Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

TRANSFER PENGETAHUAN TACIT DI PERUSAHAAN KELUARGA

 

Ningky Sasanti Munir

Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk memahami proses transfer pengetahuan tacit di perusahaan keluarga yang bergerak di bisnis jamu. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan studi kasus tunggal di sebuah perusahaan keluarga yang berusia lebih dari satu abad. Data terutama diperoleh melalui wawancara semi terstruktur dengan eksekutif anggota keluarga yang mewakili tiga generasi, dan eksekutif non anggota keluarga. Data lain berasal dari dokumen internal perusahaan dan sumber lain di eksternal perusahaan. Data kemudian diolah dengan menggunakan analisis isi. Hasil studi menunjukkan bahwa transfer pengetahuan tacit dilakukan melalui dua tahap sosialisasi, yaitu sosialisasi keluarga dan sosialisasi bisnis, dimana kedua tahap ini tidak tampak jelas batasnya. Pada tahap sosialisasi keluarga, para narasumber telah diperkenalkan dengan jamu tradisional dan khasiatnya sejak usia balita. Keyakinan akan khasiat jamu tradisional sejak kecil kemudian menjadi fondasi bisnis yang penting. Pada tahap sosialisasi bisnis, generasi kedua dan ketiga mengembangkan "kurikulum" yang harus diikuti oleh para penerusnya, untuk memudahkan mereka masuk dan terlibat aktif dalam bisnis keluarga.

 

Kata Kunci: transfer pengetahuan, pengetahuan tacit, bisnis keluarga, studi kasus, sosialisasi keluarga, sosialisasi bisnis.

 

Abstract

This study was conducted to understand the process of tacit knowledge transfer in a family business engaged in the traditional herbal medicine business. This research is an exploratory qualitative research using a single case study approach in a family business that is more than a century old. Data were mainly obtained through semi-structured interviews with executives of family members representing three generations, and one executive of non-family members. Other data comes from company internal documents and other sources external to the company. The data is then processed using content analysis. The results of the study show that the transfer of tacit knowledge is carried out through two stages of socialization, namely family socialization and business socialization, where the two stages are not clearly defined. At the family socialization stage, the sucessors of the business were introduced to traditional herbal medicine and its benefits from the age of toddlers. Belief in the efficacy of traditional herbal medicine since childhood later became an important business foundation. In the business socialization stage, the second and third generations develop a "curriculum" that must be followed by their successors, to make it easier for them to enter and be actively involved in the family business.

 

Keywords: knowledge transfer, tacit knowledge, family business, case study, family socialization, business socialization.

 

Pendahuluan

Pengetahuan memainkan peran penting sebagai sumber daya utama yang berkontribusi pada keberhasilan perusahaan keluarga. Oleh sebab itu penting untuk memahami bagaimana pengetahuan ini diciptakan, digunakan dan kemudian ditransfer. Sejumlah besar literatur berfokus pada transfer pengetahuan eksplisit di perusahaan, tetapi jauh lebih sedikit pada transfer pengetahuan tacit, khususnya, dalam konteks perusahaan keluarga. Hal ini dapat dipahami karena pengetahuan tacit lebih sulit untuk ditransfer; merupakan jenis pengetahuan yang tidak langsung terlihat dan tertanam dalam proses, budaya, dan hubungan dalam organisasi (Gamble, 2020; Motoc, 2020; Nonaka & Takeuchi, 1995)

Penelitian dengan perspektif berbasis pengetahuan (knowledge-based view) menunjukkan bahwa pada pengetahuan tacit ini terletak keunikan yang menjadi dasar dari keunggulan bersaing suatu perusahaan (Letonja & Duh, 2016a; Muthuveloo et al., 2017). Pada perusahaan keluarga, semangat kewirausahaan dan kemampuan mengelola jejaring sosial pendukung bisnis merupakan contoh dari pengetahuan tacit yang penting (Chirico, 2008a). Tentunya kemampuan meracik produk, membuat barang, atau memberikan jasa yang melibatkan ketekunan dan kecintaan juga merupakan contoh pengetahuan tacit yang perlu ditransfer ke penerus bisnis (Agyemang & Boateng, 2019a). Perusahaan keluarga sering kehilangan keunggulannya karena pengetahuan tacit tidak dipelihara dengan baik (Chirico, 2008b) dan tidak ditransfer ke generasi penerus (Belkhodja, 2022; Mart�nez et al., 2013a). Untuk itu, penelitian ini difokuskan pada transfer pengetahuan di antara anggota keluarga dalam suatu bisnis keluarga. Secara khusus, bagaimana pengetahuan tacit ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Konteks penelitian ini adalah perusahaan jamu atau jamu tradisional milik keluarga di Indonesia. Kata "jamu" berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu jampi atau usodo. Jampi atau usodo memiliki arti penyembuhan menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa (Sukini, 2018). Pengertian jamu menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/Menkes/Per/I/ mengenai Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan, adalah "bahan atau ramuan yang berupa tumbuhan, bahan hewani, bahan mineral, galenik, atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara historis telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat digunakan untuk pengobatan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat" (Sukini, 2018). Di Indonesia, bukti kebiasaan meracik jamu tradisional untuk tujuan kesehatan dapat ditemukan pada pahatan di Candi Borobudur pada tahun 722 Masehi (Sukini, 2018).

Statistik Indonesia (SI) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 85,365% atau sekitar 106 juta orang yang tinggal di pulau Jawa Indonesia memiliki kebiasaan mengobati penyakitnya sendiri, antara lain dengan pengobatan herbal tradisional. Sebanyak 67,543% atau sekitar 84 juta orang di pulau Jawa memilih jamu dibandingkan dengan olahraga rutin untuk menjaga kesehatannya. Pada saat pandemi melanda Indonesia pada tahun 2020 dan 2021, penjualan jamu meningkat hingga 400%. Kegiatan komersial membuat dan memasarkan jamu dikelompokkan dalam Industri Obat Tradisional (IOT) dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) obat tradisional (UMKM OT). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat jumlah IOT di Indonesia adalah 129 dan UMKM OT 672. IOT yang dikelola UMKM, memiliki dampak sosial ekonomi yang besar sehingga sangat layak diberi kesempatan dan difasilitasi untuk berkembang.

Hampir semua perusahaan jamu tradisional, besar dan kecil, adalah bisnis keluarga. Hal ini disebabkan kebiasaan meramu jamu oleh sosok ibu dimaksudkan untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit anggota keluarga. Resep jamu tradisional yang biasa dikonsumsi oleh satu keluarga hanya diketahui oleh anggota keluarga tersebut dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Saat ini, hanya kurang dari empat perusahaan jamu tradisional berkembang menjadi perusahaan besar, modern dan menguntungkan dengan keluarga pendiri tetap menjadi pemegang saham terbesar dan menjabat sebagai eksekutif kunci. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana cara pengetahuan tacit ditransfer dari satu generasi ke generasi (penerus) selanjutnya dalam sebuah bisnis keluarga yang bergerak di bisnis pembuatan dan pemasaran produk jamu.

Perspektif perusahaan berbasis sumber daya (resource-based view) melihat keluarga sebagai sumber daya yang berkontribusi terhadap keberhasilan perusahaan (Belkhodja, 2022). Pandangan ini melihat bahwa mempekerjakan anggota keluarga merupakan keuntungan bagi perusahaan, karena anggota keluarga cenderung lebih mendedikasikan dirinya dalam keberhasilan perusahaan (Belkhodja, 2022), bersedia bekerja lebih keras (Gamble, 2020), berkorban lebih banyak (Letonja & Duh, 2016a) dan lebih berkomitmen pada perusahaan (Muthuveloo et al., 2017). Pendekatan ini sangat cocok untuk mempelajari perusahaan keluarga, karena membantu mengidentifikasi sumber daya dan kemampuan yang membuat perusahaan keluarga yang sukses berbeda dari perusahaan non-keluarga.

Pengetahuan dipandang sebagai sumber daya paling strategis. Perspektif perusahaan berbasis pengetahuan (knowledge-based view) dari perusahaan keluarga membedakan antara pengetahuan eksplisit dan pengetahuan tacit (Nonaka & Takeuchi, 1995). Tipologi ini menyediakan kerangka kerja yang mendefinisikan pengetahuan eksplisit sebagai pengetahuan yang dapat dengan mudah ditransfer atau dikodifikasi (Nonaka & Takeuchi, 1995). Transfer pengetahuan dapat didefinisikan sebagai proses di mana sebuah organisasi menciptakan dan memelihara serangkaian rutinitas yang kompleks, kausal, ambigu dalam suatu pengaturan yang terjadi begitu saja tanpa direncanakan (Boyd et al., 2015; Mart�nez et al., 2013; Tamer-Cavusgil et al., 2003).Pengetahuan tacit lebih sulit untuk ditransfer karena merupakan jenis pengetahuan yang tidak langsung terlihat dan mungkin tertanam dalam proses, budaya, dan hubungan dalam organisasi (Gamble, 2020; Motoc, 2020; Nonaka & Takeuchi, 1995).

Suksesi dalam bisnis keluarga adalah proses yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Meneliti perusahaan keluarga dari basis sumber daya pengetahuanperlu didasarkan pada pemahaman bahwa suksesi merupakan proses jangka panjang, bukan satu peristiwa khusus (Chirico, 2008b; Mart�nez et al., 2013b). Dari perusahaan berdiri, suksesi terjadi antara lain untuk mempertahankan kekayaan dan pengaruh keluarga, dimana pengetahuan merupakan bagian dari kekayaan dan dasar dari kemampuan memberikan pengaruh atau keunggulan bersaing (Chirico, 2008b; Letonja & Duh, 2016b; Tan et al., 2019a). Meskipun pengetahuan dapat berbentuk eksplisit dan/atau tacit, pengetahuan tacitmemiliki peran penting untuk pengembangan dan pemeliharaan keunggulan kompetitif perusahaan, dan lebih penting bagi perusahaan keluarga dibandingkan perusahaan non-keluarga (Pipatanantakurn & Ractham, 2022). Pengetahuan tacit yang sering dipegang oleh pemilik dan individu kunci lainnya adalah sumber daya strategis dan lebih efektif ditransfer daripada di perusahaan non-keluarga (Bell & Pham, 2021; Pipatanantakurn & Ractham, 2022). Sejak perusahaan berdiri, pengetahuan ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya, maka penelitian harus mempertimbangkan suksesi sebagai bagian dari proses transfer pengetahuan.

Proses sosialisasi dalam suksesi bisnis keluarga meliputi transfer ilmu dari pendiri ke generasi penerus berikutnya. Penelitian oleh Pipatanantakurndan Ractham (2022) dilakukan untuk mengembangkan teori suksesi bisnis keluarga dan teori sosialisasi keluarga.Mereka mengatakan bahwa transfer pengetahuan kemungkinan terjadi di dua tahap sosialisasi: sosialisasi keluarga (dimulai pada usia yang sangat muda di lingkungan keluarga) dan sosialisasi bisnis (terjadi setelah penerus terlibat dalam bisnis dan telah diidentifikasi sebagai penerus). Transfer pengetahuan berjalan efektif antara lain ditunjukkan melalui kesuksesan perusahaan dalam hal finansial dan kesuksesan dalam hal mempertahankan anggota keluarga sebagai eksekutif kunci di perusahaan (Boyd et al., 2015).

 

Metode Penelitian

Ada setidaknya tiga alasan yang membenarkan penggunaan metode kualitatif untuk penelitian ini. Pertama, penelitian ini bersifat eksploratif karena ada keterbatasan jumlahpenelitian sebelumnya tentang bagaimana pengetahuan tacit ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya di perusahaan keluarga. Kedua, melalui penelitian ini dapat diketahui kebutuhan akan informasi kontekstual yang komprehensif, yang dikaitkan dengan orientasi kualitatif. Misalnya, seperti disampaikan oleh (Anggadwita et al., 2020; Tan et al., 2019b) Nonaka dan Takeuchi (1995), Cavusgil, et al. (2003), dan Chirico (2008), perlu untuk memahami arti, tujuan, dan inspirasi di balik transfer pengetahuan tacit untuk menghargai sifat transfer pengetahuan tacit di perusahaan keluarga. Terakhir, alasan yang lebih praktis namun tetap melekat pada pendekatan kualitatif adalah konteks bisnis keluarga jamu tradisional berbasis tradisi yang berlokasi di Pulau Jawa, Indonesia (Anggadwita, et al. 2020; Tan, et al., 2019). Ada sejumlah besar bisnis keluarga yang berlokasi di wilayah ini tetapi sangat sedikit yang mampu berkembang menjadi perusahaan besar dan moderen dengan berbagai produk, serta tetap dimiliki dan dikelola oleh keluarga pendiri.

Studi kasus dipilih untuk penelitian ini. Yin (2017) mendefinisikan studi kasus sebagai penyelidikan empiris yang menyelidiki fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata. Studi kasus eksploratif tunggal digunakan karena fokus penelitian ini adalah untuk menyelidiki secara mendalam proses transfer pengetahuan tacit dalam transfer antar generasi perusahaan keluarga, dengan pendekatan yang ditujukan untuk menjelaskan bagaimana, kapan, dan pengetahuan tacit apa yang ditransfer selama suksesi. proses, dari perspektif generasi tua dan penerus atau generasi berikutnya (Boyd et al., 2015; Tamer-Cavusgil et al., 2003; Yin, 2018).

Desain penelitian melibatkan satu studi kasus dengan data yang dikumpulkan melalui wawancara dan studi dokumen. Studi ini melibatkan pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka yang terperinci dalam wawancara terstruktur dengan generasi yang lebih tua dan penerus dari satu perusahaan. Dokumen tersebut digunakan untuk memverifikasi pernyataan (terutama tentang sejarah perusahaan, tanggal penting dan peristiwa penting) yang dibuat oleh para narasumber (partisipan) yang diwawancarai.

Narasumber dalam penelitian ini berasal dari satu perusahaan jamu tradisional berskala menengah yang telah menggunakan pendekatan modern dalam memproduksi jamu. Perusahaan ini telah berusia lebih dari satu abad, tepatnya berdiri pada tahun 1910 dan merupakan perusahaan jamu komersial tertua di Indonesia. Keturunan langsung dari pendiri masih memiliki penuh dan mengelola perusahaan sebagai eksekutif. Produknya sudah lama dikenal masyarakat. Dalam 10 tahun terakhir tidak ada perubahan nama merek, dan masih aktif mengeluarkan produk-produk baru hampir setiap tahun. Walau terkena dampak pandemi, situasi keuangan perusahaan pada tiga tahun terakhir tidak dalam kondisi merugi. Atas permintaan narasumber dan relevansi tujuan penelitian, nama identitas perusahaan tersebut hanya diberi kode, yaitu "JIJ."

Jumlah partisipan penelitian ini adalah sembilan orang yang terdiri dari delapan orang anggota keluarga dan satu orang profesional bukan anggota keluarga yang telah sangat lama bekerja di perusahaan JIJ dan mengenai dua generasi keluarga. Pemilihan partisipan dalam penelitian ini antara lain didasarkan pada penguasaan atas pengetahuan tacit dan pengalaman menerima dan/atau mentransfer pengetahuan tacit. Narasumber generasi kedua telah berusia di atas 70 tahun, sementara narasumber generasi keempat masih berusia di bawah 30 tahun. Tabel 1 memberikan informasi lebih detail tentang narasumber.

 

 

 

Tabel 1

Profil Partisipan

Kode*

Nama Jabatan

Generasi

JIJ-1-2

Komisaris

2

JIJ-2-2

Komisaris (sebelumnya Direktur Utama)

2

JIJ-3-3

Direktur Utama (sebelumnya pernah menjabat sebagai Direktur Operasi, Manajer Operasi, dan Manajer Pemasaran)

3

JIJ-4-3

Direktur Operasi (sebelumnya pernah menjabat sebagai Manajer Operasi)

3

JIJ-5-3

Direktur Keuangan dan Administrasi (sebelumnya pernah menjabat sebagai Manajer Keuangan dan Manajer Pemasaran)

3

JIJ-6-3

Manajer Produk dan Pemasaran

3

JIJ-7-4

Manajer Operasi

4

JIJ-8-4

Manajer Keuangan

4

JIJ-9-0

Manajer Sumber Daya Manusia

Bukan keluarga

*Keterangan: JIJ-1-2 = nama perusahaan-partisipan no 1-asal generasi ke 2

 

Data dan informasi dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara semi tersrtuktur, dokumen internal perusahaan, dan dokumen yang berasal dari sumber eksternal perusahaan. Pemilihan generasi yang lebih tua dan penerusnya untuk wawancara, ditentukan setelah permintaan dan tinjauan dokumentasi dari perusahaan memverifikasi bahwa penerus dan perusahaan memenuhi parameter yang ditetapkan untuk pemilihan orang yang diwawancarai.

Wawancara dilakukan pada tahun 2018 dan 2019 sebelum pandemi melanda Indonesia. Sempat terhenti selama beberapa waktu karena kendala di internal perusahaan yang dihadapi oleh para narasumber. Wawancara kembali dilakukan secara daring pada tahun 2021. Setelah data dan informasi terkumpul, dilakukan analisis isi dan interpretasi dengan memanfaatkan kajian berbagai literatur yang ada. Hasil interpretasi kemudian ditinjau oleh narasumber dan alternatif interpretasi dieksplorasi bersama peneliti.

Perlu disadari bahwa transfer pengetahuan tacit dalam konteks ini sebenarnya adalah proses yang berkembang sudah lama dan tentunya akan membutuhkan metodologi longitudinal untuk mengukur kapan dan bagaimana pengetahuan ditransfer. Oleh sebab itu sesuai studi oleh, Tamer-Cavusgil, et al. (2003), Chirico (2008), Martinez, et al. (2013), Boyd, et al. (2015), serta Letonja dan Duh (2016) studi ini dibatasi oleh persepsi dan ingatan penerus tentang proses masa lalu untuk memperoleh atau menyadari pengetahuan ini pada waktu tertentu dalam sejarah perusahaan mereka.

Pengetahuan tacit seperti disebutkan sebelumnya, adalah pengetahuan yang belum diekspresikan (Nonaka & Takeuchi, 1995).Studi ini dibatasi oleh sifat pengetahuan tacit dan pemahaman anggota bisnis keluarga yang khas tentang pengetahuan tacit. Narasumber mungkin mengingat pemahaman mereka tentang pengetahuan tertentu di bisnis keluarganya. Misalnya prosedur meracik produk (jamu) tertentu). Tetapi mungkin memang hal itu disebabkan karena narasumber telah memiliki pengetahuan tacit sebelum mereka menyadari memilikinya (Agyemang & Boateng, 2019b; Bell & Pham, 2021; Boyd et al., 2015; Pipatanantakurn & Ractham, 2022).

Penelitian ini membatasi studi kasus pada perusahaan keluarga jamu tradisional berskala menengah. Kajian ini tidak memperhitungkan demografi Pulau Jawa di Indonesia. Wilayah ini memiliki keragaman etnis, dengan etnis Jawa, Tionghoa-Jawa, dan Sunda sebagai etnis terbesar. Studi ini tidak akan mempertimbangkan apakah narasumber sebagai partisipan penelitian adalah generasi pertama, kedua, ketiga, atau lebih.

 

Hasil dan Pembahasan

Penjelasan tentang proses transfer pengetahuan tacit akan mengikuti dua tahap sosialisasi yang disarankan oleh (Pipatanantakurn dan Ractham, (2022): sosialisasi keluarga dan sosialisasi bisnis. Cukup sulit untuk membedakan kedua fase tersebut, karena dalam penelitian ini sosialisasi bisnis juga terjadi ketika penerusnya masih berusia sangat muda. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa perusahaan telah dikelola oleh empat generasi. Dimana generasi kedua dan ketiga sengaja mempersiapkan para penerusnya dan sejak usia yang sangat muda para penerus sudah memahami bahwa keluarga menjalankan usaha jamu tradisional dan suatu saat akan meneruskan usaha keluarga tersebut. Sebagian kutipan pernyataan narasumber:

JIJ-1-2 " Saya tahu, semua juga tahu, tetangga, kenalan, kita semua ini keluarga jamu, pengusaha jamu.."

JIJ-2-2 "....ya mustinya ikut jalankan usaha, ini kan sudah turun-temurun, kita kasih tahu ke anak-anak, cucu, semua..."

JIJ-5-3 " Iya dikasih tahu oleh orang tua, kakek juga, kalau kita ini keluarga jamu. Tapi tidak diberitahu juga sudah ngerti, lha wong di rumah penuh dengan dagangan jamu, banyak orang datang ambil dagangan..."

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap sosialisasi keluarga terdiri dari dua bagian, dimana narasumber belajar tentang jamu dan kegunaannya, dan bagian dimana penerus memahami bahwa ia adalah bagian dari bisnis jamu tradisional. Narasumber sudah dikenalkan dengan produk dan khasiat herbal sejak usia sangat muda, bahkan ada yang sejak masih balita. Keluarga mengkonsumsi jamu tradisional secara rutin, tidak hanya sebagai kebiasaan dalam keluarga, tetapi juga merupakan bagian dari tradisi keluarga etnis Jawa. Tokoh penting yang sering disebut sebagai orang yang menyiapkan atau memberikan jamu tradisional adalah nenek dan ibu. Sebagian kutipan pernyataan narasumber:

JIJ-3-3 "Mama saya diajari sama oma bikin jamu. Setiap hari saya dan adik-adik minum jamu.....dari kecil, dari TK (penulis: taman kanak-kanak) mungkin ya.."

JIJ-4-3 "Di rumah mama yang bikin jamu, kadang-kadang cici (penulis: kakak perempuan) juga. Habis sarapan dikasih minum (jamu)"

JIJ-7-4 "Saya bisa buat jamu, macam-macam (jamu) beras kecur, lempuyang, sinom, pahitan, uyup-uyup, ya macam-macam.....kita semua bisa membuatnya. Diajari mama dan oma"

 

Narasumber dari generasi kedua mengatakan bahwa keyakinan akan khasiat jamu tradisional merupakan fondasi penting dari bisnis ini. Itulah mengapa sangat penting untuk membangun kepercayaan yang sama pada penerusnya. Hal ini dilakukan tidak hanya dengan menjaga kebiasaan minum jamu tradisional di rumah, tetapi juga secara aktif mendorong masyarakat untuk terus meminum jamu tradisional. Sebagian kutipan pernyataan narasumber:

JIJ-2-2 "Dari kecil kita tidak pernah ke dokter, soalnya tidak pernah sakit parah. Ya karena jamu itu. Kalau sakit juga dikasih jamu. Papa saya dan saya juga sering bagi-bagi jamu ke tetangga dan kenalan. Tidak sekedar bagi-bagi, kita juga kasih tahu jenis jamu dan manfaatnya"

JIJ-9-0 "Keluarga ini memang suka bagi-bagi jamu. Kadang-kadang suka juga di rumah mereka buka tempat minum jamu, gratis. Karyawan baru wajib belajar mengenai jenis dan khasiat jamu, walau pekerjaannya mungkin tidak terkait dengan produksi atau marketing"

JIJ-4-3 " Saya kuliah di luar (negeri), sering dibawakan jamu, padahal sulit kan melewati pemeriksaan di airport. Akhirnya saya cari saja bahan-bahannya di pasar setempat, dan tetap meneruskan kebiasaan minum jamu. Kalau tidak enak badan juga minum jamu......istri saya juga saya suruh minum jamu"

JIJ-7-4 "Iya saya tahu berbagai jenis jamu, cara membuat, dan manfaatnya. Sepertinya semua (saudara) juga tahu"

Semakin narasumber bertambah usia semakin banyak yang mereka pelajari tentang berbagai jenis jamu, ramuan, khasiat, cara pembuatan dan cara penyajiannya. Menariknya, meski ada perbedaan jenis jamu yang digunakan antar generasi, semua narasumber secara konsisten mengingat satu jamu yang disebut "jamu-cekok." Sebenarnya ini bukan jenis jamu, melainkan cara menyiapkan dan mengonsumsinya: aneka jamu dibungkus kain halus, dicelupkan ke dalam air hangat, lalu diperas untuk dituang sarinya langsung ke mulut anak. Minum jamu dengan cara ini adalah praktik umum di antara etnis Jawa. Tak heran jika semua narasumber akrab dengan praktik ini karena mereka lahir dan besar di pulau Jawa. Narasumber dari generasi yang lebih tua mengatakan bahwa praktik memaksa anak-anak untuk minum jamu tradisional atau �cekok� menunjukkan bahwa orang tua sangat percaya akan khasiat jamu tradisional.

Semua narasumber menyatakan bahwa mereka mengenal bisnis jamu sejak usia sangat muda. Awalnya karena kegiatan produksi jamu lebih banyak dilakukan di rumah saat ibu dari generasi kedua atau nenek generasi ketiga masih ada. Kemudian para narasumber sering mengunjungi pabrik yang kebanyakan dilakukan saat liburan sekolah. Ayah atau paman mereka menunjukkan proses produksi, membiarkan mereka bermain di gudang bahan baku, mengunjungi pasar dan pedagang yang menjual bahan baku, dan mengunjungi pasar tradisional yang menjual produk perusahaan keluarga.

Semua narasumber ingat bahwa kebanyakan orang yang mereka temui berlaku sopan, bukan hanya karena tradisi etnis, tetapi juga karena status penerus (anak-anak pemilik). Setelah setiap kunjungan, biasanya generasi yang lebih tua akan menjelaskan siapa yang telah bertemu dengan para penerus. Para narasumber ingat bahwa itu adalah cara generasi tua mengajari mereka bagaimana menangani hubungan pribadi versus bisnis. Dari sini tampak bahwa sosialisasi bisnis telah dilakukan sebelum generasi penerus benar-benar memasuki bisnis.

Semua narasumber dari generasi kedua mengaku rutin membawa penerusnya untuk mengunjungi acara promosi jamu yang dilakukan perusahaan, juga kegiatan belanja bahan. Nantinya, para penerus ditugaskan untuk bertanggung jawab atas peristiwa serupa. Sebagian kutipan pernyataan narasumber:

 

JIJ-6-3 "Ketika masih di SMP, hampir setiap tahun kalau ada acara bazaar saya menjaga kios jamu keluarga. Belajar berani berbicara......, juga jadi ngerti kalau jamu bersalin ya jangan saya yang ngomong... Waktu di SMU bahkan saya mempersiapkan dan menjaga kios jamu kami di SMU lain...."

JIJ-8-4 "Saya jaga kios mulai kelas lima SD, tapi belanja bahan baku baru ikut setelah kuliah. Pernah salah belanja bahan juga, tampilan sama tetapi jenis beda. Juga bahan yang kering dan basah, yang sudah dirajang (penulis: dipotong kecil-kecil atau diiris tipis) dan yang utuh....jadi tahu"

JIJ-9-0 "Setiap libur sekolah, anak-anak selalu ikut kegiatan perusahaan. Awalnya lebih bayak main, tapi setelah SMU dan kuliah mulai dikasih tanggung jawab oleh orang tuanya atau pamannya"

 

Sejak di bangku SMA, semua narasumber menyampaikan bahwa mereka mulai menghadiri pertemuan formal keluarga yang khusus membicarakan bisnis, dan pertemuan bisnis dengan berbagai pihak. Biasanya mereka hanya diam dan mendengarkan pembicaraan. Setelah pertemuan, narasumber ingat bahwa ayah atau paman mereka meminta mereka untuk memberikan evaluasi mengenai pertemuan, meminta pendapat mereka, dan memberi mereka �pelajaran untuk dipelajari.� Beberapa narasumber mengingat bahwa beberapa pertemuan bisnis tidak berjalan dengan baik dan sangat tegang. Saat itulah waktunya mereka belajar bagaimana keluarga, kebanyakan ayah atau paman menangani situasi secara efektif atau tidak efektif. Sebagian kutipan pernyataan narasumber:

JIJ-1-2 " Dulu kita masuk bisnis ya nyemplung saja, sekarang nggak begitu. Anak-anak kita ajak lihat bisnis dan kita ajak ikut rapat biar ngerti"

JIJ-2-2 "...... belajar dari banyak orang. ...... beli bahan dari banyak orang ya. .... dibantu banyak orang. ..... perlu orang lain. Maksud saya, bisnis kita itu tergantung dari hubungan baik dengan berbagai pihak ya. Jadi kita tunjukkan cara pelihara hubungan baik"

JIJ-6-3 " ....papa ajak diskusi, om juga ajak diskusi, koko (penulis: kakak laki-laki) juga... hampir setiap selesai bertemu orang lain...selesai rapat. Kadang saya tanya juga..."

 

Sebagian narasumber meninggalkan aktivitas bisnis keluarga untuk sementara saat memasuki perguruan tinggi. Dari tujuh narasumber, tiga di antara generasi ketiga melanjutkan pendidikan ke luar negeri, sedangkan selebihnya menempuh pendidikan di dalam negeri namun di provinsi yang berbeda dengan tempat tinggal orang tuanya. Selama kuliah, mereka masih mengikuti perkembangan bisnis keluarga, juga mengunjungi pameran atau terlibat dalam kegiatan bisnis yang berhubungan dengan jamu tradisional. Orang tua terutama bapak dan paman sering membahas apa yang dipelajari di bangku kuliah yang bisa diterapkan di perusahaan.

Narasumber juga menyampaikan bahwa setelah kuliah, tidak semua anak dari keluarga pemilik menjadi aktif dalam bisnis. Ada yang menikah dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga, ada juga anak-anak yang memutuskan untuk meniti karir di bidang lain yang tidak ada hubungannya dengan jamu tradisional. Narasumber dari generasi kedua bersikeras bahwa jika anak-anak ingin mengembangkan karir di bidang jamu tradisional, satu-satunya tempat adalah di bisnis keluarganya, bukan di perusahaan sejenis lainnya. Narasumber juga mengakui bahwa tidak semua anak tertarik dengan bisnis keluarga. Jika anak-anak tidak menunjukkan minat pada bisnis, narasumber dari generasi yang lebih tua juga merasa kurang termotivasi untuk melatih anak-anak.

Narasumber dari generasi kedua mengatakan bahwa sejak SMA ayah dan/atau paman telah mengatakan secara formal bahwa mereka diharapkan untuk bergabung dengan bisnis keluarga. Sementara narasumber dari generasi ketiga mengaku belum pernah mendengar adanya pernyataan resmi dari pihak keluarga bahwa mereka harus bergabung, namun sudah mengetahui bahwa pada akhirnya mereka diharapkan bergabung dengan bisnis tersebut. Studi dari Anggadwita, et al. (2020) dan Tan, et al. (2020) menunjukkan bahwa pada keluarga keturunan Tionghoa, seringkali laki-laki lebih diharapkan untuk bergabung dengan bisnis keluarga. Dalam kasus JIJ generasi kedua menyampaikan bahwa laki-laki memang diharapkan masuk bisnis keluarga, oleh sebab itu tidak ada satupun anggota keluarga perempuan generasi kedua yang bergabung atau pernah bergabung dalam bisnis. Hal ini berbeda dengan generasi ketiga, dimana tidak ada perbedaan tegas atas harapan pada anak laki-laki dan anak perempuan di keluarga. Dalam kenyataannya dua orang eksekutif setingkat direktur kebetulan perempuan, dan menduduki posisinya karena mempunyai latar belakang pendidikan yang sangat relevan dengan pengembangan produk serta keuangan.

Usai kuliah, para narasumber generasi ketiga mengatakan harus mengikuti serangkaian pelatihan informal. Para peserta dari generasi yang lebih tua mengatakan bahwa mereka memiliki semacam �kurikulum� untuk melatih anak-anak tentang bisnis. Ini adalah bagian dari pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman mereka sendiri sebagai penerus bisnis. Meski tidak semua peserta dari generasi tua setuju, dua di antaranya mengatakan bahwa kurikulum yang terstruktur akan membantu memudahkan penerus masuk dan mengambil alih bisnis.

JIJ-1-2 "Saya dulu diajak sama pendiri. Ya diajak begitu saja. Apa saja belajar sendiri. Sekarang kita lebih teratur ya. Kita sudah pikirkan, anak-anak perlu belajar apa saja"

JIJ-2-2 "Anak-anak biasanya dikenalkan dulu sama proses produksi. Soalnya lebih gampang.

 

Selain memastikan pengetahuan-pengetahuan yang sudah dimiliki di teruskan ke para penerus, narasumber kini juga mengirimkan penerus untuk belajar ke perusahaan lain milik teman keluarga atau meminta eksekutif senior di perusahaan untuk melatih penerus. Aksi ini tidak termasuk dalam transfer pengetahuan, melainkan akuisisi pengetahuan baru, yang nantinya dengan pengetahuan yang sudah ada diharapkan dapat menghasilkan pengetahuan baru seperti cara kerja yang lebih efisien, produk baru, atau cara melakukan pemasaran dengan lebih efektif.

 

Kesimpulan

Pengetahuan tacit ditransfer dari satu generasi ke generasi selanjutnya dalam sebuah bisnis keluarga yang bergerak di bisnis pembuatan dan pemasaran produk jamu melalui tahap sosialisasi keluarga dan sosialisasi bisnis. Dalam kenyataan, kedua tahap ini sulit dibedakan dengan jelas dan tegas.

Pada tahap sosialisasi keluarga, anggota keluarga memahami bahwa mereka berbeda dengan keluarga lain, mereka adalah bagian dari keluarga yang mampu membuat berbagai macam jamu dan mempunyai kebiasaan mengkonsumsi jamu karena rutinitas, serta percaya pada khasiatnya. Keyakinan akan khasiat jamu tradisional dipandang sebagai salah satu fondasi penting dari sebuah bisnis yang dikembangkan sejak kecil. Jadi pada tahap ini, pengetahuan yang ditransfer antara lain adalah jenis jamu, cara membuat jamu, pengenalan bahan-bahannya, khasiat, dan bagaimana meyakinkan orang lain akan khasiat jamu.

Selanjutnya, tahap sosialisasi keluarga seolah melebur dengan tahap sosialisasi bisnis. Di tahap ini pengetahuan tentang bisnis keluarga dan bagaimana membangun hubungan yang dilakukan melalui kunjungan ke pabrik, pemasok, pengecer, dan pengenalan kepada pihak-pihak terkait. Saat para penerus masih anak-anak, kegiatan yang sama dilakukan sebagai bagian dari pengisi waktu liburan, dimana hal ini sebenarnya merupakan sosialisasi keluarga. Ketika para penerus sudah lebih dewasa, kegiatan ini menjadi sosialisasi bisnis.

Setelah kunjungan dan perkenalan, seringkali ayah atau paman akan membicarakan pengalaman tersebut. Anggota keluarga yang sudah duduk di SMU menghadiri pertemuan bisnis untuk mempelajari lebih lanjut tentang bisnis jamu keluarganya. Pada tahap ini, diskusi setelah sesi dengan ayah atau paman masih dilakukan.

Belajar dari pengalaman pribadi, generasi kedua mengembangkan �kurikulum� yang harus diikuti oleh para penerus untuk memudahkan mereka masuk dan terlibat aktif dalam bisnis. Adanya kurikulum ini membuat transfer pengetahuan dapat dilakukan secara lebih sistematis. Para penerus memperoleh pengetahuan melalui komunikasi secara lisan, mendapatkan dan memperhatikan contoh-contoh, mencoba mengimplementasikan, mendiskusikan hasil dengan pendahulu baik secara formal maupun informal, dan kembali mempraktekkan hasil belajarnya. Khusus untuk generasi ketiga,sudah terjadi kombinasi antara pengetahuan tacit yang dimilikinya dari internal bisnis keluarga, dengan akuisisi pengetahuan dari eksternal pengalaman bekerja di perusahaan lain atau kerja sama dengan perusahaan lain.

Setelah studi eksploratif ini, studi lebih lanjut yang diperlukan adalah studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas transfer pengetahuan tacit dalam bisnis keluarga jamu tradisional. Selain itu, untuk meningkatkan pemahaman tentang transfer pengetahuan tacit, perlu dikaji lebih lanjut apakah proses transfer pengetahuan tacit dalam bisnis keluarga mengikuti pola spiral seperti yang ditunjukkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) dengan siklus SECI (Socialization-Externalization-Combination-Internalization) yang tidak saja mentransfer pengetahuan dari satu pihak ke pihak lain, juga memperkaya dan menghasilkan pengetahuan baru sebagai dasar keunggulan bersaing perusahaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agyemang, F. G., & Boateng, H. (2019a). Tacit knowledge transfer from a master to an apprentice among hairdressers. Education and Training, 61(1), 108�120. https://doi.org/10.1108/ET-12-2017-0200

 

Anggadwita, G., Profityo, W. B., Alamanda, D. T., & Permatasari, A. (2020). Cultural values and their implications to family business succession: A case study of small Chinese-owned family businesses in Bandung, Indonesia. Journal of Family Business Management, 10(4), 281�292. https://doi.org/10.1108/JFBM-03-2019-0017

 

Belkhodja, O. (2022). Managing Knowledge Resources in Family Firms: Opportunity or Challenge? Sustainability (Switzerland), 14(9). https://doi.org/10.3390/su14095087

 

Bell, R., & Pham, T. T. (2021). Modelling the knowledge transfer process between founder and successor in Vietnamese family businesses succession. Journal of Family Business Management, 11(4), 479�495. https://doi.org/10.1108/JFBM-03-2020-0024

 

Boyd, B., Royer, S., Pei, R., & Zhang, X. (2015). Knowledge transfer in family business successions: Implications of knowledge types and transaction atmospheres. Journal of Family Business Management, 5(1), 17�37. https://doi.org/10.1108/JFBM-05-2014-0009

 

Chirico, F. (2008a). The Creation, Sharing and Transfer of Knowledge in Family Business. Journal of Small Business & Entrepreneurship, 21(4), 413�433. https://doi.org/10.1080/08276331.2008.10593433

 

Gamble, J. R. (2020). Tacit vs explicit knowledge as antecedents for organizational change. In Journal of Organizational Change Management (Vol. 33, Issue 6, pp. 1123�1141). Emerald Group Holdings Ltd. https://doi.org/10.1108/JOCM-04-2020-0121

 

Letonja, M., & Duh, M. (2016a). Knowledge transfer in family businesses and its effects on the innovativeness of the next family generation. Knowledge Management Research and Practice, 14(2), 213�224. https://doi.org/10.1057/kmrp.2015.25

 

Mart�nez, A. B., Galv�n, R. S., & Palacios, T. B. (2013a). Study of factors influencing knowledge transfer in family firms. Intangible Capital, 9(4), 1216�1238. https://doi.org/10.3926/ic.405

 

Motoc, A. (2020). Knowledge Dynamics in Family Businesses. Management Dynamics in the Knowledge Economy, 8(2), 145�157. https://doi.org/10.2478/mdke-2020-0010

 

Muthuveloo, R., Shanmugam, N., & Teoh, A. P. (2017). The impact of tacit knowledge management on organizational performance: Evidence from Malaysia. Asia Pacific Management Review, 22(4), 192�201. https://doi.org/10.1016/j.apmrv.2017.07.010

 

Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995). The Knowledge-creating Company: How the Japanese Company Create the Dynamics of Innovation (1st ed.). Oxford University Press.

 

Pipatanantakurn, K., & Ractham, V. V. (2022). The Role of Knowledge Creation and Transfer in Family Firm Succession. Sustainability (Switzerland), 14(10). https://doi.org/10.3390/su14105845

 

Sukini. (2018). Jamu Gendong, Solusi Sehat Tanpa Obat. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Tamer Cavusgil, S., Calantone, R. J., & Zhao, Y. (2003). Tacit knowledge transfer and firm innovation capability. Journal of Business & Industrial Marketing, 18(1), 6�21. https://doi.org/10.1108/08858620310458615

 

Tan, J. D., Supratikno, H., Pramono, R., Purba, J. T., & Bernarto, I. (2019a). Nurturing transgenerational entrepreneurship in ethnic Chinese family SMEs: exploring Indonesia. Journal of Asia Business Studies, 13(2), 294�325. https://doi.org/10.1108/JABS-04-2018-0132

 

Tan, J. D., Supratikno, H., Pramono, R., Purba, J. T., & Bernarto, I. (2019b). Nurturing transgenerational entrepreneurship in ethnic Chinese family SMEs: exploring Indonesia. Journal of Asia Business Studies, 13(2), 294�325. https://doi.org/10.1108/JABS-04-2018-0132

 

Yin, R. K. (2018). Case Study Research and Design (6th ed.).

 

Copyright holder:

Ningky Sasanti Munir (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: