Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 1, Januari 2024

 

 

MODEL PENINGKATAN DAYA SAING DIGITAL DITINJAU DARI SUDUT PANDANG COLLABORATIVE GOVERNANCE BAGI UMKM KULINER DI SURABAYA

 

Anita Asnawi*, Sapto Pramono, Fedianty Augustinah, Sri Roekminiati, Sri Kamariyah

Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Dr. Soetomo, Indonesia

Email: [email protected]*

 

Abstrak

Revolusi digital mengubah kehidupan ekonomi dan masyarakat. Namun dalam hal ekonomi digital, Indonesia menghadapi sejumlah masalah, seperti lambatnya proses perizinan dan lisensi bisnis, serta ketidakmampuan untuk mencapai rantai pasok dan rantai nilai produk digital dengan efektif. Daya saing digital Indonesia masih di bawah rata-rata dari tahun 2017 hingga 2021, menurut indeks daya saing global. Dalam menghadapi era digitalisasi, Indonesia harus memprioritaskan pembangunan daya saing digital. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan komponen yang dapat meningkatkan daya saing digital UMKM Kuliner di Kecamatan Sukolilo Surabaya yang dikenal dengan julukan Jalur Gaza, dari sudut pandang manajemen kolaboratif. Untuk meningkatkan daya saing digital Indonesia, kebijakan kolaboratif diperlukan. Untuk membuat draft model daya saing digital, pertama-tama akan digunakan model Ansell & Gash berbasis empat tahap: identifikasi kondisi awal, desain institusional, kepemimpinan fasilitatif, dan proses kolaboratif. Dalam tahap ini, perlu diidentifikasi ketidakseimbangan kekuatan, sumber daya, dan pengetahuan, insentif dan hambatan partisipasi, serta sejarah kerja sama atau konflik. Dilanjutkan dengan dialog antar muka dalam rangka membangun kepercayaan dan komitmen, untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Model tersebut dipakai sebagai dasar penguatan daya saing digital pada UMKM kuliner di Jalur Gaza Surabaya. Temuan penelitian ini menunjukkan belum tampaknya daya saing digital di UMKM Kuliner tersebut. Sebagian pedagang percaya bahwa fasilitas internet gratis diperlukan untuk menarik pelanggan dan meningkatkan penjualan. Namun, karena masalah pengetahuan, keterbatasan jumlah karyawan, dan biaya langganan internet, lebih banyak orang merasa sulit dan sulit menjalankan aplikasi online.

Kata Kunci : collaborative governance, daya saing digital, UMKM kuliner

 

Abstract

The digital revolution is transforming the economy and society. But when it comes to the digital economy, Indonesia faces a number of problems, such as the slow process of business licensing and permits, and the inability to effectively reach the supply chain and value chain of digital products. Indonesia's digital competitiveness is still below average from 2017 to 2021, according to the global competitiveness index. In facing the era of digitalization, Indonesia should prioritize the development of digital competitiveness. The purpose of this research is to find components that can improve the digital competitiveness of culinary MSMEs in Sukolilo Sub-district of Surabaya, known as the Gaza Strip, from a collaborative management perspective. To improve Indonesia's digital competitiveness, collaborative policies are needed. To draft a digital competitiveness model, Ansell & Gash's four-stage model will first be used: identification of initial conditions, institutional design, facilitative leadership, and collaborative processes. In this stage, it is necessary to identify imbalances in power, resources and knowledge, incentives and barriers to participation, and histories of cooperation or conflict. This is followed by face-to-face dialog in order to build trust and commitment, to achieve the expected performance. The model is used as a basis for strengthening digital competitiveness in culinary MSMEs in Surabaya's Gaza Strip. The findings of this study indicate that digital competitiveness does not yet appear in these culinary MSMEs. Some merchants believe that free internet facilities are necessary to attract customers and increase sales. However, due to knowledge issues, limited number of employees, and internet subscription costs, more people find it difficult and difficult to run online applications.

Keywords: collaborative governance, digital competitiveness, culinary SMEs

 

Pendahuluan

Transformasi digital yang dihasilkan dari inovasi teknologi informasi telah menciptakan masyarakat digital yang terintegrasi sistem melalui teknologi digital (Záklasník & Putnová, 2019). Teknologi digital telah merasuki hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat dan tidak hanya menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi tetapi juga esensi dari Revolusi Industri 4.0 (Husnurrosyidah, 2019). Industri 4.0 menarik perhatian berbagai pelaku publik dan swasta dengan memaksimalkan penggunaan teknologi dan sistem informasi untuk mendukung proses bisnis mereka (A. Setiawan & Arini, 2022) dan menghasilkan tren menuju otomatisasi dan transformasi data dalam teknologi manufaktur (Ellitan, 2020),  meningkatkan pertumbuhan produk, menciptakan keragaman konsumen dan menurunkan harga produk (Hamdan, 2018). Model bisnis digital mengubah industri tradisional dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Industri kecepatan dan telekomunikasi juga setuju. Penggabungan teknologi informasi dan komunikasi ke dalam industri fisik secara aktif mendorong pertumbuhan produktivitas, terutama ketika kembaran digital diintegrasikan ke dalam dunia fisik (Yrjölä et al., 2021).

Sementara konsep Revolusi Industri 4.0 hanya menyentuh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dunia usaha (Puriwat & Tripopsakul, 2020). Konsep pionir Japanese Society 5 memiliki makna pengembangan teknologi informasi terfokus pada perbaikan. kehidupan manusia (D. Setiawan & Lenawati, 2020) (Skobelev & Borovik, 2017) dan untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dan memecahkan masalah sosial melalui sistem yang terintegrasi antara dunia nyata dan dunia maya (Ellitan, 2020). Untuk memecahkan masalah dengan sepenuhnya berbasis data keputusan. -pembuatan, itulah mengapa kaitan antara Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5 tampak begitu kuat (Aquilani et al., 2020). Masyarakat 5 adalah sistem sosial yang menggunakan kemungkinan teknologi digital, perangkat digital, dan Internet untuk meningkatkan kualitas hidup (Prasetyo, 2017 dalam (Záklasník & Putnová, 2019). Pertama, perbedaan definisi revolusi industri keempat yang pada dasarnya adalah teknologi digital generasi berikutnya akan menjadi basis perubahan revolusioner di semua industri. Kedua, tanggapan institusional terhadap revolusi industri keempat memiliki satu kesamaan. Artinya organisasi harus lebih kreatif. Ketiga, kesamaan tanggapan teknis terhadap revolusi industri keempat adalah bahwa sebagian besar teknologi baru yang terhubung itu penting. Keempat, ini adalah cara untuk menanggapi inovasi merek dan mengembangkan model bisnis kreatif baru untuk start-up revolusi industri keempat. Cara efektif untuk merespon revolusi industri keempat adalah menyebarkan budaya inovasi terbuka dan memperluas umpan balik dari model platform terbuka (Lee et al., 2018). Transformasi digital sebagai hasil inovasi teknologi informasi telah menghasilkan masyarakat digital yang terintegrasi ke dalam sistem dengan bantuan teknologi digital (Záklasník & Putnová, 2019) yang menciptakan tatanan industri baru (Fukuyama, 2018 dalam (Sugiono, 2020) ) dan akhirnya mempromosikan hubungan antar mesin melalui kontrol sumber daya fisik dan kemampuan komputasi, umumnya dikenal sebagai Cyber-Physical Systems (CPS) (Rauch et al., 2020). Platform digital diciptakan untuk memaksimalkan nilai tambah produk merchant (Arifin et al., 2020), antara lain pemanfaatan teknologi informasi dalam hiburan dan perhiasan digital, mata uang elektronik (e-money), media digital dan film (e-Environmental).

Harapan publik terhadap peran dan tindakan pemerintah telah berubah secara signifikan. Revolusi digital mengubah masyarakat. Dari pekerjaan hingga komunikasi dengan teman dan keluarga hingga pelatihan, informasi, dan hiburan. Harus jelas bahwa ketika kita berbicara tentang "digital", kita tidak merujuk pada komputer yang lebih cepat atau perangkat lunak yang lebih baik, tetapi pada perubahan sosial dan budaya yang dimungkinkan dan dipicu oleh komunikasi manusia. Perubahan sosial ini telah mengubah dan terus mengubah institusi dan sektor, dari pendidikan hingga perawatan kesehatan hingga keuangan (Cargnello & Flumian, 2017). Perkembangan teknologi yang eksplosif telah memaksa berbagai pihak untuk membuat standar dan aturan terkait data (lingkungan kelembagaan yang diperlukan untuk ini), yang membutuhkan proses kolaboratif yang mencakup industri besar seperti mobil, elektronik, IT, telekomunikasi dan akademisi serta pemerintah. Pendekatan ini diperlukan di jantung Industri 4.0, di mana membangun arsitektur informasi yang terintegrasi antara industri, akademisi, dan pemerintah adalah kunci inovasi di industri dan industri secara umum (Deguchi et al., 2020).

Berdasarkan penelitian yang dilaporkan dalam Digital Riser Report 2020, dua dimensi membentuk daya saing digital suatu negara, yaitu (1) ekosistem dan (2) pola pikir  (ESCP Business School, 2021). Indikator dimensi ekosistem adalah: (1) Ketersediaan modal usaha. Sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi dunia usaha selain sumber pembiayaan yang sudah ada. Modal ventura adalah suatu bentuk lembaga keuangan yang dapat menjadi alternatif dan investasi aktif bagi UKM di Indonesia dengan terlibat dalam modal ventura dan dukungan serta pelatihan manajemen UKM; (2) Biaya memulai bisnis. Saat memulai bisnis, rintangan terbesar bagi pengusaha adalah membiayai seluruh bisnis mereka; (3) Waktu untuk memulai bisnis. Mengelola bisnis membutuhkan waktu untuk memikirkan berbagai faktor seperti perencanaan bisnis, modal bisnis, dan pemasaran; (4) Kemudahan mempekerjakan tenaga kerja asing. Kehadiran tenaga kerja asing membawa perspektif baru tentang pengetahuan dan pengalaman kerja untuk menambah pengetahuan yang dapat membantu perusahaan mengembangkan bisnis; (5) Seperangkat keterampilan lulusan. Lulusan diharapkan memiliki beberapa keterampilan yang dapat membantu mereka memasuki dunia kerja dan dunia usaha.

Dimensi faktor pola pikir adalah sebagai berikut: (1) Keterampilan Digital Warga Negara Aktif. Literasi digital adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan, atau menggunakan alat atau perangkat teknologi digital, termasuk dalam mengakses dan mengelola informasi; (2) Sikap terhadap risiko bisnis. Setiap usaha bisnis akan menghasilkan keuntungan atau kerugian dan berbagai resiko yang harus dihadapi. Oleh karena itu, memahami aspek proyek bisnis membutuhkan ketelitian dan pembelajaran yang berkelanjutan; (3) Keanekaragaman tenaga kerja. Keragaman tenaga kerja menunjukkan bahwa perusahaan menjadi semakin heterogen dalam hal jenis kelamin, ras, suku, usia dan cara pandang; (4) penggunaan internet. Era digital telah mengakibatkan sebagian besar orang bergantung pada Internet untuk kebutuhan mereka untuk selalu terhubung dan berkomunikasi secara digital untuk hiburan, informasi, kebutuhan sehari-hari, keuntungan bisnis, pendidikan dan mendapatkan akses informasi; (5) Gagasan perusahaan dalam menangani insiden.

Era disrupsi menyebabkan perubahan besar dalam sistem dan tata kerja, serta kehidupan masyarakat. Disrupsi membutuhkan inovasi dan kreativitas yang konstan. Dalam kolaborasi, inovasi membutuhkan keterlibatan aktor yang berbeda yang memiliki keterampilan inovasi penting, seperti pengalaman pribadi dengan masalah dan tantangan yang berbeda, kausalitas ahli dalam menyajikan ide yang berbeda, kemampuan berpikir kreatif, keberanian untuk mencoba solusi baru, pengetahuan, dan sebagainya. Dalam implementasi dan diseminasi solusi baru ini, pengetahuan profesional serta kompleksitas dan toleransi lebih diperlukan dalam fase konsolidasi (Sørensen & Torfing, 2017).

Rendahnya daya saing digital Indonesia menjadi salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kemauan pelaku ekonomi Indonesia, dalam hal ini khususnya UKM, untuk memasuki era digital. Keengganan UKM untuk merangkul digitalisasi tercermin dari penurunan jumlah UKM yang besar, hingga 82,9%, ketika pandemi Covid-19 melanda. Efek yang sangat penting adalah pengurangan staf dan pemutusan hubungan kerja (BRI, 2022). Menurut data Katadata, belanja online meningkat menjadi 85 juta orang setelah pandemi (Fadilla, 2022). Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi dan dijalani oleh UMKM, mau tidak mau untuk mempertahankan kelangsungan usahanya. Bahkan, keadaan UKM yang sebelum pandemi cukup baik, justru memburuk secara signifikan di awal pandemi, dengan 56,8% UKM dalam kondisi buruk dan hanya 14,1% yang masih dalam kondisi cukup baik (Katadata, 2020). Sebagai gambaran daya saing digital secara global, pada tahun 2019 Indonesia menempati ranking 56 dari 63 negara, jauh di bawah negara tetangga Malaysia pada posisi ke-27, dan Thailand di posisi ke-40 (IMD, 2019). Posisi persaingan digital pada tahun 2020 Indonesia belum berubah dari ranking ke-56 (IMD, 2020). Pada tahun 2021 posisi daya saing digital Indonesia berada pada posisi ke-53 dari 64 negara (IMD, 2021).

Dengan melihat indeks daya saing global, daya saing digital Indonesia pada tahun 2017 hingga tahun 2021 masih berada di bawah posisi indeks daya saing secara umum. Berkaca pada perbandingan ranking daya saing tersebut, tampak jelas bahwa posisi kekuatan Indonesia dalam dunia digital internasional masih sangat rendah dan sudah selayaknya menjadi prioritas fokus pembangunan mengingat saat ini kita telah berada di tengah era digitalisasi. Dalam sebuah studi oleh Legowo et al. dengan judul “Program Kemitraan Masyarakat Sosialisasi Program Digitalisasi UMKM di Wilayah Jakarta Pusat” menemukan bahwa kendala bagi pelaku UMKM terletak pada kurangnya pengetahuan UMKM tentang model digitalisasi bisnis dan cara penggunaannya. platform digital. Program kemitraan masyarakat untuk mengatasi kendala tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan dan bertahan lama pada program digitalisasi UMKM pemerintah (Legowo et al., 2021). Selain itu, pemerintah telah menetapkan target digitalisasi total 30 juta UKM pada tahun 2024. Teten Masduki, Menteri Kerja sama UKM, menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, 6 juta UKM per tahun perlu didigitalkan. Upaya memperkuat daya saing UKM dalam negeri. Di sisi lain, studi Westerlund terhadap beberapa 535 UKM di Kanada dalam artikelnya "Digitalization, Internalization and Scaling of Online SME" menunjukkan bahwa banyak UKM yang tidak bisa go digital secara internasional karena tidak dirancang untuk beralih ke platform tersebut (Westerlund, 2020).

Muditomo dan Wahyudi melakukan penelitian tentang model konseptual transformasi digital UKM selama pandemi Covid-19 di Indonesia: Model Transformasi R-Digital. Mereka membuat model transformasi digital untuk UMKM Indonesia yang disebut Model R-DT atau Reasonable Digital Transformation Model untuk UMKM dalam tiga fase, yaitu fase pertama disebut mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat diterima dan fase kedua disebut fase penentuan faktor-faktor yang dapat diterima dan fase ketiga disebut fase kewajaran . implementasi kebutuhan strategis (Muditomo & Wahyudi, 2021). Dalam disertasinya, Patil mengungkapkan bahwa di Inggris, digitalisasi UKM dilakukan dengan berkolaborasi dengan berbagai sumber berdasarkan teori RBV (resource-based view) untuk mendapatkan model untuk menguasai digitalisasi (Patil, 2019).

Pada saat yang sama, kolaborasi dianggap sebagai kekuatan di era digitalisasi. Manajemen kolaboratif memberikan perspektif tentang kerja dewan sebagai suatu proses dimana melalui kolaborasi, dewan dapat menciptakan sinergi dengan semua pihak untuk mencapai tujuan dewan. Tidak ketinggalan banyak pihak non-negara lain yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan banyak penyumbang inovasi dan terobosan baru di era Revolusi Industri 4.0 (Molla et al., 2021).

Manajemen kolaboratif adalah ungkapan yang menggambarkan bagaimana manajemen dikelola melalui keterlibatan langsung aktor non-pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk konsensus dan konsultasi dalam proses pengambilan keputusan kolektif untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan publik dan program publik (Ansell & Gash, 2008). Kolaborasi yang bermakna sebagai fungsi dasar manajemen jejaring sosial. Jejaring sosial adalah adanya hubungan komunikasi antar partisipan. Oleh karena itu, teori kolaborasi dapat disajikan sebagai analisis proses administrasi dari perspektif jaringan sosial. Model manajemen kolaboratif membutuhkan partisipasi pemangku kepentingan dalam dialog dan advokasi diri dalam mengungkapkan kepentingan. Fokus tata kelola kolaboratif adalah pada isu-isu kebijakan publik. Pada dasarnya, otoritas lembaga publik memiliki arah yang baik dalam menetapkan kebijakan, tujuan, dan proses kolaboratif untuk mencapai tingkat konsensus tertentu di antara para pemangku kepentingan. Syarat tata kelola kolaboratif adalah menerapkan keadilan sosial untuk melayani kepentingan bersama (Ipan et al., 2021). Kerjasama dapat digambarkan sebagai pengaturan dimana satu atau lebih lembaga publik bekerja dengan pemangku kepentingan "non-pemerintah" dalam proses pengambilan keputusan formal dan konsensual, dengan tujuan mengembangkan atau menerapkan kebijakan publik atau mencoba mengendalikan program dan kebijakan publik (Ansell & Gash, 2008).

Manajemen kolaboratif memiliki enam kriteria utama yang ditiru oleh Ansell dan Gash. Kriteria pertama mengacu pada inisiatif organisasi publik. Kedua, anggota forum harus bekerja dengan aktor non-negara. Ketiga, melibatkan peserta secara langsung dalam pengambilan keputusan, bukan sekedar meminta masukan atau berkonsultasi dengan dewan. Keempat, forum harus diselenggarakan secara sistematis dan teratur. Kelima: Pengambilan keputusan berdasarkan konsensus. Sedangkan kriteria keenam mengacu pada konsentrasi kebijakan publik atau kerjasama antar administrasi publik. Tata kelola kolaboratif adalah alat yang dapat memperbaiki masalah.

Tata kelola kolaboratif dapat menjadi alat yang tepat untuk menangani berbagai isu, dalam hal ini peran tata kelola kolaboratif, yang menciptakan “tanggung jawab bersama” atas isu-isu tersebut. Keragaman aktor co-manajemen menciptakan perspektif yang berbeda pada masalah yang muncul. Pemahaman antar peran aktor-aktor tersebut tidak mudah dicapai. Tata kelola kolaboratif berperan sebagai fasilitator bagi para aktor agar nantinya dapat membentuk pemahaman terhadap isu yang sama dan menggambarkan hubungan antar aktor yang saling bergantung. Kebutuhan akan tata kelola kolaboratif atau co-governance muncul dari kesadaran bahwa mereka memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan masalah. Kemudian aktor atau subjek tersebut bersepakat untuk mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan subjek lain. Setiap aktor yang terlibat harus mengakui legitimasi aktor lainnya. Kemudian melanjutkan dialog antar pemangku kepentingan untuk bekerja sama dan mengembangkan rasa tanggung jawab bersama untuk setiap proses kolaboratif. 

Proses kolaboratif dilakukan melalui beberapa langkah utama yang harus diperhatikan dalam mengelola kepentingan bersama, namun sifat yang berbeda dari masing-masing pemangku kepentingan membuat pelaksanaannya menjadi sulit. Bentuk manajemen kolaboratif didasarkan pada fase dialog antar aktor yang bertujuan untuk membangun kepercayaan, memastikan pelaksanaan proses operasional, menciptakan pemahaman bersama dan mencapai hasil sementara (Garvera et al., 2021). Pada saat yang sama, model Ansell & Gash dalam pengelolaan bersama dijelaskan sebagai berikut:  

Gambar 1. Model Collaborative Governance menurut Ansell & Gash (2008)

 

Ansell & Gash menawarkan empat dimensi dalam model tata kelola kolaboratif, yaitu prasyarat, desain kelembagaan, kepemimpinan yang mendukung, dan proses kolaboratif, yaitu: (1) Kondisi awal. Pada fase awal pengelolaan kerja sama, kepercayaan dapat dibangun untuk menemukan masalah atau konflik, diikuti dengan peluang dan tantangan dalam kerjasama yang muncul dari model sosial. Pada fase ini, hubungan antara stakeholder atau aktor yang masing-masing dengan latar belakangnya dapat membentuk hubungan yang tidak simetris dengan hubungan yang akan dilaksanakan. Kondisi awal pengelolaan kerja sama merupakan faktor kunci bagaimana kepercayaan dapat dibangun untuk menemukan masalah atau konflik, diikuti dengan peluang dan tantangan dalam kerjasama yang muncul dari model sosial. Pada fase ini, hubungan antara stakeholder atau aktor yang masing-masing dengan latar belakangnya dapat membentuk hubungan yang asimetris dengan hubungan yang akan dilaksanakan (Harmawan, 2017). Dalam hal ini, pemangku kepentingan adalah setiap aktor, pihak atau kelompok yang kegiatannya dapat terpengaruh selanjutnya atau organisasi lain dapat terpengaruh. Kondisi awal meliputi tiga faktor, yaitu: a) ketidakseimbangan antara kekuatan (power) dan sumber daya (resources) dan pengetahuan (knowledge); b) Insentif dan hambatan atau hambatan partisipasi; c) Sejarah kerjasama atau konflik. (2) Desain kelembagaan. Aturan dasar kerjasama dijelaskan dalam perencanaan kelembagaan. Aturan dan prosedur harus diartikulasikan dengan jelas dan diterapkan secara adil, terbuka, dan transparan untuk meyakinkan pemangku kepentingan atau aktor bahwa semua negosiasi dan diskusi yang sedang berlangsung adalah benar dan bukan hanya kata-kata untuk menyembunyikan kesepakatan rahasia (Molla et al., 2021). (3) Kepemimpinan. Kepemimpinan adalah fasilitator sekaligus fasilitator dalam tata kelola kolaboratif. Kepemimpinan merupakan hal yang paling penting dan sangat diperlukan dalam kerja pengelolaan kerja sama. Pemimpin pengurus kerja sama adalah pemimpin yang suportif yang mampu memberikan ruang bagi pemangku kepentingan untuk membangun rasa saling percaya dan berkomitmen terhadap penjabaran rencana, strategi dan roadmap serta penyusunan visi, misi dan tujuan bersama yang ada. disepakati melalui konsensus (Molla et al., 2021). Pada saat yang sama, manajemen kolaboratif mencakup tiga komponen efektif, yaitu: manajemen atau kontrol yang tepat atas proses kolaboratif, manajemen kapasitas dalam pelaksanaan kredibilitas teknis, dan memastikan kerjasama sebagai dasar keputusan yang kredibel dan meyakinkan bagi seluruh pemangku kepentingan (B. N. Harmawan et al., 2017). (4) Perencanaan kolaboratif (collaborative planning). Inti dari manajemen kolaboratif, desain kolaboratif melibatkan dialog tatap muka, upaya menciptakan kepercayaan, menyatukan komitmen, mencapai pemahaman, dan mencapai hasil.

Proses kolaboratif yang ditawarkan oleh Ansell dan Gash terdiri dari tiga fase, yaitu (1) pendefinisian masalah, (2) penetapan arah, (3) implementasi. Proses kolaboratif seringkali bergantung pada pencapaian tujuan ideal yang sebagian besar tidak teratur dan tidak linier, membutuhkan komunikasi sebagai jembatan untuk membangun kepercayaan, komitmen terhadap proses, dan kemauan untuk saling memahami (Molla et al., 2021).

Karena partisipasi sebagian besar bersifat sukarela, penting untuk memahami insentif yang dimiliki pemangku kepentingan untuk terlibat dalam tata kelola kolaboratif dan faktor-faktor yang membentuk insentif tersebut. Sarjana manajemen kolaboratif telah mengakui bahwa kekuatan dan ketidakseimbangan sumber daya mempengaruhi motivasi kelompok untuk terlibat dalam proses kolaboratif  (Ansell & Gash, 2008). Insentif untuk berpartisipasi sebagian bergantung pada ekspektasi pemangku kepentingan tentang apakah proses kolaboratif akan memberikan hasil yang berarti, khususnya keseimbangan waktu dan energi yang diperlukan untuk berkolaborasi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan daya saing digital untuk mendukung digitalisasi bisnis UMKM kuliner Jalur Gaza di Kecamatan Sukolilo Surabaya dari perspektif collaborative governance

 

Metode Penelitian

Studi ini menganalisis daya saing digital UMKM Kuliner Jalur Gaza di Surbaya dari sudut pandang Collaborative Governance menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif dicirikan oleh data naturalistik, yang penelitian ini berusaha untuk menyelidiki dengan menyajikan fakta-fakta peristiwa dan menghindari intervensi atau manipulasi variabel. Metode penelitian kualitatif adalah strategi atau teknik pengumpulan dan analisis data yang didasarkan pada pengumpulan dan analisis data non-numerik (Sugiyono, 2014). Data non-numerik dapat dikonversi menjadi data numerik untuk perbandingan dan analisis lebih lanjut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dimana penelitian kualitatif adalah proses menelusuri atau menyelidiki fenomena secara bertahap dengan melihat keselarasan kebijakan negara dengan realitas di dunia.

Teknik analisis data menggunakan pendekatan, sebagai berikut :

1)  Melakukan pengumpulan data dan informasi yang dihasilkan melalui metode observasi, wawancara, dan analisis teks dan dokumen. Observasi dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dalam kondisi awal kolaborasi yang merujuk pada faktor-faktor daya saing digital, yang mencakup:

a.   Riwayat Kerjasama atau Konflik (Tingkat Kepercayaan Awal) dalam hal digitalisasi

b.   Upaya yang dilakukan oleh para stakeholder dalam berkolaborasi

c.   Resolusi atas konflik antar stakeholder

d.   Dialog tatap muka

e.   Membangun kepercayaan

f.    Membangun komitmen dalam proses kolaborasi sebagai bentuk kesepahaman, keterbukaan, dan kepemilikan.

Wawancara dilakukan antara peneliti dengan informan, yaitu pelaku UMKM. Daftar pertanyaan dalam wawancara meliputi hal-hal sebagai berikut:

a.   Siapa saja yang menjadi pemangku kepentingan (stakeholder) atau aktor?

b.   Apa saja peran masing-masing aktor?

c.   Apa saja kerjasama yang telah dan sedang dilaksanakan?

d.   Apa saja kendala yang dihadapi oleh para pelaku UMKM Kuliner?

e.   Apa saja fasilitas yang telah didapatkan?

f.     Apa saja fasilitas yang belum didapatkan / yang diharapkan tersedia?

g.   Apa saja konflik yang pernah terjadi dan bagaimana penyelesaiannya?

2)  Melakukan pemetaan faktor-faktor daya saing digital dengan mengidentifikasi dan melakukan revisi terhadap data dan informasi yang diperoleh.

Faktor-faktor yang diidentifikasi dalam hal daya saing digital meliputi:

A.  Ekosistem

a)   Ketersediaan modal ventura

b)   Biaya untuk memulai bisnis

c)   Waktu untuk memulai bisnis

B.  Mindset

a)   Kemampuan digital masyarakat

b)   Sikap terhadap resiko usaha

c)   Pemakaian internet

3)  Setelah pengumpulan data, peneliti melakukan analisis dengan tahapan sebagai berikut:

a)   Kondensasi data. Langkah ini dilakukan untuk memadatkan data melalui serangkaian proses penyaringan data, pemfokusan data, serta penyaringan data yang telah diperoleh melalui hasil wawancara, dokumentasi, maupun studi Pustaka. Menjelaskan dan mendiskripsikan pola dan hubungan dalam bentuk narasi, matriks, tabel, skema, maupun gambar.

b)   Hasil Analisis. Langkah ini dilakukan dengan menarik kesimpulan dan verifikasi, yang diperoleh dari hasil catatan atas keteraturan, pola-pola, konfigurasi, dan hubungan sebab akibat.

Seperti yang dinyatakan oleh Miles dalam (Mustofa, 2022), bahwa analisis kualitatif dapat juga dikatakan sebagai model analisis interaktif. Untuk itu penulis mencoba untuk menyusun kesimpulan secara sederhana dengan cara menguraikan alur pemikiran secara lebih terbuka dan realistis. Keterkaitan antara jenis data, metode pengumpulan data, informasi, dan validasi data digambarkan dalam tabel berikut ini:

 

Tabel 1. Jenis Data, Metode Pengumpulan Data, Informan, Validitas Data

Jenis Data

Metode Pengumpulan Data

Informan

Validitas Data

·       Konflik antar stakeholder

·       Upaya yang dilakukan oleh stakeholder dalam berkolaborasi

·       Resolusi Konflik antar Stakeholder

·       Dialog Tatap Muka

·       Membangun kepercayaan

·       Komitmen dalam proses kolaborasi untuk mencapai kesepahaman yang saling menguntungkan, keterbukaan, dan kepemilikan

·       Peneliti melakukan wawancara kepada para informan terkait dengan proses collaborative governance dan daya saing digital

·       Peneliti mengobservasi program dan aktivitas dalan collaborative governance  serta model yang diimplementasikan.

·       Peneliti melakukan studi dokumentasi terkait dengan konsep collaborative governance.

·       Para pelaku UMKM di  Jalur Gaza (Jalur Gaza) dan Sentra Wisata Kuliner Bratang Binangun

·       Pejabat public yang berwenang dalam penataan Sentra Kuliner

·       Akademisi yang terlibat dalam pengelolaan sentra kuliner

·       Perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan sentra kuliner

Peneliti melakukan pemeriksaan terhadap kebenaran data yang diperoleh menggunakan triangulasi data sebagai berikut:

·       Membandingkan data hasil wawancara dari masing-masing fokus penelitian dengan hasil studi Pustaka dan dokumentasi

·       Membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil observasi

·       Membandingkan data yang dikembangkan dengan kenyataan dari data hasil observasi di lapangan

Sumber: Pemrosesan data oleh Peneliti, 2022.

 

Hasil dan Pembahasan

Sejak tahun 2015, pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Kerja sama dan Usaha Menengah Surabaya telah banyak merelokasi PKL ke berbagai lokasi di Kota Surabaya. Salah satu upaya yang masih berlangsung saat ini adalah pembangunan sentra wisata kuliner (SWK) untuk PKL yang direlokasi. Salah satu contoh relokasi PKL adalah ke lahan di sepanjang jalan Semolowaru ke Sentra Kuliner Universitas Dr. Soetomo. Sentra wisata kuliner tersebut menghadapi banyak masalah, salah satunya adalah pengunjung yang kurang dan proses penataan PKL yang buruk. Akibatnya, mulai tahun 2017, Pemerintah Kota Surabaya berkomitmen untuk menghidupkan beberapa SWK yang telah dibangun. Untuk mendorong kembali SWK Surabaya, Dinas Kerja sama dan UM Surabaya melakukan berbagai upaya, termasuk meningkatkan pengelolaan, produksi, dan kualitas sumber daya manusia.

Digitalisasi telah "memaksa" hampir sebagian besar sektor usaha di hampir semua bidang untuk mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi digital untuk tetap bertahan hidup dan berkemmbang di tengah perubahan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pasca pandemic. Ini juga dianggap sebagai salah satu daya dukung bagi para pelaku usaha untuk mempertahankan keberlangsungan bisnis mereka. Bahkan pemeringkatan daya saing digital telah digunakan sebagai ukuran kesiapan digitaliasi suatu negara. Sehubungan dengan judul penelitian ini, tujuan peneliti adalah untuk menyelidiki elemen-elemen yang dapat mendukung daya saing digital bagi pelaku UMKM Kuliner dari sudut pandang manajemen kolaboratif. Penelitian ini melibatkan pelaku UMKM di tempat makan Jalur Gaza di Kecamatan Sukolilo, terutama di tempat makan wisata Bratang Binangun yang meliputi sejumlah 40 tempat usaha.

 

Tabel 2. Profil dan Pemangku Kepentingan pada Sentra UMKM Kuliner Jalur Gaza Surabaya

Nama dan Jumlah Pelaku UMKM

Pemangku Kepentingan

Peran

Sentra Kuliner  Jalur Gaza  

 

40 unit

Pemerintah

Dinas Kerja sama dan UMKM

·       Merelokasi PKL

·       Membangun stand/warung berkolaborasi dengan PR Sampoerna

Akademia

Kerja sama Unitomo

·       Menyediakan lahan untuk stand/warung kuliner

·       Menyediakan saluran air bersih

·       Memelihara bangunan stand/warung

·       Mengelola sampah

Private sector

CSR PR. Sampoerna (A Mild)

Membangun fasilitas:

-        stand/warung

-        toilet umum

-        banner

Civil Society

Koordinator

Mengoordinasi kepentingan antara pemilik warung dengan pemilik lahan dan penyedia dana CSR (A Mild)

Pedagang Kuliner

Menyediakan dan menjual makanan dan minuman

Sumber: Data diolah, Peneliti, 2022

 

Masalah utama dalam penelitian ini adalah bahwa sentra kuliner Surabaya belum memiliki pusat pengembangan kuliner digital. Pusat ini akan berfungsi sebagai tempat di mana para stakeholder terkait dapat bertemu dan bekerja sama untuk membangun sentra kuliner digital.

Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Pak Di, pemilik usaha kuliner di Jalur Gaza, "belum ada pihak-pihak yang memberikan pengenalan usaha secara online" (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).

Kedua, ada beberapa hambatan untuk kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Selama ini, ada kesulitan untuk membentuk kelompok karena sangat jarang ada pertemuan yang melibatkan semua pihak yang terlibat. Menurut Ibu Sapuan, pemilik bisnis kuliner di  Jalur Gaza: “Tidak pernah ada pertemuan antara dinas, universitas, atau perusahaan untuk menyelesaikan masalah kami. Kami hanya bertemu dengan koordinator sesekali selama ini, dan mereka tidak dapat menyelesaikan masalah kami seperti masalah saluran air bersih atau perbaikan warung. Karena tidak ada tanggapan yang lama, kami akhirnya harus memperbaiki diri sendiri”

Ketiga, karena pemerintah (dalam hal ini Dinas Kerja sama dan UMKM) dan perusahaan swasta tidak banyak bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat, masyarakat menganggap bahwa sentra kuliner digital Surabaya masih belum berkembang karena mereka belum sepenuhnya terlibat.

"Saat ini kami sudah cukup dengan jualan langsung seperti ini. Kami merasa tidak perlu untuk berjualan online, repot, karena tenaga juga terbatas," kata Ibu Sapuan.

Keempat, tidak ada standar prosedur operasional (SOP) atau peraturan khusus yang mengatur jenis kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam upaya digitalisasi UMKM makanan di Surabaya.

 

1.   Kondisi awal yang memengaruhi digitalisasi UMKM Kuliner Jalur Gaza

a.   Riwayat konflik dalam digitalisasi UMKM Kuliner Jalur Gaza

Pemangku kepentingan, juga dikenal sebagai pemangku kepentingan, berperan penting dalam mendukung daya saing digital UMKM Kuliner. Jika para stakeholder membantu menyiapkan faktor daya saing digital, itu akan menjadi lebih baik. Faktor-faktor ini terdiri dari faktor ekosistem dan mindset. Faktor ekosistem termasuk ketersediaan modal ventura, biaya untuk memulai bisnis, dan waktu untuk memulai bisnis. Faktor mindset termasuk kemampuan digital masyarakat, sikap terhadap resiko usaha, dan penggunaan internet. Sejak 2019, masyarakat Surabaya telah dikenalkan dengan platform digitalisasi UMKM yang dapat mengintegrasikan kebutuhan masyarakat untuk pembelian online, termasuk dalam industri kuliner. Namun, upaya tersebut belum diterapkan pada semua UMKM Kuliner di Surabaya; hanya sentra kuliner DTC Surabaya dan sentra kuliner Wiyung yang melakukannya (Harjono, 2019).

Terkait dengan program digitalisasi UMKM Kuliner tersebut, tampaknya program tersebut belum menyentuh pada sentra kuliner di  Jalur Gaza (Jalur Gaza) maupun di SWK Bratang Binangun. Kami mencoba untuk mengulik tentang apakah pernah terjadi konflik dalam implementasi program digitalisasi UMKM Kuliner dari sisi pelaku UMKM Kuliner di Jalur Gaza. Seperti yang diutarakan oleh Pak Di menjawab pertanyaan kami tentang konflik yang terjadi:

“…belum pernah ada yang memberi modal untuk memasang internet gratis…, atau apa itu….digitalisasi…, belum ada…, karena memang belum pernah ada pembicaraan tentang hal tersebut dari pihak manapun. Masalah yang pernah terjadi adalah berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan lahan…” (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Bu Sapuan di sentra kuliner Jalur Gaza:

“Dulu ada beberapa warung yang mencoba untuk melayani pesanan secara online, tapi tidak berlangsung lama karena kami harus bayar untuk langganan internet sendiri…, disamping kami sendiri juga masih kerepotan untuk melayani pelanggan yang datang langsung. Sampai saat ini belum ada tawaran untuk penyediaan fasilitas internet gratis baik dari pihak dinas, kampus, ataupun perusahaan…” (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).

Berkaitan dengan pengembangan dan resiko usaha, Bu Sapuan melanjutkan  dengan pernyataan sebagai berikut:

“….kami saat ini belum perlu berjualan online, karena pembeli sudah cukup banyak yang datang langsung ke sini…kalau jualan secara online perlu karyawan lagi untuk pegang HP dan menerima pesanan online itu… itu malah merepotkan…” (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).

Informasi yang disampaikan baik oleh Pak Di maupun Bu Sapuan mengindikasikan bahwa konflik tentang digitalisasi UMKM belum terjadi, karena memang belum pernah dilakukan pembicaraan mengenai upaya digitalisasi UMKM kuliner tersebut. Namun demikian sudah ada sebagian pelaku usaha yang telah menggunakan platform digital pada sentra kuliner di Jalur Gaza tetapi tidak diteruskan dengan alasan harus bayar paket internet sendiri dan tidak ada tenaga pembantu untuk menangani pesanan secara online.

Dalam konteks konflik awal berkaitan dengan daya saing digital pada faktor ekosistem yaitu ketersediaan modal ventura belum ada investor atau pemberi dana dari pihak manapun untuk membangun dan menyediakan fasilitas internet gratis. Faktor lain dari variabel ekosistem yaitu biaya untuk memulai bisnis, dalam hal ini pelaku usaha kuliner di Jalur Gaza berupaya secara mandiri dalam mengumpulkan modal untuk usaha kuliner mereka, di luar biaya internet. Selain itu dalam variabel daya saing digital yang kedua – yaitu mindset – tampak bahwa kemampuan digital pada sebagian pelaku usaha kuliner sudah cukup memadai, namun mereka enggan untuk melanjutkan penjualan mereka secara online karena kurangnya tenaga pembantu. Selain itu mereka merasa direpotkan dengan hasil penjualan mereka yang tidak langsung berupa uang cash yang inginnya dapat segera digunakan untuk berbelanja bahan makanan.. Dalam hal sikap mereka terhadap resiko usaha, mereka merasa sudah cukup dengan terpenuhinya target penjualan mereka dari para pelanggan yang langsung datang di warung mereka. Untuk itu mereka merasa bahwa pemakaian internet belum menjadi perhatian penting untuk saat ini.

b.   Upaya yang dilakukan oleh stakeholder dalam berkolaborasi

Setiap pihak yang terlibat dalam implementasi digitalisasi memiliki sumber daya dan wewenang yang berbeda, yang menyebabkan kesenjangan di antara mereka. Belum adanya forum legal yang memediasi antara pedagang kuliner dan pemerintah, khususnya Dinas Kerja sama dan UMKM, untuk menyediakan fasilitas digital, seperti jaringan internet gratis (wifi) untuk para pedangang dan pengunjung, dan platform digital yang mudah dan murah untuk para pedagang. Tidak ada kebijakan yang mengatur pengembangan digitalisasi UMKM kuliner.

Senada dengan yang diutarakan oleh Pak Di:

“…sebenarnya pernah ada uneg-uneg untuk menyediakan fasilitas intenet gratis di sini, sebagai daya tarik pengunjung dan untuk membantu pedagang yang ingin jualan online, tapi masih mencari pihak donatur….” (wawancara tanggal 8 Oktober 2022).

Di sisi lain, para pelaku UMKM kuliner tersebut menginginkan kemudahan dalam transisi ke digitalisasi bisnis mereka. Namun, belum ada diskusi dengan pengusaha atau pihak lain tentang kemungkinan penyediaan fasilitas internet dan perlengkapan digital secara gratis serta pendampingan dalam memberikan tutorial penggunaan aplikasi dan perlengkapan tersebut. Para pelaku UMKM kuliner tersebut membutuhkan suatu aplikasi kuliner online yang membantu. Ini tidak sejalan dengan apa yang dikatakan Bu Sapuan:

“…Jualan online itu repot…. uangnya tidak bisa langsung di tangan, sedangkan kami kalau belanja membutuhkan uang cash, kalau harus mengambil uang lebih dulu ke bank jadinya malah repot… kelamaan…” (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).

Sedangkan Pak Di menambahkan:

“….kita ini butuh HP yang spek nya cocok dengan aplikasinya…yang tidak lambat, tidak gampang error, mudah digunakan… kita ini susah kalau disuruh mikir lagi cara pakai aplikasinya… belum lagi nanti kalau HP nya tiba-tiba diam tidak bisa jalan….malah tambah ruwet..” (wawancara tanggal 8 Oktober 2022).

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa para pelaku UMKM kuliner tersebut tidak ingin menghadapi kesulitan lagi dengan harus belajar menjalankan aplikasi jualan online tersebut. Mereka juga tidak ingin menghadapi risiko kerusakan alat atau HP yang akhirnya akan menyulitkan mereka dan menghambat penjualan mereka.

c.   Resolusi atas konflik

Hanya dengan membangun ekonomi dan ekosistem digital UMKM kuliner dapat mencapai daya saing digital (Kirana, 2022). Keberhasilan transformasi digital pada UMKM, yang menyumbang lebih dari 60% dari perekonomian Indonesia, menentukan keberhasilan digitalisasi ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah telah membuat sejumlah persiapan pembangunan untuk mendorong ekonomi digital, seperti membangun infrastruktur, menyiapkan lingkungan investasi, membuat kebijakan digital, dan menyiapkan SDM yang mampu menghadapi digitalisasi  (Suryadinata, 2020).

Dalam upaya untuk mendorong peningkatan daya saing digital UMKM kuliner di Surabaya, pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait melakukan beberapa hal. Salah satunya adalah penerapan program UMKM Go Online dari Kementerian Kominfo, yang bekerja sama dengan GoFood sebagai stakeholder dari lembaga swasta atau perusahaan (Hasanah, 2022). Selain itu, telah dibuat Smart Food Coust bekerja sama dengan PT Esensi Solusi Buana, sebuah perusahaan yang berfokus pada makanan sehat. Ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan UMKM kuliner untuk mendapatkan platform digital yang mudah dan murah.

Namun, para bisnis UMKM kuliner di Surabaya belum sepenuhnya memanfaatkan upaya tersebut secara merata. Untuk mewujudkan digitalisasi UMKM, dipandang perlu bekerja sama atau bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan teori Ansell & Gash bahwa semakin banyak pihak yang bekerja sama, semakin banyak pihak yang akan memutuskan untuk melakukan komitmen dalam kerja sama tersebut. Komitmen ini disebut sebagai "proses kepemilikan", atau suatu proses untuk "memiliki" (Ansell & Gash, 2008).

Berdasarkan dokumentasi data, peneliti menemukan bahwa pemerintah sebenarnya telah merencanakan beberapa upaya untuk membangun ekonomi dan ekosistem digital dengan bekerja sama dan bekerja sama dengan beberapa perusahaan yang menyediakan fasilitas dan modal. Namun, upaya tersebut belum dilakukan secara merata untuk menyentuh semua UMKM kuliner, termasuk di Sentra Kuliner Jalur Gaza Surabaya.

 

 

 

 

 

Tabel 3. Faktor-faktor Daya Saing Digital UMKM Kuliner Jalur Gaza pada Kondisi Awal

 

Kondisi Awal Collaborative Governance

Faktor-faktor Daya Saing Digital

Resolusi Kolaborasi

Hambatan Partisipasi

Riwayat Kerjasama atau Konflik

 

Ekosistem:

·       Ketersediaan Modal Ventura

·       Belum dilakukan pembiacaraan dengan para pengusaha untuk menjajagi kemungkinan penyediaan fasilitas internet gratis melalui CSR

·       Pedagang butuh dana untuk perlengkapan digital

·       Dibutuhkan aplikasi kuliner online yang mudah murah

·       Belum ada pemodal yang bersedia memberi fasilitas sekaligus mengajari penggunaan fasilitas tersebut kepada para pedagang

·       Pedagang kuliner memandang sulitnya untuk belajar mengaplikasikan jualan secara online

·       Belum ada

 

·       Biaya untuk memulai bisnis digital

·       Butuh biaya besar untuk langganan paket internet secara mandiri, sehingga perlu adanya fasilitas internet gratis

·       Pedagang merasa terbebani untuk pengadaan internet secara mandiri

·       Belum ada

 

·       Waktu untuk memulai bisnis digital

·       Sebagian pedagang merasa belum membutuhkan untuk berjualan online, sebagian merasa akan sangat terbantu apabila bisa berjualan online untuk menambah omset

·       Sebagian pedagang merasa tidak perlu belajar berjualan online karena ribet dan sulit

·       Pernah ada yang mencoba berjualan online dan merasa tidak sesuai harapan

 

Mindset:

·       Kemampuan digital masyarakat

·       Semua stakeholders diharapkan dapat saling belajar dan mengajari tentang teknologi digital untuk berdagang kuliner

·       Perlu dilakukan pemetaan lebih lanjut untuk mengidentifikasi bervariasinya karakteristik pedagang kuliner, karena sebagian besar terdiri dari pedagang yang tidak terlalu paham teknologi digital

·       Ada yang sudah pernah melakukan, dan merasa kesulitan karena kurangnya karyawan untuk memantau order melalui online

 

·       Sikap terhadap resiko usaha

·       Pihak pemerintah dan swasta belum terlihat memberikan perhatian akan pentingnya upaya digitalisasi UMKM kuliner

·       Sebagian pedagang memandang resiko untuk mengembangkan usaha berbasis digital akan membantu omset penjualannya.

Belum ada

 

·       Pemakaian internet

·     Ada sebagian pedagang yang paham dan tahu cara menggunakan aplikasi untuk berjualan online, namun masih lebih banyak yang belum bisa

·       Belum ada upaya dari pihak-pihak kampus, pemerintah, maupun swasta untuk memberikan pendampingan dan bimbingan tentang penggunaan aplikasi online

Belum ada

 

 

 

 

2.   Proses membangun kolaborasi

a.   Dialog tatap muka

Rasa percaya satu sama lain dan kemampuan untuk memahami satu sama lain ketika menghadapi suatu masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama dapat membantu menciptakan proses kerja sama yang saling menguntungkan. Sebuah diskusi langsung dengan para stakeholder akan menempatkan para aktor dalam situasi yang sama untuk memahami masalah yang sedang terjadi. Tidak ada diskusi bersama dengan para stakeholder tentang membangun daya saing digital di  Jalur Gaza  . Akibatnya, belum ada kesepakatan tentang masalah yang ada.

Bisnis kuliner di Jalur Gaza, Pak Eko, menyatakan bahwa mereka bersedia untuk belajar berjualan secara online. Namun, mereka perlu mendapatkan bimbingan untuk beralih ke platform digital dan memiliki fasilitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Seperti yang dikatakan oleh Pak Eko,  pelaku usaha kuliner di Jalur Gaza, mereka sebenarnya bersedia untuk belajar berjualan secara online, namun mereka perlu ada pendampingan dalam bertransformasi ke platform digital tersebut dan ada penyediaan fasilitas yang cukup yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

“Gini bu….kami ini sebenarnya mau saja kalau disuruh jualan online…. Yaa siapa tahu bisa nambah pendapatan, apalagi kalau pas kampus libur biasanya agak sepi yang beli… tapi saya ini repot kalau disuruh mikir sendiri…. Belajar sendiri… maunya yaa ada yang ngajari.. tapi jangan malah bikin kita repot lagi.., kita kan tidak bisa ujug-ujug ambil karyawan lagi buat pegang apa itu, kita mikir gajinya juga…. Aplikasi online… belum lagi alat-alatnya, HP nya... ya agak repot memang… tapi kalau ada yang mau membantu sih kita ya senang lah… (wawancara tanggal 8 Oktober 2022).

Faktor-faktor penguatan daya saing digital yang perlu dibicarakan bersama diantaranya diuraikan dalam tabel 4, yang menunjukkan beberapa masalah yang perlu diidentifikasi dan disusun untuk penyelesaiannya, berfokus pada dua variabel: ekosistem dan mindset. Para pemangku kepentingan diharapkan dapat memberikan masukan dalam menyiapkan ekosistem digital dan membangun mindset digital.

 

 

Tabel 4. Dialog Penguatan Daya Saing Digital UMKM Kuliner Jalur Gaza

Pemangku Kepentingan

Pokok Bahasan

1

Pemerintah

Dinas UMKM dan Kerja sama

·       Penyusunan kebijakan yang mengatur tentang transformasi digital bagi para pelaku UMKM kuliner

·       Membuka jalan masuknya investor yang bersedia untuk melakukan kolaborasi dan menyediakan fasilitas dan perlengkapan digital bagi para pelaku UMKM kuliner

2

Perusahaan

·       Membangun fasilitas digital dan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan para pelaku UMKM kuliner

·       Memetakan kebutuhan para pelaku UMKM kuliner untuk bertranformasi pada bisnis digital, diantaranya dengan memperhatikan faktor-faktor:

-        Fasilitas internet gratis

-        Penggunaan peralatan / perlengkapan digital yang sederhana

-        Kemudahan dalam penggunaan aplikasi dan manfaat yang akan diterima oleh pengguna

·       Melakukan pendampingan bersama dengan akademisi dan pihak lain untuk membantu para pelaku UMKM dalam melakukan transformasi digital sekaligus penggunaannya.

3

Akademisi

·       Melakukan pendampingan bersama dengan pengusaha/perusahaan dan pihak lain untuk membantu para pelaku UMKM dalam melakukan transformasi digital sekaligus penggunaannya.

·       Memberikan masukan, wawasan, maupun membantu untuk mendapatkan manfaat transaksi digital bagi para pelaku UMKM kuliner

4

Pelaku UMKM kuliner

·       Melakukan transformasi digital pada usaha kulinernya

Sumber: Data diolah Peneliti, 2022.

 

b.   Membangun kepercayaan

Untuk membangun kepercayaan, para pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk membuat keputusan atau kebijakan terbaik untuk tujuan mereka di masa depan. Seorang inisiator harus mengajak semua pemangku kepentingan untuk berkumpul dalam sebuah forum, berbicara tentang masalah mereka, dan kemudian membuat keputusan. Di antara faktor daya saing digital yang dikaji adalah faktor untuk membangun ekosistem, yang mencakup faktor pemodalan ventura, waktu untuk memulai transformasi digital, dan biaya usaha. Faktor daya saing digital berikutnya adalah membangun mindset digital, yang mencakup kemampuan digitalisasi, sikap, dan resiko usaha. Semua orang berpartisipasi dalam diskusi secara kolektif untuk saling belajar dan memahami masalah yang dihadapi bersama.

 

c.     Membangun Komitmen dalam Upaya Kolaborasi untuk Mencapai Kesepahaman, Keterbukaan, dan Kepemilikan yang Saling Menguntungkan

Gambar 2. Model Penguatan Daya Saing Digital dari Perspektif Collaborative Governance

Sumber: Data diolah Peneliti, 2022

 

Dalam proses kolaborasi, komitmen sangat penting. Komitmen sendiri mendorong partisipasi dalam pemerintahan kolaboratif (Garvera et al., 2021). Komitmen kadang-kadang dianggap sebagai upaya yang cukup kompleks yang dilakukan untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sebelumnya. Penggalangan komitmen dilakukan melalui forum yang beranggotakan masyarakat, akademisi, pemerintah (Dinas Kerja sama dan UMKM), dan pihak swasta.

Forum ini dibuat dengan tujuan agar semua pihak terlibat, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam pelaksanaannya, untuk mewujudkan daya saing digital pada UMKM kuliner di  Jalur Gaza. Penguatan tata kelola organisasi dan peningkatan layanan bagi pelaku UMKM kuliner adalah bagian dari komitmen proses kolaboratif. Tujuan dari penguatan tata kelola dan administrasi adalah untuk memastikan organisasi dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya.

Untuk membantu UMKM kuliner mendapatkan daya saing digital, penelitian ini menghasilkan model pemerintahan kolaboratif. Fokus model dalam gambar 2 adalah masalah yang akan dihadapi oleh para pelaku UMKM kuliner saat menyiapkan transformasi digital. Ini terutama berlaku untuk sentra kuliner di  Jalur Gaza.

 

Kesimpulan

Tidak ada daya saing digital di UMKM Kuliner, terutama di  Jalur Gaza.  Sebagian pedagang percaya bahwa untuk menarik pelanggan dan meningkatkan penjualan mereka, perlu adanya fasilitas internet gratis. Namun, lebih banyak orang merasa sulit dan sulit menjalankan aplikasi online karena masalah pengetahuan, keterbatasan jumlah karyawan, dan biaya langganan internet.

Penelitian ini menyarankan hal-hal berikut untuk mendukung pencapaian target pemerintah untuk digitalisasi sejumlah 30 juta UMKM hingga 2024 serta untuk menciptakan daya saing digital bagi para pelaku UMKM kuliner: 1) Salah satu upaya untuk mengembangkan daya saing UMKM kuliner adalah bekerja sama dengan pemangku kepentingan yang membantu usaha mikro. 2) Perlunya inisiatif dari semua pihak untuk duduk bersama dalam menciptakan gagasan atas dampak digital yang lebih besar. 3) Pemerintah seharusnya membuat undang-undang yang memungkinkan UMKM makanan untuk mengembangkan bisnis mereka didukung oleh inovasi digital. 4) Perusahaan swasta, baik melalui program tanggung jawab sosial perusahaan maupun sebagai pemodal ventura, diharapkan memberikan respons yang tepat terhadap kebutuhan untuk membangun fasilitas dan prasarana digital di sentra kuliner. 5) Akademis seharusnya dapat memberikan pendidikan yang sesuai.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571. https://doi.org/10.1093/jopart/mum032

Aquilani, B., Piccarozzi, M., Abbate, T., & Codini, A. (2020). The role of open innovation and value co-creation in the challenging transition from industry 4.0 to society 5.0: Toward a theoretical framework. Sustainability (Switzerland), 12(21), 1–21. https://doi.org/10.3390/su12218943

Arifin, N. F., A Rahman, R. S. A. R., & Othman, N. (2020). Tahap Personaliti Big Six dan Hubungannya dengan Kecenderungan Keusahawanan Digital dalam Kalangan Pelajar Kolej Komuniti Among Community College Students ). Jurnal Pendidikan Malaysia, 45(1), 101–110. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.17576/JPEN-2020-45.01SI-12

BRI. (2022). Digitalisasi UMKM Dongkrak Pendapatan UMKM di 2022. BRI. https://developers.bri.co.id/id/news/digitalisasi-umkm-dongkrak-pendapatan-umkm-di-2022

Cargnello, D. P., & Flumian, M. (2017). Canadian governance in transition: Multilevel governance in the digital era. Canadian Public Administration, 60(4), 605–626. https://doi.org/10.1111/capa.12230

Deguchi, A., Hirai, C., Matsuoka, H., Nakano, T., Oshima, K., Tai, M., & Tani, S. (2020). What is society 5.0? In Society 5.0: A People-centric Super-smart Society (pp. 1–23). Springer Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-15-2989-4_1

Ellitan, L. (2020). Competing in the Era of Industrial Revolution 4.0 and Society 5.0. Jurnal Maksipreneur: Manajemen, Koperasi, Dan Entrepreneurship, 10(1), 1. https://doi.org/10.30588/jmp.v10i1.657

ESCP Business School. (2021). DIGITAL RISER REPORT 2021. https://digital-competitiveness.eu/digitalriser/

Fadilla, A. (2022). Kunci Sukses UMKM Adaptasi di Pasar Digital, Apa Saja? Katadata. https://katadata.co.id/aryowidhywicaksono/digital/62ba991d412d1/kunci-sukses-umkm-adaptasi-di-pasar-digital-apa-saja

Garvera, R. R., Arifin, F. S., Fazrilah, A. N., Galuh, U., Cijeungjing, K., & Mandiri, D. (2021). Collaborative Governance Dalam Mewujudkan Desa. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 8, 502–513.

Hamdan. (2018). Industri 4.0: Pengaruh Revolusi Industri pada Kewirausahaan Demi Kemandirian Ekonomi. Jurnal Nusantara Aplikasi Manajemen Bisnis, 3(2), 1–8. https://doi.org/10.29407/nusamba.v3i2.12142

Harjono, M. (2019, August 26). Digitalisasi UMKM, Kuliner DTC Surabaya 100% Online. Ditjen Aplikasi Informatika. https://aptika.kominfo.go.id/2019/08/digitalisasi-umkm-kuliner-dtc-surabaya-100-online/

Harmawan, B. N., Wasiati, I., & Rohman, H. (2017). Collaborative Governance Dalam Program Pengembangan Nilai Budaya Daerah Melalui Banyuwangi Ethno Carnival. E-SOSPOL, IV(1), 50–55.

Harmawan, B. Nuari. D. (2017). Collaborative Governance Dalam Program Pengembangan Nilai Budaya Daerah Melalui Banyuwangi Ethno Carnival. E-Sospol, IV(1), 50–55.

Hasanah, A. (2022, October 20). KOMPAG Terbukti Dorong UMKM Kuliner Semakin Cakap Digital dan Naik Kelas. Rri.Co.Id.

Husnurrosyidah, H. (2019). E-Marketplace Umkm Menghadapi Revolusi Industri 4.0 Dalam Perspektif Islam. Equilibrium: Jurnal Ekonomi Syariah, 7(2), 224. https://doi.org/10.21043/equilibrium.v7i2.6571

IMD. (2019). IMD World Digital Competitiveness Ranking 2019. In IMD World Competitiveness Center. https://www.imd.org/globalassets/wcc/docs/release-2017/world_digital_competitiveness_yearbook_2017.pdf

IMD. (2020). IMD World Digital Competitiveness Ranking 2020. In IMD World Competitiveness Center. https://www.imd.org/globalassets/wcc/docs/release-2017/world_digital_competitiveness_yearbook_2017.pdf

IMD. (2021). IMD World Digital Competitiveness Ranking 2021.

Ipan, I., Purnamasari, H., & Priyanti, E. (2021). Collaborative governance dalam penanganan stunting. Kinerja, 1(3), 383–391. https://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/KINERJA/article/view/9665

Katadata. (2020). Digitalisasi UMKM di Tengah Pandemi Covid-19. Katadata Insight Center. https://katadata.co.id/umkm

Kirana, L. P. (2022). Upaya Digitalisasi UMKM Indonesia melalui Ekosistem Digital dan Demokratisasi Ekonomi. Universitas Gadjah Mada Fakultas Ekonomika Dan Bisnis. https://feb.ugm.ac.id/id/berita/3552-upaya-digitalisasi-umkm-indonesia-melalui-ekosistem-digital-dan-demokratisasi-ekonomi

Lee, M., Joseph Yun, J., Pyka, A., Won, D., Kodama, F., Schiuma, G., Park, H., Jeon, J., Park, K., Jung, K., Yan, M.-R., Lee, S., & Zhao, X. (2018). How to Respond to the Fourth Industrial Revolution, or the Second Information Technology Revolution? Dynamic New Combinations between Technology, Market, and Society through Open Innovation. Journal of Open Innovation: Technology, Market, and Complexity, 4(21), 1–23. https://doi.org/10.3390/joitmc4030021

Legowo, M. B., Prayitno, D., & Indiarto, B. (2021). Program Kemitraan Masyarakat Untuk Sosialisasi Program Digitalisasi Umkm Di Wilayah Jakarta Pusat Community Partnership Program for the Socialization of the Msme Digitalization Program in the Central Jakarta Region. Jurnal Berdaya Mandiri, 3(2), 588–601.

Molla, Y., Supriatna, T., & Kurniawati, L. (2021). Collaborative Governance Dalam Pengelolaan Kampung Wisata Praiijing Di Desa Tebara Kecamatan Kota Waikabu-Bak Kabupaten Sumba Barat. Jurnal Ilmu Pemerintahan Suara Khatulistiwa, 6(2), 140–148. https://doi.org/10.33701/jipsk.v6i2.1790

Muditomo, A., & Wahyudi, I. (2021). Conceptual Model for Sme Digital Transformation During the Covid-19 Pandemic Time in Indonesia: R-Digital Transformation Model. BASKARA : Journal of Business and Entrepreneurship, 3(1), 13. https://doi.org/10.24853/baskara.3.1.13-24

Mustofa, A. (2022). Collaborative governance and communication models to build religious harmony. Jurnal Studi Komunikasi (Indonesian Journal of Communications Studies), 6(1), 141–164. https://doi.org/10.25139/jsk.v6i1.4474

Patil, B. T. M. (2019). SME Internationalisation through Digitalisation: UK Specialist and Niche Retailers [Anglia Ruskin University]. https://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=edsble&AN=edsble.814221&lang=pt-pt&site=eds-live&scope=site%0Ahttp://arro.anglia.ac.uk/id/eprint/705877/

Puriwat, W., & Tripopsakul, S. (2020). Preparing for industry 4.0-will youths have enough essential skills?: An evidence from Thailand. International Journal of Instruction, 13(3), 89–104. https://doi.org/10.29333/iji.2020.1337a

Rauch, E., V, I., J, T., I, P., J, Z., & D, P. (2020). Industry 4.0+: The Next Level of Intelligent and Self-optimizing Factories. Advances in Design, Simulation and Manufacturing III. DSMIE 2020. Lecture Notes in Mechanical Engineering, 176–186. https://doi.org/10.1007/978-3-030-50794-7_18

Setiawan, A., & Arini, E. (2022). Pengaruh Strategi Customer Bonding Terhadap Loyalitas Nasabah PT. Bank Syariah Adam. In Jurnal Entrepreneur dan Manajemen Sains (Vol. 3, Issue 1). www.jurnal.umb.ac.id

Setiawan, D., & Lenawati, M. (2020). Peran dan Strategi Perguruan Tinggi dalam Menghadapi Era Society 5.0. RESEARCH : Computer, Information System & Technology Management, 3(1), 1. https://doi.org/10.25273/research.v3i1.4728

Skobelev, P. O., & Borovik, S. Y. (2017). On The Way From Industry 4.0 To Industry 5.0: From Digital Manufacturing To Digital Society. International Scientific Journal “Industry 4.0,” 2(6), 307–311.

Sørensen, E., & Torfing, J. (2017). Metagoverning Collaborative Innovation in Governance Networks. American Review of Public Administration, 47(7), 826–839. https://doi.org/10.1177/0275074016643181

Sugiono, S. (2020). Industri Konten Digital dalam Perspektif Society 5 . 0 Digital Content Industry in Society 5 . 0 Perspective. Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Komunikasi, 22(2), 175–191.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Alfabeta.

Suryadinata, A. B. (2020). Bagaimana Kebijakan Ekonomi Digital oleh Pemerintah Indonesia? . Vutura.

Westerlund, M. (2020). Digitalization, internationalization and scaling of online SMEs. Technology Innovation Management Review, 10(4), 48–57. https://doi.org/10.22215/TIMREVIEW/1346

Yrjölä, S., Ahokangas, P., & Matinmikko-blue, M. (2021). Sustainability as a Challenge and Driver for Novel Ecosystemic 6G Business Scenarios. June 2020, 1–31.

Záklasník, M., & Putnová, A. (2019). Digital Society - Opportunity or Threat? Case Studies of Japan and the Czech Republic. Acta Universitatis Agriculturae et Silviculturae Mendelianae Brunensis, 67(4), 1085–1095. https://doi.org/10.11118/actaun201967041085

 

Copyright holder:

Anita Asnawi, Sapto Pramono, Fedianty Augustinah,

Sri Roekminiati, Sri Kamariyah (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: