Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9,
No. 6, Juni 2024
PERBEDAAN KEPENTINGAN ANTARA HOST STATE DENGAN INVESTOR TERKAIT KLAUSULA FAIR AND EQUITABLE TREATMENT DALAM BILATERAL INVESTMENT TREATY
Febriyanto Dony Rampengan1*, Richy Rolandi Kojansow2
Universitas Surabaya, Surabaya, Indonesia 1,2
Email: [email protected]1*,
[email protected]2
Abstrak
Dalam era neoliberalisasi
ekonomi saat ini, hampir semua negara di dunia menerapkan kebijakan ekonomi
pasar terbuka. Pergeseran ini bertujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi untuk
pembangunan nasional dengan menarik investasi asing. Iklim investasi, yang
sering disebut sebagai Investment Climate (IC),
memainkan peran penting dalam membentuk keputusan investor asing. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji dampak
klausula Fair and Equitable Treatment
(FET) dalam Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) terhadap hubungan antara
negara tuan rumah dan investor. Klausula FET sangat
penting dalam melindungi harapan wajar investor, tetapi interpretasinya yang
samar dan cakupannya yang luas dapat menyebabkan perselisihan. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana klausula
FET dapat memengaruhi keseimbangan antara hak investor dan hak berdaulat negara
tuan rumah. Selain itu, penelitian ini membahas tantangan yang muncul dari masalah
inkonsistensi dinamis dan menyarankan strategi untuk meminimalkan konflik.
Studi kasus yang melibatkan sengketa, seperti kasus Churchill
Mining vs. Indonesia, menggambarkan kompleksitas seputar FET. Penelitian ini menyimpulkan dengan mengusulkan langkah-langkah
untuk mengklarifikasi dan membatasi aplikasi klausula
FET untuk mencapai keseimbangan antara perlindungan investor dan kedaulatan
negara tuan rumah.
Kata Kunci:
Fair and Equitable
Treatment (FET), Bilateral Investment Treaty
(BIT),
Investment Climate (IC)
Abstract
In the current era of economic neoliberalization, most countries worldwide have adopted
open market economy policies. This shift aims to accrue economic benefits for
national development by attracting foreign investment. The investment climate,
often referred to as the Investment Climate (IC), plays a crucial role in
shaping the decisions of foreign investors. This paper examines the impact of
the Fair and Equitable Treatment (FET) clause in Bilateral Investment Treaties
(BITs) on the relationship between host states and investors. The FET clause is
integral in protecting investors' legitimate expectations, but its vague
interpretation and broad scope can lead to disputes. The paper explores how the
FET clause may affect the balance between investor rights and the sovereign
rights of host states. Additionally, it delves into the challenges arising from
dynamic inconsistency problems and suggests strategies for minimizing
conflicts. Case studies involving disputes, such as the Churchill Mining vs.
Indonesia case, illustrate the complexities surrounding FET. The paper
concludes by proposing measures to clarify and limit the FET clause's application
to strike a balance between investor protection and host state sovereignty.
Keywords: Fair
and Equitable Treatment (FET), Bilateral Investment Treaty (BIT), Investment
Climate (IC)
Pendahuluan
Dalam era neoliberalisasi ekonomi seperti saat
ini, hampir seluruh negara di dunia telah menerapkan kebijakan perekonomian pasar
terbuka atau open market
economy (Yuniarto, 2016). Hal ini dikarenakan dengan menerapkan sistem pasar terbuka, negara akan
mendapat banyak keuntungan yang dapat digunakan sebagai dana untuk melakukan
pembangunan ekonomi dan nasional suatu negara. Sistem pasar terbuka yang
diterapkan oleh negara dapat menyangkut berbagai bidang, termasuk investasi. Saat
ini, investasi telah menyebar ke seluruh penjuru dunia ketika para perusahaan
multinasional skala besar mulai memperluas ekspansi perusahaannya ke negara
lain dengan tujuan meningkatkan peluang dan keuntungan (Koeswanto & Taufik, 2017). Para investor sering kali melakukan investasi pada negara-negara yang
sedang berkembang, karena negara berkembang pada umumnya memerlukan banyak
modal dalam melakukan pembangunan nasionalnya. Dalam dunia investasi
internasional, istilah untuk negara tempat investor melakukan investasi disebut
Host State.
Host state yang notabene memerlukan sumber
dana dalam pembangunan ekonomi nasionalnya memerlukan investor untuk mmenambah pemasukan uang, sehingga dapat menggerakkan roda
perekonomian nasional yang berujung pada kesejahteraan rakyat (Wartini & Ghafur, 2014). Negara berkembang memiliki ekspektasi bahwa
dengan mengundang investor asing akan meningkatkan devisa negara, menyediakan
banyak lapangan kerja, berkembangnya industri dan perdagangan, naiknya
pembangunan daerah dan alih teknologi. Akan tetapi sebelum investor berinvestasi,
mereka mempertimbangkan beberapa faktor terkait investasi, seperti upah buruh
rendah, sumber daya alam melimpah, biaya produksi rendah, pangsa pasar yang
besar, adanya fasilitas yang mendukung, dan gaya hidup masyarakat yang
konsumtif, hal-hal ini yang kemudian disebut sebagai iklim investasi (Margono, 2008).
Namun disisi lain, negara
berkembang kerap kali mempersulit investor yang akan menanamkan modalnya di
negaranya, seperti mepersulit memeperolehan
izin, melakukan perubahan peraturan perundang-undangan akibat perubahan rezim, merubah cara pemerintahan karena adanya pergantian struktur
pemerintahan, dan sebagainya. Dalam dunia investasi internasional
perubahan-perubahan seperti ini dinamakan dengan Dynamic Inconsistency Problem (DIP). Hal inilah
yang kemudian membuat investor merasa tidak aman dan tidak mendapat
perlindungan oleh host state (Casily, 2023).
Untuk
meningkatkan iklim investasi, perlu adanya perjanjian bilateral diantara host state dengan home state (negara asal investasi) terkait investasi, yang
disebut Bilateral Investment Treaty (BIT) investasi (Margono, 2008). Pembuatan perjanjian bilateral ini untuk menentukan hal-hal apa saja yang
nantinya boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan bagi investor atau host state pada
saat melakukan investasi. Dalam perkembangan sejarah hukum dan hubungan
internasional, perjanjian internasional yang disepakati antar negara dapat digunakan
sebagai dasar hukum untuk melakukan kerja sama secara damai apapun
bentuk sistem dan konstitusinya (Suryokusumo, 2008). Kewenangan untuk membuat BIT tersebut merupakan atribut dari negara yang
berdaulat, karena perjanjian tersebut dibuat dalam rangka kedaulatannya, dimana negara tersebut menciptakan kewajiban yang mengikat
satu dengan yang lainnya dan masing-masing berusaha membatasi tindakannya
sendiri dan tindakan negara lain sebagai perwujudan suatu negara yang berdaulat
(Desilta, 2019).
BIT
dapat diartikan sebagai perjanjian internasional yang mengikat secara hukum
antara dua negara dimana masing-masing negara
berjanji satu sama lain untuk menerapkan standar perlakukan yang tertuang dalam
dalam perjanjian terkait dengan penanaman modal yang
dilakukan masing-masing negara. Dalam BIT hak-hak investor menjadi lebih
terjamin dan juga dapat memberikan kemungkinan bagi investor untuk menuntut host state di pengadilan
internasional jika hak-hak investor ini tidak dipenuhi (Desilta, 2019). Isi yang termuat dalam BIT (Content of BIT) secara umum terdiri dari emapt
hal, yaitu (Prihandono & Lambooy, 2019): Isi yang umumnya termuat dalam perjanjian investasi bilateral (BIT),
sebagaimana dijelaskan oleh Prihandoko dan Lambooy (2019), melibatkan empat komponen utama. Pertama, definisi dari investor dan
investasi menjadi landasan yang penting. Kedua, terdapat ketentuan perlindungan
umum, yang mencakup Fair and
Equitable Treatment (FET Clause), perlakuan Paling Diberikan kepada Negara (Most Favoured Nation
Treatment), dan perlakuan Nasional. Ketiga, terdapat
ketentuan perlakuan khusus, yang mencakup ekspropriasi
dengan pemberian kompensasi dan kebebasan ekspor laba. Keempat, disertakan
ketentuan penyelesaian sengketa, baik melalui penyelesaian sengketa antara
investor dan negara (Investor-State Dispute Resolution Provision) maupun
antara negara-negara yang terlibat (State-to-State Dispute Resolution Provision). Dengan demikian, BIT secara umum mengatur
aspek-aspek tersebut untuk menciptakan kerangka hukum yang jelas dalam hubungan
investasi antarnegara.
Tujuan utama dan
sesungguhnya dari pembuatan BIT yaitu untuk melindungi investor dari ketidak pastian yang terjadi di
negara tempatnya berinvestasi (Zulfikar, 2023). Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap negara berdaulat memiliki
hak untuk melakukan berbagai perubahan baik terkait undang-undang, sistem
pemerintahan, atau institusinya. Selain untuk mengembangkan negaranya menjuju
arah lebih baik, reformasi-reformasi ini juga untuk melindungi
kepentingan-kepentingan nasional dari penguasaan asing dibidang investasi.
Disisi lain, investor sebagai pihak penanam modal memiliki ekspektasi
dan keinginan berbeda dari host state, bahwa
ketika investor melakukan investasi hak-haknya akan selalu terjamin, iklim
investasi selalu stabil, dan host state tidak pernah membuat perubahan terkait kebijakan atau cara pemerintahan yang dapat
merugikan investasinya. Perbedaan kepentingan antara host state dengan investor inilah yang kemudian
menimbulkan dilematik saat melakukan investasi baik oleh investor ataupun host state.
Mengingat bahwa tujuan utama pembuatan BIT adalah untuk melindungi
investor, maka investor sering memanfaatkan klausula
FET dalam Content of BIT untuk
melindungi kelangsungan investasinya (Sembiring, 2022). Hal ini dikarenakan klausula FET dianggap
sebagai klausula yang paling ampuh dalam mengatasi
adanya DIP yang dilakukan host state. Hal ini yang kemudian menimbulkan suatu
pertanyaan mengenai perlakuan yang dilakukan oleh negara dengan alasan
melindungi kepentingan nasionalnya tersebut apakah dapat dikatakan menciderai klausula fair and equitable treatment dalam bilateral
investment treaty, serta
bagaimana yang seharusnya dilakukan negara ataupun investor dalam menyikapi
adanya ketidak pastian
dalam iklim investasi yang tidak dapat dielakkan. Untuk itu penulis berusaha
mengkaji permasalahan ini berdasarkan analisis terhadap teori dan beberapa
kasus-kasus investasi yang berhubungan dengn klausula fair and equitable treatment.
Rumusan masalah dalam konteks ini melibatkan dua aspek utama. Pertama,
bagaimana klausula fair and equitable treatment
(FET) dalam perjanjian investasi bilateral (BIT) dapat memengaruhi hubungan
antara negara-negara yang terlibat. Kedua, bagaimana kepentingan nasional dari
tuan rumah (Host State) dapat sejalan atau
bertentangan dengan kepentingan investor asing. Dalam konteks ini, perlu
dianalisis bagaimana implementasi FET dapat menciptakan keseimbangan antara
perlindungan hak investor dan menjaga kepentingan nasional, serta sejauh mana
potensi konflik antara kedua aspek tersebut dapat diatasi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dampak klausula Fair and
Equitable Treatment (FET)
dalam Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) terhadap hubungan antara negara tuan
rumah dan investor.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif
untuk menganalisis pengaruh klausula fair and equitable
treatment (FET) dalam perjanjian investasi bilateral
(BIT) terhadap hubungan antara negara-negara yang terlibat, serta bagaimana
kepentingan nasional dari host state
dapat sejalan atau bertentangan dengan kepentingan investor asing. Data
dikumpulkan melalui studi pustaka yang mencakup literatur
akademik, perjanjian internasional, dan kasus-kasus investasi yang relevan.
Analisis dilakukan dengan cara mengkaji teori-teori yang berhubungan dengan
investasi internasional dan FET, serta membandingkannya dengan kasus-kasus
nyata untuk mengidentifikasi pola, tantangan, dan implikasi yang muncul. Metode
ini memungkinkan penelitian untuk memberikan wawasan mendalam tentang
implementasi FET dan pengaruhnya terhadap iklim investasi serta keseimbangan
antara perlindungan hak investor dan kepentingan nasional.
Hasil
dan Pembahasan
Klausula Fair And Equitable Treatment dalam Bilateral
Investment Treaty
Jika diliat dari katanya, fair sesungguhnya
juga mengandung arti equity
yang berarti adil, tidak memihak,
wajar, dan sesuai dengan peraturan, maksudnya yaitu kata fair dapat dimaknai sebagai standart yang tunggal, sama, adil, dan seimbang. Adil yang
dimaksud yaitu mengenai tindakan pemerintah yang tidak memihak. Fair and equitable treatment pada
dasarnya dapat dikatakan sebagai standar umum dalam memperlakukan orang asing (kesetaraan
dan keadilan) yang ada dalam hukum kebiasaan internasional (OECD, 1960). Dalam
hal pembahasan paper ini, orang asing yang dimaksud yaitu para investor
asing yang melakukan penanaman modal di host state.
Klausula FET pertama
kali digunakan dalam Draft Convention on Investment Aboard yang
diajukan oleh Herman Abs dan Lord
Shawcross pada tahun 1959. Klausula
FET mulai menjadi bagian dari hukum internasional sejak tahun 1948 dalam usaha
mendirikan International Trade Organisation (ITO) yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2)
Havana Charter. Meskipun pada akhirnya ITO gagal
dibentuk, klausula FET nyatanya masih diadopsi dalam
perjanjian investasi bilateral dan multilateral, contohnya dalam OECD (Organization for Economic Cooperation and Development yang mengeluarkan Draft Convetion on the Protection of Foreign Property, yang
mencantumkan FET dalam pasal pertamanya. Pasal tersebut menjelaskan bahwa FET
merupakan prinsip umum hukum internasional dan setiap negara memiliki kewajiban
untuk melindungi dan menghormati properti warga negara asing. Menurut draft tersebut sumber dari FET yaitu dari standart perlakuan terhadap orang asing yang terdapat dalam
hukum kebiasaan internasional. Kemudian berdasarkan Pasal Pertama Draft tersebut, FET mulai diterapkan oleh negara-negara
anggota OECD dalam membuat perjanjian bilateral.
Negara yang pertama menggunakan konsep klausula FET
adalah Amerika Serikat, diama USA menginginkan adanya
perlindungan bagi investornya. Amerika menggunakan kosep
klausula FET dalam perjanjian friendship, commerce, and navigation
(FCN). Hingga akhirnya perjanjian bilateral semacam ini terus mengalami
perkembangan dan klausula FET sering digunakan hingga
sekarang. Akan tetapi minimum standart yang
dimaksudkan dalam klausula FET masih tidak ada
pengertian dan batasan secara pasti dan tetap. Sehingga ini yang kemudian
dimanfaatkan oleh investor dan penasehat hukum
investor ketika menginginkan kompensasi atas DIP akibat tindakan pemerintah.
Dalam BIT tujuan awal
penggunaan klausula FET yaitu untuk melindungi
investor dari beberapa perlakuan yang tidak adil, seperti pembatalan izin
secara sepihak, pemberian kewajiban pembayaran pajak yang tidak memiliki dasar,
dan pemberian hambatan lain yang dapat merugikan investor dalam melakukan bisnisnya.
Oleh sebab itu investor memerlukan perlindungan diluar
klausul yang lain, seperti MFN dan NT, dan jalan yang dipilih yaitu dengan
memasukkan klausula
FET. Mengingat tidak adanya batasan dan stadart
tetap terkait FET, arbitrase internasional dalam memutus perkaranya akan berdasarkan
penafsirannya sendiri yang cenderng menggunakan
gagasan mengenai ekspektasi wajar (legitimate expectation) yang
dimiliki oleh investor. Hal ini tentu akan merugikan host state sebagai pihak yang digugat oleh
investor. Pada prinsipnya konsep mengenai ekspektasi
yang wajar oleh investor telah diakui keberadaannya dalam FET, namun karena penerapannya
yang masih belum dipikirkan secara matang dapat menimbulkan berbagai persoalan
yang berhubungan dengan kepentingan host state. Terdapat dua permasalahan yang ditimbulkan dari klausula FET, seperti:
a. Adanya interpretasi yang luas dan tidak dapat diprediksi
Pada umumnya klausula FET dalam BIT memiliki penjelasan yang sangat
singkat dan tidak jelas. Sehingga cenderung diinterpretasikan secara luas oleh
arbitrase dengan alasan tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai hal
tersebut. Mengingat bahwa tujuan utama BIT adalah untuk melindungi investor dan
ekspektasi wajar dalam FET sebagai penguat adanya
pelanggaran, maka hal ini seringkali dijadikan acuan
oleh arbiter dalam memutus perkara.
b. Tidak adanya batas pertanggungjawaban host state
Investor yang
mengajukan gugatan pada arbitase mengenai klausula FET tentu berhubungan dengan tindakan pemerintah
yang menurutnya dapat merugikan. Pada praktik arbitrase seperti saat ini
cenderung menunjukkan hampir semua tindakan pemerintah dianggap telah melanggar
FET. Hal ini dikarenakan tidak adanya minimum standart
pertanggungjawaban pemerintah dalam bidang apa tindakannya dapat dikategorikan
FET. Pertanggungjawaban dapat berhubungan dengan dua prinsip pemerintahan,
yaitu prinsip pemerintahan yang baik, seperti tidak melakukan tindakan
sewenang-wenang dan seberapa serius pelanggaran yang dilakukan telah melanggar
FET.
Contoh klausula FET yang termuat dalam BIT:
a. Artikel 2.3 dalam BIT Jerman,
menyatakan bahwa akan memberikan FET sesuai standart
dan penuh perlindungan, dimana pemerintah tidak akan
melanggar atau merugikan investor dengan cara sewenang-wenang dan diskriminasi
sehingga mempengaruhi manajemen pemeliharaan dan pemasukan dari investasi.
b. Artikel 4 dalam klausula BIT Prancis, menyatakan
bahwa standar- FET yang digunakan adalah standart
yang dipakai dalam prinsip-prinsip perlakan terhadap
orang asing.
c. Paragraf Pertama dalam Klausula BIT Belgia,
menyatakan bahwa perlindungan terhadap klausula FET
akan selalu dilakukan kecuali bila menyangkut kepentingan umum. Dimana investasi juga akan mendapat perlindungan
terus-menerus dari tindakan negara yang sewenang-wenang dan diskriminasi.
Berdasarkan
contoh mengenai klausula FET dalam BIT tersebut,
tampak jelas bahwa mereka tidak memberi batasan-batasan secara pasti dan tepat dalam
klausul FET. Padahal batasan-batasan ini sangat penting untuk menentukan
tindakan seperti apa yang dikategorikan melanggar FET dan pelanggaran seperti
apa yang mengharuskan negara bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Maka
tidak heran jika banyak investor yang menggunakan klausula
FET untuk meminta pertanggungjawaban negara atas kerugian investasinya. Klausula FET juga sering dikenal sebagai klausula sapu jagat karena investor dapat menggugat host state jika ekspektasi wajar (legitimate expectation) tidak terpenuhi.
Kepentingan Nasional (Host State) Bersamaan dengan Kepentingan Investor
Mengingat bahwa negara merupakan organ yang dinamis, dimana
pasti terdapat kepentingan nasional yang mengharuskan host state untuk melakukan perubahan aturan-aturan dalam negerinya
tidak dapat dihindarkan. Disamping itu, Host state juga telah terikat dengan kewajiban
hukum internasional untuk membentuk regulasi-regulasi di dalam negerinya
berdasarkan kesepakatan internasional, seperti perlindungan lingkungan,
kesehatan, sumber daya alam, dan hak asasi manusia. Sehingga
perubahan-perubahan tersebut tidak dapat dielakkan lagi untuk tidak dilakukan. Dalam
perspektif host state tindakan
tersebut merupakan kewajibannya untuk melindungi warganya.
Membuat regulasi dalam negeri merupakan hak berdaulat host state yang tidak dapat dihilangkan. Hal ini
dikarenakan negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya. Tetapi disisi
lain host state harus
mempertimbangkan kewajibannya mengenai pelindungan pada investor agar tidak
terjadi pelanggaran terhadap FET. Mengingat bahwa pengaturan mengenai FET tidak
ada batasan tertentu, maka dapat merugikan negara, karena:
a. Pelaksanaan klausula FET dapat menimbulkan ketidak pastian dalam penerapan
dan batasannya
b. Klausula FET dapat
menimbulkan klausula hukum yang bisa jadi melampaui
batas dalam penerapannya
c. Adanya interpretasi FET yang terlalu luas oleh arbiter cenderung lebih
mendukung investor asing berdasarkan legitimate expectation investor asing.
Ketiga hal inilah yang nantinya akan mengganggu kepentingan negara dalam
melaksanakan kedaulatannya dan kewajibannya dalam melaksanakan kepentingan
nasionalnya. Padahal kedaulatan negara merupakan karakteristik dari sebuah
negara. Seperti yang telah disampaikan dalam Opini nomor 1 Komisi Arbitrase
Eropa di Yugoslavia, bahwa negara dapat didefinisikan
sebagai komunitas atau kelompok yang terdiri dari populasi dan wilayah yang
tunduk pada otoritas politik berdaulat dengan cirinya yaitu memiliki kedaulatan
(Opinion No. 1, 2019). Selain itu, kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi yang dimiliki negara
untuk secara bebas melakukan kegiatan sesuai kepentingan nasionalnya asal tidak
bertentangan dengan hukum internasional (Mauna, 2001). Dimana kedaulatan ini memiliki tiga aspek,
meliputi: eksternal, internal, dan teritorial.
a. Aspek eksternal kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk menentukan
hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok lain tanpa kekagan,
pengawasan, atau tekanan dari negara lain.
b. Aspek internal kedaulatan adalah hak atau wewenang eksklusif suatu negara
untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga
tersebut, dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan
untuk mematuhinya.
c. Aspek teritorial kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan eksklusif yang
dimiliki negara atas individu dan benda-benda yang terdapat dalam wilayah
negara tersebut.
Ketidak
adanya kepastian dan kejelasan aturan dalam BIT mengenai batasan klausula FET akan membatasi regulatory space host state dalam mengatur mengenai masalah internalnya,
seperti pajak, lingkungan, dan kepentingan publik. Perbedaan kepentingan antara
negara dengan investor ini yang kemudian menjadi masalah dalam bidang investasi (Febiola, 2023). Contohnya, pada arbitrase ICSID yang pernah menangani kasus antara BIT
Uruguay dengan Phillip Morris. Dimana Phillip Morris
mengajukan klaim keberatan atas kebijakan pemerintah Uruguay dan dianggap telah
melangar klausula FET. Hal
ini dikarenakan Uruguay telah mengeluarkan aturan untuk mewajibkan 80% kemasan
rokok berisi peringatan bahaya merokok dan meningkatkan pajak pabrik rokok.
Pada perspektif investor hal ini tentu dianggap sangat merugikan karena jika
80% kemasan rokok berisi peringatan, maka akan sulit untuk membedakan antara
merek rokok satu dengan lainnya sehingga Phillip Morris merasa dirugikan.
Berdasarkan perbedaan kepentigan antara host state dengan
investor dalam penafsiran klausula FET, maka perlu
adanya tindakan lebih lanjut agar meminimalisir
sengketa investasi internasional diantara kedua
pihak, seperti:
a. Memuat perjanjian mengenai pengaturan terkait jenis tindakan pemerintah
untuk dapat dikatakan sebagai pelanggaran dalam klausula
FET. Dan perlu juga diatur dalam hal kriteria mengenai seberapa serius tindakan
host state telah
melanggar klausula FET. Sehingga akan ada batasan
yang jelas mengenai seberapa besar ganti rugi yang harus dibayar oleh host state.
b. Melakukan perjanjian terkait penyesuaian mengenai klausula
dalam BIT yang didasarkan pada pendekatan perkembangan host
state. Dimana negara-negara
para pihak dalam BIT melakukan negosiasi dan kesepakatan dan standart kewajiban masing-masing yang didasarkan pada
perbedaan situasi, kondisi, maupun kemampuan negara. Implementasi ini merupakan
implementasi berdasarkan perjanjian investasi Common
Investment Area 2007
c. Alternatif lain sebagai tindakan agar tidak terjadi sengketa mengenai klausula FET yaitu dengan tidak mencantumkan klausula FET ke dalam BIT. Dengan demikian tanggung jawab
negara dalam skala internasional dapat dikurangi dan dapat meminimalisir
kerugian dikemudian hari akibat pencantuman FET. Contohnya yaitu BIT
Australia-Singapura yang tidak mencantumkan mengenai FET.
Alternatif tersebut sangat perlu untuk dipertimbangkan dan diterapkan dalam
pembuatan BIT. Karena jika tidak diatur akan menimbulkan sengketa terkait host state dengan
investor asing. Berikut merupakan beberapa contoh kasus antara host state dengan
investor terkait masalah klausula FET.
1. Tecmed vs. Mexico
Tecmed (Spanyol)
menggugat pemerintah Mexico karena tidak memberikan izin baru atas penyewaan
tanah untuk pengelolaan limbah dan memerintahkan untuk menutup fasilitas,
dengan lasaan limbah yang terdapat dalam tanah telah
melebihi batas maksimum, terdapat limbah bilogis dan
cairan yang berbahaya sementara Tecmed tidak memiliki
izin pembuangan limbah biologis dan berbahaya tersebut. Sehingga Tecmed berargumen bahwa pemerintah Mexico telah melanggar
BIT terkait kewajiban FET. Dalam putusannya majelis berpendapat bahwa BIT
mewajibkan para pihak untuk bertindak secara konsisten, transparan, dan tanpa
ambiguitas kepada investor asing beserta investasinya. Arbiter memutuskan
pemerintah Mexico telah melanggar FET karena badan pemberian izin tidak
memberikan informasi dengan jelas terkait perpanjangan pemberian izin dan telah
menggunakan alasan lingkungan dan kesehatan untuk mengambil keputusan
pencabutan izin dan fasilitas terhadap Tecmed yang
sebenarnya dipicu oleh isu sosial dan politik (Pramuditya, 2013).
2. Continental Casualty vs. Argentina
Continental menuntut
Argentina dengan alasan bahwa kondisi hukum yang stabil merupakan elemen dasar
dari FET dan investor memiliki ekspektasi yang wajar bahwa
rezim Argentna tidak akan melakukan perubahan
terhadap kebijakan-kebijakan investasi. Akan tetapi saat itu argentina mengeluarkan beberapa kebijakan dan revolusi yang
menurut Continental hal tersebut sudah merusak
proteksi hukum terhadap industri Continental. Tetapi
disisi lain kebijakan ini diambil oleh Argentina karena pada saat disana sedang mengalami devaluasi Peso
Argentina, maka Continental menuntut Argentina atas
dilanggarnya klausula FET. Putusan arbitrase internasinal menyatakan bahwa situasi yang dialami Continental sangat berbeda dengan klaim lain terhadap Argentna mengenai kebijakan yang diambil pada saat krisis
keuangan. Arbiter menganggap bahwa tindakan Argentina ditujukan kepada seluruh
penduduk Argentina termasuk investor tanpa terkecuali. Terlebih lagi Continental ternyata tidak memiliki atas jaminan hukum
dalam investasi di Argentina karena investasi Continental
telah masuk sebelum perjanjian jaminan dibuat.
3. Churchill Mining Plc vs. Indonesia
Churchill menuntut Indonesia atas
pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) milik Ridlatama
Group. Tuduhan pelanggaran yang dimaksud oleh Churchill yakni berawal dari adanya
dynamic inconsistency problem terhadap aturan hukum penambangan yang berbeda antara tahun 2005 dengan tahun 2009 dimana awalnya terdapat pemberian
izin penambangan kemudian dilakukan pencabutan izin dan pengambil alihan
investasi Churchill secara tidak langsung. Churchill menganggap
Indonesia telah melanggar standart penjaminan dan
perlindungan yang berlaku dalam perjanjian investasi bilateral mengenai FET
dalam BIT UK-Indonesia (Mangube, 2016). Putusan arbitrase tribunal menyatakan bahwa Indonesia tidak melakukan
pelanggaran terhadap FET karena pencabutan IUP didasarkan atas alasan yang
jelas dan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Selain itu Churchill ternyata
telah melakukan berbagai pemalsuan terhadap ilegalitas dokumen izin pertambangan, Selain itu, Lisensi Survei
Umum dan Lisensi Eksplorasi, serta dokumen pendukung
lainnya yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga
pemerintah adalah palsu yang dilakukan menggunakan mesin mekanis (autopen). Pihak
tribunal menganggap bahwa terjadi pemalsuan berarti telah terjadi
pelanggaran hukum mengenai keaslian dan lisensi dokumen
dan menyatakan bahwa investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas
mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional.
Berdasarkan
penjelasan diatas maka pengaturan mengenai
batasan-batasan FET dalam BIT sangat perlu untuk dilakukan. Menurut arbiter
tribunal, terdapat beberapa standart yang dapat
dilakukan negara saat kepentingan nasionalnya berhadapan dengan legitimate expectation investor,
misalnya jika terjadi pelanggaran terhadap ekspektasi
yang wajar, maka agar alasan tersebut diakui oleh arbitrase tribunal harus masuk akal. Caranya yaitu harus sesuai dengan apa yang ada
dengan kondisi di host state
pada saat itu. Kemudian, untuk membuktikan bahwa negara tidak melakukan pelanggaran
FET, host state dapat
meminta arbiter tribunal melakukan pengukuran terhadap stabilitas dan
konsistensi negara penerima investasi bahwasannya
perubahan kebijakan host state
telah sesuai dengan prosedur hukum dan memberitahukan kepada pihak yang
berkepentingan (investor) dan telah memberikan izin pada investor untuk
menyampaikannya melalui proses peradilan (due
proses). Seperti pada kasus lain, yakni antara Parkerings
(AS) vs Lithuania, dimana
arbiter tribunal menyatakan bahwa investor seharusnya dapat mengetahui dan
menerima jika hukum dalam suatu negara tentu akan mengalami perubahan jika
sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat dan negara tersebut.
Kesimpulan
Tujuan awal dibuatnya perjanjian bilateral investasi (Bilateral Investment Treaty) adalah untuk
melindungi investasi dari pelanggaran hak-hak investasinya. Klausula
yang sering digunakan untuk melindungi hak-hak investor yaitu Fair And Equitable Treatment. Klausula ini sering digunakan investor untuk menuntut
negara agar memenuhi ekspektasi wajar yang
diinginkannya. Akan tetapi dalam klausula FET tidak
ada pembatasan secara khusus mengenai batasan tindakan negara yang dapat
dikategorikan melanggar FET dan pelanggaran seperti apa yang mengharuskan
negara bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Maka tidak heran jika
banyak investor yang menggunakan klausula FET untuk
meminta pertanggungjawaban negara atas kerugian investasinya. Jika tidak
diatur, hal ini akan sangat membatasi kedaulattan
negara untuk membuat regulasi-regulasi dalam negerinya terkait kepentingan
nasionalnya. Saat kepentingan nasional host state berhadapan dengan kepentingan investor terkait
pelanggaran klausula FET, maka banyak cara yang dapat
dilakukan agar kedua belah pihak tidak saling dirugikan dalam penanaman modal. Salah
satu cara efektif yang dapat dilakukan yaitu menentukan batasan-batasan
mengenai klausula FET dan ekspektasi
wajar investor dengan tujuan iklim investasi stabil akan terus terjaga.
BIBLIOGRAFI
Casily, S. (2023). Analisis Hukum Mengenai Status Indonesia
Selaku Anggota International Centre For Settlement Of Investment Disputes
(ICSID). Zaaken: Journal of Civil and Business Law, 4(2), 360–382.
Desilta, P. G. (2019). Analisis
Hukum Atas Konsep Investasi Yang Dilindungi Oleh Perjanjian Bilateral Investasi
(Bilateral Investment Treaty). Studi Kasus: Perjanjian Bilateral Investasi
Antara Inggris Indonesia 1976. Universitas Indonesia.
Febiola, F. (2023).
Kepentingan Negara Dalam Penandatanganan Bilateral Investment Treaty (Bit)
Antara Indonesia Dengan Singapura. Jurnal Hukum, Politik Dan Ilmu Sosial,
2(1), 1–14.
Koeswanto, E. S., &
Taufik, M. (2017). Perlindungan hukum terhadap investor yang melakukan
investasi virtual currency. Jurnal Living Law, 9(1).
Mangube, J. R. (2016). Analisis
terhadap prinsip fair and equitable treatment dalam bilateral investment treaty
(studi kasus: Churchill Mining PLc melawan Republik Indonesia). Universitas
Pelita Harapan.
Margono, S. (2008). Hukum
investasi asing Indonesia. Novindo Pustaka Mandiri.
Mauna, B. (2001). Hukum
Internasional: Pengertian Peranana dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.
Alumni.
Opinion No. 1. (2019). Arbitration
Commission, Europian Community Conference on Yugoslavia, 92, 1991, 165,.
http://orjil.org.pdf
Pramuditya, M. E. A.
(2013). Analisis Kasus Sengketa Investasi Pertambangan Antara Churchill
Mining PLC dengan Kabupaten Kutai Timur Ditinjau dari Aspek Hukum Nasional
Indonesia dan Hukum Internasional.
Prihandono, I., &
Lambooy, T. (2019). International Investment Law,
Universiteit-Utrecht-Universitas Airlangga, Surabaya, 7 April 2015, Materi
Perkuliahan dalam Power Point Slide ke-6, Diajarkan pada tanggal 22 Februari
2019.
Sembiring, L. N. (2022).
Urgensi Perjanjian Investasi Bilateral Antara Indonesia dan Negara Lain Dengan
Klausula Penyelesaian Sengketa Investor-State Dispute Settlement. "
Dharmasisya” Jurnal Program Magister Hukum FHUI, 1(4), 22.
Suryokusumo, S. (2008). Hukum
Perjanjian Internasional. Tatanusa.
Wartini, S., &
Ghafur, J. (2014). Kebijakan Hukum terhadap Tanggung Jawab Transnasional
Corporations (TNCs) atas Pelanggaran Hak Menikmati Lingkungan yang Sehat di
Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 21(4), 655–676.
Yuniarto, P. R. (2016).
Masalah globalisasi di Indonesia: Antara kepentingan, kebijakan, dan tantangan.
Jurnal Kajian Wilayah, 5(1), 67–95.
Zulfikar, D. (2023).
Implikasi Penggunaan Bilateral Investment Treaty Dalam Investasi Asing Di
Indonesia. Jurnal Darma Agung, 31(6), 101–111.
Copyright
holder: Febriyanto Dony Rampengan, Richy Rolandi Kojansow (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article
is licensed under: |