Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 4, April 2024

 

SINDROM STEVENS JOHNSON PADA PASIEN DENGAN HIV REAKTIF

 

Dita Eka Novriana1*, Moerbono Mochtar2

Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia1,2

Email: [email protected]*

 

Abstrak

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah hipersensitivitas akibat obat yang bersifat akut dan dapat mengancam nyawa. Infeksi HIV/AIDS merupakan faktor predisposisi terjadinya SSJ dan NET. Terapi SSJ dan NET bersifat suportif dan simtomatik. Studi ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang tatalaksana SSJ dan NET pada seorang pasien dengan infeksi HIV/AIDS. Metode penelitian menggunakan studi kasus terhadap seorang wanita usia 29 tahun dengan infeksi HIV/AIDS yang mengalami SSJ dan NET setelah mengonsumsi ARV. Pasien telah terdiagnosa dengan infeksi HIV dan telah mengonsumsi ARV yaitu nevirapin, lamivudin dan zidovudin sejak Oktober 2019. Hasil pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan bula yang telah pecah, krusta hemoragik, erosi dan pelepasan epidermis. Tatalaksana pada pasien ini yaitu metilprednisolon intravena 62.5mg/24jam kemudian di tapering off, medikasi dengan kompres NaCl 0.9% selama 10-15 menit kemudian oles salep triamsinolon asetonida 0.1% pada area erosi di mukosa bibir diberikan 2x sehari dan gentamisin salep pada area erosi di tubuh 2x sehari. Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik ditandai dengan adanya makula pupurik, bula, lesi target atipikal dan pelepasan epidermis. Obat yang diketahui sering menyebabkan SSJ dan NET pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah nevirapin. Pasien dengan infeksi HIV/AIDS memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk mengalami SSJ dan NET. Kortikosteroid sistemik, imunoglobulin intravena dan terapi imunosupresif lainnya dapat digunakan untuk kasus ini. Sindrom Stevens-Johnson merupakan hipersensitivitas akibat obat yang sering terjadi pada infeksi HIV/AIDS. Kondisi ini dapat disebabkan oleh ARV seperti nevirapin.

Kata Kunci: Sindrom Stevens-Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik, HIV, Nevirapin

 

Abstract

Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) are acute drug-induced hypersensitivity reactions that can be life-threatening. HIV/AIDS infection is a predisposing factor for SJS and TEN. The management of SJS and TEN is supportive and symptomatic. This study aims to provide an overview of the management of SJS and TEN in a patient with HIV/AIDS. The research method used a case study of a 29-year-old woman with HIV/AIDS who experienced SJS and TEN after taking antiretroviral drugs (ARVs). The patient had been diagnosed with HIV and had been taking ARVs, including nevirapine, lamivudine, and zidovudine, since October 2019. Physical examination revealed ruptured bullae, hemorrhagic crusts, erosions, and epidermal detachment. The patient's management included intravenous methylprednisolone 62.5mg/24 hours tapered off, compression with 0.9% NaCl for 10-15 minutes followed by application of 0.1% triamcinolone acetonide ointment twice daily on oral erosions, and gentamicin ointment twice daily on body erosions. SJS and TEN are characterized by purpuric macules, bullae, atypical target lesions, and epidermal detachment. Nevirapine is a known culprit drug for SJS and TEN in patients with HIV/AIDS. Patients with HIV/AIDS are at higher risk of developing SJS and TEN. Systemic corticosteroids, intravenous immunoglobulins, and other immunosuppressive therapies can be used for these cases. Stevens-Johnson Syndrome is a drug-induced hypersensitivity reaction that often occurs in HIV/AIDS infection. This condition can be caused by ARVs such as nevirapine.

Keywords: Sindrom Stevens-Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik, HIV, Nevirapin

 

Pendahuluan

Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan reaksi mukokutan yang mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis yang luas dan pengelupasan epidermis dan epitel mukosa (Mockenhaupt, M; Roujeau, 2019). Insiden Sindrom Stevens Johnson di dunia diperkirakan sekitar 1 – 6 kasus per 1 juta orang setiap tahun dan 0.4 – 1.2 kasus per 1 juta orang. Suatu studi observasional yang dilakukan di Korea pada tahun 2010 – 2013 didapatkan angka kejadian SSJ berkisar 5.9 kasus per 1 juta orang per tahun (Yang, SC; Hu, S; Zhang, SZ; Huang, J; Zhang, J; Ji, 2018). Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai insidensi SSJ didapatkan angka yang bervariasi. Penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2011 – 2014 didapatkan angka kejadian kasus SSJ adalah 2.4% (Rahmawati, YW; Indramaya, 2016).

Sindrom Stevens Johnson ditandai dengan erupsi kulit yang diawali secara simetris terdistribusi pada wajah, tubuh bagian atas dan bagian proksimal dari anggota gerak. Bagian distal lengan biasanya tidak terdapat lesi akan tetapi erupsi dapat meluas ke bagian tubuh lainnya dalam waktu beberapa hari bahkan beberapa jam. Lesi yang didapatkan pada kulit berupa makula purpurik eritema dengan bentuk ireguler yang secara progresif bergabung menjadi satu. Lesi target atipikal dengan bagian tengah berwarna gelap sering ditemukan. Lesi nekrotik yang bergabung menjadi satu membentuk eritema yang difus dan luas. Tanda Nikolsky ditemukan positif pada bagian yang eritema. Pada tahap ini lesi berubah menjadi bula kendur yang menyebar dengan tekanan dan dapat dengan mudah pecah. Keterlibatan membran mukosa yang biasanya selalu mengenai dua mukosa ditemukan pada hampir 90% kasus dan lesi pada mukosa ini dapat mendahului atau mengikuti erupsi kulit. Lesi pada mukosa didahului dengan eritema yang diikuti dengan erosi yang terasa nyeri pada mukosa mulut, mata, genital, hidung, anus dan terkadang dijumpai pada trakea atau bronkus (Mockenhaupt, M; Roujeau, 2019).

Sindrom Stevens Johnson yang ringan harus dibedakan Eritema Multiforme (EM) Minor (tanpa keterlibatan membran mukosa) dan Mayor (dengan keterlibatan membran mukosa). Lesi SSJ awal sering didiagnosa dengan varisela terutama apabila terjadi pada anak. Tidak adanya keterlibatan membran mukosa pada lesi yang menyerupai SSJ harus dipikirkan kemungkinan diagnosa lainnya (Mockenhaupt, M; Roujeau, 2019).

Tatalaksana pasien SSJ adalah dengan menghentikan obat yang diduga menjadi penyebab, terapi suportif dan terapi spesifik. Salah satu modalitas terapi spesifik yang digunakan pada SSJ adalah kortikosteroid (Rahmawati, YW; Indramaya, 2016). Pada beberapa literatur menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid sistemik pada pengobatan SSJ masih kontroversial (Chateau, AV., Dlova, NC., Dawood, H., Aldous, 2019). Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian ini untuk melaporkan suatu kasus Sindrom Stevens Johnson yang terjadi pada pasien dengan HIV reaktif.

 

 

 

 

 

Metode Penelitian

Pasien Ny. AU, usia 29 tahun datang ke IGD RS Dr. Moewardi Surakarta dengan keluhan utama kulit mengelupas dan terasa perih. Hasil alloanamnesis riwayat penyakit sekarang pasien mengeluh muncul bercak kemerahan yang terasa gatal di tangan sejak 9 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan adanya sariawan di mulut yang terasa nyeri. Keluhan juga disertai dengan adanya rasa perih saat buang air kecil. Bercak kemerahan ini semakin lama semakin menyebar ke seluruh bagian tubuh dan kemudian mengelupas disertai dengan rasa perih dan panas. Tidak ada riwayat mata merah dan berair sebelumnya. Pasien juga mengaku tidak ada mengonsumsi obat seperti penghilang nyeri, penurun panas, dan antibiotik sebelum keluhan bercak kemerahan ini muncul. Pasien memutuskan untuk berobat ke salah satu satu rumah sakit daerah dan kemudian dirujuk ke IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Hasil alloanamnesis riwayat penyakit dahulu pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya dan riwayat alergi obat atau makanan disangkal. Pasien terdiagnosa dengan infeksi HIV dan telah mengonsumsi obat ARV yaitu nevirapin, lamivudin dan zidovudin sejak Oktober 2019. Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan serupa dan riwayat alergi obat atau makanan pada keluarga disangkal. Berdasarkan riwayat status sosial pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang leboh banyak menghabiskan waktu beraktivitas di dalam rumah.

Hasil pemeriksaan fisik pada kasus ini kami dapatkan keadaan umum pasien tampak sakit berat, skala nyeri 3-4, kesadaran composmentis, tekanan darah 110/80 mmHg, frekuensi nadi 122x/menit, frekuensi nafas 22x/menit, suhu 36,8°C, berat badan 35 kg dan tinggi badan 150 cm. Status dermatatologi pada regio oris tampak erosi disertai krusta hemoragik dengan dasar eritema. Pada regio fasialis tampak makula dan patch hiperpigmentasi sedangkan pada trunkus anterior, trunkus posterior, ekstremitas superior dan ekstremitas inferior tampak adanya makula dan patch hiperpigmentasi multipel diskrit sebagian berkonfluens, vesikel dan disertai dengan erosi dan krusta kehitaman di beberapa bagian serta adanya skin detachment. Pada regio genitalia eksterna didapatkan adanya patch hiperpigmentasi dengan erosi (Gambar 1). 

Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan hasil penurunan hemoglobin 4,4 g/dl (nilai rujukan 12,0-15,6 g/dl), penurunan hematokrit 14% (nilai normal 33-45 %), leukopenia 2,7 ribu/µL (nilai rujukan 4,5-11,0 ribu/µL), trombositopenia 91 ribu/µL (nilai rujukan 150-450 ribu/µL), penurunan eritrosit 1,50 juta/µL (nilai rujukan 4,10-5,10 juta/µL), hiponatremia 133 mmol/L (nilai rujukan 136-145 mmol/L), hipokalemia 2,6 mmol/L (nilai rujukan 3,3-5,1 mmol/L), hipokalsemia 1,12 mmol/L (nilai rujukan 1,17-1,29 mmol/L), gula darah sewaktu dalam batas normal 110 mg/dl (nilai rujukan 60-140 mg/dl), penurunan kadar ureum 0,3mg/dl (nilai rujukan 0,6-1,1 mg/dl), kreatinin dalam batas normal 17mg/dl (nilai rujukan <50 mg/dl), peningkatan serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) 52 µ/l (nilai rujukan <31 µ/l) dan peningkatan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) 44 µ/l (nilai rujukan <34 µ/l).

C

 

B

 

A

 
  

G

 

F

 

E

 

D

 
WhatsApp Image 2020-10-10 at 23 WhatsApp Image 2020-10-10 at 23 WhatsApp Image 2020-10-10 at 23 WhatsApp Image 2020-10-10 at 23

I

 

H

 
IMG_3022 IMG_2071

 

Gambar 1. (A-C) Pada regio oris tampak erosi dan krusta hemoragik dengan dasar yang eritema. (D-G) Pada regio trunkus anterior, trunkus posterior dan ekstremitas bilateral tampak adanya makula dan patch hiperpigmentasi, vesikel, erosi dan krusta di beberapa bagian dengan skin detachment < 10% luas permukaan tubuh. (H) Tidak dijumpai adanya lesi target sebagai tanda khas EM. (I) Tampak adanya patch hiperpigmentasi dengan erosi pada area genitalia eksterna

 

Berdasarkan hasil alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, diagnosis sementara pasien adalah Sindrom Stevens Johnson et causa nevirapin dan atau lamivudin dan atau zidovudin dengan diagnosis bandingnya adalah eritema multiforme mayor. Pada pasien ini kami lakukan penilaian dengan SCORTEN dan didapatkan nilai 2 (risiko morbiditas sebesar 12%).

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yaitu bedrest total, diet cair 1700kkal, infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit (tpm), injeksi metilprednisolon 62,5mg/24jam dengan dosis terbagi (31,25mg-31,25mg-0), injeksi ranitidin 50mg/12jam, tantum verde® (bezydamine HCl) kumur 2x sehari, medikasi dengan kompres NaCl 0,9% selama 10-15 menit kemudian oles krim kenalog® in orabase (triamsinolon asetonida 0,1%) pada regio oris dan salep gentamisin pada area erosi 2x sehari. Pasien juga dilakukan rawat bersama dengan bagian penyakit dalam dan diberikan terapi transfusi packed red cell (PRC) 2 kolf/24 jam sampai target hemoglobin >10 g/dl, tablet KSR® (kalium klorida) 600mg/8jam, tablet kalsium karbonat 500mg/8jam dan tablet asam folat 1x sehari. Pemberian injeksi metilprednisolon setelah 7 hari kemudian di tapering off  menjadi pemberian secara oral yaitu metilprednisolon 48mg/24jam selama 4 hari kemudian 32mg/24jam selama 3 hari.

 

Hasil dan Pembahasan

Sindrom Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan suatu reaksi kulit akibat obat yang jarang dan mengancam nyawa (Knight, L; Muloiwa, R; Dlamin, S; Lehloenya, 2014). Penyakit ini ditandai dengan makula eritema yang dengan cepat menjadi bula dan ditemukan erosi pada membran mukosa. SSJ dan NET jarang terjadi, namun kondisi ini merupakan reaksi hipersensitivitas akibat obat yang fatal dan mengancam nyawa (Carrasquillo, O; Santiago-Vazquez, M; Cordona, R; Cruz-Manzano, M; Figueroa, 2019; Rahmawati, YW; Indramaya, 2016).

Insiden terjadinya SSJ dan NET di dunia berkisar 0,4-6 kasus per 1 juta orang per tahun dengan perkiraan angka kematian sebesar 5-12% untuk SSJ, 30% untuk NET dan 33,3% untuk SSJ overlap NET  (Silva, RED; Novaes, AG; Gottems, LBD; Novaes, 2018). Insidensi SSJ pada pasien dengan HIV yang reaktif berkisar 1-2 kasus per 1000 orang (Hirapara, HN; Patel, TK; Barvaliya, MJ; Tripathi, 2017). Suatu penelitian yang dilakukan oleh Tan dan Tay tahun 2012 di Singapura melaporkan kasus SSJ sebanyak 18 kasus, NET sebanyak 3 kasus dan SSJ overlap NET sebanyak 7 kasus (Tan, SK; Tay, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Mochtar dkk pada tahun 2011-2013 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta melaporkan kasus SSJ sebanyak 15 kasus, NET sebanyak 5 kasus dan SSJ overlap NET sebanyak 7 kasus (Mochtar, M; Negara, WP; Murasmita, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Mockenhaupt dkk tahun 2008 di Jerman dan Patel dkk tahun 2013 di India melaporkan bahwa rasio wanita lebih banyak dibandingkan pria dengan rentang usia terbanyak adalah 21 – 40 tahun (Mockenhaupt, M; Viboud, C; Dunant, A; Naldi, L; Halevy, S; Bavinck, 2008; Patel, T; Barvaliya, M; Sharma, D; Tripathi, 2013). Penelitian mengenai SSJ dan NET oleh Rahmawati dan Indramaya di Surabaya tahun 2011-2013 melaporkan angka kejadian SSJ dan NET lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rentang usia terbanyak pada 25 – 44 tahun (Rahmawati, YW; Indramaya, 2016). Pasien pada kasus ini adalah wanita yang berusia 29 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa SSJ lebih sering mengenai wanita dibandingkan pria.

Patofisiologi dari SSJ dan NET masih belum dapat dijelaskan secara pasti namun obat merupakan salah satu penyebab penting dari SSJ dan NET. Obat yang diketahui dapat menyebabkan SSJ dan NET berjumlah lebih dari 100 namun hanya beberapa dari obat-obatan tersebut yang tergolong ke dalam obat yang memiliki risiko tinggi untuk menyebabkan SSJ dan NET. Penyebab lain dari SSJ dan NET ini diantaranya adalah infeksi, keganasan dan terapi radiasi (Hirapara, HN; Patel, TK; Barvaliya, MJ; Tripathi, 2017; Mockenhaupt, M; Roujeau, 2019). Infeksi HIV adalah kondisi penyerta yang paling sering dihubungkan dengan SSJ dan NET. Nevirapin adalah obat yang paling sering menyebabkan SSJ dan NET pada pasien dengan HIV reaktif (Hirapara, HN; Patel, TK; Barvaliya, MJ; Tripathi, 2017). Antibiotik seperti trimetoprim-sulfametoksazol, obat-obatan golongan sulfa lainnya dan penisilin menurut beberapa penelitian juga disebutkan menjadi obat-obatan yang sering menimbulkan reaksi akibat obat pada pasien dengan HIV/AIDS. Penelitian menyebutkan individu dengan HIV positif memiliki risiko 100x lebih besar untuk mengalami reaksi akibat obat dibandingkan dengan individu tanpa HIV positif. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah akibat dari polifarmasi, status asetilator yang lambat, defisiensi glutation relatif, jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 dan jumlah sel T CD8+ lebih dari 460 sel/mm3 (Hoosen, K; Mosam, A; Dlova, ND; Grayson, 2019). Pada kasus ini nevirapin merupakan obat yang memiliki kemungkinan terbesar untuk menjadi obat tersangka dibandingkan dengan obat-obatan lain untuk terapi HIV yang telah dikonsumsi oleh pasien.

 

Gambar 2. (A-C) Lesi kulit pada SSJ berupa makula eritema dan makula purpurik yang dapat disertai dengan adanya vesikel atau bula (D) Dijumpai adanya skin detachment(Mockenhaupt, M; Roujeau, 2019)

 

 

Penyakit SSJ dan NET mempunyai gambaran klinis yang sama yaitu adanya erosi pada membran mukosa dan skin detachment dimana yang membedakan keduanya adalah luasnya permukaan tubuh yang terkena. Sindrom Stevens Johnson mengenai kurang dari 10% luas permukaan tubuh, NET mengenai 30% luas permukaan tubuh dan SSJ overlap NET mengenai 10-30% dari luas permukaan tubuh (Carrasquillo, O; Santiago-Vazquez, M; Cordona, R; Cruz-Manzano, M; Figueroa, 2019; Chateau, AV., Dlova, NC., Dawood, H., Aldous, 2019). Manifestasi klinis SSJ dan NET yaitu berupa adanya keterlibatan dari mukokutan, makula eritema atau makula purpurik, erosi hemoragik, erosi pada membran mukosa dan skin detachment yang dapat bersifat ringan maupun berat yang ditandai dengan adanya bula dan kulit yang mengelupas (Chatterjee, A; Thakur, I; Ansari, S, Chatterjee, RP; Sarkar, R; Guha, 2017). SSJ dan NET juga dapat memiliki gambaran lesi kulit berupa lesi target yang atipikal. Lesi target atipikal ini yang akan menjadi lesi yang membedakan SSJ dengan Eritema Multiforme (Viera, VDC; Sarmento, VA; Ribeiro, PML; Netto, EM; Brites, C; Lins-Kusterer, 2019). Keterlibatan mukosa pada pasien SSJ dan NET terjadi pada lebih dari 90% kasus. Lesi pada membran mukosa dapat berupa erosi yang sangat nyeri disertai dengan daerah yang eritematosa dan dapat berdarah. Lesi pada mukosa ini sering mengenai mukosa bibir dan mulut, mata, dan daerah anogenital (Kara, A; Devrim, I; Caglar, I; Bayram, N; Kundak, S; Apa, 2019; Viera, VDC; Sarmento, VA; Ribeiro, PML; Netto, EM; Brites, C; Lins-Kusterer, 2019).

Pasien pada laporan kasus ini mengeluhkan bercak kemerahan yang terasa gatal, sariawan di mulut dan BAK yang terasa nyeri. Pada pemeriksaan status dermatologi  regio oris tampak patch eritema disertai dengan krusta hemoragik diatasnya. Pada regio fasialis tampak makula dan patch hiperpigmentasi sedangkan pada trunkus anterior, trunkus posterior, ekstremitas superior dan ekstremitas inferior tampak adanya makula dan patch hiperpigmentasi multipel diskrit sebagian berkonfluens, vesikel dan disertai dengan erosi dan krusta kehitaman di beberapa bagian. Pada regio genitalia eksterna didapatkan adanya erosi. Pada pasien ini kami jumpai adanya skin detachment yang kurang dari 10% luas permukaan tubuh. Berdasarkan teori, lesi kulit pada pasien ini sesuai dengan karakteristik dari SSJ yaitu adanya keterlibatan mukosa dan skin detachment yang mengenai kurang dari 10% luas permukaan tubuh.

Eritema Multiforme (EM) merupakan suatu kondisi akut yang mengenai mukokutan karena reaksi hipersensitivitas, sering disebabkan oleh infeksi virus herpes simpleks dan biasanya bersifat self-limiting disease (Hasan, S; Jangra, J; Choudhary, P; Mishra, 2018; Nair, KK; Chaudhuri, K; Ashok, 2018; Sokumbi, O; Wetter, 2012). Awalnya EM diduga sebagai suatu spektrum penyakit yang sama dengan SSJ dan NET, namun saat ini banyak bukti telah menunjukkan bahwa EM merupakan spektrum yang berbeda dengan SSJ dan NET, dimana SSJ dan NET berkaitan dengan reaksi yang diinduksi akibat obat sedangkan EM merupakan reaksi yang tidak berkaitan obat (Jerkovic, SG; Starcea, M; Alexoaie, M; Chiriac, 2018; Trayes, KP; Love, G; Studdiford, 2019). Eritema Multiforme mempunyai 2 varian klinis yaitu EM Minor yang dikarakteristikkan dengan keterlibatan hanya 1 membran mukosa sedangkan EM Mayor dikarakteristikkan dengan adanya keterlibatan 2 atau lebih membran mukosa (Hasan, S; Jangra, J; Choudhary, P; Mishra, 2018). Tanda patognomonik EM adalah ditemukannya lesi target atau iris lesion pada permukaan ekstensor ekstremitas (Paulino, L; Hamblin, DJ; Osondu, N; Amini, 2018). Riwayat perjalanan penyakit pada pasien ini diketahui bahwa 2 bulan sebelum muncul keluhan pasien mengonsumsi obat ARV dan lesi yang kulit muncul awalnya berupa makula eritema yang semakin meluas ke seluruh tubuh dan disertai dengan adanya skin detachment. Pada pasien ini juga tidak dijumpai adanya lesi khas pada EM yaitu lesi target sehingga berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis EM dapat disingkirkan.

 

 

Gambar 3. Tanda patognomik EM ditemukannya lesi target (Paulino, L; Hamblin, DJ; Osondu, N; Amini, 2018)

 

Penatalaksanaan dari SSJ dan NET yang paling penting adalah dengan mengenali sedini mungkin gejala dari penyakit ini dan penghentian obat yang diduga menjadi penyebab utama terjadinya reaksi pada SSJ dan NET.(Viera, VDC; Sarmento, VA; Ribeiro, PML; Netto, EM; Brites, C; Lins-Kusterer, 2019) Terapi utama dari SSJ dan NET biasanya bersifat suportif dan simtomatik. Tidak ada strategi terapi yang spesifik untuk kasus SSJ dan NET. Kortikosteroid sistemik, imunoglobulin intravena dan terapi imunosupresif lainnya dapat digunakan untuk kasus ini. Pasien dengan SSJ dan NET sebaiknya ditatalaksana dengan perhatian yang lebih terhadap stabilitas jalan nafas dan hemodinamik, status cairan, perawatan luka dan kontrol nyeri (Hirapara, HN; Patel, TK; Barvaliya, MJ; Tripathi, 2017; Kara, A; Devrim, I; Caglar, I; Bayram, N; Kundak, S; Apa, 2019). Pemberian kortikosteroid pada fase awal dinilai efektif namun pemberian kortikosteroid ini dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan penyembuhan luka yang lebih lama, terutama pada erupsi bula dan erosi mukosa. Terapi suportif lain yang dapat diberikan pada kasus SSJ dan NET adalah dengan pemberian cairan intravena yang adekuat dan antihistamin oral. Lesi pada kulit dapat diobati dengan pemberian antibiotika topical (Viera, VDC; Sarmento, VA; Ribeiro, PML; Netto, EM; Brites, C; Lins-Kusterer, 2019). Saat ini belum ada terapi spesifik pada kasus SSJ dengan komorbid infeksi HIV. Terapi dengan agen imunomodulator sistemik meskipun masih kontroversial tetapi dilaporkan dapat mengobati kasus SSJ dengan komorbid infeksi HIV (Tseng, J; Maurer, T; Mutizwa, 2017).

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yaitu bedrest total, diet cair 1700kkal, infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit (tpm), injeksi metilprednisolon 62,5mg/24jam dengan dosis terbagi (31,25mg-31,25mg-0), injeksi ranitidin 50mg/12jam, tantum verde® (bezydamine HCl) kumur 2x sehari, medikasi dengan kompres NaCl 0,9% selama 10-15 menit kemudian oles krim kenalog® in orabase (triamsinolon asetonida 0,1%) pada regio oris dan salep gentamisin pada area erosi 2x sehari. Pasien ini menunjukkan adanya perbaikan setelah mendapatkan pemberian injeksi kortikosteroid yang ditandai dengan tidak adanya lesi baru. Pemberian injeksi metilprednisolon setelah 7 hari kemudian di tapering off  menjadi pemberian secara oral yaitu metilprednisolon 48mg/24jam selama 4 hari kemudian 32mg/24jam selama 3 hari. Pasien juga dilakukan rawat bersama dengan bagian penyakit dalam dan diberikan terapi transfusi packed red cell (PRC) 2 kolf/24 jam sampai target hemoglobin >10 g/dl, tablet KSR® (kalium klorida) 600mg/8jam, tablet kalsium karbonat 500mg/8jam dan tablet asam folat 1x sehari. Pasien kami cek ulang nilai SCORTEN pada hari ke-7 perawatan dan didapatkan nilai 0 (risiko morbiditas sebesar 3%).

 

Kesimpulan

Dilaporkan satu kasus SSJ pada seorang wanita usia 29 tahun dengan HIV reaktif. Diagnosis SSJ ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan keluhan bercak merah yang gatal, sariawan di mulut dan nyeri ketika BAK setelah pasien mulai mengonsumsi ARV. Keluhan ini semakin lama semakin meluas diikuti dengan kulit mengelupas yang terasa nyeri dan panas. Pemeriksaan fisik status dermatologi didapatkan pada regio oris tampak erosi dan krusta hemoragik. Pada regio fasialis, trunkus anterior, trunkus posterior, ekstremitas superior dan inferior bilateral didapatkan makula dan patch hiperpigmentasi multipel diskrit sebagian berkonfluens, sebagian disertai erosi dan krusta kehitaman dengan adanya skin detachment. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yaitu bedrest total, diet cair 1700kkal, infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit (tpm), injeksi metilprednisolon 62,5mg/24jam dengan dosis terbagi (31,25mg-31,25mg-0), injeksi ranitidin 50mg/12jam, tantum verde® (bezydamine HCl) kumur 2x sehari, medikasi dengan kompres NaCl 0,9% selama 10-15 menit kemudian oles krim kenalog® in orabase (triamsinolon asetonida 0,1%) pada regio oris dan salep gentamisin pada area erosi 2x sehari. Pasien juga dilakukan rawat bersama dengan bagian penyakit dalam dan diberikan terapi transfusi packed red cell (PRC) 2 kolf/24 jam sampai target hemoglobin >10 g/dl, tablet KSR® (kalium klorida) 600mg/8jam, tablet kalsium karbonat 500mg/8jam dan tablet asam folat 1x sehari.

 

BIBLIOGRAFI

 

Carrasquillo, O; Santiago-Vazquez, M; Cordona, R; Cruz-Manzano, M; Figueroa, L. (2019). Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: a retrospective descriptive study. International Journal of Dermatology. https://doi.org/doi: 10.1111/ijd.14493

Chateau, AV., Dlova, NC., Dawood, H., Aldous, C. (2019). Outcomes of Stevens–Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in HIV-infected patients when using systemic steroids and/or intravenous immunoglobulins in Pietermaritzburg, South Africa. Southern African Journal of HIV Medicine, 20(1). https://doi.org/https://doi.org/10.4102/ sajhivmed.v20i1.944

Chatterjee, A; Thakur, I; Ansari, S, Chatterjee, RP; Sarkar, R; Guha, S. et al. (2017). A Comparative Insight into the Incidence of Steven Johnson Syndrome/ Toxic Epidermal Necrolyis among the Immunocompromized Patient Populace of Eastern India with a Distinctive Emphasis on the Possible Association of Human Cytomegalovirus. Journal of AIDS & Clinical Research, 8, 706. https://doi.org/doi: 10.4172/2155-6113.1000706

Hasan, S; Jangra, J; Choudhary, P; Mishra, S. (2018). Erythema Multiforme: A Recent Update. Biomedical & Pharmacology Journal, 11(1), 167–170.

Hirapara, HN; Patel, TK; Barvaliya, MJ; Tripathi, C. (2017). Drug‑induced Stevens–Johnson Syndrome in Indian Population: A Multicentric Retrospective Analysis. Nigerian Journal of Clinical Practice, 20, 978–983. https://doi.org/10.4103/njcp.njcp_122_16

Hoosen, K; Mosam, A; Dlova, ND; Grayson, W. (2019). An Update on Adverse Cutaneous Drug Reactions in HIV/AIDS. Dermatopathology, 6(2), 111–125. https://doi.org/DOI: 10.1159/000496389

Jerkovic, SG; Starcea, M; Alexoaie, M; Chiriac, A. (2018). Erythema multiforme major in a 10-year-old boy. Challenges in diagnosis and treatment. European Journal of Pediatric Dermatology, 28(3), 143–146.

Kara, A; Devrim, I; Caglar, I; Bayram, N; Kundak, S; Apa, H. et al. (2019). Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: a report of six cases. The Turkish Journal of Pediatrics, 61, 538–543. https://doi.org/DOI: 10.24953/turkjped.2019.04.010

Knight, L; Muloiwa, R; Dlamin, S; Lehloenya, R. (2014). Factors Associated with Increased Mortality in a Predominantly HIV-Infected Population with Stevens Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. PLos ONE, 9(4), 1–5.

Mochtar, M; Negara, WP; Murasmita, A. (2015). Angka Kejadian Sindrom Stevens-Johnson Dan Nekrolisis Epidermal Toksik Di Rs Dr. Moewardi Surakarta Periode Agustus 2011-Agustus 2013. MDVI, 42(2), 65–69.

Mockenhaupt, M; Roujeau, J. (2019). Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In E. Kang, S; Amagai, M; Bruckner, AL;Enk, AH; Margolis, DJ; McMichael, AJ et al (Ed.), Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition (9th ed., pp. 733–748). McGraw Hill Companies.

Mockenhaupt, M; Viboud, C; Dunant, A; Naldi, L; Halevy, S; Bavinck, J. dkk. (2008). Stevens–Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Assessment of Medication Risks with Emphasis on Recently Marketed Drugs. The EuroSCAR-Study. Journal of Investigative Dermatology, 128(1), 35–44.

Nair, KK; Chaudhuri, K; Ashok, L. (2018). Erythema multiforme: a case series and review of literature. Journal of Translational Medicine & Research, 2(4), 124–130.

Patel, T; Barvaliya, M; Sharma, D; Tripathi, C. (2013). A systematic review of the drug‑induced Stevens‑Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Indian population. Indian Journal of Dermatology, Venereology, and Leprology, 79(3), 389–398.

Paulino, L; Hamblin, DJ; Osondu, N; Amini, R. (2018). Variants of Erythema Multiforme: A Case Report and Literature Review. Cureus, 10(10), 1–8.

Rahmawati, YW; Indramaya, D. (2016). Studi Retrospektif: Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 28(2).

Silva, RED; Novaes, AG; Gottems, LBD; Novaes, M. (2018). Risk factors for, and treatment of, Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Evidence from the literature. African Journal of Pharmacy and Pharmacology, 12(4), 61–70.

Sokumbi, O; Wetter, D. (2012). Clinical features, diagnosis, and treatment of erythema multiforme: a review for the practicing dermatologist. International Journal of Dermatology, 51(3), 889–902.

Tan, SK; Tay, Y. (2012). Profile and Pattern of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in a General Hospital in Singapore: Treatment Outcomes. Acta Dermato-Venereologica, 92(4), 62–66.

Trayes, KP; Love, G; Studdiford, J. (2019). Erythema Multiforme: Recognition and Management. American Family Physician, 100(2), 82–88.

Tseng, J; Maurer, T; Mutizwa, M. (2017). HIV-Associated Toxic Epidermal Necrolysis at San Francisco General Hospital: A 13-Year Retrospective Review. Journal of the International Association of Providers of AIDS Care, 16(1), 37–41. https://doi.org/DOI: 10.1177/2325957415614651

Viera, VDC; Sarmento, VA; Ribeiro, PML; Netto, EM; Brites, C; Lins-Kusterer, L. (2019). Unusual oral findings of the toxic epidermal necrolysis in an HIV-infected patient: a case report. The Brazilian Journal of Infectious Diseases, 23(5), 363–367. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.bjid.2019.08.003

Yang, SC; Hu, S; Zhang, SZ; Huang, J; Zhang, J; Ji, C. et al. (2018). The Epidemiology of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in China. Journal of Immunology Research, 1–10. https://doi.org/https://doi.org/10.1155/2018/4320195

 

Copyright holder:

Dita Eka Novriana, Moerbono Mochtar (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: