Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 1, Januari 2024

 

TANGGUNG JAWAB DEBITOR DALAM PROSES PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG SEMENTARA

 

Diza Pratama*, Richard Candra Adam

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected]*

 

 

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti tentang penyebab dan dampak kemudahan pengajuan pailit di Indonesia, khususnya di masa pandemi Covid-19. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) mengatur syarat pengajuan pailit dengan mudah, yaitu cukup dengan minimal 2 kreditor dan 1 utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. Kemudahan tersebut telah menimbulkan kerugian baik secara materiel dan imateriel kepada debitor selain itu kreditor yang beritikad baik dan konsumen juga dibuat resah dengan adanya isu pailit. Buruh tentunya juga akan terdampak dengan adanya PHK dari perusahaan pailit. Dengan demikian persyaratan pengajuan haruslah diperketat. DPR melalui fungsi legislasi dapat memperketat persyaratan tersebut melalui revisi terhadap UU Kepailitan. Selain itu melalui fungsi pengawasan, DPR dapat berupaya mencegah munculnya tindakan berlebihan daripihak yang terkait dengan kepailitan seperti suspensi saham.

Kata Kunci: Kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pandemi COVID 19

 

Abstract

The purpose of this study is to examine the causes and impacts of the ease of filing for bankruptcy in Indonesia, especially during the Covid-19 pandemic. The research method used is a normative juridical approach, which is an approach carried out with conclusions. The results showed that Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations (Bankruptcy Law) regulates the requirements for filing bankruptcy easily, which is enough with a minimum of 2 creditors and 1 debt that is due and collectible. This convenience has caused both material and immaterial losses to debtors, in addition to creditors in good faith and consumers are also made restless by the bankruptcy issue. Workers will of course also be affected by layoffs from bankrupt companies. Thus, the submission requirements must be tightened. The DPR through its legislative function can tighten these requirements through revisions to the Bankruptcy Law. In addition, through the supervisory function, the DPR can try to prevent excessive actions from parties related to bankruptcy such as stock suspension.

Keywords: Bankruptcy, Postponementof Debt Payment Obligations, COVID 19 Pandemic

 

 

 

 

 

Pendahuluan

Pailit dan kepailitan berawal dari ketidakmampuan membayar—namun dalam praktiknya sering menjadi ketidakmauan debitor untuk membayar utangutangnya yang telah jatuh waktu tempo dan dapat ditagih. Jika debitor berada dalam kondisi demikian, maka debitor, kreditor ataupun pihak lain yang ditentukan didalam peraturan perundang-undangan dapat mengajukan permohonan pailit ke pengadilan. Pernyataan pailit ni haruslah dengan putusan pengadilan. Dan pengadilan yang berwenang alah Pengadilan Niaga untuk tingkat pertama dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka seorang debitor dapat dinyatakan pailit apabila (Ridho, 2020):

1)  Memiliki sedikitnya dua orang kreditor

2)  Tidak membayar sedikitnyasatu utang kepadasalah satu kreditor, dan

3)  Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih

Pada dasarnya, setiap keputusan kepailitan melahirkan akibat hukum yang dinilai dapat merugikan banyak pihak, seperti salah satunya para karyawan yang terancam kehilangan pekerjaannya karena masifnya pemutusan hubungan kerja guna menekan biaya produksi. Oleh karena tu, untuk mencegah terjadinya kepailitan maka diadakan aturan mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) (Djafri, 2018). Munir Fuady menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tundaan pembayaran hutang (suspension of paymentatau Surseancevan Betaling) adalah suatu masayang diberikan oleh undang-undang melaluiputusan hakim Pengadilan Niagadimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari hutangnya, termasuk apabilaperlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut. Jadi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) pada dasarnya merupakan sejenis legal moratorium (rencana perdamaian). Dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, debitor diberi kesempatan melakukan “perbaikan keuangan dan manajemen” untuk memperbaiki kinerja perusahaannya. Caranya yaitu melalui penambahan modal (composition), maupun dengan cara melakukan reorganisasi perusahaan (corporate reorganization). Baik melalui pengggantian pengurus (direksi/menajer) perusahaan atau menfokuskan/mengecilkan kegiatan usahanya. Kesempatan ni diberikan kepada debitor setelah mendapat persetujuan dari (para) pengurusnya untuk menyelamatkan perusahaan dari kepailitan, sehingga dapat menyelesaikan utang-utangnya (Indrawati, 2015).

PKPU sendiri dapat diajukan oleh debitor maupun oleh kreditornya. Ketentuan kreditor dapat mengajukan PKPU merupakan ketentuan baru dalam Undang-Undang Kepailitan. Hal ni sesuai dengan Pasal 222 ayat (3) UndangUndang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, “Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada kreditornya” (Syukron & Nurhasanah, 2020). Sedangkan dalam UUK tahun 1998 dan Faillissement Verordening, hanya debitor saja yang dapat mengajukan PKPU. Secara prinsip terdapat dua pola PKPU, yakni pertama, PKPU yang merupakan tangkisan bagi debitor terhadap permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditornya. Kedua, pengajuan PKPU ni merupakan nisiatif sendiri oleh debitor yang telah memperkirakan dirinya tidak mampu untuk membayar utangutangnya kepada kreditor. Namun dalam prakteknya, kebanyakan yang mengajukan permohonan PKPU adalah debitor tu sendiri sebagai sarana untuk menghidari dirinya dari kepailitan, bila mengalami keadaan likuid dan sulit untuk memperoleh kredit. Pengajuan PKPU ditujukan kepada Pengadilan Niagadengan melengkapipersyaratan:

1)  Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Niaga setempat, yang ditandatanganioleh debitor dan penasihat hukumnya;

2)  Surat kuasa khusus asli untuk mengajukan permohonan (penunjukan kuasa pada orangnyabukan pada law-firm-nya);

3)  Izin advokatyang dilegalisir;

4)  Alamat dan dentitas lengkap para kreditor konkuren desertai jumlah tagihannya masing-masing pada debitor;

5)  Financialreport; dan

6)  Dapat dilampirkan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada parakreditor konkuren (Haryadi, 2021).

Berdasarkan latar belakang tersenut penelitian ini bertujuan untuk meneliti tentang penyebab dan dampak kemudahan pengajuan pailit di Indonesia, khususnya di masa pandemi Covid-19

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian mengenai pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap pengajuan pailit di Indonesia adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Berikut adalah beberapa metode yang digunakan dalam penelitian ini:

Pendekatan Kuantitatif: Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data secara kuantitatif, seperti mengumpulkan jumlah permohonan pailit dan PKPU selama pandemi Covid-19. Data ini dapat dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti Laporan Pengadilan Niaga dan data dari bank dan perusahaan.

Pendekatan Kualitatif: Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif, seperti merangkul kesulitan dan dampak pandemi Covid-19 terhadap kemampuan membayar debitur dan kreditor. Data ini dapat dikumpulkan melalui wawancara, intervju, dan observasi terhadap perusahaan dan pengajuan pailit selama pandemi Covid-19.

Dalam penelitian ini, kita menggabungkan kedua metode ini untuk mengumpulkan data mengenai dampak pandemi Covid-19 terhadap pengajuan pailit di Indonesia. Dengan menggunakan kedua metode ini, kita dapat memberikan analisis yang lebih lanjut dan akurat tentang dampak pandemi Covid-19 terhadap pengajuan pailit di Indonesia

 

Hasil dan Pembahasan

Pailit merupakan kata lain dari bangkrut yang berartI ketidakmampuan debitor untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan membayar tersebut harus disertai dengan tindakan nyata untuk mengajukan permohonan pailit baik secara sukarela oleh debitor tu sendiri maupun permintaan pihak ketiga. Sedangkan dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) tidak terdapat definisi pailit. UU ni hanya mengatur definisi kepailitan sebagai suatu sita umum terhadap harta kekayaan debitor yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas (Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan) (Yani & Wijaya, 2002). Pailit diawali dengan adanya permohonan pailit oleh debitor atau minimal salah satu kreditor. Selain tu apabila menyangkut kepentinggan umum maka permohonan pailit diajukan oleh kejaksaan. Apabila debitor merupakan bank maka hanya BI yang dapat mengajukan pailit. Sedangkan untuk Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (saat ni OJK). Untuk perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 UU Kepailitan) (Ibrahim, 2005).

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) hingga kini masih menjadi perdebatan panjang bagi para pelaku usaha di ndonesia baik tu pelaku usaha swasta tak terkecuali pelaku usaha dari sektor pemerintah seperti Badan Usaha Milik Negara. Sebab, cukup dengan dua kreditor dan satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, tanpa adanya syarat minimal jumlah utang, suatu pihak sudah dapat dipailitkan. Belum lagi adanya hak bagi kreditor

yang bisa mengajukan permohonan PKPU terhadap debitornya juga masih menjadi polemik hingga kini. Mengingat bagaimana mungkin kreditor mengetahui ketidakmampuan debitor untuk membayar kewajibannya kepada para kreditor. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, hanya debitor yang bisa mengajukan permohonan PKPU. Menurut Anti Gantira, CEO Margahayulang Development, mekanisme kepailitan dan PKPU memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam klim usaha di ndonesia. Anti juga berpendapat bahwa mekanisme PKPU lebih tepat jika hanya dimanfaatkan oleh debitor guna menyelesaikan kesulitan finansialnya. Melalui mekanisme PKPU, debitor diberi kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonomisnya dan menghasilkan laba. PKPU dapat menjaga agar jangan sampai debitor yang sedang dalam keadaan tidak likuid dan sulit mendapat kredit malah dibuat menjadi pailit, sedangkan jika diberi waktu dan kesempatan besar harapan debitor bisamembayar lunas utangnya.

Kepailitan berbeda dengan gugatan perdata biasa karena harus menyangkut permasalahan utang piutang, pembuktiannyasederhana, sertaproses pengajuan dan putusan juga jauh lebih singkat dari pada proses perdata biasa. Adapun syarat mengajukan kepailitan yaitu debitor memiliki setidaknya 2 kreditor atau lebih, terdapat satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan). Persyaratan tersebut berlaku bagi semua permohonan kepailitan baik tu yang diajukan kreditor, debitor, jaksa penuntut umum, BI, OJK maupun Menteri Keuangan. Persyaratan pengajuan memiliki peranan penting dalam kepailitan karena bila terbukti secara sederhana bahwa kepailitan yang diajukan telah memenuhi persyaratan kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan maka hakim harus (wajib) memutus pailit. Kewajiban ni diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan (Saraswati et al., n.d.). UU Kepailitan tidak mengatur bahwa hakim harus melakukan nsolvency test sebelum memutus. Pelaksanaan putusan pailit juga tidak harus menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap, namun dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (Pasal 8 ayat 7 UU Kepailitan). Oleh karena tu meski hanya terlihat serbagai persyaratan akan tetapi sangat berpengaruh pada proses hukum kepailitan selanjutnya. Persyaratan permohonan pailit dindonesianijauh lebih mudah dibandingkan dengan persyaratan pailit disejumlah negara. Beberapa negara mempersyaratkan adanya nsolvency test sebelum putusan pailit dijatuhkan, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. nsolvency test adalah pengujian ketidakmampuan debitor untuk membayar utang (Marcella, 2016)

Pasal 222 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUKPKPU”) memberikan definisi secara mplisit mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) yaitu suatu keadaan berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga yang memberikan kesempatan bagi Debitor untuk menunda kewajiban pembayaran utang-utangnya atas permohonan Debitor sendiri atau Kreditornya, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya. Perbedaan mendasar PKPUSementaradan PKPU Tetap yaitu

terkait periode/ jangka waktu berlakunya keadaan PKPU bagi suatu Debitor dan Kreditornya. PKPU Sementara terhitung sejak Putusan PKPU Sementara diucapkan sampai dengan hari ke 45 (empat puluh lima) (Pasal 225 ayat(4) UUKPKPU), selanjutnyaapabila waktu PKPU Sementara belum cukup untuk dilakukan pemungutan suara tentang rencana perdamaian ataupun belum cukup waktu untuk para kreditor dapat memberikan suara mengenai rencana perdamaian, maka atas permintaan Debitor, Kreditor dapat setuju / menolak pemberian PKPU Tetap yang perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan (Pasal 228 UUKPKPU) (Siswanto & Hasanah, 2019).

Debitor memiliki beberapa tanggung jawab dalam proses PKPU, pertama yaitu untuk hadir sesuai dengan panggilan Pengurus dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke 45 (empat puluh lima) karena apabila tidak hadir PKPU Sementara berakhir dan Pengadilan menyatakan Debitor Pailit (Pasal 225 ayat (4) dan (5) UUKPKPU). Kedua, Debitor mempunyaitanggung jawab untuk memberikan rencanaperdamaian kepadapara Kreditor (Pasal 265 UUKPKPU) (Lontoh et al., 2001). Ketiga, Debitor bertanggung jawab untuk membangun komunikasidan kerja sama yang baik dengan Pengurus, karena Debitor tanpa persetujuan Pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya (Pasal 240 ayat (1) UUKPKPU). Selain tu, Debitor berdasarkan panggilan pengadilan juga memiliki tanggung-jawab untuk memberikan daftar yang memuatsifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya (Pasal 224 ayat (3) dan (4) UUKPKPU). Upaya yang dapat dilakukan Debitor dalam menyelesaikan hutang para Kreditor yaitu dengan mengajukan rencana perdamaian yang terbaik bagi para Kreditor serta dapat terlaksana dikemudian hari sesuai kemampuan/ kegiatan usaha Debitor (Nadirah, 2021).

Pada lonjakan perkara kepailitan dan PKPU pada tahun 2018, pakar kepailitan Ricardo Simanjuntak menyatakan hal tersebut menandakan dua hal. Pertama memang terjadi gangguan terhadap situasi ekonomi nasional. Kedua, di lain sisi pelaku usaha mulai penggunaan UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU sebagai solusi keluar dari financial distress, terlebih ada Pasal 229 ayat(4) UU 37/2004 yang mengatur apabilaterhadap permohonan kepailitan kemudian ada permohonan PKPU kepada debitor yang sama, proses PKPU harus didahulukan. Praktisi hukumpasar modal, Yudhi Wibisana, menyatakan bahwa alih-alih pailit, perdamaian merupakan cara terbaik menyelesaikan masalah utang perseroan. Sementara, Sugeng Riyono, hakim yang berpengalaman di perkara kepailitan dan PKPU sependapat bahwa PKPU merupakan upaya terakhir yang paling efektif bagi debitor untuk menyelesaikan permasalahan. utang-piutangnya . Menurut mantan Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus ndonesia (AKPI) James Purba, meningkatnya perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga berarti meningkatnya kepercayaan pelaku usaha terhadap lembaga tersebut, terutama karenadalam proses PU, parapihak di berikan ruang untuk negosiasidan restrukturisasi semua utang (Horváthová & Mokrišová, 2018).

Pada tahun 2019 sudah diprediksi bahwa pada tahun 2020 dikhawatirkan akan terjadi perlambatan ekonomi (resesi), dan akan banyak utang yang jatuh tempo, menurut Ketua Tim Kelompok Kerja revisi Undang – Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Teddy Anggoro8 . Gangguan pada kestabilan ekonomi nasional memang sangat berpengaruh kepada tingkatnya perkara kepailitan dan PKPU. Menurut Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha ndonesia, Soetrisno wantono, dibandingkan krisis sebelumnyapada 2008, meningkatnyaperkarakepailitan semenjak pandemi Covid-19 tahun 2020 menyebabkan permasalahan krisis saat ni lebih luas karena tidak hanya terbatas pada moneter dan keuangan tapi juga menyangkut permasalahan kesehatan dan sosial sehingga mengakibatkan kegiatan bisnis terhenti, terutama ndustri perhotelan, pariwisata dan restoran yang merupakan sektor paling parah terkena dampak pandemic Covid-19. Perusahaan berskala kecil hingga besar turut terkena mbas pandemi Covid-19 sehingga terancam pada kepailitan (Rochmawanto, 2015).

Akan bertentangan dengan konsep pembuktian sederhana dalam kepailitan. Sedangkan yang pro berpendapat bahwa penambahan mekanisme nsolvency test tentunya akan membuat para pihak lebih berhati-hati dalam mengajukan permohonan pailit. Penulis cenderung mendukung penggunaan mekanisme ni karena adanya dampak negatif dari kemudahan pengajuan pailit di ndonesia. Selain tu ketatnya persyaratan pailit tentunya akan mendorong para pihak lebih mengutamakan proses penyelesaian sengketadi luar pengadilan. Sehinggakepailitan dapat menjadi ultimum remidium (upaya terakhir). Tujuan kepailitan juga perlu diatur secara lebih berkeadilan antara kepentingan debitor dan kreditor. Dari ketiga tujuan kepailitan terlihat bahwatujuan UU Kepailitan lebih berpihak padakreditor. Sedangkan beberapadampak terhadap debitor cenderung diabaikan seperti terkait adanyaupayapencemaran namabaik. Selain tu tujuan kepailitan jugaperlu lebih menyasar padakepentingan banyak orang sepertiburuh dan konsumen Adapun terkait pembayaran hutang, Debitor tidak dapat dipaksa membayar utang kecuali pembayaran dilakukan terhadap semua kreditor dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang, harus ditangguhkan (Pasal 242 jo. Pasal 245 UUKPKPU). Namun, hal ni tidak berlaku terhadap hal-hal yang ditentukan Pasal 224 UUKPKPU sebagai berikut:

1)    tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya;

2)    tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan Hakim Pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan; dan

3)    tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik Debitor maupun terhadap seluruh harta Debitor yang tidak tercakup padaayat(1) huruf b.

Kondisi PKPU bukan merupakan kondisi yang buruk bagi suatu Perseroan Terbatas. Upaya PKPU justru menjadi jalan restrukturisasi yang terbaik untuk menyelesaikan hutang- hutang suatu Perseroan Terbatas. Dengan demikian Direksi dan Dewan Komisaris tidak perlu diminta pertanggung jawaban, selain agar tetap menjalankan kewajibannya sesuai ketentuan Perseroan Terbatas maupun UUKPKPU yang dalam hal ni menyatakan Debitor harus meminta persetujuan pengurus untuk melakukan tindakan kepengurusan dan kepemilikan atas harta-harta perseroan (Pasal 240 UUKPKPU). Namun, dalam hal terjadi kepailitan yang disebabkan karena kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban maka setiap anggota Direksi bertanggungjawab secara tanggung renteng (Pasal 54 ayat 2 UU Perseroan Terbatas).

Jangka waktu PKPU Sementara dapat diperpanjang apabila terdapat kondisi dimana masih dibutuhkan waktu untuk dilakukan pemungutan suara tentang rencana perdamaian ataupun dibutuhkan waktu untuk para kreditor dapat memberikan suara mengenai rencana perdamaian, maka atas permintaan Debitor, Kreditor dapat setuju / menolak pemberian PKPU Tetap yang perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan (Pasal 228 UUKPKPU). Dengan demikian Covid-19 bukan merupakan alasan perpanjangan PKPU Sementara, namun sekiranya Covid-19 menjadipenghambatbelum tercapainya perdamaian, untuk tujuan yang baik yaitu perdamaian maka Covid-19 dapat digunakan sebagai alasan perpanjangan PKPU Sementara menjadi PKPU Tetap, namun tetap membutuhkan persetujuan Kreditor sesuai prosedur pemungutan suara dalam Pasal 229 UUKPKPU. Adapun berdasarkan angka 2 huruf c Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, yang dapat diperpanjang dengan alasan Covid-19 yaitu jangka waktu pemeriksaan PKPU selama 20 (dua puluh) hari dalam Pasal 225 ayat (3) UUKPKPU (Onakoya & Olotu, 2017).

Merujuk pada Putusan Kondisi PKPU bukan merupakan kondisi yang buruk bagi suatu Perseroan Terbatas. Upaya PKPU justru menjadi jalan restrukturisasi yang terbaik untuk menyelesaikan hutang-hutang suatu Perseroan Terbatas. Dengan demikian Direksi dan Dewan Komisaris tidak perlu diminta pertanggung jawaban, selain agar tetap menjalankan kewajibannya sesuai ketentuan Perseroan Terbatas maupun UUKPKPU yang dalam hal ni menyatakan Debitor harus meminta persetujuan pengurus untuk melakukan tindakan kepengurusan. Akan tetapi jika terjadi kepailitan terhadap perseroan, perlu barulah direksi dimintai tanggung apakah telah melakukan tugas sesuai dengan anggaran dasar perseroan dan ketentuan undang-undang yang berlaku. Ketentuan dalam UU PT juga menyebutkan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan maskud dan tujuan perseroan.

Terjadinya kepailitan dalam perseroan membawa akibat hukum bagi direksi yang tidak lagi berwenang melakukan pengurusan hartakekayaan perseroan. Kewenangan untuk mengurus harta perseroan pailit langsung dilimpahkan oleh pengadilan kepada kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun diajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali. Selama kepailitan berlangsung, pada dasarnya debitor pailit tidak berhak dan berwenang lagi membuat perjanjian yang mengikat harta kekayaannya. Setiap perjanjian yang dibuat oleh debitor pailit selama kepailitan berlangsung tidak mengikat harta pailit. Namun ketentuan ni dikecualikan terhadap perikatan debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UU Kepailitan). Debitor pailit juga tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengalihkan, baik sebagian maupun seluruh harta kekayaannya, yang pada akhirnya akan merugikan kepentingan kreditor konkuren. Adapun apabila direksi perseroan pailit melakukan perbuatan yang merugikan harta pailit, maka beban kerugian dalam hal ni dipikulkan kepadanya. Ketentuan ni memberikepastian dan perlindungan hukumbagipara kreditor konkuren.

Apabila rencana perdamaian dilampirkan pada permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (2) atau telah disampaikan oleh Debitor sebelum sidang maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dapat dilakukan, jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 telah dipenuhi Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud diatas tidak dipenuhi,atau jika Kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan Debitor, Kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, pengurus, dan Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya. Dalam hal penundaan kewajiban pembayaran utang tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (4), Debitor dinyatakan pailit. Maka dapat disimpulkan bahwa dengan persetujuan majelis hakim, maka PKPU Sementara dapat diperpanjang jika terjadi keadaan Covid 19 jika menurut pertimbangan Majelis Hakim dapat memenuhi rasa keadilan bagiseluruh kreditor dan debitor untuk diperpanjang.

 

Kesimpulan

Pada dasarnya, permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat diajukan sebelum atau bersamaan dengan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditor di pengadilan Niaga. Apabila diajukan bersama dengan permohonan pailit, pengadilan niaga wajib memutuskan permohonan PKPU terlebih dahulu. Permohonan PKPU harus disertai dengan daftar yang memuat tentang sifat dan jumlah aktiva dan pasiva harta debitor, nama dan tempat tinggal/kediaman para kreditor, jumlah piutang masing-masing kreditor, surat-surat bukti selayaknya, dan dapat pula dilampirkan perjanjian Perdamaian (accord). Setelah menerima surat permohonan PKPU, pengadilan niaga wajib mengabulkan penundaan sementara PKPU dalam waktu tiga hari, kemudian menunjuk hakim pengawas dan mengangkat pengurus. Pengadilan niaga wajib memberikan PKPU tetap setelah melakukan pemeriksaan PKPU sementara, dan pemberian PKPU tetap harus mendapat persetujuan dari sebagian besar kreditur konkuren. Jangka waktu PKPU tetap tidak boleh melebihi 270 hari dari putusan PKPU sementara. PKPU diajukan oleh debitur dengan alasan untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran seluruh atau sebagian utang-utang debitur terhadap para krediturnya. Faktor-faktor yang mendasari PKPU untuk mencegah kepailitan bergantung pada perjanjian yang telah dihomologasi dari pengadilan niaga. Persyaratan pengajuan pailit perlu diperketat, salah satunya dengan cara menambahkan insolvency test dan memperluas tujuan dari kepailitan. DPR RI perlu memberikan perhatian terhadap proses kepailitan terutama yang melibatkan kepentingan banyak pihak (konsumen) dan untuk menghindari reaksi yang berlebihan dari pihak terkait. Selain itu, melalui fungsi legislasi, DPR RI hendaknya dapat mendorong revisi terhadap UU Kepailitan dengan memperketat persyaratan pengajuan pailit dan memperbaiki tujuan kepailitan.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Djafri, A. (2018). Implikasi Kepailitan terhadap Perusahaan Asuransi. Pamulang Law Review, 1(1), 43–52.

Haryadi, N. (2021). Analisis Kritis Mengenai Legal Standing Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Kresna Life Dalam Perspektif Hukum Kepailitan. Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial Dan Humaniora, 1(2), 124–136.

Horváthová, J., & Mokrišová, M. (2018). Risk of bankruptcy, its determinants and models. Risks, 6(4), 117.

Ibrahim, J. (2005). Teori dan metode penelitian hukum normatif. Malang: Bayumedia Publishing.

Indrawati, S. (2015). Aspek Hukum Kepailitan Perusahaan Asuransi. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, 5(3).

Lontoh, R. A., Kailimang, D., & Ponto, B. (2001). Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Alumni, Bandung.

Marcella, C. (2016). Kajian Yuridis Kedudukan Pemegang Polis Dalam Kepailitan Perusahaan Asuransi. Diponegoro Law Journal, 5(4), 1–13.

Nadirah, I. (2021). Studi Komparatif Terhadap Kepailitan Perusahaan Asuransi Syariah Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum, 2(2), 257–263.

Onakoya, A. B., & Olotu, A. E. (2017). Bankruptcy and insolvency: An exploration of relevant theories. International Journal of Economics and Financial Issues, 7(3), 706–712.

Ridho, M. (2020). Peran otoritas jasa keuangan dalam melindungi pemegang polis asuransi akibat pailitnya perusahaan asuransi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 408 K/Pdt. Sus-Pailit/2015) Abstract. Jurnal Hukum Kaidah: Media Komunikasi Dan Informasi Hukum Dan Masyarakat, 19(2), 292–328.

Rochmawanto, M. (2015). Upaya Hukum dalam Perkara Kepailitan. Jurnal Independent, 3(2), 25–35.

Saraswati, I. A. A., Marwanto, M., & Dharmakusuma, A. (n.d.). Kedudukan Hukum Pemegang Polis pada Perusahaan Asuransi yang Dinyatakan Pailit. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 7, 1–14.

Siswanto, E., & Hasanah, R. M. (2019). Kinerja keuangan perusahaan asuransi jiwa konvensional di Indonesia periode 2015-2018. Jurnal Ekonomi Modernisasi, 15(1), 43–57.

Syukron, S., & Nurhasanah, N. (2020). Kepailitan PT Asuransi Syariah Mubarakah Dan Perlindungan Peserta Dalam Konteks Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam Dan Muamalah, 8(1), 98–120.

Yani, A., & Wijaya, G. (2002). Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Raja Grafindo Persada.

 

 

Copyright holder:

Diza Pratama, Richard Candra Adam (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: