Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 1, Januari 2024
SINKRONISASI
PETA LSD DENGAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH
Fendry
Rizma Hayuningtyas, Harsanto Nursadi
Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Sering terjadinya alih
fungsi lahan sawah di Indonesia mendorong pemerintah untuk melakukan upaya
perlindungan eksistensi lahan sawah untuk menjamin ketersediaan lahan sawah
sebagai bentuk hak menguasai dari negara. Oleh karena itu, melalui Peraturan
Presiden Nomor 59 Tahun 2019, pemerintah mengamanatkan untuk percepatan
penetapan peta lahan sawah yang dilindungi sebagai bentuk perlindungan
eksistensi lahan sawah. Dalam praktiknya, terjadi ketidaksesuaian antara peta
lahan sawah yang dilindungi dengan rencana tata ruang wilayah suatu daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana
proses penetapan peta lahan sawah yang dilindungi, dan bagaimana sinkronisasi
peta lahan sawah yang dilindungi dengan rencana tata ruang wilayah. Penelitian
ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, bertipe deskriptif
analitis, dan merupakan penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian ini
yaitu, pertama, penetapan peta lahan sawah yang dilindungi melalui tiga tahapan
yaitu verifikasi lahan sawah, sinkronisasi hasil verifikasi lahan sawah, dan
pelaksanaan penetapan peta lahan sawah yang dilindungi, kedua, sinkronisasi
peta lahan sawah yang dilindungi dengan rencana tata ruang wilayah dapat
dilakukan melalui permohonan dikeluarkannya lahan dari peta lahan sawah yang
dilindungi selama memenuhi kriteria dalam Petunjuk Teknis Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 5/Juknis-HK.02/VI/2022 dan
selanjutnya dilakukan perubahan peta lahan sawah yang dilindungi oleh perangkat
daerah, ketua tim pelaksana, dan tim terpadu untuk terwujudnya sinkronisasi
antar peraturan.
Kata Kunci: Lahan Sawah yang Dilindungi, Rencana Tata Ruang Wilayah
Abstract
The frequent conversion of paddy fields in Indonesia
encourages the government to make efforts to protect the existence of paddy
fields to ensure the availability of paddy fields as a form of control rights
from the state. Therefore, through Presidential Regulation Number 59 of 2019,
the government mandates to accelerate the determination of protected rice field
maps as a form of protection for the existence of rice fields. In practice,
there is a discrepancy between the map of protected paddy fields and the
spatial plan of an area. This study aims to find out how the process of
determining the map of protected rice fields, and how to synchronize the map of
protected rice fields with regional spatial plans. This research was prepared
using doctrinal research methods, analytical descriptive type, and is a
literature research. The results of this study are, first, the determination of
the map of protected rice fields through three stages, namely verification of
rice fields, synchronization of rice field verification results, and
implementation of the determination of protected rice field maps, second, synchronization
of maps of protected rice fields with regional spatial plans can be done
through requests for the removal of land from protected rice field maps as long
as they meet the criteria in the Technical Guidelines of the Ministry of
Agrarian Affairs and Governance Ruang/National Land Agency Number
5/Juknis-HK.02/VI/2022 and subsequently changes to the map of rice fields
protected by regional officials, implementation team leaders, and integrated
teams were carried out to realize synchronization between regulations.
Keywords: Protected Rice Field, Regional Spatial Plan
Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945) melalui Pasal 33 ayat (3) mengamanatkan bahwa “bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Maksud dari kalimat
“dikuasai oleh negara” adalah negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan
mengusahakan tanah-tanah tersebut dengan segala potensi yang ada dalam wilayah
hukum pertanahan Indonesia (Soeprijanto,
2023).
Hak
menguasai negara adalah kekuasaan atau kewenangan negara berdasarkan hukum
untuk: mengatur; mengurus; dan mengawasi.
Jika dikhususkan pada hak menguasai tanah oleh
negara, maka berarti negara membangun, mengusahakan, memelihara, dan mengatur
segala sesuatu mengenai tanah. Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA) secara mutlak memberikan batasan-batasan
wewenang kepada negara dalam hal pelaksanaan hak menguasai dari negara sebagaimana
disebutkan Pasal 33 UUD 1945 (Sudrajat, 2015). Oleh karena negara memiliki
kewenangan tersebut, tentu salah satu pelaksanaan dari kewenangan mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah
dengan melindungi eksistensi lahan sawah (Apriyanto et al., 2021; Syahri, 2014).
Penyediaan lahan pertanian sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan perlu
dijamin oleh negara sebagai salah satu implementasi dari bentuk hak menguasai
dari negara. Penyediaan lahan pertanian perlu mengedepankan prinsip
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional (Imeldalius, 2020) . Sebagai upaya perlindungan
lahan pertanian dari arus degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan, pada
tahun 2009 telah terbit Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (selanjutnya disebut UU PLP2B). UU PLP2B
dinilai kurang efektif karena definisi dari lahan pertanian dalam undang-undang
tersebut terlalu luas dan tidak semua daerah telah memiliki peraturan mengenai
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (selanjutnya disebut LP2B) (Zakaria
& Rachman, 2013)
Pertumbuhan penduduk juga berpengaruh terhadap ketersediaan lahan karena
dengan bertambahnya jumlah penduduk maka permintaan lahan meningkat yang
mengakibatkan perubahan tujuan penggunaan lahan.
Atas dasar hak menguasai dari negara, Presiden melalui Peraturan Presiden
Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah (selanjutnya
disebut Perpres No. 59 Tahun 2019) mengamanatkan untuk dilakukannya percepatan
penetapan peta lahan sawah yang dilindungi dan pengendalian alih fungsi lahan
sawah sebagai program strategis nasional (Erwahyuningrum et al., 2023). Implementasi dari Perpres No. 59 Tahun 2019 adalah terbitnya Keputusan
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor
1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tentang Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi
Pada Kabupaten /Kota di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa
Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa
Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (selanjutnya disebut
Kepmen ATR/BPN No. 1589 Tahun 2021). Dikutip dari Forum Group Discussion
tentang Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Dalam Rangka Mendukung
Ketahanan Pangan Nasional yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian pada Rabu, 10 Maret 2021, Ismariny sebagai Asisten Deputi
Prasarana dan Sarana Pangan dan Agribisnis menyatakan bahwa kebijakan
pengendalian alih fungsi lahan sawah (penetapan peta LSD) merupakan kebijakan
dalam rangka mempertahankan ketahanan pangan nasional, upaya keberpihakan
pemerintah terhadap perlindungan lahan sawah, dan mendorong Pemerintah Derah
untuk dengan segera menetapkan Peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang
wilayah dengan peta lahan sawah secara spasial (NikenSari & Budhianti, 2023).
Besarnya luas lahan sawah yang dialihfungsikan terbukti melalui data
Badan Pusat Statistik (selanjutnya disebut BPS). Pada tahun 2021, dua tahun
setelah ditetapkannya Perpres No. 59 Tahun 2019, BPS mencatat terjadinya alih
fungsi lahan sawah nasional bervariasi antara 60.000-80.000 ha per tahun (Wahyuono,
2021), sedangkan lahan sawah
memiliki fungsi sebagai penghasil padi (Ristianti,
2023). Padi merupakan makanan
pokok masyarakat Indonesia, tentu dengan terus berkurangnya lahan sawah akan
berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan pangan di Indonesia.
Namun setelah penetapan peta lahan sawah yang dilindungi (selanjutnya
disebut LSD) dilakukan, tidak jarang terjadi ketidaksesuaian antara rencana
tata ruang wilayah dengan peta LSD salah satunya diakibatkan oleh peta citra
yang digunakan sebagai bahan dari penetapan peta LSD diambil pada tahun
2018-2019. Dengan jarak dua hingga tiga tahun dari pengambilan peta citra
sampai penetapan peta LSD pada tahun 2021 melalui Kepmen ATR/BPN No. 1589 Tahun
2021, tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan penggunaan lahan.
Dari pemaparan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses
penetapan lahan sawah yang dilindungi dan sinkronisasi peta lahan sawah yang
dilindungi dengan rencana tata ruang wilayah.
Metode Penelitian
Penulisan penelitian ini
dilakukan dengan bentuk penelitian doktrinal, bertipe deskriptif analitis,
berjenis penelitian kepustakaan yang menggunakan bahan hukum primer salah
satunya Perpres No. 59 Tahun 2019, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum
tersier (Ali,
2021). Hasil dari penelitian
ini berbentuk deskriptif analitis kualitatif karena berasal dari peraturan
perundang-undangan sebagai hukum positif. Penelitian deskriptif analitis
kualitatif ini memberikan gambaran mengenai proses penetapan peta lahan sawah
yang dilindungi dan bagaimana sinkronisasi peta lahan sawah yang dilindungi
dengan rencana tata ruang wilayah.
Hasil dan Pembahasan
Proses Penetapan LSD
Menurut Pasal 6
Perpres No. 59 Tahun 2019, penetapan peta LSD dilakukan melalui beberapa
tahapan, yaitu: Verifikasi Lahan Sawah; Sinkronisasi Hasil Verifikasi Lahan
Sawah; dan Pelaksanaan Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi.
Verifikasi
Lahan Sawah
Pasal 8 ayat (1)
Perpres No. 59 Tahun 2019 menyebutkan verifikasi dilakukan terhadap lahan sawah
oleh beberapa instansi Jadda,
Mansur, & Haeruddin, (2021), yaitu: a) Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata
ruang; b) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pengelolaan sumber daya air; c) Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanian; d) Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan; e) Kepala lembaga
pemerintah non-kementerian yang melaksanakan tugas di bidang informasi
geospasial.
Verifikasi tersebut
dilakukan melalui interpretasi citra satelit terhadap Lahan Sawah yang diambil
oleh lembaga pemerintah non-kementerian yang melaksanakan tugas di bidang
informasi geospasial. Selanjutnya interpretasi tersebut diverifikasi terhadap: a)
Data pertanahan dan tata ruang oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang; b) data irigasi oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengelolaan
sumber daya air; c) terhadap cetak sawah oleh kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di hidang pertanian; d) kawasan hutan dilakukan oleh kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
Dasar pertimbangan
verifikasi di atas dilakukan dengan menggunakan peta peta lahan baku sawah,
peta rupa bumi Indonesia, peta terkait pertanahan, peta rencana tata ruang,
peta irigasi, peta lahan pertanian pangan berkelanjutan, peta kawasan hutan,
peta terkait perizinan pemanfaatan ruang, dan peta pendukung lainnya. Selanjutnya hasil verifikasi disajikan dalam
bentuk peta Lahan Sawah hasil verifikasi terhadap data pertanahan dan tata ruang;
peta Lahan Sawah beririgasi; dan peta lahan cetak sawah.
Verifikasi lahan sawah
selanjutnya diatur lebih rinci melalui Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 12 Tahun
2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Verifikasi Data Lahan Sawah Terhadap Data
Pertanahan dan Tata Ruang, Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi, dan
Pemberian Rekomendasi Perubahan Penggunaan Tanah Pada Lahan Sawah yang
Dilindungi (selanjutnya disebut Permen ATR/BPN No. 12 Tahun 2020) sebagai
pelaksana dari Perpres No. 59 Tahun 2019. Dalam Pasal 4 Permen ATR/BPN No. 12
Tahun 2020, disebutkan bahwa verifikasi dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu:
identifikasi, analisis hasil identifikasi, dan klarifikasi (Prabowo
et al., 2023).
a) Identifikasi
Identifikasi
dilakukan kepada berbagai macam aspek, yaitu: hak atas tanah dan perizinan di
atas lahan sawah; alih fungsi lahan sawah; dan peruntukan pertanian tanam
pangan dalam rencana tata ruang. Tahap ini dilakukan oleh kantor pertanahan
(untuk tingkat kabupaten/kota); kantor wilayah (untuk tingkat provinsi); dan
direktorat jenderal yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang pengendalian dan
penertiban tanah dan ruang (untuk tingkat nasional) yang mengikut sertakan
direktur jenderal lainnya yang terkait.
Dalam
tahapan ini, dilakukan pengumpulan data dan survei lapangan yang bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam melakukan
pengurangan atau penambahan terhadap luas lahan sawah, selain itu dengan
dilakukannya pengumpulan data maka dapat diketahui perubahan fungsi lahan sawah
secara administratif berdasarkan dokumen pertanahan dan tata ruang. Maksud dari
perubahan fungsi administratif adalah perubahan fungsi akibat dari
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 7 ayat (3) Permen ATR/BPN No. 12 Tahun 2020 namun kondisi di lapangan
masih berbentuk lahan sawah (Aulia,
2020).
Selain
dilakukannya pengumpulan data, dilakukan pula survei lapangan untuk mengetahui
kebenaran data yang sudah dikumpulkan, dan paling sedikit dilakukan terhadap
hak atas tanah dan perizinan di atas lahan sawah; peruntukan pertanian tanaman
pangan dalam rencana tata ruang dan/atau peraturan zonasi; dan alih fungsi
lahan sawah. Survei lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi actual lahan
sawah di lapangan.
Tahap
identifikasi seperti yang telah disebut di atas merupakan tahapan untuk
mengetahui faktor pengurangan maupun penambahan lahan sawah, faktor pengurang
tersebut antara lain luas lahan sawah eksisting, luas lahan sawah yang telah
beralih fungsi, hak guna bangunan, hak milik tanah non-pertanian, hak pakai tanah
non-pertanian, dan faktor lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (4)
Permen ATR/BPN No. 12 Tahun 2020. Disisi
lain, faktor penambah lahan sawah yaitu paling sedikit meliputi lahan sawah
yang tidak terdelineasi.
b) Analisis
Hasil Identifikasi
Hasil
identifikasi berupa data spasial dan data tekstual selanjutnya dianalisis.
Analisis ini terdiri dari analisis hak atas tanah non-pertanian yang berada di
atas lahan sawah; peruntukan rencana tata ruang pada lahan sawah; dan perizinan
yang terbit di atas lahan sawah. Tahap ini dilakukan oleh kantor pertanahan
(untuk tingkat kabupaten/kota); kantor wilayah (untuk tingkat provinsi); dan
direktur jenderal yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang pengendalian dan
penertiban tanah dan ruang (untuk tingkat nasional). Tujuan dari dilakukannya analisis hasil
identifikasi adalah untuk menghasilkan data lahan sawah berdasarkan faktor yang
dipertimbangkan sebagai pengurang dan/atau penambah dari data pertanahan dan tata
ruang.
c) Klarifikasi
1)
Klarifikasi dilakukan terhadap analisis hasil identifikasi. Tahapan ini
bertujuan untuk memperoleh data dan informasi terbaru tentang luas dan alih
fungsi lahan sawah, yang pada akhirnya disampaikan dalam bentuk laporan. Tahap
ini dilaksanakan oleh direktur jenderal yang mempunyai tugas dan fungsi di
bidang pengendalian dan penertiban tanah dan ruang untuk tingkat nasional
dengan melibatkan direktorat jenderal lainnya di lingkungan Kementerian
dan/atau kementerian atau lembaga terkait.
2)
Klarifikasi paling sedikit memuat hal-hal yang dicantumkan dalam Pasal 13
Permen ATR/BPN No. 12 Tahun 2020, dan hasilnya berbentuk dokumen hasil
verifikasi data lahan sawah terhadap data pertanahan dan Tata Ruang yang memuat
peta Lahan Sawah hasil verifikasi terhadap data pertanahan dan Tata Ruang
dengan skala 1:5.000 yang dilaporkan kepada Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (untuk selanjutnya disebut Menteri ATR/BPN)
untuk selanjutnya Menteri ATR/BPN sampaikan kepada Tim Terpadu Pengendalian
Alih Fungsi Lahan Sawah (selanjutnya disebut Tim Terpadu) untuk dilakukannya
sinkronisasi hasil verifikasi lahan sawah.
Sinkronisasi Hasil Verifikasi Lahan Sawah
Setelah tahap
verifikasi selesai, selanjutnya dilakukan sinkronisasi hasil verifikasi yang
dalam kegiatannya meliputi menentukan rencana penetapan peta Lahan Sawah yang
dilindungi; mengintegrasikan peta hasil verifikasi Lahan Sawah yang dilakukan
oleh menteri/kepala lembaga pemerintah non-kementerian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) Perpres No. 59 Tahun 2019; menganalisis luasan Lahan
Sawah yang akan ditetapkan dalam peta Lahan Sawah yang dilindungi; dan
menyepakati usulan peta Lahan Sawah yang dilindungi. Tahapan ini dilakukan oleh
Tim Terpadu.
Pelaksanaan Penetapan Peta LSD
Pelaksanaan
penetapan peta LSD merupakan tahap terakhir dalam penetapan peta LSD. Dalam tahap
ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Terpadu
menyampaikan usulan peta hasil sinkronisasi kepada Menteri ATR/BPN untuk
ditetapkan sebagai peta LSD. Peta LSD
selanjutnya digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
menetapkan LP2B pada rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci tata
ruang.
Setelah tahapan
Verifikasi Lahan Sawah; Sinkronisasi Hasil Verifikasi Lahan Sawah; dan
Pelaksanaan Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi dilakukan, maka
selanjutnya penetapan peta LSD dilakukan melalui keputusan Menteri
ATR/BPN. Jika dalam pelaksanaannya
terdapat perubahan penggunaan tanah pada lahan sawah yang dilindungi yang tidak
masuk dalam LP2B suatu wilayah, maka dapat dialihfungsikan setelah mendapat
rekomendasi perubahan penggunaan tanah dari Menteri ATR/BPN melalui permohonan.
Proses permohonan
tersebut diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota yang selanjutnya
dilaporkan kepada Menteri ATR/BPN melalui Kepala Kantor Wilayah dan direktur
jenderal yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang pengendalian dan penertiban
tanah dan ruang yang dilakukan secara berjenjang. Laporan yang diberikan disertai dengan hasil
analisis yang dilakukan Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota, Kepala
Kantor Wilayah, dan direktur jenderal yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang
pengendalian dan penertiban tanah dan ruang, yang paling sedikit memperhatikan
kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah daerah setempat; dampak penggunaan
dan pemanfaatan tanah; dan ketersediaan luas tanah. Analisis-analisis tersebut
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kepentingan umum, kebencanaan, proyek
ketahanan pangan nasional dan daerah, proyek strategis nasional, dan/atau
penanaman modal skala nasional.
Analisis-analisis
tersebut disampaikan kepada Menteri ATR/BPN sebagai bahan pertimbangan untuk
menolak atau menyetujui permohonan perubahan penggunaan tanah. Apabila
permohonan disetujui, maka Menteri ATR/BPN memberikan surat rekomendasi secara
bersyarat apabila memenuhi kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau
infrastruktur akibat bencana. Pemberian rekomendasi tersebut juga dapat
disertai dengan persyaratan berupa kompensasi dan/atau penggantian lahan.
Sinkronisasi
Peta LSD dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Suatu Daerah Setelah Terbitnya
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor
1589/SK-HK.02.01/XII/2021
Berbagai tahapan dalam
penatapan peta LSD sebagaimana telah dipaparkan pada poin sebelumnya tidak
menutup kemungkinan masih terjadinya ketidaksesuaian peta LSD dengan rencana
tata ruang wilayah suatu daerah yang telah ditetapkan jauh sebelum Kepmen
ATR/BPN No. 1589 Tahun 2021. Dalam praktik, ketidaksesuaian ini tidak jarang
ditemukan. Di Kabupaten Subang, khususnya, luas lahan yang masuk dalam LSD
adalah seluas 88.423,08 ha sedangkan dalam Peraturan Bupati Kabupaten Subang
Nomor 35 Tahun 2023 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
menetapkan lahan seluas 64.245,51 ha sebagai LP2B dan lahan cadangan LP2B
ditetapkan seluas 6.736,11 ha, sehingga jika ditotalkan antara LP2B dan lahan
cadangan LP2B, terdapat lahan seluas 70.981,62 ha yang disediakan untuk
kepentingan pertanian, maka dapat disimpulkan terdapat selisih seluas 17.441,46
ha antara peta LSD dengan lahan untuk LP2B. Selisih inilah yang menunjukkan
bahwa terjadinya ketidaksesuaian antara peta LSD dengan penetapan lahan LP2B
mengingat tujuan penetapan peta LSD ini untuk digunakan oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan LP2B pada rencana tata ruang wilayah dan
rencana rinci tata ruang.
Selain di Kabupaten
Subang, ketidaksesuaian ini juga terjadi di Kabupaten Sleman (Barat), Kabupaten
Purworejo, Kabupaten Lamongan. Di Kabupaten Sleman (Barat), terdapat lahan non-sawah seluas 36,09 ha
masuk ke dalam peta LSD dan lahan sawah seluas 813,47 ha tidak masuk LSD.
Sedangkan untuk LSD
di Kabupaten Purworejo dalam Kepmen ATR/BPN No. 1589 Tahun 2021, disebutkan
lahan seluas 29.228,26 ha masuk ke dalam peta LSD. Namun pada saat verifikasi
aktual dilakukan, lahan yang layak atau sesuai untuk masuk dalam peta LSD hanya
seluas 27.630,79 ha, sehingga terdapat ketidaksesuaian lahan seluas 1.597,47
ha. Terakhir di Kabupaten Lamongan, dalam Kepmen ATR/BPN No. 1589 Tahun 2021
disebutkan luas lahan yang masuk dalam peta LSD adalah seluas 98.481,92 ha,
sedangkan setelah dilakukannya verifikasi aktual, lahan yang layak atau sesuai
untuk masuk dalam peta LSD adalah seluas 94.014,70. Sehingga terdapat
ketidaksesuaian lahan seluas 4.467,22 ha(HK
et al., 2023).
Verifikasi aktual
dilakukan ketika di lapangan terdapat perbedaan antara luas lahan sawah
eksisting dengan luas lahan sawah yang masuk dalam peta LSD. Verifikasi aktual
dilakukan bersama-sama oleh Tim Terpadu dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
kemudian hasilnya ditetapkan melalui berita acara verifikasi aktual. Perbedaan
antara luas LSD yang telah ditetapkan dalam Kepmen ATR/BPN No. 1589 Tahun 2021
dengan luas lahan hasil verifikasi aktual yang dilakukan oleh Tim Terpadu dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dikembalikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota terkait apakah lahan-lahan yang tidak sesuai tersebut akan
dikeluarkan dari peta LSD atau tidak.
Marak terjadinya
ketidaksesuaian seperti yang telah dipaparkan di atas, Menteri ATR/BPN
mengeluarkan Petunjuk Teknis Nomor 5/Juknis-HK.02/VI/2022 pada tanggal 14 Juni
2022 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Lahan Sawah yang Dilindungi dengan
Rencana Tata Ruang, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, Izin, Konsesi,
dan/atau Hak Atas Tanah (selanjutnya disebut Juknis) sebagai solusi untuk dapat
mengeluarkan lahan-lahan yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Juknis
tersebut dari peta LSD. Perpres No. 59 Tahun 2019 memberikan solusi jika suatu
lahan yang masuk dalam peta LSD hendak dialih fungsikan sebagaimana telah
dipaparkan pada poin sebelumnya, yakni diajukannya permohonan rekomendasi
kepada Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota yang selanjutnya dilaporkan
kepada Menteri ATR/BPN melalui Kepala Kantor Wilayah dan direktur jenderal
terkait.
Dalam Juknis disebutkan jika
terdapat lahan non-sawah (antara lain: perbukitan, lahan tegalan, badan air,
cagar budaya, lahan tanaman keras, dan tambak garam) yang ditetapkan sebagai
LSD, maka dapat dikeluarkan dari LSD.
Untuk lahan sawah, Juknis tersebut membagi ke dalam dua kategori besar
yaitu:
1)
Sesuai dengan Kawasan/Zona Tanaman Pangan
dalam Rencana Tata Ruang; atau
2)
Tidak Sesuai dengan Kawasan/Zona Tanaman
Pangan dalam Rencana Tata Ruang.
Pada dua
kategori besar tersebut dituliskan secara rinci kondisi-kondisi lahan sawah
seperti apa saja yang harus dipertahankan dalam peta LSD dan yang dapat
dikeluarkan dari peta LSD beserta syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh
pemohon.
Apabila permohonan telah disetujui oleh Menteri ATR/BPN, maka untuk
terwujudnya sinkronisasi antar peraturan, pemerintah daerah melakukan kembali
verifikasi seperti pada awal ditetapkannya peta LSD yaitu identifikasi,
analisis hasil identifikasi, dan klarifikasi,
yang selanjutnya disampaikan kepada Ketua Tim Pelaksana yang selanjutnya
akan melangsungkan rapat koordinasi Tim Pelaksana yang dihadiri oleh seluruh
anggota Tim Pelaksana dan bupati/wali kota untuk dapat dilampirkan surat usulan
penetapan perubahan Peta LSD. Setelah
verifikasi ditempuh, dilakukan sinkronisasi hasil verifikasi melalui forum
rapat koordinasi oleh Tim Terpadu. Selanjutnya
Menteri ATR/BPN menetapkan peta LSD hasil perubahan yang telah disepakati oleh
Tim Terpadu dalam jangka waktu paling lama enam hari terhitung sejak
diterimanya hasil rapat koordinasi Tim Terpadu yang kedepannya menjadi bahan
bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan LP2B.
Oleh karena dalam Juknis terbagi dalam dua kategori besar sesuai atau
tidak sesuai dengan kawasan tanaman pangan, hal ini berkaitan erat dengan
rencana tata ruang wilayah suatu daerah. Jika rencana tata ruang wilayah suatu
daerah menetapkan bahwa lahan tersebut (baik berbentuk lahan sawah maupun lahan
non-sawah) tidak termasuk dalam kawasan tanaman pangan yang sudah sepatutnya
berada di kawasan pertanian, maka lahan tersebut dapat dimohonkan untuk
dikeluarkan dari peta LSD untuk dapat tercapainya sinkronisasi peta LSD dengan
rencana tata ruang wilayah. Kembali kepada tujuan diterbitkannya peta LSD,
sudah seharusnya rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang sudah ada pada
saat terbitnya Kepmen ATR/BPN No. 1589 Tahun 2021 diubah dengan
mempertimbangkan peta LSD dan faktor-faktor lain seperti yang sudah dipaparkan
sebelumnya.
Kesimpulan
Dalam hal sinkronisasi peta LSD dengan rencana
tata ruang wilayah suatu daerah setelah terbitnya Kepmen ATR/BPN No.
1589/SK-HK.02.01/XII/2021, bila terdapat lahan non-sawah atau lahan sawah yang
masuk dalam kriteria yang disebutkan oleh Juknis, maka dapat dimohonkan untuk
dapat dikeluarkan dari peta LSD. Kemudian, untuk terwujudnya sinkronisasi antar
peraturan, pemerintah daerah melakukan kembali verifikasi seperti pada awal
ditetapkannya peta LSD untuk selanjutnya disampaikan kepada Ketua Tim
Pelaksana. Ketua Tim Pelaksana akan melangsungkan rapat koordinasi Tim
Pelaksana untuk dapat dihasilkan surat usulan penetapan perubahan peta LSD.
Hasil rapat koordinasi Tim Pelaksana tersebut dibawa ke dalam forum rapat
koordinasi untuk dilakukan sinkronisasi hasil verifikasi oleh Tim Terpadu.
Selanjutnya Menteri ATR/BPN menetapkan peta LSD hasil perubahan yang telah
disepakati oleh Tim Terpadu dalam jangka waktu paling lama enam hari terhitung
sejak diterimanya hasil rapat koordinasi Tim Terpadu yang kedepannya menjadi
bahan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan LP2B.
BIBLIOGRAFI
Ali, Z. (2021). Metode penelitian hukum.
Sinar Grafika.
Apriyanto, M., Fikri, K. M. S. N. S., &
Azhar, A. (2021). Sosialisasi Konsep Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di
Kecamatan Batang Tuaka, Kabupaten Indragiri Hilir. PaKMas: Jurnal Pengabdian
Kepada Masyarakat, 1(1), 8–14.
Aulia, S. D. (2020). Implementasi
Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL) Dalam Upaya Mencegah Sengketa Pertanahan (Studi Kasus
di Kecamatan Ingin Jaya). UIN AR-RANIRY.
Erwahyuningrum, R., Kuswanto, H., &
Adjie, H. (2023). Problematika Hukum Penetapan Lahan Sawah Dilindungi (LSD)
Terhadap Pelaku Bisnis Di Indonesia. Jurnal Bisnis Dan Manajemen, 3(2),
329–336.
HK, A. P., Yasa, I. W., Setyawan, F.,
Adiwibowo, Y., & Manggala, F. P. (2023). Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah
Dilindungi (LSD) terhadap Ketahanan Pangan Pedesaan di Kabupaten Jember. INICIO
LEGIS, 4(2), 167–181.
Imeldalius, I. (2020). Analisis Legalitas
Alih Fungsi Lahan. Jurnal Ilmu Hukum, 1(1), 15.
Jadda, A. A. T., Mansur, S., &
Haeruddin, S. R. (2021). Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Izin Alih Fungsi Lahan
Pertanian Ke Non Pertanian Di Kabupaten Pinrang. Madani Legal Review, 5(2),
21–38.
NikenSari, D., & Budhianti, M. I.
(2023). Lahan Sawah Dilindungi Dikaitkan Dengan Rencana Tata Ruang Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019. Reformasi Hukum Trisakti, 5(4),
840–851.
Prabowo, S. A., Kamil, M. I., &
Mauludin, N. A. (2023). Pelaksanaan Pelayanaan Pemecahan Dan Pemisahan
Sertipikat Pada Kawasan “Lahan Sawah Dilindungi” Berdasarkan Peraturan Menteri
Atr/Bpn Nomor 12 Tahun 2020 (Studi Di Kantor Pertanahan Kota Mataram). Unizar
Recht Journal (URJ), 2(1).
Ristianti, A. (2023). ..(Gunakan Scan
Warna Pada Lembar Penyataan Keaslian Tulisan, Upload Ulang).. Efektivitas Hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2018 Tentang Biaya Akad Nikah di Luar KUA
(Studi Kasus Desa Mlati Kecamtan Arjosari Kabupaten Pacitan). IAIN
Ponorogo.
Soeprijanto, T. (2023). Land Reform-Reform
Agraria-Redistribusi Lahan Perspektif Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. CIVIS:
Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Pendidikan Kewarganegaraan, 12(1),
55–66.
Sudrajat. (2015). Mengenal lahan sawah
dan memahami multifungsinya bagi manusia dan lingkungan. Gadjah Mada
University Press.
Syahri, R. A. (2014). Perlindungan Hukum
Kepemilikan Hak Atas Tanah. Tadulako University.
Wahyuono, D. E. (2021). Penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan Konstruksi Pada Proyek Klasifikasi Kecil Pasca
Diterbitkannya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor
21/PRT/M/2019.
Zakaria, A. K., & Rachman, B. (2013).
Implementasi sosialisasi insentif ekonomi dalam pelaksanaan program
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Forum Penelitian
Agro Ekonomi, 31(2), 137–149.
Copyright holder: Fendry Rizma
Hayuningtyas, Harsanto Nursadi (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |