Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 4, April 2024

 

MENGURAI KEPASTIAN HUKUM: DEADLOCK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DENGAN KEPEMILIKAN BERIMBANG

 

Sheerleen1*, Mella Ismelina Farma Rahayu2

Universitas Tarumanagara, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia1,2

E-mail: [email protected]1*, [email protected]2

 

Abstrak

UU PT menyatakan bahwa PT dapat didirikan oleh minimal dua orang atau lebih, tetapi tidak mengatur tentang persentase masing-masing kepemilikan saham yang harus dimiliki. Dalam situasi ini, terdapat kemungkinan terbentuknya kepemilikan saham yang seimbang di mana setiap pemegang saham memiliki 50% saham. Pemilikan saham yang seimbang ini merupakan penerapan prinsip keseimbangan yang mencerminkan nilai-nilai positif, tetapi juga dapat mengalami kebuntuan (deadlock) jika terjadi ketidakharmonisan di antara para pemegang saham yang seimbang. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi-solusi hukum sebagai upaya untuk menyelesaikan problematika tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dampak ketidaksepakatan antara para pemegang saham yang seimbang dan menganalisis opsi hukum untuk menyelesaikan situasi kebuntuan tersebut. Penelitian menggunakan pendekatan metode penelitian hukum normatif. Informasi yang diterapkan adalah informasi kedua yang telah dibagi menjadi dua sumber utama, yaitu sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Menurut hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa deadlock yang disebabkan oleh kepemilikan saham yang seimbang menyebabkan RUPS tidak dapat dilaksanakan. Jika deadlock ini berlanjut hingga berakhirnya masa jabatan direksi dan komisaris, maka akan terjadi kekosongan jabatan yang mengakibatkan PT tidak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Kedua, UU PT diperkenalkan suatu solusi untuk masalah ini yaitu dengan memberikan kekuasaan kepada pengadilan negeri untuk menentukan jumlah peserta RUPS yang diperlukan untuk dapat menetapkan tindakan tertentu, serta untuk membubarkan perusahaan jika terdapat alasan yang jelas bahwa perusahaan tersebut tidak bisa melanjutkan kegiatan.

Kata Kunci: Deadlock, Kepastian Hukum, Perseroan Terbatas

 

Abstract

UU PT states that a PT can be established by a minimum of two or more people but does not regulate the percentage of share ownership that must be owned by each shareholder. In this situation, there is a possibility of forming equal share ownership where each shareholder owns 50% of the shares. This balanced share ownership is an application of the principle of balance which reflects positive values but can also experience deadlock if there is disharmony between balanced shareholders. Therefore, a legal solution is needed as an effort to resolve this problem. This research aims to understand the impact of disputes between unequal shareholders and analyze legal options to resolve the deadlock situation. This research uses a normative legal research method approach. The information used is secondary information which is divided into two main sources, namely primary legal sources, and secondary legal sources. Based on the research results, it can be concluded that the deadlock caused by share ownership means that a balanced GMS cannot be held. If this deadlock continues until the end of the terms of office of the directors and commissioners, there will be a vacancy in their positions which will result in the PT being unable to carry out its rights and obligations. Second, the PT Law provides a solution to this problem, namely by giving authority to the district court to determine the number of participants in the forum required to decide on a particular action, as well as to dissolve it. company if there is a clear reason that the company cannot continue its activities.

Keywords: Deadlock, Legal Certainty, Limited Liability Company

 

Pendahuluan

Pesatnya akselerasi perkembangan perekonomian, masyarakat Indonesia mulai menjalankan beragam jenis usaha yang semakin berkembang. Pada dasarnya, masalah ekonomi mencakup upaya meningkatkan tingkat kemakmuran penduduk dengan meningkatkan produksi barang dan jasa. Berbagai kemajuan dalam jenis bisnis yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Di sisi lain, hal ini tidak dapat diabaikan oleh peran pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan memastikan kewajiban pembayaran pajak dipenuhi serta mencegah terjadinya penipuan. Salah satu upaya yang dilakukan terhadap kehadiran Perseroan Terbatas (PT) yang diperkuat oleh regulasi-regulasi yang beragam, menunjukkan partisipasi pemerintah guna dapat mendukung pertumbuhan ekonomi sebagai pondasi bagi perkembangan suatu negara. Intervensi pemerintah melibatkan adopsi persyaratan pendaftaran yang sedang berlangsung bagi jenis bisnis yang ingin didirikan oleh semua individu. Pendaftaran ini dapat dilakukan di kantor atau lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah untuk memastikan bahwa keberadaan bisnis tersebut dapat diketahui oleh masyarakat secara umum.

Bentuk usaha yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara adalah entitas bisnis yang sah, yang sering juga disebut sebagai PT. UU PT dengan jelas menyatakan bahwa badan hukum PT adalah sebuah entitas yang memiliki kemampuan untuk beraksi secara hukum dan memiliki aset yang terpisah dari aset pribadi pengurusnya. Itulah sebabnya PT juga dianggap sebagai subjek hukum yang independen atau seorang individu dalam pengadilan. PT memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hubungan hukum seperti individu biasa atau orang alami, dan mereka dapat mengajukan gugatan atau menghadapi gugatan, membuat keputusan, memiliki hak dan kewajiban, seperti hutang-piutang, dan kepemilikan kekayaan seperti manusia. PT tidaklah dihasilkan secara spontan dan tidak muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil dari perencanaan, inovasi, dan langkah-langkah yang diambil oleh pendiri. Setelah PT mendapatkan status sebagai badan hukum, langkah pengawasan dan pelaksanaan sering kali dilakukan.

Menurut Henn dan Alexander, proses pendirian PT dapat dilakukan melalui tiga tahap, yakni penemuan (discovery), penyelidikan (investigation), dan penyusunan (assembly). Discovery adalah rangkaian tindakan yang melibatkan usaha dalam menemukan peluang bisnis yang layak untuk dikembangkan, menganalisis potensi keberhasilan bisnis tersebut, serta mengidentifikasi hambatan yang harus diatasi dalam mengembangkan bisnis tersebut. Investigation adalah sebuah proses yang melibatkan analisis terhadap sebuah rencana bisnis yang telah dipilih dengan tujuan untuk menentukan apakah sebuah kegiatan bisnis memiliki potensi ekonomi yang memadai atau tidak. Salah satu tahapan terakhir dalam mendirikan sebuah PT adalah assembly, yaitu langkah yang melibatkan tindakan nyata untuk mewujudkan pendirian perusahaan. Tahap ini melibatkan cara mendapatkan modular yang diperlukan, baik dalam bentuk tetap maupun berjalan, serta mengatur kebutuhan tenaga kerja dan melakukan perencanaan rinci dan lanjutan bagi perusahaan. Agar dapat mencapai bentuk perusahaan yang terbatas tersebut, terkadang pendiri perlu menggunakan layanan individu yang memiliki keahlian khusus seperti, misalnya, orang-orang yang berpengalaman seperti Notaris, Konsultan Hukum, Akuntan, Perbankan, dan lainnya. 

PT merupakan sebuah badan usaha yang beroperasi melalui modal berbentuk saham, dimana pemiliknya memiliki bagian sesuai dengan porsinya. Tidak perlu melikuidasi perusahaan karena aset didalamnya berupa saham yang dapat diperdagangkan, perubahan kepemilikan dapat dilakukan dengan mudah. Definisi PT dalam UU No. 40 Tahun 2007 jo. Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut sebagai UU PT) merupakan badan hukum yang terdiri dari himpunan modal dan terikat pada perjanjian untuk melaksanakan bisnis. Perseroan ini wajib menggenapi persyaratan yang ditegaskan dalam regulasi nasional. Perusahaan yang terbatas adalah entitas yang terdiri dari beberapa individu yang dibentuk dengan tujuan yang disepakati secara musyawarah mufakat oleh para anggotanya. Organisasi ini memiliki sebuah badan yang mewakili anggotanya dalam menjalankan usaha, yang disebut sebagai pengurus. Keberadaan badan ini adalah elemen penting dalam Perseroan Terbatas sebagai sebuah organisasi, seperti yang dijelaskan Pasal 1 angka (2) UU PT, menegaskan bahwa badan perusahaan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), direksi, dan dewan komisaris.

PT memiliki tiga organ, yaitu RUPS, Dewan Komisaris, dan Direksi. Kemudian, saham memiliki kepentingan yang signifikan bagi pemilik saham dalam suatu perusahaan. Saham diungkapkan melalui angka dan kata-kata yang tercatat pada sertifikat saham yang diterbitkan oleh perusahaan. Angka yang tertera pada setiap lembar surat saham tersebut dikenal sebagai nilai nominal saham. Dokumen yang memberikan bukti kepemilikan saham diberikan kepada pemilik saham. Surat saham yang berfungsi sebagai bukti kepemilikan saham, diberikan kepada para pemegang saham sesuai dengan determinasi yang tercantum dalam anggaran dasar perusahaan. Secara hukum, saham dianggap sebagai asset yang dapat dipindah tangankan. Hak kepemilikan atas saham memberi pemiliknya hak yang dapat dipertahankan terhadap siapapun. Pemegang saham memiliki kebebasan penuh dalam melakukan tindakan yang diinginkannya terhadap sahamnya, termasuk menjual, menggunakan sebagai sebuah jaminan pinjaman, menjaminkan, atau mentransferkannya ke pihak lain.

Pemegang saham PT dapat membuktikan kepemilikan saham mereka dalam bentuk sertifikat yang dikeluarkan oleh perusahaan (Chatib et al., 2019). Selain itu, pemegang saham memiliki hak untuk hadir dan memberikan suara dalam RUPS, memperoleh dividen, membagikan sisa aset melalui likuidasi, dan hak-hak lain yang melekat padanya. Ketentuan-ketentuan ini ditegaskan dalam peraturan nasional yaitu UU PT. Pemegang saham berhak untuk ikut serta dalam RUPS secara langsung atau melalui kuasa dan memanfaatkan hak suara sesuai dengan porsi kepemilikan saham (Mustaqim & Satory, 2019). Hal ini tidak valid bagi pemegang saham yang tidak memiliki hak suara. Sangat jarang terjadi bahwa perusahaan memecah jumlah dan komposisi saham yang sama. Perlu diketahui bahwa pembagian kepemilikan saham ini tidak hanya mempengaruhi jumlah saham tetapi juga prestise pemegang saham dalam perusahaan. Sebagai gambaran, ada perusahaan PT yang terdiri dari dua orang perseorangan atau badan hukum yang sahamnya dibagi 50%. Jumlah saham tersebut sama dan tidak ada yang lebih kecil ataupun lebih besar porsinya dari yang lain.

         Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU PT, sebuah perusahaan dilaksanakan oleh minimal dua orang atau lebih dengan bukti akta notaris yang dirancang dalam bahasa Indonesia. Pasal tersebut menetapkan bahwa setidaknya dua orang pendiri diperlukan untuk mendirikan PT. Selain itu, dua orang menginvestasikan dana ke perusahaan dan kontribusi modal dibagi menjadi beberapa bagian yang disebut saham. Saham-saham ini adalah milik para investor. Namun, UU PT telah diamandemen sehubungan dengan angkan minimum pemegang saham yang diperlukan dalam PT, dan sebagai tambahan dari pasal ini, sebuah ketentuan telah diperkenalkan yang menetapkan bahwa angka minimum pendiri PT untuk kepemilikan perseorangan hanya satu. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU PT jo. Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dengan adanya Perpu Cipta Kerja yang telah berlaku sejak tahun 2022, perusahaan perseorangan harus memenuhi syarat tertentu, yaitu harus memiliki ukuran usaha mikro dan kecil serta didirikan oleh individu perseorangan dan bukan badan hukum. Namun, jika perusahaan tidak memenuhi syarat usaha mikro dan kecil atau memiliki lebih dari satu pemegang saham, wajib mendirikan PT konvensional.

         PT konvensional ini harus didirikan sekurang-kurangnya 2 orang perseorangan atau badan hukum. Tidak ada aturan tambahan mengenai kualifikasi kepemilikan saham oleh perseorangan atau badan hukum selain persyaratan minimum dua orang atau badan hukum dalam peraturan pendirian PT. Aturan mengenai persyaratan minimal dua orang terkait pendirian PT tidak berlaku untuk entitas seperti halnya Persero sejenis BUMN dan Persero yang mengelola bursa efek, lembaga kliring, penjaminan, lembaga penitipan dan penyelesaian dan lainnya. Lebih lanjut, Pasal 7 ayat (2) UU PT mengikat setiap pendiri perusahaan untuk mengikat bagian saham pada saat pendirian PT. Namun, tidak dijelaskan berapa banyak saham yang harus diambil oleh kedua pendiri PT, sehingga memungkinkan kepemilikan saham yang berimbang yaitu 50% dalam PT dengan dua pemegang saham. Alasannya adalah karena kepemilikan saham yang berimbang sebesar 50% dimungkinkan. Padahal, proses pengambilan keputusan RUPS, keputusan harus diambil melalui negosiasi. Jika konsensus tidak berhasil, keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas.

         Forum RUPS memiliki kuasa yang tidak diberikan pada manajemen atau dewan komisaris, batasan wewenang ini ditetapkan regulasi atau konstitusi perusahaan (Negara et al., 2023). Pemegang saham dalam forum RUPS berhak memperoleh penjelasan dan fakta yang komprehensif mengenai kegiatan perusahaan dari direksi atau komisaris. Fakta-fakta tersebut harus relevan dengan agenda rapat dan tidak boleh kontradiktif dengan kepentingan perusahaan. Jika kuorum tidak tercapai, RUPS tidak berkuasa untuk menetapkan keputusan. Kehadiran pemegang saham atau perwakilannya dalam RUPS merupakan faktor penting dalam menentukan apakah RUPS dapat diselenggarakan dan keputusan dapat diambil. Ada dua pemegang saham dengan kepemilikan saham yang sama yaitu sebesar 50%. Lebih lanjut, struktur pemegang saham yang seimbang didefinisikan sebagai rasio kepemilikan saham sebesar 50% di antara semua pemegang saham. Kenyataan tersebut telah menginstruksikan bahwa tidak ada disparitas yang signifikan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan porsi saham yang diperoleh antara pemegang saham. Oleh karena itu, kedua pemegang saham tersebut sama-sama menuntun perusahaan secara seimbang. Kedua pemegang saham berhak untuk menunjuk direksi perusahaan, mengawasi kegiatan perusahaan dan membuat langkah strategis yang krusial bagi perusahaan. Ini termasuk menentukan gaji dan tunjangan untuk direksi dan dewan komisaris, serta jumlah profit yang dapat dibagikan sebagai dividen.

         Para direktur dan dewan komisaris berbagi peran, posisi mereka setara dan tidak ada pemegang saham utama. Tidak ada pemegang saham yang memegang kekuatan lebih besar atau lebih unggul dari yang lain, sehingga sulit mencapai kesepakatan ketika ada perbedaan pendapat dalam RUPS. Kedua belah pihak menganggap bahwa mereka telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap modal perusahaan, RUPS akan diselenggarakan untuk membahas pengalihan saham di antara mereka. Namun, jika kedua belah pihak tetap ingin mempertahankan sahamnya, maka akan terjadi suatu dilematis untuk tercapai kesepakatan karena semua keputusan mengenai PT dapat diambil dalam RUPS. Dalam hal ini, proses RUPS akan menemui jalan buntu. Akan sulit untuk mencapai kesepakatan karena deadlock (Mada, 23 C.E.). Oleh karena itu, aspek ini perlu untuk dipertimbangkan sebelum mendirikan PT. Salah satu saran adalah jumlah pemegang saham sebaiknya minimal dua orang, meskipun UU mensyaratkan minimal dua orang atau dua badan hukum untuk mendirikan PT. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya deadlock dalam proses pengambilan keputusan.

         Deadlock merujuk situasi dimana dua atau lebih transaksi terjebak dan saling menunggu penghapusan kunci oleh transaksi lainnya yang sedang berlangsung (Wahyuni, 2023). Fenomena deadlock di Indonesia terjadi ketika perimbangan saham PT memiliki dua pemegang saham dengan jumlah saham yang sama yaitu 50%. Sebagai hasilnya, kesepakatan tidak tercapai saat membuat keputusan dalam RUPS. Dalam prakteknya, deadlock sering terjadi dalam proses pengambilan keputusan di RUPS. Jika terjadi deadlock, maka RUPS tidak bisa membuat keputusan. Sayangnya, masih sedikit anggaran dasar perusahaan yang mengatur langkah-langkah untuk dapat mengatasi deadlock dalam RUPS. Oleh sebab itu, ketika pengambilan keputusan terhambat, dampaknya dapat merugikan produktivitas perusahaan. Jika ditelaah berdasarkan sisi yuridis, penyelesaian situasi deadlock di Indonesia secara implisit telah diatur dalam Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT. Substansi pasal ini menerangkan bahwa apabila kesepakatan pemegang saham mengakibatkan forum RUPS gagal mencapai keputusan yang valid, maka dapat dimungkinkan untuk mengajukan pembubaran Perseroan.(Patricia Yosephin, 2021) Di sisi lain, UU PT menyebutkan bahwa PT dapat didirikan oleh minimum jumlah dua orang atau lebih. Akan tetapi, regulasi ini tidak diatur mengenai jumlah saham yang dimiliki oleh masing-masing pemilik, sehingga memungkinkan terjadinya kepemilikan saham yang seimbang di mana setiap pemilik memiliki 50% saham. Posisi pemegang saham berimbang adalah suatu cara untuk menerapkan prinsip keseimbangan yang mencerminkan nilai-nilai positif, namun dapat menghadapi kesulitan jika terjadi ketidakharmonisan antara para pemegang saham. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pemahaman kepastian hukum dan solusi hukum untuk mengatasi masalah ini.

         Adapun state of the art (literature review) terhadap topik kepemilikan berimbang dalam PT. Salah satunya menguraikan tindak hukum yang dapat diaplikasikan oleh pemegang saham dalam forum RUPS dengan kepemilikan berimbang yaitu masing-masing 50% (Mada, 23 C.E.). Adapun peneliti lain berfokus pada sudut pandang perlindungan hukum pemegang saham PT dalam kondisi kepemilikan berimbang dan akibat hukumnya (Anggriani, 2019). Kemudian, minimnya penelitian terkait fenomena dan implikasi deadlock menjadi fokus analisa dan novelty penelitian ini.

          Dari penjelasan di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1) Untuk bisa mengetahui pengaturan kepemilikan berimbang dalam Perseroan Terbatas; 2) Untuk menganalisis implikasi deadlock terhadap pemegang saham berimbang dalam Perseroan Terbatas.

 

 

Metode Penelitian

         Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hal ini dikarenakan inti utama dari penelitian diawali dengan pengumpulan norma-norma, kaidah-kaidah dan juga teori-teori, yang bertugas untuk mensistematisasikan hukum yang berlaku. Kumpulan data yang digunakan adalah data sekunder, yang terbagi menjadi dua sumber yaitu sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Selanjutnya, metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan analisis (analytical approach). Pendekatan penelitian tersebut menggunakan penelitian dokumenter dengan analisis kualitatif sebagai metode eksplorasi bahan hukum untuk menemukan makna interpretatif dan menarik benang merah dari permasalahan yang muncul. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas hukum yang digunakan terkait fenomena deadlock dan kepemilikan berimbang yang dialami pemegang saham PT. Analisis kepastian hukum tidaklah mudah dan penggunaan logika hukum sangat penting dalam penelitian yaitu fokus penelitian ini terutama evaluasi argumen dan pernyataan yang benar mengenai pengembangan kriteria. Penelitian tersebut bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang hukum secara keseluruhan. Dalam kerangka ini, peran logika deduktif sangat dibutuhkan. Logika deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum ke kasus-kasus yang bersifat individual.

 

Hasil dan Pembahasan

Pengaturan Kepemilikan Berimbang dalam Perseroan Terbatas (PT)

          Menurut Soedjono Dirdjosisworo, PT adalah badan hukum yang berdasarkan hasil perjanjian untuk memulai kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya dibagi menjadi saham dan memenuhi kualifikasi yang ditetapkan UU PT (Dirdjosisworo, 2001). Selanjutnya, H.M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa PT adalah perusahaan berbadan hukum yaitu “perseroan”, bukan “persekutuan” karena modalnya terdiri dari saham-saham yang dimiliki (Agustini, 2022). Menurut Zaeni Asyhadie, PT adalah jenis perusahaan yang dulunya dikenal dengan Naamloze Vennootschap (NV). Kata “terbatas” pada PT merujuk pada kewajiban yang hanya eksklusif pada nominal saham yang dimiliki oleh pemegang saham. Menurut Abdulkadir Muhammad, kata “perseroan” merujuk suatu prosedural pembagian modal dan pembagian ke dalam wujud saham, sedangkan istilah “terbatas” merujuk pada determinasi responsibilitas pemegang saham terhadap jumlah saham yang dimiliki (Kurniawan & Yuspin, 2023). PT adalah perusahaan yang dilegalkan dan berbadan hukum. PT juga bisa dijelaskan sebagai konsorsium saham yang didirikan melalui peraturan undang-undang dan diakui sebagai sebuah entitas bisnis oleh pengadilan. Selain itu, menurut R. Ali Rido, PT adalah jenis perusahaan yang didirikan oleh beberapa orang dengan perjanjian hokum (Dharma Pura & Budiana, 2018) Dalam perusahaan, modal terbagi atas himpunan saham dan setiap individu dapat memperoleh satu atau lebih beberapa saham dengan determinasi responsibilitas tergantung jumlah saham yang dimiliki.

          Perkembangan sejarah peraturan PT menunjukkan bahwa di Indonesia (saat itu masih Hindia Belanda) terdapat masa dimana peraturan tidak berkembang secara signifikan sejak tahun 1848 ketika KUHD yang berdasarkan asas concordantiebeginsel. Pada tahun 1995 diberlakukan UU No. 1 tahun 1995 tentang PT untuk pertama kalinya. Kemudian, peraturan PT diamandemen untuk kedua kalinya dengan UU No. 40 Tahun 2007. Fakta bahwa telah terjadi dua kali perubahan peraturan tentang PT menunjukkan adanya perbedaan karakter yang muncul dalam menghadapi kegiatan ekonomi yang berubah-ubah dan bergerak cepat. Perusahaan dalam bentuk PT didirikan berdasarkan perjanjian dan merupakan badan hukum yang didirikan dan dijalankan dengan keseluruhan saham sebagai modal serta memenuhi kualifikasi yang ditetapkan dalam regulasi serta peraturan turunannya. Oleh karena itu, PT mengacu pada jenis badan usaha yang memiliki struktur hukum dan didirikan oleh sekelompok orang dengan modal tetap yang terbagi dalam saham. Para anggota perusahaan dapat memiliki satu atau lebih saham dan responsibilitas mereka hanya dibatasi oleh porsi saham yang mereka miliki.

          Jarang ditemukan situasi di mana dua pemegang saham memiliki 50% saham perusahaan dengan proporsi yang sama. Hal ini disebabkan PT memiliki lebih dari dua pemegang saham dan tidak ada konfrontasi kepentingan di antara mereka. Jika hanya ada dua pemegang saham dan tidak ada pertikaian antar kepentingan, tidak ada problema. PT sebagai badan hukum terikat sejumlah hak dan kewajiban layaknya manusia. Seorang manusia dapat diberi suatu personalitas hukum karena manusia memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan hukum. Ada juga badan hukum lainnya, yaitu semua subjek yang terikat hak dan kewajiban sesuai dengan peraturan hukum dan disebut sebagai badan hukum. Namun, definisi badan hukum ini tidak diuraikan secara memadai dalam peraturan umum atau dalam KUH Perdata. Istilah rechtpersoon tidak muncul dalam substansi IX Buku III KUHPerdata. Namun, bab ini mendefinisikan rechtpersonalijkheid atau personalitas hukum, yaitu kedudukan orang hukum sebagai subjek hukum. Bukti keberadaan badan hukum dibuktikan melalui teori-teori yang menganalisis badan hukum, seperti teori fiksi Von Savigny, teori harta kekayaan bertujuan Brinz, teori organ dari Von Gierke, teori leer van het ambtelijk vermogen, teori kekayaan bersama, teori kenyataan yuridis, serta teori Leon Duguit.

          Friedrich Carl Von Savigny yang mengemukakan teori fiksi menyatakan bahwa badan hukum adalah hasil ciptaan manusia, yaitu pemerintah dan negara. Badan hukum hanyalah sebuah konsep abstrak, tetapi manusia menciptakannya sebagai badan hukum dan diakui secara sah dengan cara yang sama seperti individu manusia. Dalam pandangan Savigny, hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa subjek hukum dapat dianggap sebagai subjek hukum yang sama dengan individu, karena ada manusia yang berperan dalam mendukung keberadaan subjek hukum tersebut, yang muncul pada subjek hukum dan yang dapat dimasukkan ke dalam subjek hukum. Teori kepemilikan yang dikemukakan oleh A. Brinz merupakan teori kepemilikan dan telah membuka konsep kepemilikan kekayaan untuk didiskusikan. Brinz berpendapat bahwa hanya manusia secara individu yang memiliki kapasitas untuk menjadi subjek hukum. Badan hukum tidak dapat menjadi subjek hukum, oleh karena itu hak-hak yang diperuntukkan kepada badan hukum adalah kedaulatan yang bersifat non-hukum. Oleh sebab itu, kekayaan badan hukum adalah kekayaan yang terikat pada tujuan tertentu dan dimiliki secara terpisah dari pemiliknya. Pasal ini menyatakan bahwa badan hukum tidak diakui sebagai badan hukum dan oleh karena itu kedaulatannya terpisah dari hak individu yang menjalankan badan hukum.

          Teori lainnya adalah teori organ yang diutarakan oleh Otto von Gierke. Teori ini menyatakan bahwa subjek hukum mirip dengan manusia dan menjadi subjek yang nyata dalam konteks hukum. Organisasi hukum menjadi sebuah entitas yang dapat mengekspresikan niat mereka melalui instrumen dan struktur mereka. Keberadaan personalitas hukum bukanlah sesuatu yang tidak nyata. Teori keempat dikenal sebagai Teori Kekayaan Bersama. Menurut penjelasan Rudolf von Jhering, badan hukum bukanlah suatu badan atau organisasi yang abstrak, melainkan kumpulan individu. Dalam hal ini, hak dan kewajiban badan hukum adalah kedaulatan gabungan dari semua anggotanya dan badan hukum bertanggung jawab atas hak dan kewajiban tersebut. Teori kelima mengacu pada Teori Kenyataan Yuridis. Teori ini pertama kali dipresentasikan oleh E.M. Meijers. Menurut Meijers, badan hukum adalah sesuatu yang nyata, konkret dan berwujud, meskipun tidak dapat dijamah, dan bukan hanya sekedar fiksi. Namun dalam konteks hukum, badan hukum dianggap sama dengan individu manusia hanya dalam aspek hukumnya saja. Dari berbagai teori yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut teori fiksi karena teori ini relevan dengan konteks kelembagaan Indonesia.

          Penelitian ini memanfaatkan teori kepastian hukum. Adapun menurut Soedjono Dirdjosisworo, kepastian hukum ialah hal yang mutlak diperlukan agar hukum dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Keadilan juga merupakan panduan bagi isi hukum yang benar. Oleh karena itu, pendekatan yang fleksibel diperlukan untuk memastikan bahwa aturan hukum dapat ditanggapi secara baik oleh pihak pemangku kepentingan yang berbeda sehingga kepastian hukum tidak hanya sekedar formalitas dan mencakup unsur keadilan yang merata. Kedua, E. Adamson Hobel dan Karl Llewellyn juga berpendapat bahwa kepastian hukum memiliki prinsipil untuk dapat menjaga kesatuan masyarakat. Tantangan-tantangan tersebut adalah: 1) mengatur interaksi sosial antar individu dalam masyarakat dengan menentukan aturan-aturan yang diperbolehkan dan dilarang; 2) menetapkan sistem otoritas dan secara hati-hati menentukan siapa yang secara sah dapat menegakkan dan siapa yang dapat memilih sanksi yang akurat dan berdaya guna; 3) menetapkan sistem kepastian hukum berupa sistem hukum yang dapat secara sah menegakkan dan memilih sanksi yang tepat; serta 4) mengadaptasikan hubungan-hubungan sosial terhadap kondisi-kondisi kehidupan yang terus berubah. Teori kepastian hukum berfokus pada tiga tujuan utama: keadilan, kemanfaatan, dan kepatuhan terhadap hukum. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk menggapai intensi tersebut melalui pelaksanaan RUPS dengan dua pemegang saham dalam proporsi yang seimbang.

          PT sebagai badan hukum berfungsi sebagai tempat di mana kegiatan organisasi perusahaan dilakukan dengan status badan hukum yang mampu melakukan aksi hukum yang hanya dapat dilakukan oleh individu yang bersangkutan di dalamnya. Badan hukum tidak terbatas pada entitas pemerintah, jika secara internal tidak ada badan hukum, maka tidak dapat disebut sebagai badan hukum. Badan hukum tidak dapat berfungsi tanpa adanya individu yang bertanggung jawab untuk mengelolanya. Hal ini karena badan hukum adalah benda mati dan tidak dapat disamakan dengan manusia. Namun, sebuah badan hukum memiliki kapasitas untuk bertindak menurut hukum tertentu yang dapat disamakan dengan manusia. Misalnya, badan hukum memiliki kapasitas untuk membuat kontrak dengan badan hukum lainnya. Namun, terdapat segenap tindakan hukum yang tidak dapat dilaksanakan oleh badan hukum, seperti pernikahan. Jika seseorang menikah, hal ini dianggap sah secara hukum. Lebih lanjut, PT memiliki kapasitas untuk melakukan aksi hukum dan didirikan oleh para individu dengan tujuan untuk menjadi perusahaan yang sukses (Kandiyas et al., 2023). Untuk mencapai tujuan ini, kerja sama semua individu diperlukan untuk memajukan perusahaan.

          PT adalah badan hukum dengan modal saham yang terdiri dari saham-saham. Pemilik saham ini adalah perorangan atau badan hukum, yang sering disebut sebagai pemegang saham. Sebagai badan hukum, PT memiliki konsekuensi memberikan jaminan kepada kreditur terhadap aset perusahaan. Hal ini karena aset sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan dan perusahaan bertanggung jawab atas utang-utangnya. Selain itu, pihak pemegang saham tidak dapat menarik diri dari aset perusahaan atau menggunakan aset perusahaan sebagai jaminan utang pemegang saham. Pendiri PT memiliki saham di perusahaan yang didirikan dan saham yang dimiliki dapat mengatur kebijakan perusahaan untuk mencapai intensi yang dikehendaki oleh para pendiri atau pemegang saham. Badan hukum berada di bawah kewenangan orang perorangan yang saling berkewajiban untuk melakukan tindakan hukum untuk mewujudkan pendirian. Persyaratan minimal dua orang pendiri telah menimbulkan permasalahan mengenai kewajiban dan tanggung jawab hukum seorang pendiri terhadap pendiri lainnya. Hingga saat ini, masih belum ada regulasi yang secara tegas terkait hubungan tersebut. Namun, hubungan hukum antara para pendiri PT dapat disimpulkan dari niat untuk mendirikan perusahaan yang berkepribadian hukum. Hal ini dikarenakan semua tindakan yang dilakukan pendiri ditujukan untuk mencapai intensi dan visi yang ditargetkan oleh perusahaan.

            Pasal 7 ayat (1) UU PT mengatur bahwa PT dapat diwujudkan melalui akta notaris yang dirancang dalam bahasa Indonesia oleh sekurang-kurangnya dua orang. Pasal ini menetapkan bahwa pendiri PT haruslah minimal dua orang dan orang-orang tersebut harus menyetor modal ke dalam perseroan, yang kemudian dikonversi menjadi saham dan didistribusikan kepada para pemegang saham. Namun, tidak ada ketentuan tambahan terkait kepemilikan saham minimum dua orang. Pasal 7 ayat (2) lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang yang mendirikan perusahaan harus berpartisipasi dengan membeli saham di perusahaan pada saat pendirian. Definisi pendiri berdasarkan substansi UU adalah orang yang dengan sengaja berpartisipasi dalam pendirian perusahaan. Orang-orang ini kemudian melanjutkan aksinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam UU untuk mengesahkan pendirian. Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa seorang pemegang saham harus membeli saham dari dua pendiri tanpa memberikan informasi mengenai jumlah saham yang akan dibeli. Dengan demikian, PT dengan hanya dua pemegang saham yang masing-masing individu memiliki jumlah saham yang sama.

          Ini berarti tidak ada pemegang saham mayoritas atau minoritas dalam sebuah perusahaan. Hal ini menyebabkan masalah dalam mekanisme penetapan kesepakatan dalam RUPS dan menyulitkan pengambilan keputusan tanpa adanya pemegang saham mayoritas. Jika keputusan diambil melalui negosiasi bersama, keputusan yang diambil adalah keputusan yang disetujui oleh mayoritas pihak. Adapun Pasal 1 angka 1 UU PT jo. Perpu Cipta Kerja berbunyi “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil”. Oleh karena itu, komponen-komponen PT mencakup: 1) PT memiliki status sebagai entitas hukum; 2) Pemegang saham memiliki kewajiban yang terbatas terhadap entitas perseroan; 3) Didirikan berdasarkan perjanjian tertulis; 4) Melaksanakan kegiatan bisnis; 5) Modal disusun dalam bentuk saham; 6) Masa berlaku perusahaan dapat tidak memiliki batas waktu tertentu; 7) Mengenai badan hukum perseorangan; serta 8) Memenuhi kualifikasi bagi sektor usaha mikro kecil.

          Menurut definisi di atas, PT didirikan berdasarkan perjanjian. Artinya, dalam proses pendiriannya dilakukan secara sukarela atas dasar perjanjian sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata. Masing-masing pihak yang mendirikan PT melakukan perjanjian untuk mendirikan PT dengan kesepakatan mereka sendiri. Dimungkinkan juga bagi seseorang untuk mendirikan perusahaan jika itu adalah bisnis mikro atau kecil. Pasal 7 ayat (1) UU PT menuliskan PT hanya memperbolehkan dua pemegang saham yang memiliki jumlah saham yang sama. Hal ini menyebabkan sejumlah masalah dalam RUPS, termasuk deadlock dalam proses pengambilan keputusan. Jika salah satu pemegang saham memiliki konfrontasi dengan pemegang saham lainnya, maka keputusan tidak dapat dijalankan. Hal ini karena hanya ada dua pemegang saham. Masalah lainnya adalah persyaratan kuorum RUPS, yaitu kehadiran lebih dari 50% pemegang saham. Di sisi lain, jika hanya ada dua pemegang saham, maka akan menjadi mustahil untuk menyelenggarakan RUPS.

            UU PT menetapkan batas minimum partisipasi dalam RUPS. Anggaran dasar perusahaan hanya dapat mengatur jumlah peserta RUPS yang lebih besar dari yang ditetapkan oleh UU PT. Hasil kesepakatan RUPS juga dapat diloloskan jika hak suara mencapai paling sedikit 50% dari total kehadiran dalam RUPS. UU Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU PT, RUPS didefinisikan sebagai organ perseroan yang memperoleh kedaulatan yang tidak diperuntukkan pada direksi atau dewan komisaris sesuai dengan ketentuan UU ini dan/atau Anggaran Dasar. Namun demikian, meskipun adanya penegasan terhadap kewenangan RUPS oleh UU, hal ini tidak bermakna bahwa RUPS dapat menjalankan fungsi dan kedaulatan yang diperuntukkan kepada Direksi dan dewan komisaris menurut UU. Dengan mengacu pada definisi RUPS dalam Pasal 1 angka 4 UU PT, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, RUPS adalah sebuah pertemuan dan perlu dicatat bahwa ada perbedaan antara tempat pertemuan dan pemegang saham pribadi. Jadi, dalam hal ini, seseorang dapat menjadi pemegang saham utama, tetapi orang tersebut tidak memiliki kekuasaan tertinggi dalam perusahaan. Situasi ini terjadi karena kekuasaan tertinggi hanya muncul ketika RUPS diadakan yang memenuhi persyaratan formal tertentu yang ditetapkan UU PT.

            Kedua, kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh rapat merupakan sisa-sisa kekuasaan yang masih ada berdasarkan teori residual. Hak-hak ini pada basisnya berasal dari saham yang dipegang oleh pemegang saham perusahaan. Perlu diketahui bahwa pemegang saham adalah individu yang memperoleh porsi saham sebuah perusahaan sehingga timbul hak agar terlibat dalam mekanisme penetapan keputusan. Secara teoritis, pemegang saham memiliki wewenang untuk melakukan tindakan apa pun sehubungan dengan saham yang mereka miliki. Ketiga, upaya dapat dilakukan untuk mendelegasikan wewenang forum rapat kepada badan lain seperti dewan direksi atau dewan komisaris. Aturan yang mengatur pendelegasian wewenang dapat dirinci dalam UU PT dan/atau Anggaran Dasar PT, atau keputusan RUPS dapat digunakan. Delegasi kewenangan biasanya terdiri dari hak-hak yang diberikan dengan jangka waktu tertentu dan ada juga yang diberikan secara permanen. Contoh kewenangan pendelegasian permanen meliputi pengelolaan PT secara umum dan tugas perwakilan perusahaan di dalam maupun di luar pengadilan. Namun, pemberian tanggung jawab sementara dapat ditarik kembali kapan saja. Dalam konteks ini, RUPS berperan sebagai wadah paling penting bagi perusahaan.

            RUPS diselenggarakan untuk memutuskan sejumlah kebijakan perusahaan, menggabungkan atau membubarkan perusahaan dan mengadakan rapat tahunan perusahaan. Keberadaan RUPS merupakan badan korporasi yang, berdasarkan hukum yang berlaku dan anggaran dasar, memperoleh kewenangan tertentu yang tidak diperuntukkan kepada manajemen atau dewan komisaris. Menurut Pasal 88 ayat (1) UU PT, RUPS dapat diadakan untuk memperbaiki anggaran dasar. Agar RUPS dapat dianggap sah, sekurang-kurangnya dua pertiga dari keseluruhan porsi hak suara yang eksis atau diwakili dalam forum, dan hasil keputusan yang diambil harus disepakati oleh sekurang-kurangnya dua pertiga keseluruhan hak suara (Marpaung, 2019). Namun demikian, jika Anggaran Dasar mensyaratkan kuorum yang lebih tinggi untuk presensi dan/atau pencapaian kesepakatan dalam RUPS, maka ketentuan ini akan berlaku. Apabila kuorum yang digarikan tidak berhasil, maka dapat diadakan untuk forum kedua. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 88 ayat (3) UU PT, forum kedua dianggap absah dan berwenang memberikan hasil kesepakatan jika dalam RUPS paling sedikit 3/5 bagian dari jumlah keseluruhan presensi hak suara atau penunjukkan repsentasi.

            Berdasarkan Pasal 89 ayat (1) UU PT, RUPS untuk mengambil keputusan mengenai aktivitas merger, peleburan, take over, pemecahan, pemisahan, pemekaran, permohonan pernyataan pailit, ekstensi waktu berdiri, hingga pembubaran Perseroan dapat diproses jika presensi pemegang saham dalam RUPS minimal 3/4 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dan ketentuan anggaran dasar Perseroan tidak menggariskan syarat lainnya. Kecuali anggaran dasar Perseroan mengatur persyaratan kuorum dan/atau keputusan RUPS, hasil kesepakatan adalah legal jika minimal 3/4 bagian dari keseluruhan hak suara menyetujui hasil tersebut. Pasal 89 ayat (3) UU PT mengatur bahwa forum kedua dianggap legal dan berhak memutuskan kesepakatan apabila presensi mencapai minimal 2/3 bagian dari total hak suara pemegang saham. Keputusan menjadi sah jika disepakati minimal 3/4 dari total presensi hak suara atau yang dibantu oleh representatif. Namun demikian, hal ini dapat berbeda jika Anggaran Dasar menetapkan kuorum kehadiran yang lebih tinggi dan/atau persyaratan lain untuk pengambilan keputusan dalam RUPS. Berdasarkan peraturan ini, kuorum untuk rapat dan keputusan RUPS harus melebihi setengah dari jumlah pemegang saham. Peraturan tersebut juga berlaku untuk penerapan prinsip mayoritas wajib untuk aksi korporasi yang penting, seperti perubahan anggaran dasar.

Sebagai hasilnya, keberhasilan yang signifikan dicapai dalam mengawasi penerapan aturan tersebut pada saat itu dengan menolak menyetujui anggaran dasar yang bertentangan dengan prinsip-prinsip di atas. Dalam penerapan prinsip supermayoritas, sebuah keputusan hanya dapat diambil dalam rapat pemegang saham jika melebihi ambang batas tertentu, seperti 2/3 atau 3/4 dari jumlah suara yang dikeluarkan. Oleh karena itu, sejauh ini kuorum atau suara mayoritas sederhana (lebih dari setengah jumlah suara yang diberikan) belum dianggap cukup. Jika situasi ini terus berlanjut, PT akan menghadapi konsekuensi yang tidak menguntungkan. Misalnya, pengurus tidak lagi dapat mengelola PT secara efektif dan kemacetan akibat masalah yang ada pasti akan muncul. Selain itu, jika kepentingan kedua pemegang saham tidak sejalan, perusahaan tidak akan dapat bertahan. Karena kedua pemegang saham memiliki hak untuk mengambil keputusan, perusahaan akan terpengaruh jika deadlock terus berlanjut. Dalam kasus seperti itu, pengadilan negeri berwenang untuk memerintahkan pembubaran perusahaan dengan alasan bahwa ada alasan mengapa perusahaan tidak dapat terus ada.

 

Implikasi Deadlock terhadap Pemegang Saham Berimbang dalam Perseroan Terbatas (PT)

          PT ialah badan hukum yang memperoleh kekayaan dalam wujud permodalan saham. Pemegang saham terdiri dari individu atau perusahaan. Aktivitas PT terpisah dan berbeda dari pemegang saham perusahaan. Karakteristik dari PT sebagai “legal entity” memiliki dampak seperti memberikan jaminan kepada kreditor kepada perusahaan atas aset perusahaan, karena semua aset dimiliki oleh perusahaan dan perusahaan bertanggung jawab atas hutang-hutangnya. Aset perusahaan tidak dapat ditarik oleh pemegang saham atau digunakan sebagai jaminan untuk pelunasan utang pemegang saham. Saham sendiri adalah bentuk nyata dari modal dalam sebuah perusahaan. Saham adalah hak kepemilikan atas perusahaan yang dipegang oleh pemegang saham yang diwujudkan dalam format nomor atau angka pada sertifikat saham yang diterbitkan oleh perusahaan. Selanjutnya, pemegang saham adalah individu perseorangan atau perusahaan badan hukum lainnya yang ikut serta dalam pembiayaan perusahaan dengan menawarkan penjualan saham.

   Substansi Pasal 51 ayat (1) UU PT, tercantum kedaulatan yang diberikan kepada pemegang saham, seperti: 1) Menerima pembagian keuntungan (deviden) dari saham yang mereka miliki; 2) Berpartisipasi dalam RUPS; 3) Berhak memberikan kontribusi pendapat di dalam forum; 4) Mendapatkan pengembalian payment jika saham telah dilunasi sepenuhnya. Pemegang saham terikat hak kepemilikan terhadap porsi saham yang dimilikinya. Subjek hukum pemegang saham memiliki hak dan tanggung jawab terkait kepemilikan saham. Setiap orang dapat dipertahankan haknya oleh pemegang saham. Hubungan perikatan antara pemegang saham serta tanggung jawab dan kewajiban mereka terhadap perusahaan dan rekan pemegang saham lainnya ditetapkan oleh peraturan hukum yang berlaku dan ketentuan Anggaran Dasar Perseroan. Pemilik saham memiliki hak kepemilikan atas barang bergerak yang bisa dilindungi oleh semua orang. Menurut Pasal 3 ayat (2) UU PT, kerugian perusahaan termasuk kepailitan, disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pemegang saham yang bertanggung jawab. Tetapi dalam praktiknya, menerapkan pasal tersebut tidak sesederhana yang telah dinyatakan. Faktanya, kehadiran UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepalitan) menjadi acuan utama dalam hal penanganan kasus kepailitan PT di Indonesia.

Sejumlah kendala sering dijumpai dalam pembuktian unsur-unsur kesalahan pemegang saham dan kepailitan yang terdapat dalam UU Kepailitan. Selain itu, tidak ada ketentuan yang jelas tentang bagaimana mengejar tanggung jawab sejauh menyangkut aset pribadi pemegang saham. PT memiliki pemegang saham mayoritas dan minoritas. Pemegang saham utama biasanya memiliki lebih dari setengah total saham perusahaan (Butar-butar et al., 2018). Namun, mereka juga dapat mempunyai < 50% atau 40%. Misalnya, individu lain tidak memiliki > 40%, tetapi hanya 10%-15%. Kepemilikan minoritas adalah oposisi dari kepemilikan mayoritas. Faktanya, kepemilikan minoritas mempunyai proporsi yang relatif kecil dari saham perusahaan, misalnya hanya 5% dari seluruh saham. Selain divergensi porsi saham oleh kepemilikan saham mayoritas dan minoritas, ada perbedaan lain. Kepemilikan utama utama memperoleh kuasa penuh terhadap operasional perusahaan. Mereka memiliki hak untuk mengambil keputusan penting, seperti menunjuk direksi perusahaan dan mengawasi jalannya perusahaan, serta menentukan gaji dan angka tunjangan manajer perusahaan dan menentukan jumlah dividen (Sudaryat, 2020). Kepemilikan saham minoritas tidak memiliki kuasa atas perusahaan sebagaimana yang diperuntukkan oleh mayoritas.

Ada berbagai kategori pemegang saham perusahaan, yang dapat ditentukan oleh jumlah saham yang mereka pegang. Klasifikasi yang paling umum digunakan untuk membagi pemegang saham perusahaan adalah berdasarkan ukuran kepemilikan mereka. Selain kepemilikan saham, ada perbedaan lain antara kepemilikan saham mayoritas dan kepemilikan saham minoritas. Perbedaan ini adalah kekuatan untuk mengendalikan perusahaan. Kepemilikan minoritas memiliki porsi saham yang relatif kecil namun tetap memiliki kendali atas operasional perusahaan. UU PT mengatur bahwa setiap pemegang saham memiliki satu suara dalam proses pengambilan keputusan atau one share one vote kecuali digariskan lain dalam substansi Anggaran Dasar PT (Pasal 84 ayat (1) UU PT) (Wiwin Ariesta, 2019). Namun demikian, perbedaan kepemilikan saham di antara para pemegang saham memunculkan pihak mayoritas dan minoritas. Semua pihak diberikan hak suara yang proporsional dengan porsi saham yang terikat dan mereka pegang. UU PT juga melindungi hak suara kepemilikan saham secara proporsional dengan porsinya masing-masing. Selain itu, ada ketentuan perusahaan memberikan perlindungan bagi kepemilikan minoritas. Prinsip satu suara per saham memungkinkan pemegang saham minoritas untuk berkontribusi kepada perusahaan dengan satu atau lain cara.

Para pendiri PT berperan sebagai pemegang saham perusahaan yang mereka dirikan dan merupakan pihak yang menentukan arah kebijakan perusahaan sehingga dapat meraih intensi yang dikehendaki oleh pemegang saham termasuk pendiri PT. Pendiri adalah orang-orang yang bertanggung jawab secara pribadi dan secara bersama-sama melakukan kegiatan yang sah menurut hukum untuk mencapai tujuan organisasi PT. Sehubungan dengan ketentuan bahwa harus ada minimal dua orang pendiri PT, timbul pertanyaan mengenai tanggung jawab dan kewajiban dari salah satu pendiri terhadap aksi hukum yang diselenggarakan oleh pendiri lainnya. Sampai saat ini, masih belum ada substansi regulasi nasional yang secara eksplisit menegaskan ketentuan hubungan tersebut. Namun, korelasi hukum antar pihak dapat disimpulkan dari niat pendiri untuk mendirikan perusahaan yang memiliki personalitas hukum.

Pasal 7 ayat (1) UU PT mengatur bahwa pendirian perusahaan wajib dilakukan oleh setidaknya dua orang dengan menggunakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris dalam bahasa Indonesia. Pasal ini menegaskan bahwa PT harus memiliki setidaknya dua orang pendiri yang memasukkan modal ke dalam perusahaan, yang kemudian didistribusikan kepada individu dalam bentuk saham. Namun, tidak ada ketentuan lain yang menjelaskan bagaimana cara memiliki minimal dua pemegang saham. Menurut Pasal 7 ayat (2), seseorang yang merupakan pendiri perusahaan harus memiliki saham di perusahaan pada saat pendiriannya. Pendiri adalah individu atau sekelompok individu yang dengan sengaja berpartisipasi dalam pendirian perusahaan. Individu kemudian akan melaksanakan strategi yang diperlukan untuk merealisasikan pendirian sesuatu sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh hukum. Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa hanya pendiri perusahaan yang harus membeli saham, tetapi tidak menyebutkan berapa banyak saham yang harus dibeli oleh kedua pendiri perusahaan. Ini berarti bahwa PT dengan hanya dua pemegang saham dapat memiliki porsi kepemilikan saham yang sama.

Akibatnya, tidak ada kepemilikan mayoritas dan kepemilikan minoritas, yang menjadi masalah karena dalam RUPS keputusan diambil secara musyawarah dan jika tidak tercapai kesepakatan, keputusan diambil oleh pemegang saham mayoritas Bunyi Pasal 1 angka 1 UU PT diterangkan bahwa PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan klausul perjanjian, modalnya berupa saham, dan wajib untuk memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam UU ini serta regulasi pelaksanaannya. Dengan begitu, terdapat beberapa unsur yang mengikat PT, yaitu: 1) PT memiliki status sebagai badan hukum; 2) Pemegang saham memiliki kewajiban terbatas dalam hal tanggung jawab; 3) Aktivitasnya berdasarkan perjanjian tertentu; 4) Melakukan kegiatan usaha sebagai fokus utama; 5) Modal terbagi dalam bentuk saham; serta 6) Durasi keberlangsungan perusahaan dapat tidak memiliki batasan waktu. Menurut definisi di atas yang menyatakan bahwa pendirian PT dilakukan melalui perjanjian, hal ini menunjukkan bahwa pembentukan PT dilakukan melalui kesepakatan dan kontrak berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata (Wahyuni & Sari Dalimunthe, 2022). Pendirian PT diselenggarakan melalui kontrak di mana para pendiri saling berjanji untuk mendirikan PT.

Menurut Pasal 7 ayat (1) UU PT, melarang ada lebih dari dua kepemilikan saham yang mempunyai porsi saham yang sama di PT. Hal ini dapat memicu problematika seperti kepelikan dalam mekanisme penetapan kesepakatan dan deadlock dalam RUPS. Jika salah satu pemegang saham berkonfrontasi dengan pemegang saham lain selama forum berlangsung, maka keputusan tidak tercapai. Hal ini dikarenakan hanya ada dua orang yang memiliki saham di perusahaan tersebut. Ada juga masalah lain mengenai kuorum RUPS. Di sana, ada persyaratan bahwa setidaknya setengah dari pemegang saham harus hadir dalam rapat. Namun, RUPS tidak bisa diselenggarakan apabila hanya ada dua pemegang saham yang eksis. UU PT menetapkan jumlah minimum peserta RUPS. Tindakan pertama yang harus dilakukan adalah meninjau dan menyesuaikan kuorum RUPS merujuk pada ketentuan yang diatur dalam UU PT. Di masa lalu, ada beberapa pandangan yang berbeda tentang RUPS sebagai bagian dari konstitusi perusahaan.

Seperti yang dicatat oleh Rudi Prasetiya, pandangan klasik dianggap sempit dan terbatas, sementara pandangan kontemporer jauh lebih luas (Kusuma, 2022). Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut. perusahaan dianggap ada hanya untuk kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu, pandangan klasik melihat ketiga lembaga tersebut dalam posisi top-down (untergeorgnet), dengan kekuasaan berpuncak pada RUPS, dengan dewan komisaris di bawahnya dan direksi di bagian bawahnya, namun pandangan ini sekarang sudah ditinggalkan. Menurut teori-teori terbaru, keberadaan perusahaan tidak hanya untuk kepentingan pemegang saham. Menurut Pasal 1 angka 4 UU PT, RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar". Namun demikian, meskipun Undang-Undang memberikan wewenang kepada RUPS, bukan berarti RUPS dapat melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan Undang-Undang kepada direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan definisi RUPS dalam Pasal 1 angka 4 UUPT, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: pertama, badan ini adalah rapat.

Perlu dicatat bahwa rapat ini berbeda dengan pemegang saham perorangan. Oleh karena itu, kepemilikan mayoritas sekalipun tidak berkuasa lebih tinggi secara pribadi di perusahaan. Pimpinan tertinggi hanya terbentuk ketika RUPS diadakan, dan forum ini harus menggenapi kualifikasi formal yang ditetapkan dalam UU PT. Kedua, kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh forum RUPS merupakan sisa-sisa kekuasaan yang didasarkan pada teori residu. Tanggung jawab ini pada dasarnya berasal dari situasi di mana pemegang saham memiliki kepentingan kepemilikan dalam perusahaan. Pemilik perusahaan adalah orang yang memiliki saham. Secara akademis, individu sebagai kepemilikan saham berhak untuk mengambil aksi apa pun atas porsi kepemilikan ini. Ketiga, rapat dapat diwakili representatif kekuasaannya kepada badan lain, seperti direksi atau dewan komisaris. Pembagian kekuasaan yang diwakili dapat diatur oleh peraturan PT atau keputusan RUPS. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh representatif dapat bersifat sementara atau permanen dalam praktiknya. Pendelegasian wewenang yang bersifat permanen terjadi ketika otorisasi diberikan untuk manajemen umum perusahaan dan tugas mewakili perusahaan di pengadilan. Namun, pendelegasian wewenang sementara dapat ditarik kapan saja.

Menurut konteks ini, RUPS adalah forum terpenting perusahaan dan diadakan untuk memutuskan strategi perusahaan, merger, pembubaran, dan rapat umum tahunan. RUPS adalah organ perusahaan yang memperoleh kekuasaan yang tidak diperuntukkan pada direksi atau dewan komisaris berdasarkan isi UU ini dan/atau Anggaran Dasar. Rumusan ini memasukkan ketentuan Pasal 88 ayat (1) UUPT, yang menjelaskan bahwa forum dapat diadakan untuk memperbaiki anggaran dasar jika minimun presensi mencapai 2/3 dari keseluruhan hak suara dan minimal 2/3 representatif yang setuju. Namun, jika anggaran dasar mengatur kuorum absensi dan pengambilan kesepakatan yang lebih tinggi, maka hal ini yang diutamakan. Pasal 88 ayat (2) UU PT juga mengatur bahwa forum kedua dapat diselenggarakan apabila kuorum presensi tidak terwujud. Pasal 88 ayat (3) UU PT mengatur bahwa forum kedua menjadi legal dan berkuasa dalam mekanisme pengambilan keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 3/5 dari total hak suara yang eksis dan diwakili oleh representatif. Keputusan adalah legal jika setidaknya 2/3 keseluruhan suara telah mendukungnya. Namun, anggaran dasar perusahaan dapat mengatur lebih banyak persyaratan kuorum dan prosedur kesepakatan yang diperlukan dalam rapat.

Prinsip super-mayoritas berarti bahwa keputusan dalam RUPS hanya akan dianggap sah jika suara yang setuju melebihi porsi tertentu, seperti lebih dari 2/3 atau lebih dari 3/4 dari jumlah hak yang disuarakan. Oleh karena itu, keberadaan kuorum atau suara mayoritas standar (lebih dari setengah suara yang setuju) masih dianggap tidak mencukupi; kriteria kuorum dalam UUPT juga ditujukan untuk memberikan upaya defensif terhadap hak-hak kepemilikan minoritas. Sistem untuk membatasi kuota kepemilikan saham diatur dalam Pasal 54 ayat (4) UU PT. Jika perusahaan ingin membatasi jumlah hak suara, hal ini harus dinyatakan dalam anggaran dasar perusahaan. Menurut ketentuan tersebut, seorang kepemilikan saham dilarang untuk mempunyai lebih dari enam suara apabila modal saham terdiri minimal 100 saham, dan dilarang lebih dari tiga suara jika modal saham < dari 100 saham. Namun, ketentuan mengenai determinasi hak suara berdasarkan sistem kuota kemudian dicabut dan digantikan oleh UU No. 4 Tahun 1971, yang mengadopsi sistem satu saham satu suara. Peraturan ini adalah Pasal 54 Stbl. 1847:23. Ini adalah konsep yang diimplementasikan oleh UU No. 1 tahun 1994, yang kemudian dikembangkan dan menjadi UU PT. Dengan menerapkan prosedur satu saham satu suara, tiap pemegang saham memiliki hak yang seimbang, kecuali dinyatakan lain dalam Anggaran Dasar.

Kepemilikan saham memiliki hak suara yang sebanding dengan jumlah saham yang mereka pegang. Oleh karena itu, dapat diutarakan bahwa hukum perusahaan tidak menghalangi kepemilikan saham yang memiliki jumlah saham yang signifikan untuk mendapatkan hak suara yang lebih banyak, sesuai dengan Pasal 54 UU PT, yang menyatakan bahwa perusahaan dapat mengadakan rapat umum jika dua pertiga dari jumlah saham yang dipegang oleh individu yang eksis. Ketiga ayat tersebut juga mengacu kepada kualifikasi kuorum, yang menyatakan RUPS dapat diselenggarakan jika 2/3 dari jumlah seluruh saham dengan presensi hak suara. Jika target ini tidak tercapai, forum kedua harus diselenggarakan, dengan ketentuan setidaknya 3/5 dari seluruh anggota hadir, yang melebihi tingkat kehadiran 50%. Dengan demikian, jumlah peserta yang diperlukan untuk menghadiri RUPS harus melebihi 50 persen dari jumlah total hak suara yang dimiliki oleh kepemilikan saham. Anggaran Dasar juga memuat aturan mengenai kuorum dan mekanisme pencapaian kesepakatan RUPS yang lebih tinggi. Dengan demikian, Anggaran Dasar dapat mengatur kuorum tersendiri untuk RUPS, namun kuorum tersebut harus melebihi ketentuan UUPT.

Jika terdapat dua kepemilikan saham dengan porsi saham yang sama yaitu 50%, maka RUPS tidak dapat dilangsungkan jika salah satu pemegang saham tidak eksis. Namun, bagi perusahaan yang berbentuk PT pada saat itu, perubahan tersebut sangat mendesak dan diperlukan RUPS. Namun, ada saja kendala yang membuat RUPS tidak dapat dilaksanakan karena peserta RUPS tidak mencapai kuorum. Dalam hal ini, pengadilan berhak membubarkan perusahaan karena hanya ada dua pemegang saham; jika terjadi deadlock dalam RUPS atau lebih awal dalam pengambilan keputusan dan salah satu pihak tidak hadir, RUPS tidak dapat dilakukan. Jika ada alasan mengapa perusahaan tidak dapat dilanjutkan, pengadilan dapat membubarkan perusahaan. Jika dua kepemilikan saham maju dengan kepentingan yang berbeda, perusahaan sulit memenuhi kedua kepentingan. Oleh karena itu, perusahaan akan mengalami kesulitan mengopersionalkan usahanya. Konflik kepentingan antara kepemilikan saham sering muncul dalam PT. Kepemilikan minoritas sering kali dipandang sebagai pihak yang memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kepemilikan minoritas selalu ditempatkan pada posisi yang lebih rendah daripada kepemilikan mayoritas dalam proses penetapan kesepakatan perusahaan. Situasi ini menjadi masalah ketika hanya ada dua pemegang saham di sebuah perusahaan dan kedua pihak memperoleh porsi saham yang setara. Akibatnya, tidak ada kepemilikan saham yang memiliki saham mayoritas atau minoritas. Jumlah minimum peserta yang diperlukan untuk RUPS harus ditentukan lagi dalam Pasal 86, 88, dan 89. Menurut Pasal 86 ayat (1), RUPS hanya dapat diselenggarakan jika regulasi atau anggaran dasar menetapkan kuorum tidak lebih dari satu. Kecuali ketentuan hukum menggariskan kuorum yang lebih tinggi, RUPS dapat dilangsungkan jika paling sedikit 1/2 keseluruhan eksistensi para pihak maupun dapat diwakili oleh representatif. Di sisi lain, Pasal 89 ayat (1) menguraikan bahwa forum yang ditujukan untuk menyetujui aktivitas penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, pengajuan pailit, perpanjangan eksistensi, pembubaran membutuhkan minimal 3/4 bagian dari jumlah seluruh saham yang hadir dan keputusan yang disetujui oleh paling sedikit 3/4 total presensi hak suara, kecuali anggaran dasar mengatur kualifikasi kuorum absensi yang lebih tinggi.

Selain itu, perusahaan sering memecah saham dengan komposisi yang sama. Pemecahan ini tidak hanya memengaruhi jumlah, tetapi juga setiap kepemilikan saham dalam perusahaan. Misalkan sebuah perusahaan terdiri dari dua orang dan sahamnya dibagi rata 50/50. Saham mereka sama, tidak lebih kecil atau lebih besar. Keduanya memiliki peran yang sama sebagai anggota dan anggota dewan direksi perusahaan. Posisi kedua pemegang saham sama: tidak ada pemegang saham yang memegang saham mayoritas. Tipe perusahaan seperti ini menyulitkan tercapainya kesepakatan dalam RUPS jika ada perbedaan pendapat. Setiap orang merasa memiliki kontribusi penting terhadap kapitalisasi perusahaan. RUPS dapat diselenggarakan untuk membahas pengalihan saham di antara kedua belah pihak. Namun, jika kedua belah pihak tetap berpegang teguh pada sahamnya masing-masing, maka akan sulit untuk mencapai kesepakatan dan RUPS akan menghadapi situasi deadlock. Sulit untuk mencapai kompromi.

Dalam hal ini, mungkin perlu meminta pengadilan untuk menetapkan kuorum RUPS. Kegagalan untuk melakukan hal tersebut akan sering mengakibatkan kedua pemegang saham terus mengoperasikan perusahaan dengan pandangan yang berbeda, yang akan semakin memperdalam perbedaan dan menyebabkan banyak perselisihan di masa depan. Oleh karena itu, pihak yang mendirikan PT harus mempertimbangkan dengan cermat pemecahan saham. Ada berbagai langkah yang dapat diambil, salah satunya adalah lebih disarankan untuk menyertakan lebih dari dua pemegang saham saat mendirikan perusahaan. Jika jumlah pemegang saham akan dibatasi, akan lebih baik jika salah satu dari dua pendiri memiliki lebih banyak saham. Para pendiri juga dapat membuat kesepakatan tentang ukuran kepemilikan saham berdasarkan tanggung jawab mereka kepada setiap pemegang saham, rencana investasi dan pengembangan, dan pemilihan calon direktur dan dewan komisaris. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan deadlock dalam proses pengambilan keputusan.

Pasal-pasal lain juga menegaskan bahwa kuorum untuk RUPS harus melebihi 50 persen dari suara yang hadir, dan anggaran dasar juga dapat menetapkan persyaratan lain untuk kuorum dan proses pengambilan keputusan RUPS. Anggaran dasar dapat menetapkan kuorum yang berbeda dalam RUPS, tetapi kuorum tersebut harus sama atau lebih besar dari kuorum yang ditetapkan oleh UU PT, serupa dengan bagian lain. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari deadlock dalam RUPS. Selanjutnya, beberapa langkah dapat dilakukan untuk mengatasi deadlock dalam proses pengambilan keputusan dalam RUPS. Sebagai langkah awal, para pihak dapat mengajukan ahli yang telah disepakati sebelumnya untuk memberikan keterangan. Selain itu, para pihak juga harus menyepakati terlebih dahulu bahwa keterangan ahli merupakan penilaian yang harus diterima oleh semua pihak. Kedua, ada juga opsi untuk membeli kembali saham di perusahaan untuk menghindari perubahan dalam pengaturan voting yang dapat menyebabkan deadlock dalam proses pengambilan keputusan. Terakhir, ada penjualan saham kepada pihak lain yang dapat mengubah struktur kepemilikan dan pengaruh suara dalam RUPS.

 

Kesimpulan

         Implikasi pelaksanaan RUPS yang dihadiri oleh 2 orang pemegang saham berimbang adalah PT mengalami kebuntuhan atau deadlock. RUPS tidak dapat dilaksanakan karena jumlah peserta yang hadir tidak mencukupi. Dalam situasi tersebut, Pengadilan memiliki wewenang untuk menghentikan operasional Perseroan karena Perseroan hanya memiliki dua kepemilikan saham. Jika terjadi situasi dimana kedua pemegang saham tidak bisa mencapai kesepakatan dalam pengambilan keputusan, entah itu dalam RUPS atau sebelumnya, karena salah satu pihak absen, maka pelaksanaan RUPS tidak bisa dilakukan sehingga terjadi deadlock. Lebih lanjut, suatu lembaga peradilan memiliki kewenangan untuk menyatakan pembubaran sebuah perusahaan jika ada alasan yang menyebabkan perusahaan tersebut tidak dapat dipertahankan. Jika ada konfrontasi kepentingan antara kedua kepemilikan saham, perseroan tidak dapat memenuhi kedua kepentingan ini. Sebagai akibatnya, dalam situasi seperti ini, perusahaan tidak dapat melaksanakan operasionalnya. Pengadilan Negeri memiliki kemampuan untuk menghentikan Perseroan berdasarkan permohonan dari pemegang saham, direksi, dewan komisaris dengan argumen bahwa Perseroan tidak dapat dilangsungkan lagi. Selain itu, terdapat beberapa saran yaitu saat pendirian perusahaan yang didirikan oleh dua orang dengan saham berimbang, penting untuk memastikan bahwa kedua pemegang saham memiliki pemahaman yang sama sehingga tidak terjadi perbedaan kepentingan saat melaksanakan RUPS. Setelah itu, penting untuk melakukan perubahan pada substansi UU PT yang mengatur mengenai kepemilikan saham, terutama kepemilikan saham mayoritas PT.

 

BIBLIOGRAFI

 

Agustini, S. (2022). Pertanggung Jawaban dalam Perseroan Terbatas yang Pengurusannya Dilakukan oleh Anggota Dewan Komisaris Pasca UU Cipta Kerja. Jurnal Supremasi, 12(1), 86–96. https://doi.org/10.35457/supremasi.v12i1.1674

Aulia, M. Z. (2020). Friedrich Carl von Savigny tentang Hukum: Hukum sebagai Manifestasi Jiwa Bangsa. Undang: Jurnal Hukum, 3(1), 201–236.

Butar-butar, H., Sinaga, B. N., & Siambaton, T. (2018). Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Saham Minoritas pada Perusahaan Terbuka. Jurnal Hukum Patik, 7(2), 137–151.

Chatib, I. M., Muntaqo, F., & Amin Mansyur. (2019). Sertifikat Hak Milik yang Diakui sebagai Aset Perseroan Terbatas dan Menjadi Jaminan Hutang. Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, 8(2), 127–141. https://doi.org/10.28946/rpt.v0i0.389

Dharma Pura, I. P. W., & Budiana, I. N. (2018). Kebebasan Penetapan Modal Dasar Perseroan Terbatas oleh Para Pihak Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016. Jurnal Analisis Hukum, 1(1), 32–51. https://doi.org/10.38043/jah.v1i1.238

Dirdjosisworo, S. (2001). Pengantar Ilmu Hukum. Radja Grafindo Persada.

Kandiyas, Y. A., Fahamsyah, E., & Efendi, A. (2023). Prinsip Hukum Perseroan Terbatas pada Perusahaan Perseroan Daerah. Jurnal Syntax Admiration, 4(7), 912–927. https://doi.org/10.46799/jsa.v4i6.652

Kurniawan, D., & Yuspin, W. (2023). Menggagas Pendirian Bank Digital di Indonesia: Sebuah Telaah Yuridis. Jurnal Supremasi, 13(1), 1–14. https://doi.org/10.35457/supremasi.v13i1.2158

Kusuma, D. C. (2022). Pertanggungjawaban Perseroan Perorangan Pasca Pergeseran Paradigma Perseroan Terbatas sebagai Persekutuan Modal. Lex Renaissance, 7(3), 476–490. https://doi.org/10.20885/JLR.vol7.iss3.art3

Mada, Z. Z. K. (23 C.E.). Analisis Yuridis Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang Memiliki Persentase Kepemilikan Saham yang Seimbang pada Perseroan Terbatas. Jurnal Magister Ilmu Hukum (Hukum Dan Kesejahteraan)2, 8(1), 1–15. https://doi.org/10.36722/jmih.v8i1.1877

Marpaung, M. (2019). Hak Suara Pemegang Saham Perseroan Terbatas. Yure Humano, 3(1), 36–43.

Mustaqim, M., & Satory, A. (2019). Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Perseroan Terbatas Tertutup dan Keadilan Berdasar Pancasila. Sasi, 25(2), 199–210. https://doi.org/10.47268/sasi.v25i2.222

Negara, D. S., Nainggolan, S. D. P., Yudhantaka, L., & Donauli, E. (2023). Upaya Hukum Perseroan Terbatas terhadap Penggelapan Pajak oleh Direksi Melalui Black Market. Literasi Hukum, 7(1), 83–95. https://doi.org/10.31002/lh.v7i1.7516

Patricia Yosephin, P. (2021). Analisis Yuridis Pembubaran Perseroan Terbatas (PT) yang Tidak Beroperasi. Recital Review, 3(2), 314–330. https://doi.org/10.22437/rr.v3i2.15290

Sudaryat, S. (2020). Tanggungjawab Pemegang Saham Mayoritas yang Merangkap sebagai Direksi terhadap Kerugian Pihak Ketiga Akibat Perbuatan Melawan Hukum Perseroan. Jurnal Bina Mulia Hukum, 4(2), 313–325. https://doi.org/10.23920/jbmh.v4i2.293

Wahyuni, R., & Sari Dalimunthe, S. N. I. (2022). Kedudukan Hukum Perjanjian di dalam Pendirian Perseroan Terbatas Berbentuk Badan Usaha Mikro dan Kecil Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja. Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Dan Ke-PPAT-An, 6(1), 51–64. https://doi.org/10.23920/acta.v6i1.1059

Wiwin Ariesta. (2019). Prinsip Perlindungan Hukum Seimbang Bagi Pemegang Saham Minoritas dalam Tata Hukum Perseroan. Jurijaya: Jurnal Ilmiah Hukum, 2(1), 1–23. https://doi.org/10.51213/yurijaya.v2i1.14

 

 

Copyright holder:

Sheerleen, Mella Ismelina Farma Rahayu (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: