Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 1, Januari 2024

 

REGULASI HUKUM LINGKUNGAN DAN JAMINAN REKLAMASI DALAM INDUSTRI PERTAMBANGAN DI INDONESIA

 

Florencia Irena, Mella Ismelina Farma Rahayu

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui, maupun yang tidak dapat diperbaharui, Indonesia mengalami tantangan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dalam industri pertambangan dengan memperhatikan kondisi ekologis dan keseimbangan lingkungan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis regulasi hukum lingkungan dan jaminan reklamasi, serta prosedur pemberian jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia. Metode penelitian melibatkan analisis dokumen hukum dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi hukum lingkungan yang mengatur terkait jaminan reklamasi di Indonesia diatur secara umum dalam UU No. 3 Tahun 2020 dengan bersinergi dengan UU PPLH yang dalam pelaksanaannya dilakukan berdasarkan PP No. 78 Tahun 2010  dan Permen ESDM No. 7 Tahun 2014. Kesimpulan penelitian ini adalah jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia dimulai dengan perencanaan pertambangan dan penyusunan rencana reklamasi, evaluasi dan persetujuan, penentuan besaran jaminan reklamasi, pemberian jaminan reklamasi, pengawasan dan eksekusi reklamasi, pemulihan jaminan reklamasi, serta penyimpanan dan penggunaan dana. Prosedur dan jaminan dana reklamasi juga berbeda dibagi tergantung jenis tahap dalam aktivitas pertambangan dan dampak yang ditimbulkan.

Kata kunci: reklamasi; jaminan reklamasi; industri pertambangan

 

Abstract

As a country rich in natural resources, both renewable and non-renewable, Indonesia faces challenges in the context of managing non-renewable natural resources in the mining industry while considering ecological conditions and environmental balance. This research aims to analyze environmental legal regulations and reclamation guarantees, as well as the procedures for granting reclamation guarantees in the mining industry in Indonesia. The research method involves the analysis of legal documents and literature review.. The results of the research indicate that environmental legal regulations related to reclamation guarantees in Indonesia are generally governed by Law No. 3 of 2020, in synergy with the Environmental Law (UU PPLH), which is implemented based on Government Regulation No. 78 of 2010 and Ministerial Regulation No. 7 of 2014. The conclusion of this research is that reclamation guarantees in the mining industry in Indonesia begin with mining planning and reclamation plan development, evaluation and approval, determination of the amount of reclamation guarantee, issuance of reclamation guarantee, supervision and execution of reclamation, recovery of reclamation guarantee, as well as the storage and use of funds. The procedures and guarantees for reclamation funds also vary depending on the stage of mining activities and the impact they generate.

Keywords: reclamation; reclamation assurance; mining industry

 

Pendahuluan

Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui, seperti hutan, laut, tambang, dan energi, Indonesia menghadapi suatu tantangan dalam hukum lingkungan, khususnya regulasi hukum lingkungan yang berfokus pada sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) (Syahruddin et al., 2021)

Perubahan dinamika masyarakat dan pembangunan yang cepat menjadi dasar sosiologis perlindungan lingkungan hidup, seperti permintaan sumber daya alam yang meningkat dan akhirnya menyebabkan tekanan pada lingkungan dan masalah pencemaran. Oleh karena itu, perlindungan dan pelestarian lingkungan menjadi isu utama dalam upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Apalagi, lingkungan hidup merupakan aset berharga demi keberlanjutan bumi. Salah satunya dalam industri pertambangan.

Industri pertambangan memberikan dampak positif kepada kas Negara dari pajak dan royalty (Suriyani, 2019). Selain kas Negara, industri pertambangan berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan berkelanjutan, lapangan kerja, serta penyediaan bahan baku bagi sektor industri lain. Sebagai salah satu penyumbang devisa negara terbesar Irfan, (2022) industri pertambangan menjadi isu penting karena berperan sebagai penunjang pembangunan nasional, peningkatan  kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

   Selaras dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang mengatur tentang penguasaan negara Indonesia atar sumber daya mineral dan batubara yang harus dipergunakan bagi kemakmuran rakyat, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur tentang perencanaan, eksploitasi, dan pengelolaan sumber daya tambang. Negara memiliki tanggung jawab untuk dapat memberikan jaminan terhadap hak-hak rakyat dan mencegah segala tindakan yang dapat membuat rakyat kehilangan hak atas yang ada di dalam dan di atas bumi (Abrar et al., 2004).

Pasal 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hukum (UU PPLH), mengatur prinsip konsep Tata Kelola, yaitu tanggung jawab negara; kelestarian dan keberlanjutan; keserasian dan keseimbangan; keterpaduan; manfaat; kehati-hatian; keadilan; ecorgion; keanekaragaman hayati; pencemaran; partisipatif; kearifan lokal; tata kelola pemerintahan yang baik; dan otonomi daerah. Asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi bagian penting dari asas prinsip itu sendiri (Darjoko et al., 2019).

Sebagai salah satu ilmu hukum, hukum pertambangan berkaitan erat dengan hukum lingkungan karena lingkungan menjadi objek utama dari aktivitas industri pertambangan dan akibatnya terdapat perubahan sifat dan fisik terhadap lingkungan. Oleh karena itu, setiap aktivitas industri pertambangan wajib menjamin fungsi dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Keterlibatan pemerintah sebagai subjek hukum dalam industri pertambangan memiliki tanggung jawab yang besar dalam pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana dan keefektifan pembangunan berkelanjutan. Hal ini diwujudkan melalui wewenang dan tanggung jawab dalam perizinan, pengawasan dan sanksi agar tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat dalam pengelolaan efektif dan baik tanpa merusak keseimbangan lingkungan ataupun penurunan kualitas sumber daya alam yang dimanfaatkan (Auerbach et al., 2020)

Industri pertambangan membutuhkan perhatian besar karena pembukaan lahan batubara meningkatkan turbiditas pada air latian akibat erosi hujan Abfertiawan, Bao, Pahilda, & Hakim, (2019) dan pembentukan air asam tambang (AAT) akibat interaksi air larian dengan oksidasi mineral sulfida Maulida & Purwanti, (2023) yang berdampak negatif bagi seluruh makhluk hidup (Dyestiana et al., 2023). Dengan adanya potensi pengkoagulasi akibat unsur besi, alumunium, mangan, dan basis logam terlarut utama lainnya dalam AAT, diperlukan pengelolaan kelestarian lingkungan hidup karena sifat asam asam sulfat dan senyawa besi dalam limbah mengakibatkan korosi dan pelarutan logam berat, sehingga air yang tercemar menjadi racun dan berdampak buruk bagi kehidupan akuatik dan perairan.

JATAM mencatat pada akhir tahun 2020 terdapat 45 konflik pertambangan dan diantaranya 22 kasus termasuk pencemaran dan perusakan lingkungan (Hernaningsih, 2022). Pencemaran udara akibat pembakaran batu bara yang menghasilkan senyawa beracun, seperti benzene, toluene, xylene, sulphur, arsenik, merkuri, dan timbal, serta pembongkaran dan mobilitas peralatan dan hasil tambang, juga pencemaran air akibat pencucian batubara melalui surface run-off yang membuat air keruh dan pembuangan tanah sisa hasil yang meningkatkan transport sendimen sangat berdampak negatif dan berbahaya bagi lingkungan dan seluruh makhluk hidup.

Selain itu, industri pertambangan merebut sumber kehidupan rakyat Siti, Mbungu, Tungadio, Banza, & Ngoma, (2022) dan peralihan fungsi lahan yang berupa lahan pertanian, hutan, serta kebun, yang sekaligus menjadi daerah resapan air yang berperan dalam mencegah berbagai bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor. Hal ini ditambah dengan besarnya ancaman tanah longsor akibat penggalian lahan tambang dengan bentuk dinding lurus menggantung (hanging wall), bukan berjenjang (trap-trap). Kemudian, dengan adanya penimbunan batuan penutup (overburder material/ waste rock) Turakulov, Zhantasov, Kolesnikov, Smailov, & Liseitsev, (2023), maka dibutuhkan perencanaan pengelolaan lingkungan pertambangan sejak tahap prapenambangan.

Untuk memulihkan kondisi tanah agar dapat berfungsi dan bermanfaat sesuai tujuan awalnya, langkah-langkah yang perlu diambil terhadap lahan bekas pertambangan tidak hanya mencakup penutupan tambang, tetapi juga melibatkan upaya pemulihan kawasan bekas pertambangan (Huzeini et al., 2019). Maka dari itu, hukum lingkungan harus memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan yang ada sekarang dan di masa depan, khususnya dalam pengeksplotasian sumber daya alam, serta penekanan dampak negatif terhadap lingkungan. Disamping itu, hukum lingkungan harus dapat mewujudkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 melalui fungsi dan kewenangan pemerintah.

Sebagai negara hukum (rechsstaat), Indonesia menjadikan dua belas prinsip pokok sebagai pilar utama, yaitu supremasi hukum dimana hukum menjadi pedoman tertinggi dalam menyelesaikan masalah, persamaan dalam hukum, asas legalitas dimana segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku secara sah dan tertulis, pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan HAM, bersifat demokratis, sarana mewujudkan tujuan bernegara, serta transparansi dan kontrol sosial (Jimly, 2004).

Berkaitan dengan hukum, lingkunngan menjadi salah satu objek yang diatur dalam hukum, yaitu dalam hukum lingkungan. Dalam konteks industri pertambangan, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang tidak berwawasan lingkungan dan tidak berkelanjutan dapat menyebabkan degradasi lingkungan hidup (Mella, 2021). Oleh karena itu diperluka pelestarian lingkungan hidup  yang berfokus pada fungsi ekologis alam dengan memperhatikan keseimbangan linkungan.

Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis merasa tertarik untuk menulis jurnal dengan judul “Regulasi Hukum Lingkungan Dan Jaminan Reklamasi Dalam Industri Pertambangan di Indonesia”. Secara lebih rinci, penulis akan membahas mengenai bagaimana regulasi hukum lingkungan terhadap jaminan reklamasi dan prosedur pemberian jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui regulasi hukum lingkungan di Indonesia terkait jaminan reklamasi dalam industri pertambangan

 

Metode Penelitian

Sebagai jenis penelitian hukum normatif, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif melalui pendekatan peraturan perundang-undangan. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menganalisis regulasi hukum lingkungan dan jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari analisis dokumen hukum, studi kepustakaan atau literatur terkait objek penelitian. Analisis dokumen hukum mencakup pemeriksaan secara rinci terhadap UU No. 3 Tahun 2020, PP No. 1 Tahun 2017, PP No, 78 Tahun 2010, dan Permen ESDM N0. 7 Tahun 2014. Studi kepustakaan melibatkan review artikel ilmiah, buku, dan laporan penelitian untuk memahami isu-isu yang berkaitan dengan regulasi hukum lingkungan dan jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia. Kemudian, data yang diperoleh akan diolah dengan teknik analisa interpretasi melalui penyusunan secara sistematis terhadap bahan hukum yang telah terkualifikasi.

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Regulasi Hukum Lingkungan Terhadap Jaminan Reklamasi Dalam Industri Pertambangan di Indonesia

Regulasi hukum lingkungan terhadap jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia merupakan serangkaian peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk mengatur dan memberikan kepastian akan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup, terutama dalam pengkesplotasian sumber daya alam. Selain itu, tujuan dari regulasi hukum lingkungan adalah untuk memperhatikan dampak lingkungan, serta tanggung jawab perusahaan pertambangan terhadap reklamasi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem pasca-tambang. Pascatambang menjadi fase paling kritis dan dibutuhkan perhatian khsusus terhadap dampak lingkungan yang dihasilkan akibat aktivitas industri pertambangan, seperti pencemaran udara dan air, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan alam dan ekosistem, pengelolaan limbah AAT, peningkatan turbiditas air.

Gangguan lahan dan perubahan bentang alam akibat aktivitas pertambangan, ada yang bersifat sementara, seperti timbunan sisa galian dan limbah tailing ataupun permanen, seperti tanah kolong mendalam, tubuh tanah yang berubah, dan keanekaragaman hayati yang terganggu (Dariah et al., 2010). Kemudian, oleh karena terdapat perbedaan dari setiap sifat gangguan yang ditimbulkan, pendekatan dan teknologi reklamasi yang dibutuhkan juga berbeda tergantung sifat gangguan dan peruntukannya, serta pengunaan setelah proses reklamasi.

Regulasi hukum lingkungan dalam industri pertambangan mengatur terkait perencanaan, pelaksanaan reklamasi, serta jaminan oleh perusahaan pertambangan. Reklamasi pascatambang merupakan upaya pengembalian lahan bekas tambang ke kondisi semula Putri, Franto, & Oktarianty, (2022) agar dapat mendukung fungsi lingkungan hidup, serta memulihkan dan merestorasi ekosistem yang terganggu, melalui penataan ulang lahan, penanaman vegetasi, dan rekayasa tanah. Reklamasi mencakup perbaikan kondisi fisik tanah (overburden) agar tidak terjadi longsor, pembuatan waduk untuk perbaikan kualitas air asam tambang yang beracun, yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan revegetasi (Oktorina, 2018). Pemegang IUP dan IUPK bertanggung jawab atas pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk reklamasi dan pascatambang (Tarigan et al., 2023). Tidak hanya berupaya dalam pemulihan kondisi lingkungan, tetapi juga dalam pemulihan kondisi sosial masyarakat agar mendapatkan hak utamanya kembali, yaitu hak atas lingkungan yang bersih, indah, dan asri. Dengan itu, semua pihak dapat  memperoleh manfaat-manfaat lebih dari terciptanya lingkungan yang asri dan nyaman untuk kita (Joni, 2020).

Dalam bukunya “Textbook of Criminal Law”, Glenville Williams menyatakan bahwa pertanggungjawaban korporasi berdasarkan utilitarian theory dan semata-mata bukan berdasarkan asas “theory of justice” tetapi adalah untuk mencegah kejahatan (Hutapea, 2019). Terkait regulasi hukum lingkungan terhadap jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia, mencakup beberapa peraturan perundang-undangan, secara khusus dalam mengatur tata kelola lingkungan, kegiatan pertambangan, dan reklamasi.

1.   UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan dan Mineral dan Batubara (Minerba) menetapkan kewajiban perusahaan pertambangan untuk melaksanakan rekalmasi sebagai bagian dari kewajiban pascatambang dan tanggung jawab perusahaan pertambangan  untuk pemulihan kondisi lingkungan pasca eksploitasi tambang. Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 158 UU Minerba, berisi ketentuan tanggung jawab perusahaan pertambangan untuk melakukan reklamasi sebagai bagian dari operasinalnya dan ketentuan jaminan reklamasi yang wajib diselenggarakan oleh pemegang IUP.

2.   UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur prinsip dasar pengelolaan lingkungan hidup, termasuk aspek reklamasi pascatambang dan kewajiban perusahaan untuk melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan reklamasi.

a.   Pasal 1 angka 26 yang mendefiniskan reklamasi sebagai upaya pengembalian kondisi lingungan hidup pasca aktivitas.

b.   Pasal 2 ayat 1 huruf f yang menetapkan kewajiban bagi setiap orang, badan hukum, atau badan usaha dalam menjaga dan melaksanakan reklamasi.

c.   Pasal 41 ayat 2 yang menetapkan kewajiban bagi setiap orang, badan hukum, atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha yang dapat merusak atau mencemari lingkungan hidup untuk menyediakan dana jaminan reklamasi.

d.   Pasal 41 ayat 3 yang menetapkan jumlah dan jenis dana jaminan reklamasi.

e.   Pasal 41 ayat 4 yang mengatur bahwa dana jaminan reklamasi tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain selain reklamasi.

f.    Pasal 41 ayat 5 yang menetapkan peraturan lebih lanjut mengenai jaminan reklamasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

g.   Pasal 74 yang menegaskan kewajiban bagi setiap orang, badan hukum, atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha yang dapat merusak atau mencemari lingkungan hidup untuk ganti rugi akibat yang ditimbulkannya.

3.   PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Lahan Pertambangan menetapkan ketentuan rinci terkait pelaksanaan reklamasi lahan pascatambang dan panduan teknis dan administratif terkait reklamasi. Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 4 ayat 1 PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, jaminan reklamasi dalam insutri pertambangan di Indonesia harus berdasarkan prinsip pengelolaan lingkungan hidup:

a.   Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b.   Perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati;

c.   Penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya;

d.   Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya;

e.   Memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan

f.    Perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.   PP No. 38 Tahun 2014 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi. Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota menetapkan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal tata kelola lingkungan hidup, termasuk reklamasi pascatambang.

5.   Peraturan Menteri ESDM (ESDM) No. 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang menetapkan prosedur dan mekanisme pemantauan serta evaluasi pelaksanaan reklamasi dan pascatambang oleh perusahaan pertambangan. Peraturan ini mengatur:

-     Kewajiban perusahaan pertambangan untuk memberikan jaminan reklamasi sebagai tanggung jawab pemulihan lahan pascatambang.

-     Jenis jaminan yang diberikan perusahaan pertambangan, seperti jaminan tunia, bank garansi, dan surat utang.

-     Nilai jaminan reklamasi yang harus disesuaikan dengan luas lahan tambang dan jenis kegiatan pertambangan yang dilakukan.

-     Prosedur penetapan nilai jaminan reklamasi dan mekanisme pencairannya, termasuk situasi perusahaan tidak memenuhi kewajibannya.

-     Pentingnya penyelenggaraan reklamasi terintegrasi dengan perencanaan tambang dan wilayah.

-     Pedoman pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan reklamasi dan pascatambang oleh perusahaan pertambangan

-     Kewajiban perusahaan untuk menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan reklamasi secara berkala kepada pemerintah.

-     Peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengawasan dan pengendalian pelaksanaan reklamasi dan pascatambang

-     Sanksi atau tindakan yang diambil apabila perusahaan tidak memenuhi kewajiban reklamasi, salah satunya denda atau pencabutan izin usaha pertambangan.

-     Akomodasi partisipasi masyarakat dalam proses pemantauan dan evaluasi, serta memberikan informasi kepada masyarakat tentang reklamasi.

 

Prosedur Pemberian Jaminan Reklamasi Dalam Industri Pertambangan di Indonesia

PP No. 78 Tahun 2010 mengatur terkait permohonan izin tata laksana rencana reklamasi dan rencana pascatambang, persetujuan rencana reklamasi dan rencana pascatambang, serta perubahan rencana reklamasi dan rencana pascatambang.

Secara terstruktur, jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia melewati beberapa tahap:

1.   Perencanaan Pertambangan dan Penyusunan Rencana Reklamasi

Perusahaan pertambangan wajib melakukan penyusunan rencana terkait dampak lingkungan yang mungkin terjadi selama dan pascatambang, termasuk aspek lingkungan dan strategi reklamasi (Azmi et al., 2022). Dibutuhkan perencanaan penutupan tambang yang terintegrasi dengan kondisi lingkungan karena perencanaan penutupan tambang tidak hanya terpusat pada perlindungan lingkungan, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi. Perencanaan ini termasuk reklamasi jangka panjang sampai berakhirnya masa tambang, secara rinci perencanaan lima tahun ke depan dan dituang dalam dokumen Rencana Reklamasi (Rahmi et al., 2021)

Perencanaan harus berdasarkan undang-undang yang mengatur peruntukan lahan dalam areal konsesi dan kerangka rencana penutupan lahan pascatambang:

1)  Restorasi dan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) flora dan fauna hutan lindung.

2)  Evaluasi atau analisis alternatif pemanfaatan lahan kehutanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat di masa depan pada areal penggunaan lain (APL) dan hutan produksi (Ambodo, 2008)

3)  Evaluasi atau analisis alternatif pemanfaatan lahan pertanian pada wilayah non-kehutanan atau pada wilayah APL atau hutan produksi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan kondisi lahan dapat dikonversi.

Perusahaan pertambangan wajib membuat penyusunan rencana reklamasi dengan perincian langkah-langkah untuk pemulihan lahan bekas tambang pasca kegiatan pertambangan. Rencana ini wajib memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan yang telah ditetapkan.

2.   Evaluasi dan Persetujuan

Setelah penyusunan perencanaan reklamasi, otoritas pertambangan akan melakukan evaluasi. Apabila telah memenuhi standar yang ditetapkan, maka rencana tersebut akan disetujui.

3.     Penentuan Besaran Jaminan Reklamasi

Setelah rencana reklamasi disetujui, otoritas pertambangan akan menentukan besaran jaminan reklamasi yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Perencanaan biaya reklamasi merupakan estimasi dana yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendukung kegiatan reklamasi lahan yang terganggu, baik itu untuk lahan yang masih dalam proses reklamasi saat operasi produksi berlangsung maupun biaya yang diperlukan untuk mereklamasi lahan yang terpengaruh dalam dua tahun mendatang (Rizki Yuli, 2021). Hal ini dilakukan untuk memastikan dana yang dimiliki perusahaan cukup untuk melakukan reklamasi.

4.     Pemberian jaminan reklamasi

Jaminan reklamasi wajib diserahkan oleh perusahaan pertambangan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan yang berupa uang tunai, bank garansi, atau instrumen keuangan lain.

Sebagai bentuk tanggung jawab finansial dalam pelaksanaan reklamasi, perusahaan pertambangan wajib menyediakan jaminan reklamasi berupa uang tunai, aset, atau instrumen keuangan lainnya untuk memastikan ketersediaan dana yang cukup untuk membiayai kegiatan reklamasi pascatambang.

Sebuah lembaga independen yang bersifat ad hoc, komisi pengelola dana jaminan reklamasi memiliki kewenangan (Hanapi et al., 2019):

a.   Mendapatkan laporan dari pemerintah daerah terkait dana jaminan reklamasi sebelum pemerintah daerah mengeluarkan izin pertambangan

b.   Memerika kebenaran laporan dan aliran dana jaminan reklamasi

c.   Membuat perintah pencairan dana jaminan kepada pemerintah daerah apabila terdapat indikasi korporasi tidak melaksanakan kewajiban pemulihan lingkungan

d.   Menunjuk pihak ketiga untuk mengerjakan proses reklamasi atau pemulihan wilayah pertambangan

e.   Menghimpun informasi dan laporan dari masyarakat

f.    Membuat rekomendasi kepada presiden secara terbuka apabila pemerintah daerah menolak bekerjasama terkait dana jaminan.

5.   Pengawasan dan Eksekusi Reklamasi

Panduan pelaksanaan reklamasi pascatambang dilaksanakan sesuai rencana yang telah disetujui dan dilakukan pengawasan oleh otoritas terkait untuk memastikan reklamasi dilaksanakan dengan baik Umar & Hijriani, (2021), mencakup pengembalian lahan bekas tambang ke kondisi semula atau kondisi yang mendukung fungsi lingkungan hidup, harus melibatkan pembersihan area, penanaman vegetasi, dan pemulihan lainnya dalam rangka pemulihan ekosistem.

6.   Pemulihan Jaminan Reklamasi

Pemulihan jaminan reklamasi dapat diajukan oleh perusahaan setalah reklamasi selesai dan telah diverifikasi berhasil oleh otoritas tekait tercapainya tujuan reklamasi.

7.   Penyimpanan dan Penggunaan Dana

Dana jaminan reklamasi yang diserahkan perusahaan biasanya disimpan dalam rekening terpisah dan hanya dapat digunakan untuk tujuan reklamasi.

Secara lebih rinci, prosedur pemberian jaminan reklamasi di Indonesia dibedakan berdasarkan jenis tahapnya, yaitu tahap eksplorasi dan tahap Operasi Produksi.

1.   Tahap Eksplorasi

Dalam tahap eksplorasi, jaminan reklamasi wajib disediakan dan ditempatkan seluruhnya di awal oleh pemegang IUP dan IUPK eksplorasi sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi. Kemudian, terkait jaminan:

-     Penempatan jaminan reklamasi tahap eksplorasi

Penempatan jaminan diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan Yang Baik, (Lampiran VI, D., 3., a., 1), c); yang mengatur Penempatan Jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana kerja dan anggaran biaya tahap Eksplorasi). Kemudian, menurut Keputusan Menteri ESDM No. 1827 K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 3., a., 1), g); Penempatan Jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi untuk melaksanakan Reklamasi).

-     Bentuk jaminan reklamasi tahap eksplorasi

Jaminan berupa deposito berjangka di bank Pemerintah di Indonesia atas nama Direktur Jendal atau gubernur pemegang IUP atau IUPK eksplorasi dalam jangka waktu penjaminan berdasarkan jadwal tahap eksplorasi.

-     Kekurangan biaya dalam jaminan reklamasi tahap eksplorasi

Kekurangan biaya diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827 K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 3., a., 1), h); yang mengatur Kekurangan biaya untuk menyelesaikan Reklamasi tahap Eksplorasi dari jaminan yang telah ditetapkan, tetap menjadi tanggung jawab pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK

Eksplorasi)

-     Perubahan jumlah jaminan reklamasi tahap eksplorasi

Perubahan jumlah jaminan dapat dilakukan dengan ketentuan:

1)   Adanya perubahan rencana eksplorasi

2)   Biaya pelaksanaan reklamasi tahap eksplorasi tidak sesuai dengen rencana reklamasi tahap eksplorasi

Hal diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 3., a., 1), f); yang mengatur Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat memerintahkan pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi untuk mengubah jumlah jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi)

-     Pencairan jaminan reklamasi tahap eksplorasi

Pencairan jaminan melewati beberapa tahap:

a.     Evaluasi

Diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 5., a., 1), c); yang mengatur Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur dengan kewenangannya sebelum memberikan persetujuan pencairan Jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi wajib melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan Reklamasi tahap Eksplorasi setelah dokumen Studi Kelayakan disetujui) dan (Lampiran VI, D., 5., a., 1), e); yang mengatur Pencairan Jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi hanya dapat dilakukan setelah hasil penilaian mencapai nilai 100% (seratus persen)).

b.     Peninjauan lapangan

Diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 5., a., 1), f); yang mengatur Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan penilaian pencairan Jaminan Reklamasi tahap Eksplorasi dapat melakukan peninjauan lapangan setelah dokumen Studi Kelayakan disetujui).

c.     Finalisasi

Diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 5., a., 1), f); yang mengatur Hasil evaluasi dan penilaian terhadap laporan pelaksanaan Reklamasi tahap Eksplorasi dibuat dalam Berita Acara yang memuat Penilaian Keberhasilan Reklamasi Tahap Eksplorasi sesuai Format 1. Berita Acara Penilaian Keberhasilan Reklamasi Tahap Eksplorasi).

2.   Tahap Operasi Produksi

-     Penyediaan jaminan reklamasi tahap operasi produksi

Diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 3., a., 2), a); yang mengatur Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyediakan Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi sesuai dengan penetapan besaran Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya)

-     Jangka waktu

Seluruhnya ditempatkan untuk periode lima tahun pertama, namun jika umur tambang kurang dari lima tahun, jaminan disesuaikan dengan umur tambang tersebut. Untuk periode lima tahun berikutnya, penempatan jaminan dapat dilakukan seluruhnya selama lima tahun atau setiap tahun, tergantung pada hasil evaluasi kinerja pengelolaan lingkungan.

-     Bentuk dan penempatan jaminan, serta kekurangan biaya dalam jaminan reklamasi tahap operasi produksi

Diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 Lampiran VI, D., 3., a., 2),g), yaitu berupa:

1)   Rekening bersama di bank Pemerintah di Indonesia atas nama Direktur Jendral atau gubernur dan Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi;

2)   Deposito berjangka di bank Pemerintah di Indonesia atas nama Direktur Jendral atau gubernur dan Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi dengan jangka waktu penjamin sesuai jadwal reklamasi tahap Operasi Produksi;

3)   Bank garansi yang diterbitkan bank Pemerintah di Indonesia atau bank swasta Nasional di Indonesia dengan jangka waktu penjamin sesuai jadwal reklamasi tahap Operasi Produksi;

4)   Penempatan cadangan akuntansi (Accounting Reserve) apabila pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi memenuhi persyaratan:

a.   terdaftar pada bursa efek di Indonesia dan telah menempatkan sahamnya lebih dari 40% (empat puluh persen) dari total saham yang dimiliki; dan

b.   mempunyai jumlah modal disetor tidak kurang dari US$ 50.000.000,00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat) sebagaimana yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan dan/atau perubahannya yang disahkan oleh notaris.

c.   Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi ditempatkan dalam mata uang Rupiah atau Dolar Amerika Serikat.

d.   Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya menetapkan bentuk Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi yang ditempatkan oleh pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi

e.   Dalam hal Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi dalam bentuk Bank Garansi telah habis masa berlakunya, pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi wajib memperpanjang masa berlaku jaminan sebelum dinyatakan secara tertulis dapat dilepaskan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

f.    Tata cara penempatan Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

g.   Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi yang menempatkan jaminan Reklamasi dalam bentuk Cadangan Akuntansi (Accounting Reserve) yang telah memenuhi persyaratan harus menyampaikan surat pernyataan penempatan Jaminan Reklamasi yang disahkan oleh notaris kepada Menteri melalui Direktur Jenderal atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.

h.   Surat pernyataan penempatan Jaminan Reklamasi dalam bentuk cadangan akuntansi (Accounting Reserve) harus disertai dengan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik.

i.    Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat memerintahkan pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk mengubah jumlah Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi apabila:

1)  terjadi perubahan atas rencana Reklamasi tahap Operasi Produksi; atau

2)  biaya pelaksanaan kegiatan Reklamasi tahap Operasi Produksi tidak sesuai dengan rencana Reklamasi tahap Operasi Produksi.

j.    Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat memerintahkan pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk mengubah bentuk jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi berdasarkan pertimbangan:

1)  kinerja pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi;

2)  kemampuan keuangan pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi.

k.   Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat mengajukan perubahan bentuk Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi kepada Menteri melalui Direktur Jenderal atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.‚Ä®q Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan perubahan bentuk Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:]

1)  kinerja pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi;‚

2)  kemampuan keuangan pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi.

l.    Penempatan Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi untuk melaksanakan Reklamasi tahap Operasi Produksi.

m. Kekurangan biaya untuk menyelesaikan Reklamasi tahap Operasi Produksi dari jaminan yang telah ditetapkan, tetap menjadi tanggung jawab Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi.

-     Pencairan jaminan reklamasi tahap eksplorasi

Diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 5., a., 2), c); yang mengatur Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan pencairan atau pelepasan Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi setelah dilakukan penilaian pencairan). Pencairan jaminan melewati beberapa tahap:

a.     Evaluasi

Diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 5., a., 2), d); yang mengatur Direktur Jenderal atas nama Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan penilaian pencairan atau pelepasan Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi wajib melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan Reklamasi tahap Operasi Produksi dan peninjauan lapangan).

b.     Peninjauan lapangan

Hasil peninjauan lapangan harus dibuat dalam berita acara yang memuat penilaian keberhasilan Reklamasi tahap Operasi Produksi.

c.     Penentuan besaran pencairan jaminan

Diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018 (Lampiran VI, D., 5., a., 3):

a)   Paling banyak 60% (enam puluh persen) dari besaran Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi apabila telah selesai melaksanakan penatagunaan lahan yang terdiri atas:

1)  penataan lahan dan penimbunan kembali lahan bekas tambang;

2)  penyebaran tanah zona pengakaran; dan

3)  pengendalian erosi dan sedimentasi, sesuai dengan peruntukannya sebagaimana ditetapkan dalam rencana Reklamasi tahap Operasi Produksi yang telah disetujui;

b)  paling banyak 80% (delapan puluh persen) dari besaran Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi apabila telah selesai melaksanakan kegiatan dan pekerjaan revegetasi yang terdiri atas:

1)  penanaman tanaman penutup (cover crop);

2)  penanaman tanaman cepat tumbuh;

3)  penanaman tanaman jenis lokal; dan/atau

4)  pengendalian air asam tambang, sebagaimana ditetapkan dalam rencana Reklamasi tahap Operasi Produksi yang disetujui.

c)   100% (seratus persen) dari besaran Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi setelah kegiatan Reklamasi tahap Operasi Produksi memenuhi penyelesaian akhir, sesuai dengan Pedoman Penilaian Reklamasi Tahap Operasi Produksi tercantum dalam Matrik 17.

d)  Dalam hal penilaian keberhasilan Reklamasi tahap Operasi Produksi belum mencapai 100% (seratus persen), besaran nilai pencairan atau pelepasan Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi disesuaikan dengan hasil penilaian di lapangan.

e)   Besaran sisa Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi yang belum dapat dicairkan atau dilepaskan wajib ditempatkan kembali sebagai Jaminan Reklamasi tahap Operasi Produksi.

Apabila pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan reklamasi, maka pemerintah akan mengambil dana jaminan untuk melaksanakan reklamasi dengan cara menunjuk pihak ketiga, sehingga pemegang IUP dan IUPK tidak dapat melakukan pencairan dana jaminan lagi (Hermansyah & Mahmudyah, 2022)

 

Kesimpulan

Regulasi hukum lingkungan terhadap jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan dan Mineral dan Batubara (Minerba), UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Lahan Pertambangan, PP No. 38 Tahun 2014 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi. Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, Peraturan Menteri ESDM (ESDM) No. 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang, dan secara lebih rinci Keputusan Menteri ESDM No. 1827/K/30/MEM/2018.

Secara terstruktur, jaminan reklamasi dalam industri pertambangan di Indonesia dimulai dengan perencanaan pertambangan dan penyusunan rencana reklamasi, evaluasi dan persetujuan, penentuan besaran jaminan reklamasi, pemberian jaminan reklamasi, pengawasan dan eksekusi reklamasi, pemulihan jaminan reklamasi, serta penyimpanan dan penggunaan dana. Prosedur dan jaminan dana reklamasi berbeda tergantung jenis tahap dalam aktivitas pertambangan. Dalam tahap eksplorasi, dilakukan eksplorasi tanag dan perencanaan awal reklamasi yang mencakup potensi dampak lingkungan dan langkah-langkah pemulihan. Oleh karena itu, jaminan dana reklamasi tahap eksplorasi juga lebih rendah karena dampak lingkungan yang ditimbulkan belum sebesar pada tahap operasi produksi. Kemudian, jaminan pada tahap eksplorasi juga akan dievaluasi berkala seiring perkembangan eksplorasi dan perkiraan dampak.

Berbeda dengan tahap eksplorasi, dalam tahap operasi produksi, dilakukan penyusunan rencana reklamasi secara rinci, termasuk langkah-langkah konkret dan pemulihan lahan keseluruhan, serta melibatkan pihak terkait, seperti pemerintah, masyarakat, dan ahli lingkungan. Oleh karena itu, jaminan reklamasi tahap operasi produksi lebih besar karena dampak lingkungan dan lahan yang terlibat lebih besar. Kemudian, jaminan pada tahap operasi produksi juga dievaluasi rutin untuk memastikan jumlahnya cukup mengingat kemajuan operasi dan potensi dampak tambang. Selain itu, dalam tahap operasi produksi, perusahaan mungkin diwajibkan untuk melaksanakan reklamasi bertahap selama operasi masih berlangsung guna menekan dampak lingkungan. Seiring dengan reklamasi bertahap, maka pemantauan dampak lingkungan dan keefektivitasan reklamasi juga dilakukan secara terus-menerus.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abfertiawan, M. S., Bao, P. N., Pahilda, W. R., & Hakim, M. F. (2019). Studi Kondisi Eksisting Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Setempat di Kota Denpasar. Jurnal Ilmu Lingkungan, 17(3), 443–451.

Abrar, A., Zhang, D., Su, B., Button, T. W., Kirk, K. J., & Cochran, S. (2004). 1–3 connectivity piezoelectric ceramic–polymer composite transducers made with viscous polymer processing for high frequency ultrasound. Ultrasonics, 42(1–9), 479–484.

Ambodo, A. (2008). Rehabilitasi lahan pasca tambang sebagai inti dari rencana penutupan tambang. Seminar Dan Workshop Reklamasi Dan Pengelolaan Kawasan Pasca Penutupan Tambang. Makassar.

Auerbach, A., Cohen, A., Ofek Shlomai, N., Weinberg-Shukron, A., Gulsuner, S., King, M.-C., Hemi, R., Levy-Lahad, E., Abulibdeh, A., & Zangen, D. (2020). NKX2-2 mutation causes congenital diabetes and infantile obesity with paradoxical glucose-induced ghrelin secretion. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 105(11), 3486–3495.

Azmi, A. Z., Ningrum, S., & Muhafidin, D. (2022). Efektivitas Kebijakan Reklamasi Di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. JANE (Jurnal Administrasi Negara), 14(1), 131–139.

Dariah, A., Abdurachman, A., & Subardja, D. (2010). Reklamasi lahan eks-penambangan untuk perluasan areal pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan, 4(1).

Darjoko, S. T., Wahyuningsih, T., & Sudikno, S. (2019). High carbohydrate intake increases risk of coronary heart disease in adults: a prospective cohort study. Universa Medicina, 38(2), 90–99.

Dyestiana, D. C., Badhurahman, A., & Kusuma, G. J. (2023). Analisis Penyisihan Kekeruhan Dan Faktor Geokimia Dari Pencampuran Air Tambang Kekeruhan Tinggi Dengan Air Asam Tambang. Jurnal Pertambangan, 7(1), 5–12.

Hanapi, R. A., Ahmad, H. K., & Aswandi, R. (2019). Komisi Pengelola Dana Jaminan Reklamasi Dalam Upaya Pemulihan Wilayah Bekas Tambang Batu Bara. Legislatif, 151–166.

Hermansyah, H. N., & Mahmudyah, A. (2022). Analisis Yuridis Eksistensi Dana Jaminan Reklamasi Bidang Pertambangan Dalam Usaha Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup. Wasaka Hukum, 10(2), 135–151.

Hernaningsih, T. (2022). Impact of Coal Mining on Surface Water and Its Mitigation. Jurnal Sains Dan Teknologi Mitigasi Bencana, 16(2), 23–29.

Hutapea, H. C. (2019). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014. Journal Equitable ISSN, 2541, 7037.

Huzeini, A., Suhartoyo, H., & Susatya, A. (2019). Studi Evaluasi Pascatambang Pt. Ratu Samban Mining Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu. Naturalis: Jurnal Penelitian Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan, 8(2), 29–38.

Irfan, D. (2022). Penggunaan Instagram Oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Pelalawan Dalam Ajang Anugrah Pesona Indonesia Objek Wisata Bono. Universitas Islam Riau.

Joni, A. (2020). Implementasi Kewajiban Reklamasi Pemegang Izin Usaha Pertambangan (Iup) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara Di Provinsi Riau. Jurnal Gagasan Hukum, 2(02), 194–221.

Maulida, S. A., & Purwanti, I. F. (2023). Kajian Pengolahan Air Asam Tambang Industri Pertambangan Batu Bara dengan Constructed Wetland. Jurnal Teknik ITS (SINTA: 4, IF: 1.1815), 12(1), D46–D51.

Oktorina, S. (2018). Kebijakan reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang: studi kasus tambang batubara Indonesia. Al-Ard: Jurnal Teknik Lingkungan, 4(1), 16–20.

Putri, N. J., Franto, F., & Oktarianty, H. (2022). Perencanaan Biaya Reklamasi Pada Lahan Bekas Penambangan Batubara Di Site MTBU PT Bukit Asam Tbk Kabupaten Muara Enim. MINERAL, 7(1), 15–21.

Rahmi, E., Nurhakim, N., & Riswan, R. (2021). Evaluasi Rencana Biaya Reklamasi Terhadap Jaminan Reklamasi PT XXX, Di Kabupaten Tanah Bumbu. Jurnal Himasapta, 5(3), 61–66.

Rizki Yuli, A. (2021). Analisis Penerapan Tax Planning dalam Efisiensi Beban Pajak (Studi Kasus pada PT IPR Tahun 2020). Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia.

Siti, M. W., Mbungu, N. T., Tungadio, D. H., Banza, B. B., & Ngoma, L. (2022). Application of load frequency control method to a multi-microgrid with energy storage system. Journal of Energy Storage, 52, 104629.

Suriyani, B. B. (2019). Dampak Positif Aktivitas Pertambangan Nikel terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Journal Publicuho, 2(1), 58–64.

Syahruddin, S., Yaakob, M. F. M., Rasyad, A., Widodo, A. W., Sukendro, S., Suwardi, S., Lani, A., Sari, L. P., Mansur, M., & Razali, R. (2021). Students’ acceptance to distance learning during Covid-19: the role of geographical areas among Indonesian sports science students. Heliyon, 7(9).

Tarigan, S. B., Virgiyanti, L., & Indrajaya, F. (2023). Perhitungan Rencana Biaya Revegetasi Area In Pit Dump (IPD) BISA. Jurnal Teknika: Jurnal Teoritis Dan Terapan Bidang Keteknikan, 6(2), 59–64.

Turakulov, B., Zhantasov, K., Kolesnikov, A., Smailov, B., & Liseitsev, Y. (2023). Research on the Production of Pigments Based on Composite Pellets in the Recycling of Industrial Waste. Journal of Composites Science, 7(7), 289.

Umar, A., & Hijriani, H. (2021). Ambiguitas Penerapan Sanksi Kegiatan Reklamasi dan Pascatambang. DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum, 6(1), 98–115.

 

 

Copyright holder:

Florencia Irena, Mella Ismelina (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: