebesar Rp 8.000.000. Seluruh dana yang dikirimkan informan 1 berasal dari hasil dia bekerja di Hongkong. Informan 1 yakin bahwa setiap orang yang menginfaqkan sebagian hartanya untuk membantu mujahidin yang berperang di jalan Allah, maka Ia akan mendapat pahala yang sama seperti para mujahidin yang melakukan amaliyah secara langsung.

 Mengacu pada teori Petrus R. Golose (2015) tentang 9 aktivitas terorisme yang dilakukan melalui teknologi informasi, perbuatan yang dilakukan Informan 1 masuk pada kategori Perekrutan, Pendanaan, Penyediaan Logistik dan Perencanaan. Tasnima rela mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai perbuatan amaliyah, yang Ia anggap benar. Awalnya Ia juga tidak memberi uang dengan cuma-cuma. Kepada Abi Zaid alias Riswandi Ia berkata, “apabila ingin melakukan amaliyah maka akan didanai”. Hal ini merupakan salah satu taktik perekrutan yang dilakukan oleh informan 1.

Kisah informan 2 tidak seperti informan 1. Jika informan 1 baru memperdalam ajaran agama ketika menjadi pekerja migran, informan 2 terlebih dahulu tergabung dalam organisasi keislaman di Kota Solo sebagai Tim Hisbah. Tim Hisbah adalah tim yang menggaungkan dan memberikan dakwah tentang amar ma’ruf nahi munkar. Tim Hisbah bertugas untuk membantu masyarakat sekitar dalam beramal sesuai ajaran agama Islam yang ditetapkan, serta melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan dalam memberantas perjudian dan prostitusi. Seperti dijabarkan sebelumnya, setibanya informan 1 di Arab Saudi Ia langsung berniat untuk pergi ke Suriah untuk misi kemanusiaan. Namun dalam perjalanannya, informan 2 seolah mendapat keraguan apakah keputusannya tepat atau salah. Informan 2 terus melanjutkan perjalanannya ke Suriah. Setelah tiba di perbatasan Arab Saudi, informan 2 digeledah oleh polisi perbatasan dan polisi menemukan hal-hal mencurigakan di telepon seluler miliknya.

Sutherland (1934) menyebutkan setidaknya terdapat 9 prinsip teori asosiasi diferensial. Teori ini menyebutkan bahwa tindak laku kejahatan dapat terwujud akibat dari proses pembelajaran individu yang normal. 9 prinsip teori asosiasi diferensial tersebut adalah:

1)    Semua perilaku kriminal dipelajari.

2)    Perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi.

3)    Kebanyakan pembelajaran tentang perilaku kriminal terjadi dalam kelompok dan hubungan pribadi yang intim.

4)    Proses mempelajari perilaku kriminal dapat mencakup pembelajaran tentang teknik – teknik untuk melakukan perilaku serta motif dan rasionalisasi yang akan membenarkan aktivitas kriminal dan sikap yang diperlukan untuk mengarahkan seseorang terhadap aktivitas tersebut.

5)    Arah motif dan dorongan terhadap perilaku kriminal dipelajari melalui penafsiran kode hukum di wilayah geografis seseorang sebagai menguntungkan atau tidak menguntungkan.

6)    Ketika jumlah interpretasi yang mendukung pelanggaran hukum melebihi interpretasi yang tidak mendukung, seseorang akan memilih untuk menjadi kriminal.

7)    Semua asosiasi diferensial tidak sama. Mereka dapat bervariasi dalam frekuensi, intensitas, prioritas, dan durasi.

8)    Proses mempelajari perilaku kriminal melalui interaksi dengan orang lain bergantung pada mekanisme yang sama yang digunakan dalam mempelajari perilaku lainnya.

9)    Perilaku kriminal dapat menjadi ekspresi dari kebutuhan dan nilai yang digeneralisasikan, namun mereka tidak menjelaskan perilaku tersebut karena perilaku non – kriminal mengekspresikan kebutuhan dan nilai yang sama.

9 prinsip teori asosiasi diferensial yang dijabarkan Sutherland (1934) menggambarkan proses kedua informan dapat terlibat dalam kasus terorisme. Awalnya, kedua informan tertarik dengan dunia jihad melalui proses komunikasi yang intens serta hubungan pribadi yang intim dengan orang lain. Bahkan, informan 1 sampai menikah dengan salah satu ikhwan yang giat mengkampanyekan jihad. Setelah informan 1 melakukan bai’at melalui grup telegram, Ia wajib untuk mengakui keberadaan Daulah Islamiyah yang telah dideklarasikan di Negeri Syam. Kedua informan semakin memperdalam keilmuan ketika Ia telah tergabung dengan kelompok jihad. Informan 2 menyebutkan bahwa Ia sempat ragu dengan jalan yang dipilih ketika akan berpergian ke Suriah. Namun, keraguan itu ditepis karena Ia yakin bahwa manfaat yang diterimanya akan lebih besar dibandingkan mudharatnya. Perilaku ini dapat menjadi peluapan ekspresi masing-masing informan. Bagi informan 1, Ia bergabung karena ingin kembali ke jalan yang benar dan jauh dari dunia yang penuh kemaksiatan. Sementara bagi informan 2, Ia bergabung karena ingin membantu korban perang dalam misi kemanusiaan. Sayangnya, jalan yang ditempuh menjerumuskan mereka ke dalam tindak pidana.

 

Kesimpulan

Radikalisme merupakan pemahaman yang secara global diartikan sebagai sebuah pola pikir dan perilaku seseorang secara ekstrem yang berujung pada kekerasan. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme diterjemahkan menjadi sebuah ajaran atau paham (isme) yang kegiatan sangat erat pada seseorang atau komunitas orang yang menginginkan pergantian baik secara sosial maupun politik dengan menggunakan kekerasan, berpikir kritis dan bertindak ekstrim. Radikalisme dapat membawa kepada hal-hal yang berbau konflik yang dapat meresahkan kehidupan kebersamaan suatu bangsa.

Radikalisme sendiri merupakan akar terbentuknya perilaku terorisme bagi suatu negara. Bahkan di Indonesia sendiri memiliki sebuah badan yaitu BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) untuk mencegah dan meminimalisir tindakan terorisme yang berkembang di negeri ini. Sudah banyak sekali kejadian-kejadian yang berkaitan dengan penyebaran faham radikalisme yang merupakan tindak terorisme di Indonesia. Terakhir kita sebagai publik mengetahui tindakan terorisme salah satunya berasal dari aktivitas pekerja migran Indonesia (PMI) yang dahulu bernama Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dalam penelitian ini, pelibatan Pekerja Migran Indonesia dalam kasus terorisme adalah pelaku aksi teror yang harus segera diberantas hingga akarnya. Dalam penelitian ini, pelaku teror sering melibatkan pekerja migran Indonesia karena terdorong oleh agama yang berlebihan serta kurangnya ekonomi sebagai iming-iming kehidupan yang lebih baik.

Selain itu sosial media memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dalam perilaku radikalisme. Platform sosial media menjadi media pembelajaran dan belajar secara mandiri bagi para pelaku terorisme dalam kesalahan memahami konten-konten yang bertemakan Jihad. Mereka terbawa suasana ketika melihat video-video perjuangan kaum muslimin sehingga secara tidak langsung mendapatkan doktrin dan stigma-stigma negatif untuk turut berjuang menjadi pembela agama yang secara tersirat dan tanpa disadari justru tindkan mereka berujung menghancurkan dan memecah belah persatuan bangsa.

Namun, bagi mereka pekerja migran yang terpapar paham radikal tersebut sebelum dikembalikan ke Indonesia mendapatkan hukuman dari pihak keamanan tempat mereka bekerja bagi yang diketahui terdeteksi memiliki perilaku yang mengarah pada tindakan terorisme. Sebutlah dalam penelitian ini dua orang yang menjadi informan merupakan tersangka kasus terorisme yang sempat ingin melakukan tindakan terorisme, bahkan lebih dari itu kedua informan dalam penelitian ini terpapar faham terorisme akibat dari masa lalu nya yang hidup dalam keadaan miskin dan lingkungan nya yang penuh dengan problematik terkait kehidupan.

Lebih jauh, para pelaku ini juga menjadi sebagian kelompok yang menyediakan dana untuk proses pembuatan bom untuk tindakan amaliah yang mereka anggap merupakan tindakan untuk membela agama (berjihad). Pada akhirnya para tersangka yang terpapar paham terorisme ini akan di kembalikan kepada pemerintahan Indonesia untuk dibina oleh kementerian terkait seperti Kementerian Sosial, Kepolisian, dan BNPT selaku penanggung jawab tindakan terorisme.

 

BIBLIOGRAFI

 

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Asongu, S. A., Le Roux, S., & Singh, P. (2021). Fighting terrorism in Africa: complementarity between inclusive development, military expenditure and political stability. Journal of Policy Modeling43(5), 897-922.

Asrori, A. (2015). Radikalisme di Indonesia: Antara historisitas dan antropisitas. Kalam, 9(2), 253–268.

Avdan, N. (2014). Controlling access to territory: Economic interdependence, transnational terrorism, and visa policies. Journal of Conflict Resolution58(4), 592-624. 

Bambang, & Fitriana, I. (2017). Cyberterrorism: Suatu Tantangan Komunikasi Asimetris bagi Ketahanan Nasional. Inter Komunika, 2(1), 1–15.

Bove, V., & Böhmelt, T. (2016). Does immigration induce terrorism?. The Journal of Politics78(2), 572-588. 

Cardwell, S. M. (2013). Reckless reevaluated: Containment theory and its ability to explain desistance among serious adolescent offenders.

Dreher, A., Gassebner, M., & Schaudt, P. (2020). The effect of migration on terror: Made at home or imported from abroad? Canadian Journal of Economics/Revue Canadienne d’économique, 53(4), 1703–1744.

Forrester, A. C., Powell, B., Nowrasteh, A., & Landgrave, M. (2019). Do immigrants import terrorism?. Journal of Economic Behavior & Organization166, 529-543. 

Golose, P. R. (2015). Invasi terorisme ke cyberspace. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Habibie Center. (2018). Memahami Potensi Kaitan Ancaman Ekstremisme Berkekerasan dan Perdagangan Orang di Indonesia. The Habibie Center: 2018.

Jazuli, A. (2017). Strategi pencegahan radikalisme dalam rangka pemberantasan tindak pidana terorisme (Prevention strategy of radicalism in order to wipe out the terrorism crime). Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum10(2), 197-209. 

Khamdan, M. (2016). Pengembangan nasionalisme keagamaan sebagai strategi penanganan potensi radikalisme Islam transnasional. Addin, 10(1), 207–232.

Kılıçlar, A., Uşaklı, A., & Tayfun, A. (2018). Terrorism prevention in tourism destinations: Security forces vs. civil authority perspectives. Journal of destination marketing & management8, 232-246.

Mubarak, Z. (2012). Fenomena terorisme di Indonesia: Kajian aspek teologi, ideologi dan gerakan. Jurnal Salam15(2). 

Nainggolan, P. P. (2018). Mengapa Indonesia sangat rawan dari ISIS/IS? Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 7(2).

Satriawan, I., Islami, M. N., & Lailam, T. (2019). Pencegahan gerakan radikalisme melalui penanaman ideologi pancasila dan budaya sadar konstitusi berbasis komunitas. Jurnal Surya Masyarakat, 1(2), 99–110.

Wardhani, V. (2022). Deretan Teror Bom yang Terjadi di Indonesia, Terbaru Bom Makassar. https://www.merdeka.com/sumut/deretan-teror-bom-yang-terjadi-di-indonesia-terbaru-bom-makassar.html

Widyaningrum, A. Y., & Dugis, N. S. (2018). Terorisme Radikalisme dan Identitas Keindonesiaan. Jurnal Studi Komunikasi, 2(1).

 

 

Copyright holder:

Tegar Bimantoro (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: