Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 4, April 2024
MENGURAI KEPASTIAN HUKUM: DEADLOCK
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DENGAN
KEPEMILIKAN BERIMBANG
Sheerleen1*,
Mella Ismelina Farma Rahayu2
Universitas Tarumanagara, Jakarta,
DKI Jakarta, Indonesia1,2
E-mail: [email protected]1*,
[email protected]2
Abstrak
UU PT menyatakan bahwa PT dapat didirikan
oleh minimal dua orang atau lebih, tetapi tidak mengatur tentang persentase
masing-masing kepemilikan saham yang harus dimiliki. Dalam situasi ini,
terdapat kemungkinan terbentuknya kepemilikan saham yang seimbang di mana
setiap pemegang saham memiliki 50% saham. Pemilikan saham yang seimbang ini
merupakan penerapan prinsip keseimbangan yang mencerminkan nilai-nilai positif,
tetapi juga dapat mengalami kebuntuan (deadlock) jika terjadi ketidakharmonisan
di antara para pemegang saham yang seimbang. Oleh karena itu, dibutuhkan
solusi-solusi hukum sebagai upaya untuk menyelesaikan problematika tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dampak ketidaksepakatan antara para
pemegang saham yang seimbang dan menganalisis opsi hukum untuk menyelesaikan
situasi kebuntuan tersebut. Penelitian menggunakan pendekatan metode penelitian
hukum normatif. Informasi yang diterapkan adalah informasi kedua yang telah
dibagi menjadi dua sumber utama, yaitu sumber hukum primer dan sumber hukum
sekunder. Menurut hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa deadlock yang
disebabkan oleh kepemilikan saham yang seimbang menyebabkan RUPS tidak dapat
dilaksanakan. Jika deadlock ini berlanjut hingga berakhirnya masa jabatan
direksi dan komisaris, maka akan terjadi kekosongan jabatan yang mengakibatkan
PT tidak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Kedua, UU PT diperkenalkan
suatu solusi untuk masalah ini yaitu dengan memberikan kekuasaan kepada
pengadilan negeri untuk menentukan jumlah peserta RUPS yang diperlukan untuk
dapat menetapkan tindakan tertentu, serta untuk membubarkan perusahaan jika
terdapat alasan yang jelas bahwa perusahaan tersebut tidak bisa melanjutkan
kegiatan.
Kata Kunci:
Deadlock, Kepastian Hukum, Perseroan Terbatas
Abstract
UU PT states that a PT can be established by a minimum of two or more
people but does not regulate the percentage of share ownership that must be
owned by each shareholder. In this situation, there is a possibility of forming
equal share ownership where each shareholder owns 50% of the shares. This
balanced share ownership is an application of the principle of balance which
reflects positive values but can also experience deadlock if there is
disharmony between balanced shareholders. Therefore, a legal solution is needed
as an effort to resolve this problem. This research aims to understand the impact
of disputes between unequal shareholders and analyze legal options to resolve
the deadlock situation. This research uses a normative legal research method
approach. The information used is secondary information which is divided into
two main sources, namely primary legal sources, and secondary legal sources.
Based on the research results, it can be concluded that the deadlock caused by
share ownership means that a balanced GMS cannot be held. If this deadlock
continues until the end of the terms of office of the directors and
commissioners, there will be a vacancy in their positions which will result in
the PT being unable to carry out its rights and obligations. Second, the PT Law
provides a solution to this problem, namely by giving authority to the district
court to determine the number of participants in the forum required to decide
on a particular action, as well as to dissolve it. company if there is a clear
reason that the company cannot continue its activities.
Keywords: Deadlock, Legal
Certainty, Limited Liability Company
Pendahuluan
Pesatnya
akselerasi perkembangan perekonomian, masyarakat Indonesia mulai menjalankan
beragam jenis usaha yang semakin berkembang. Pada dasarnya, masalah ekonomi
mencakup upaya meningkatkan tingkat kemakmuran penduduk dengan meningkatkan
produksi barang dan jasa. Berbagai kemajuan dalam jenis bisnis yang dilakukan
oleh masyarakat Indonesia. Di sisi lain, hal ini tidak dapat diabaikan oleh
peran pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan memastikan
kewajiban pembayaran pajak dipenuhi serta mencegah terjadinya penipuan. Salah
satu upaya yang dilakukan terhadap kehadiran Perseroan Terbatas (PT) yang
diperkuat oleh regulasi-regulasi yang beragam, menunjukkan partisipasi
pemerintah guna dapat mendukung pertumbuhan ekonomi sebagai pondasi bagi
perkembangan suatu negara. Intervensi pemerintah melibatkan adopsi persyaratan
pendaftaran yang sedang berlangsung bagi jenis bisnis yang ingin didirikan oleh
semua individu. Pendaftaran ini dapat dilakukan di kantor atau lembaga resmi
yang ditunjuk pemerintah untuk memastikan bahwa keberadaan bisnis tersebut
dapat diketahui oleh masyarakat secara umum.
Bentuk
usaha yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara adalah entitas
bisnis yang sah, yang sering juga disebut sebagai PT. UU PT dengan jelas
menyatakan bahwa badan hukum PT adalah sebuah entitas yang memiliki kemampuan
untuk beraksi secara hukum dan memiliki aset yang terpisah dari aset pribadi
pengurusnya. Itulah sebabnya PT juga dianggap sebagai subjek hukum yang
independen atau seorang individu dalam pengadilan. PT memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam hubungan hukum seperti individu biasa atau orang
alami, dan mereka dapat mengajukan gugatan atau menghadapi gugatan, membuat
keputusan, memiliki hak dan kewajiban, seperti hutang-piutang, dan kepemilikan
kekayaan seperti manusia. PT tidaklah dihasilkan secara spontan dan tidak
muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil dari perencanaan, inovasi, dan
langkah-langkah yang diambil oleh pendiri. Setelah PT mendapatkan status
sebagai badan hukum, langkah pengawasan dan pelaksanaan sering kali dilakukan.
Menurut
Henn dan Alexander, proses pendirian PT dapat dilakukan melalui tiga tahap,
yakni penemuan (discovery), penyelidikan (investigation), dan
penyusunan (assembly). Discovery adalah rangkaian tindakan yang
melibatkan usaha dalam menemukan peluang bisnis yang layak untuk dikembangkan,
menganalisis potensi keberhasilan bisnis tersebut, serta mengidentifikasi
hambatan yang harus diatasi dalam mengembangkan bisnis tersebut. Investigation
adalah sebuah proses yang melibatkan analisis terhadap sebuah rencana bisnis
yang telah dipilih dengan tujuan untuk menentukan apakah sebuah kegiatan bisnis
memiliki potensi ekonomi yang memadai atau tidak. Salah satu tahapan terakhir
dalam mendirikan sebuah PT adalah assembly, yaitu langkah yang
melibatkan tindakan nyata untuk mewujudkan pendirian perusahaan. Tahap ini
melibatkan cara mendapatkan modular yang diperlukan, baik dalam bentuk tetap
maupun berjalan, serta mengatur kebutuhan tenaga kerja dan melakukan
perencanaan rinci dan lanjutan bagi perusahaan. Agar dapat mencapai bentuk
perusahaan yang terbatas tersebut, terkadang pendiri perlu menggunakan layanan
individu yang memiliki keahlian khusus seperti, misalnya, orang-orang yang
berpengalaman seperti Notaris, Konsultan Hukum, Akuntan, Perbankan, dan
lainnya.
PT
merupakan sebuah badan usaha yang beroperasi melalui modal berbentuk saham,
dimana pemiliknya memiliki bagian sesuai dengan porsinya. Tidak perlu melikuidasi
perusahaan karena aset didalamnya berupa saham yang dapat diperdagangkan,
perubahan kepemilikan dapat dilakukan dengan mudah. Definisi PT dalam UU No. 40
Tahun 2007 jo.
Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut
sebagai UU PT) merupakan badan hukum yang terdiri dari himpunan
modal dan terikat pada perjanjian untuk melaksanakan bisnis. Perseroan ini
wajib menggenapi persyaratan yang ditegaskan dalam regulasi nasional.
Perusahaan yang terbatas adalah entitas yang terdiri dari beberapa individu
yang dibentuk dengan tujuan yang disepakati secara musyawarah mufakat oleh para
anggotanya. Organisasi ini memiliki sebuah badan yang mewakili anggotanya dalam
menjalankan usaha, yang disebut sebagai pengurus. Keberadaan badan ini adalah elemen
penting dalam Perseroan Terbatas sebagai sebuah organisasi, seperti yang
dijelaskan Pasal 1 angka (2) UU PT, menegaskan bahwa badan perusahaan terdiri
dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), direksi, dan dewan komisaris.
PT
memiliki tiga organ, yaitu RUPS, Dewan Komisaris, dan Direksi. Kemudian, saham
memiliki kepentingan yang signifikan bagi pemilik saham dalam suatu perusahaan.
Saham diungkapkan melalui angka dan kata-kata yang tercatat pada sertifikat
saham yang diterbitkan oleh perusahaan. Angka yang tertera pada setiap lembar
surat saham tersebut dikenal sebagai nilai nominal saham. Dokumen yang
memberikan bukti kepemilikan saham diberikan kepada pemilik saham. Surat saham
yang berfungsi sebagai bukti kepemilikan saham, diberikan kepada para pemegang
saham sesuai dengan determinasi yang tercantum dalam anggaran dasar perusahaan.
Secara hukum, saham dianggap sebagai asset yang dapat dipindah tangankan. Hak
kepemilikan atas saham memberi pemiliknya hak yang dapat dipertahankan terhadap
siapapun. Pemegang saham memiliki kebebasan penuh dalam melakukan tindakan yang
diinginkannya terhadap sahamnya, termasuk menjual, menggunakan sebagai sebuah
jaminan pinjaman, menjaminkan, atau mentransferkannya ke pihak lain.
Pemegang
saham PT dapat membuktikan kepemilikan saham mereka dalam bentuk sertifikat
yang dikeluarkan oleh perusahaan (Chatib
et al., 2019). Selain itu, pemegang saham memiliki hak untuk hadir
dan memberikan suara dalam RUPS, memperoleh dividen, membagikan sisa aset
melalui likuidasi, dan hak-hak lain yang melekat padanya. Ketentuan-ketentuan
ini ditegaskan dalam peraturan nasional yaitu UU PT. Pemegang saham berhak
untuk ikut serta dalam RUPS secara langsung atau melalui kuasa dan memanfaatkan
hak suara sesuai dengan porsi kepemilikan saham (Mustaqim
& Satory, 2019). Hal
ini tidak valid bagi pemegang saham yang tidak memiliki hak suara. Sangat
jarang terjadi bahwa perusahaan memecah jumlah dan komposisi saham yang sama.
Perlu diketahui bahwa pembagian kepemilikan saham ini tidak hanya mempengaruhi
jumlah saham tetapi juga prestise pemegang saham dalam perusahaan. Sebagai
gambaran, ada perusahaan PT yang terdiri dari dua orang perseorangan atau badan
hukum yang sahamnya dibagi 50%. Jumlah saham tersebut sama dan tidak ada yang
lebih kecil ataupun lebih besar porsinya dari yang lain.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU PT,
sebuah perusahaan dilaksanakan oleh minimal dua orang atau lebih dengan bukti
akta notaris yang dirancang dalam bahasa Indonesia. Pasal tersebut menetapkan
bahwa setidaknya dua orang pendiri diperlukan untuk mendirikan PT. Selain itu,
dua orang menginvestasikan dana ke perusahaan dan kontribusi modal dibagi
menjadi beberapa bagian yang disebut saham. Saham-saham ini adalah milik para
investor. Namun, UU PT telah diamandemen sehubungan dengan angkan minimum
pemegang saham yang diperlukan dalam PT, dan sebagai tambahan dari pasal ini,
sebuah ketentuan telah diperkenalkan yang menetapkan bahwa angka minimum
pendiri PT untuk kepemilikan perseorangan hanya satu. Ketentuan ini diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) UU PT jo. Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Dengan adanya Perpu Cipta Kerja yang telah berlaku sejak tahun 2022, perusahaan
perseorangan harus memenuhi syarat tertentu, yaitu harus memiliki ukuran usaha
mikro dan kecil serta didirikan oleh individu perseorangan dan bukan badan
hukum. Namun, jika perusahaan tidak memenuhi syarat usaha mikro dan kecil atau
memiliki lebih dari satu pemegang saham, wajib mendirikan PT konvensional.
PT konvensional ini harus didirikan
sekurang-kurangnya 2 orang perseorangan atau badan hukum. Tidak ada aturan
tambahan mengenai kualifikasi kepemilikan saham oleh perseorangan atau badan
hukum selain persyaratan minimum dua orang atau badan hukum dalam peraturan
pendirian PT. Aturan mengenai persyaratan minimal dua orang terkait pendirian
PT tidak berlaku untuk entitas seperti halnya Persero sejenis BUMN dan Persero
yang mengelola bursa efek, lembaga kliring, penjaminan, lembaga penitipan dan
penyelesaian dan lainnya. Lebih lanjut, Pasal 7 ayat (2) UU PT mengikat setiap
pendiri perusahaan untuk mengikat bagian saham pada saat pendirian PT. Namun,
tidak dijelaskan berapa banyak saham yang harus diambil oleh kedua pendiri PT,
sehingga memungkinkan kepemilikan saham yang berimbang yaitu 50% dalam PT
dengan dua pemegang saham. Alasannya adalah karena kepemilikan saham yang
berimbang sebesar 50% dimungkinkan. Padahal, proses pengambilan keputusan RUPS,
keputusan harus diambil melalui negosiasi. Jika konsensus tidak berhasil,
keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas.
Forum RUPS memiliki kuasa yang tidak
diberikan pada manajemen atau dewan komisaris, batasan wewenang ini ditetapkan
regulasi atau konstitusi perusahaan (Negara
et al., 2023). Pemegang saham dalam
forum RUPS berhak memperoleh penjelasan dan fakta yang komprehensif mengenai
kegiatan perusahaan dari direksi atau komisaris. Fakta-fakta tersebut harus
relevan dengan agenda rapat dan tidak boleh kontradiktif dengan kepentingan
perusahaan. Jika kuorum tidak tercapai, RUPS tidak berkuasa untuk menetapkan
keputusan. Kehadiran pemegang saham atau perwakilannya dalam RUPS merupakan
faktor penting dalam menentukan apakah RUPS dapat diselenggarakan dan keputusan
dapat diambil. Ada dua pemegang saham dengan kepemilikan saham yang sama yaitu
sebesar 50%. Lebih lanjut, struktur pemegang saham yang seimbang didefinisikan
sebagai rasio kepemilikan saham sebesar 50% di antara semua pemegang saham.
Kenyataan tersebut telah menginstruksikan bahwa tidak ada disparitas yang
signifikan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Dengan kata lain,
tidak ada perbedaan porsi saham yang diperoleh antara pemegang saham. Oleh
karena itu, kedua pemegang saham tersebut sama-sama menuntun perusahaan secara
seimbang. Kedua pemegang saham berhak untuk menunjuk direksi perusahaan,
mengawasi kegiatan perusahaan dan membuat langkah strategis yang krusial bagi
perusahaan. Ini termasuk menentukan gaji dan tunjangan untuk direksi dan dewan
komisaris, serta jumlah profit yang dapat dibagikan sebagai dividen.
Para direktur dan dewan komisaris
berbagi peran, posisi mereka setara dan tidak ada pemegang saham utama. Tidak
ada pemegang saham yang memegang kekuatan lebih besar atau lebih unggul dari
yang lain, sehingga sulit mencapai kesepakatan ketika ada perbedaan pendapat
dalam RUPS. Kedua belah pihak menganggap bahwa mereka telah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap modal perusahaan, RUPS akan diselenggarakan
untuk membahas pengalihan saham di antara mereka. Namun, jika kedua belah pihak
tetap ingin mempertahankan sahamnya, maka akan terjadi suatu dilematis untuk
tercapai kesepakatan karena semua keputusan mengenai PT dapat diambil dalam
RUPS. Dalam hal ini, proses RUPS akan menemui jalan buntu. Akan sulit untuk
mencapai kesepakatan karena deadlock (Mada,
23 C.E.). Oleh karena itu, aspek ini
perlu untuk dipertimbangkan sebelum mendirikan PT. Salah satu saran adalah
jumlah pemegang saham sebaiknya minimal dua orang, meskipun UU mensyaratkan
minimal dua orang atau dua badan hukum untuk mendirikan PT. Hal tersebut
bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya deadlock dalam proses
pengambilan keputusan.
Deadlock merujuk situasi dimana dua atau lebih
transaksi terjebak dan saling menunggu penghapusan kunci oleh transaksi lainnya
yang sedang berlangsung
(Wahyuni, 2023). Fenomena deadlock di Indonesia terjadi ketika perimbangan saham PT
memiliki dua pemegang saham dengan jumlah saham yang sama yaitu 50%. Sebagai
hasilnya, kesepakatan tidak tercapai saat membuat keputusan dalam RUPS. Dalam
prakteknya, deadlock sering terjadi dalam proses pengambilan keputusan
di RUPS. Jika terjadi deadlock, maka RUPS tidak bisa membuat keputusan.
Sayangnya, masih sedikit anggaran dasar perusahaan yang mengatur
langkah-langkah untuk dapat mengatasi deadlock
dalam RUPS. Oleh sebab itu, ketika pengambilan keputusan terhambat, dampaknya
dapat merugikan produktivitas perusahaan. Jika ditelaah berdasarkan sisi
yuridis, penyelesaian situasi deadlock di Indonesia secara implisit
telah diatur dalam Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT. Substansi pasal ini menerangkan bahwa apabila kesepakatan
pemegang saham mengakibatkan forum RUPS gagal mencapai keputusan yang valid,
maka dapat dimungkinkan untuk mengajukan pembubaran Perseroan.(Patricia
Yosephin, 2021) Di sisi lain, UU PT menyebutkan bahwa PT dapat
didirikan oleh minimum jumlah dua orang atau lebih. Akan tetapi, regulasi ini tidak
diatur mengenai jumlah saham yang dimiliki oleh masing-masing pemilik, sehingga
memungkinkan terjadinya kepemilikan saham yang seimbang di mana setiap pemilik
memiliki 50% saham. Posisi pemegang saham berimbang adalah suatu cara untuk
menerapkan prinsip keseimbangan yang mencerminkan nilai-nilai positif, namun
dapat menghadapi kesulitan jika terjadi ketidakharmonisan antara para pemegang
saham. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pemahaman
kepastian hukum dan solusi hukum untuk mengatasi masalah ini.
Adapun state
of the art (literature
review)
terhadap topik kepemilikan berimbang dalam PT. Salah satunya menguraikan tindak hukum yang dapat diaplikasikan oleh pemegang saham dalam forum
RUPS dengan kepemilikan berimbang yaitu masing-masing 50% (Mada,
23 C.E.). Adapun
peneliti lain berfokus pada sudut pandang perlindungan hukum pemegang saham PT
dalam kondisi kepemilikan berimbang dan akibat hukumnya (Anggriani, 2019). Kemudian, minimnya penelitian terkait fenomena dan
implikasi deadlock menjadi fokus analisa dan novelty penelitian
ini.
Dari penjelasan di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1) Untuk bisa mengetahui pengaturan kepemilikan berimbang dalam
Perseroan Terbatas; 2) Untuk menganalisis implikasi deadlock terhadap
pemegang saham berimbang dalam Perseroan
Terbatas.
Metode Penelitian
Penelitian
ini akan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hal ini dikarenakan inti
utama dari penelitian diawali dengan pengumpulan norma-norma, kaidah-kaidah dan
juga teori-teori, yang bertugas untuk mensistematisasikan hukum yang berlaku.
Kumpulan data yang digunakan adalah data sekunder, yang terbagi menjadi dua
sumber yaitu sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Selanjutnya, metode
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan
analisis (analytical approach). Pendekatan penelitian tersebut
menggunakan penelitian dokumenter dengan analisis kualitatif sebagai metode eksplorasi
bahan hukum untuk menemukan makna interpretatif dan menarik benang merah dari
permasalahan yang muncul. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk
mengidentifikasi konsep dan asas hukum yang digunakan terkait fenomena deadlock
dan kepemilikan berimbang yang dialami pemegang saham PT. Analisis
kepastian hukum tidaklah mudah dan penggunaan logika hukum sangat penting dalam
penelitian yaitu fokus penelitian ini terutama evaluasi argumen dan pernyataan
yang benar mengenai pengembangan kriteria. Penelitian tersebut bukan hanya
tentang hukum, tetapi tentang hukum secara keseluruhan. Dalam kerangka ini,
peran logika deduktif sangat dibutuhkan. Logika deduktif digunakan untuk
menarik kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum ke kasus-kasus yang
bersifat individual.
Hasil dan Pembahasan
Pengaturan
Kepemilikan Berimbang dalam Perseroan Terbatas (PT)
Menurut
Soedjono Dirdjosisworo,
PT adalah badan hukum yang berdasarkan hasil perjanjian untuk memulai kegiatan
usaha dengan modal dasar yang seluruhnya dibagi menjadi saham dan memenuhi
kualifikasi yang ditetapkan UU PT (Dirdjosisworo, 2001). Selanjutnya,
H.M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa PT adalah perusahaan berbadan hukum yaitu
“perseroan”, bukan “persekutuan” karena modalnya terdiri dari
saham-saham yang dimiliki (Agustini,
2022). Menurut
Zaeni Asyhadie, PT adalah jenis perusahaan yang dulunya dikenal dengan Naamloze
Vennootschap (NV). Kata “terbatas” pada PT merujuk pada kewajiban
yang hanya eksklusif pada nominal saham yang dimiliki oleh pemegang saham.
Menurut Abdulkadir Muhammad, kata “perseroan” merujuk suatu prosedural
pembagian modal dan pembagian ke dalam wujud saham, sedangkan istilah “terbatas”
merujuk pada determinasi responsibilitas pemegang saham terhadap jumlah saham
yang dimiliki (Kurniawan & Yuspin,
2023). PT adalah perusahaan yang
dilegalkan dan berbadan hukum. PT juga bisa dijelaskan sebagai konsorsium saham
yang didirikan melalui peraturan undang-undang dan diakui sebagai sebuah
entitas bisnis oleh pengadilan. Selain itu, menurut R. Ali Rido, PT adalah
jenis perusahaan yang didirikan oleh beberapa orang dengan perjanjian hokum (Dharma Pura & Budiana, 2018)
Dalam perusahaan, modal terbagi atas himpunan saham dan setiap individu dapat
memperoleh satu atau lebih beberapa saham dengan determinasi responsibilitas
tergantung jumlah saham yang dimiliki.
Perkembangan
sejarah peraturan PT menunjukkan bahwa di Indonesia (saat itu masih Hindia
Belanda) terdapat masa dimana peraturan tidak berkembang secara signifikan
sejak tahun 1848 ketika KUHD yang berdasarkan asas concordantiebeginsel. Pada tahun 1995 diberlakukan UU No. 1 tahun
1995 tentang PT untuk pertama kalinya. Kemudian, peraturan PT diamandemen untuk
kedua kalinya dengan UU No. 40 Tahun 2007. Fakta bahwa telah terjadi dua kali
perubahan peraturan tentang PT menunjukkan adanya perbedaan karakter yang
muncul dalam menghadapi kegiatan ekonomi yang berubah-ubah dan bergerak cepat.
Perusahaan dalam bentuk PT didirikan berdasarkan perjanjian dan merupakan badan
hukum yang didirikan dan dijalankan dengan keseluruhan saham sebagai modal
serta memenuhi kualifikasi yang ditetapkan dalam regulasi serta peraturan
turunannya. Oleh karena itu, PT mengacu pada jenis badan usaha yang memiliki
struktur hukum dan didirikan oleh sekelompok orang dengan modal tetap yang
terbagi dalam saham. Para anggota perusahaan dapat memiliki satu atau lebih
saham dan responsibilitas mereka hanya dibatasi oleh porsi saham yang mereka
miliki.
Jarang
ditemukan situasi di mana dua pemegang saham memiliki 50% saham perusahaan
dengan proporsi yang sama. Hal ini disebabkan PT memiliki lebih dari dua
pemegang saham dan tidak ada konfrontasi kepentingan di antara mereka. Jika
hanya ada dua pemegang saham dan tidak ada pertikaian antar kepentingan, tidak
ada problema. PT sebagai badan hukum terikat sejumlah hak dan kewajiban
layaknya manusia. Seorang manusia dapat diberi suatu personalitas hukum karena
manusia memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan hukum. Ada juga badan hukum
lainnya, yaitu semua subjek yang terikat hak dan kewajiban sesuai dengan
peraturan hukum dan disebut sebagai badan hukum. Namun, definisi badan hukum ini
tidak diuraikan secara memadai dalam peraturan umum atau dalam KUH Perdata.
Istilah rechtpersoon tidak muncul dalam substansi IX Buku III KUHPerdata.
Namun, bab ini mendefinisikan rechtpersonalijkheid atau personalitas hukum, yaitu
kedudukan orang hukum sebagai subjek hukum. Bukti keberadaan badan hukum
dibuktikan melalui teori-teori yang menganalisis badan hukum, seperti teori fiksi Von Savigny,
teori harta kekayaan bertujuan Brinz, teori organ dari Von Gierke, teori leer
van het ambtelijk vermogen, teori kekayaan bersama, teori kenyataan yuridis,
serta teori Leon Duguit.
Friedrich
Carl Von Savigny yang mengemukakan teori fiksi menyatakan bahwa badan hukum
adalah hasil ciptaan manusia, yaitu pemerintah dan negara. Badan hukum hanyalah
sebuah konsep abstrak, tetapi manusia menciptakannya sebagai badan hukum dan
diakui secara sah dengan cara yang sama seperti individu manusia. Dalam
pandangan Savigny, hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa subjek hukum dapat
dianggap sebagai subjek hukum yang sama dengan individu, karena ada manusia
yang berperan dalam mendukung keberadaan subjek hukum tersebut, yang muncul
pada subjek hukum dan yang dapat dimasukkan ke dalam subjek hukum. Teori
kepemilikan yang dikemukakan oleh A. Brinz merupakan teori kepemilikan dan telah
membuka konsep kepemilikan kekayaan untuk didiskusikan. Brinz berpendapat bahwa
hanya manusia secara individu yang memiliki kapasitas untuk menjadi subjek
hukum. Badan hukum tidak dapat menjadi subjek hukum, oleh karena itu hak-hak
yang diperuntukkan kepada badan hukum adalah kedaulatan yang bersifat
non-hukum. Oleh sebab itu, kekayaan badan hukum adalah kekayaan yang terikat
pada tujuan tertentu dan dimiliki secara terpisah dari pemiliknya. Pasal ini
menyatakan bahwa badan hukum tidak diakui sebagai badan hukum dan oleh karena
itu kedaulatannya terpisah dari hak individu yang menjalankan badan hukum.
Teori
lainnya adalah teori organ yang diutarakan oleh Otto von Gierke. Teori ini
menyatakan bahwa subjek hukum mirip dengan manusia dan menjadi subjek yang nyata
dalam konteks hukum. Organisasi hukum menjadi sebuah entitas yang dapat
mengekspresikan niat mereka melalui instrumen dan struktur mereka. Keberadaan
personalitas hukum bukanlah sesuatu yang tidak nyata. Teori keempat dikenal
sebagai Teori Kekayaan Bersama. Menurut penjelasan Rudolf von Jhering, badan
hukum bukanlah suatu badan atau organisasi yang abstrak, melainkan kumpulan
individu. Dalam hal ini, hak dan kewajiban badan hukum adalah kedaulatan
gabungan dari semua anggotanya dan badan hukum bertanggung jawab atas hak dan
kewajiban tersebut. Teori kelima mengacu pada Teori Kenyataan Yuridis. Teori
ini pertama kali dipresentasikan oleh E.M. Meijers. Menurut Meijers, badan
hukum adalah sesuatu yang nyata, konkret dan berwujud, meskipun tidak dapat dijamah,
dan bukan hanya sekedar fiksi. Namun dalam konteks hukum, badan hukum dianggap
sama dengan individu manusia hanya dalam aspek hukumnya saja. Dari berbagai
teori yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut
teori fiksi karena teori ini relevan dengan konteks kelembagaan Indonesia.
Penelitian
ini memanfaatkan teori kepastian hukum. Adapun menurut Soedjono Dirdjosisworo,
kepastian hukum ialah hal yang mutlak diperlukan agar hukum dapat menjalankan
tugasnya dengan baik. Keadilan juga merupakan panduan bagi isi hukum yang
benar. Oleh karena itu, pendekatan yang fleksibel diperlukan untuk memastikan
bahwa aturan hukum dapat ditanggapi secara baik oleh pihak pemangku kepentingan
yang berbeda sehingga kepastian hukum tidak hanya sekedar formalitas dan
mencakup unsur keadilan yang merata. Kedua, E. Adamson Hobel dan Karl Llewellyn
juga berpendapat bahwa kepastian hukum memiliki prinsipil untuk dapat menjaga
kesatuan masyarakat. Tantangan-tantangan tersebut adalah: 1) mengatur interaksi
sosial antar individu dalam masyarakat dengan menentukan aturan-aturan yang
diperbolehkan dan dilarang; 2) menetapkan sistem otoritas dan secara hati-hati
menentukan siapa yang secara sah dapat menegakkan dan siapa yang dapat memilih
sanksi yang akurat dan berdaya guna; 3) menetapkan sistem kepastian hukum
berupa sistem hukum yang dapat secara sah menegakkan dan memilih sanksi yang
tepat; serta 4) mengadaptasikan hubungan-hubungan sosial terhadap
kondisi-kondisi kehidupan yang terus berubah. Teori kepastian hukum berfokus
pada tiga tujuan utama: keadilan, kemanfaatan, dan kepatuhan terhadap hukum.
Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk menggapai intensi tersebut melalui
pelaksanaan RUPS dengan dua pemegang saham dalam proporsi yang seimbang.
PT
sebagai badan hukum berfungsi sebagai tempat di mana kegiatan organisasi
perusahaan dilakukan dengan status badan hukum yang mampu melakukan aksi hukum
yang hanya dapat dilakukan oleh individu yang bersangkutan di dalamnya. Badan
hukum tidak terbatas pada entitas pemerintah, jika secara internal tidak ada
badan hukum, maka tidak dapat disebut sebagai badan hukum. Badan hukum tidak
dapat berfungsi tanpa adanya individu yang bertanggung jawab untuk
mengelolanya. Hal ini karena badan hukum adalah benda mati dan tidak dapat
disamakan dengan manusia. Namun, sebuah badan hukum memiliki kapasitas untuk
bertindak menurut hukum tertentu yang dapat disamakan dengan manusia. Misalnya,
badan hukum memiliki kapasitas untuk membuat kontrak dengan badan hukum
lainnya. Namun, terdapat segenap tindakan hukum yang tidak dapat dilaksanakan
oleh badan hukum, seperti pernikahan. Jika seseorang menikah, hal ini dianggap
sah secara hukum. Lebih lanjut, PT memiliki kapasitas untuk melakukan aksi
hukum dan didirikan oleh para individu dengan tujuan untuk menjadi perusahaan
yang sukses (Kandiyas
et al., 2023). Untuk
mencapai tujuan ini, kerja sama semua individu diperlukan untuk memajukan
perusahaan.
PT
adalah badan hukum dengan modal saham yang terdiri dari saham-saham. Pemilik
saham ini adalah perorangan atau badan hukum, yang sering disebut sebagai
pemegang saham. Sebagai badan hukum, PT memiliki konsekuensi memberikan jaminan
kepada kreditur terhadap aset perusahaan. Hal ini karena aset sepenuhnya
dimiliki oleh perusahaan dan perusahaan bertanggung jawab atas utang-utangnya.
Selain itu, pihak pemegang saham tidak dapat menarik diri dari aset perusahaan
atau menggunakan aset perusahaan sebagai jaminan utang pemegang saham. Pendiri
PT memiliki saham di perusahaan yang didirikan dan saham yang dimiliki dapat
mengatur kebijakan perusahaan untuk mencapai intensi yang dikehendaki oleh para
pendiri atau pemegang saham. Badan hukum berada di bawah kewenangan orang
perorangan yang saling berkewajiban untuk melakukan tindakan hukum untuk
mewujudkan pendirian. Persyaratan minimal dua orang pendiri telah menimbulkan
permasalahan mengenai kewajiban dan tanggung jawab hukum seorang pendiri
terhadap pendiri lainnya. Hingga saat ini, masih belum ada regulasi yang secara
tegas terkait hubungan tersebut. Namun, hubungan hukum antara para pendiri PT
dapat disimpulkan dari niat untuk mendirikan perusahaan yang berkepribadian
hukum. Hal ini dikarenakan semua tindakan yang dilakukan pendiri ditujukan
untuk mencapai intensi dan visi yang ditargetkan oleh perusahaan.
Pasal 7 ayat (1) UU PT mengatur
bahwa PT dapat diwujudkan melalui akta notaris yang dirancang dalam bahasa
Indonesia oleh sekurang-kurangnya dua orang. Pasal ini menetapkan bahwa pendiri
PT haruslah minimal dua orang dan orang-orang tersebut harus menyetor modal ke
dalam perseroan, yang kemudian dikonversi menjadi saham dan didistribusikan kepada
para pemegang saham. Namun, tidak ada ketentuan tambahan terkait kepemilikan
saham minimum dua orang. Pasal 7 ayat (2) lebih lanjut menyatakan bahwa semua
orang yang mendirikan perusahaan harus berpartisipasi dengan membeli saham di
perusahaan pada saat pendirian. Definisi pendiri berdasarkan substansi UU
adalah orang yang dengan sengaja berpartisipasi dalam pendirian perusahaan.
Orang-orang ini kemudian melanjutkan aksinya sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan dalam UU untuk mengesahkan pendirian. Pasal 7 ayat (2) menyatakan
bahwa seorang pemegang saham harus membeli saham dari dua pendiri tanpa
memberikan informasi mengenai jumlah saham yang akan dibeli. Dengan demikian,
PT dengan hanya dua pemegang saham yang masing-masing individu memiliki jumlah saham
yang sama.
Ini
berarti tidak ada pemegang saham mayoritas atau minoritas dalam sebuah
perusahaan. Hal ini menyebabkan masalah dalam mekanisme penetapan kesepakatan
dalam RUPS dan menyulitkan pengambilan keputusan tanpa adanya pemegang saham
mayoritas. Jika keputusan diambil melalui negosiasi bersama, keputusan yang
diambil adalah keputusan yang disetujui oleh mayoritas pihak. Adapun Pasal 1 angka 1 UU PT jo. Perpu
Cipta Kerja berbunyi “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut
Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi
kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangundangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil”. Oleh karena itu,
komponen-komponen PT mencakup: 1) PT memiliki status sebagai entitas hukum; 2)
Pemegang saham memiliki kewajiban yang terbatas terhadap entitas perseroan; 3)
Didirikan berdasarkan perjanjian tertulis; 4) Melaksanakan kegiatan bisnis; 5)
Modal disusun dalam bentuk saham; 6) Masa berlaku perusahaan dapat tidak
memiliki batas waktu tertentu; 7) Mengenai badan hukum perseorangan; serta 8)
Memenuhi kualifikasi bagi sektor usaha mikro kecil.
Menurut definisi di atas,
PT didirikan berdasarkan perjanjian. Artinya, dalam proses pendiriannya
dilakukan secara sukarela atas dasar perjanjian sesuai dengan Pasal 1313
KUHPerdata. Masing-masing pihak yang mendirikan PT melakukan perjanjian untuk
mendirikan PT dengan kesepakatan mereka sendiri. Dimungkinkan juga bagi
seseorang untuk mendirikan perusahaan jika itu adalah bisnis mikro atau kecil.
Pasal 7 ayat (1) UU PT menuliskan PT hanya memperbolehkan dua pemegang saham
yang memiliki jumlah saham yang sama. Hal ini menyebabkan sejumlah masalah
dalam RUPS, termasuk deadlock dalam proses pengambilan keputusan. Jika
salah satu pemegang saham memiliki konfrontasi dengan pemegang saham lainnya,
maka keputusan tidak dapat dijalankan. Hal ini karena hanya ada dua pemegang
saham. Masalah lainnya adalah persyaratan kuorum RUPS, yaitu kehadiran lebih
dari 50% pemegang saham. Di sisi lain, jika hanya ada dua pemegang saham, maka
akan menjadi mustahil untuk menyelenggarakan RUPS.
UU PT menetapkan batas minimum
partisipasi dalam RUPS. Anggaran dasar perusahaan hanya dapat mengatur jumlah
peserta RUPS yang lebih besar dari yang ditetapkan oleh UU PT. Hasil
kesepakatan RUPS juga dapat diloloskan jika hak suara mencapai paling sedikit
50% dari total kehadiran dalam RUPS. UU Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU PT, RUPS
didefinisikan sebagai organ perseroan yang memperoleh kedaulatan yang tidak
diperuntukkan pada direksi atau dewan komisaris sesuai dengan ketentuan UU ini
dan/atau Anggaran Dasar. Namun demikian, meskipun adanya penegasan terhadap
kewenangan RUPS oleh UU, hal ini tidak bermakna bahwa RUPS dapat menjalankan
fungsi dan kedaulatan yang diperuntukkan kepada Direksi dan dewan komisaris
menurut UU. Dengan mengacu pada definisi RUPS dalam Pasal 1 angka 4 UU PT, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, RUPS adalah sebuah
pertemuan dan perlu dicatat bahwa ada perbedaan antara tempat pertemuan dan
pemegang saham pribadi. Jadi, dalam hal ini, seseorang dapat menjadi pemegang
saham utama, tetapi orang tersebut tidak memiliki kekuasaan tertinggi dalam
perusahaan. Situasi ini terjadi karena kekuasaan tertinggi hanya muncul ketika
RUPS diadakan yang memenuhi persyaratan formal tertentu yang ditetapkan UU PT.
Kedua, kekuasaan dan wewenang
yang dimiliki oleh rapat merupakan sisa-sisa kekuasaan yang masih ada
berdasarkan teori residual. Hak-hak ini pada basisnya berasal dari saham yang
dipegang oleh pemegang saham perusahaan. Perlu diketahui bahwa pemegang saham
adalah individu yang memperoleh porsi saham sebuah perusahaan sehingga timbul
hak agar terlibat dalam mekanisme penetapan keputusan. Secara teoritis,
pemegang saham memiliki wewenang untuk melakukan tindakan apa pun sehubungan
dengan saham yang mereka miliki. Ketiga, upaya dapat dilakukan untuk
mendelegasikan wewenang forum rapat kepada badan lain seperti dewan direksi
atau dewan komisaris. Aturan yang mengatur pendelegasian wewenang dapat dirinci
dalam UU PT dan/atau Anggaran Dasar PT, atau keputusan RUPS dapat digunakan. Delegasi kewenangan biasanya terdiri dari
hak-hak yang diberikan dengan jangka waktu tertentu dan ada juga yang diberikan
secara permanen. Contoh kewenangan pendelegasian permanen meliputi pengelolaan
PT secara umum dan tugas perwakilan perusahaan di dalam maupun di luar
pengadilan. Namun, pemberian tanggung jawab sementara dapat ditarik kembali
kapan saja. Dalam konteks ini, RUPS berperan sebagai wadah paling penting bagi
perusahaan.
RUPS diselenggarakan untuk
memutuskan sejumlah kebijakan perusahaan, menggabungkan atau membubarkan
perusahaan dan mengadakan rapat tahunan perusahaan. Keberadaan RUPS merupakan
badan korporasi yang, berdasarkan hukum yang berlaku dan anggaran dasar,
memperoleh kewenangan tertentu yang tidak diperuntukkan kepada manajemen atau
dewan komisaris. Menurut Pasal 88 ayat (1) UU PT, RUPS dapat diadakan untuk
memperbaiki anggaran dasar. Agar RUPS dapat dianggap sah, sekurang-kurangnya
dua pertiga dari keseluruhan porsi hak suara yang eksis atau diwakili dalam
forum, dan hasil keputusan yang diambil harus disepakati oleh sekurang-kurangnya
dua pertiga keseluruhan hak suara (Marpaung,
2019). Namun
demikian, jika Anggaran Dasar mensyaratkan kuorum yang lebih tinggi untuk
presensi dan/atau pencapaian kesepakatan dalam RUPS, maka ketentuan ini akan
berlaku. Apabila kuorum yang digarikan tidak berhasil, maka dapat diadakan
untuk forum kedua. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 88 ayat (3) UU PT, forum
kedua dianggap absah dan berwenang memberikan hasil kesepakatan jika dalam RUPS
paling sedikit 3/5 bagian dari jumlah keseluruhan presensi hak suara atau
penunjukkan repsentasi.
Berdasarkan Pasal 89 ayat (1) UU PT,
RUPS untuk mengambil keputusan mengenai aktivitas merger, peleburan, take
over, pemecahan, pemisahan, pemekaran, permohonan pernyataan pailit,
ekstensi waktu berdiri, hingga pembubaran Perseroan dapat diproses jika
presensi pemegang saham dalam RUPS minimal 3/4 bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara dan ketentuan anggaran dasar Perseroan tidak menggariskan
syarat lainnya. Kecuali anggaran dasar Perseroan mengatur persyaratan kuorum
dan/atau keputusan RUPS, hasil kesepakatan adalah legal jika minimal 3/4 bagian
dari keseluruhan hak suara menyetujui hasil tersebut. Pasal 89 ayat (3) UU PT
mengatur bahwa forum kedua dianggap legal dan berhak memutuskan kesepakatan
apabila presensi mencapai minimal 2/3 bagian dari total hak suara pemegang
saham. Keputusan menjadi sah jika disepakati minimal 3/4 dari total presensi
hak suara atau yang dibantu oleh representatif. Namun demikian, hal ini dapat
berbeda jika Anggaran Dasar menetapkan kuorum kehadiran yang lebih tinggi
dan/atau persyaratan lain untuk pengambilan keputusan dalam RUPS. Berdasarkan
peraturan ini, kuorum untuk rapat dan keputusan RUPS harus melebihi setengah
dari jumlah pemegang saham. Peraturan tersebut juga berlaku untuk penerapan
prinsip mayoritas wajib untuk aksi korporasi yang penting, seperti perubahan
anggaran dasar.
Sebagai
hasilnya, keberhasilan yang signifikan dicapai dalam mengawasi penerapan aturan
tersebut pada saat itu dengan menolak menyetujui anggaran dasar yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip di atas. Dalam penerapan prinsip
supermayoritas, sebuah keputusan hanya dapat diambil dalam rapat pemegang saham
jika melebihi ambang batas tertentu, seperti 2/3 atau 3/4 dari jumlah suara
yang dikeluarkan. Oleh karena itu, sejauh ini kuorum atau suara mayoritas
sederhana (lebih dari setengah jumlah suara yang diberikan) belum dianggap
cukup. Jika situasi ini terus berlanjut, PT akan menghadapi konsekuensi yang
tidak menguntungkan. Misalnya, pengurus tidak lagi dapat mengelola PT secara
efektif dan kemacetan akibat masalah yang ada pasti akan muncul. Selain itu,
jika kepentingan kedua pemegang saham tidak sejalan, perusahaan tidak akan
dapat bertahan. Karena kedua pemegang saham memiliki hak untuk mengambil
keputusan, perusahaan akan terpengaruh jika deadlock terus berlanjut.
Dalam kasus seperti itu, pengadilan negeri berwenang untuk memerintahkan
pembubaran perusahaan dengan alasan bahwa ada alasan mengapa perusahaan tidak
dapat terus ada.
Implikasi Deadlock terhadap Pemegang Saham
Berimbang dalam Perseroan Terbatas (PT)
PT
ialah badan hukum yang memperoleh kekayaan dalam wujud permodalan saham.
Pemegang saham terdiri dari individu atau perusahaan. Aktivitas PT terpisah dan
berbeda dari pemegang saham perusahaan. Karakteristik dari PT sebagai “legal entity”
memiliki dampak seperti memberikan jaminan kepada kreditor kepada perusahaan
atas aset perusahaan, karena semua aset dimiliki oleh perusahaan dan perusahaan
bertanggung jawab atas hutang-hutangnya. Aset perusahaan tidak dapat
ditarik oleh pemegang saham atau digunakan sebagai jaminan untuk pelunasan
utang pemegang saham. Saham sendiri adalah bentuk nyata dari modal dalam sebuah
perusahaan. Saham adalah hak kepemilikan atas perusahaan yang dipegang oleh
pemegang saham yang diwujudkan dalam format nomor atau angka pada sertifikat
saham yang diterbitkan oleh perusahaan. Selanjutnya, pemegang saham adalah
individu perseorangan atau perusahaan badan hukum lainnya yang ikut serta dalam
pembiayaan perusahaan dengan menawarkan penjualan saham.
Substansi Pasal 51 ayat (1) UU PT, tercantum kedaulatan yang diberikan
kepada pemegang saham, seperti: 1) Menerima pembagian keuntungan (deviden) dari
saham yang mereka miliki; 2) Berpartisipasi dalam RUPS; 3) Berhak memberikan
kontribusi pendapat di dalam forum; 4) Mendapatkan pengembalian payment
jika saham telah dilunasi sepenuhnya. Pemegang saham terikat hak kepemilikan
terhadap porsi saham yang dimilikinya. Subjek hukum pemegang saham memiliki hak
dan tanggung jawab terkait kepemilikan saham. Setiap orang dapat dipertahankan
haknya oleh pemegang saham. Hubungan perikatan antara pemegang saham serta
tanggung jawab dan kewajiban mereka terhadap perusahaan dan rekan pemegang
saham lainnya ditetapkan oleh peraturan hukum yang berlaku dan ketentuan
Anggaran Dasar Perseroan. Pemilik saham memiliki hak kepemilikan atas barang
bergerak yang bisa dilindungi oleh semua orang. Menurut Pasal 3 ayat (2) UU PT,
kerugian perusahaan termasuk kepailitan, disebabkan oleh kesalahan atau
kelalaian pemegang saham yang bertanggung jawab. Tetapi dalam praktiknya,
menerapkan pasal tersebut tidak sesederhana yang telah dinyatakan. Faktanya,
kehadiran UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UU Kepalitan) menjadi acuan utama dalam hal penanganan kasus
kepailitan PT di Indonesia.
Sejumlah
kendala sering dijumpai dalam pembuktian unsur-unsur kesalahan pemegang saham
dan kepailitan yang terdapat dalam UU Kepailitan. Selain itu, tidak ada
ketentuan yang jelas tentang bagaimana mengejar tanggung jawab sejauh
menyangkut aset pribadi pemegang saham. PT memiliki pemegang saham mayoritas
dan minoritas. Pemegang saham utama biasanya memiliki lebih dari setengah total
saham perusahaan (Butar-butar
et al., 2018). Namun,
mereka juga dapat mempunyai < 50% atau 40%. Misalnya, individu lain tidak
memiliki > 40%, tetapi hanya 10%-15%. Kepemilikan minoritas adalah oposisi
dari kepemilikan mayoritas. Faktanya, kepemilikan minoritas mempunyai proporsi
yang relatif kecil dari saham perusahaan, misalnya hanya 5% dari seluruh saham.
Selain divergensi porsi saham oleh kepemilikan saham mayoritas dan minoritas,
ada perbedaan lain. Kepemilikan utama utama memperoleh kuasa penuh terhadap
operasional perusahaan. Mereka memiliki hak untuk mengambil keputusan penting,
seperti menunjuk direksi perusahaan dan mengawasi jalannya perusahaan, serta
menentukan gaji dan angka tunjangan manajer perusahaan dan menentukan jumlah
dividen (Sudaryat,
2020). Kepemilikan
saham minoritas tidak memiliki kuasa atas perusahaan sebagaimana yang
diperuntukkan oleh mayoritas.
Ada
berbagai kategori pemegang saham perusahaan, yang dapat ditentukan oleh jumlah
saham yang mereka pegang. Klasifikasi yang paling umum digunakan untuk membagi
pemegang saham perusahaan adalah berdasarkan ukuran kepemilikan mereka. Selain
kepemilikan saham, ada perbedaan lain antara kepemilikan saham mayoritas dan
kepemilikan saham minoritas. Perbedaan ini adalah kekuatan untuk mengendalikan
perusahaan. Kepemilikan minoritas memiliki porsi saham yang relatif kecil namun
tetap memiliki kendali atas operasional perusahaan. UU PT mengatur bahwa setiap
pemegang saham memiliki satu suara dalam proses pengambilan keputusan atau one
share one vote kecuali digariskan lain dalam substansi Anggaran Dasar PT
(Pasal 84 ayat (1) UU PT) (Wiwin
Ariesta, 2019). Namun
demikian, perbedaan kepemilikan saham di antara para pemegang saham memunculkan
pihak mayoritas dan minoritas. Semua pihak diberikan hak suara yang
proporsional dengan porsi saham yang terikat dan mereka pegang. UU PT juga
melindungi hak suara kepemilikan saham secara proporsional dengan porsinya
masing-masing. Selain itu, ada ketentuan perusahaan memberikan perlindungan
bagi kepemilikan minoritas. Prinsip satu suara per saham memungkinkan pemegang
saham minoritas untuk berkontribusi kepada perusahaan dengan satu atau lain
cara.
Para
pendiri PT berperan sebagai pemegang saham perusahaan yang mereka dirikan dan
merupakan pihak yang menentukan arah kebijakan perusahaan sehingga dapat meraih
intensi yang dikehendaki oleh pemegang saham termasuk pendiri PT. Pendiri
adalah orang-orang yang bertanggung jawab secara pribadi dan secara
bersama-sama melakukan kegiatan yang sah menurut hukum untuk mencapai tujuan
organisasi PT. Sehubungan dengan ketentuan bahwa harus ada minimal dua orang
pendiri PT, timbul pertanyaan mengenai tanggung jawab dan kewajiban dari salah
satu pendiri terhadap aksi hukum yang diselenggarakan oleh pendiri lainnya.
Sampai saat ini, masih belum ada substansi regulasi nasional yang secara
eksplisit menegaskan ketentuan hubungan tersebut. Namun, korelasi hukum antar
pihak dapat disimpulkan dari niat pendiri untuk mendirikan perusahaan yang
memiliki personalitas hukum.
Pasal
7 ayat (1) UU PT mengatur bahwa pendirian perusahaan wajib dilakukan oleh
setidaknya dua orang dengan menggunakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
notaris dalam bahasa Indonesia. Pasal ini menegaskan bahwa PT harus memiliki
setidaknya dua orang pendiri yang memasukkan modal ke dalam perusahaan, yang
kemudian didistribusikan kepada individu dalam bentuk saham. Namun, tidak ada
ketentuan lain yang menjelaskan bagaimana cara memiliki minimal dua pemegang
saham. Menurut Pasal 7 ayat (2), seseorang yang merupakan pendiri perusahaan
harus memiliki saham di perusahaan pada saat pendiriannya. Pendiri adalah
individu atau sekelompok individu yang dengan sengaja berpartisipasi dalam
pendirian perusahaan. Individu kemudian akan melaksanakan strategi yang
diperlukan untuk merealisasikan pendirian sesuatu sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan oleh hukum. Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa hanya pendiri
perusahaan yang harus membeli saham, tetapi tidak menyebutkan berapa banyak
saham yang harus dibeli oleh kedua pendiri perusahaan. Ini berarti bahwa PT
dengan hanya dua pemegang saham dapat memiliki porsi kepemilikan saham yang
sama.
Akibatnya,
tidak ada kepemilikan mayoritas dan kepemilikan minoritas, yang menjadi masalah
karena dalam RUPS keputusan diambil secara musyawarah dan jika tidak tercapai
kesepakatan, keputusan diambil oleh pemegang saham mayoritas Bunyi Pasal 1
angka 1 UU PT diterangkan bahwa PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
klausul perjanjian, modalnya berupa saham, dan wajib untuk memenuhi ketentuan
yang ditetapkan dalam UU ini serta regulasi pelaksanaannya. Dengan begitu, terdapat beberapa unsur yang
mengikat PT, yaitu: 1) PT memiliki status sebagai badan hukum; 2) Pemegang
saham memiliki kewajiban terbatas dalam hal tanggung jawab; 3) Aktivitasnya
berdasarkan perjanjian tertentu; 4) Melakukan kegiatan usaha sebagai fokus
utama; 5) Modal terbagi dalam bentuk saham; serta 6) Durasi keberlangsungan
perusahaan dapat tidak memiliki batasan waktu. Menurut definisi di atas yang
menyatakan bahwa pendirian PT dilakukan melalui perjanjian, hal ini menunjukkan
bahwa pembentukan PT dilakukan melalui kesepakatan dan kontrak berdasarkan
Pasal 1313 KUH Perdata (Wahyuni
& Sari Dalimunthe, 2022). Pendirian PT
diselenggarakan melalui kontrak di mana para pendiri saling berjanji untuk
mendirikan PT.
Menurut
Pasal 7 ayat (1) UU PT, melarang ada lebih dari dua kepemilikan saham yang
mempunyai porsi saham yang sama di PT. Hal ini dapat memicu problematika
seperti kepelikan dalam mekanisme penetapan kesepakatan dan deadlock
dalam RUPS. Jika salah satu pemegang saham berkonfrontasi dengan pemegang saham
lain selama forum berlangsung, maka keputusan tidak tercapai. Hal ini
dikarenakan hanya ada dua orang yang memiliki saham di perusahaan tersebut. Ada
juga masalah lain mengenai kuorum RUPS. Di sana, ada persyaratan bahwa
setidaknya setengah dari pemegang saham harus hadir dalam rapat. Namun, RUPS
tidak bisa diselenggarakan apabila hanya ada dua pemegang saham yang eksis. UU
PT menetapkan jumlah minimum peserta RUPS. Tindakan pertama yang harus
dilakukan adalah meninjau dan menyesuaikan kuorum RUPS merujuk pada ketentuan
yang diatur dalam UU PT. Di masa lalu, ada beberapa pandangan yang berbeda
tentang RUPS sebagai bagian dari konstitusi perusahaan.
Seperti
yang dicatat oleh Rudi Prasetiya, pandangan klasik dianggap sempit dan
terbatas, sementara pandangan kontemporer jauh lebih luas (Kusuma,
2022). Pandangan-pandangan
tersebut adalah sebagai berikut. perusahaan dianggap ada hanya untuk
kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu, pandangan klasik melihat ketiga
lembaga tersebut dalam posisi top-down (untergeorgnet), dengan
kekuasaan berpuncak pada RUPS, dengan dewan komisaris di bawahnya dan direksi
di bagian bawahnya, namun pandangan ini sekarang sudah ditinggalkan. Menurut
teori-teori terbaru, keberadaan perusahaan tidak hanya untuk kepentingan
pemegang saham. Menurut Pasal 1 angka 4 UU PT, RUPS adalah organ perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau komisaris, dalam
batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar".
Namun demikian, meskipun Undang-Undang memberikan wewenang kepada RUPS, bukan
berarti RUPS dapat melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan Undang-Undang
kepada direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan definisi RUPS dalam Pasal 1
angka 4 UUPT, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: pertama,
badan ini adalah rapat.
Perlu
dicatat bahwa rapat ini berbeda dengan pemegang saham perorangan. Oleh karena
itu, kepemilikan mayoritas sekalipun tidak berkuasa lebih tinggi secara pribadi
di perusahaan. Pimpinan tertinggi hanya terbentuk ketika RUPS diadakan, dan
forum ini harus menggenapi kualifikasi formal yang ditetapkan dalam UU PT. Kedua,
kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh forum RUPS merupakan sisa-sisa
kekuasaan yang didasarkan pada teori residu. Tanggung jawab ini pada dasarnya
berasal dari situasi di mana pemegang saham memiliki kepentingan kepemilikan
dalam perusahaan. Pemilik perusahaan adalah orang yang memiliki saham. Secara
akademis, individu sebagai kepemilikan saham berhak untuk mengambil aksi apa
pun atas porsi kepemilikan ini. Ketiga, rapat dapat diwakili
representatif kekuasaannya kepada badan lain, seperti direksi atau dewan
komisaris. Pembagian kekuasaan yang diwakili dapat diatur oleh peraturan PT
atau keputusan RUPS. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh representatif dapat
bersifat sementara atau permanen dalam praktiknya. Pendelegasian wewenang yang
bersifat permanen terjadi ketika otorisasi diberikan untuk manajemen umum
perusahaan dan tugas mewakili perusahaan di pengadilan. Namun, pendelegasian wewenang
sementara dapat ditarik kapan saja.
Menurut
konteks ini, RUPS adalah forum terpenting perusahaan dan diadakan untuk
memutuskan strategi perusahaan, merger, pembubaran, dan rapat umum tahunan.
RUPS adalah organ perusahaan yang memperoleh kekuasaan yang tidak diperuntukkan
pada direksi atau dewan komisaris berdasarkan isi UU ini dan/atau Anggaran
Dasar. Rumusan ini memasukkan ketentuan Pasal 88 ayat (1) UUPT, yang
menjelaskan bahwa forum dapat diadakan untuk memperbaiki anggaran dasar jika
minimun presensi mencapai 2/3 dari keseluruhan hak suara dan minimal 2/3
representatif yang setuju. Namun, jika anggaran dasar mengatur kuorum absensi
dan pengambilan kesepakatan yang lebih tinggi, maka hal ini yang diutamakan.
Pasal 88 ayat (2) UU PT juga mengatur bahwa forum kedua dapat diselenggarakan
apabila kuorum presensi tidak terwujud. Pasal 88 ayat (3) UU PT mengatur bahwa
forum kedua menjadi legal dan berkuasa dalam mekanisme pengambilan keputusan
jika dalam RUPS paling sedikit 3/5 dari total hak suara yang eksis dan diwakili
oleh representatif. Keputusan adalah legal jika setidaknya 2/3 keseluruhan
suara telah mendukungnya. Namun, anggaran dasar perusahaan dapat mengatur lebih
banyak persyaratan kuorum dan prosedur kesepakatan yang diperlukan dalam rapat.
Prinsip
super-mayoritas berarti bahwa keputusan dalam RUPS hanya akan dianggap sah jika
suara yang setuju melebihi porsi tertentu, seperti lebih dari 2/3 atau lebih
dari 3/4 dari jumlah hak yang disuarakan. Oleh karena itu, keberadaan kuorum
atau suara mayoritas standar (lebih dari setengah suara yang setuju) masih
dianggap tidak mencukupi; kriteria kuorum dalam UUPT juga ditujukan untuk
memberikan upaya defensif terhadap hak-hak kepemilikan minoritas. Sistem untuk
membatasi kuota kepemilikan saham diatur dalam Pasal 54 ayat (4) UU PT. Jika
perusahaan ingin membatasi jumlah hak suara, hal ini harus dinyatakan dalam
anggaran dasar perusahaan. Menurut ketentuan tersebut, seorang kepemilikan
saham dilarang untuk mempunyai lebih dari enam suara apabila modal saham terdiri
minimal 100 saham, dan dilarang lebih dari tiga suara jika modal saham <
dari 100 saham. Namun, ketentuan mengenai determinasi hak suara berdasarkan
sistem kuota kemudian dicabut dan digantikan oleh UU No. 4 Tahun 1971, yang
mengadopsi sistem satu saham satu suara. Peraturan ini adalah Pasal 54 Stbl.
1847:23. Ini adalah konsep yang diimplementasikan oleh UU No. 1 tahun 1994,
yang kemudian dikembangkan dan menjadi UU PT. Dengan menerapkan prosedur satu
saham satu suara, tiap pemegang saham memiliki hak yang seimbang, kecuali
dinyatakan lain dalam Anggaran Dasar.
Kepemilikan
saham memiliki hak suara yang sebanding dengan jumlah saham yang mereka pegang.
Oleh karena itu, dapat diutarakan bahwa hukum perusahaan tidak menghalangi
kepemilikan saham yang memiliki jumlah saham yang signifikan untuk mendapatkan
hak suara yang lebih banyak, sesuai dengan Pasal 54 UU PT, yang menyatakan
bahwa perusahaan dapat mengadakan rapat umum jika dua pertiga dari jumlah saham
yang dipegang oleh individu yang eksis. Ketiga ayat tersebut juga mengacu
kepada kualifikasi kuorum, yang menyatakan RUPS dapat diselenggarakan jika 2/3
dari jumlah seluruh saham dengan presensi hak suara. Jika target ini tidak
tercapai, forum kedua harus diselenggarakan, dengan ketentuan setidaknya 3/5 dari
seluruh anggota hadir, yang melebihi tingkat kehadiran 50%. Dengan demikian,
jumlah peserta yang diperlukan untuk menghadiri RUPS harus melebihi 50 persen
dari jumlah total hak suara yang dimiliki oleh kepemilikan saham. Anggaran
Dasar juga memuat aturan mengenai kuorum dan mekanisme pencapaian kesepakatan
RUPS yang lebih tinggi. Dengan demikian, Anggaran Dasar dapat mengatur kuorum
tersendiri untuk RUPS, namun kuorum tersebut harus melebihi ketentuan UUPT.
Jika
terdapat dua kepemilikan saham dengan porsi saham yang sama yaitu 50%, maka
RUPS tidak dapat dilangsungkan jika salah satu pemegang saham tidak eksis.
Namun, bagi perusahaan yang berbentuk PT pada saat itu, perubahan tersebut
sangat mendesak dan diperlukan RUPS. Namun, ada saja kendala yang membuat RUPS
tidak dapat dilaksanakan karena peserta RUPS tidak mencapai kuorum. Dalam hal
ini, pengadilan berhak membubarkan perusahaan karena hanya ada dua pemegang
saham; jika terjadi deadlock dalam RUPS atau lebih awal dalam
pengambilan keputusan dan salah satu pihak tidak hadir, RUPS tidak dapat
dilakukan. Jika ada alasan mengapa perusahaan tidak dapat dilanjutkan,
pengadilan dapat membubarkan perusahaan. Jika dua kepemilikan saham maju dengan
kepentingan yang berbeda, perusahaan sulit memenuhi kedua kepentingan. Oleh
karena itu, perusahaan akan mengalami kesulitan mengopersionalkan usahanya.
Konflik kepentingan antara kepemilikan saham sering muncul dalam PT.
Kepemilikan minoritas sering kali dipandang sebagai pihak yang memberikan nilai
tambah bagi perusahaan.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kepemilikan minoritas selalu ditempatkan pada posisi
yang lebih rendah daripada kepemilikan mayoritas dalam proses penetapan
kesepakatan perusahaan. Situasi ini menjadi masalah ketika hanya ada dua
pemegang saham di sebuah perusahaan dan kedua pihak memperoleh porsi saham yang
setara. Akibatnya, tidak ada kepemilikan saham yang memiliki saham mayoritas
atau minoritas. Jumlah minimum peserta yang diperlukan untuk RUPS harus
ditentukan lagi dalam Pasal 86, 88, dan 89. Menurut Pasal 86 ayat (1), RUPS
hanya dapat diselenggarakan jika regulasi atau anggaran dasar menetapkan kuorum
tidak lebih dari satu. Kecuali ketentuan hukum menggariskan kuorum yang lebih
tinggi, RUPS dapat dilangsungkan jika paling sedikit 1/2 keseluruhan eksistensi
para pihak maupun dapat diwakili oleh representatif. Di sisi lain, Pasal 89
ayat (1) menguraikan bahwa forum yang ditujukan untuk menyetujui aktivitas
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, pengajuan pailit,
perpanjangan eksistensi, pembubaran membutuhkan minimal 3/4 bagian dari jumlah
seluruh saham yang hadir dan keputusan yang disetujui oleh paling sedikit 3/4
total presensi hak suara, kecuali anggaran dasar mengatur kualifikasi kuorum
absensi yang lebih tinggi.
Selain
itu, perusahaan sering memecah saham dengan komposisi yang sama. Pemecahan ini
tidak hanya memengaruhi jumlah, tetapi juga setiap kepemilikan saham dalam
perusahaan. Misalkan sebuah perusahaan terdiri dari dua orang dan sahamnya
dibagi rata 50/50. Saham mereka sama, tidak lebih kecil atau lebih besar.
Keduanya memiliki peran yang sama sebagai anggota dan anggota dewan direksi
perusahaan. Posisi kedua pemegang saham sama: tidak ada pemegang saham yang
memegang saham mayoritas. Tipe perusahaan seperti ini menyulitkan tercapainya
kesepakatan dalam RUPS jika ada perbedaan pendapat. Setiap orang merasa
memiliki kontribusi penting terhadap kapitalisasi perusahaan. RUPS dapat
diselenggarakan untuk membahas pengalihan saham di antara kedua belah pihak.
Namun, jika kedua belah pihak tetap berpegang teguh pada sahamnya
masing-masing, maka akan sulit untuk mencapai kesepakatan dan RUPS akan
menghadapi situasi deadlock. Sulit untuk mencapai kompromi.
Dalam
hal ini, mungkin perlu meminta pengadilan untuk menetapkan kuorum RUPS. Kegagalan
untuk melakukan hal tersebut akan sering mengakibatkan kedua pemegang saham
terus mengoperasikan perusahaan dengan pandangan yang berbeda, yang akan
semakin memperdalam perbedaan dan menyebabkan banyak perselisihan di masa
depan. Oleh karena itu, pihak yang mendirikan PT harus mempertimbangkan dengan
cermat pemecahan saham. Ada berbagai langkah yang dapat diambil, salah satunya
adalah lebih disarankan untuk menyertakan lebih dari dua pemegang saham saat
mendirikan perusahaan. Jika jumlah pemegang saham akan dibatasi, akan lebih
baik jika salah satu dari dua pendiri memiliki lebih banyak saham. Para pendiri
juga dapat membuat kesepakatan tentang ukuran kepemilikan saham berdasarkan
tanggung jawab mereka kepada setiap pemegang saham, rencana investasi dan pengembangan,
dan pemilihan calon direktur dan dewan komisaris. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kemungkinan deadlock dalam proses pengambilan keputusan.
Pasal-pasal
lain juga menegaskan bahwa kuorum untuk RUPS harus melebihi 50 persen dari
suara yang hadir, dan anggaran dasar juga dapat menetapkan persyaratan lain
untuk kuorum dan proses pengambilan keputusan RUPS. Anggaran dasar dapat
menetapkan kuorum yang berbeda dalam RUPS, tetapi kuorum tersebut harus sama
atau lebih besar dari kuorum yang ditetapkan oleh UU PT, serupa dengan bagian
lain. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari deadlock dalam RUPS.
Selanjutnya, beberapa langkah dapat dilakukan untuk mengatasi deadlock
dalam proses pengambilan keputusan dalam RUPS. Sebagai langkah awal, para pihak
dapat mengajukan ahli yang telah disepakati sebelumnya untuk memberikan
keterangan. Selain itu, para pihak juga harus menyepakati terlebih dahulu bahwa
keterangan ahli merupakan penilaian yang harus diterima oleh semua pihak.
Kedua, ada juga opsi untuk membeli kembali saham di perusahaan untuk
menghindari perubahan dalam pengaturan voting yang dapat menyebabkan deadlock
dalam proses pengambilan keputusan. Terakhir, ada penjualan saham kepada pihak
lain yang dapat mengubah struktur kepemilikan dan pengaruh suara dalam RUPS.
Kesimpulan
Implikasi
pelaksanaan RUPS yang dihadiri oleh 2 orang pemegang saham berimbang adalah PT
mengalami kebuntuhan atau deadlock. RUPS tidak dapat dilaksanakan karena
jumlah peserta yang hadir tidak mencukupi. Dalam situasi tersebut, Pengadilan
memiliki wewenang untuk menghentikan operasional Perseroan karena Perseroan
hanya memiliki dua kepemilikan saham. Jika terjadi situasi dimana kedua
pemegang saham tidak bisa mencapai kesepakatan dalam pengambilan keputusan,
entah itu dalam RUPS atau sebelumnya, karena salah satu pihak absen, maka
pelaksanaan RUPS tidak bisa dilakukan sehingga terjadi deadlock. Lebih
lanjut, suatu lembaga peradilan memiliki kewenangan untuk menyatakan pembubaran
sebuah perusahaan jika ada alasan yang menyebabkan perusahaan tersebut tidak
dapat dipertahankan. Jika ada konfrontasi kepentingan antara kedua kepemilikan
saham, perseroan tidak dapat memenuhi kedua kepentingan ini. Sebagai akibatnya,
dalam situasi seperti ini, perusahaan tidak dapat melaksanakan operasionalnya.
Pengadilan Negeri memiliki kemampuan untuk menghentikan Perseroan berdasarkan
permohonan dari pemegang saham, direksi, dewan komisaris dengan argumen bahwa
Perseroan tidak dapat dilangsungkan lagi. Selain itu, terdapat beberapa saran
yaitu saat pendirian perusahaan yang didirikan oleh dua orang dengan saham
berimbang, penting untuk memastikan bahwa kedua pemegang saham memiliki
pemahaman yang sama sehingga tidak terjadi perbedaan kepentingan saat
melaksanakan RUPS. Setelah itu, penting untuk melakukan perubahan pada
substansi UU PT yang mengatur mengenai kepemilikan saham, terutama kepemilikan
saham mayoritas PT.
BIBLIOGRAFI
Agustini, S. (2022).
Pertanggung Jawaban dalam Perseroan Terbatas yang Pengurusannya Dilakukan oleh
Anggota Dewan Komisaris Pasca UU Cipta Kerja. Jurnal Supremasi, 12(1),
86–96. https://doi.org/10.35457/supremasi.v12i1.1674
Aulia, M. Z. (2020).
Friedrich Carl von Savigny tentang Hukum: Hukum sebagai Manifestasi Jiwa
Bangsa. Undang: Jurnal Hukum, 3(1), 201–236.
Butar-butar, H., Sinaga,
B. N., & Siambaton, T. (2018). Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Saham
Minoritas pada Perusahaan Terbuka. Jurnal Hukum Patik, 7(2),
137–151.
Chatib, I. M., Muntaqo,
F., & Amin Mansyur. (2019). Sertifikat Hak Milik yang Diakui sebagai Aset
Perseroan Terbatas dan Menjadi Jaminan Hutang. Repertorium: Jurnal Ilmiah
Hukum Kenotariatan, 8(2), 127–141.
https://doi.org/10.28946/rpt.v0i0.389
Dharma Pura, I. P. W.,
& Budiana, I. N. (2018). Kebebasan Penetapan Modal Dasar Perseroan Terbatas
oleh Para Pihak Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016. Jurnal
Analisis Hukum, 1(1), 32–51. https://doi.org/10.38043/jah.v1i1.238
Dirdjosisworo, S. (2001). Pengantar
Ilmu Hukum. Radja Grafindo Persada.
Kandiyas, Y. A.,
Fahamsyah, E., & Efendi, A. (2023). Prinsip Hukum Perseroan Terbatas pada
Perusahaan Perseroan Daerah. Jurnal Syntax Admiration, 4(7),
912–927. https://doi.org/10.46799/jsa.v4i6.652
Kurniawan, D., &
Yuspin, W. (2023). Menggagas Pendirian Bank Digital di Indonesia: Sebuah Telaah
Yuridis. Jurnal Supremasi, 13(1), 1–14.
https://doi.org/10.35457/supremasi.v13i1.2158
Kusuma, D. C. (2022).
Pertanggungjawaban Perseroan Perorangan Pasca Pergeseran Paradigma Perseroan
Terbatas sebagai Persekutuan Modal. Lex Renaissance, 7(3),
476–490. https://doi.org/10.20885/JLR.vol7.iss3.art3
Mada, Z. Z. K. (23 C.E.).
Analisis Yuridis Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang Memiliki Persentase
Kepemilikan Saham yang Seimbang pada Perseroan Terbatas. Jurnal Magister
Ilmu Hukum (Hukum Dan Kesejahteraan)2, 8(1), 1–15.
https://doi.org/10.36722/jmih.v8i1.1877
Marpaung, M. (2019). Hak
Suara Pemegang Saham Perseroan Terbatas. Yure Humano, 3(1),
36–43.
Mustaqim, M., &
Satory, A. (2019). Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Perseroan
Terbatas Tertutup dan Keadilan Berdasar Pancasila. Sasi, 25(2),
199–210. https://doi.org/10.47268/sasi.v25i2.222
Negara, D. S., Nainggolan,
S. D. P., Yudhantaka, L., & Donauli, E. (2023). Upaya Hukum Perseroan
Terbatas terhadap Penggelapan Pajak oleh Direksi Melalui Black Market. Literasi
Hukum, 7(1), 83–95. https://doi.org/10.31002/lh.v7i1.7516
Patricia Yosephin, P.
(2021). Analisis Yuridis Pembubaran Perseroan Terbatas (PT) yang Tidak
Beroperasi. Recital Review, 3(2), 314–330. https://doi.org/10.22437/rr.v3i2.15290
Sudaryat, S. (2020).
Tanggungjawab Pemegang Saham Mayoritas yang Merangkap sebagai Direksi terhadap
Kerugian Pihak Ketiga Akibat Perbuatan Melawan Hukum Perseroan. Jurnal Bina
Mulia Hukum, 4(2), 313–325. https://doi.org/10.23920/jbmh.v4i2.293
Wahyuni, R., & Sari
Dalimunthe, S. N. I. (2022). Kedudukan Hukum Perjanjian di dalam Pendirian
Perseroan Terbatas Berbentuk Badan Usaha Mikro dan Kecil Berdasarkan
Undang-Undang Cipta Kerja. Acta Diurnal Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Dan
Ke-PPAT-An, 6(1), 51–64. https://doi.org/10.23920/acta.v6i1.1059
Wiwin Ariesta. (2019).
Prinsip Perlindungan Hukum Seimbang Bagi Pemegang Saham Minoritas dalam Tata
Hukum Perseroan. Jurijaya: Jurnal Ilmiah Hukum, 2(1), 1–23.
https://doi.org/10.51213/yurijaya.v2i1.14
Copyright holder: Sheerleen, Mella Ismelina Farma Rahayu (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |