Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
9, No. 4, April 2024
TANGGUNG JAWAB
PIHAK ASURANSI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM HAL DEBITUR MENINGGAL
DUNIA
Mochammad Iqbal
Saputra1*, Gunawan Djajaputera2
Universitas
Tarumanagara, Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia1,2
Email: [email protected]1*
Abstrak
Perjanjian
kredit biasanya dibarengi perjanjian agunan serta perjanjian asuransi.
Perjanjian asuransi inilah menjadi sarana pengalihan risiko bagi bank,
khususnya asuransi jiwa dalam hal debitur meninggal dunia, disamping kredit
juga dapat jatuh kepada ahli waris jika debitur meninggal dunia sebelum
melunasi sisa kreditnya. Penelitian in bertujuan untuk menganalisis akibat
Hukum terhadap Perjanjian Kredit Bank dalam hal Debitur Meninggal Dunia dan
mengetahui tanggung Jawab Pihak Asuransi terhadap Perjanjian Kredit Bank dalam
hal Debitur Meninggal Dunia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil
penelitian menunjukan bahwa akibat hukum perjanjian kredit dalam hal debitur
meninggal dunia ada dua kemungkinan yaitu kredit jatuh ke ahli waris
sebagaimana diatur dalam pasal 833 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) atau
jaminannya dieksekusi pihak bank, serta kemungkinan kedua adalah kredit hapus
karena adanya klausula asuransi jiwa atau perjanjian asuransi jiwa dengan
syarat banker’s clause, artinya disini pihak asuransi harus bertanggung jawab
melunasi sisa utang debitur yang meninggal sesuai syarat dan ketentuan dalam
polis, jika tidak maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan somasi hingga
menggugat pihak asuransi. Dari hal tersebut, simpulannya para pihak haruslah
memahami betul isi dari perjanjian kredit yang dibuat, sehingga nantinya jika
terjadi risiko tersebut, maka ada kejelasan terhadap pembayaran sisa utang
debitur.
Kata Kunci: Perjanjian Kredit Bank, Debitur Meninggal
Dunia, Ahli Waris Debitur, Tanggung Jawab Pihak Asuransi
Abstract
Credit agreements are usually accompanied by
collateral agreements and insurance agreements. This insurance agreement is a
means of risk transfer for banks, especially life insurance in the event of the
debtor's death, in addition to credit can also fall to heirs if the debtor dies
before paying off the remaining credit. This study aims to analyze the legal
consequences of the Bank Credit Agreement in the event of the Debtor's Death
and find out the responsibility of the Insurance Party to the Bank Credit
Agreement in the event of the Debtor's Death. This research uses normative
research methods with a statutory approach and a conceptual approach. The
results showed that the legal consequences of the credit agreement in the event
of the debtor's death there are two possibilities, namely the credit falls to
the heirs as stipulated in article 833 of the Civil Code (Burgerlijk Wetboek)
or the guarantee is executed by the bank, and the second possibility is credit
removal due to the existence of a life insurance clause or life insurance
agreement with banker's clause conditions, meaning that here the insurance must
be responsible for paying off the remaining debt of the deceased debtor
According to the terms and conditions in the policy, if not, the interested
party can file a summons to sue the insurance. From this, the conclusion is
that the parties must fully understand the contents of the credit agreement
made, so that later if the risk occurs, there will be clarity on the payment of
the remaining debtor's debt.
Keywords: Bank Credit Agreement, Deceased Debtor,
Debtor's Heirs, Insurance Party Liability
Pendahuluan
Perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana
seseorang atau lebih berjanji kepada orang lain untuk berbuat sesuatu, atau pun
untuk tidak berbuat sesuatu (Subekti, 2009). Perjanjian ada banyak macamnya tergantung kebutuhan
kita, salah satunya perjanjian kredit (Wati et al., 2021). Menyalurkan kredit merupakan cara bank untuk memperoleh
keuntungan. Perjanjian kredit bank merupakan perjanjian baku yang telah
ditetapkan secara sepihak oleh pihak bank (Torey, 2019). Dalam pemberian kredit bank terdapat banyak sekali
risiko, sehingga bank perlu menerapkan prinsip kehati-hatian (Mulyati & Dwiputri, 2018). Sebagai contoh risiko dalam hal debitur meninggal dunia
sebelum sempat melunasi sisa hutangnya, ini terkait nasib sisa hutang debitur (Wati et al., 2021).
Dalam hal debitur meninggal dunia selama selama kredit
masih berjalan ahli waris mempunyai kewajiban dalam hal pembayaran hutang,
hibah wasiat, dan lain-lain dari pewaris, sebagaimana pasal 833 ayat (1)
KUHPerdata (Danovand et al., 2023). Namun terdapat kekaburan norma dalam pasal 833 (1)
tersebut dalam frasa “dengan sendirinya”. Tidak ada kejelasan apakah ahli waris
harus menerima dengan pasrah begitu saja seluruh warisan termasuk hutang yang
dibebankan padanya, ataukah pasal tersebut memiliki maksud bahwa pemberian
warisan (khususnya pembebanan utang) tersebut hanyalah secara formil atas dasar
hukum saja karena di sisi lain ahli waris memiliki hak berpikir serta boleh
menentukan sikap apakah akan menerima atau menolak warisan yang diberikan
padanya atau dibebankan padanya (pasal 1023 KUHPedata). Selain hal tersebut
dalam prakteknya juga banyak perjanjian kredit bank sudah mencantumkan klausula
asuransi jiwa dengan syarat banker’s clause atau meminta calon debitur untuk
ikut serta dalam polis asuransi jiwa sebagai solusi jika debitur meninggal
dunia sebelum melunasi utang-utangnya, sehingga bank mengalihkan risikonya
kepada pihak asuransi jiwa.
Penelitian in bertujuan untuk menganalisis akibat Hukum
terhadap Perjanjian Kredit Bank dalam hal Debitur Meninggal Dunia dan
mengetahui tanggung Jawab Pihak Asuransi terhadap Perjanjian Kredit Bank dalam
hal Debitur Meninggal Dunia
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan penelitian hukum normatif dengan
melihat peristiwa atau perbuatan hukum yang ada di dalam masyarakat (Marzuki, 2013); (Soekanto & Mamudji,
2015) dan melihat peraturan-peraturan hukum serta pendekatan
yang digunakan yaitu dengan mempergunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konsep Sumber data dalam pengkajian permasalahan hukum tersebut
dengan sumber bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier (Ahmad & Seymour,
2008). Metode yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum
adalah dengan cara mengumpulkan, mengkaji, dan mengolah secara sistematis
bahan-bahan kepustakaan dan dengan menganalisis peraturan perundang- undangan.
Selanjutnya, diolah dan dianalisis secara sistematis dengan menggunakan metode
argumentasi hukum berdasarkan logika hukum deduktif dan induktif. Hasil
analisis dipaparkan secara deskriptif, dengan harapan dapat menggambarkan
secara jelas mengenai tanggung jawab pihak asuransi terhadap perjanjian kredit
bank dalam hal debitur meninggal dunia, sehingga diperoleh gambaran yang
menyeluruh tentang permasalahan yang diteliti (Hidayat, 2020).
Hasil dan Pembahasan
Akibat Hukum
Terhadap Perjanjian Kredit Bank Dalam Hal Debitur Meninggal Dunia
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak (Gunartha, 2013). Perjanjian kredit bank merupakan salah satu contoh
perjanjian baku yang telah ditetapkan sepihak oleh pihak bank. Perjanjian
Kredit adalah perjanjian mengenai pemberian fasilitas Kredit dari pihak bank
kepada debitur (Indriani, 2018). Jika dilihat dari syarat sahnya perjanjian itu dibuat
yaitu khususnya pada poin kesepakatan para pihak, maka sebenarnya klausula baku
pada perjanjian kredit merupakan kecacatan kehendak. Mengingat seharusnya
terdapat negosiasi atau perundingan antara para pihak untuk menentukan isi dari
perjanjian namun disini isi perjanjian telah dibuat secara sepihak oleh pihak
bank, dan nasabah debitur hanya memiliki pilihan untuk menerima atau
menolaknya.
Penting untuk memahami keseluruhan isi perjanjian yang
dibuat oleh para pihak terutama disini dalam hal perjanjian kredit bank, calon
nasabah debitur harus memahami betul isinya, sehingga calon nasabah debitur
tidak dianggap lemah dan mudah diperdaya oleh oknum-oknum bank yang tidak
bertanggung jawab (Leonard, 2022). Sehingga klausula-klausula seperti rincian jumlah
angsuran pokok, bunga yang harus dibayar, jangka waktu pinjaman, jatuh tempo,
hingga mengenai hal-hal yang dapat terjadi diluar kehendak seperti jika debitur
meninggal dunia apakah ahli waris yang menanggung utang-utangnya atau ada
asuransi sebagai penjamin sisa utang, bagaimana sistemnya, apakah system
banker’s clause atau tidak. Inilah hal-hal yang riskan dan perlu dipahami betul
oleh para pihak khususnya calon nasabah debitur.
Berbicara mengenai meninggalnya seseorang secara langsung
akan berhubungan dengan hukum waris, karena setiap manusia pasti akan mengalami
peristiwa alam yaitu kematian itulah sebabnya hukum waris sangat erat kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia (Danovand et al., 2023). Ketika seseorang meninggal dunia maka akan timbul
akibat hukum yang berakitan dengan harta kekayaannya, bagaimana perpindahan
kelanjutan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kepada para ahli waris
ataupun pihak-pihak yang masih memiliki hubungan darah dengan pewaris (Listyawati & Dazriani, 2015). Hukum waris itu sendiri mengatur
mengenai perpindahan kekayaan serta proses dan pengaturan bagaimana tata cara
peralihan herta kekayaan si pewaris pada tiap-tiap ahli waris (Wuisan, 2016). Oleh karena itu jika seseorang meninggal otomatis sebagian atau
seluruh hak dan kewajibannya pewaris akan berpindah kepada ahli warisnya.
Berbicara khususnya dalam hukum perdata hal ini ditegaskan dalam Pasal 833
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Ahli waris dengan sendirinya karena hukum
memperoleh hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang
meninggal.” Hal ini menjelaskan bahwa seluruh harta warisan yang ditinggalkan
pewaris otomatis menjadi hak para ahli waris. Namun pada Pasal 1023 KUHPerdata
juga dijelaskan pula bahwa “Semua orang yang memperoleh hak atas suatu warisan,
dan ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan, agar mereka dapat
mempertimbangkan, apakah harta tersebut akan bermanfaat bagi mereka untuk
menerima warisan tersebut secara murni, atau dengan hak istimewa untuk
mengadakan pendaftaran harta peninggalan, atau pula untuk menolaknya.” Jadi
dalam pasal ini disebutkan bahwa setiap calon ahli waris diberikan waktu dan
berhak untuk berpikir dan menimbang terlebih dahulu apa yang akan diputuskan
olehnya sehingga calon ahli waris dapat menentukan sikap menolak ataupun
menerima warisan yang ditinggalkan pewaris. Jika calon ahli waris menolak
warisan artinya adanya keengganan calon ahli waris jika harus bertanggungjawab
atas harta peninggalan tersebut karena tidak semua orang senang atas status
ahli waris yang didapatnya. Jika ahli waris menolak warisan dan tidak bersedia
sebagai ahli waris maka penolkana tersebut harus dilakukan dengan tegas serta
harus terjadi dengan cara memberikan pernyataan kepada pada kepaniteraan
Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka. Hal ini
tercantum jelas pada Pasal 1057 KUHPerdata sehingga dampak dari penolakan harta
warisan itu sendiri adalah orang tersebut tidak pernah dianggap menjadi ahli
waris dalam keluarganya dan ini juga akan berdampak pada keturunan yang masih
hidup dari si penolak tersebut tidak dapat menggantikan posisinya sebagai ahli
waris. Tercantum jelas dalam Pasal 1060 menjelaskan bahwa “orang yang telah
menolak warisan sekali-kali tidak dapat diwakili dengan penggantian ahli waris bila ia itu satu-satunya ahli waris
dalam derajatnya, atau bila semua ahli waris, menolak warisannya, maka
anak-anak mereka menjadi ahli waris karena diri mereka sendiri dan mewarisi
bagian yang sama.”(Ayu & Dewi, 2020).
Seperti hal terjadi sesuatu diluar kehendak para pihak
yaitu dalam hal debitur meninggal dunia sebelum sempat melunasi seluruh
pinjamannya, maka akibat hukum yang dapat terjadi terhadap perjanjian kredit
yang telah dibuat adalah perjanjian kredit hapus sehingga utang lunas
dikarenakan pembayaran melalui pihak ketiga yaitu lembaga asuransi sebagai
lembaga peralihan risiko jika sebelumnya telah diatur dalam isi perjanjian, dan
debitur telah membayar premi asuransi bersamaan dengan utangnya tiap bulannya,
atau utang juga dapat jatuh kepada ahli warisnya sebagaimana diatur dalam
ketentuan pasal 833 KUHPerdata.
Jika dalam perjanjian kredit tersebut tidak mencantumkan
klausula mengenai asuransi jiwa, maka ketentuan pasal 833 KUHPerdata dapat
menjadi dasar hukum untuk nasib sisa kredit debitur. Namun masih terdapat
kekaburan norma mengenai ketentuan pasal 833 KUHPerdata tersebut, bahwa
dinyatakan di dalamnya ahli waris dengan sendirinya karena hukum mendapatkan
warisan termasuk utang-piutang pewaris yang meninggal. Dari sini kita dapat
melihat frasa “dengan sendirinya karena hukum” masih memiliki arti yang
multitafsir, sebut saja yang pertama dapat dipahami bahwa secara otomatis ahli
waris menerima tanpa ada celah penolakan semua warisan yang diberikan dan
dibebankan padanya, kedua dapat diartikan bahwa ahli waris secara hukum
menanggung semua warisan pewaris secara formil namun tetap memiliki hak
berpikir untuk menerimanya atau menolaknya secara materiil.
Mengingat dalam pasal 1023 KUHPerdata ahli waris memiliki
hak berpikir terkait harta peninggalan termasuk utang pewaris selama empat
bulan lamanya. Namun, tetap hal ini harus sesuai prosedur yaitu harus dicatat
oleh Panitera Pengadilan. Sehingga jika masa waktu empat bulan telah habis,
maka ahli waris harus menentukan sikap dengan menyatakan salah satu hal berikut
(Suparman 2018).
1.
Menerima
warisan tanpa syarat atau menyeluruh
Bahwa
berdasarkan pasal 1045 KUHPerdata setiap orang tidak berkewajiban untuk
menerima harta warisan. Akibat dari menerima warisan secara penuh maka ahli
waris bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kewajiban yang melekat pada
warisan tersebut, termasuk utang pewaris.
2.
Menerima
warisan dengan syarat atau pencatatan (Beneficiaire aanvaarding); berarti
apabila dalam pencataatan serta pengecekan harta warisan tersebut lebih banyak
pasiva daripada aktiva, maka ahli waris tidak dapat mempertanggungjawabkannya.
Jadi ahli waris hanya bertanggung jawab atas utang pewaris sebatas jumlah harta
warisan yang ia peroleh saja. Jadi, ada beberapa pengertian penerimaan
berdasarkan pasal 1032 KUHPerdata yaitu sebagai berikut:
a.
Ahli waris
tidak wajib untuk membayar utang pewaris melebihi jumlah harta warisan yang ia
terima;
b.
Ahli waris
membebaskan diri dari utang pewaris dengan menyerahkan warisan kepada kreditur;
c.
Harta kekayaan
pribadi ahli waris dengan harta warisan yang ia terima dipisahkan dan tidak
dapat dicampur. Maka jika kreditur ingin menuntut dan menggugat hanya sebatas
terkait jumlah utang saja, dan utang ini selanjutnya dibayar dengan harta
warisan pewaris, jika ada sisa barulah menjadi hak ahli waris.
3.
Menolak warisan
(Verwerping)
Penolakan harta
warisan dapat terjadi bila terdapat harta warisan yang terbuka. Akibat dari
ditolaknya warisan, maka ahli waris dianggap tidak pernah menjadi ahli waris,
dan hal ini berlaku surut. Apabila penolakan warisan oleh ahli waris merugikan
kreditur (jika terdapat utang-utang dari pewaris), maka kreditur dapat meminta
kepada hakim agar diberi kuasa untuk menggantikan ahli waris dan memperoleh
harta warisan itu atas nama dan untuk kedudukan ahli waris.
Jika ahli waris menolak warisan dan tidak bersedia sebagai ahli
waris maka penolakan tersebut
harus dilakukan dengan tegas serta harus terjadi dengan cara memberikan
pernyataan kepada pada kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah
hukumnya warisan itu terbuka. Hal ini tercantum jelas pada Pasal 1057
KUHPerdata sehingga dampak dari penolakan harta warisan itu sendiri adalah
orang tersebut tidak pernah dianggap menjadi ahli waris dalam keluarganya dan
ini juga akan berdampak pada keturunan yang masih hidup dari si penolak
tersebut tidak dapat menggantikan posisinya sebagai ahli waris. Tercantum jelas
dalam Pasal 1060 menjelaskan bahwa “orang yang telah menolak warisan
sekali-kali tidak dapat diwakili
dengan penggantian ahli waris bila ia itu satu-satunya ahli waris dalam
derajatnya, atau bila semua ahli waris, menolak warisannya, maka anak-anak
mereka menjadi ahli waris karena diri mereka sendiri dan mewarisi bagian yang
sama.”(Pradnyani et al., 2022).
Oleh karena itu ahli waris perlunya mengecek terlebih
dahulu apa saja warisan yang ditinggalkan oleh pewaris karena warisan tidak
hanya berupada harta kekayaan namun juga kewajiban yang harus dilaksanakan ahli
waris ketika ia menerima warisan tersebut. Kewajiban yang dimaksud dalam hal
ini adalah salah satunya utang atau kredit yang dimiliki pewaris. Pada pasal
1024 KUHPerdata dijelaskan “Mengenai jangka waktu yang diberikan kepada ahli
waris yaitu selama empat bulan dihitung dari hari dimana pemberian pernyataan,
untuk menyuruh pengadaan perincian harta itu untuk berpikir. Dan pengadilan
negeri berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tersebut diatas, berdasarkan
keadaan-keadaan mendesak, bila ahli waris itu dituntut di hadapan hakim.” Sehingga
dalam pelaksanaan penyelesaian kredit macet yang ditinggalkan oleh pewaris,
segala utang-utang yang belum terselesaikan semasa hidup pewaris akan jatuh ke
tangan ahli waris yang secara sah menerima warisan dan ia pun harus
menyelesaikan dan bertanggungjawab atas segala kewajiban tersebut. Untuk dapat
bertindak sebagai ahli waris maka seseorang harus sudah ada pada saat warisan
itu dibuka, dengan mengindahkan ketentuan pasal 832 Kuhperdata (Dewantari et al., 2017). Pewarisan yang muncul dapat berdasarkan surat wasiat
atau undang-undang. Sesuai dalam Pasal 830 KUHPerdata disebutkan bahwa
pewarisan hanya terjadi apabila adanya kematian, hal ini berarti bahwa kematian
seseorang (pewaris) menjadi syarat utama untuk dapat dilakukannya pewarisan (Yama et al., n.d.).
Sesuai dengan Pasal 1243 KUHPerdata dituliskan bahwa
hal-hal yang dapat dilakukan kreditur bagi debitur yang wanprestasi, salah
satunya adalah memenuhi perjanjian disertai dengan ganti rugi. Maka dalam
keadaan debitur yang telah meninggal dunia artinya utang beralih kepada ahli
waris yang sah maka dapat diupayakan dengan melakukan perjanjian baru/ulang
antara bank dengan para pewaris karena dalam perjanjian yang dilakukan antara
bank dengan debitur sebelumnya tidak menyebutkan klausula ahli waris. Oleh
karena ini perjanjian baru diperlukan agar pertanggungjawaban para ahli waris
dapat dilaksanakan dan mengikat secara hukum. Sehingga dalam melakukan
pelunasan maka utang-utang dari kredit macet pewaris dibagi rata sesuai dengan
seberapa besar warisan yang di dapatkan oleh pewaris beserta bunga yang
dikenakan kreditur. Pembentukan perjanjian baku atau pencantuman klausul baku
dalam perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan (Ayu & Dewi, 2020). Keadaan ini diatur dalam Pasal 1100 KUHPerdata yang
menjelaskan bahwa “Para ahli waris bersedia menerima warisan, harus ikut
memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban beban lain, seimbang dengan
apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.”
Jadi dari beberapa hal tersebut di atas maka jika debitur
meninggal dunia sebelum melunasi utang-utangnya maka ahli waris dapat
menentukan sikap terkait warisan yang ditinggalkan pewaris, dengan syarat
melapor dan menyatakan dimuka hakim bahwa ia hendak menggunakan hak berpikirnya
selaku ahli waris untuk menentukan sikap terhadap warisan yang ditinggalkan
pewaris. Pihak bank selaku kreditur tidak dapat memaksa ahli waris melunasi
utang-utang pewaris sebelum ahli waris menyatakan menerima warisan pewaris
secara penuh.
Disamping masalah ahli waris terkait pertanggungjawaban
utang debitur, ada juga lembaga peralihan risiko yaitu lembaga asuransi yang
dapat menjamin pembayaran atau pelunasan utang-utang debitur yang meninggal
sebelum sempat melunasi utang-utangnya. Namun hal ini haruslah sudah diatur sebelumnya
dalam isi perjanjian kredit, atau mungkin sebelumnya debitur telah terikat
perjanjian asuransi jiwa terhadap lembaga asuransi. Maka pihak bank selaku
kreditur harus jeli terkait beberapa risiko yang nantinya dapat terjadi dalam
hal pemberian kredit, sehingga dapat ditangani dengan cepat. Asuransi jiwa pada
umumya hanya mengenal pihak penanggung (perusahaan asuransi), pihak tertanggung
(orang yang jiwanya dipertanggungkan), dan pihak penerima manfaat/yang ditunjuk
(pihak yang berhak menerima pembayaran uang santunan), biasanya ahli waris dari
tertanggung (Mursid 2018).
Perjanjian kredit biasanya tidak dapat berdiri sendiri
melainkan harus dilengkapi dengan adanya perjanjian agunan serta perjanjian
asuransi, walaupun perjanjian dapat dibuat secara lisan atau tulisan, ada
baiknya dibuat secara tertulis dalam bentuk akta, sehingga memiliki kekuatan
hukum yang kuat dan menjadi bukti sempurna. Polis asuransi sebagai perjanjian
asuransi sebaiknya tertulis dalam bentuk akta sehingga memberikan jaminan
perlindungan hukum terhadap perbuatan hukum yang dilakukan para pihak (pasal
255 ayat 1) KUHD). Jaminan merupakan langkah antisipatif dalam menarik kembali
dana yang telah disalurkan kepada debitur (Pambudi and Pujiyono 2016).
Dalam perjanjian asuransi khususnya disini asuransi jiwa
yang mana tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit yang ada, para pihak
yang menjadi sentral di dalamnya yaitu pihak asuransi selaku penanggung,
nasabah debitur selaku tertanggung, dan pihak bank sebagai pemegang polis
asuransi. Pada dasarnya pihak tertanggung hanya perlu menyetujui dan
menandatangani surat tanda kepesertaannya ketika ingin meminjam uang/ dana dari
pihak bank. Pencantuman klausula asuransi atau adanya polis asuransi adalah
sebagai upaya preventif untuk menanggulangi risiko bank yang dapat terjadi
seperti misalnya pencantuman klausula asuransi jiwa untuk menyikapi jika ada
debitur meninggal dunia sebelum sempat melunasi semua angsuran kreditnya. Dalam
hal debitur meninggal dunia sebelum sempat melunasi utang-utangnya pada bank,
dengan adanya pencantuman klausula asuransi jiwa dalam hal ini dapat menjadi
solusi untuk melunasi utang-utang debitur kebada bank selaku kreditur. Jadi
disini pihak asuransilah yang bertanggungjawab terhadap utang-utang
tertanggungnya, sehingga ahli waris tidak dibebani lagi. Maka karena hal
tersebut asuransi sering dikatakan sebagai pertukaran yang tidak seimbang
(aleatory contact), artinya ada kemungkinan beban yang ditanggung pihak
asuransi kadang tidak seimbang dengan jumlah premi yang telah dibayarkan.
Ketika risiko terjadi maka pemegang polis akan mengajukan
klaim asuransi tersebut, mekanisme pencairan dana asuransi yang mana preminya
telah dibayarkan tiap bulannya bersamaan dengan pinjaman pokok biasanya pihak
bank menggunakan metode banker’s clause atau klausula bank. Jadi klausula ini
dicantumkan sebagai akibat dari adanya hubungan hukum berupa utang-piutang
antara debitur dengan kreditur dimana obyek pertanggungannya menjadi jaminan
bank. Maka klausula ini bukan merupakan klausula baku dalam suatu perjanjian
kredit ataupun asuransi, namun dalam keadaan hal tertentu saja dimintakan oleh
bank yang bekerjasama kepada pihak asuransi guna memberikan perlindungan kepada
pihak bank ketika memberikan pinjaman/kredit kepada nasabah debitur. Dari
sinilah kita melihat adanya tangung jawab dari pihak asuransi kepada pihak
ketiga yaitu ketika terjadi klaim terhadap asuransi tersebut, maka pihak
asuransi harus mencairkan dana pihak tertanggung untuk dipergunakan sesuai
dengan kepentingan dalam isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya.
Perjanjian asuransi merupakan perjanjian konsensual,
artinya perjanjian tersebut merupakan perjanjian timbal balik yang menimbulkan
hak dan kewajiban diantara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Apabila untuk itu terjadi evenemen dari peristiwa yang tidak pasti yaitu
tentang meninggalnya seseorang, maka tertanggung atau ahli waris berhak atas
uang santunan dari penanggung, tetapi apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi
jiwa, juga berhak memperoleh pengembalian sejumlah uang dari penanggung yang
jumlahnya telah ditetapkan berdasarkan perjanjian. Tuntutan ganti kerugian oleh
tertanggung kepada penanggung inilah yang biasanya disebut klaim" (Rastuti, 2016).
Seorang tertanggung atau pemegang polis jika akan
mengajukan klaim maka pemegang polis dapat langsung menghubungi perusahaan
asuransi yang bersangkutan untuk memperoleh uang santunan dengan meminta surat
pengajuan klaim serta melengkapi syarat-syarat yang diperlukan.
Pengajuan klaim dapat dilakukan oleh ahli waris atau
kuasa yang ditunjuk dengan melampirkan dokumen-dokumen yang diperlukan
sebagaimana tercantum dalam polis. Perusahaan asuransi, mempunyai unit klaim
yang bertugas untuk mengurus semua peserta asuransi yang akan mengajukan
klaim. Unit klaim ini akan memeriksa arsip dan database
untuk mengetahui jumlah premi yang sudah dilunasi serta kondisi-kondisi yang
lain.
Perusahaan asuransi menentukan bahwa pada tertanggung
atau pemegang polis dapat mengajukan klaim secepatnya setelah terjadinya
evenemen atau jika evenemen tidak terjadi sampai masa pertanggungan berakhir
dengan batas maksimal dua tahun. Namun apabila klaim baru diajukan setelah
lebih dari dua tahun, pihak perusahaan asuransi masih bisa menberikan
dispensasi jika ada alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, misalnya saja
seorang ahli waris baru mengajukan klaimnya setelah empat tahun sejak
terjadinya evenemen karena ahli waris tidak tahu sebelumnya kalau tertanggung
mengikuti asuransi jiwa, maka dalam hal ini perusahaan akan memberikan
dispensasi dan membayar santunan tersebut kepada ahli waris atau orang yang
ditunjuk oleh tertanggung.
Namun disamping hal tersebut diatas, jika pihak asuransi
tidak mau menerima klaim asuransi terhadapnya, maka tanggung jawab pihak
asuransi dapat dituntut sesuai ketentuan Undang-Undang No.40 tahun 2014 yaitu
dalam pasal 52 UU Perasuransian ini menjelaskan bahwa kedudukan pemegang polis
merupakan hal yang utama dan kedudukannya lebih tinggi dari pihak lainnya.
(Alfiandi, 1993). Jangka waktu pembayaran klaim asuransi berdasarkan pasal 40
ayat (1) Peraturan OJK No.69/POJK/201627 yaitu selama 30 hari sejak
disetujuinya permintaan klaim. Pihak asuransi harus bertanggungjawab terhadap
kewajibannya serta hak pemegang polis dan tertanggung, karena jika tidak dapat
dikenakan sanksi peringatan, pembatasan kegiatan usaha bahkan pencabutan izin
usaha (pasal 37 PP 73/1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian). Hal
ini berarti pihak asuransi telah melakukan wanprestasi karena tidak bertanggung
jawab sesuai isi polis, namun harus dibuktikan terlebih dahulu, jika memang
pihak asuransi benar lalai memenuhi kewajibannya terhadap tertanggung atau pun
pemegang polis.
Karena hal tersebut, jika pihak asuransi tidak
bertanggung jawab atas kewajiban yang ditanggungnya maka pemegang polis atau
pihak nasabah debitur (ahli warisnya) dapat mengajukan gugatan atas tidak
terlaksananya klaim untuk melunasi sisa utang debitur namun sebelum mengajukan gugatan
wanprestasi, dilakukan upaya somasi atau teguran terlebih dahulu, jika tidak
ada respon yang baik, maka dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan umum.
Disamping itu upaya mediasi juga dapat ditempuh melalui Badan Mediasi Asuransi
Indonesia (BMAI).
Kesimpulan
Akibat Hukum Perjanjian Kredit dalam hal Debitur
Meninggal Dunia. Mengingat sekian banyak risiko yang dapat terjadi dalam
pemberian kredit oleh bank, salah satunya yaitu meninggalnya debitur ketika
kredit masih berjalan. Jadi akibat hukum bagi perjanjian kreditnya terdapat dua
kemungkinan yaitu perjanjian kredit hapus karena adanya jaminan asuransi jiwa
dalam perjanjian kredit yang telah dibuat, serta kemungkinan kedua yaitu ahli
waris sebagaimana pasal 833 KUHPerdata dengan sendirinya karena hukum berhak
atas warisan serta piutang pewaris/debitur. Namun perlu diingat bahwa ahli
waris memiliki hak berpikir apakah akan menerima sepenuhnya, menerima dengan
syarat atau pun menolak warisan dari pewaris tersebut (pasal 1023 KUHPerdata).
Kemudian, tanggung Jawab Pihak Asuransi Terhadap Perjanjian Kredit Bank Dalam
hal Debitur Meninggal Dunia. Klausula asuransi jiwa menjadi hal penting
mengingat asuransi merupakan lembaga peralihan risiko. Dengan adanya klausula
asuransi jiwa serta perjanjian asuransi, pihak asuransi memiliki tanggung jawab
untuk melunasi sisa utang debitur jikalau debitur meninggal dunia sebelum
sempat melunasi sisa kreditnya. Ketika klaim terjadi maka pihak asuransi
mencairkan dana dan dikirim langsung ke rekening bank dengan syarat banker’s
clause sehingga pembayaran sisa utang menjadi tujuan utamanya. Jika pihak
asuransi menolak untuk bertangung jawab dan mengingkari kewajibannya, maka
pihak yang berkepentingan dapat mengupayakan mediasi maupun somasi hingga
melakukan gugatan perdata ke pengadilan, jika upaya somasi tidak diindahkan.
BIBLIOGRAFI
Ahmad, N., & Seymour, R. G. (2008). Defining
entrepreneurial activity: Definitions supporting frameworks for data collection.
Ayu, K., &
Dewi, K. (2020). Pengaturan Pengalihan Tanggung Jawab Pembayaran Utang Debitur
Kepada Ahli Waris Dalam Perjanjian Kredit Bank. Jurnal Kertha Semaya, 8(4),
657–666.
Danovand, C.,
Azheri, B., & Mannas, Y. A. (2023). Penyelesaian Perjanjian Kredit Dalam
Hal Debitur Telah Meninggal Dunia Tanpa Kepemilikan Asuransi (Studi di PT. Bank
Nagari Cabang Utama). UNES Law Review, 6(1), 3874–3889.
Dewantari, P. P.
K. S., Darmadi, A. A. S. W., & Putrawan, S. (2017). Kedudukan Ahli Waris
Pengganti Bilamana Ahli Waris Lebih Dulu Meninggal Dunia Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Kerta Semaya, 5(2).
Gunartha, I. D. K.
A. (2013). Analisis Potensi Retribusi, Efektivitas, Efisiensi Serta Kinerja
Pelayanan Tera dan Tera Ulang pada Unit Pelaksana Teknis Metrologi. E-Jurnal
Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana, 44814.
Hidayat, A. R.
(2020). Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Jual Beli Online Account Game Mobile
Legends: Bang Bang Dalam Tinjauan Fiqih Muamalah. Jurnal Syntax Admiration,
1(1), 13–22.
Indriani, I.
(2018). Hak Kekayaan Intelektual: Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Karya
Musik. Jurnal Ilmu Hukum, 7(2), 246–263.
Leonard, T.
(2022). Kewenangan Ahli Waris Direktur Perseroan Komanditer yang Meninggal
Dunia Sebelum Jangka Waktu Kredit Berakhir. JURNAL ILMIAH HUKUM DAN DINAMIKA
MASYARAKAT, 20(2), 103–124.
Listyawati, P. R.,
& Dazriani, W. (2015). Perbandingan Hukum Kedudukan Ahli Waris Pengganti
Berdasarkan Hukum Kewarisan Islam dengan Hukum Kewarisan Menurut KUHPerdata. Jurnal
Pembaharuan Hukum, 2(3), 335–344.
Marzuki, P. M.
(2013). Penelitian hukum.
Mulyati, E., &
Dwiputri, F. A. (2018). Prinsip Kehati-Hatian Dalam Menganalisis Jaminan
Kebendaan Sebagai Pengaman Perjanjian Kredit Perbankan. ACTA DIURNAL Jurnal
Ilmu Hukum Kenotariatan, 1(2), 134–148.
Pradnyani, I. G.
A. R., Puspawati, I. G. A., Sutama, I. B. P., Ramanda, I. G. R., Sukranatha, A.
A. K., Agung, A. A. S. I., Westra, I. K., Gde, D., Dewi, S. R., & Wiryawan,
I. W. (2022). Ni Nyoman Yuli Astuti, I Gede Yusa.
Rastuti, T.
(2016). Aspek Hukum perjanjian asuransi. MediaPressindo.
Soekanto, S.,
& Mamudji, S. (2015). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat Cet
XVII. Rajawali Pers, Jakarta.
Subekti, D.
(2009). Analisis hubungan persepsi mutu pelayanan dengan tingkat kepuasan
pasien balai pengobatan (bp) umum puskesmas di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2009.
UNIVERSITAS DIPONEGORO.
Torey, M. J.
(2019). Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit Bank Sebagai Perjanjian
Baku. Lex Privatum, 7(3).
Wati, N. P. P.,
Mahendrawati, N. L. M., & Arini, D. G. D. (2021). Tanggung Jawab Pihak
Asuransi Terhadap Perjanjian Kredit Bank Dalam Hal Debitur Meninggal Dunia. Jurnal
Konstruksi Hukum, 2(1), 196–201.
Wuisan, E. N.
(2016). Sengketa Hak Milik Atas Tanah Warisan Yang Di Kuasai Oleh Ahli Waris
Yang Bersengketa. Lex Crimen, 5(6).
Yama, I., Arta, P.
B., & Swardhana, G. M. (n.d.). Akibat Hukum Pemberian Warisan Saat Pewaris
Masih Hidup Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kertha Semaya:
Jurnal Ilmu Hukum, 5, 1–5.
Copyright holder: Mochammad
Iqbal Saputra, Gunawan Djajaputera (2024) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |