Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
TRANSFER PENGETAHUAN TACIT
DI PERUSAHAAN KELUARGA
Universitas Bhayangkara
Jakarta Raya, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian
ini dilakukan untuk memahami proses transfer pengetahuan tacit di perusahaan
keluarga yang bergerak di bisnis jamu. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan studi kasus
tunggal di sebuah perusahaan keluarga yang berusia lebih dari satu abad. Data
terutama diperoleh melalui wawancara semi terstruktur dengan eksekutif anggota
keluarga yang mewakili tiga generasi, dan eksekutif non anggota keluarga. Data
lain berasal dari dokumen internal perusahaan dan sumber lain di eksternal
perusahaan. Data kemudian diolah dengan menggunakan analisis isi. Hasil studi
menunjukkan bahwa transfer pengetahuan tacit dilakukan melalui dua tahap
sosialisasi, yaitu sosialisasi keluarga dan sosialisasi bisnis, dimana kedua
tahap ini tidak tampak jelas batasnya. Pada tahap sosialisasi keluarga, para
narasumber telah diperkenalkan dengan jamu tradisional dan khasiatnya sejak
usia balita. Keyakinan akan khasiat jamu tradisional sejak kecil kemudian
menjadi fondasi bisnis yang penting. Pada tahap sosialisasi bisnis, generasi
kedua dan ketiga mengembangkan "kurikulum" yang harus diikuti oleh
para penerusnya, untuk memudahkan mereka masuk dan terlibat aktif dalam bisnis
keluarga.
Kata Kunci: transfer
pengetahuan, pengetahuan tacit, bisnis keluarga, studi kasus, sosialisasi
keluarga, sosialisasi bisnis.
Abstract
This
study was conducted to understand the process of tacit knowledge transfer in a
family business engaged in the traditional herbal medicine business. This
research is an exploratory qualitative research
using a single case study approach in a family business that is more than a
century old. Data were mainly obtained through semi-structured interviews with
executives of family members representing three generations, and one executive
of non-family members. Other data comes from company internal documents and
other sources external to the company. The data is then processed using content
analysis. The results of the study show that the transfer of tacit knowledge is
carried out through two stages of socialization, namely family socialization
and business socialization, where the two stages are not clearly defined. At
the family socialization stage, the sucessors of the business were introduced
to traditional herbal medicine and its benefits from the age of toddlers.
Belief in the efficacy of traditional herbal medicine since childhood later
became an important business foundation. In the business socialization stage,
the second and third generations develop a "curriculum" that must be
followed by their successors, to make it easier for them to enter and be actively
involved in the family business.
Pengetahuan memainkan peran penting sebagai sumber daya utama
yang berkontribusi pada keberhasilan perusahaan keluarga. Oleh sebab itu
penting untuk memahami bagaimana pengetahuan ini diciptakan, digunakan dan
kemudian ditransfer. Sejumlah besar literatur berfokus pada transfer
pengetahuan eksplisit di perusahaan, tetapi jauh lebih sedikit pada transfer
pengetahuan tacit, khususnya, dalam konteks perusahaan keluarga. Hal ini
dapat dipahami karena pengetahuan tacit lebih sulit untuk ditransfer;
merupakan jenis pengetahuan yang tidak langsung terlihat dan tertanam dalam
proses, budaya, dan hubungan dalam organisasi
Penelitian dengan perspektif berbasis pengetahuan
(knowledge-based view) menunjukkan bahwa pada pengetahuan tacit ini
terletak keunikan yang menjadi dasar dari keunggulan bersaing suatu perusahaan
Konteks penelitian ini adalah perusahaan jamu atau jamu
tradisional milik keluarga di Indonesia. Kata "jamu" berasal dari
bahasa Jawa Kuno, yaitu jampi atau usodo. Jampi atau usodo memiliki arti
penyembuhan menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa
Statistik Indonesia (SI) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa
85,365% atau sekitar 106 juta orang yang tinggal di pulau Jawa Indonesia
memiliki kebiasaan mengobati penyakitnya sendiri, antara lain dengan pengobatan
herbal tradisional. Sebanyak 67,543% atau sekitar 84 juta orang di pulau Jawa
memilih jamu dibandingkan dengan olahraga rutin untuk menjaga kesehatannya.
Pada saat pandemi melanda Indonesia pada tahun 2020 dan 2021, penjualan jamu
meningkat hingga 400%. Kegiatan komersial membuat dan memasarkan jamu dikelompokkan
dalam Industri Obat Tradisional (IOT) dan usaha mikro kecil menengah (UMKM)
obat tradisional (UMKM OT). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat
jumlah IOT di Indonesia adalah 129 dan UMKM OT 672. IOT yang dikelola UMKM,
memiliki dampak sosial ekonomi yang besar sehingga sangat layak diberi
kesempatan dan difasilitasi untuk berkembang.
Hampir semua perusahaan jamu tradisional, besar dan kecil,
adalah bisnis keluarga. Hal ini disebabkan kebiasaan meramu jamu oleh sosok ibu
dimaksudkan untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit anggota keluarga.
Resep jamu tradisional yang biasa dikonsumsi oleh satu keluarga hanya diketahui
oleh anggota keluarga tersebut dan diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Saat ini, hanya kurang dari empat perusahaan jamu tradisional
berkembang menjadi perusahaan besar, modern dan menguntungkan dengan keluarga
pendiri tetap menjadi pemegang saham terbesar dan menjabat sebagai eksekutif
kunci. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai
bagaimana cara pengetahuan tacit ditransfer dari satu generasi ke
generasi (penerus) selanjutnya dalam sebuah bisnis keluarga yang bergerak di
bisnis pembuatan dan pemasaran produk jamu.
Perspektif perusahaan berbasis sumber daya (resource-based
view) melihat keluarga sebagai sumber daya yang berkontribusi terhadap
keberhasilan perusahaan
Pengetahuan dipandang sebagai sumber daya paling strategis.
Perspektif perusahaan berbasis pengetahuan (knowledge-based view) dari
perusahaan keluarga membedakan antara pengetahuan eksplisit dan pengetahuan
tacit
Suksesi dalam bisnis keluarga adalah proses yang dapat
berlangsung selama bertahun-tahun. Meneliti perusahaan keluarga dari basis
sumber daya pengetahuan� perlu didasarkan
pada pemahaman bahwa suksesi merupakan proses jangka panjang, bukan satu
peristiwa khusus
Proses sosialisasi dalam suksesi bisnis keluarga meliputi
transfer ilmu dari pendiri ke generasi penerus berikutnya. Penelitian oleh
Metode Penelitian
Ada
setidaknya tiga alasan yang membenarkan penggunaan metode kualitatif untuk
penelitian ini. Pertama, penelitian ini bersifat eksploratif karena ada
keterbatasan jumlah� penelitian
sebelumnya tentang bagaimana pengetahuan tacit ditransfer dari satu
generasi ke generasi berikutnya di perusahaan keluarga. Kedua, melalui
penelitian ini dapat diketahui kebutuhan akan informasi kontekstual yang
komprehensif, yang dikaitkan dengan orientasi kualitatif. Misalnya, seperti
disampaikan oleh
Studi kasus dipilih untuk penelitian ini. Yin (2017)
mendefinisikan studi kasus sebagai penyelidikan empiris yang menyelidiki
fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata. Studi kasus eksploratif
tunggal digunakan karena fokus penelitian ini adalah untuk menyelidiki secara
mendalam proses transfer pengetahuan tacit dalam transfer antar generasi
perusahaan keluarga, dengan pendekatan yang ditujukan untuk menjelaskan
bagaimana, kapan, dan pengetahuan tacit apa yang ditransfer selama suksesi.
proses, dari perspektif generasi tua dan penerus atau generasi berikutnya �
Desain penelitian melibatkan satu studi kasus dengan data
yang dikumpulkan melalui wawancara dan studi dokumen. Studi ini melibatkan
pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka yang terperinci dalam wawancara
terstruktur dengan generasi yang lebih tua dan penerus dari satu perusahaan.
Dokumen tersebut digunakan untuk memverifikasi pernyataan (terutama tentang
sejarah perusahaan, tanggal penting dan peristiwa penting) yang dibuat oleh
para narasumber (partisipan) yang diwawancarai.
Narasumber dalam penelitian ini berasal dari satu perusahaan
jamu tradisional berskala menengah yang telah menggunakan pendekatan modern
dalam memproduksi jamu. Perusahaan ini telah berusia lebih dari satu abad,
tepatnya berdiri pada tahun 1910 dan merupakan perusahaan jamu komersial tertua
di Indonesia. Keturunan langsung dari pendiri masih memiliki penuh dan
mengelola perusahaan sebagai eksekutif. Produknya sudah lama dikenal
masyarakat. Dalam 10 tahun terakhir tidak ada perubahan nama merek, dan masih aktif
mengeluarkan produk-produk baru hampir setiap tahun. Walau terkena dampak
pandemi, situasi keuangan perusahaan pada tiga tahun terakhir tidak dalam
kondisi merugi. Atas permintaan narasumber dan relevansi tujuan penelitian,
nama identitas perusahaan tersebut hanya diberi kode, yaitu "JIJ."
Jumlah partisipan penelitian ini adalah sembilan orang yang
terdiri dari delapan orang anggota keluarga dan satu orang profesional bukan
anggota keluarga yang telah sangat lama bekerja di perusahaan JIJ dan mengenai dua
generasi keluarga. Pemilihan partisipan dalam penelitian ini antara lain
didasarkan pada penguasaan atas pengetahuan tacit dan pengalaman menerima
dan/atau mentransfer pengetahuan tacit. Narasumber generasi kedua telah berusia
di atas 70 tahun, sementara narasumber generasi keempat masih berusia di bawah
30 tahun. Tabel 1 memberikan informasi lebih detail tentang narasumber.
Tabel 1
Profil Partisipan
Kode* |
Nama Jabatan |
Generasi |
JIJ-1-2 |
Komisaris |
2 |
JIJ-2-2 |
Komisaris (sebelumnya Direktur Utama) |
2 |
JIJ-3-3 |
Direktur Utama (sebelumnya pernah menjabat sebagai
Direktur Operasi, Manajer Operasi, dan Manajer Pemasaran) |
3 |
JIJ-4-3 |
Direktur Operasi (sebelumnya pernah menjabat sebagai Manajer Operasi) |
3 |
JIJ-5-3 |
Direktur Keuangan dan Administrasi (sebelumnya pernah
menjabat sebagai Manajer Keuangan dan Manajer Pemasaran) |
3 |
JIJ-6-3 |
Manajer Produk dan Pemasaran |
3 |
JIJ-7-4 |
Manajer Operasi |
4 |
JIJ-8-4 |
Manajer Keuangan |
4 |
JIJ-9-0 |
Manajer Sumber Daya Manusia |
Bukan keluarga |
*Keterangan: JIJ-1-2 = nama perusahaan-partisipan
no 1-asal generasi ke 2
Data dan
informasi dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara semi tersrtuktur,
dokumen internal perusahaan, dan dokumen yang berasal dari sumber eksternal
perusahaan. Pemilihan generasi yang lebih tua dan penerusnya untuk wawancara,
ditentukan setelah permintaan dan tinjauan dokumentasi dari perusahaan
memverifikasi bahwa penerus dan perusahaan memenuhi parameter yang ditetapkan
untuk pemilihan orang yang diwawancarai.
Wawancara
dilakukan pada tahun 2018 dan 2019 sebelum pandemi melanda Indonesia. Sempat
terhenti selama beberapa waktu karena kendala di internal perusahaan yang
dihadapi oleh para narasumber. Wawancara kembali dilakukan secara daring pada
tahun 2021. Setelah data dan informasi terkumpul, dilakukan analisis isi dan
interpretasi dengan memanfaatkan kajian berbagai literatur yang ada. Hasil
interpretasi kemudian ditinjau oleh narasumber dan alternatif interpretasi
dieksplorasi bersama peneliti.�
Perlu disadari bahwa transfer pengetahuan tacit dalam konteks
ini sebenarnya adalah proses yang berkembang sudah lama dan tentunya akan
membutuhkan metodologi longitudinal untuk mengukur kapan dan bagaimana
pengetahuan ditransfer. Oleh sebab itu sesuai studi oleh, Tamer-Cavusgil, et
al. (2003), Chirico (2008), Martinez, et al. (2013), Boyd, et al. (2015), serta
Letonja dan Duh (2016) studi ini dibatasi oleh persepsi dan ingatan penerus
tentang proses masa lalu untuk memperoleh atau menyadari pengetahuan ini pada
waktu tertentu dalam sejarah perusahaan mereka.
Pengetahuan tacit seperti disebutkan sebelumnya, adalah
pengetahuan yang belum diekspresikan
Penelitian ini membatasi studi kasus pada perusahaan keluarga
jamu tradisional berskala menengah. Kajian ini tidak memperhitungkan demografi
Pulau Jawa di Indonesia. Wilayah ini memiliki keragaman etnis, dengan etnis
Jawa, Tionghoa-Jawa, dan Sunda sebagai etnis terbesar. Studi ini tidak akan
mempertimbangkan apakah narasumber sebagai partisipan penelitian adalah
generasi pertama, kedua, ketiga, atau lebih.
Hasil dan Pembahasan
Penjelasan
tentang proses transfer pengetahuan tacit akan mengikuti dua tahap
sosialisasi yang disarankan oleh
JIJ-1-2 "
Saya tahu, semua juga tahu, tetangga, kenalan, kita semua ini keluarga jamu,
pengusaha jamu.."
JIJ-2-2
"....ya mustinya ikut jalankan usaha, ini kan sudah turun-temurun, kita
kasih tahu ke anak-anak, cucu, semua..."
JIJ-5-3 "
Iya dikasih tahu oleh orang tua, kakek juga, kalau kita ini keluarga jamu. Tapi
tidak diberitahu juga sudah ngerti, lha wong di rumah penuh dengan dagangan
jamu, banyak orang datang ambil dagangan..."
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tahap sosialisasi keluarga terdiri dari dua
bagian, dimana narasumber belajar tentang jamu dan kegunaannya, dan bagian
dimana penerus memahami bahwa ia
adalah bagian dari bisnis jamu tradisional. Narasumber sudah dikenalkan dengan
produk dan khasiat herbal sejak usia sangat muda, bahkan ada yang sejak masih
balita. Keluarga mengkonsumsi jamu tradisional secara rutin, tidak hanya
sebagai kebiasaan dalam keluarga, tetapi juga merupakan bagian dari tradisi
keluarga etnis Jawa. Tokoh penting yang sering disebut sebagai orang yang
menyiapkan atau memberikan jamu tradisional adalah nenek dan ibu. Sebagian
kutipan pernyataan narasumber:
JIJ-3-3
"Mama saya diajari sama oma bikin jamu. Setiap hari saya dan
adik-adik minum jamu.....dari kecil, dari TK (penulis: taman kanak-kanak)
mungkin ya.."
JIJ-4-3
"Di rumah mama yang bikin jamu, kadang-kadang cici (penulis: kakak
perempuan) juga. Habis sarapan dikasih minum (jamu)"
JIJ-7-4
"Saya bisa buat jamu, macam-macam (jamu) beras kecur, lempuyang, sinom,
pahitan, uyup-uyup, ya macam-macam.....kita semua bisa
membuatnya. Diajari mama dan oma"
Narasumber
dari generasi kedua mengatakan bahwa keyakinan akan khasiat jamu tradisional
merupakan fondasi penting dari bisnis ini. Itulah mengapa sangat penting untuk
membangun kepercayaan yang sama pada penerusnya. Hal ini dilakukan tidak hanya
dengan menjaga kebiasaan minum jamu tradisional di rumah, tetapi juga secara
aktif mendorong masyarakat untuk terus meminum jamu tradisional. Sebagian
kutipan pernyataan narasumber:
JIJ-2-2
"Dari kecil kita tidak pernah ke dokter, soalnya tidak pernah sakit parah.
Ya karena jamu itu. Kalau sakit juga dikasih jamu. Papa saya dan saya juga
sering bagi-bagi jamu ke tetangga dan kenalan. Tidak sekedar bagi-bagi, kita
juga kasih tahu jenis jamu dan manfaatnya"
JIJ-9-0
"Keluarga ini memang suka bagi-bagi jamu. Kadang-kadang suka juga di rumah
mereka buka tempat minum jamu, gratis. Karyawan baru wajib belajar mengenai
jenis dan khasiat jamu, walau pekerjaannya mungkin tidak terkait dengan
produksi atau marketing"
JIJ-4-3 "
Saya kuliah di luar (negeri), sering dibawakan jamu, padahal sulit kan melewati
pemeriksaan di airport. Akhirnya saya cari saja bahan-bahannya di pasar
setempat, dan tetap meneruskan kebiasaan minum jamu. Kalau tidak enak badan
juga minum jamu......istri saya juga saya suruh minum jamu"
JIJ-7-4
"Iya saya tahu berbagai jenis jamu, cara membuat, dan manfaatnya.
Sepertinya semua (saudara) juga tahu"
Semakin
narasumber bertambah usia semakin banyak yang mereka pelajari tentang berbagai
jenis jamu, ramuan, khasiat, cara pembuatan dan cara penyajiannya. Menariknya, meski ada
perbedaan jenis jamu yang digunakan antar generasi, semua narasumber secara
konsisten mengingat satu jamu yang disebut "jamu-cekok." Sebenarnya
ini bukan jenis jamu, melainkan cara menyiapkan dan mengonsumsinya: aneka jamu
dibungkus kain halus, dicelupkan ke dalam air hangat, lalu diperas untuk
dituang sarinya langsung ke mulut anak. Minum jamu dengan cara ini adalah
praktik umum di antara etnis Jawa. Tak heran jika semua narasumber akrab dengan
praktik ini karena mereka lahir dan besar di pulau Jawa. Narasumber dari
generasi yang lebih tua mengatakan bahwa praktik memaksa anak-anak untuk minum
jamu tradisional atau �cekok� menunjukkan bahwa orang tua sangat percaya akan
khasiat jamu tradisional.
Semua
narasumber menyatakan bahwa mereka mengenal bisnis jamu sejak usia sangat muda.
Awalnya karena kegiatan produksi jamu lebih banyak dilakukan di rumah saat ibu
dari generasi kedua atau nenek generasi ketiga masih ada. Kemudian para
narasumber sering mengunjungi pabrik yang kebanyakan dilakukan saat liburan
sekolah. Ayah atau paman mereka menunjukkan proses produksi, membiarkan mereka
bermain di gudang bahan baku, mengunjungi pasar dan pedagang yang menjual bahan
baku, dan mengunjungi pasar tradisional yang menjual produk perusahaan
keluarga.
Semua
narasumber ingat bahwa kebanyakan orang yang mereka temui berlaku sopan, bukan
hanya karena tradisi etnis, tetapi juga karena status penerus (anak-anak
pemilik). Setelah setiap kunjungan, biasanya generasi yang lebih tua akan
menjelaskan siapa yang telah bertemu dengan para penerus. Para narasumber ingat
bahwa itu adalah cara generasi tua mengajari mereka bagaimana menangani
hubungan pribadi versus bisnis. Dari sini tampak bahwa sosialisasi bisnis telah dilakukan sebelum generasi penerus
benar-benar memasuki bisnis.
Semua narasumber dari generasi kedua mengaku rutin membawa
penerusnya untuk mengunjungi acara promosi jamu yang dilakukan perusahaan, juga
kegiatan belanja bahan. Nantinya, para penerus ditugaskan untuk bertanggung jawab atas
peristiwa serupa. Sebagian kutipan pernyataan narasumber:
JIJ-6-3
"Ketika masih di SMP, hampir setiap tahun kalau ada acara bazaar saya
menjaga kios jamu keluarga. Belajar berani berbicara......, juga jadi ngerti
kalau jamu bersalin ya jangan saya yang ngomong... Waktu di SMU bahkan
saya mempersiapkan dan menjaga kios jamu kami di SMU lain...."
JIJ-8-4
"Saya jaga kios mulai kelas lima SD, tapi belanja bahan baku baru ikut
setelah kuliah. Pernah salah belanja bahan juga, tampilan sama tetapi jenis
beda. Juga bahan yang kering dan basah, yang sudah dirajang (penulis:
dipotong kecil-kecil atau diiris tipis) dan yang utuh....jadi tahu"
JIJ-9-0
"Setiap libur sekolah, anak-anak selalu ikut kegiatan perusahaan. Awalnya
lebih bayak main, tapi setelah SMU dan kuliah mulai dikasih tanggung jawab oleh
orang tuanya atau pamannya"
Sejak di
bangku SMA, semua narasumber menyampaikan bahwa mereka mulai menghadiri pertemuan formal keluarga yang khusus
membicarakan bisnis, dan pertemuan bisnis dengan berbagai pihak. Biasanya
mereka hanya diam dan mendengarkan pembicaraan. Setelah pertemuan, narasumber
ingat bahwa ayah atau paman mereka meminta mereka untuk memberikan evaluasi
mengenai pertemuan, meminta pendapat mereka, dan memberi mereka �pelajaran
untuk dipelajari.� Beberapa narasumber mengingat bahwa beberapa pertemuan
bisnis tidak berjalan dengan baik dan sangat tegang. Saat itulah waktunya
mereka belajar bagaimana keluarga, kebanyakan ayah atau paman menangani situasi
secara efektif atau tidak efektif. Sebagian kutipan pernyataan narasumber:
JIJ-1-2 "
Dulu kita masuk bisnis ya nyemplung saja, sekarang nggak begitu.
Anak-anak kita ajak lihat bisnis dan kita ajak ikut rapat biar ngerti"
JIJ-2-2
"...... belajar dari banyak orang. ...... beli bahan dari banyak orang ya.
.... dibantu banyak orang. ..... perlu orang lain. Maksud saya, bisnis kita itu
tergantung dari hubungan baik dengan berbagai pihak ya. Jadi kita tunjukkan
cara pelihara hubungan baik"
JIJ-6-3 "
....papa ajak diskusi, om juga ajak diskusi, koko (penulis: kakak laki-laki)
juga... hampir setiap selesai bertemu orang lain...selesai rapat. Kadang saya
tanya juga..."
Sebagian
narasumber meninggalkan aktivitas bisnis keluarga untuk sementara saat memasuki
perguruan tinggi. Dari tujuh narasumber, tiga di antara generasi ketiga melanjutkan
pendidikan ke luar negeri, sedangkan selebihnya menempuh pendidikan di dalam
negeri namun di provinsi yang berbeda dengan tempat tinggal orang tuanya.
Selama kuliah, mereka masih
mengikuti perkembangan bisnis keluarga, juga mengunjungi pameran atau terlibat
dalam kegiatan bisnis yang berhubungan dengan jamu tradisional. Orang tua
terutama bapak dan paman sering membahas apa yang dipelajari di bangku kuliah
yang bisa diterapkan di perusahaan.
Narasumber
juga menyampaikan bahwa setelah kuliah, tidak semua anak dari keluarga pemilik
menjadi aktif dalam bisnis. Ada yang menikah dan memutuskan menjadi ibu rumah
tangga, ada juga anak-anak yang memutuskan untuk meniti karir di bidang lain
yang tidak ada hubungannya dengan jamu tradisional. Narasumber dari generasi
kedua bersikeras bahwa jika anak-anak ingin mengembangkan karir di bidang jamu
tradisional, satu-satunya tempat adalah
di bisnis keluarganya, bukan di perusahaan sejenis lainnya. Narasumber juga
mengakui bahwa tidak semua anak tertarik dengan bisnis keluarga. Jika anak-anak
tidak menunjukkan minat pada bisnis, narasumber dari generasi yang lebih tua
juga merasa kurang termotivasi untuk melatih anak-anak.
Narasumber dari generasi kedua mengatakan bahwa sejak SMA
ayah dan/atau paman telah mengatakan secara formal bahwa mereka diharapkan
untuk bergabung dengan bisnis keluarga. Sementara narasumber dari generasi
ketiga mengaku belum pernah mendengar adanya pernyataan resmi dari pihak
keluarga bahwa mereka harus bergabung, namun sudah mengetahui bahwa pada
akhirnya mereka diharapkan bergabung dengan bisnis tersebut. Studi dari
Anggadwita, et al. (2020) dan Tan, et al. (2020) menunjukkan bahwa pada
keluarga keturunan Tionghoa, seringkali laki-laki lebih diharapkan untuk
bergabung dengan bisnis keluarga. Dalam kasus JIJ generasi kedua menyampaikan
bahwa laki-laki memang diharapkan masuk bisnis keluarga, oleh sebab itu tidak
ada satupun anggota keluarga perempuan generasi kedua yang bergabung atau pernah
bergabung dalam bisnis. Hal ini berbeda dengan generasi ketiga, dimana tidak
ada perbedaan tegas atas harapan pada anak laki-laki dan anak perempuan di
keluarga. Dalam kenyataannya dua orang eksekutif setingkat direktur kebetulan
perempuan, dan menduduki posisinya karena mempunyai latar belakang pendidikan
yang sangat relevan dengan pengembangan produk serta keuangan.
Usai kuliah, para narasumber generasi ketiga mengatakan harus
mengikuti serangkaian pelatihan informal. Para peserta dari generasi yang lebih tua mengatakan
bahwa mereka memiliki semacam �kurikulum� untuk melatih anak-anak tentang
bisnis. Ini adalah bagian dari pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman
mereka sendiri sebagai penerus bisnis. Meski tidak semua peserta dari generasi
tua setuju, dua di antaranya mengatakan bahwa kurikulum yang terstruktur akan
membantu memudahkan penerus masuk dan mengambil alih bisnis.
JIJ-1-2
"Saya dulu diajak sama pendiri. Ya diajak begitu saja. Apa saja belajar
sendiri. Sekarang kita lebih teratur ya. Kita sudah pikirkan, anak-anak perlu
belajar apa saja"
JIJ-2-2
"Anak-anak biasanya dikenalkan dulu sama proses produksi. Soalnya lebih
gampang.
Selain memastikan
pengetahuan-pengetahuan yang sudah dimiliki di teruskan ke para penerus,
narasumber kini juga mengirimkan penerus untuk belajar ke perusahaan lain milik
teman keluarga atau meminta eksekutif senior di perusahaan untuk melatih
penerus. Aksi ini tidak termasuk dalam transfer pengetahuan, melainkan akuisisi
pengetahuan baru, yang nantinya dengan pengetahuan yang sudah ada diharapkan
dapat menghasilkan pengetahuan baru seperti cara kerja yang lebih efisien,
produk baru, atau cara melakukan pemasaran dengan lebih efektif.
Pengetahuan tacit
ditransfer dari satu generasi ke generasi selanjutnya dalam sebuah bisnis keluarga yang bergerak di bisnis pembuatan
dan pemasaran produk jamu melalui tahap sosialisasi keluarga dan sosialisasi
bisnis. Dalam kenyataan, kedua tahap ini sulit dibedakan dengan jelas dan
tegas.
Pada tahap sosialisasi keluarga, anggota keluarga memahami
bahwa mereka berbeda dengan keluarga lain, mereka adalah bagian dari keluarga
yang mampu membuat berbagai macam jamu dan mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
jamu karena rutinitas, serta percaya pada khasiatnya. Keyakinan akan khasiat
jamu tradisional dipandang sebagai salah satu fondasi penting dari sebuah
bisnis yang dikembangkan sejak kecil. Jadi pada tahap ini, pengetahuan yang
ditransfer antara lain adalah jenis jamu, cara membuat jamu, pengenalan bahan-bahannya,
khasiat, dan bagaimana meyakinkan orang lain akan khasiat jamu.
Selanjutnya, tahap sosialisasi keluarga seolah melebur dengan
tahap sosialisasi bisnis. Di tahap ini pengetahuan tentang bisnis keluarga dan
bagaimana membangun hubungan yang dilakukan melalui kunjungan ke pabrik,
pemasok, pengecer, dan pengenalan kepada pihak-pihak terkait. Saat para penerus
masih anak-anak, kegiatan yang sama dilakukan sebagai bagian dari pengisi waktu
liburan, dimana hal ini sebenarnya merupakan sosialisasi keluarga. Ketika para
penerus sudah lebih dewasa, kegiatan ini menjadi sosialisasi bisnis.
Setelah kunjungan dan perkenalan, seringkali ayah atau paman
akan membicarakan pengalaman tersebut. Anggota keluarga yang sudah duduk di SMU
menghadiri pertemuan bisnis untuk mempelajari lebih lanjut tentang bisnis jamu
keluarganya. Pada tahap ini, diskusi setelah sesi dengan ayah atau paman masih
dilakukan.
Belajar dari pengalaman pribadi, generasi kedua mengembangkan
�kurikulum� yang harus diikuti oleh para penerus untuk memudahkan mereka masuk
dan terlibat aktif dalam bisnis. Adanya kurikulum ini membuat transfer pengetahuan dapat
dilakukan secara lebih sistematis. Para penerus memperoleh pengetahuan melalui
komunikasi secara lisan, mendapatkan dan memperhatikan contoh-contoh, mencoba
mengimplementasikan, mendiskusikan hasil
dengan pendahulu baik secara formal maupun informal, dan kembali mempraktekkan
hasil belajarnya. Khusus untuk generasi ketiga,�
sudah terjadi kombinasi antara pengetahuan tacit yang dimilikinya
dari internal bisnis keluarga, dengan
akuisisi pengetahuan dari eksternal pengalaman bekerja di perusahaan lain atau
kerja sama dengan perusahaan lain.
Setelah studi eksploratif ini, studi lebih lanjut yang
diperlukan adalah studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
transfer pengetahuan tacit dalam bisnis keluarga jamu tradisional. Selain itu,
untuk meningkatkan pemahaman tentang transfer pengetahuan tacit, perlu dikaji
lebih lanjut apakah proses transfer pengetahuan tacit dalam bisnis keluarga
mengikuti pola spiral seperti yang ditunjukkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) dengan siklus SECI
(Socialization-Externalization-Combination-Internalization) yang tidak saja
mentransfer pengetahuan dari satu pihak ke pihak lain, juga memperkaya dan
menghasilkan pengetahuan baru sebagai dasar keunggulan bersaing perusahaan.
Agyemang, F. G., & Boateng, H.
(2019a). Tacit knowledge transfer from a master to an apprentice among
hairdressers. Education and Training, 61(1), 108�120.
https://doi.org/10.1108/ET-12-2017-0200
Anggadwita, G., Profityo, W. B., Alamanda, D. T., & Permatasari, A. (2020). Cultural values and their implications to family business succession: A case study of small Chinese-owned family businesses in Bandung, Indonesia. Journal of Family Business Management, 10(4), 281�292. https://doi.org/10.1108/JFBM-03-2019-0017
Belkhodja, O. (2022). Managing Knowledge Resources in Family Firms: Opportunity or Challenge? Sustainability (Switzerland), 14(9). https://doi.org/10.3390/su14095087
Bell, R., & Pham, T. T. (2021). Modelling the knowledge transfer process between founder and successor in Vietnamese family businesses succession. Journal of Family Business Management, 11(4), 479�495. https://doi.org/10.1108/JFBM-03-2020-0024
Boyd, B., Royer, S., Pei, R., & Zhang, X. (2015). Knowledge transfer in family business successions: Implications of knowledge types and transaction atmospheres. Journal of Family Business Management, 5(1), 17�37. https://doi.org/10.1108/JFBM-05-2014-0009
Chirico, F. (2008a). The Creation, Sharing and Transfer of Knowledge in Family Business. Journal of Small Business & Entrepreneurship, 21(4), 413�433. https://doi.org/10.1080/08276331.2008.10593433
Gamble, J. R. (2020). Tacit vs explicit knowledge as antecedents for organizational change. In Journal of Organizational Change Management (Vol. 33, Issue 6, pp. 1123�1141). Emerald Group Holdings Ltd. https://doi.org/10.1108/JOCM-04-2020-0121
Letonja, M., & Duh, M. (2016a). Knowledge transfer in family businesses and its effects on the innovativeness of the next family generation. Knowledge Management Research and Practice, 14(2), 213�224. https://doi.org/10.1057/kmrp.2015.25
Mart�nez, A. B., Galv�n, R. S., & Palacios, T. B. (2013a). Study of factors influencing knowledge transfer in family firms. Intangible Capital, 9(4), 1216�1238. https://doi.org/10.3926/ic.405
Motoc, A. (2020). Knowledge Dynamics in Family Businesses. Management Dynamics in the Knowledge Economy, 8(2), 145�157. https://doi.org/10.2478/mdke-2020-0010
Muthuveloo, R., Shanmugam, N., & Teoh, A. P. (2017). The impact of tacit knowledge management on organizational performance: Evidence from Malaysia. Asia Pacific Management Review, 22(4), 192�201. https://doi.org/10.1016/j.apmrv.2017.07.010
Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995). The Knowledge-creating Company: How the Japanese Company Create the Dynamics of Innovation (1st ed.). Oxford University Press.
Pipatanantakurn, K., & Ractham, V. V. (2022). The Role of Knowledge Creation and Transfer in Family Firm Succession. Sustainability (Switzerland), 14(10). https://doi.org/10.3390/su14105845
Sukini. (2018). Jamu Gendong, Solusi Sehat Tanpa Obat. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tamer Cavusgil, S., Calantone, R. J., & Zhao, Y. (2003). Tacit knowledge transfer and firm innovation capability. Journal of Business & Industrial Marketing, 18(1), 6�21. https://doi.org/10.1108/08858620310458615
Tan, J. D., Supratikno, H., Pramono, R., Purba, J. T., & Bernarto, I. (2019a). Nurturing transgenerational entrepreneurship in ethnic Chinese family SMEs: exploring Indonesia. Journal of Asia Business Studies, 13(2), 294�325. https://doi.org/10.1108/JABS-04-2018-0132
Tan, J. D., Supratikno, H., Pramono, R., Purba, J. T., & Bernarto, I. (2019b). Nurturing transgenerational entrepreneurship in ethnic Chinese family SMEs: exploring Indonesia. Journal of Asia Business Studies, 13(2), 294�325. https://doi.org/10.1108/JABS-04-2018-0132
Yin, R. K. (2018). Case Study Research and Design (6th ed.).
Copyright holder: Ningky
Sasanti Munir (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |