Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 3, Maret 2024

 

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM KESEHATAN DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT DALAM HAL MALPRAKTIK MEDIS

 

Lia Marliana1, Juniaty Caroline Simanjuntak2, Yudi Hasnawan3, Jhohan Adhi Ferdian4, Ade Saptomo5

Universitas Borobudur, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia1,2,3,4,5

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, ,

[email protected]4, [email protected]5

 

 

Abstrak

Malpraktek medis adalah suatu tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang menyebabkan kerugian, baik fisik maupun psikis, kepada pasien. Sistem hukum kesehatan di setiap negara memiliki ketentuan yang berbeda-beda dalam mengatur malpraktek medis. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perbedaan budaya, nilai-nilai, dan sistem hukum. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan sistem hukum kesehatan di Indonesia dan Amerika Serikat dalam hal malpraktek medis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian komparatif. Data penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa sistem hukum malpraktik di Indonesia dan Amerika serikat memiliki beberapa perbedaan diantaranya dari sistem hukum Indonesia menganut civil law dan Amerika menganut common law. Sedangkan dari sisi pembuktian Indonesia melakukan pembuktiann dengan pembuktian langsung dan Amerika dengan pembuktian terbalik. Kemudian dari bentuk pertanggungjawabannya, Indonesia mengimplementasikannya dalam bentuk Litigasi dan Non litigasi dan Amerika dalam bentuk hukum perdata. Selain itu, dari pengaturan dan pengawasan indonesia berada di dalam pengawasan Kementerian Kesehatan dan Lembaga profesi seperti MDKDI dan IDI dan Amerika dalam pengawasan badan federal dan yuridiksi negara bagian.

Kata Kunci: Sistem Hukum, Hukum Kesehatan, Indonesia, Amerika, Malpraktik Medis

 

Abstract

Medical malpractice is a medical action carried out by health workers that causes harm, both physical and psychological, to the patient. The health legal system in each country has different provisions in regulating medical malpractice. This is caused by various factors, such as differences in culture, values, and legal systems. The aim of this research is to compare the health legal systems in Indonesia and the United States in terms of medical malpractice. This research uses comparative research methods. Research data is collected from various sources, such as statutory regulations, books, journals and scientific articles. The data that has been collected is then analyzed using qualitative analysis techniques. The results showed that the malpractice legal system in Indonesia and the United States has several differences, including the Indonesian legal system adheres to civil law and the United States adheres to common law. While in terms of evidence, Indonesia conducts proof with direct evidence and America with reverse evidence. Then from the form of responsibility, Indonesia implements it in the form of litigation and non-litigation and America in the form of civil law. In addition, from the regulation and supervision, Indonesia is under the supervision of the Ministry of Health and professional institutions such as MDKDI and IDI and America is under the supervision of federal agencies and state jurisdictions.

Keywords: Legal System, Health Law, Indonesia, America, Medical Malpractice

 

Keywords : Interactive Learning Models, Learning Outcomes, Mechanical Engineering

 

Pendahuluan

Istilah malpraktek tidak dijelaskan secara langsung dalam peraturan perundang-undangan, tetapi menurut Institute of Medicine, malpraktek (medical error) dapat diartikan sebagai kegagalan pelaksanaan tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak sesuai dengan harapan, atau tindakan yang salah atau perencanaan yang keliru untuk mencapai suatu tujuan (Pontoh, 2013). Dalam layanan kesehatan, kelalaian juga dikaitkan dengan pelayanan yang tidak memenuhi standar pelayanan medis atau norma profesi yang biasa digunakan untuk membedakan antara risiko medis dengan malpraktek medis. Apabila pelayanan terhadap pasien dilakukan sesuai dengan prosedur pelayanan medis yang berlaku namun pasien mengalami luka berat atau meninggal, hal ini disebut sebagai risiko medis. Namun, jika pasien mengalami luka berat atau kematian sebagai akibat dari pelayanan dokter yang tidak sesuai dengan standar medis, maka dapat dikategorikan sebagai malpraktek (Rompis, 2017).

Tercatat ada 182 kasus kelalaian medis atau yang dikenal secara umum sebagai malpraktik yang telah terbukti dilakukan oleh dokter di seluruh Indonesia. Pembuktian malpraktik ini terjadi melalui sidang yang diadakan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dampak dari kasus malpraktik yang terjadi selama ini adalah pencabutan sementara izin praktik dari 29 dokter. Dari 182 kasus malpraktik yang tercatat di seluruh Indonesia, sebanyak 60 kasus dilakukan oleh dokter umum, 49 kasus oleh dokter bedah, 33 kasus oleh dokter kandungan, dan 16 kasus oleh dokter spesialis anak. Sisanya melibatkan 10 macam kasus lainnya yang dilaporkan (Pally et al., 2022).

Apabila seorang dokter terbukti melakukan tindakan malpraktek medis yang mengakibatkan kerugian pada pasiennya, maka dokter tersebut wajib bertanggung jawab atas perbuatannya di ranah hukum. Dalam sistem hukum Indonesia, salah satu komponennya adalah hukum substantif. Di antara hukum positif yang berlaku, tidak ada pengakuan terhadap istilah "malpraktik," baik dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan maupun dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, khususnya Pasal 54 dan 55, menyebutkan sebagai kesalahan atau kelalaian dokter. Sementara itu, dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004, terutama Pasal 84, disebutkan sebagai pelanggaran disiplin dokter (Tumiwa, 2016).

Di setiap negara, sistem hukum kesehatan memiliki peraturan yang berbeda-beda dalam mengatur kasus malpraktek medis. Perbedaan ini muncul karena adanya faktor-faktor seperti budaya, nilai-nilai, dan sistem hukum yang berlaku di masing-masing negara. Peraturan-peraturan ini dirancang untuk memberikan panduan dan aturan terkait tanggung jawab hukum, sanksi, dan prosedur hukum yang harus diikuti dalam kasus malpraktek medis. Adanya variasi dalam peraturan ini mencerminkan keragaman antarnegara dalam pendekatan terhadap isu kesehatan dan hukum yang terkait. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan membandingkan sistem hukum pada dua negara berbeda.

Penelitian terdahulu oleh (Faisal et al., 2020) menunjukan bahwa pembuktian pada kasus Malapraktik di Indonesia menggunakan cara yang sama seperti yang diatur oleh KUHAP. Pembuktian dalam KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), sedangkan di Amerika Serikat dalam menyelesaikan kasus Malapraktik medis menerapkan asas res ipsa loquitur. Di Amerika Serikat tiap-tiap negara bagian memiliki ketentuan-ketentuannya sendiri-sendiri dalam mengadili dokter. Beberapa perangkat hukum kedokteran yang dikenal di Amerika Serikat yaitu Liability Act, Good Samaritan Law dan Medico Legal Consideration.

Penelitian lain oleh (Bal, 2009) malpraktek medis di Amerika Serikat menunjukan bahwa sistem hukum dirancang untuk mendorong penemuan dan negosiasi ekstensif antara pihak-pihak yang berseberangan dengan tujuan menyelesaikan perselisihan tanpa melalui pengadilan juri. Pasien yang terluka harus menunjukkan bahwa dokter telah melakukan kelalaian dalam memberikan perawatan, dan kelalaian tersebut mengakibatkan cedera. Untuk melakukan hal tersebut, empat unsur hukum harus dibuktikan: (1) kewajiban profesional yang harus dibayarkan kepada pasien; (2) pelanggaran terhadap kewajiban tersebut; (3) cedera akibat pelanggaran; dan (4) kerugian yang diakibatkannya. Ganti rugi berupa uang, jika diberikan, biasanya memperhitungkan kerugian ekonomi aktual dan kerugian nonekonomi, seperti rasa sakit dan penderitaan.

Kebaharuan penelitian ini yakni membandingkan mekanisme kompensasi bagi pasien yang menjadi korban malpraktik medis di Indonesia dan Amerika Serikat dan ketentuan terkait ganti rugi yang dapat diterima oleh pihak yang terkena dampak. Penelitian ini dapat memperkaya pemahaman tentang kerangka hukum yang mengatur tanggung jawab medis dan perlindungan hak pasien di kedua negara. Ini memberikan kontribusi pada literatur hukum kesehatan dengan menyajikan perbandingan mendalam terhadap prinsip-prinsip hukum yang mendasari kasus malpraktik medis. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan sistem hukum kesehatan di Indonesia dan Amerika Serikat dalam hal malpraktek medis.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian komparatif. Studi komparatif merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk membandingkan dua variabel atau lebih, dengan tujuan untuk mengungkapkan perbedaan atau kesamaan antara objek yang sedang diteliti. Metode penelitian komparatif bersifat ex post facto, di mana penelitian dilakukan setelah peristiwa atau fenomena terjadi untuk menganalisis dan memahami hubungan antarvariabel tersebut (Ramdhan, 2021). Obyek penelitian ini adalah sistem hukum Indonesia dan Amerika. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Data penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif.  Dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif, proses analisis data melibatkan serangkaian langkah untuk memahami, menggambarkan, dan menafsirkan makna dari data yang terkumpul.

 

Hasil dan Pembahasan

Penyelenggaraan praktik kedokteran memegang peran sentral dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan upaya pembangunan kesehatan. Hal ini dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang diharapkan memiliki integritas etika dan moral yang tinggi, serta perlu secara berkelanjutan meningkatkan kualitasnya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, pemberian sertifikasi, proses registrasi, pemberian lisensi, dan melalui pembinaan, pengawasan, dan pemantauan. Semua langkah ini diperlukan agar penyelenggaraan praktik kedokteran dapat selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Koswara, 2020). Dokter dan tenaga kesehatan lainnya memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memberikan standar perawatan yang tinggi kepada pasien mereka. Dalam menjalankan tanggung jawabnya dalam praktik medis yang penuh risiko ini, terkadang dokter dan tenaga kesehatan tidak dapat menghindari terjadinya kelalaian atau kesalahan yang dapat disebut sebagai tindakan malpraktik.

Penting untuk dicatat bahwa tidak semua kesalahan medis dianggap sebagai malpraktik. Beberapa situasi dapat dianggap sebagai risiko atau komplikasi yang mungkin terjadi dalam pengobatan medis yang wajar. Namun, jika kesalahan tersebut disebabkan oleh kelalaian atau tindakan yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku, maka dapat dianggap sebagai malpraktik. Kelalaian medis merupakan suatu keadaan dimana seseorang bertindak kurang hati-hati menurut ukuran wajar. Kelalaian mencakup dua hal, yakni pertama, karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, atau kedua, karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukannya (Wiriadinata, 2014).

Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk. Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien (Heryanto, 2010). Malpraktik merujuk pada tindakan atau perilaku yang dianggap keliru, salah, atau tidak memenuhi standar yang diharapkan dalam menjalankan suatu profesi. Ini dapat mencakup pelanggaran etika, ketidakprofesionalan, atau tindakan yang dapat menyebabkan kerugian atau bahaya bagi orang lain (Koto & Asmadi, 2021), malpraktik dapat terjadi dalam menjalankan segala macam profesi, termasuk profesi kedokteran.

Tindakan malpraktik yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap pasiennya, memerlukan suatu kaidah hukum sebagai perlindungan hak pasien dan menegakan keadilan. Hukum terkait malpraktik dapat bervariasi di berbagai yurisdiksi. Biasanya, pasien yang percaya bahwa mereka menjadi korban malpraktik dapat mengajukan tuntutan hukum melalui pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi. Proses hukum semacam itu dapat melibatkan penyelidikan yang cermat untuk menentukan apakah ada bukti yang cukup untuk mendukung klaim malpraktik.

Sistem hukum kesehatan dan regulasi terkait malpraktik medis dapat berbeda-beda, seperti hal nya di antara negara Indonesia dan Amerika Serikat. Sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum civil law, sedangkan Amerika Serikat menganut sistem hukum common law. Perbedaan sistem hukum ini berpengaruh pada cara penyelesaian kasus malpraktik. Berikut ini beberapa perbandingan dalam hal malpraktik medis antara kedua negara tersebut meliputi karakteristik sistem hukum, pembuktian hukum malpraktik, dan dalam hal pertanggung jawaban kompensasi kerugian, dan badan pengaturan/pengawasan.

Karakteristik utama yang menjadi dasar sistem Hukum Civil Law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi (Ahmad & Amri, 2023). Dapat dijabarkan sumber hukum yang utama dalam sistem Civil Law adalah undang-undang yang berlaku di negara-negara yang menganut sistem Civil Law. Undang-Undang ini biasanya disusun secara sistematis dan komprehensif, sehingga dapat menjadi rujukan yang jelas bagi para pemangku kepentingan hukum. Sedangkan dalam Common Law sumber hukum tertinggi yaitu kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan atau telah menjadi keputusan pengadilan (Aulia & Al-fatih, 2017). Sumber hukum yang utama dalam sistem Common Law adalah preseden, yaitu keputusan pengadilan yang telah ada sebelumnya. Hakim dalam sistem Common Law terikat oleh preseden yang telah ada, sehingga keputusan hakim dalam satu kasus harus konsisten dengan keputusan hakim dalam kasus-kasus serupa sebelumnya.

Menurut Undang-Undang 17 tahun 2023 dalam pasal 305 ayat (1) memuat pasien atau keluarganya yang kepentingannya dirugikan atas tindakan tenaga medis atau tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan dapat mengadukan kepada majelis. Arti dari pasal ini adalah memberikan hak kepada setiap individu yang merasa dirugikan atau mengetahui adanya tindakan yang dapat merugikan oleh tenaga kesehatan untuk mengadukan hal tersebut secara tertulis, adanya ketentuan ini dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap praktek kedokteran yang tidak etis atau merugikan. Dalam hal pembuktian hukum di Indonesia yang diatur pada Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa yang termasuk alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Sementara di negara Anglo Saxon termasuk Amerika Serikat dalam pembuktian kasus malpraktik medis menerapkan asas res ipsa loquitur (the thing speaks for itself) doktrin ini berkaitan langsung dengan beban pembuktian atau pembuktian terbalik (Faisal et al., 2020). Pembuktian terbalik adalah suatu prinsip hukum yang mewajibkan pihak yang dituduh melakukan kesalahan (tergugat) untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika pihak yang menggugat (penggugat) dapat membuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh pihak yang dituduh (Faisal et al., 2020). Pasien yang dirugikan harus menunjukkan bahwa dokter bertindak lalai dalam memberikan perawatan dan kelalaian tersebut mengakibatkan cedera. Untuk melakukannya, ada empat elemen hukum yang harus dibuktikan pertama kewajiban profesional yang harus dilakukan kepada pasien, kedua pelanggaran kewajiban tersebut, ketiga cedera yang disebabkan oleh pelanggaran tersebut, dan keempat kerugian yang diakibatkannya (Susila, 2021). Atau menurut (Widjaja & Aini, 2022) dalam common law, menentukan terjadinya malpraktik medis yang dilakukan oleh seorang dokter haruslah memenuhi empat buah unsur yang dikenal dengan 4D, yaitu Unsur “Duty” (Kewajiban), “Breach Of Duty/Derelict” (Pelanggaran Kewajiban), “Damage” (Kerugian/Kerusakan), dan “Direct Causation” (Hubungan Sebab-Akibat). Jika syarat tersebut terpenuhi, maka beban pembuktian beralih dari pasien kepada tenaga medis. Dalam sistem pembuktian terbalik, terdakwalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah atau tenaga medislah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Sehingga terdapat perbedaan yang signifikan jika di Indonesia beban pembuktian terletak pada penuntut umum untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah di luar keraguan yang masuk akal. Namun, di Amerika Serikat sistem pembuktian terbalik, terdakwalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Dalam proses penyelesaian sengketa medis di Indonesia dapat melalui dua jalur yaitu secara litigasi dan non litigasi (Mulyadi, 2020). Penyelesaian malpraktik melalui litigasi melibatkan proses hukum di pengadilan sesuai dengan norma-norma hukum perdata, pidana, atau administratif yang berlaku. Di sisi lain, non litigasi melibatkan metode penyelesaian di luar pengadilan, seperti musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama atau dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, seperti melalui mediasi, arbitrase, dan konsiliasi. Pilihan antara litigasi dan non litigasi dalam menyelesaikan sengketa medis dapat disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan para pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.

Penyelesaian sengketa medis di luar pengadilan atau melalui non litigasi menjadi opsi utama dalam menangani malpraktik medis, dalam UU 17 tahun 2003 2023 pasal 310 menyatakan dalam situasi di mana tenaga medis atau tenaga kesehatan diduga melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas profesinya yang mengakibatkan kerugian bagi pasien, penyelesaian perselisihan yang timbul dari kesalahan tersebut harus dilakukan melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan terlebih dahulu. Kemudian dalam (Jauhani, 2020) menyebutkan proses peradilan dianggap kurang efisien dan tidak adil oleh sebagian pihak karena melibatkan biaya yang tinggi dan memakan waktu yang lama. Kritik juga muncul terkait hasil dari pengadilan, di mana seringkali ada satu pihak yang dianggap sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Sistem peradilan dianggap terlalu formalistik dan teknis, serta dianggap kurang responsif terhadap kepentingan umum. Beberapa orang berpendapat bahwa jalur pengadilan terlalu padat dan lamban dalam menjalankan fungsinya. Kritik tersebut menyatakan bahwa proses peradilan terlalu mahal dan tidak sesuai dengan kebutuhan efisiensi dan keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.

Untuk menyelesaikan sengketa medis antara pasien dan dokter, langkah pertama yang diharapkan adalah melibatkan proses mediasi yang diselenggarakan oleh organisasi profesi, khususnya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) (Busthomi et al., 2023). Mediasi, arbitrase dan konsiliasi memilki kesamaan dalam cara penyelesaian sengketa medis yaitu kesepatan kedua belah pihak dengan menggunakan pihak ketiga yang tidak memihak. Namun terdapat pula perbedaan yaitu, dalam pendekatan ini, penyelesaian sengketa dimulai dengan mediasi, apabila mediasi tidak berhasil upaya penyelesaian kemudian ditingkatkan melalui konsiliasi. Jika upaya tersebut juga tidak berhasil, barulah sengketa tersebut diarahkan ke jalur arbitrase atau penyelesaian melalui peradilan (Moray, 2019).

Jika dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui jalur non pengadilan gagal mencapai solusi atau perjanjian yang memuaskan untuk semua pihak yang terlibat, langkah berikutnya yang bisa diambil yaitu proses peradilan atau jalur litigasi. Seorang tenaga kesehatan yang diduga melanggar hukum profesi kedokteran, maka tenaga kesehatan tersebut dapat mendapat tuntutan perkara secara administrasi, hukum perdata, ataupun hukum pidana (Maghfirah, 2022). Sanksi pidana dapat mencakup tindakan hukum yang melibatkan pengadilan dan dapat mengakibatkan hukuman pidana seperti denda atau penahanan. Sanksi perdata dapat melibatkan gugatan hukum oleh pihak yang merasa dirugikan, yang dapat menghasilkan pembayaran ganti rugi atau kompensasi. Sanksi administrasi biasanya berkaitan dengan regulasi dan lisensi profesional, dan dapat mencakup pembatasan, penangguhan, atau pencabutan lisensi dokter.

Pertanggung jawaban tenaga kesehatan berdasarkan landasan hukum dan besaran denda atau dan tuntutan ganti rugi (kompensasi) kepada pihak yang dirugikan pertama dalam perkara perdata, landasan hukum pasal 1365 KUHPerdata setiap tindakan yang menyalahi hukum dan menyebabkan kerugian kepada pihak lain mengharuskan individu yang bertanggung jawab atas tindakan tersebut untuk mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan tersebut. Pasal 1366 KUHPerdata tiap orang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, karena kelalaian atau karena pelanggaran hukum yang mereka lakukan. Dan pasal 1371 KUHPerdata menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Artinya Ganti rugi tersebut dapat berupa ganti rugi materiil, ganti rugi immateriil, atau keduanya. Tanggung jawab ganti rugi berdasarkan tingkat kesalahan merupakan bentuk tanggung jawab berdasarkan asas proporsionalitas (Putri, 2019). Ganti rugi materiil adalah ganti rugi yang dapat diukur dengan uang, seperti biaya pengobatan, biaya perawatan, biaya transportasi, dan kehilangan pendapatan. Ganti rugi immateriil adalah ganti rugi yang tidak dapat diukur dengan uang, seperti rasa sakit, penderitaan, dan cacat.

Selanjutnya dalam perkara pidana memiliki landasan hukum pasal 84 UU no. 36 tahun 2014 pasal 1 dan 2 menyatakan Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Jika kelalaian berat yang dimaksud mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Artinya setiap tenaga kesehatan yang melanggar pidana dapat mendapat hukuman 3 tahun atau 5 tahun berdasarkan kelalaian yang diakibatkannya.

Dalam perkara administrasi, korban malpraktik dapat melaporkan tenaga medis atau rumah sakit yang melakukan malpraktik kepada lembaga berwenang. Lembaga berwenang tersebut dapat menjatuhkan sanksi administratif kepada tenaga medis atau rumah sakit yang terbukti melakukan malpraktik. Pasal 76 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran ditegaskan bahwa setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Berbeda dengan Indonesia hukum malpraktik medis di Amerika Serikat merupakan bagian dari hukum perdata, bukan hukum pidana (Bal, 2009). Sejalan dengan John J. Elwell, dalam studinya pada tahun 1860 tentang malpraktik medis, pertanggungjawaban atas malpraktik medis di Amerika Serikat sebagian besar terpusat pada ranah hukum privat atau perdata, bukan hukum pidana (Michalak, 2021). Malpraktik yang menganut common law termasuk ke dalam tort law yang hanya termasuk civil liability (Widjaja & Aini, 2022). Tort law adalah cabang hukum perdata yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang tidak disengaja (negligence). Malpraktik dalam common law termasuk dalam kategori tort law, yang secara khusus terkait dengan civil liability atau tanggung jawab perdata. Dalam konteks ini, malpraktik dianggap sebagai pelanggaran hukum perdata yang dapat mengakibatkan gugatan atau tuntutan ganti rugi oleh pihak yang menderita kerugian atau cedera akibat tindakan yang disalahgunakan oleh pihak medis atau profesional kesehatan. Jika penggugat berhasil, pengadilan akan memberikan keputusan untuk penggugat dan mengeluarkan perintah pengadilan untuk ganti rugi (Bal, 2009). Jumlah ganti rugi tersebut dapat bervariasi, tergantung pada tingkat keparahan cedera yang dialami korban.

Ganti rugi yang bersifat hukuman sangat jarang terjadi dalam kasus malpraktik medis, dan hanya diberikan oleh pengadilan untuk tindakan yang sangat berat sehingga masyarakat mempunyai kepentingan khusus untuk mencegahnya. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus yang sangat serius, seperti tindakan medis yang disengaja atau sangat kelalaian, hukum pidana tetap dapat diterapkan terhadap praktisi medis. Namun, dalam sebagian besar kasus malpraktIk medis, penyelesaian cenderung melibatkan pembayaran ganti rugi finansial melalui proses hukum sipil. Dengan demikian, penyelesaian sengketa malpraktik biasanya melibatkan proses hukum perdata untuk menentukan tanggung jawab dan tuntutan ganti rugi.

Pengaturan dan pengawasan hukum di Amerika Serikat dilakukan oleh badan federal dan negara bagian. Beberapa negara bagian memiliki badan khusus untuk menangani malpraktek medis. Undang-Undang malpraktik medis berada di bawah wewenang masing-masing negara bagian, kerangka dan aturan yang mengaturnya telah ditetapkan melalui keputusan tuntutan hukum yang diajukan di pengadilan negara. Oleh karena itu, undang-undang negara bagian yang mengatur malpraktik medis dapat berbeda-beda di berbagai yurisdiksi di Amerika Serikat (Bal, 2009). Berbeda dengan di Indonesia kewenangan melakukan pengaturan dan pengawasan oleh Kementerian Kesehatan dan Lembaga profesi seperti MDKDI (majelis kehormatan displin kedokteran Indonesia) dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Berikut perbandingan sistem hukum kesehatan dalam hal malpraktik di Indonesia dan Amerika Serikat yang di gambarkan berdasarkan tabel berikut:

Tabel 1. Perbandingan sistem hukum malpraktik di Indonesia dan Amerika Serikat

No.

Perbedaan

Indonesia

Amerika Serikat

1.

Sistem hukum

Menganut Civil law, sistem hukum berdasarkan Undang-undang

Menganut Common law, sistem hukum berdasarkan keputusan juri hakim atau kasus sebelumnya.

2.

Pembuktian

Pembuktian langsung, korban membuktikan dengan sekurangnya 2 bukti yang sah.

Pembuktian terbalik, terdakwa yang harus membuktikan tidak bersalah

3.

Bentuk pertanggungjawaban

Litigasi dan Non litigasi. Non Litigasi (Mediasi, arbritase, dan konsiliasi).

Litigasi (Perdata, pidana dan administratif)

Perdata

4.

Pengaturan dan pengawasan

Kementerian Kesehatan dan Lembaga profesi seperti MDKDI dan IDI.

Badan federal dan yuridiksi negara bagian.

 

Berdasarkan tabel 1 perbandingan sistem hukum malpraktik di Indonesia dan Amerika Serikat dapat dilihat dari sistem hukumnya, Indonesia yang menganut sistem hukum civil law dan Amerika Serikat menganut sistem hukum common law (Mukti & Susanti), di mana kedua sistem hukum tersebut berbeda dalam penyelesaian kasus malpraktik, seperti civil law sistem hukum yang berdasarkan ketetapan Undang-Undang yang berlaku sedangkan Common law berdasarkan keputusan juri hakim atau kasus sebelumnya. Perbandingan kedua berdasarkan pembuktiannya, di Indonesia berlandaskan hukum KUHAP pembuktian harus membuktikan dengan sekurang-sekurangnya 2 bukti yang sah. Sedangkan di amerika menggunakan pembuktian terbalik atau terdakwa yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Selanjutnya perbandingan berdasarkan bentuk pertanggung jawaban, di Indonesia dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (peradilan) dan non litigasi (diluar peradilan) (Pramono, 2023), non litigasi dapat berupa mediasi, arbitrase dan konsiliasi yaitu penyelesaian kasus melalui kesepakatan yang melibatkan pihak ketiga, sedangkan litigasi atau peradilan dapat berupa perdata, pidana dan administratif berdasarkan tindak pelanggaran yang dilanggar. Sedangkan di Amerika serikat bentuk pertanggungjawaban melalui hukum perdata. Chairul (2008) dalam common law sistem teori tentang pertanggungjawaban pidana umumnya identik dengan pertanggungjawaban perdata (Fernando, 2021). Perbandingan terakhir melalui badan pengaturan dan pengawasan, di Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Lembaga profesi seperti MDKDI dan IDI (Dewi & Audiary, 2023). Sedangkan di Amerika Serikat dilakukan oleh Badan federal dan yuridiksi negara bagian.

Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya, sistem hukum kesehatan yang mengatur mengenai malpraktik di Indonesia dan Amerika Serikat memiliki tujuan utama yang serupa, yaitu memberikan keadilan kepada korban malpraktik medis dan mendorong pelayanan kesehatan yang berkualitas. Setiap sistem memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti budaya, hukum, dan praktik medis lokal dalam implementasinya.

 

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan signifikan antara sistem hukum malpraktik di Indonesia dan Amerika Serikat. Salah satu perbedaan utama terletak pada dasar sistem hukum yang digunakan, di mana Indonesia menganut sistem civil law, sedangkan Amerika Serikat menganut sistem common law. Selain itu, terdapat perbedaan dalam metode pembuktian yang digunakan, dimana Indonesia menggunakan pembuktian langsung, sementara Amerika Serikat menggunakan pembuktian terbalik. Dari segi bentuk pertanggungjawabannya, Indonesia menerapkan bentuk Litigasi dan Non Litigasi, sedangkan Amerika Serikat mengadopsi sistem hukum perdata. Adapun pengaturan dan pengawasan dalam penyelesaian sengketa malpraktik juga menunjukkan perbedaan. Di Indonesia, pengaturan dan pengawasan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan serta lembaga profesi seperti MDKDI dan IDI. Sementara itu, di Amerika Serikat, badan federal dan yurisdiksi negara bagian berperan dalam mengawasi dan mengatur penyelesaian kasus malpraktik. Perbedaan-perbedaan ini mencerminkan keragaman dalam pendekatan hukum kesehatan di kedua negara dan menunjukkan kompleksitas serta variasi dalam sistem hukum yang diterapkan untuk menangani kasus malpraktik medis.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aulia, F., & Al-Fatih, S. (2017). Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 25(1), 98-113.

Ahmad, H., & Amri, C. (2023). Analisis Perbedaan Komponen Pidana Sistem Hukum Civil Law dan Common Law. Jurnal Ilmiah Multidisiplin Amsir, 1(2), 231-240.

Bal, B. S. (2009). An introduction to medical malpractice in the United States. Clinical orthopaedics and related research, 467, 339-347.

Busthomi, A. F., Sutarno, S., Nugraheni, N., & Huda, M. K. (2023). Urgensi Pengadilan Kesehatan Sebagai Upaya Solusi Masalah Sengketa Medis Di Indonesia. Jurnal Kertha Semaya, 11(11), 2677-2693.

Dewi, D. A. R., & Audiary, F. S. (2023). Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Medis dalam Menjalankan Praktik Kedokteran. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), 5(1), 5214-5221.

Faisal, F., Hasima, R., & Rizky, A. (2020). Studi Komparatif Upaya Penanganan Malpraktek Medis dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia dan Amerika. Halu Oleo Law Review, 4(1), 25-37.

Fernando, Z. J. (2021). Pertanggungjawaban Hukum Rumah Sakit Terhadap Malpraktik yang Dilakukan Tenaga Medis di Indonesia: Sebuah Kajian lus Constitutum dan lus Constituendum. Nas Media Pustaka.

Heryanto, B. (2010). Malpraktik Dokter dalam Perspektif Hukum. Jurnal Dinamika Hukum, 10(2), 183-191.

Jauhani, M. A. (2020). Dilema Kapabilitas Dan Imparsialitas Dokter Sebagai Mediator Sengketa Medis. Scopindo Media Pustaka.

Koswara, I. Y. (2020). Malpraktik Kedokteran Perspektif Dokter Dan Pasien Kajian Hukum Dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Deepublish.

Koto, I., & Asmadi, E. (2021). Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Tindakan Malpraktik Tenaga Medis di Rumah Sakit. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi, 181-192.

Maghfirah, S. (2022). Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Medik Serta Upaya Untuk Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Pasien Dan Dokter. Tadulako Master Law Journal, 6(3), 402-422.

Michalak, M. (2021). Medical Malpractice Liability in the United States of America in the Light of the 19th Century Origins of the American Legal System. Krakowskie Studia z Historii Państwa i Prawa, 14(3), 287-305.

Moray, F. (2019). Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Luar Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 Dalam Rangka Perlindungan Konsumen. Lex Privatum, 6(10).

Mukti, A. R. W., & Susanti, R. (2023). Studi Komparatif Penerapan Restorative Justice Di Negara Indonesia Dan Amerika Serikat. Wijayakusuma Law Review, 5(1).

Mulyadi, D. (2020). Alternatif Penyelesaian Sengketa Kelalaian Medik Yang Berkeadilan Di Indonesia. Logika: Jurnal Penelitian Universitas Kuningan, 11(02), 126-138.

Pally, H. S., Tendean, J., Rumondor, K., & Sumilat, R. (2022). Tinjauan Hukum Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktek Menurut Sistem Hukum Di Indonesia. Lex Crimen, 11(5).

Pontoh, M. R. (2013). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Resiko Medik dan Malpraktek Dalam Pelaksanaan Tugas Dokter. Lex Crimen, 2(7).

Pramono, B. (2023). Analisis Hukum Pertanggungjawaban Malpraktik Medis Pada Dokter Spesialis.

Putri, N. P. A. M. G. (2019). Asas Proporsionalitas Dalam Pembayaran Ganti Rugi Melalui Asuransi Dalam Kasus Malpraktik Dokter. Jurnal Magister Hukum Udayan, 2, 1-17.

Ramdhan, M. (2021). Metode penelitian. Cipta Media Nusantara.

Rompis, M. G. M. (2017). perlindungan hukum terhadap dokter Yang diduga melakukan medical malpraktik. Lex Crimen, 6(4). 

Susila, M. E. (2021). Medical Malpractice System in the United States of America: Lesson to Learn for Indonesia. Yuridika, 36(2), 367-382.

Tumiwa, B. J. (2016). Kajian Yuridis Malpraktik Kedokteran Yang Mengakibatkan Meninggalnya Pasien Menurut Pasal 359 Kuhp. Lex Privatum, 4(7).

Widjaja, G., & Aini, M. H. (2022). Mediasi dalam Kasus Malpraktik Medis (Kedokteran). Jurnal Cakrawala Ilmiah, 1(6), 1393-1412.

Wiriadinata, W. (2014). Dokter, Pasien dan Malpraktik. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 26(1), 43-54.

 

 

 

Copyright holder:

Lia Marliana, Juniaty Caroline Simanjuntak, Yudi Hasnawan, Jhohan Adhi Ferdian, Ade Saptomo (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: