Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
9, No. 1, Januari 2024
MODEL PENINGKATAN DAYA SAING DIGITAL DITINJAU DARI SUDUT PANDANG
COLLABORATIVE GOVERNANCE BAGI UMKM KULINER DI SURABAYA
Anita
Asnawi*, Sapto Pramono, Fedianty Augustinah, Sri
Roekminiati, Sri Kamariyah
Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Dr. Soetomo, Indonesia
Email: [email protected]*
Abstrak
Revolusi digital mengubah
kehidupan ekonomi dan masyarakat. Namun dalam hal ekonomi digital, Indonesia
menghadapi sejumlah masalah, seperti lambatnya proses perizinan dan lisensi
bisnis, serta ketidakmampuan untuk mencapai rantai pasok dan rantai nilai
produk digital dengan efektif. Daya saing digital Indonesia masih di bawah
rata-rata dari tahun 2017 hingga 2021, menurut indeks daya saing global. Dalam
menghadapi era digitalisasi, Indonesia harus memprioritaskan pembangunan daya
saing digital. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan komponen yang
dapat meningkatkan daya saing digital UMKM Kuliner di Kecamatan Sukolilo
Surabaya yang dikenal dengan julukan Jalur Gaza, dari sudut pandang manajemen
kolaboratif. Untuk meningkatkan daya saing digital Indonesia, kebijakan
kolaboratif diperlukan. Untuk membuat draft model daya saing digital,
pertama-tama akan digunakan model Ansell & Gash berbasis empat tahap:
identifikasi kondisi awal, desain institusional, kepemimpinan fasilitatif, dan
proses kolaboratif. Dalam tahap ini, perlu diidentifikasi ketidakseimbangan
kekuatan, sumber daya, dan pengetahuan, insentif dan hambatan partisipasi,
serta sejarah kerja sama atau konflik. Dilanjutkan dengan dialog antar muka
dalam rangka membangun kepercayaan dan komitmen, untuk mencapai kinerja yang
diharapkan. Model tersebut dipakai sebagai dasar penguatan daya saing digital
pada UMKM kuliner di Jalur Gaza Surabaya. Temuan penelitian ini menunjukkan
belum tampaknya daya saing digital di UMKM Kuliner tersebut. Sebagian pedagang
percaya bahwa fasilitas internet gratis diperlukan untuk menarik pelanggan dan
meningkatkan penjualan. Namun, karena masalah pengetahuan, keterbatasan jumlah
karyawan, dan biaya langganan internet, lebih banyak orang merasa sulit dan
sulit menjalankan aplikasi online.
Kata Kunci : collaborative governance, daya saing digital, UMKM kuliner
Abstract
The digital revolution is transforming
the economy and society. But when it comes to the digital economy, Indonesia
faces a number of problems, such as the slow process of business licensing and
permits, and the inability to effectively reach the supply chain and value
chain of digital products. Indonesia's digital competitiveness is still below
average from 2017 to 2021, according to the global competitiveness index. In
facing the era of digitalization, Indonesia should prioritize the development
of digital competitiveness. The purpose of this research is to find components
that can improve the digital competitiveness of culinary MSMEs in Sukolilo
Sub-district of Surabaya, known as the Gaza Strip, from a collaborative
management perspective. To improve Indonesia's digital competitiveness,
collaborative policies are needed. To draft a digital competitiveness model,
Ansell & Gash's four-stage model will first be used: identification of
initial conditions, institutional design, facilitative leadership, and collaborative
processes. In this stage, it is necessary to identify imbalances in power,
resources and knowledge, incentives and barriers to participation, and
histories of cooperation or conflict. This is followed by face-to-face dialog
in order to build trust and commitment, to achieve the expected performance.
The model is used as a basis for strengthening digital competitiveness in
culinary MSMEs in Surabaya's Gaza Strip. The findings of this study indicate
that digital competitiveness does not yet appear in these culinary MSMEs. Some
merchants believe that free internet facilities are necessary to attract
customers and increase sales. However, due to knowledge issues, limited number
of employees, and internet subscription costs, more people find it difficult
and difficult to run online applications.
Keywords: collaborative governance, digital competitiveness, culinary SMEs
Pendahuluan
Transformasi digital yang dihasilkan dari inovasi teknologi
informasi telah menciptakan masyarakat digital yang terintegrasi sistem melalui
teknologi digital
Sementara konsep Revolusi Industri 4.0 hanya menyentuh
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang ditujukan untuk
meningkatkan produktivitas dunia usaha
Harapan publik terhadap peran dan tindakan pemerintah telah
berubah secara signifikan. Revolusi digital mengubah masyarakat. Dari pekerjaan
hingga komunikasi dengan teman dan keluarga hingga pelatihan, informasi, dan
hiburan. Harus jelas bahwa ketika kita berbicara tentang "digital",
kita tidak merujuk pada komputer yang lebih cepat atau perangkat lunak yang
lebih baik, tetapi pada perubahan sosial dan budaya yang dimungkinkan dan
dipicu oleh komunikasi manusia. Perubahan sosial ini telah mengubah dan terus
mengubah institusi dan sektor, dari pendidikan hingga perawatan kesehatan
hingga keuangan
Berdasarkan
penelitian yang dilaporkan dalam Digital Riser Report 2020, dua dimensi
membentuk daya saing digital suatu negara, yaitu (1) ekosistem dan (2) pola
pikir
Dimensi
faktor pola pikir adalah sebagai berikut: (1) Keterampilan Digital Warga Negara
Aktif. Literasi digital adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan, atau
menggunakan alat atau perangkat teknologi digital, termasuk dalam mengakses dan
mengelola informasi; (2) Sikap terhadap risiko bisnis. Setiap usaha bisnis akan
menghasilkan keuntungan atau kerugian dan berbagai resiko yang harus dihadapi.
Oleh karena itu, memahami aspek proyek bisnis membutuhkan ketelitian dan
pembelajaran yang berkelanjutan; (3) Keanekaragaman tenaga kerja. Keragaman
tenaga kerja menunjukkan bahwa perusahaan menjadi semakin heterogen dalam hal
jenis kelamin, ras, suku, usia dan cara pandang; (4) penggunaan internet. Era
digital telah mengakibatkan sebagian besar orang bergantung pada Internet untuk
kebutuhan mereka untuk selalu terhubung dan berkomunikasi secara digital untuk
hiburan, informasi, kebutuhan sehari-hari, keuntungan bisnis, pendidikan dan
mendapatkan akses informasi; (5) Gagasan perusahaan dalam menangani insiden.
Era disrupsi
menyebabkan perubahan besar dalam sistem dan tata kerja, serta kehidupan
masyarakat. Disrupsi membutuhkan inovasi dan kreativitas yang konstan. Dalam
kolaborasi, inovasi membutuhkan keterlibatan aktor yang berbeda yang memiliki
keterampilan inovasi penting, seperti pengalaman pribadi dengan masalah dan
tantangan yang berbeda, kausalitas ahli dalam menyajikan ide yang berbeda,
kemampuan berpikir kreatif, keberanian untuk mencoba solusi baru, pengetahuan,
dan sebagainya. Dalam implementasi dan diseminasi solusi baru ini, pengetahuan
profesional serta kompleksitas dan toleransi lebih diperlukan dalam fase
konsolidasi
Rendahnya daya saing digital Indonesia menjadi salah satu faktor
terpenting yang mempengaruhi kemauan pelaku ekonomi Indonesia, dalam hal ini
khususnya UKM, untuk memasuki era digital. Keengganan UKM untuk merangkul
digitalisasi tercermin dari penurunan jumlah UKM yang besar, hingga 82,9%,
ketika pandemi Covid-19 melanda. Efek yang sangat penting adalah pengurangan
staf dan pemutusan hubungan kerja
Dengan melihat indeks daya saing global, daya saing digital
Indonesia pada tahun 2017 hingga tahun 2021 masih berada di bawah posisi indeks
daya saing secara umum. Berkaca pada perbandingan ranking daya saing tersebut,
tampak jelas bahwa posisi kekuatan Indonesia dalam dunia digital internasional
masih sangat rendah dan sudah selayaknya menjadi prioritas fokus pembangunan
mengingat saat ini kita telah berada di tengah era digitalisasi. Dalam
sebuah studi oleh Legowo et al. dengan judul “Program Kemitraan Masyarakat
Sosialisasi Program Digitalisasi UMKM di Wilayah Jakarta Pusat” menemukan bahwa
kendala bagi pelaku UMKM terletak pada kurangnya pengetahuan UMKM tentang model
digitalisasi bisnis dan cara penggunaannya. platform digital. Program kemitraan
masyarakat untuk mengatasi kendala tersebut telah memberikan kontribusi yang
signifikan dan bertahan lama pada program digitalisasi UMKM pemerintah
Muditomo
dan Wahyudi melakukan penelitian tentang model konseptual transformasi digital
UKM selama pandemi Covid-19 di Indonesia: Model Transformasi R-Digital. Mereka
membuat model transformasi digital untuk UMKM Indonesia yang disebut Model R-DT
atau Reasonable Digital Transformation Model untuk UMKM dalam tiga fase, yaitu
fase pertama disebut mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat diterima dan
fase kedua disebut fase penentuan faktor-faktor yang dapat diterima dan fase
ketiga disebut fase kewajaran . implementasi kebutuhan strategis
Pada
saat yang sama, kolaborasi dianggap sebagai kekuatan di era digitalisasi.
Manajemen kolaboratif memberikan perspektif tentang kerja dewan sebagai suatu
proses dimana melalui kolaborasi, dewan dapat menciptakan sinergi dengan semua
pihak untuk mencapai tujuan dewan. Tidak ketinggalan banyak pihak non-negara
lain yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan banyak penyumbang
inovasi dan terobosan baru di era Revolusi Industri 4.0
Manajemen
kolaboratif adalah ungkapan yang menggambarkan bagaimana manajemen dikelola
melalui keterlibatan langsung aktor non-pemerintah atau non-pemerintah yang
bertujuan untuk konsensus dan konsultasi dalam proses pengambilan keputusan
kolektif untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan publik dan program publik
Manajemen
kolaboratif memiliki enam kriteria utama yang ditiru oleh Ansell dan Gash.
Kriteria pertama mengacu pada inisiatif organisasi publik. Kedua, anggota forum
harus bekerja dengan aktor non-negara. Ketiga, melibatkan peserta secara
langsung dalam pengambilan keputusan, bukan sekedar meminta masukan atau
berkonsultasi dengan dewan. Keempat, forum harus diselenggarakan secara sistematis
dan teratur. Kelima: Pengambilan keputusan berdasarkan konsensus. Sedangkan
kriteria keenam mengacu pada konsentrasi kebijakan publik atau kerjasama antar
administrasi publik. Tata kelola kolaboratif adalah alat yang dapat memperbaiki
masalah.
Tata
kelola kolaboratif dapat menjadi alat yang tepat untuk menangani berbagai isu,
dalam hal ini peran tata kelola kolaboratif, yang menciptakan “tanggung jawab
bersama” atas isu-isu tersebut. Keragaman aktor co-manajemen menciptakan
perspektif yang berbeda pada masalah yang muncul. Pemahaman antar peran
aktor-aktor tersebut tidak mudah dicapai. Tata kelola kolaboratif berperan
sebagai fasilitator bagi para aktor agar nantinya dapat membentuk pemahaman
terhadap isu yang sama dan menggambarkan hubungan antar aktor yang saling
bergantung. Kebutuhan akan tata kelola kolaboratif atau co-governance muncul
dari kesadaran bahwa mereka memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan masalah.
Kemudian aktor atau subjek tersebut bersepakat untuk mengembangkan hubungan
yang saling menguntungkan dengan subjek lain. Setiap aktor yang terlibat harus
mengakui legitimasi aktor lainnya. Kemudian melanjutkan dialog antar pemangku
kepentingan untuk bekerja sama dan mengembangkan rasa tanggung jawab bersama
untuk setiap proses kolaboratif.
Proses
kolaboratif dilakukan melalui beberapa langkah utama yang harus diperhatikan
dalam mengelola kepentingan bersama, namun sifat yang berbeda dari
masing-masing pemangku kepentingan membuat pelaksanaannya menjadi sulit. Bentuk
manajemen kolaboratif didasarkan pada fase dialog antar aktor yang bertujuan
untuk membangun kepercayaan, memastikan pelaksanaan proses operasional,
menciptakan pemahaman bersama dan mencapai hasil sementara
Gambar 1. Model Collaborative Governance menurut
Ansell & Gash (2008)
Ansell
& Gash menawarkan empat dimensi dalam model tata kelola kolaboratif, yaitu
prasyarat, desain kelembagaan, kepemimpinan yang mendukung, dan proses
kolaboratif, yaitu: (1) Kondisi awal. Pada fase awal pengelolaan kerja sama,
kepercayaan dapat dibangun untuk menemukan masalah atau konflik, diikuti dengan
peluang dan tantangan dalam kerjasama yang muncul dari model sosial. Pada fase
ini, hubungan antara stakeholder atau aktor yang masing-masing dengan latar
belakangnya dapat membentuk hubungan yang tidak simetris dengan hubungan yang
akan dilaksanakan. Kondisi awal pengelolaan kerja sama merupakan faktor kunci
bagaimana kepercayaan dapat dibangun untuk menemukan masalah atau konflik,
diikuti dengan peluang dan tantangan dalam kerjasama yang muncul dari model
sosial. Pada fase ini, hubungan antara stakeholder atau aktor yang
masing-masing dengan latar belakangnya dapat membentuk hubungan yang asimetris
dengan hubungan yang akan dilaksanakan
Proses
kolaboratif yang ditawarkan oleh Ansell dan Gash terdiri dari tiga fase, yaitu
(1) pendefinisian masalah, (2) penetapan arah, (3) implementasi. Proses
kolaboratif seringkali bergantung pada pencapaian tujuan ideal yang sebagian
besar tidak teratur dan tidak linier, membutuhkan komunikasi sebagai jembatan
untuk membangun kepercayaan, komitmen terhadap proses, dan kemauan untuk saling
memahami
Karena
partisipasi sebagian besar bersifat sukarela, penting untuk memahami insentif
yang dimiliki pemangku kepentingan untuk terlibat dalam tata kelola kolaboratif
dan faktor-faktor yang membentuk insentif tersebut. Sarjana manajemen
kolaboratif telah mengakui bahwa kekuatan dan ketidakseimbangan sumber daya
mempengaruhi motivasi kelompok untuk terlibat dalam proses kolaboratif
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
meningkatkan daya saing digital untuk mendukung digitalisasi bisnis UMKM
kuliner Jalur Gaza di Kecamatan Sukolilo Surabaya dari perspektif collaborative
governance.
Metode Penelitian
Studi ini menganalisis daya saing digital
UMKM Kuliner Jalur Gaza di Surbaya dari sudut pandang Collaborative
Governance menggunakan metode penelitian
kualitatif. Metode penelitian kualitatif dicirikan oleh data naturalistik, yang
penelitian ini berusaha untuk menyelidiki dengan menyajikan fakta-fakta
peristiwa dan menghindari intervensi atau manipulasi variabel. Metode penelitian kualitatif adalah strategi atau teknik
pengumpulan dan analisis data yang didasarkan pada pengumpulan dan analisis
data non-numerik
Teknik analisis data menggunakan pendekatan, sebagai berikut :
1) Melakukan pengumpulan data dan informasi yang dihasilkan
melalui metode observasi, wawancara, dan analisis teks dan dokumen. Observasi dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
dalam kondisi awal kolaborasi yang merujuk pada faktor-faktor daya saing
digital, yang mencakup:
a.
Riwayat Kerjasama atau Konflik (Tingkat
Kepercayaan Awal) dalam hal digitalisasi
b.
Upaya yang dilakukan oleh para
stakeholder dalam berkolaborasi
c.
Resolusi atas konflik antar stakeholder
d.
Dialog tatap muka
e.
Membangun kepercayaan
f.
Membangun komitmen dalam proses
kolaborasi sebagai bentuk kesepahaman, keterbukaan, dan kepemilikan.
Wawancara dilakukan antara peneliti dengan informan, yaitu pelaku UMKM.
Daftar pertanyaan dalam wawancara meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
Siapa saja yang menjadi pemangku
kepentingan (stakeholder) atau aktor?
b.
Apa saja peran masing-masing aktor?
c.
Apa saja kerjasama yang telah dan sedang
dilaksanakan?
d.
Apa saja kendala yang dihadapi oleh para
pelaku UMKM Kuliner?
e.
Apa saja fasilitas yang telah
didapatkan?
f.
Apa saja fasilitas yang belum didapatkan /
yang diharapkan tersedia?
g.
Apa saja konflik yang pernah terjadi dan
bagaimana penyelesaiannya?
2) Melakukan pemetaan faktor-faktor daya saing digital dengan
mengidentifikasi dan melakukan revisi terhadap data dan informasi yang
diperoleh.
Faktor-faktor yang diidentifikasi dalam hal daya saing
digital meliputi:
A.
Ekosistem
b) Biaya untuk memulai bisnis
c) Waktu untuk memulai bisnis
B. Mindset
a) Kemampuan digital masyarakat
b) Sikap terhadap resiko usaha
c) Pemakaian internet
3) Setelah pengumpulan data, peneliti melakukan analisis dengan
tahapan sebagai berikut:
a)
Kondensasi data. Langkah ini dilakukan
untuk memadatkan data melalui serangkaian proses penyaringan data, pemfokusan
data, serta penyaringan data yang telah diperoleh melalui hasil wawancara,
dokumentasi, maupun studi Pustaka. Menjelaskan dan mendiskripsikan pola dan
hubungan dalam bentuk narasi, matriks, tabel, skema, maupun gambar.
b)
Hasil Analisis. Langkah ini dilakukan
dengan menarik kesimpulan dan verifikasi, yang diperoleh dari hasil catatan
atas keteraturan, pola-pola, konfigurasi, dan hubungan sebab akibat.
Seperti yang dinyatakan oleh Miles dalam
Tabel 1. Jenis Data, Metode Pengumpulan Data, Informan,
Validitas Data
Jenis Data |
Metode Pengumpulan Data |
Informan |
Validitas Data |
·
Konflik antar stakeholder ·
Upaya yang dilakukan oleh stakeholder dalam
berkolaborasi ·
Resolusi Konflik antar Stakeholder ·
Dialog Tatap Muka ·
Membangun kepercayaan ·
Komitmen dalam proses kolaborasi untuk mencapai kesepahaman yang saling
menguntungkan, keterbukaan, dan kepemilikan |
·
Peneliti melakukan wawancara kepada para informan terkait dengan proses collaborative governance
dan daya saing digital ·
Peneliti mengobservasi program dan aktivitas dalan
collaborative governance
serta model yang
diimplementasikan. ·
Peneliti melakukan studi dokumentasi terkait dengan konsep collaborative governance. |
·
Para pelaku UMKM di Jalur Gaza
(Jalur Gaza) dan Sentra Wisata Kuliner Bratang Binangun ·
Pejabat public yang berwenang dalam penataan
Sentra Kuliner ·
Akademisi yang terlibat dalam pengelolaan sentra kuliner ·
Perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan sentra kuliner |
Peneliti
melakukan pemeriksaan terhadap kebenaran data yang diperoleh menggunakan
triangulasi data sebagai berikut: ·
Membandingkan data hasil wawancara dari masing-masing fokus penelitian
dengan hasil studi Pustaka dan dokumentasi ·
Membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil observasi ·
Membandingkan data yang dikembangkan dengan kenyataan dari data hasil
observasi di lapangan |
Sumber: Pemrosesan data oleh Peneliti, 2022.
Hasil dan
Pembahasan
Sejak tahun 2015, pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Kerja
sama dan Usaha Menengah Surabaya telah banyak merelokasi PKL ke berbagai lokasi
di Kota Surabaya. Salah satu upaya yang masih berlangsung saat ini adalah pembangunan
sentra wisata kuliner (SWK) untuk PKL yang direlokasi. Salah satu contoh
relokasi PKL adalah ke lahan di sepanjang jalan Semolowaru ke Sentra Kuliner
Universitas Dr. Soetomo. Sentra wisata kuliner tersebut menghadapi banyak
masalah, salah satunya adalah pengunjung yang kurang dan proses penataan PKL
yang buruk. Akibatnya, mulai tahun 2017, Pemerintah Kota Surabaya berkomitmen
untuk menghidupkan beberapa SWK yang telah dibangun. Untuk mendorong kembali
SWK Surabaya, Dinas Kerja sama dan UM Surabaya melakukan berbagai upaya,
termasuk meningkatkan pengelolaan, produksi, dan kualitas sumber daya manusia.
Digitalisasi telah "memaksa" hampir sebagian besar
sektor usaha di hampir semua bidang untuk mampu beradaptasi dengan kemajuan
teknologi digital untuk tetap bertahan hidup dan berkemmbang di tengah
perubahan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pasca pandemic. Ini juga
dianggap sebagai salah satu daya dukung bagi para pelaku usaha untuk
mempertahankan keberlangsungan bisnis mereka. Bahkan pemeringkatan daya saing
digital telah digunakan sebagai ukuran kesiapan digitaliasi suatu negara.
Sehubungan dengan judul penelitian ini, tujuan peneliti adalah untuk
menyelidiki elemen-elemen yang dapat mendukung daya saing digital bagi pelaku
UMKM Kuliner dari sudut pandang manajemen kolaboratif. Penelitian ini melibatkan pelaku UMKM di tempat makan Jalur
Gaza di Kecamatan Sukolilo, terutama di tempat makan wisata
Bratang Binangun yang meliputi sejumlah 40 tempat usaha.
Tabel 2. Profil dan
Pemangku Kepentingan pada Sentra UMKM Kuliner Jalur Gaza Surabaya
Nama dan Jumlah Pelaku UMKM |
Pemangku Kepentingan |
Peran |
|
Sentra Kuliner Jalur Gaza 40 unit |
Pemerintah |
Dinas Kerja sama dan UMKM |
·
Merelokasi PKL ·
Membangun stand/warung berkolaborasi dengan PR Sampoerna |
Akademia |
Kerja sama Unitomo |
·
Menyediakan lahan
untuk stand/warung kuliner ·
Menyediakan saluran
air bersih ·
Memelihara bangunan
stand/warung ·
Mengelola sampah |
|
Private sector |
CSR PR. Sampoerna
(A Mild) |
Membangun fasilitas: -
stand/warung -
toilet umum -
banner |
|
Civil Society |
Koordinator |
Mengoordinasi kepentingan antara pemilik warung dengan pemilik lahan dan
penyedia dana CSR (A Mild) |
|
Pedagang Kuliner |
Menyediakan dan menjual makanan dan minuman |
Sumber: Data diolah, Peneliti, 2022
Masalah
utama dalam penelitian ini adalah bahwa sentra kuliner Surabaya belum memiliki
pusat pengembangan kuliner digital. Pusat ini akan berfungsi sebagai tempat di
mana para stakeholder terkait dapat bertemu dan bekerja sama untuk membangun
sentra kuliner digital.
Ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Pak Di, pemilik usaha kuliner di Jalur Gaza,
"belum ada pihak-pihak yang memberikan pengenalan usaha secara
online" (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).
Kedua,
ada beberapa hambatan untuk kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Selama
ini, ada kesulitan untuk membentuk kelompok karena sangat jarang ada pertemuan
yang melibatkan semua pihak yang terlibat. Menurut Ibu Sapuan, pemilik bisnis
kuliner di Jalur Gaza: “Tidak
pernah ada pertemuan antara dinas, universitas, atau perusahaan untuk
menyelesaikan masalah kami. Kami hanya bertemu dengan koordinator sesekali
selama ini, dan mereka tidak dapat menyelesaikan masalah kami seperti masalah
saluran air bersih atau perbaikan warung. Karena tidak ada tanggapan yang lama,
kami akhirnya harus memperbaiki diri sendiri”
Ketiga,
karena pemerintah (dalam hal ini Dinas Kerja sama dan UMKM) dan perusahaan
swasta tidak banyak bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat,
masyarakat menganggap bahwa sentra kuliner digital Surabaya masih belum
berkembang karena mereka belum sepenuhnya terlibat.
"Saat
ini kami sudah cukup dengan jualan langsung seperti ini. Kami merasa tidak
perlu untuk berjualan online, repot, karena tenaga juga terbatas," kata
Ibu Sapuan.
Keempat,
tidak ada standar prosedur operasional (SOP) atau peraturan khusus yang
mengatur jenis kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam upaya
digitalisasi UMKM makanan di Surabaya.
1. Kondisi
awal yang memengaruhi digitalisasi UMKM Kuliner Jalur Gaza
a. Riwayat
konflik dalam digitalisasi UMKM Kuliner Jalur Gaza
Pemangku kepentingan, juga dikenal sebagai pemangku
kepentingan, berperan penting dalam mendukung daya saing digital UMKM Kuliner.
Jika para stakeholder membantu menyiapkan faktor daya saing digital, itu akan
menjadi lebih baik. Faktor-faktor ini terdiri dari faktor ekosistem dan
mindset. Faktor ekosistem termasuk ketersediaan modal ventura, biaya untuk
memulai bisnis, dan waktu untuk memulai bisnis. Faktor mindset termasuk
kemampuan digital masyarakat, sikap terhadap resiko usaha, dan penggunaan
internet. Sejak 2019, masyarakat Surabaya telah dikenalkan dengan platform
digitalisasi UMKM yang dapat mengintegrasikan kebutuhan masyarakat untuk pembelian
online, termasuk dalam industri kuliner. Namun, upaya tersebut belum diterapkan
pada semua UMKM Kuliner di Surabaya; hanya sentra kuliner DTC Surabaya dan
sentra kuliner Wiyung yang melakukannya
Terkait dengan program digitalisasi UMKM
Kuliner tersebut, tampaknya program tersebut belum menyentuh pada sentra
kuliner di Jalur Gaza (Jalur
Gaza) maupun di SWK Bratang Binangun. Kami mencoba untuk mengulik tentang
apakah pernah terjadi konflik dalam implementasi program digitalisasi UMKM
Kuliner dari sisi pelaku UMKM Kuliner di Jalur Gaza. Seperti yang diutarakan
oleh Pak Di menjawab pertanyaan kami tentang konflik yang terjadi:
“…belum pernah ada yang memberi modal
untuk memasang internet gratis…, atau apa itu….digitalisasi…, belum ada…,
karena memang belum pernah ada pembicaraan tentang hal tersebut dari pihak
manapun. Masalah yang pernah terjadi adalah berkaitan dengan pengelolaan dan
pemeliharaan lahan…” (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Bu
Sapuan di sentra kuliner Jalur Gaza:
“Dulu ada beberapa warung yang mencoba
untuk melayani pesanan secara online, tapi tidak berlangsung lama karena kami
harus bayar untuk langganan internet sendiri…, disamping kami sendiri juga
masih kerepotan untuk melayani pelanggan yang datang langsung. Sampai saat ini
belum ada tawaran untuk penyediaan fasilitas internet gratis baik dari pihak
dinas, kampus, ataupun perusahaan…” (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).
Berkaitan dengan pengembangan dan resiko
usaha, Bu Sapuan melanjutkan dengan
pernyataan sebagai berikut:
“….kami saat ini belum perlu berjualan
online, karena pembeli sudah cukup banyak yang datang langsung ke sini…kalau
jualan secara online perlu karyawan lagi untuk pegang HP dan menerima pesanan
online itu… itu malah merepotkan…” (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).
Informasi yang disampaikan baik oleh Pak
Di maupun Bu Sapuan mengindikasikan bahwa konflik tentang digitalisasi UMKM
belum terjadi, karena memang belum pernah dilakukan pembicaraan mengenai upaya
digitalisasi UMKM kuliner tersebut. Namun demikian sudah ada sebagian pelaku
usaha yang telah menggunakan platform digital pada sentra kuliner di Jalur Gaza
tetapi tidak diteruskan dengan alasan harus bayar paket internet sendiri dan
tidak ada tenaga pembantu untuk menangani pesanan secara online.
Dalam konteks konflik awal berkaitan
dengan daya saing digital pada faktor ekosistem yaitu ketersediaan modal
ventura belum ada investor atau pemberi dana dari pihak manapun untuk membangun
dan menyediakan fasilitas internet gratis. Faktor lain dari variabel ekosistem
yaitu biaya untuk memulai bisnis, dalam hal ini pelaku usaha kuliner di Jalur
Gaza berupaya secara mandiri dalam mengumpulkan modal untuk usaha kuliner
mereka, di luar biaya internet. Selain itu dalam variabel daya saing digital
yang kedua – yaitu mindset – tampak bahwa kemampuan digital pada
sebagian pelaku usaha kuliner sudah cukup memadai, namun mereka enggan untuk
melanjutkan penjualan mereka secara online karena kurangnya tenaga pembantu.
Selain itu mereka merasa direpotkan dengan hasil penjualan mereka yang tidak
langsung berupa uang cash yang inginnya dapat segera digunakan untuk
berbelanja bahan makanan.. Dalam hal sikap mereka terhadap resiko usaha, mereka
merasa sudah cukup dengan terpenuhinya target penjualan mereka dari para
pelanggan yang langsung datang di warung mereka. Untuk itu mereka merasa bahwa
pemakaian internet belum menjadi perhatian penting untuk saat ini.
b. Upaya
yang dilakukan oleh stakeholder dalam berkolaborasi
Setiap pihak yang terlibat dalam
implementasi digitalisasi memiliki sumber daya dan wewenang yang berbeda, yang
menyebabkan kesenjangan di antara mereka. Belum adanya forum legal yang
memediasi antara pedagang kuliner dan pemerintah, khususnya Dinas Kerja sama
dan UMKM, untuk menyediakan fasilitas digital, seperti jaringan internet gratis
(wifi) untuk para pedangang dan pengunjung, dan platform digital yang mudah dan
murah untuk para pedagang. Tidak ada kebijakan yang mengatur pengembangan digitalisasi
UMKM kuliner.
Senada dengan yang diutarakan oleh Pak
Di:
“…sebenarnya pernah ada uneg-uneg untuk
menyediakan fasilitas intenet gratis di sini, sebagai daya tarik pengunjung dan
untuk membantu pedagang yang ingin jualan online, tapi masih mencari pihak
donatur….” (wawancara tanggal 8 Oktober 2022).
Di sisi lain, para pelaku UMKM
kuliner tersebut menginginkan kemudahan dalam transisi ke digitalisasi bisnis
mereka. Namun, belum ada diskusi dengan pengusaha atau pihak lain tentang
kemungkinan penyediaan fasilitas internet dan perlengkapan digital secara
gratis serta pendampingan dalam memberikan tutorial penggunaan aplikasi dan
perlengkapan tersebut. Para pelaku UMKM kuliner tersebut membutuhkan suatu
aplikasi kuliner online yang membantu. Ini tidak sejalan dengan apa yang
dikatakan Bu Sapuan:
“…Jualan online itu repot…. uangnya
tidak bisa langsung di tangan, sedangkan kami kalau belanja membutuhkan uang cash,
kalau harus mengambil uang lebih dulu ke bank jadinya malah repot…
kelamaan…” (wawancara tanggal 5 Oktober 2022).
Sedangkan Pak Di menambahkan:
“….kita ini butuh HP yang spek nya cocok
dengan aplikasinya…yang tidak lambat, tidak gampang error, mudah digunakan…
kita ini susah kalau disuruh mikir lagi cara pakai aplikasinya… belum lagi
nanti kalau HP nya tiba-tiba diam tidak bisa jalan….malah tambah ruwet..”
(wawancara tanggal 8 Oktober 2022).
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa
para pelaku UMKM kuliner tersebut tidak ingin menghadapi kesulitan lagi dengan
harus belajar menjalankan aplikasi jualan online tersebut. Mereka juga tidak
ingin menghadapi risiko kerusakan alat atau HP yang akhirnya akan menyulitkan
mereka dan menghambat penjualan mereka.
c. Resolusi
atas konflik
Hanya dengan membangun ekonomi dan
ekosistem digital UMKM kuliner dapat mencapai daya saing digital
Dalam upaya untuk mendorong
peningkatan daya saing digital UMKM kuliner di Surabaya, pemerintah dan
pihak-pihak lain yang terkait melakukan beberapa hal. Salah satunya adalah
penerapan program UMKM Go Online dari Kementerian Kominfo, yang bekerja sama
dengan GoFood sebagai stakeholder dari lembaga swasta atau perusahaan
Namun, para bisnis UMKM kuliner di
Surabaya belum sepenuhnya memanfaatkan upaya tersebut secara merata. Untuk
mewujudkan digitalisasi UMKM, dipandang perlu bekerja sama atau bekerja sama
dengan pihak-pihak lain yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan teori Ansell
& Gash bahwa semakin banyak pihak yang bekerja sama, semakin banyak pihak
yang akan memutuskan untuk melakukan komitmen dalam kerja sama tersebut.
Komitmen ini disebut sebagai "proses kepemilikan", atau suatu proses
untuk "memiliki"
Berdasarkan dokumentasi data,
peneliti menemukan bahwa pemerintah sebenarnya telah merencanakan beberapa
upaya untuk membangun ekonomi dan ekosistem digital dengan bekerja sama dan
bekerja sama dengan beberapa perusahaan yang menyediakan fasilitas dan modal.
Namun, upaya tersebut belum dilakukan secara merata untuk menyentuh semua UMKM
kuliner, termasuk di Sentra Kuliner Jalur Gaza Surabaya.
Tabel 3. Faktor-faktor Daya Saing Digital UMKM Kuliner Jalur
Gaza pada Kondisi Awal
|
Kondisi Awal Collaborative
Governance |
|||
Faktor-faktor Daya Saing
Digital |
Resolusi Kolaborasi |
Hambatan Partisipasi |
Riwayat Kerjasama atau
Konflik |
|
Ekosistem: ·
Ketersediaan Modal
Ventura |
·
Belum dilakukan pembiacaraan dengan para pengusaha untuk menjajagi kemungkinan penyediaan fasilitas internet
gratis melalui CSR ·
Pedagang butuh dana
untuk perlengkapan digital ·
Dibutuhkan aplikasi
kuliner online yang mudah murah |
·
Belum ada pemodal
yang bersedia memberi fasilitas sekaligus mengajari penggunaan fasilitas
tersebut kepada para pedagang ·
Pedagang kuliner
memandang sulitnya untuk belajar mengaplikasikan jualan secara online |
·
Belum ada |
|
·
Biaya untuk memulai
bisnis digital |
·
Butuh biaya besar
untuk langganan paket internet secara mandiri, sehingga perlu adanya
fasilitas internet gratis |
·
Pedagang merasa
terbebani untuk pengadaan internet secara mandiri |
·
Belum ada |
|
·
Waktu untuk memulai
bisnis digital |
·
Sebagian pedagang
merasa belum membutuhkan untuk berjualan online,
sebagian merasa akan sangat terbantu apabila bisa berjualan online untuk menambah omset |
·
Sebagian pedagang
merasa tidak perlu belajar berjualan online karena
ribet dan sulit |
·
Pernah ada yang
mencoba berjualan online dan merasa tidak sesuai harapan |
|
Mindset: ·
Kemampuan digital
masyarakat |
·
Semua stakeholders diharapkan dapat saling
belajar dan mengajari tentang teknologi digital untuk berdagang kuliner |
·
Perlu dilakukan
pemetaan lebih lanjut untuk mengidentifikasi bervariasinya karakteristik pedagang
kuliner, karena sebagian besar terdiri dari pedagang yang tidak terlalu paham
teknologi digital |
·
Ada yang sudah
pernah melakukan, dan merasa kesulitan karena kurangnya
karyawan untuk memantau order melalui online |
|
·
Sikap terhadap resiko usaha |
·
Pihak pemerintah
dan swasta belum terlihat memberikan perhatian akan pentingnya upaya
digitalisasi UMKM kuliner |
·
Sebagian pedagang
memandang resiko untuk mengembangkan usaha berbasis
digital akan membantu omset penjualannya. |
Belum ada |
|
·
Pemakaian internet |
·
Ada sebagian
pedagang yang paham dan tahu cara menggunakan aplikasi untuk berjualan online, namun masih lebih banyak yang belum bisa |
·
Belum ada upaya
dari pihak-pihak kampus, pemerintah, maupun swasta untuk memberikan
pendampingan dan bimbingan tentang penggunaan aplikasi online |
Belum ada |
|
2. Proses
membangun kolaborasi
a. Dialog
tatap muka
Rasa percaya satu sama lain dan
kemampuan untuk memahami satu sama lain ketika menghadapi suatu masalah dalam
rangka mencapai tujuan bersama dapat membantu menciptakan proses kerja sama
yang saling menguntungkan. Sebuah diskusi langsung dengan para stakeholder akan
menempatkan para aktor dalam situasi yang sama untuk memahami masalah yang
sedang terjadi. Tidak ada diskusi bersama dengan para stakeholder tentang
membangun daya saing digital di Jalur
Gaza . Akibatnya, belum ada
kesepakatan tentang masalah yang ada.
Bisnis kuliner di Jalur Gaza, Pak
Eko, menyatakan bahwa mereka bersedia untuk belajar berjualan secara online.
Namun, mereka perlu mendapatkan bimbingan untuk beralih ke platform digital dan
memiliki fasilitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Seperti yang dikatakan oleh Pak
Eko, pelaku usaha kuliner di Jalur Gaza,
mereka sebenarnya bersedia untuk belajar berjualan secara online, namun mereka
perlu ada pendampingan dalam bertransformasi ke platform digital tersebut dan
ada penyediaan fasilitas yang cukup yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
“Gini bu….kami ini sebenarnya mau saja
kalau disuruh jualan online…. Yaa siapa tahu bisa nambah pendapatan, apalagi
kalau pas kampus libur biasanya agak sepi yang beli… tapi saya ini repot kalau
disuruh mikir sendiri…. Belajar sendiri… maunya yaa ada yang ngajari.. tapi
jangan malah bikin kita repot lagi.., kita kan tidak bisa ujug-ujug ambil
karyawan lagi buat pegang apa itu, kita mikir gajinya juga…. Aplikasi online…
belum lagi alat-alatnya, HP nya... ya agak repot memang… tapi kalau ada yang
mau membantu sih kita ya senang lah… (wawancara tanggal 8 Oktober 2022).
Faktor-faktor penguatan daya saing
digital yang perlu dibicarakan bersama diantaranya diuraikan dalam tabel 4,
yang menunjukkan beberapa masalah yang perlu diidentifikasi dan disusun untuk
penyelesaiannya, berfokus pada dua variabel: ekosistem dan mindset. Para
pemangku kepentingan diharapkan dapat memberikan masukan dalam menyiapkan
ekosistem digital dan membangun mindset digital.
Tabel 4. Dialog Penguatan Daya Saing Digital UMKM Kuliner
Jalur Gaza
Pemangku
Kepentingan |
Pokok
Bahasan |
|
1 |
Pemerintah Dinas
UMKM dan Kerja sama |
·
Penyusunan
kebijakan yang mengatur tentang transformasi digital bagi para pelaku UMKM
kuliner ·
Membuka
jalan masuknya investor yang bersedia untuk melakukan kolaborasi dan
menyediakan fasilitas dan perlengkapan digital bagi para pelaku UMKM kuliner |
2 |
Perusahaan |
·
Membangun
fasilitas digital dan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan para pelaku UMKM
kuliner ·
Memetakan
kebutuhan para pelaku UMKM kuliner untuk bertranformasi
pada bisnis digital, diantaranya dengan
memperhatikan faktor-faktor: -
Fasilitas
internet gratis -
Penggunaan
peralatan / perlengkapan digital yang sederhana -
Kemudahan
dalam penggunaan aplikasi dan manfaat yang akan diterima oleh pengguna ·
Melakukan
pendampingan bersama dengan akademisi dan pihak lain untuk membantu para
pelaku UMKM dalam melakukan transformasi digital sekaligus penggunaannya. |
3 |
Akademisi |
·
Melakukan
pendampingan bersama dengan pengusaha/perusahaan dan pihak lain untuk
membantu para pelaku UMKM dalam melakukan transformasi digital sekaligus
penggunaannya. ·
Memberikan
masukan, wawasan, maupun membantu untuk mendapatkan manfaat transaksi digital
bagi para pelaku UMKM kuliner |
4 |
Pelaku
UMKM kuliner |
·
Melakukan
transformasi digital pada usaha kulinernya |
Sumber:
Data diolah Peneliti, 2022.
b. Membangun
kepercayaan
Untuk membangun kepercayaan, para
pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk membuat keputusan atau kebijakan
terbaik untuk tujuan mereka di masa depan. Seorang inisiator harus mengajak
semua pemangku kepentingan untuk berkumpul dalam sebuah forum, berbicara
tentang masalah mereka, dan kemudian membuat keputusan. Di antara faktor daya
saing digital yang dikaji adalah faktor untuk membangun ekosistem, yang
mencakup faktor pemodalan ventura, waktu untuk memulai transformasi digital,
dan biaya usaha. Faktor daya saing digital berikutnya adalah membangun mindset
digital, yang mencakup kemampuan digitalisasi, sikap, dan resiko usaha. Semua
orang berpartisipasi dalam diskusi secara kolektif untuk saling belajar dan
memahami masalah yang dihadapi bersama.
c. Membangun
Komitmen dalam Upaya Kolaborasi untuk Mencapai Kesepahaman, Keterbukaan, dan
Kepemilikan yang Saling Menguntungkan
Gambar 2. Model Penguatan Daya Saing Digital dari Perspektif Collaborative
Governance
Sumber:
Data diolah Peneliti, 2022
Dalam
proses kolaborasi, komitmen sangat penting. Komitmen sendiri mendorong
partisipasi dalam pemerintahan kolaboratif
Forum ini dibuat dengan tujuan agar semua pihak terlibat,
terintegrasi, dan berkesinambungan dalam pelaksanaannya, untuk mewujudkan daya
saing digital pada UMKM kuliner di Jalur
Gaza. Penguatan tata kelola organisasi dan
peningkatan layanan bagi pelaku UMKM kuliner adalah bagian dari komitmen proses
kolaboratif. Tujuan dari penguatan tata kelola dan administrasi adalah untuk
memastikan organisasi dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya.
Untuk membantu UMKM kuliner mendapatkan daya saing digital,
penelitian ini menghasilkan model pemerintahan kolaboratif. Fokus model dalam
gambar 2 adalah masalah yang akan dihadapi oleh
para pelaku UMKM kuliner saat menyiapkan transformasi digital. Ini terutama
berlaku untuk sentra kuliner di Jalur
Gaza.
Kesimpulan
Tidak ada daya saing digital di UMKM Kuliner, terutama di Jalur Gaza. Sebagian pedagang
percaya bahwa untuk menarik pelanggan dan meningkatkan penjualan mereka, perlu
adanya fasilitas internet gratis. Namun, lebih banyak orang merasa sulit dan
sulit menjalankan aplikasi online karena masalah pengetahuan, keterbatasan
jumlah karyawan, dan biaya langganan internet.
Penelitian ini menyarankan hal-hal berikut untuk mendukung
pencapaian target pemerintah untuk digitalisasi sejumlah 30 juta UMKM hingga
2024 serta untuk menciptakan daya saing digital bagi para pelaku UMKM kuliner:
1) Salah satu upaya untuk mengembangkan daya saing UMKM kuliner adalah bekerja
sama dengan pemangku kepentingan yang membantu usaha mikro. 2) Perlunya
inisiatif dari semua pihak untuk duduk bersama dalam menciptakan gagasan atas
dampak digital yang lebih besar. 3) Pemerintah seharusnya membuat
undang-undang yang memungkinkan UMKM makanan untuk mengembangkan bisnis mereka
didukung oleh inovasi digital. 4) Perusahaan swasta, baik melalui program
tanggung jawab sosial perusahaan maupun sebagai pemodal ventura, diharapkan
memberikan respons yang tepat terhadap kebutuhan untuk membangun fasilitas dan
prasarana digital di sentra kuliner. 5) Akademis seharusnya dapat memberikan
pendidikan yang sesuai.
BIBLIOGRAFI
Ansell, C., & Gash, A. (2008).
Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public
Administration Research and Theory, 18(4), 543–571.
https://doi.org/10.1093/jopart/mum032
Aquilani, B., Piccarozzi, M., Abbate, T.,
& Codini, A. (2020). The role of open innovation
and value co-creation in the challenging transition from industry 4.0 to
society 5.0: Toward a theoretical framework. Sustainability (Switzerland),
12(21), 1–21. https://doi.org/10.3390/su12218943
Arifin, N. F., A Rahman, R. S. A. R., & Othman, N. (2020). Tahap Personaliti Big Six dan Hubungannya dengan Kecenderungan Keusahawanan Digital dalam Kalangan Pelajar Kolej Komuniti Among Community
College Students ). Jurnal
Pendidikan Malaysia, 45(1), 101–110.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.17576/JPEN-2020-45.01SI-12
BRI. (2022). Digitalisasi
UMKM Dongkrak Pendapatan
UMKM di 2022. BRI.
https://developers.bri.co.id/id/news/digitalisasi-umkm-dongkrak-pendapatan-umkm-di-2022
Cargnello, D. P., & Flumian, M.
(2017). Canadian governance in transition: Multilevel governance in the
digital era. Canadian Public Administration, 60(4), 605–626.
https://doi.org/10.1111/capa.12230
Deguchi, A., Hirai, C., Matsuoka, H., Nakano, T., Oshima, K., Tai, M., & Tani,
S. (2020). What is society 5.0? In Society 5.0: A People-centric
Super-smart Society (pp. 1–23). Springer Singapore.
https://doi.org/10.1007/978-981-15-2989-4_1
Ellitan, L. (2020). Competing in the Era of Industrial Revolution
4.0 and Society 5.0. Jurnal Maksipreneur: Manajemen, Koperasi, Dan Entrepreneurship, 10(1), 1.
https://doi.org/10.30588/jmp.v10i1.657
ESCP Business School. (2021). DIGITAL
RISER REPORT 2021. https://digital-competitiveness.eu/digitalriser/
Fadilla, A. (2022). Kunci Sukses UMKM Adaptasi di Pasar Digital, Apa Saja? Katadata.
https://katadata.co.id/aryowidhywicaksono/digital/62ba991d412d1/kunci-sukses-umkm-adaptasi-di-pasar-digital-apa-saja
Garvera, R. R., Arifin, F. S., Fazrilah, A. N., Galuh, U., Cijeungjing, K., & Mandiri,
D. (2021). Collaborative Governance Dalam Mewujudkan Desa. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi
Negara, 8, 502–513.
Hamdan. (2018). Industri 4.0: Pengaruh Revolusi Industri pada Kewirausahaan Demi Kemandirian Ekonomi. Jurnal
Nusantara Aplikasi Manajemen
Bisnis, 3(2), 1–8.
https://doi.org/10.29407/nusamba.v3i2.12142
Harjono, M. (2019, August 26). Digitalisasi
UMKM, Kuliner DTC Surabaya 100% Online. Ditjen Aplikasi Informatika. https://aptika.kominfo.go.id/2019/08/digitalisasi-umkm-kuliner-dtc-surabaya-100-online/
Harmawan, B. N., Wasiati, I., & Rohman, H. (2017). Collaborative Governance Dalam Program Pengembangan Nilai
Budaya Daerah Melalui Banyuwangi Ethno Carnival. E-SOSPOL,
IV(1), 50–55.
Harmawan, B. Nuari. D. (2017).
Collaborative Governance Dalam Program Pengembangan Nilai Budaya Daerah
Melalui Banyuwangi Ethno Carnival. E-Sospol,
IV(1), 50–55.
Hasanah, A. (2022, October 20). KOMPAG Terbukti
Dorong UMKM Kuliner Semakin Cakap Digital dan Naik Kelas. Rri.Co.Id.
Husnurrosyidah, H. (2019). E-Marketplace Umkm Menghadapi Revolusi Industri 4.0 Dalam Perspektif Islam. Equilibrium: Jurnal
Ekonomi Syariah, 7(2), 224.
https://doi.org/10.21043/equilibrium.v7i2.6571
IMD. (2019). IMD World Digital
Competitiveness Ranking 2019. In IMD World Competitiveness Center.
https://www.imd.org/globalassets/wcc/docs/release-2017/world_digital_competitiveness_yearbook_2017.pdf
IMD. (2020). IMD World Digital
Competitiveness Ranking 2020. In IMD World Competitiveness Center.
https://www.imd.org/globalassets/wcc/docs/release-2017/world_digital_competitiveness_yearbook_2017.pdf
IMD. (2021). IMD World Digital
Competitiveness Ranking 2021.
Ipan, I., Purnamasari, H., & Priyanti, E. (2021). Collaborative governance dalam penanganan stunting. Kinerja, 1(3), 383–391.
https://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/KINERJA/article/view/9665
Katadata. (2020). Digitalisasi
UMKM di Tengah Pandemi Covid-19. Katadata Insight Center. https://katadata.co.id/umkm
Kirana, L. P. (2022). Upaya Digitalisasi UMKM Indonesia melalui
Ekosistem Digital dan Demokratisasi Ekonomi. Universitas Gadjah Mada Fakultas Ekonomika Dan Bisnis. https://feb.ugm.ac.id/id/berita/3552-upaya-digitalisasi-umkm-indonesia-melalui-ekosistem-digital-dan-demokratisasi-ekonomi
Lee, M., Joseph Yun, J., Pyka, A., Won, D., Kodama, F., Schiuma,
G., Park, H., Jeon, J., Park, K., Jung, K., Yan, M.-R., Lee, S., & Zhao,
X. (2018). How to Respond to the Fourth Industrial Revolution, or the Second
Information Technology Revolution? Dynamic New Combinations between
Technology, Market, and Society through Open Innovation. Journal of Open
Innovation: Technology, Market, and Complexity, 4(21), 1–23.
https://doi.org/10.3390/joitmc4030021
Legowo, M. B., Prayitno, D., & Indiarto, B. (2021). Program Kemitraan
Masyarakat Untuk Sosialisasi
Program Digitalisasi Umkm Di Wilayah Jakarta Pusat Community Partnership Program for
the Socialization of the Msme Digitalization Program
in the Central Jakarta Region. Jurnal Berdaya Mandiri, 3(2),
588–601.
Molla, Y., Supriatna, T., & Kurniawati, L. (2021). Collaborative Governance Dalam Pengelolaan Kampung Wisata Praiijing Di Desa Tebara Kecamatan
Kota Waikabu-Bak Kabupaten
Sumba Barat. Jurnal Ilmu
Pemerintahan Suara Khatulistiwa, 6(2), 140–148.
https://doi.org/10.33701/jipsk.v6i2.1790
Muditomo, A., & Wahyudi, I. (2021).
Conceptual Model for Sme Digital Transformation
During the Covid-19 Pandemic Time in Indonesia: R-Digital Transformation
Model. BASKARA : Journal of Business and
Entrepreneurship, 3(1), 13. https://doi.org/10.24853/baskara.3.1.13-24
Mustofa, A. (2022). Collaborative governance and communication
models to build religious harmony. Jurnal Studi Komunikasi (Indonesian
Journal of Communications Studies), 6(1), 141–164.
https://doi.org/10.25139/jsk.v6i1.4474
Patil, B. T. M. (2019). SME Internationalisation
through Digitalisation: UK Specialist and Niche
Retailers [Anglia Ruskin University].
https://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=edsble&AN=edsble.814221&lang=pt-pt&site=eds-live&scope=site%0Ahttp://arro.anglia.ac.uk/id/eprint/705877/
Puriwat, W., & Tripopsakul, S.
(2020). Preparing for industry 4.0-will youths have enough essential skills?: An evidence from Thailand. International
Journal of Instruction, 13(3), 89–104.
https://doi.org/10.29333/iji.2020.1337a
Rauch, E., V, I., J, T., I, P., J,
Z., & D, P. (2020). Industry 4.0+: The Next Level of Intelligent and
Self-optimizing Factories. Advances in Design, Simulation and Manufacturing
III. DSMIE 2020. Lecture Notes in Mechanical Engineering, 176–186.
https://doi.org/10.1007/978-3-030-50794-7_18
Setiawan, A., & Arini, E. (2022). Pengaruh Strategi Customer
Bonding Terhadap Loyalitas
Nasabah PT. Bank Syariah Adam. In Jurnal Entrepreneur dan
Manajemen Sains (Vol.
3, Issue 1). www.jurnal.umb.ac.id
Setiawan, D., & Lenawati, M. (2020). Peran dan Strategi
Perguruan Tinggi dalam Menghadapi Era Society 5.0. RESEARCH :
Computer, Information System & Technology Management, 3(1), 1.
https://doi.org/10.25273/research.v3i1.4728
Skobelev, P. O., & Borovik, S. Y.
(2017). On The Way From Industry 4.0 To Industry 5.0:
From Digital Manufacturing To Digital Society. International Scientific
Journal “Industry 4.0,” 2(6), 307–311.
Sørensen, E., & Torfing, J. (2017). Metagoverning Collaborative Innovation in Governance
Networks. American Review of Public Administration, 47(7),
826–839. https://doi.org/10.1177/0275074016643181
Sugiono, S. (2020). Industri Konten Digital dalam Perspektif Society 5 . 0 Digital
Content Industry in Society 5 . 0 Perspective. Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Komunikasi, 22(2), 175–191.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Alfabeta.
Suryadinata, A. B. (2020). Bagaimana
Kebijakan Ekonomi Digital oleh Pemerintah Indonesia? . Vutura.
Westerlund, M. (2020). Digitalization, internationalization and
scaling of online SMEs. Technology Innovation Management Review, 10(4),
48–57. https://doi.org/10.22215/TIMREVIEW/1346
Yrjölä, S., Ahokangas, P., & Matinmikko-blue, M. (2021). Sustainability as a
Challenge and Driver for Novel Ecosystemic 6G
Business Scenarios. June 2020, 1–31.
Záklasník, M., & Putnová, A. (2019).
Digital Society - Opportunity or Threat? Case Studies of Japan and the Czech
Republic. Acta Universitatis Agriculturae
et Silviculturae Mendelianae
Brunensis, 67(4), 1085–1095.
https://doi.org/10.11118/actaun201967041085
Copyright holder: Anita Asnawi,
Sapto Pramono, Fedianty Augustinah, Sri Roekminiati, Sri Kamariyah (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |