Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

 

KEPASTIAN HUKUM BAGI PEMBELI YANG DIRUGIKAN PADA PERJANJIAN TITIP JUAL DI SOSIAL MEDIA

 

Muhammad Ibnu Fakhri*, Etty Mulyati, Purnama Trisnamansyah

Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Indonesia

Email: [email protected]*

 

 

Abstrak

Perjanjian titip jual yang dilakukan melalui sosial media dalam pelaksanaannya tidak selalu berjalan dengan mulus, dimana pihak penjual dapat melakukan wanpretasi terhadap pembeli. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji penerapan kepastian hukum dalam perjanjian titip jual melalui sosial media dengan dikaitkan dengan hukum perjanjian serta untuk mengetahui penyelesaian wanprestasi pada perjanjian titip jual di sosial media yang merugikan pembeli dikaitkan dengan asas kepastian hukum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk menelaah kaidah hukum positif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini juga dilakukan dengan studi kepustakaan mengenai peraturan perundang-undangan terkait seperti KUH Perdata, buku-buku, dan literatur terkait lainnya serta melakukan studi lapangan dengan wawancara pihak makelar dan perjanjian titip jual dalam bentuk yang tersedia sebagai objek penelitian. Analisis terhadap studi kepustakaan tersebut dilakukan secara kualitatif untuk mengungkapkan kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian berupa deskripsi atau penjelasan terkait penyelesaian masalah dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian titip jual melalui sosial media ini belum dipenuhi dengan baik. Penyelesaian wanprestasi yang merugikan pembeli kemudian diselesaikan secara kekeluargaan yang menimbulkan wanprestasi kepada makelar, dimana makelar secara hukum memiliki hak menuntut penjual atas wanprestasi yang dilakukannya.

Kata kunci: kepastian hukum, jual beli, sosial media

 

Abstract

Consignment agreements conducted through social media does not always proceed smoothly in practice, as the seller can default on the buyer. The purpose of this very research is to examine the application of legal certainity of consignment agreement through social media associated with contract law and to examine dispute resolution of default in consignment agreement that resulted in buyer’s loss associated with legal certainity.  This research utilizes normative juridical methods to scrutinize positive legal rules, with analytical descriptive research specifications regarding the applicable laws and regulations. This research was also conducted through literature studies regarding relevant laws and regulations such as the Civil Code, books, and other related literature, as well as conducting field studies by interviewing brokers and consignment agreements in the available formats as the objects of research. The analysis of the literature studies is conducted qualitatively to provide existing facts based on the research results in the form of descriptions or relevant explanations in regards to problem solving in this research.

The results of this research indicate that the legal certainty in the implementation of consignment agreements through social media is yet to be fulfilled properly. The dispute resolution in this particular case defaulted the broker, in which the broker possesses the legal right to indict the seller for defaulting.

Keywords: Consignment agreement, Principle of Legal Certainty, Broker

 

Pendahuluan

Dewasa ini, pengaruh globalisasi semakin terasa dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh globalisasi menjangkau banyak tempat dan banyak kelas sosial, termasuk masyarakat Indonesia. Hal ini dimungkinkan berkat penerapan teknologi informasi yang semakin marak dalam kehidupan masyarakat, salah satunya adalah teknologi internet. Kehadiran internet memungkinkan masyarakat untuk selalu terhubung satu sama lain dengan cepat tanpa memandang batas waktu maupun wilayah dengan berbagai sarana (Kantaatmadja, 2002). Hukum Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang lebih umum disebut sebagai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE sebagai dasar hukum dalam penggunaan internet di wilayah Indonesia.

Salah satu manfaat dari sosial media adalah memberikan kemudahan dalam menjalankan usaha perdagangan dengan cepat dan luas tanpa mengenal batas waktu maupun wilayah. Sosial media membantu para penjuak dalam menjalankan jual beli secara online, baik dari segi penjualan maupun promosi (Oetomo et al., 2007). Seorang penjual dapat menjangkau banyak calon pembeli maupun melakukan transaksi dengan pembeli dari jarak yang jauh dengan bantuan jangkauan sosial media yang luas. Kehadiran fisik dalam jual-beli bukanlah menjadi kendala pada era modern ini dengan bantuan internet dan sosial media yang membantu menghubungkan penjual dan pembeli tanpa terkendala waktu dan tempat.

Transaksi jual beli yang terjadi melalui sosial media yang demikian termasuk sebagai bagian dari kegiatan e-commerce. E-commerce merupakan suatu proses transaksi jual beli yang dilakukan dengan basis jaringan elektronik (Purnama & Putri, 2021). E-Commerce mencakup aktivitas pembelian, penjualan, transfer, maupun pertukaran produk, layanan atau informasi melalui jaringan komputer termasuk internet (David & Turban, 2012). Keberadaan E-Commerce memudahkan penjual maupun pembeli dalam melakukan suatu transaksi tanpa batas tempat dan waktu.

Kemudahan yang dibawa media sosial dalam menjalankan bisnis tidak serta merta mendatangkan pembeli bagi para penjual. Promosi yang dijalankan oleh penjual tidak serta merta menjangkau semua pembeli potensial secara akurat dan menuntut penjual untuk terus bekerja menjangkau dan melibatkan pelanggan potensial melalui jejaring sosial media (David & Turban, 2012). Permasalahan yang demikian akan lebih terasa bagi penjual yang tidak memiliki kemampuan promosional yang baik di sosial media atau pada dasarnya bukan seorang penjual namun sedang berusaha untuk menjual suatu barang, dengan contoh konkrit atas kasus tersebut adalah seorang yang berusaha untuk menjual kendaraan maupun koleksi pribadinya melalui sosial media. Pembeli terkadang juga tidak dengan mudah menemukan penjual yang memiliki barang dengan kondisi dan harga yang diinginkan melalui internet dan media sosial. Contoh dari hal yang demikian adalah pembeli yang sedang mencari barang spesifik yang langka di pasaran ataupun pembeli yang mencari barang bekas berkualitas yang sesuai dengan kemampuan mereka. Hal tersebut belum ditambah dengan risiko penipuan yang dapat dialami oleh pembeli maupun penjual dengan beragam modus penipuan yang terus bermunculan di internet belakangan ini.

Makelar bertindak sebagai perantara atau pihak ketiga yang “dititipkan” barang milik penjual dengan bermodalkan foto dan keterangan barang dari penjual untuk dipasarkan melalui sebuah akun titip jual di sosial media. Makelar mengunggah foto barang dan teks keterangan spesifikasi barang terkait pada sosial media mereka untuk kemudian menarik calon pembeli yang berminat setelah yakin atas barang yang dititipkan oleh penjual dengan standar kualitas yang telah ditetapkan masing-masing makelar (David & Turban, 2012).

Seluruh urutan perjanjian dapat terjadi secara daring melalui sosial media tanpa adanya tatap muka langsung antara para pihak ataupun penyerahan barang secara fisik dari penjual kepada makelar (R, 2023). Calon pembeli yang tertarik menghubungi makelar untuk menanyakan kondisi barang lebih lanjut dan bernegosiasi terkait harga hingga tercapai kata sepakat, kemudian dilakukan pembayaran dari pembeli dengan metode transfer dana melalui rekening bank. Makelar kemudian menyuruh penjual untuk melakukan pengiriman ke alamat pembeli setelah mendapatkan konfirmasi pembayaran. Berdasarkan usahanya sebagaimana disebutkan sebelumnya, makelar kemudian mendapatkan hasil atas usahanya melalui komisi atas penjualan barang tersebut atau dengan mengambil selisih antara harga yang disepakati oleh penjual dan harga yang disepakati oleh pembeli sebagai keuntungannya (R, 2023).

Nilai jual yang kuat dalam menjalankan usaha titip jual adalah jumlah pengikut akun titip jual yang banyak di sosial media untuk menjangkau pembeli potensial yang lebih tersegmentasi, dimana jumlah pengikut akun tersebut ditambah dengan reputasi akun yang baik juga dapat menjadi salah satu parameter calon pembeli bahwa akun titip jual tersebut merupakan titip jual yg terpercaya dengan produk berkualitas, harga terbaik, atau keduanya (R, 2023). Titip jual di media sosial umumnya memiliki fokus pada suatu segmen tertentu yang dapat mencakupi wilayah tertentu ataupun jenis barang tertentu sebagai ciri khasnya. Pada penulisan ini, Makelar selaku narasumber dan makelar menjalankan usaha titip jual yang bersegmentasi pada segmen otomotif sepeda motor.

Dunia bisnis mengenal titip jual sebagai konsinyasi. Konsinyasi yang dimaksud demikian merupakan penitipan barang oleh pemilik kepada pihak lain untuk dijualkan. Pada praktiknya penitipan barang secara fisik oleh penjual kepada makelar dalam titip jual berbasis media dapat ditiadakan. Penjual cukup memberikan informasi keadaan dan foto barang kepada makelar untuk kemudian dipasarkan melalui akun titip jual tersebut (Ridwan, 2021). Hal ini semakin dimudahkan dengan keberadaan internet dan media sosial yang memungkinkan adanya transaksi melalui titip jual tanpa dibatasi lokasi yang berjauhan.

Konsinyasi yang demikian memiliki definisi yang berbeda dan tidak untuk disalah pahami sebagai konsinyasi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan tentang salah satu hapusnya perikatan, yaitu apabila adanya penawaan pembayaran tunai yang diikuti penyimpanan atau penitipan pembayaran tersebut di Pengadilan Negeri. Penitipan tersebut merupakan apa yang dimaksud sebagai konsinyasi dalam KUHPerdata, namun definisi konsinyasi yang dimaksud dalam KUHPerdata tersebut tidak sesuai dengan praktik titip jual/konsinyasi yang berkembang saat ini.

Pengaturan yang paling mendekati praktik konsinyasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang selanjutnya akan disebut KUHD. KUHD menyebutkan adanya pedagang perantara yang meliputi bursa dagang, makelar, kasir, komisioner, ekspeditur dan pengangkut (Ridwan, 2021), namun tidak mengatur pasti dan eksplisit tentang titip jual. Konsinyasi tidak memenuhi definisi dari jenis-jenis pedagang perantara yang ada di KUHD secara utuh serta tidak ditemukan definisi titip jual dalam KUHPerdata sehingga menyebabkan kekosongan hukum positif yang mengatur konsinyasi.

Kekosongan hukum positif yang demikian mempengaruhi pelaksanaan perjanjian titip jual di sosial media. Undang-Undang sebagai hukum positif di Indonesia merupakan pedoman umum dalam bertingkah laku dan menjadi batasan bagi suatu Masyarakat dalam bertindak, termasuk dalam melakukan perbuatan hukum. Kekosongan hukum yang demikian dapat mempengaruhi kepastian hukum dalam suatu perbuatan hukum.

Kepastian hukum sebagai salah satu asas hukum dijelaskan Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan) pada beberapa pasal tertentu. Pasal 10 ayat (1) huruf a menjelaskan asas kepastian hukum sebagai “asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan”. Definisi mengenai asas kepastian hukum dijelaskan lebih lanjut dengan pendapat beberapa ahli hukum.

SF. Marbun mendefinisikan asas kepastian hukum sebagai asas yang menghendaki stabilitas hukum. Stabilitas hukum yang dimaksud adalah keputusan hukum yang dikeluarkan harus memberi kepastian dan tidak akan dicabut kembali meskipun terdapat kekurangan didalamnya serta keputusan tersebut tidak berlaku surut (Kantaatmadja, 2002). Indraharto, S.H., menjelaskan lebih lanjut bahwa asas kepastian hukum terbagi menjadi formal dan material. Segi formal yang dimaksud dalam asas kepastian hukum menghendaki kejelasan suatu keputusan hukum bagi yang bersangkutan. Segi material dalam asas kepastian hukum menghendaki tidak adanya keputusan hukum yang diberlakukan secara surut. Prinsip utama dari asas kepastian hukum berdasarkan definisi diatas adalah memberikan keteraturan, kepastian dan keadilan dalam suatu keputusan hukum (Indroharto, 2005).Tidak adanya kepastian hukum dapat menyebabkan kebingungan bagi Masyarakat dan para pihak dalam perjanjian terkait apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka serta upaya yang dapat ditempuh untuk mendapatkan keadilan (Jasmi, 2020).

Tidak adanya pengaturan undang-undang yang mengatur tentang titip jual tidak serta merta menyebabkan kekosongan hukum dalam pengaturan perjanjiannya. Titip jual termasuk sebagai sebuah perjanjian campuran dengan pertimbangan bahwa KUHPerdata tidak memiliki pengaturan perjanjian titip jual. Perjanjian jenis baru merupakan perjanjian tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, namun tidak/belum memiliki pengaturan dalam undang-undang secara khusus (Anand, 2011). Perjanjian jenis baru memberikan kebebasan kepada para pihak dalam menyusun perjanjian tersebut. Kebebasan untuk membuat segala jenis kesepakatan dalam KUHPerdata merupakan salah satu asas perjanjian yang dikenal sebagai kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal tersebut juga menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat diantara para pihak menjadi sumber hukum yang mengikat para pihak tidak terkecuali perjanjian titip jual.

Usaha titip jual tidak selamanya berjalan dengan mulus dengan bantuan teknologi dan sosial media. Terdapat masalah hukum yang ditemui dalam melakukan suatu perjanjian titip jual melalui sosial media adalah kurangnya kepastian hukum dalam perjanjian titip jual. Salah satu bentuk nyata dari permasalahan tersebut adalah terjadinya wanprestasi dalam perjanjian titip jual dengan konflik yang diawali dengan pembeli dalam suatu perjanjian titip jual mendapatkan barang yang tidak sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh pemilik/penjual barang yang diperjualbelikan dalam perjanjian titip jual tersebut. Ketidaksesuaian ini umumnya berupa kondisi barang yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, dengan salah satu contoh helm premium sebagai objek dalam titip jual yang dijanjikan dalam kondisi seperti baru tanpa ada bekas pemakaian namun saat barang sampai di tangan pembeli terlihat adanya bekas pemakaian yang signifikan yang tentunya merusak nilai barang tersebut yang juga memiliki nilai koleksi tersendiri.

Permasalahan muncul saat pembeli mencoba untuk komplain kepada penjual barang yang bersangkutan atas barang yang tidak sesuai, dimana penjual tersebut tidak bertanggungjawab atas kesalahannya dan menghilang tanpa bisa dikontak lebih lanjut. Pembeli kemudian beralih kepada makelar sebagai salah satu pihak dalam perjanjian titip jual untuk meminta pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita pembeli. Pembeli tentu merasa tertipu dan dirugikan dengan adanya kasus yang demikian. Kerugian yang diderita pembeli atas wanprestasi tersebut dapat dikatakan tidak sedikit, dengan jumlah kerugian terbesar yang dialami salah satu pembeli dalam perjanjian titip jual yang dilakukan oleh makelar tercatat di angka Rp36.000.000,00 terhadap sebuah helm sepeda motor premium bermerek Arai yang dijelaskan sebelumnya.

Kurangnya pengaturan dalam undang-undang terkait titip jual yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun perjanjian titip jual menyebabkan ketidakpastian hukum dalam perjanjian titip jual, termasuk dalam hal terjadi wanprestasi sebagaimana dalam contoh kasus sebelumnya. Penyusunan perjanjian titip jual maupun kata sepakat dalam perjanjian tersebut sangat umum terjadi melalui sosial media secara eksklusif tanpa adanya pertemuan antara para pihak (R, 2023). Perjanjian titip jual melalui sosial media menjadi sangat menggantungkan pemenuhan kepastian hukumnya hanya kepada perjanjian yang disusun oleh para pihak. Pelaksanaan kebebasan berkontrak dalam penyusunan perjanjian titip jual seharusnya tidak serta merta mengesampingkan asas kepastian hukum. Pelaksanaan kebebasan berkontrak juga seharusnya tetap memperhatikan ketentuan umum dalam hukum perikatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1319 KUH Perdata.

Kasus yang dialami makelar sebagaimana telah disebutkan sebelumnya juga menunjukkan kebingungan terkait kepastian hukum terhadap perjanjian titip jual secara umum dan khususnya dalam kasus spesifik tersebut. Secara pertanggungjawaban mereka merasa seharusnya tidak bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh pembeli karena mereka selaku titip jual menganggap bahwa tanggung jawab makelar sebatas menghubungkan penjual dan pembeli dalam hal terjadi wanprestasi sekalipun namun tidak bertanggungjawab atas wanprestasi yang dilakukan oleh penjual maupun pembeli, sementara pihak pembeli yang merasa tertipu beranggapan bahwa makelar tidak teliti dalam menjalankan usahanya dan harus turut bertanggungjawab atas kerugian yang diderita pembeli (D, 2023). Makelar tentu keberatan untuk mengganti sesuatu yang mereka rasa bukan bagian dari tanggungjawabnya, terlebih lagi dengan angka kerugian sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya atau lebih (D, 2023). Multitafsir hukum terkait tanggungjawab seorang makelar terjadi dikarenakan kurangnya kepastian hukum yang cukup dan menyebabkan kebingungan dalam penyelesaian wanprestasi pada perjanjian yang demikian. Kepastian hukum yang tidak terpenuhi secara tidak langsung mempengaruhi kepastian hak dan kewajiban para pihak serta perlindungan dalam pelaksanaannya. Atas dasar tersebut, penerapan Asas Kepastian Hukum dalam perjanjian titip jual melalui sosial media beserta dengan penyelesaian wanprestasi yang mungkin terjadi dalam perjanjian tersebut menjadi suatu permasalahan yang patut dikaji.

Kajian terhadap perjanjian titip jual sebelumnya telah diteliti terlebih dahulu dalam jurnal dengan judulTinjauan Yuridis Konstruksi Hukum Perjanjian Pada Jasa Titip Beli Dan Titip Jual” yang disusun oleh Annisa Syaufika Yustisia Ridwan dalam Mimbar Hukum, Volume 33 Nomor 1 Tahun 2021 yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penelitian tersebut mengkaji tentang jasa titip beli dan titip jual sebagai perkembangan dalam perdagangan barang untuk menentukan konstruksi dari perjanjian terkait jasa tersebut. Pembaruan dalam penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian yang disebutkan sebelumnya adalah penelitian ini melibatkan kajian terhadap kasus nyata yang terjadi dalam perjanjian titip jual yang merugikan pihak pembeli untuk mengetahui penerapan kepastian hukum dalam perjanjian titip jual sebagai perjanjian tak bernama serta mengetahui metode penyelesaian yang dapat ditempuh dalam kasus tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut diatas, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui penerapan asas kepastian hukum dalam perjanjian titip jual di sosial media dikaitkan dengan hukum perjanjian, dan penyelesaian wanprestasi pada perjanjian titip jual di sosial media yang mengakibatkan kerugian bagi pembeli dikaitkan dengan asas kepastian hukum.

 

Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode pendekatan yuridis normatif merupakan penelitian lapangan yang mengkaji data sekunder seperti bahan hukum primer, sekunder dan tersier untuk dikaitkan dengan asas dalam perjanjian (Soekanto & Mamudji, 2014). Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan dan segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum sebagai badan hukum yang bersifat autoritatif atau badan hukum yang memiliki otoritas (Suardita, 2017). Bahan hukum sekunder terdiri dari buku, artikel, jurnal, hasil penelitian, makalah dan lain sebagainya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas sebagai penjelasan bahan hukum primer. Bahan hukum tersier terdiri dari kamus maupun ensiklopedi sebagai bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder (Suardita, 2017).

Peneliti akan meneliti data sekunder yang berhubungan dengan hukum perdata, hukum perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, klausula baku dalam perjanjian, dan perjanjian endorsement, dan melakukan penelitian terhadap dokumendokumen yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan metode analisis yuridis kualitatif. Metode tersebut memfokuskan pada bahan hukum positif yang kemudian dianalisa secara kualitatif. Analisa kualitatif tidak menggunakan tolak ukur angka, rumus, statistic maupun matematika dan mengungkapkan kenyataan pada hasil penelitian secara deskriptif yang tidak dapat dirumuskan dengan penelitian matematis.

 

Hasil dan Pembahasan

Praktik Perjanjian Titip Jual Melalui Sosial Media

Perjanjian titip jual yang dilakukan melalui sosial media tidak dapat dilepaskan dari pengaruh internet, sosial media dan e-commerce yang semakin melekat dalam kehidupan masyarakat. Ketiga unsur tersebut berperan besar sebagai media dalam memudahkan pelaksanaan perjanjian titip jual yang dilakukan melalui sosial media.

Dasar dari segala kemudahan dalam melakukan perjanjian titip jual berasal dari penerapan internet yang semakin melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Survey yang dilakukan oleh Asosiaso Penyelenggara jasa Internet Indonesia (APJII) membenarkan adanya peningkatan penggunaan internet di Masyarakat Indonesia, dengan pengguna internet periode 2022-2023 yang telah mencapai angka 215,63 juta orang. Angka tersebut merupakan peningkatan sebesar 2,67% persen dibandingkan dengan periode sebelumnya pada tahun 2021-2022. Angka tersebut juga mencakup 78,19% total populasi Indonesia yang mencapai 275,77 juta jiwa. Gambaran peningkatan penggunaan internet di Indonesia dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Nurhanisah, 2023) :

 

Tabel 1. Peningkatan Penggunaan Internet di Indonesia

No.

Tahun

Jumlah Pengguna (juta)

Persentase Jumlah Pengguna (persen)

1.

2017

143,26

54,68

2.

2018

171,17

64,80

3.

2019-2020

196,71

73,70

4.

2021-2022

210,03

77,02

5.

2022-2023

215,63

78,19

 

            Penggunaan internet oleh Masyarakat Indonesia didominasi oleh pengguna telepon genggam dengan persentase pengguna sebesar 98,3% dari angka pengguna internet di Indonesia. Tingginya penggunaan internet di Indonesia juga dapat dilihat dari durasi penggunaan harian yang mencapai rata-rata sebanyak 7 jam 42 menit (Widi, 2023a). Penggunaan sosial media di Indonesia juga tidak kalah besar dengan penggunaan internet itu sendiri. Sosial Media yang merupakan bagian dari internet memudahkan masyarakat untuk terhubung dengan satu sama lain dan berkomunikasi serta berbagi informasi (Cahyono, 2016). Peningkatan penggunaan sosial media oleh Masyarakat Indonesia dilaporkan oleh We Are Social yang mencapai 167 juta pengguna, yang peningkatannya dapat dilihat pada table dibawah ini :

 

Tabel 2. Peningkatan Penggunaan Sosial Media di Indonesia

No.

Tahun

Jumlah Pengguna (Juta)

1.

2014

62

2.

2015

72

3.

2016

79

4.

2017

106

5.

2018

130

6.

2019

150

7.

2020

160

8.

2021

170

9.

2022

191

10.

2023

167

 

Terlihat adanya penurunan pada tahun 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun We Are Social mengklarifikasi bahwa data terakhir muncul setelah ada revisi penting yang membuat angka tersebut tidak sebanding pada tahun sebelumnya. Penggunaan sosial media sehari-hari oleh Masyarakat Indonesia juga termasuk tinggi dengan penggunaan rata-rata yang mencapai 3 jam 18 menit setiap harinya. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai pengguna sosial media tertinggi kesepuluh di dunia (Widi, 2023b).

Peningkatan penggunaan internet di Indonesia juga berdampak kepada fenomena transaksi jual beli melalui internet. Transaksi yang demikian dikenal sebagai Electronic Commerce atau e-commerce. Lingkup yang termasuk dalam definisi e-commerce mencakup segala aktivitas pembelian, penjualan, transfer, maupun pertukaran produk, layanan atau informasi melalui jaringan komputer termasuk internet (David & Turban, 2012). Transaksi e-commerce di Indonesia merupakan fenomena besar yang terus mengalami peningkatan dan berperan besar pada perkembangan ekonomi nasional serta regional. Momentum Works melaporkan bahwa peningkatan ­e-commerce di Asia Tenggara pada 2022 lalu didominasi oleh Indonesia yang menyumbangkan nilai transaksi bruto terbesar sebanyak 51,9 miliar dolar AS (Annur, 2022). Peningkatan e-commerce dalam negeri juga dapat dilihat dari laporan Statista Market Insights, dengan peningkatan penggunaan e-commerce sebagai berikut (Mustajab, n.d.).

 

Tabel 3. Peningkatan Penggunaan E-Commerce di Indonesia

No.

Tahun

Jumlah Pengguna (Juta)

1.

2018

93,42

2.

2019

118,8

3.

2020

138.09

4.

2021

158,65

5.

2022

178,94

 

Perkembangan internet, sosial media serta e-commerce tersebut memunculkan banyak jenis usaha baru yang dijalankan melalui internet, sosial media maupun e-commerce. Perjanjian titip jual merupakan salah satu fenomena baru yang muncul seiring dengan perkembangan tersebut, dimana perjanjian titip jual saat ini marak dilakukan dilakukan melalui sosial media. 

Kemudahan yang diberikan internet dan sosial media dalam menyebarkan informasi juga memudahkan seseorang untuk menjadi makelar dengan hanya bermodal ponsel pintar, internet dan sebuah akun sosial. Makelar merupakan contoh nyata dari kemudahan tersebut, dengan D yang sebelumnya merupakan seorang mahasiswa dan fotografer dengan koneksi yang luas dalam komunitas sepeda motor serta R yang pada awalnya sudah memiliki bengkel sepeda motor dan bermaksud untuk menambah sampingan baru. Keduanya mengandalkan koneksi yang mereka miliki sebagai kredibilitas awal dalam membuka akun sosial media untuk menjalankan usaha titip jual. Akun sosial media tersebut umumnya mengkhususkan diri pada satu segmen barang atau pasar tertentu dan dengan bantuan komunitas dari segmen pasar tersebut dapat membangun kredibilitas yang baik dan pengikut asli yang banyak di sosial media sebagai salah satu patokan reputasi dan jaringan seorang makelar di sosial media (R, 2023).

Perjanjian titip jual dalam prakteknya melibatkan 3 pihak, yaitu pemilik barang/penjual, pihak titip jual/konsinyasi/makelar dan pembeli Hubungan antara para pihak tersebut adalah sebagai berikut (R, 2023):

 

 

 

Gambar 1. Hubungan Para Pihak dalam Perjanjian Titip Jual

 

a.   Penjual menitipkan informasi barang dagangan miliknya kepada makelar untuk dicarikan pembeli melalui makelar tersebut dan menegosiasi harga imbalan jasa makelar

1)   Penitipan dagangan dilakukan melalui sosial media dengan mengirimkan informasi dan foto atau video barang tanpa adanya penyerahan barang secara fisik kepada makelar

b.   Makelar melakukan pengecekan barang/informasi barang dagangan miliknya dan menegosiasi imbalan jasanya hingga tercapai kesepakatan

1)   Pengecekan dilakukan melalui foto, video dan keterangan penjual melalui sosial media

2)   Hal ini dikarenakan kesibukan maupun jarak penjual yang tidak memungkinkan adanya pengecekan langsung

3)   Hal ini sekaligus menunjukkan kemudahan sosial media dalam menyebarkan informasi serta memudahkan proses titip jual

c.   Makelar mengunggah foto atau video barang yang dititipkan oleh penjual berikut dengan teks keterangan kondisi dan informasi barang kepada calon pembeli yang tertarik, melakukan negosiasi kepada pembeli

1)   Foto atau video barang diunggah ke sosial media milik makelar dengan keterangan informasi barang yang diberikan oleh penjual

d.   Pembeli memilih dan melakukan negosiasi kepada makelar atas barang yang ingin dibeli berdasarkan informasi dari makelar hingga tercapai kesepakatan

1)   Pemilihan barang dan negosiasi harga serta hal-hal lainnya dilakukan melalui sosial media

e.   Makelar menyuruh pembeli untuk melakukan pembayaran kepada penjual atas barang dan harga yang telah disepakati

f.    Pembeli melakukan pembayaran kepada penjual atas barang dan harga yang telah disepakati berdasarkan perintah makelar

1)   Pembayaran dilakukan melalui transfer bank kepada rekening penjual setelah adanya kesepakatan

g.   Makelar menyuruh penjual untuk mengirimkan barang kepada pembeli

h.   Penjual mengirimkan barang yang telah dibayar kepada pembeli berdasarkan perintah makelar

1)   Pengiriman dilakukan dengan jasa ekspedisi yang pengurusannya dilakukan oleh penjual

i.    Penjual memberikan imbalan atas jasa mencarikan pembeli

1)   Imbalan diberikan kepada makelar setelah seluruh proses jual beli antara penjual dan pembeli terlaksana

Perjanjian titip jual tidak memiliki pengaturan khusus dalam peraturan perundang-undangan, namun terdapat beberapa pengaturan yang dapat dikaitkan terhadap perjanjian titip jual. KUHD menyebutkan adanya pedagang perantara seperti bursa dagang, makelar, kasir, komisioner dan pengangkut namun tidak mengatur pasti dan eksplisit tentang titip jual (Ridwan, 2021).

Jika dikaitkan dengan ranah hukum dalam melakukan kegiatan di internet, hukum Indonesia memiliki pengaturan terhadap tata cara berperilaku dan berinteraksi di sosial media melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang lebih umum disebut sebagai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau umum dikenal sebagai UU ITE. Muatan UU ITE salah satunya mengatur perdagangan elektronik atau e-commerce dan aturan berinteraksi perbuatan sosial melalui internet (Winarno, 2011). Pengaturan lebih lanjut terkait e-commerce juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Pengaturan tersebut menjadi salah satu acuan dalam mengkaji kasus ini karena perjanjian titip jual yang dilakukan melalui sosial media termasuk dalam ranah UU ITE, khususnya dalam pengaturan e-commerce meskipun tetap tidak mengatur secara spesifik terkait perjanjian titip jual

 

Wanprestasi Dalam Perjanjian Titip Jual Melalui Sosial Media Yang Mengakibatkan Kerugian Bagi Pembeli

Perjanjian titip jual dalam pelaksanaannya tidak selalu berjalan dengan lancar. Tidak selamanya para pihak menghormati apa yang diperjanjikan dalam perjanjian, termasuk perjanjian titip jual ini. Perilaku pihak yang tidak menghormati hak dan kewajiban dalam perjanjian titip jual dapat berakibat pada terjadinya hal-hak yang tidak diinginkan, seperti wanprestasi. Wawancara yang dilakukan dengan Makelar terkait pelaksanaan titip jual yang mereka lakukan menjelaskan adanya wanprestasi yang telah terjadi sepanjang pengalaman mereka menjalankan usaha titip jual. Wanprestasi ini awalnya terjadi dalam hubungan hukum yang akan dijelaskan kembali dengan bagan hubungan hukum antar para pihak dalam perjanjian titip jual sebagai berikut :

Gambar 2. Hubungan Para Pihak dalam Perjanjian Titip Jual

 

a.   Penjual menitipkan informasi barang dagangan miliknya kepada makelar untuk dicarikan pembeli melalui makelar tersebut dan menegosiasi harga imbalan jasa makelar

b.   Makelar melakukan pengecekan barang/informasi barang dagangan miliknya dan menegosiasi imbalan jasanya hingga tercapai kesepakatan

c.   Makelar mengunggah foto atau video barang yang dititipkan oleh penjual berikut dengan teks keterangan kondisi dan informasi barang kepada calon pembeli yang tertarik, melakukan negosiasi kepada pembeli

d.   Pembeli memilih dan melakukan negosiasi kepada makelar atas barang yang ingin dibeli berdasarkan informasi dari makelar hingga tercapai kesepakatan

e.   Makelar menyuruh pembeli untuk melakukan pembayaran kepada penjual atas barang dan harga yang telah disepakati

f.    Pembeli melakukan pembayaran kepada penjual atas barang dan harga yang telah disepakati berdasarkan perintah makelar

g.   Makelar menyuruh penjual untuk mengirimkan barang kepada pembeli

h.   Penjual mengirimkan barang yang telah dibayar kepada pembeli berdasarkan perintah makelar

i.    Penjual memberikan imbalan atas jasa mencarikan pembeli

Wanprestasi pada kasus yang dijelaskan oleh Makelar dimulai dari poin ke 8 dalam hubungan hukum tersebut. Penjual mengirimkan barang kepada pembeli berdasarkan perintah makelar, namun barang yang dikirimkan tidak sesuai dengan spesifikasi atau kondisi barang yang dijanjikan sebelumnya, dimana kondisi/spesifikasi barang yang didapati pembeli adalah lebih buruk dari keterangan penjual. Kondisi yang demikian tentunya merugikan pembeli karena dengan harga yang disepakati pembeli mengharapkan kondisi barang yang sesuai dengan yang dijanjikan, terlebih jika barang tersebut merupakan barang bernilai tinggi serta memiliki nilai koleksi tertentu.

Pembeli yang mendapati barang yang tidak sesuai tersebut kemudian mengajukan keberatan kepada pihak penjual. Permasalahan muncul Ketika penjual tidak menjawab komplain yang diajukan pembeli secara daring melalui sosial media. Penjual kemudian menghilang tanpa dapat dihubungi oleh pembeli dan dalam beberapa kasus lain memblokir kontak pembeli dan pihak makelar/titip jual. Wanprestasi terjadi karena penjual tidak memenuhi prestasi secara penuh, namun penjual menolak untuk bertanggungjawab maupun memenuhi prestasi yang tertunggak (R, 2023).

Pembeli kemudian menghadapi kebingungan atas siapa yang bertanggungjawab atas kerugian yang dideritanya, dimana pada akhirnya pembeli meminta pertanggungjawaban kepada makelar sebagai salah satu pihak dalam perjanjian titip jual. Multitafsir terhadap tanggung jawab dalam perjanjian ini akhirnya terjadi dan menimbulkan permasalahan. Berdasarkan bagan hubungan hukum diatas, pihak titip jual/makelar berpendapat bahwa mereka tidak ada sangkut pautnya terhadap wanprestasi tersebut. Pihak titip jual telah melakukan kewajibannya dalam memastikan informasi terkait barang yang dijual melalui mereka. Pihak pembeli berdalih bahwa pihak titip jual/makelar turut bertanggungjawab atas kekeliruan informasi barang yang merugikan pembeli dengan kurangnya ketelitian dalam memastikan informasi barang, terlebih lagi dengan para pihak yang terhalang oleh jarak dapat menyebabkan pemeriksaan barang yang tidak efektif oleh pihak titip jual. Pembeli beranggapan bahwa makelar juga berperan sebagai penjamin terhadap kualitas barang dan transaksi dengan pihak penjual sehingga turut bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh pembeli, terlebih dalam kasus ini. Makelar dalam kasus tersebut kemudian memilih untuk mengalah dan memberikan ganti rugi kepada pembeli dengan melakukan buyback atau membeli lagi barang tersebut sesuai dengan harga yang dibayarkan pembeli. Makelar tetap berpendapat bahwa hal tersebut bukan seharusnya menjadi tanggung jawab mereka, namun memilih untuk mengalah dalam rangka menjaga reputasi dan kredibilitas usaha mereka (D, 2023).

Penyelesaian yang dilakukan makelar terhadap kasus yang telah disebutkan diatas bukanlah solusi yang tuntas. Kerugian yang dialami oleh makelar merupakan suatu hal yang tidak ada kepastian hukumnya sehingga perlu dikaji dari segi kepastian hukum dan pertanggungjawabannya. Perjanjian ini tidak diatur secara spesifik dalam aturan hukum di Indonesia, sehingga pengaturannya sangat bergantung kepada perjanjian yang telah disusun oleh para pihak,pemenuhan ketentuan umum dan aspek-aspek dalam perjanjian sesuai KUHPerdata serta aturan yang sekiranya terkait dengan perjanjian titip jual yang dilakukan melalui sosial media. Penerapan kepastian hukum pada perjanjian ini akan berdampak pada pertanggungjawaban pihak, khususnya pihak makelar yang dianggap bertanggungjawab atas kerugian yang dialami pembeli. Teori pertanggungjawaban juga perlu dicermati dalam kasus wanprestasi ini bersamaan dengan pemenuhan kepastian hukum perjanjian titip jual serta aturan hukum yang terkait dengan perjanjian ini secara umum.

Perjanjian Titip Jual Melalui Media Sosial Yang Mengakibatkan Kerugian Bagi Pembeli Dihubungkan Dengan Kepastian Hukum Dalam Hukum Perjanjian Di Indonesia

Penerapan Kepastian Hukum Dalam Perjanjian Titip Jual Ditinjau Dari Hukum Perjanjian

            Kepastian hukum dimaknai oleh Gustav Radbruch sebagai salah satu tujuan hukum bersamaan dengan kemanfaatan dan keadilan hukum. Kepastian hukum mengedepankan penegakan hukum berdasarkan pembuktian formil dimana suatu perbuatan dianggap sebagai pelanggaran bila melanggar aturan tertulis tertentu. Ultrecht kemudian mengemukakan adanya 2 pengertian terhadap kepastian hukum sebagai berikut (Syahrani, 1991):

1.   Adanya aturan umum yang mengatur perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan

2.   Sebagai keamanan hukum bagi seseorang dari kesewenangan pemerintah atas hak dan kewajiban seseorang kepada negara dan sebaliknya

Berdasarkan teori tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kepastian hukum mengedepankan penegakan hukum formil sebagai keamanan hukum seseorang untuk mengatur perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kepastian hukum juga kemudian berfungsi menjamin keamanan hukum seseorang atas hak dan kewajibannya, baik antar individu maupun antara individu dengan pemerintah dan sebaliknya. Peraturan hukum formil menjadi kunci dalam menegakkan nilai kepastian hukum.

   Pengkajian terhadap penerapan kepastian hukum dalam perjanjian titip jual melalui sosial media kemudian membutuhkan pendekatan yang sedikit berbeda. Hal ini disebabkan karena perjanjian titip jual merupakan salah satu perjanjian tak Bernama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Ketentuan formal yang kemudian menjadi acuan untuk dikaji dalam perjanjian titip jual melalui sosial media adalah ketentuan umum KUHPerdata, khususnya ketentuan Buku III tentang Perikatan sesuai dengan ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang mengharuskan segala perjanjian, termasuk perjanjian tak bernama untuk tunduk pada ketentuan umum dalam Bab 3 dan bab sebelumnya dalam KUHPerdata. Perjanjian formil yang disusun para pihak yang terikat dalam perjanjian titip jual melalui sosial media juga menjadi acuan dalam mengkaji penerapan kepastian hukum dalam perjanjian ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tentang akibat persetujuan yang telah dibuat berlaku sebagai hukum/undang-undang bagi para pihak yang terlibat. Ketentuan yang demikian kemudian dibandingkan dengan penerapannya dalam perjanjian titip jual berdasarkan fakta yang didapat melalui wawancara dengan pelaku usaha titip jual yang juga dikenal sebagai makelar.

   Pemenuhan terhadap ketentuan perjanjian dalam suatu perjanjian titip jual ditinjau terlebih dahulu dari syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat tersebut sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya terdiri atas syarat subjektif dan objektif. Syarat subjektif yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian titip jual meliputi kesepakatan dan kecakapan para pihak. Perjanjian titip jual tentunya menekankan harus adanya suatu kesepakatan yang murni tanpa ada paksaan. Wawancara dengan Makelar menyatakan bahwa dalam perjanjian titip jual terlaksana dengan kesepakatan penuh antara pihak penjual, pembeli maupun. Penjual sepakat untuk memberikan imbalan atas jasa makelar dalam menjualkan dagangannya dan Makelar sepakat membantu menjualkan dagangan milik pihak penjual. Hubungan antara Makelar dengan Pembeli pun didasari oleh kesepakatan dimana pembeli bersedia untuk membeli barang yang ditawarkan makelar atas harga yang telah disepakati dan Makelar sepakat untuk menyuruh penjual untuk mengirimkan barang yang telah dijanjikan apabila harga dan hal-hal lain terkait transaksi telah disepakati bersama.

   Pemenuhan kecakapan para pihak dalam melaksanakan suatu perjanjian titip jual dapat dikatakan sebagai suatu hal yang abu-abu. Makelar dalam melaksanakan usaha titip jual beberapa kali mendapati pembeli yang belum cukup umur/dewasa menurut undang-undang dan dianggap belum cakap dalam melakukan perbuatan hukum, termasuk dalam perjanjian ini. Perjanjian tetap dilaksanakan meskipun hal yang demikian karena makelar menganggap bahwa dalam perjanjian tersebut telah terpenuhi suatu kesepakatan atas hal tertentu dengan suatu sebab yang tidak terlarang yang telah memenuhi 3 syarat lain dalam suatu perjanjian. Patut diingat bahwa dalam syarat subjektif perjanjian pelanggaran atas suatu syarat subjektif dapat menyebabkan suatu perjanjian untuk dibatalkan, namun hal tersebut baru dapat terjadi atas kehendak salah satu pihak atau pihak lain yang sekiranya mengalami kerugian atas perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut tetap dapat terlaksana selama syarat lain dalam perjanjian terpenuhi dan tidak ada permintaan untuk membatalkan perjanjian tersebut. Selain kasus yang disebutkan diatas, pihak dalam perjanjian titip jual tersebut umumnya berupa individu atau perorangan yang telah memiliki kecakapan pribadi ataupun perwakilan dari seseorang/badan hukum tertentu yang telah mengantongi kewenangan/kuasa untuk melakukan perbuatan hukum dalam perjanjian titip jual. Umumnya pihak dalam perjanjian titip jual yang berupa perwakilan dari seseorang/badan hukum tersebut berasal dari pihak penjual (D, 2023).

   Syarat lain yang perlu diperhatikan dalam perjanjian titip jual adalah syarat objektif. Syarat tersebut meliputi  adanya suatu hal tertentu serta suatu sebab yang tidak terlarang. Adanya suatu hal tertentu dimaksudkan bahwa perjanjian tersebut memiliki suatu pokok persoalan yang diperjanjikan. Perjanjian titip jual memiliki beberapa pokok persoalan yang diperjanjikan dalamnya secara jelas. Hal tersebut meliputi janji penjual untuk menjual barang sesuai dengan informasi yang sesuai dan memberikan imbalan kepada makelar, makelar berjanji untuk mencarikan pembeli serta memastikan kondisi barang atas informasi dari penjual kepada pembeli, pembeli kemudian berjanji untuk melakukan pembayaran atas barang yang ditawarkan makelar. Terdapat janji untuk memberi dan menyerahkan barang dalam hal penyerahan barang dan pembayaran serta janji untuk berbuat sesuatu dalam perjanjian tersebut dalam hal pemberian informasi oleh penjual, verifikasi informasi barang oleh makelar dan pelayanan yang dilakukan makelar baik kepada penjual maupun pembeli.

   Perjanjian titip jual dalam perjanjiannya juga haruslah atas suatu sebab yang halal/bukan suatu sebab yang dilarang. Barang yang dititipakan pada makelar untuk dijualkan umumnya merupakan barang yang sah dan tidak melanggar hukum. Makelar hanya berkecimpung di segmen pasar otomotif sepeda motor serta menolak keras apabila dititipkan barang yang sekiranya bertentangan dengan hukum yang ada. Selain karena hal tersebut melanggar hukum, Makelar juga memiliki pegangan moral dan agama dalam menolak hal tersebut. Makelar dalam hal ini menyatakan bahwa sepengetahuan mereka dalam melakukan usaha titip jual hanya melibatkan barang-barang yang dimiliki secara sah oleh pembelinya namun tidak pernah sepenuhnya memeriksa apakah barang yang dititipkan kepada mereka merupakan barang yang dimiliki sah atau tidak. Hal ini menjadi poin yang patut dicermati bagi Makelar serta para pelaku titip jual/makelar lainnya.

   Bentuk dari Perjanjian titip jual dapat ditinjau dari beberapa aspek. Berdasarkan perjanjian titip jual yang dilakukan oleh makelar didapati sebagai perjanjian tidak tertulis. Hal ini disebabkan karena perjanjian tersebut tidak memiliki draf perjanjian yang konkrit dan sebatas memperjanjikan terkait hak dan kewajiban para pihak melalui percakapan di sosial media seperti Direct Message Instagram dan WhatsApp, tidak ada “hitam diatas putih” atau draf perjanjian yang konkrit terhadap perjanjian tersebut. Apabila dasar perjanjian tertulis dimaknai sebagai perjanjian yang memiliki bukti tertulis tanpa harus adanya suatu bentuk draf perjanjian, maka perjanjian tersebut kemudian termasuk dalam perjanjian dibawah tangan. Bentuk perjanjian yang demikian memiliki kelemahan dalam hal adanya wanprestasi maupun penyangkalan perjanjian oleh salah satu pihak, pihak yang menuntut kemudian harus mengumpulkan bukti atas adanya perjanjian tersebut.  

Pemenuhan tahap penyusunan perjanjian dalam perjanjian titip jual melalui sosial media merupakan suatu hal yang penting dalam menjamin kepastian hukum suatu perjanjian, termasuk perjanjian titip jual ini. Tahap-tahap tersebut mencakup hal seperti berikut :

1.   Pra-kontraktual

Tahap pra-kontraktual dalam perjanjian titip jual yang dilakukan Makelar dapat dilihat dari beberapa aspek. Makelar dalam melakukan perjanjian titip jual mengaku bahwa mereka melakukan identifikasi para pihak sebelum melaksanakan perjanjian titip jual. Identifikasi ini terutama ditujukan kepada penjual yang hendak menitipkan barang dagangannya kepad Makelar dengan mengutamakan mereka yang sekiranya terlebih dahulu dikenali oleh rekan se-komunitas. Contoh dari hal tersebut adalah bahwa seorang penjual yang hendak menitipkan barang kepada Makelar memiliki teman yang dikenali terlebih dahulu oleh Makelar dan dapat mengkonfirmasi serta menjamin bahwa penjual tersebut tidak memiliki histori yang kurang baik dalam bertransaksi. Identifikasi pembeli umumnya dilakukan dengan pengecekan mandiri terhadap akun sosial media yang digunakan pembeli untuk memastikan bahwa akun tersebut memang digunakan oleh orang asli untuk menghindari kemungkinan penipuan oleh pembeli.

Perjanjian titip jual yang dilakukan Makelar juga melaksanakan tahapan penelitian aspek terkait serta tahapan negosiasi dalam pra-kontraktual mereka. Hal tersebut umumnya meliputi unsur seperti kondisi barang, harga, pembayaran, pengiriman dan lain sebagainya pada jual beli umumnya. Negosiasi kemudian dilakukan atas unsur-unsur tersebut.

Kekurangan dari pelaksanaan tahapan ini adalah Makelar enggan untuk menyatakan besaran imbalan secara eksplisit di tahap pra-kontraktual. Mereka berpendapat bahwa imbalan tersebut baiknya didiskusikan setelah tercapai kesepakatan harga barang dengan alasan bahwa tiap barang memiliki nilai yang berbeda-beda dan tidak dapat dipatok dengan persentase tetap terhadap imbalan atas jasa makelar mereka. Perhitungan atas imbalan dilakukan dengan memperhitungkan harga barang yang disepakati.

D memberikan contoh bahwa dirinya dalam kesempatan langka pernah sukses menjualkan sebuah motor besar bermerek Ducati dengan nilai transaksi sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), dimana kemudian dirinya meminta imbalan jasa kepada penjual motor tersebut sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) setelah transaksi dilaksanakan. D dalam kesempatan lain menjelaskan bahwa dirinya pernah mengalami hanya menerima imbalan kurang dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dalam usahanya menjualkan helm premium. R menjelaskan hal yang serupa dan menganggap hal tersebut sebagai suka duka usaha. Alasan dari hal yang demikian juga didasari oleh rasa segan Makelar untuk “menembak” harga imbalan di depan kepada penjual dan pembeli mereka yang seringkali adalah teman pribadi juga, namun mereka mengklaim bahwa perhitungan imbalan yang berbeda-beda tersebut tetap memperhatikan harga awalan yang dimintakan oleh penjual.

Memorandum of Understanding dalam perjanjian titip jual ini hanya ditemukan dalam catatan percakapan antara makelar dengan penjual maupun pembeli yang menyatakan kesepakatan terkait perjanjian titip jual yang telah disebutkan sebelumnya. Tidak ada nota kesepahaman dalam bentuk draf konkrit atas hal tersebut. Hal ini beresiko menimbulkan ketidakpastian hukum serta multitafsir hukum yang menimbulkan snowball effect pada tahap perjanjian dan pelaksanaan perjanjian setelahnya.

2.   Kontraktual

Para pihak dalam perjanjian titip jual melalui sosial media yang dilakukan oleh Makelar melakukan perumusan kontrak secara umum, namun hal tersebut secara garis besar hanya mencakup hal utama seperti kondisi barang, harga dan tata cara pengiriman. Para pihak dianggap sudah memahami hak dan kewajiban lainnya tanpa dirasa perlu untuk dijabarkan secara detail. Penyusunan perrjanjian tersebut juga hanya dilaksanakan dalam percakapan pribadi melalui sosial media seperti Direct Message Instagram dan percakapan WhatsApp tanpa adanya hitam diatas putih. Makelar berargumen bahwa hal tersebut dilakukan demi efisiensi transaksi serta pada umumnya perjanjian berjalan dengan baik tanpa kendala berarti. Kendala yang sering muncul dalam perjanjian tersebut dirasa cukup dapat diatasi melalui cara kekeluargaan secara umum. 

3.   Pasca kontraktual

   Tahapan pasca kontraktual dalam perjanjian titip jual yang dilakukan Makelar merupakan tahapan yang terdampak atas beberapa unsur yang tidak terpenuhi dalam tahap perjanjian tersebut. Penafsiran mengenai perjanjian titip jual tersebut diserahkan kepada para pihak yang dianggap sudah mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Terdapat suatu jargon andalan yang mendasari hal ini di kalangan penjual dan pembeli di sosial media belakangan ini, yaitu “Be a smart buyer/seller”. Hal tersebut muncul sebagai dasar untuk mengedukasi penjual dan pembeli di sosial media agar lebih memahami hak dan kewajiban serta praktik umum dalam bertransaksi melalui internet dan sosial media, yang pada akhirnya ditujukan untuk meningkatkan efisiensi transaksi dengan mengurangi pertanyaan yang terlalu mendasar atau dirasa tidak perlu. Hal tersebut juga diakui Makelar diberlakukan dalam perjanjian titip jual yang mereka lakukan.

   Alternatif penyelesaian sengketa dalam perjanjian tersebut juga terdampak oleh tahapan lainnya dalam perjanjian ini, dimana dalam tahapan ini alternatif penyelesaian sengketa yang digunakan oleh Makelar adalah penyelesaian secara kekeluargaan. Makelar berpendapat bahwa penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dirasa lebih efisien untuk mengurangi hal-hal yang merepotkan dibandingkan dengan penyelesaian sengketa lainnya. Penyelesaian secara kekeluargaan juga diharapkan oleh Makelar untuk tetap menjaga perasaan dan hubungan pribadi para pihak yang umumnya berasal dari satu komunitas yang sama.

   Pemenuhan aspek-aspek perjanjian dalam perjanjian titip jual yang dilakukan Makelar secara umum telah memenuhi banyak aspek-aspek umum perjanjian sesuai dengan ketentuan umum Buku III KUHPerdata. Masalah terhadap kepastian hukum atas perjanjian titip jual kemudian muncul dalam praktik pelaksanaan perjanjian yang dilaksanakan Makelar terkait dengan materiil perjanjian yang tidak menjelaskan hak dan kewajiban para pihak secara detail. Dalih efisiensi dan kepercayaan antar sesama komunitas menjadi alasan minimnya penjabaran perjanjian secara detail antara para pihak.

   Gustav Radbruch sebagaimana disebutkan sebelumnya menjelaskan bahwa kepastian hukum mengedepankan penegakan hukum secara formil, namun tidak ada peraturan yang secara spesifik mengatur perjanjian titip jual serta formil dari perjanjian titip jual yang dilaksanakan oleh Makelar tidak memiliki bentuk draf yang konkrit. Hal tersebut kemudian mempengaruhi kepastian hukum karena perjanjian sebagai hukum tidak dirumuskan dalam bentuk draf konkrit yang dapat menimbulkan multitafsir hukum terkait aturan yang ditegakkan untuk menjamin kepastian hukum. Hak dan kewajiban para pihak juga tidak dirincikan secara jelas yang berpotensi menimbulkan multitafsir maupun kekosongan hukum dalam hal terjadinya suatu permasalahan hukum dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Jika turut dikaitkan dengan teori Utrecht, keamanan hukum dari perjanjian titip jual tersebut juga menjadi tidak pasti dengan adanya asumsi bahwa penjual dan pembeli dianggap sudah mengetahui hak dan kewajiban masing-masing yang pada praktiknya belum tentu seperti yang demikian.

   Aturan formil yang sekiranya dapat digunakan sebagai acuan dalam mengkaji perjanjian titip jual melalui sosial media diantaranya adalah aturan terkait jual beli serta aturan terkait penggunaan internet di Indonesia. Dasar dari dapat digunakannya aturan tersebut sebagai acuan tambahan dalam perjanjian titip jual adalah karena perjanjian titip jual mengandung unsur jual beli sesuai dengan teori Suy Generis dalam teori perjanjian campuran yang diaplikasikan secara analogis serta perjanjian titip jual tersebut dilakukan melalui perantara sosial media yang merupakan bagian besar dari internet yang penggunaannya diatur oleh Undang-Undang.

   Aturan jual beli terkait dapat ditemukan pada Bab V KUHPerdata tentang Jual Beli sebagai suatu perjanjian Bernama yang diatur oleh KUHPerdata, sedangkan aturan terkait penggunaan internet di Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang lebih umum disebut sebagai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, disingkat sebagai UU ITE serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sebagai pengaturan teknis pelaksanaan lebih lanjut UU ITE. Aturan-aturan tersebut menjadi acuan tambahan dalam mengkaji kepastian hukum perjanjian titip jual melalui sosial media, namun tidak adanya aturan yang mengatur spesifik terkait perjanjian ini ditambah dengan penerapan perjanjian titip jual sebagaimana disebutkan sebelumnya yang penyusunannya kurang konkrit dan komprehensif tetap berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian tersebutt.

Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Titip Jual Melalui Sosial Media Yang Mengakibatkan Kerugian Bagi Pembeli

Untuk lebih mudah memahami kasus wanprestasi yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya dapat dipahami inti awal yang menyebabkan wanprestasi tersebut sebagai berikut; (1) pembeli mendapatkan barang yang tidak sesuai dengan kondisi yang dijelaskan, (2) penjual menghindar dan menghilang saat dikomplain oleh pembeli, dan (3) makelar dianggap turut bertanggungjawab atas kerugian yang dialami pembeli yang kemudian memberikan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh penjual.

Makelar sebagaimana telah disebutkan sebelumnya menganggap bahwa yang seharusnya bertanggungjawab adalah penjual, karena makelar hanya sebatas melakukan perantaraan antara penjual dan pembeli. Terjadi multitafsir hukum yang menjadi halangan dalam penyelesaian wanprestasi tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul dari kasus tersebut adalah, siapa yang sebenarnya bertanggungjawab atas wanprestasi tersebut?

Multitafsir hukum dalam permasalahan tersebut merupakan akibat dari tidak adanya bentuk perjanjian yang komprehensif dalam pelaksanaan perjanjian titip jual tersebut sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Perjanjian titip jual sebagai perjanjian tak Bernama menempatkan perjanjian yang disusun oleh para pihak sebagai hukum yang sepatutnya ditaati oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Bentuk perjanjian yang tersusun secara komprehensif tentunya memudahkan para pihak dalam mencapai pemahaman yang sama terhadap hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan perjanjian tak Bernama.

Secara formil, bentuk perjanjian titip jual melalui sosial media yang sepenuhnya dilakukan melalui percakapan pada sosial media seperti Direct Message (DM) Instagram dan WhatsApp termasuk dalam perjanjian tertulis dibawah tangan, dimana klausula perjanjian tersebut tertulis dalam percakapan pada kanal sosial media yang telah disebutkan sebelumnya. Pembuktian terhadap perjanjian tersebut tetap dimungkinkan dengan adanya pengaturan alat bukti elektronik dalam UU ITE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang mendefinisikan tentang informasi elektronik, dimana screenshot atau tangkapan layer termasuk sebagai informasi elektronik. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menambahkan bahwa Informasi elektronik demikian apabila dicetak menjadi termasuk dalam alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1886 KUHPerdata. Alat bukti yang demikian kemudian perlu dilakukan usaha pembuktian bahwa alat bukti tersebut merupakan alat bukti berasal dari sistem elektronik yang berkeyakinan (Juniartha et al., 2021).

Jika dikaitkan dengan acuan kepastian hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang telah dijelaskan sebelumnya, formil perjanjian titip jual tersebut kurang memberikan kepastian hukum terhadap para pihak dalam pelaksanaannya. Gustav Radbruch menghendaki bahwa sebuah hukum baiknya dirumuskan dengan cara yang jelas untuk menghindari kekeliruan penafsiran hukum serta memudahkan pelaksanaan hukum tersebut. Perjanjian titip jual melalui sosial media dalam kasus ini kurang memenuhi acuan kepastian hukum tersebut. Perjanjian tersebut hanya didasari oleh kesepakatan dan klausula yang terbentuk melalui percakapan pada sosial media tanpa adanya pembentukan draf perjanjian konkrit. Hal tersebut berpotensi memicu kekeliruan pemaknaan hukum karena tidak adanya draf perjanjian konkrit sebagai wujud usaha untuk memastikan kesepahaman hukum antara para pihak terlebih dahulu. Para pihak sebagaimana disebutkan dianggap sudah mengetahui hal-hal dalam perjanjian titip jual tersebut yang dikuatkan dengan jargon seperti ”Be a smart buyer/seller” sebagaimana disebutkan sebelumnya. Kesepakatan dan klausula yang muncul dalam percakapan tersebut pun memerlukan proses pembuktian yang lebih sebagaimana disebutkan sebelumnya apabila dipersengketakan dalam perkara perdata.

Permasalahan berikutnya muncul dalam materiil perjanjian titip jual melalui sosial media yang tidak disusun secara komprehensif. Gustav Radbruch sebagaimana disebutkan sebelumnya mengemukakan acuan-acuan dalam memaknai kepastian hukum, salah satunya adalah hukum tersebut adalah perumusan hukum secara jelas dimana hukum positif dalam bentuk perundang-undangan. Perjanjian titip jual sebagai perjanjian tak Bernama menempatkan perjanjian yang disusun secara sah berlaku sebagai hukum yang mengikat para pihak sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata. Permasalahan muncul dengan perjanjian yang tidak disusun secara komprehensif menyebabkan hukum yang berasal dari perjanjian tersebut rentan untuk berubah-ubah dan menyebabkan multitafsir hukum. Hal tersebut tentunya tidak memberikan kepastian hukum serta pemahaman yang sama antara para pihak dalam memastikan berjalannya suatu perjanjian dengan baik, termasuk perjanjian titip jual melalui sosial media tersebut.

Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian ini tidak dirincikan secara jelas yang menimbulkan multitafsir hukum akibat tidak adanya pemaparan hak dan kewajiban dalam adanya sengketa sebagaimana terjadi dalam kasus ini. Tidak ada klausula mengenai alternatif penyelesaian sengketa yang konkrit dalam perjanjian yang disusun para pihak terhadap kasus tersebut, Dimana penyelesaian secara kekeluargaan yang dilakukan Makelar merupakan tindakan dinamis yang diambil dalam menyelesaikan sengketa tersebut dan tidak diatur sebelumnya dalam perjanjian titip jual yang mereka laksanakan. Penggunaan sumber hukum lain secara analogis yang sekiranya terkait dengan perjanjian tersebut menjadi alternatif untuk memberikan kepastian hukum dalam kasus ini.

Kepastian hukum yang dimaksudkan Utrecht sebagai keamanan hukum seseorang terhadap individu lain menjadi tidak terlaksana dalam perjanjian ini. Dalih efisiensi, kebiasaan maupun kepercayaan antar anggota komunitas hanya memberikan kepastian secara moral, namun tidak memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian titip jual melalui sosial media. Peran Makelar sebagai pihak yang aktif mengakomodasi penyusunan perjanjian kemudian mengarah kepada pertanyaan berikutnya, apakah makelar menjadi bertanggungjawab atas wanprestasi yang ada terhadap perannya dalam perjanjian tersebut?

Jika dikaji berdasarkan teori pertanggungjawaban, makelar dalam kasus tersebut juga merupakan salah satu pihak yang bertanggungjawab atas kerugian pembeli dengan dasar tanggungjawaban unsur kesalahan dan kelalaian. Tanggung jawab atas kesalahan diatur dalam Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata, dimana prinsip tersebut menyatakan bahwa tidak ada pertanggungjawaban apabila tidak ada suatu kesalahan. Makelar dalam analisis kasus tersebut terbukti lalai dalam menerapkan penyusunan perjanjian yang tidak konkrit dan komprehensif. Makelar dalam kasus tersebut juga lalai dalam menjamin dan memastikan kondisi barang yang ia janjikan kepada pembeli tersebut.

Analisis terhadap penerapan sistem titip jual yang dilakukan Makelar mendapati bahwa standar operasional Makelar dalam memastikan kualitas barang yang dititipkan pada sosial media mereka kurang mumpuni untuk menjamin kualitas barang tersebut kepada pembeli. Verifikasi atas kondisi barang tersebut hanya dilakukan berdasarkan foto, video maupun keterangan yang diberikan oleh penjual yang menitipkan barangnya kepada Makelar. Verifikasi tambahan terkadang dilakukan Makelar dengan menanyakan kepada koneksinya yang mengenal pihak penjual untuk memastikan keterangan penjual tersebut. Tahapan yang demikian tentunya tidak menjamin kondisi barang tersebut secara penuh karena foto, video dan keterangan bisa saja diubah atau dikaburkan sesuai keinginan penjual. Hal ini berbeda dengan makelar yang dititipkan barang secara langsung oleh penjual dimana makelar dapat mengecek secara langsung.

Standar operasional yang demikian kemudian menjadi pedang bermata dua terhadap makelar. Pada satu sisi standar operasional tersebut meningkatkan efisiensi perjanjian titip jual yang dilakukan Makelar dengan menghilangkan batasan ruang dan waktu, namun di sisi lain perbedaan jarak yang terdapat antara para pihak meningkatkan kemungkinan adanya pihak yang memiliki itikad buruk dalam melakukan tindakan yang sekiranya merugikan pihak lain. Penerapan standar operasional dalam kasus ini menjadi suatu faktor yang turut berperan dalam kerugian yang dialami oleh pembeli, dimana pembeli turut menyalahkan makelar karena gagal dalam menjamin kualitas barang yang dibeli oleh pembeli tersebut. Kesalahan tersebut tidak otomatis menempatkan makelar sebagai pihak yang sepenuhnya bertanggungjawab atas kerugian pembeli karena kesalahannya tersebut. Makelar dalam kasus ini kemudian bertanggungjawab secara kolektif bersama dengan pihak penjual dalam kasus ini jika didasari teori pertanggungjawaban.

Pihak penjual dalam perjanjian ini melakukan tindakannya yang beritikad buruk dengan bantuan teknologi untuk menjaga anonimitas setelah melakukan tindakan yang merugikan pihak-pihak dalam perjanjian tiitip jual tersebut. Anonimitas yang dimaksud adalah seseorang yang melakukan tindakan yang merugikan tersebut dapat dengan mudah menghilangkan kontaknya dengan mematikan akun sosial medianya maupun memblokir pihak yang mencarinya di sosial media. Batasan jarak juga memudahkan pihak yang tidak beritikad baik agar tidak mudah dicari oleh pihak yang berkepentingan.

Tidak adanya respon dari penjual untuk menanggapi pembeli maupun makelar atas wanprestasi yang ia lakukan menunjukkan tidak adanya itikad baik oleh pihak penjual. Itikad baik dinilai melalui cara berhubungan hukum dengan pihak lain dalam suatu perjanjian secara jujur dan baik, dimana beberapa ahli hukum menyamakan itikad baik dengan kejujuran (Prodjodikoro, 2006).

Penjual dalam kasus ini tidak jujur kepada pembeli maupun makelar terhadap kondisi barang yang dijualnya. Penjual tersebut juga tidak menjawab kontak pembeli dan makelar yang mengajukan komplain atas hal tersebut. Tidak adanya kejujuran dan kebaikan dalam menyelesaikan komplain. Penjual juga tidak melaksanakan apa yang ia janjikan, mengambil keuntungan melalui tipu daya terhadap pembeli dan makelar serta tidak mematuhi kewajibannya tersebut. Penjual dalam hal ini melanggar ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang mewajibkan itikad baik dalam suatu perjanjian Atas kesalahan tersebut, penjual secara teori bertanggungjawab atas kesalahannya sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata.

Makelar dalam kasus tersebut kemudian secara teori dapat menuntut ganti rugi atas kerugian yang harus ditanggung makelar untuk mengganti kerugian pembeli dalam penyelesaian sengketa secara kekeluargaan. Ganti rugi yang demikian karena makelar yang secara teori bertanggungjawab secara kolektif bersama penjual dalam mengganti kerugian pembeli pada pelaksanaannya menanggung bagian tanggung jawab penjual dalam mengganti kerugian yang dialami pembeli. Perkembangan hukum terkini kemudian memberikan kebebasan kepada makelar terhadap tanggung jawab dalam mengganti kerugian pembeli tersebut.

Pasal 21 ayat (2) huruf b UU ITE menjelaskan bahwa akibat hukum dalam suatu transaksi elektronik yang dilakukan oleh penerima kuasa ditanggung oleh yang memberi kuasa. Makelar sebagai pihak dalam perjanjian titip jual disebutkan dalam Pasal 63 KUHD menjelaskan bahwa makelar yang tidak diangkat secara resmi menurut Pasal 62 KUHD bertindak sebagai penerima kuasa. Kesimpulan dari kedua hukum tersebut adalah bahwa makelar secara hukum seharusnya terbebas dari pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami makelar dalam kasus wanprestasi ini. Kerugian yang dialami makelar merupakan bentuk wanprestasi yang dilakukan penjual yang tidak jujur dalam memenuhi kewajibannya memberikan informasi barang yang benar sehingga merugikan makelar. Prestasi makelar untuk mendapatkan informasi barang yang menitipkan barangnya tidak dipenuhi oleh penjual yang menimbulkan wanprestasi dan kerugian kepada makelar.

Makelar kemudian secara teori dapat menuntut penjual atas kerugian yang ia tanggung untuk mengganti kerugian yang dialami pembeli. Apabila makelar hendak untut menuntut ganti rugi tersebut, ia kemudian harus membuktikan bahwa dirinya tidak bertanggungjawab atas kerugian tersebut sebagaimana disebutkan Pasal 1865 KUHPerdata yang mewajibkan seorang penuntut untuk membuktikan gugatannya. Pihak penjual dalam hal tersebut dapat berdalih terkait kesalahan makelar yang lalai dalam memverifikasi informasi barang yang dititipkan untuk mengurangi tanggung jawab ganti kerugian yang dialami makelar dalam kasus tersebut. Penjual juga dapat merujuk kepada teori pertanggungjawaban kolektif untuk mengurangi ganti rugi terhadap kerugian makelar dengan dalih bahwa tanggung jawab kerugian tersebut seharusnya ditanggung bersama atas dasar kesalahan penjual dan makelar.

Keputusan atas permasalahan tersebut kemudian bergantung kepada keputusan kedua belah pihak dalam penyelesaian secara kekeluargaan atau keputusan hakim dalam hal penyelesaian secara hukum perdata. Tuntutan tersebut tentunya hanya dapat dilakukan oleh makelar bila dirinya berkenan serta hanya dapat dilaksanakan bila pihak penjual diketahui keberadaannya. Makelar dalam kasus ini mengambil keputusan untuk tidak melakukan penuntutan karena menganggap hal ini sebagai naik-turun usaha serta keberadaan penjual yang tidak diketahui meskipun dirinya memiliki hak untuk melakukan tuntutan tersebut.

 

 

 

 

Kesimpulan

Perjanjian titip jual melalui media sosial oleh makelar kurang menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Meskipun syarat dan unsur perjanjian secara umum terpenuhi, bentuknya yang tidak tertulis dalam kontrak konkret membuatnya kurang kuat secara hukum. Pembuktian percakapan melalui media sosial juga menjadi lebih sulit dibandingkan dengan kontrak tertulis. Secara materiil, perjanjian tersebut juga kurang memberikan kepastian karena formulasi yang tidak komprehensif, menyebabkan multitafsir hukum dalam kasus wanprestasi. Makelar, meskipun bertanggung jawab secara kolektif dengan penjual, seharusnya tidak menanggung seluruh kerugian pembeli akibat kesalahan penjual yang tidak bertanggung jawab. Meskipun dalam teori makelar memiliki hak untuk menuntut penjual atas wanprestasi, sulit dilakukan jika identitas penjual tidak diketahui.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Anand, G. (2011). Prinsip Kebebasan Berkontrak dalam penyusunan kontrak. Yuridika, 26(2), 91–101.

Annur, C. M. (2022). Transaksi E-Commerce di Asia Tenggara Meningkat 14% pada 2022. Databooks. databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/06/21/transaksi-e-commerce-di-asia-tenggara-meningkat-14-pada-2022

Cahyono, A. S. (2016). Pengaruh media sosial terhadap perubahan sosial masyarakat di Indonesia. Publiciana, 9(1), 140–157.

D. (2023). Hasil wawancara dengan D selaku makelar, 22 Juli 2023.

David, K. J., & Turban, T. (2012). Electronic Commerce (7th ed.). United States: Person.

Indroharto. (2005). Usaha memahami undang-undang tentang peradilan tata usaha negara. Pustaka Sinar Harapan.

Jasmi, P. C. (2020). Analisis Implementasi Asas Kepastian Hukum Dalam Proses Putusan Hakim Terkait Penghinaan Melalui Dunia Maya. Jurnal Analisis Hukum, 3(1), 82–97.

Juniartha, I. G. P. A., Sugiartha, I. N. G., & Ujianti, N. M. P. (2021). Keabsahan Hasil Cetak Screenshot Sebagai Alat Bukti dalam Pemeriksaan Perkara Perdata. Jurnal Konstruksi Hukum, 2(2), 401–405.

Kantaatmadja, M. K. (2002). Cyberlaw: suatu pengantar. Bandung: Elips.

Mustajab, R. (n.d.). Pengguna E-Commerce RI Dipreoyeksi Capai 196,47 Juta Pada 2023. DataIndonesia.Id. Retrieved November 30, 2023, from https://dataindonesia.id/ekonomi-digital/detail/pengguna-ecommerce-ri-diproyeksi-capai-19647-juta-pada-2023

Nurhanisah, Y. (2023). Orang Indonesia Makin Melek Internet. Indonesia Baik. https://indonesiabaik.id/infografis/orang-indonesia-makin-melek-internet#:~:text=Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara,sebanyak 210%2C03 juta pengguna

Oetomo, B. S. D., Wibowo, E., Hartono, E., & Prakoso, S. (2007). Pengantar Teknologi Informasi Internet: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi.

Prodjodikoro, W. (2006). Asas-asas Hukum Perjanjian. Mandar Maju.

Purnama, N. I., & Putri, L. P. (2021). Analisis penggunaan E-commerce di masa pandemi. Seminar Nasional Teknologi Edukasi Sosial Dan Humaniora, 1(1), 556–561.

R. (2023). Hasil wawancara dengan R sebagai makelar, 10 Juli 2023.

Ridwan, A. S. Y. (2021). TIKeabsahan Hasil Cetak Screenshot Sebagai Alat Bukti dalam Pemeriksaan Perkara Perdata. Mimbar Hukum, 33(1), 138–160.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2014). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 16. Rajawali Pers, Jakarta.

Suardita, I. K. (2017). Pengenalan Bahan Hukum (PBH). Simdos. Unud. Ac. Id, 3.

Syahrani, R. (1991). Rangkuman intisari ilmu hukum.

Widi, S. (2023a). Pengguna Media Sosial di Indonesia Sebanyak 167 Juta pada 2023. Retrieved from DataIndonesia. Id: Https://Dataindonesia. Id/Digital/Detail/Pengguna-Media-Sosial-Di-Indonesia-Sebanyak-167-Juta-Pada-2023.

Widi, S. (2023b). Pengguna Media Sosial di Indonesia Sebanyak 167 Juta pada 2023. DataIndonesia.Id. https://dataindonesia.id/internet/detail/pengguna-media-sosial-di-indonesia-sebanyak-167-juta-pada-2023

Winarno, W. A. (2011). Sebuah Kajian Pada Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Jurnal Ekonomi Akuntansi Dan Manajemen, 10(1).

 

 

Copyright holder:

Muhammad Ibnu Fakhri, Etty Mulyati, Purnama Trisnamansyah (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: