Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 1, Januari 2024

 

PERAN TIKUS LIAR SEBAGAI PEMBAWA PARASIT SALURAN CERNA DAN POTENSI RISIKO ZOONOSIS: SYSTEMATIC LITERATURE REVIEW

 

Athika Adnani, Rina Amelia, Sunna Vyatra Hutagalung*

Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]*

 

Abstrak

Zoonosis merupakan penyakit yang dapat menular antara hewan dan manusia, dan dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Identifikasi parasit pada hewan liar, seperti tikus liar, menjadi penting karena tikus liar dapat berperan sebagai vektor atau sumber penyakit zoonosis yang dapat menular kepada manusia melalui kontak langsung atau melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan meninjau literatur yang ada mengenai peran tikus liar sebagai pembawa parasit saluran cerna dan potensi risikonya terhadap zoonosis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah systematic literature review. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melibatkan pencarian dan seleksi literatur yang relevan dari berbagai database ilmiah dan sumber lainnya. Analisis data dalam systematic literature review melibatkan proses penilaian kualitas studi yang ditinjau, ekstraksi data dari studi dan sintesis temuan dari berbagai studi. Hasil penelitian menunjukan bahwa tikus liar, terutama jenis Rattus tanezumi dan Rattus norvegicus, memiliki peran yang signifikan dalam penyebaran parasit saluran cerna dan potensi risiko zoonosis di Indonesia. Tikus tersebut dapat menjadi reservoir berbagai patogen, seperti bakteri zoonotik dan parasit cacing, serta berperan sebagai vektor bagi penyakit seperti leptospirosis, hantavirus, dan penyakit pes. Upaya pengendalian populasi tikus, perbaikan sanitasi lingkungan, dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap risiko zoonosis yang dapat ditularkan oleh tikus liar menjadi langkah krusial dalam pencegahan penyebaran penyakit tersebut.

Kata Kunci: Parasit, Saluran Cerna, Tikus Liar, Zoonosis

 

Abstract

Zoonosis is a disease that can be transmitted between animals and humans, and can pose a serious threat to public health. Identification of parasites in wild animals, such as wild rats, is important because wild rats can act as vectors or sources of zoonotic diseases that can be transmitted to humans through direct contact or through ingestion of contaminated food. This study aimed to identify and review the existing literature on the role of wild rats as carriers of gastrointestinal parasites and their potential risks to zoonoses. The method used in this study is systematic literature review. Data collection techniques in this study involve searching and selecting relevant literature from various scientific databases and other sources. Data analysis in systematic literature review involves the process of assessing the quality of studies reviewed, extracting data from studies and synthesizing findings from various studies. The results showed that wild rats, especially Rattus tanezumi and Rattus norvegicus, have a significant role in the spread of gastrointestinal parasites and the potential risk of zoonoses in Indonesia. These mice can be reservoirs of various pathogens, such as zoonotic bacteria and worm parasites, and act as vectors for diseases such as leptospirosis, hantavirus, and bubonic plague. Efforts to control rat populations, improve environmental sanitation, and increase public awareness of zoonotic risks that can be transmitted by wild rats are crucial steps in preventing the spread of the disease.

Keywords: Parasites, Gastrointestinal Tract, Wild Rats, Zoonosis

 

Pendahuluan

Zoonosis merupakan penyakit dan infeksi yang secara alami dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia. Banyak penelitian memperkirakan 6 dari 10 penyakit infeksi pada manusia disebabkan oleh hewan, dan 3 dari 4 emerging diseases pada manusia disebabkan oleh hewan. Penyebaran penyakit ini dapat ditransmisikan secara langsung (melalui ludah, darah, urin, mukosa, feses, cairan tubuh hewan terkontaminasi), secara tidak langsung, melalui perantara gigitan vektor, makanan terkontaminasi, dan air baik air minum maupun air yang terkontaminasi (NCEZID, 2021). Banyak penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus, bakteri, cacing, jamur, dan protozoa ditransmisikan oleh 217 spesies dari rodent. Saat ini teridentifikasi 31 jenis penyakit akibat cacing, 28 jenis penyakit akibat virus, 26 jenis penyakit akibat bakteri, 14 jenis penyakit akibat protozoa, 8 jenis penyakit akibat ricketsia, dan 4 jenis penyakit akibat jamur yang ditransmisikan oleh rodent (Ristiyanto et al., 2014).

Rodent liar dipelajari dalam perannya pada transmisi infeksi karena dikenal sebagai vektor maupun hospes reservoir pada banyak infeksi zoonosis. Diantara patogen yang dimaksud seperti bakteria (Yersinia pestis, Borrelia burdgoferri, Leptospira spp., Bartonella spp., Orientia tsutsugumushi), virus (hantavirus, arenavirus, poxvirus) dan protista (Babesia microti, Toxoplasma gondii, Trypanosoma spp., Leishmania spp.) dengan sekurangnya 68 virus zoonosis dibawa oleh rodent (Bordes et al., 2015).  Hasil serologis yang pernah dilakukan dengan 655 tikus liar pada tujuh pelabuhan laut di Indonesia memperlihatkan Rattus novergicus dan Rattus exulans dari Ujung Pandang (Makassar) dan Rattus rattus dari Semarang seropositif terhadap Hantavirus (Lukman et al., 2019). Leptospirosis pun hampir terjadi di seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Hal ini berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) terutama saat banjir dengan tingkat kematian diatas 7% (Ikawati & Widiastuti, 2013).

Beberapa parasit berpotensi zoonosis yang dapat ditransmisikan oleh rodent liar adalah parasit cacing usus zoonosis (kelompok nematoda, trematoda, dan cestoda). Protozoa usus zoonosis yang tercatat ditemukan pada tikus liar diantaranya adalah Cryptosporodium spp., dan Giardia spp (Tijjani et al., 2020). Prevalensi beragam dari 15% hingga mencapai 50%. Cryptosporodium spp. merupakan protozoa yang secara luas menginfeksi golongan vertebrata, termasuk manusia. Prevalensi penemuan Cryptosporodium pada rodent yang pernah dilaporkan berkisar 5% sampai 39% (Lv et al., 2009).

Himenolepiasis yang pernah diteliti di Indonesia dilakukan di Provinsi Kalimantan Selatan di tahun 2012. Penelitian infeksi Hymenolepis diminuta dan Hymenolepis nana pada tikus juga dilakukan oleh Priyanto di kabupaten Banjarnegara di tahun 2014, dan laporan adanya infeksi beberapa spesies cacing di organ sekum tikus di Desa Kedung Pring Kecamatan Kemranjen dan Desa Beji Kecamatan Kedung Banteng Kabupaten Banyumas oleh Pramestuti dan Widiastuti di tahun 2015 (Pramestuti & Widiastuti, 2015).

Diare merupakan penyumbang utama ketiga angka kesakitan dan kematian anak di berbagai negara termasuk Indonesia. Kasus Kriptosporodiasis sebagai penyebab diare tersebut berkisar 4-11% di Indonesia (Wijayanti, 2017). Pada negara berkembang, Giardia intestinalis merupakan penyebab utama diare pada bayi dan anak, dan 90% dari anak tersebut menderita giardiasis asimptomatik (Robertson et al., 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan meninjau literatur yang ada mengenai peran tikus liar sebagai pembawa parasit saluran cerna dan potensi risikonya terhadap zoonosis.

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah systematic literature review. Systematic literature review adalah jenis review yang menggunakan metode yang dapat diulang untuk menemukan, memilih, dan mensintesis semua bukti yang tersedia. Tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian yang dirumuskan dengan jelas dan secara eksplisit menyatakan metode yang digunakan untuk mencapai jawaban tersebut.

Systematic literature review adalah cara untuk mensintesis bukti ilmiah yang transparan dan dapat direproduksi dengan mencari dan mengevaluasi kualitas semua bukti yang diterbitkan tentang topik tertentu (Cocchia, 2014). Jenis data pada penelitian ini adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan pencarian literature di database Google Scholar dan Scopus dengan kata kunci parasit saluran cerna, sumber transmisi potensial zoonosis dengan bebrapa kriteria sebagai berikut:

Tabel 1. Kriteria Data

No

Kriteria

Inklusi

Eksklusi

1

Bahasa

Bahasa Indonesia dan Inggris

Selain bahasa Indonesia dan Inggris

2

Periode Publikasi

2013-2023

Sebelum tahun 2013

3

Aksesibilitas

Full akses

Berbayar

 

Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan diperoleh alur dan hasil penelitian yang akan digunakkan dalam penelitian ini digambarkan dalam diagram PRISMA berikut ini:

 

Gambar 1. Diagram PRISMA (2023)

 

Data ditemukan di database Google Schoolar dan Scopus adalah sebanyak 423 hasil penelitian, kemudian data dieksklusi dengan alasan pengambilan data 10 halaman pertama sehingga diperoleh 109. Kemudian data diidentifikasi kelayakannya sehingga diperoleh 53, kemudian jurnal dipilih sesuai dengan tujuan penelitian sebanyak 13, kemudian jurnal dieksklusi dan diperoleh 10 jurnal yang dijadikan bahan dalam penelitian ini. Analisis data dalam systematic literature review melibatkan proses penilaian kualitas studi yang ditinjau, ekstraksi data dari studi dan sintesis temuan dari berbagai studi.

           

Hasil dan Pembahasan

Tabel 2. Hasil Penelitian

No

Nama Peneliti

Judul Penelitian

Hasil Penelitian

1

Widiastuti, D., Pramestuti, N., Setiyani, E., & Rahayu, H. F. (2013).

Mikroorganisme Patogen pada Feses Tikus

 

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa tikus yang berada di pasar dapat berperan sebagai reservoir untuk berbagai bakteri zoonotik seperti Salmonella dan E.coli.

2

Tutstsintaiyn, R. (2013).

Pemeriksaan Cacing Endoparasit Pada Tikus (Rattus spp.) Di Desa Citereup Kecamatan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung Jawa Barat 2013

Spesies tikus yang ditemukan dalam penelitian ini adaah Rattus tanezumi dan Rattus norvegicus. Jenis endoparasit cacing yang teridentifikasi yaitu pada hati spesies Taenia taeniaeformis, spesies Hymenolepis diminuta pada lambung dan usus, serta spesies Nippostrongilus brassiliensis pada usus. Seluruh cacing yang di temukan dalam penelitian ini bersifat zoonosis.

3

Sendow, I., Dharmayanti, M., Saepullah, & Adjid. (2016).

Infeksi Hantavirus: Penyakit Zoonosis yang Perlu Diantisipasi Keberadaannya di Indonesia

Salah satu zoonosis dalam hal ini penyakit yang disebabkan Hantavirus sudah terdeteksi pada tikus sebagai vektor dari virus ini.

4

Dewi, W. M., Partaya, & Susanti. (2019).

Prevalensi Ektoparasit Pada Tikus Sebagai Upaya Pemetaan

Risiko Zoonosis Di Kawasan Rob Kota Semarang

 

Jenis ektoparasit yang ditemukan di kawasan rob Kota Semarang adalah pinjal Xenopsylla cheopis, kutu Hoplopleura pasifica dan tungau Laelaps echidninus. Pemetaan jumlah ektoparasit berdasarkan jenis tikus yang tertangkap dan potensi munculnya penyakit zoonotic di Kelurahan Bangetayu kulon termasuk kategori tinggi, Kelurahan Kelurahan Bandarharjo kategori sedang dan Kelurahan Tugurejo kategori rendah.

5

Khariri. (2019)

Survei keanekaragaman tikus sebagai hewan pembawa bakteri

Leptospira di Provinsi Jawa Tengah

 

Uji leptospirosis terhadap sampel tikus dilakukan dengan MAT terhadap 227 ekor dan PCR terhadap sebanyak 206 ekor. Hasil pemeriksaan PCR menunjukkan hasil positif sebanyak 16 sedangkan MAT sebanyak 5 ekor. Data tikus sebagai reservoir penyakit dapat digunakan sebagai dasar pengendalian penyakit zoonosis di Indonesia seperti leptospirosis.

6

Najib, I., Kartika, A. I., & Darmawati, D. (2019).

Identifikasi Bakteri pada Limfa Tikus Wirok (Bandicota sp.) Berdasarkan Sekuen Gen 16S rRNA

 

Berdasarkan hasil penelitian dan data literatur yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa strain 1L, 2L, dan 4L merupakan strain bakteri yang potensial sebagai sumber infeksi zoonosis yang bisa menyerang hewan dan manusia.

7

Novita, R. (2019).

Kajian Potensi Tripanosomiasis sebagai Penyakit Zoonosis Emerging di Indonesia

 

Berdasarkan hasil dari penelusuran literatur, didapatkan data bahwa Indonesia memiliki peluang terjadinya infeksi Trypanosoma pada manusia karena ternak di Indonesia belum bebas dari Surra, populasi vektor dan reservoir cukup tinggi dan lingkungan yang hangat dipicu dengan kepadatan penduduk menjadi faktor risiko terjadinya penyakit ini. Adanya kedekatan tempat tinggal antara manusia dengan hewan ternak, dan juga tikus sebagai reservoir juga menjadi faktor risiko tersendiri. Indonesia berpeluang terjadinya penyakit parasit emerging yang zoonosis yaitu Trypanosoma pada manusia.

8

Nurwidayati, A., & Siahaan, H. A. (2019).

Jenis Tikus Dan Potensi Penularan Penyakit Zoonosis Di Daerah Endemis Schistosomiasis Napu, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah

Jenis tikus yang ditemukan yaitu Rattus argentiventer, Rattus sp., R.tanezumi, R.exulans, Maxomys muechenbroekii, dan Paruromys dominator. Jumlah tikus yang terinfeksi schistosomiasis adalah tujuh ekor (infection rate 46,67%), Hymenolepis diminuta delapan ekor (53,33%), dan nematoda darah delapan ekor (53,33%). Jumlah total tikus yang tertangkap di Desa Kaduwaa adalah 13 ekor dari 100 perangkap yang dipasang selama tiga malam (trap succes 4%). Jenis tikus yang ditemukan yaitu Rattus argentiventer, R.tanezumi, dan R.exulans. Jumlah tikus yang terinfeksi schistosomiasis adalah tiga ekor (infection rate 23%), Capillaria hepatica dua ekor (15,38%) Hymenolepis diminuta dua ekor (15,38%), dan nematoda darah empat ekor (26,67%). Dengan ditemukannya telur cacing pada tikus perlu diwaspadai sebagai investigasi awal sumber penularan penyakit kecacingan melalui tikus.

9

Supriadi, Oktaviana, & Nofisulastri. (2021).

DETEKSI CACING Capillaria hepatica PADA ORGAN HATI TIKUS

 

Hasil pemeriksaan 10 sampel preparat histologi organ hati tikus menunjukkan bahwa, 4 sampel positif mengandung telur dan cacing dewasa C. hepatica. Dimana 3 preparat histologi yang diamati tampak organ hati tikus mengalami kerusakan berat, dan 1 sampel tampak mengalami kerusakan ringan. Untuk pemeriksaan cairan gastrointestinal, tidak terdapat sampel yang mengandung telur cacing C. hepatica. Capillaria hepatica merupakan salah satu agen parasit zoonosis yang telah dilaporkan di berbagai belahan dunia.

10

Irsyad, T., & Setiati, N. (2022).

Identifikasi, Intensitas Endoparasit Pada Tikus Dan Cecurut Yang Berpotensi Zoonosis Di Kelurahan

Kedungpane Kecamatan Mijen Kota Semarang

 

Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan 4 jenis tikus dan 1 jenis curut yang terdiri dari Rattus norvegicus, Bandicota indica, Rattus exulans, Rattus tanezumi, dan Suncus murinus. Jenis endoparasit yang didapat 4 jenis endoparasit diantaranya Hymenolepis nana, Hymenolepis diminuta, Diphyllobothrium latum, dan Ancylostoma spp.. Hasil perhitungan intensitas endoparasit yang ditemukan pada masing-masing tikus dan cecurut tergolong dalam kategori rendah.

 

Pembahasan

Zoonosis secara umum dapat didefinisikan sebagai penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hal tersebut juga dijelaskan dalam UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang menyatakan penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia dan sebaliknya. Menurut World Health Organization (WHO), zoonosis adalah suatu penyakit atau infeksi yang secara alami ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia (Hidayah et al, 2021). Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan yang sakit dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengkonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit atau yang disebut foodborne disease (Biru et al, 2018).

Penyakit zoonosis disebabkan oleh berbagai macam patogen. Berdasarkan etiologinya, zoonosis diklasifikasikan menjadi zoonosis bakterial (seperti antraks, salmonellosis, tuberkulosis, penyakit Lyme, brucellosis, dan wabah), zoonosis virus (seperti rabies, sindrom defisiensi imun didapat-AIDS, Ebola, dan flu burung), zoonosis parasit. zoonosis (seperti trichinosis, toksoplasmosis, trematodosis, giardiasis, malaria, dan echinococcosis), zoonosis jamur (seperti ring worm), zoonosis rickettsial (Q-fever), zoonosis klamidia (psittacosis), zoonosis mikoplasma (infeksi Mycoplasma pneumoniae), protozoa zoonosis, dan penyakit yang disebabkan oleh agen patogen non-virus aseluler (seperti ensefalopati spongiform menular dan penyakit sapi gila) (Rahman et al, 2020).

Penularan perantara (intermediary transmission) oleh vektor merupakan bentuk utama penularan patogen hewan ke manusia. Dalam kebanyakan kasus, manusia adalah inang insidental untuk mempertahankan siklus hidup parasit atau patogen. Zoonosis yang ditularkan melalui vektor telah menjadi momok bagi umat manusia sejak zaman dahulu dan terus mengancam populasi manusia saat ini dan untuk masa yang akan datang.

Ekskresi hewan yang terinfeksi juga dapat menularkan penyakit melalui kontaminasi air yang digunakan untuk minum atau mandi atau dari paparan kulit yang tidak disengaja ke genangan air yang mengandung urine tikus seperti penyakit leptospirosis (Nanda, 2020). Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat yang disenangi tikus (Prihantoro & Siwiendrayanti, 2017).

Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran tikus. Dengan demikian, tikus akan menjadi pembawa parasit saluran cerna dan potensi risiko zoonosis. Adapun beberapa peran tikus liar dalam penyebaran parasit dan potensi risiko zoonosis adalah sebagai berikut.

1)      Tikus yang berada di pasar dapat berperan sebagai reservoir untuk berbagai bakteri zoonotik seperti Salmonella dan E.coli. Virus ini didapatkan dari Foodborne disease yang merupakan penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya penularan foodborne disease, antara lain adalah higiene perorangan yang buruk, cara penangan makanan yang tidak sehat dan perlengkapan pengolahan makanan yang tidak bersih. Kontaminasi yang terjadi pada makanan dapat menyebabkan perubahannya makanan tersebut menjadi media bagi suatu penyakit (Wibisono, 2015).

2)      Bakteri zoonosis utama ini menyebabkan infeksi pada manusia yang ditandai terutama dengan gejala gastrointestinal termasuk mual, muntah, diare, kram perut, dan gejala spesifik agen lainnya. Beberapa bakteri dapat menyebabkan komplikasi yang parah. Teknik konvensional (budaya), serologis, dan molekuler penting untuk mendeteksi bakteri zoonosis umum ini dan toksinnya dalam makanan. Kebersihan yang baik, GMP, sanitasi dalam prosedur operasi, dan penerapan standar HACCP dan prosedur pasteurisasi merupakan metode yang efektif untuk pengendalian dan pencegahan (Abebe et al, 2020).

3)      Tikus jenis Rattus tanezumi dan Rattus norvegicus terdapat endoparasit cacing yang teridentifikasi yaitu pada hati spesies Taenia taeniaeformis, spesies Hymenolepis diminuta pada lambung dan usus, serta spesies Nippostrongilus brasiliensis pada usus. Seluruh cacing yang di temukan bersifat zoonosis. Nippostrongylus brasiliensis paling banyak ditemukan menginfeksi jenis tikus dengan 3 jenis tikus yaitu R. tanezumi, R. tiomanicus dan R.exulans dengan indeks parasit 9 – 40 ekor pada tiap inangnya. Nematoda jenis ini mempunyai penyebaran yang luas di dunia (Dewi & Purwaningsih, 2013).

4)      Hantavirus sudah terdeteksi pada tikus sebagai vektor penyebab zoonosis. Hantavirus termasuk dalam famili Bunyaviridae yang terdiri dari virus-virus yang ditularkan melalui vektor. Penularan hantavirus melalui udara tercemar yang disebabkan oleh urin dan saliva dari hewan rodensia (tikus) yang terinfeksi, serta kontak langsung dengan hewan rodensia (tikus). Penyakit yang dapat muncul dari hantavirus yaitu haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS), nephropathia epidemica (NE) dan hantavirus pulmonary syndrome (HPS) atau hantavirus cardiopulmonary syndrome (HCPS) (Anggraeni & Sumiati, 2021). Perlu dilakukan kampanye peningkatan sanitasi serta sosialisasi ke masyarakat terkait risiko penularan hantavirus (Mulyono et al, 2020). 

5)      Jenis ektoparasit yang ditemukan pada tikus adalah pinjal Xenopsylla cheopis, kutu Hoplopleura pasifica dan tungau Laelaps echidninus. Ektoparasit inilah yang memiliki potensi munculnya penyakit zoonotic. Xenopsylla cheopis  adalah pinjal tikus yang dikenal sebagai vektor biologi dari penyakit pes (Sari et al, 2020). Penyakit pes merupakan penyakit yang menular dan dapat mengakibatkan kematian. Tikus merupakan reservoir dan pinjal merupakan vector penularnya, sehingga penularan ke manusia dapat terjadi melalui gigitan pinjal atau kontak langsung dengan tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis (Rahmawati, 2013).

6)      Uji leptospirosis terhadap sampel tikus yang menunjukkan hasil positif tikus sebagai reservoir penyakit dapat digunakan sebagai dasar pengendalian penyakit zoonosis di Indonesia seperti leptospirosis. Penyakit Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan, disebabkan oleh bakteri Leptospira spp. patogen dan digolongkan sebagai zoonosis. Jenis tikus yang biasanya berpotensi untuk menularkan adalah jenis tikus got (Rattus norvegicus) atau tikus kebun/ladang (Rattus exulans) (Kusumaratna, Pribadi, & itami, 2021).

7)      Strain 1L, 2L, dan 4L merupakan strain bakteri yang potensial sebagai sumber infeksi zoonosis yang bisa menyerang hewan dan manusia (Najib, 2019).

8)      Kedekatan tempat tinggal antara manusia dengan hewan ternak, dan juga tikus sebagai reservoir juga menjadi faktor risiko tersendiri. Indonesia berpeluang terjadinya penyakit parasit emerging yang zoonosis yaitu Trypanosoma pada manusia. Human African Trypanosomiasis (HAT) atau penyakit tidur merupakan penyakit yang diduga telah ditaklukkan pada tahun 1960-an, yang muncul kembali sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius di sebagian besar wilayah sub-Sahara Afrika. Sel parasit Trypomastigotes berbentuk seperti cacing dengan jumlah yang lebih sedikit dibanding dengan jumlah sel darah merah. Sel ini dalam realitanya akan bergerak sangat cepat seperti jentik nyamuk dalam air (Putra et al, 2019).

9)      Dengan ditemukannya telur cacing pada tikus perlu diwaspadai sebagai investigasi awal sumber penularan penyakit kecacingan melalui tikus. Tikus merupakan rodentia yang dapat merugikan kehidupan manusia karena selain mengganggu secara langsung juga sebagai perantara penularan penyakit. Infeksi kecacingan tergolong penyakit neglected disease yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas. Penyakit kecacingan ini dapat ditularkan melalui tikus (Setyaningrum, 2016).

10)   Organ hati tikus menunjukkan bahwa yang positif mengandung telur dan cacing dewasa C. hepatica merupakan salah satu agen parasit zoonosis yang telah dilaporkan di berbagai belahan dunia. Capillaria hepatica ditularkan melalui feses yang dikeluarkan oleh tikus yang terinfeksi akibat memakan tikus lain (kanibalisme) yang juga terinfeksi C. hepatica. Telur cacing yang keluar bersama feses akan menjadi telur yang berlarva setelah menyesuaikan diri terhadap lingkungannya (Supriadi et al, 2021).

11)   Jenis endoparasit yang didapat 4 jenis endoparasit diantaranya Hymenolepis nana, Hymenolepis diminuta, Diphyllobothrium latum, dan Ancylostoma spp. Jenis endoparasit ini memiliki potensi munculnya penyakit zoonotic. Keberadaan Hymenolepis diminuta dalam tikus maupun rodent lainnya dapat mengakibatkan penyakit yang zoonosis terhadap manusia (Tutstsintaiyn, 2013).

 

 

Kesimpulan

Tikus liar memiliki peran signifikan sebagai pembawa parasit saluran cerna dan potensi risiko zoonosis, menyebabkan berbagai penyakit yang dapat ditularkan antara hewan dan manusia. Dalam konteks Indonesia, tikus liar terutama Rattus tanezumi dan Rattus norvegicus dapat menjadi reservoir berbagai patogen, termasuk bakteri zoonotik seperti Salmonella spp. dan E.coli, serta parasit cacing seperti Taenia taeniaeformis dan Hymenolepis diminuta.

Ektoparasit tikus seperti pinjal Xenopsylla cheopis dan kutu Hoplopleura pasifica juga dapat menjadi vektor bagi penyakit zoonotic, seperti penyakit pes yang disebabkan oleh Yersinia pestis. Selain itu, tikus liar dapat membawa hantavirus dan menjadi sumber leptospirosis, meningkatkan potensi risiko zoonosis di wilayah tersebut.

Upaya pengendalian populasi tikus dan perbaikan sanitasi lingkungan menjadi kunci untuk meminimalkan risiko penularan penyakit zoonotic yang dibawa oleh tikus liar. Kebersihan yang baik, penerapan standar HACCP, dan prosedur pasteurisasi makanan menjadi metode efektif untuk mengontrol penyebaran bakteri zoonotik yang dapat ditularkan melalui konsumsi pangan yang terkontaminasi. Selain itu, kampanye peningkatan sanitasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang potensi risiko zoonosis yang dapat disebabkan oleh tikus dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pencegahan penyakit yang dapat ditularkan oleh tikus liar.

 

Ucapan Terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara melalui skema penelitian dosen perintis (SK no. 09/UN5.2.1.1/SK/PPM/2023)

 

BIBLIOGRAFI

 

Abebe, E., et al. (2020). Review on Major Food-Borne Zoonotiz Bacterial Pathogens. J Trop Med.

Anggraeni, D. N., & Sumiati, E. (2021). Epidemiologi Hantavirus di Indonesia Mengenai Struktur Serta Perkembangannya. Prosiding Biologi Achieving the Sustainable Development Goals with Biodiversity in Confronting Climate Change. 443-445.

Bordes, F., Blasdell, K. and Morand, S. (2015) ‘Transmission Ecology of Rodent-Borne Diseases: New Frontiers’, Integrative Zoology, 10(5), pp. 424–435. doi:10.1111/1749-4877.12149.

Cocchia, A. (2014). Smart and digital city: A systematic literature review. Smart city: How to create public and economic value with high technology in urban space, 13-43.

Dewi, K., & Purwaningsih, E. (2013). Cacing Parasit Pada Tikus Di Perkebunan Karet Di Desa Bogorejo, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung Dan Tinjauan Zoonosisnya. Zoo Indonesia. 22(2), 1-7.

Dewi, W. M., Partaya, & Susanti, R. (2019). Prevalensi Ektoparasit Pada Tikus Sebagai Upaya Pemetaan Risiko Zoonosis Di Kawasan Rob Kota Semarang. Jurnal Ekologi Kesehatan. 18(), 171-182.

Hidayah, M. N., et al. (2021). Kajian Pemahaman dan Upaya Pencegahan Generasi Milenial dan Generasi Z di Provinsi DKI Jakarta Terhadap Zoonosis. Prosiding SEMNAS BIO 2021 Universitas Negeri Padang. 1, 776-790.

Ikawati, B. and Widiastuti, D. (2013) ‘Leptospirosis Pada Manusia di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah’, 9(1), pp. 17–20.

Irsyad, T., & Setiati, N. (2022). Identifikasi, Intensitas Endoparasit Pada Tikus Dan Cecurut Yang Berpotensi Zoonosis Di Kelurahan Kedungpane Kecamatan Mijen Kota Semarang. Prosiding Seminar Nasional Biologi X FMIPA Universitas Negeri Semarang. 276-283.

Khariri. (2019). Survei keanekaragaman tikus sebagai hewan pembawa bakteri Leptospira di Provinsi Jawa Tengah. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 5(1), 42-45.

Kusumaratna, R., Pribadi, B., Itami, D.  (2021). Pelibatan Masyarakat Dengan Pemberdayaan Warga Untuk Mencegah Potensi Penyakit Leptospirosis Kelurahan Kebagusan, Jakarta Selatan. Jurnal Wahana Abdimas Sejahtera. 2(2), 255-265.

Lv, C. et al. (2009) ‘Cryptosporidium spp. in Wild, Laboratory, and Pet Rodents in China: Prevalence and Molecular Characterization’, Applied and Environmental Microbiology, 75(24), pp. 7692–7699. doi:10.1128/AEM.01386-09.

Mulyono, A., et al. (2020). Infeksi Hantavirus pada Tikus Domestik, Peridomestik, dan Silvatik di Pulau Sulawesi. Vektora. 12(2), 87-96.

Nanda, I. M. A. P. (2020). Analisis Risiko Penularan Zoonosis dari Serangga Konsumsi. BALAIRUNG: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia. 2(2), 132-155.

Najib, I., Kartika, A. I., & Darmawati, S. (2019). Identifikasi Bakteri pada Limfa Tikus Wirok (Bandicota sp.) Berdasarkan Sekuen Gen 16S rRNA. Prosiding Mahasiswa Seminar Nasional Unimus. 2, 262-270.

NCEZID .(2021). Zoonotic Diseases, Centers for Disease Control and Prevention , National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Diseases (NCEZID). Available at: https://www.cdc.gov/onehealth/basics/zoonotic-diseases.html.

Novita, R. (2019). Kajian Potensi Tripanosomiasis sebagai Penyakit Zoonosis Emerging di Indonesia. Jurnal Vektor Penyakit. 13(1), 21-32.

Pramestuti, N. & Widiastuti, D. (2015) ‘Infection of Helminth Eggs on House Rats (Rattus tanezumi ) in Human Residential Area’, Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang, 5(3), pp. 121–125.

Putra, A. A. N. B. U., et al. (2019). Identifikasi Sel Human African Trypanosomiasis Pada Sel Darah Dengan Menggunakan K-Means Clustering. Jurnal Ilmiah Merpati. 7(3), 170-181.

Rahman, M. T., et al. (2020). Zoonotic Diseases: Etiology, Impact, and Control. Microorganisms. 8(9), 1405.

Rahmawati, E. (2013). Partisipasi Ibu Dalam Pemasangan Live Trap Terhadap Jumlah Tangkapan Tikus Dan Pinjal Di Desa Sukabumi Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Unnes Journal of Public Health. 2(3), 1-10.

Ristiyanto et al. (2014) Penyakit Tular Rodensia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Available at: https://ugmpress.ugm.ac.id/en/product/kedokteran-hewan/penyakit-tular-rodensia.

Robertson, L.J., Forberg, T. and Gjerde, B.K. (2008) ‘Giardia Cysts in Sewage Influent in Bergen, Norway 15-23 Months After an Extensive Waterborne Outbreak of Giardiasis’, Journal of Applied Microbiology, 104(4), pp. 1147–1152. doi:10.1111/j.1365-2672.2007.03630.x.

Sari, M. D., et al. (2020). Identifikasi Ektoparasit Pada Tikus ( Rattus  sp.) Sebagai Vektor Penyakit Pes Di Areal Pelabuhan Panjang Kota Bandar Lampung. Jurnal Medika Malahayati. 4(2), 120-128.

Sendow, I., Dharmayanti, N., Saepullah, M., & Adjid, R. (2016). Infeksi Hantavirus: Penyakit Zoonosis yang Perlu Diantisipasi Keberadaannya di Indonesia. Wartazoa. 26(1), 17-26.

Setyaningrum, A. D. (2016). Jenis Tikus dan Endoparasit Cacing dalam Usus Tikud di Pasar Rasamala Kelurahan Srondol Wetan Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masayarakat. 4(3), 50-59.

Supriadi, Oktaviana, D., & Nofisulastri. (2021). Deteksi Cacing Capillaria hepatice pada Organ Hati Tikus. Bioscientist: Jurnal Ilmiah Biologi. 9(2), 651-658.

Tijjani, M. et al. (2020) ‘Detection of Rodent-Borne Parasitic Pathogens of Wild Rats in Serdang, Selangor, Malaysia: A potential Threat to Human Health’, International Journal for Parasitology: Parasites and Wildlife, 11, pp. 174–182. doi:https://doi.org/10.1016/J.IJPPAW.2020.01.008.

Tutstsintaiyn, R. (2013). Pemeriksaan Cacing Endoparasit Pada Tikus (Rattus spp.) Di Desa Citereup Kecamatan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung Jawa Barat 2013. BALABA. 9(2), 47-52.

Widiastuti, D., Pramestuti, N., Setiyani, E., & Rahayu, H. F. (2013). Mikroorganisme Patogen pada Feses Tikus. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8(4), 174-178.

Wijayanti, T. (2017) ‘Kriptosporidiosis di Indonesia (Cryptosporidiosis in Indonesia)’, Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, 13(1), pp. 73–82. Available at: http://doi.org/10.22435/blb.V13i1.

 

Copyright holder:

Athika Adnani, Rina Amelia, Sunna Vyatra Hutagalung (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: