Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
4, April 2024
KAJIAN NEUROSAINS TERHADAP FUNGSI NAFS DAN QOLB
PERSPEKTIF BARU DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Annisa Rahma1, Suyadi2
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia1,2
Email: [email protected]1, [email protected]2
Abstrak
Pendidikan Islam memberikan dasar moral dan etika yang
kuat. Melalui ajaran agama, individu diajarkan nilai-nilai seperti kejujuran,
kesabaran, keadilan, dan belas kasihan. Konsep Mujahadah, atau usaha keras
untuk mengendalikan hawa nafsu, adalah bagian integral dari ajaran Islam.
Pendidikan Islam mengajarkan bahwa pengendalian diri adalah kunci untuk
mengelola Nafs yang cenderung kepada keinginan negatif. Individu diajarkan
untuk mengatasi godaan dan menempatkan ketaatan kepada Allah di atas keinginan
pribadi. Pendidikan Islam mendorong praktik muhasabah, yaitu introspeksi diri.
Melalui refleksi terhadap perbuatan dan perilaku, individu dapat lebih memahami
Nafs mereka, mengidentifikasi kelemahan, dan mengambil langkah-langkah untuk
perbaikan diri. Ini membantu dalam pengelolaan Nafs dan pengembangan
spiritualitas. Ibadah dalam Islam, seperti shalat, puasa, dan dzikir, memiliki
dampak langsung pada kondisi hati (Qalb) dan pengendalian Nafs. Shalat sebagai
contoh, bukan hanya ritual formal, tetapi juga merupakan sarana komunikasi
langsung dengan Allah yang dapat memberikan ketenangan dan kekuatan untuk
mengelola Nafs. Neurosains atau disebut ilmu syaraf merupakan suatu bidang ilmu
yang dimana mempelajari sisten syaraf atau system neuron. Penelitian ini
bertujuan untuk 1) untuk mengetahui kemampuan akal dalam mengimplementasikan
nilai-nilai kesilaman 2) untuk mengetahui keselarasan ajaran agama islam dengan
akal manusia 3) untuk menguatkan bahwa ajaran islam sudah sesuai dengan akal
manusia. Jenis penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif.
Subjek penelitian terdiri kepala sekolah, guru, dan siswa. Subjek penelitian
ditentutkan berdasarkan purposive sampling. Data penelitian dikumpulkan melalui
wawancara semi-terstruktur, observasi, dan dokumentasi. Data yang terkumpul
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data induktif interaktif model
Miles dan Huberman.
Kata
kunci: Penguatan
pendidikan karakter, integritas, buku harian, SD Muhammadiyah Kadisoka
Abstract
Islamic
education provides a strong moral and ethical foundation. Through religious
teachings, individuals are taught values such as honesty, patience, justice,
and compassion. The concept of Mujahadah, or the desperate attempt to control
lust, is an integral part of Islamic teachings. Islamic education teaches that
self-control is the key to managing Nafs which tends to negative desires.
Individuals are taught to overcome temptation and place obedience to God above
personal desires. Islamic education encourages the practice of muhasabah, which
is self-introspection. Through reflection on actions and behaviors, individuals
can better understand their Nafs, identify weaknesses, and take steps for
self-improvement. It helps in the management of Nafs and the development of
spirituality. Worship in Islam, such as prayer, fasting, and dhikr, has a
direct impact on the state of the heart (Qalb) and the control of Nafs. Prayer
for example, is not only a formal ritual, but also a means of direct
communication with Allah that can provide calm and strength to administer Nafs.
Neuroscience or called neuroscience is a field of science which studies the
nervous system or neuron system. This study aims to 1) to determine the ability
of reason to implement the values of darkness 2) to know the harmony of Islamic
religious teachings with human reason 3) to strengthen that Islamic teachings
are in accordance with human reason. This type of research is a case study with
a qualitative approach. The subjects of the study consisted of principals,
teachers, and students. The subjects of the study were determined based on
purposive sampling. The research data were collected through semi-structured
interviews, observation, and documentation. The collected data was analyzed
using the interactive inductive data analysis technique of the Miles and
Huberman model.
Keywords:
Strengthening character education, integrity, diary, SD Muhammadiyah Kadisoka
Pendahuluan
Neurosains atau disebut ilmu syaraf merupakan suatu bidang ilmu yang dimana mempelajari sisten syaraf atau system neuron (Noor, 2018). Secara filosofis, hakikat pendidikan adalah optimalisasi seluruh potensi (kecerdasan) manusia. Seluruh potensi manusia berpusat pada otaknya. Ilmu yang mempelajari otak adalah neurosains. Oleh karena itu, pendidikan perlu memasukkan neurosains ke dalam praktis pembelajaran (Suyadi, 2019). Nafs dan qalb juga harus berjalan beriringan, terutama dalam hal pengajaran. Jika tidak harmonis maka pola kehidupan individu, khususnya siswa akan terganggu. Pendidikan adalah suatu cara yang dilakukan secara terstruktur untuk meningkatkan derajat seseorang dalam suatu aspek kehidupan. Ini karena Pendidikan Sesekali Dilanjutkan sebagai respons terhadap perubahan sosial dan budaya (Suyadi, 2019). Pendidikan Islam adalah program yang mempersiapkan peserta didik untuk mempelajari, memahami dan menghayati agama Islam. Saling menghormati agama lain dan interaksi antarumat beragama menciptakan persatuan bangsa. Sebagaimana diketahui, pembahasan tentang akal (Aql) lebih banyak dalam pendidikan Islam. Ini karena belum dikaitkan dengan otak dalam ilmu saraf. Tentang hal ini, Taufiq Pasiak (2012), dengan tegas menyatakan bahwa “Apapun istilah yang digunakan (baik ‘Aql, Qolb, Nafs, maupun Ruh), semuanya menjadi tak bermakna sama sekali ketika tidak dihubungkan dengan “otak” manusia sebab makna istilah-istilah di atas mempunyai basis neurobiologis yang terdapat di otak manusia”(Pasiak, 2012). Menurut Suyadi (Suyadi, 2019), “Kesatuan otak, akal, hati, jiwa dan pikiran (‘Aql,-Qolb, Nafs dan Ruh). Berbeda dengan pembahasan dikotomi (otak/pikiran), (jiwa/badan), serta (jasmani/ruhani) sebagaimana disebutkan diatas, dalam konteks pendidikan Islam (termasuk spiritualitas manusia), banyak istilah serupa yang semakin membingungkan. Istilah-istilah tersebut adalah ‘Aql (akal), Qolb (hati), Nafs (nafsu kehendak), dan Ruh (ruh). Selama ini berbagai istilah tersebut dipahami sama meskipun dalam konteks yang berbeda tetapi dipakai dalam konteks yang sama. Sebagian besar orangmemisahkan berbagai istilah tersebut dengan “otak”. Mereka memandang “otak” berbeda sama sekali bahkan tidak ada hubungannya dengan ‘Aql, Qolb, dan Ruh” (Suyadi, 2019). Salah satu keterkaitan agama dan sains, ialah otak dalam kajian neurosains dan qalb dalam ilmu tasawuf dalam agama Islam. Antara otak dan qalb, keduanya menjadi bagian sistem terpenting dalam diri manusia. Berawal dari sabda Rasulullah Saw. “Sesungguhnya di dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh menjadi baik, dan ia adalah qalb” (HR. Bukhari dan Muslim) (Azmi, 2022). Sedangkan qalb, dalam ilmu tasawuf dibahas lengkap oleh Imam Al-Ghazali dalam beberapa kitab karangannya, terutama dalam Ihya Ulumuddin dengan Bab Ajaib al-qalb. Menurutnya, qalb mempunyai arti jasmani/fisik yakni jantung yang berdetak memompa darah ke seluruh tubuh. Qalb juga diartikan secara ruhani sebagai lathaif ruhaniah rabbaniah (sesuatu yang lembut yang bersifat ruhaniah dan dimensi ketuhanan)
(Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin 2, 2016:428-429) Saling menghormati agama lain dan interaksi antarumat beragama menciptakan persatuan bangsa. Sebagaimana diketahui, pembahasan tentang akal (Aql) lebih banyak dalam pendidikan Islam. Ini karena belum dikaitkan dengan otak dalam ilmu saraf (Muhimmah & Suyadi, 2020).
Banyak penelitian telah mengkaji tentang Kajian Neurosains Terhadap Fungsi Nafs Dan Qolb Perspektif Baru Dalam Pendidikan Islam. Muhammad Nasruddin dan Abdul Muiz (Nasruddin & Muiz, 2018) meneliti tentang keterkaitan antara otak menurut neurosains dan qalb menurut Al-Ghazali menghasilkan dua garis besar. Pertama, neurosain memandang qalb sebagai 49 Al-Ghazali, Membawa Hati Menuju Ilahi, h. 105- 106. 50 Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Rahasia Keajaiban Hati (Surabaya: Mahkota, n.d.), h. 70-71. 51 Pasiak, Tuhan Dalam Otak Manusia, h. 34-35. Muhammad Nasruddin, Abdul Muiz Tinjauan Kritis Neurosains Terhadap Konsep Qalb Menurut Al-Ghazali Syifa al-Qulub 4, 2 (Januari 2020) 70-87 86 bagian dari otak manusia. Berdasarkan beberapa persamaan fungsional seperti sama-sama menerima informasi, kecerdasan ruhaniah/qalbiah, spiritual, pengendali/pusat koordinasi tubuh, dan emosional. Kedua, neurosains memandang konsep qalb menurut Al-Ghazali, menurunkan lima unsur yang sama yakni pengendali tubuh, pengetahuan, emosi, dan spiritual. Sedangkan perbedaannya, bahwa otak dan qalb menurut Al-Ghazali melalui dua dimensi yang berbeda antara dimensi ilmiah dan ketuhanan, sehingga tolok ukur kebenarannya sangat berbeda jauh. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dalam bentuk penelitian kepustakaan (library research). Pendekatan yang digunakan adalah intertektulitas dengan menekankan pacta meaning of creatifity10 • Adapun analisis yang diguanakan adalah hermeneutik phenomenologik11 dengan syarat-syarat seperti obyektifitas, sistematis dan general. Senada dengan itu, Citra Trisna Dewi, Nur Fitri Wulandari, dan Ovi Soviya (2018) meneliti tentang neurosains dalam pembelajaran agama Islam. Ilmu pengetahuan agama Islam berkaitan dengan neurosains karena mempelajari tentang otak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru atau pendidik terlebih dahulu harus mengetahui dan memahami kinerja otak manusia, memperhatikan kerja alamiah otak peserta didik dalam proses pembelajaran, menciptakan suasana pembelajaran dimana peserta didik dihormati dan didukung, menghindari terjadinya pemforsiran terhadap kerja otak. Setelah itu maka, guru PAI dapat menggunakan berbagai model pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang menarik kepada siswa atau peserta didik. Dengan demikian maka siswa akan mengalami pengoptimalan fungsi otak secara baik dan benar sehinggga tujuan belajar dapat tercapai dengan baik. Hana Rizayanti dan Suyadi (2023) menganalisis perspektif neurosains terhadap konsep nafs dan qalb berdasarkan pemikiran Al-Ghazali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan penjelasan persamaan secara fungsi seperti sama-sama menerima informasi, kecerdasan qalbiah, pusat koordinasi atau pengendalian tubuh manusia, spiritual, serta emosional. Dalam konteks pendidikan Islam, banyak istilah yang serupa tentang kata akal yang semakin membingungkan. Istilah-istilah tersebut adalah al-aql (akal), al-qolb (hati), an-nafs (nafsu, kehendak) ataupun ar-ruh (ruh).Dalam hal ini, Taufiq Pasiak dengan tegas menyatakan bahwa istilah al-aql, al-qolb, an-nafsataupun ar-ruh, semua tidak akan bermakna apabila tidak dihubungkan sama sekali dengan otak manusia, karena semua makna tersebut mempunyai basis neurobiologis di dalam otak manusia (Suyadi, 2019).
Untuk mengurangi dampak negatif, maka manusia memerlukan akalnya untuk berpikir secara logis, kritis, dan sistematis, sehingga dampak negatif tersebut dapat berkurang. Seseorang yang berakal mampu menahan dan mengendalikan dirinya dari hawa nafsu yang bersifat tercela atau dilarang oleh agama serta bersikap bijaksana dalam mengambil suatu keputusan untuk menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahannya. Sikap ini terbanding kebalik dengan seseorang yang tidak berakal. Seseorang yang tidak berakal biasanya akan tergesa gesa, cepat dalam mengambil suatu keputusan dan menghalalkan segala cara untuk mengatasi dan menyelesaikan suatu permasalahannya tanpa berfikir panjang dan menghiraukan akibatnya dari suatu keputusan tersebut (Handayani & Suyadi, 2019).
Penelitian sebelumnya telah menyoroti persamaan fungsional antara otak menurut neurosains dan qalb menurut Al-Ghazali, namun masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengintegrasikan kedua konsep ini secara komprehensif. Fokus penelitian dapat difokuskan pada bagaimana konsep neurosains dan konsep qalb dapat saling melengkapi dan diintegrasikan dalam konteks pendidikan Islam. Penelitian sebelumnya menunjukkan pentingnya pemahaman kinerja otak manusia bagi pendidik dalam proses pembelajaran agama Islam. Namun, masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengidentifikasi secara spesifik bagaimana pemahaman kinerja otak manusia dapat memengaruhi metode pembelajaran agama Islam, serta dampaknya terhadap pengoptimalan fungsi otak siswa. Penelitian sebelumnya telah menyoroti pentingnya penggunaan berbagai model pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang menarik kepada siswa atau peserta didik. Namun, masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengembangkan model pembelajaran yang spesifik berbasis neurosains, yang dapat mendukung pengoptimalan fungsi otak siswa dan mencapai tujuan belajar dengan baik. Penelitian sebelumnya menyoroti banyaknya istilah serupa tentang kata akal dalam konteks pendidikan Islam. Fokus penelitian dapat difokuskan pada bagaimana pemahaman tentang istilah-istilah serupa ini dapat memengaruhi pemahaman siswa, serta bagaimana pendidik dapat mengintegrasikan pemahaman neurobiologis di dalam otak manusia ke dalam pemahaman tentang istilah-istilah tersebut. Dengan menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang berharga dalam memperkaya pemahaman tentang kajian neurosains terhadap fungsi nafs dan qolb dalam konteks pendidikan Islam, serta memberikan dasar ilmiah bagi praktik-praktik dalam pendidikan agama Islam. Hal ini dapat membantu dalam pengembangan metode pembelajaran yang lebih efektif dan mendukung perkembangan akhlak dan moralitas yang baik pada individu.
Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang keterkaitan antara otak, nafs, dan qolb, penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang lebih efektif. Guru PAI akan dapat menggunakan berbagai model pembelajaran yang menarik kepada siswa atau peserta didik, yang dapat mendukung pengoptimalan fungsi otak siswa dan mencapai tujuan belajar dengan baik. Pengembangan Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang pengaruh istilah-istilah serupa dalam konteks pendidikan Islam, penelitian ini dapat membantu dalam pengembangan kemampuan siswa untuk berpikir secara logis, kritis, dan sistematis. Hal ini dapat membantu siswa dalam mengendalikan diri dari hawa nafsu yang bersifat tercela, serta dalam mengambil keputusan yang bijaksana dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pemahaman yang lebih komprehensif tentang konsep qalb menurut Al-Ghazali, serta integrasinya dengan konsep neurosains. Hal ini dapat membantu dalam memperkaya pemahaman tentang pendidikan Islam, serta memberikan dasar ilmiah bagi praktik-praktik dalam pendidikan agama Islam. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang kinerja otak manusia dalam proses pembelajaran agama Islam, penelitian ini dapat membantu pendidik dalam menciptakan suasana pembelajaran yang mendukung pengoptimalan fungsi otak siswa. Hal ini dapat membantu siswa dalam mengalami pengoptimalan fungsi otak secara baik dan benar, sehingga tujuan belajar dapat tercapai dengan baik. Dengan demikian, penelitian ini memiliki urgensi yang tinggi dalam memberikan kontribusi yang berharga dalam pengembangan pendidikan Islam yang lebih efektif dan mendukung perkembangan akhlak dan moralitas yang baik pada individu. Orang yang sempurna islamnya atau orang yang kamil adalah orang yang mampu mensinergikan neurosains dengan qolbu dan nafs dalam mengimplementasikan ajaran agama Islam. Sehingga akan sesuai antara perkataan dengan perbuatan seimbang antara hablumminallah dan hablumminannas. Banyak orang di Indonesia yang mayoritas Islam tetapi tingkat korupsi tertinggi di Asia ini berarti banyak orang yang sudah sholat tetapi masih melanggar larangan-larangan Allah SWT. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 42 disebutkan yang artinya dan janganlah kamu mencampuradukkan antara kebenaran dan kebathilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahui. Apabila manusia mampu mensinergikan antara neurosins qolbu dan nafs maka akan terbentuk individu yang sempurna islamnya dan akanterbentuk masyarakat yang baldatun toyyibatun wa obbun ghofur. Dengan demikian, kajian neurosains terhadap fungsi nafs dan qolb perspektif baru dalam pendidikan Islam memiliki keunikan yang menarik dalam memberikan kontribusi yang berharga dalam pengembangan pendidikan Islam yang lebih efektif dan mendukung perkembangan akhlak dan moralitas yang baik pada individu.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) untuk mengetahui kemampuan akal dalam mengimplementasikan nilai-nilai kesilaman 2) untuk mengetahui keselarasan ajaran agama islam dengan akal manusia 3) untuk menguatkan bahwa ajaran islam sudah sesuai dengan akal manusia
Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan metode kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif ini mengutamakan sarana yang dimiliki oleh peneliti. Mengigat metode kualitatif, sehingga teknik pengumpulan data bersumber dari buku-buku dan jurnal-jurnal yang difokuskan pada tema penelitian. Ilmu neurosains pendidikan dimana sangat mendukung untuk melengkapi psikologi perkembangan dan psikologi belajar, sebagai pendekatan dalam mengembangkan kurikulum atau mengimplementasikannya di seluruh tingkatan.
Hasil dan Pembahasan
Dalam perkembangan zaman saat ini
dunia semakin berkembang baik dari segi manapun. Mulai dari pendidikan yang
semakin berkembang dengan mengandalkan teknologi, begitupun dengan teknologi
semakin berkembang dan semakin maju untuk menunjang kehidupan manusia
kedepannya agar lebih mudah. Dunia intelektual sendiri saat ini dalam hubungan
antara agama dan sains telah menjadi suatu tren intelektual baru dalam agama Islam.
Neuroscience adalah sistem
pendidikan baru yang mempelajari cara kerja sistem saraf. Pendidik biasanya
mengabaikan sistem dan jarang memperhatikan persoalan tersebut, sehingga
suasana belajar mengajar menjadi hilang.8 Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk menciptakan lingkungan belajar dan proses pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.9 Karena
pendidikan adalah pengajaran sadar oleh seorang pendidik tentang perkembangan
fisik dan mental orang-orang terpelajar untuk pembentukan karakter. Ilmu
pengetahuan lebih berbahaya jika tidak dihias dengan akhlak mulia, karena
pendidikan tidak lebih dari bekal Atheros dan tidak memiliki nilai spiritual.
Menurut Whiterington (2017), pendidikan merupakan suatu
proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan belajar. Menurut
An-Nahlawi (1996:41) pendidikan Islam merupakan suatu penataan individual dan
soaial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan
menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu atau masyarakat.
Pendidikan Islam adalah kebutuhan yang mutlak untuk melaksanakan Islam
sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah (Abdusshomad,
2020).
Salah satu keterkaitan agama
dengan sains, ialah otak dalam kajian neurosains dan qalb dalam ilmu tasawuf
agama Islam. Antara otak dengan qalb, keduanya menjadi bagian system terpenting
dalam diri manusia, barawal dari sabda Rasullah SAW. “Sesungguhnya di dalam
tubuh anak Adam terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh
tubuh menjadi baik dan ia adalah qalb.” (H.R. Bukhari dan Muslim) (Mahardhika,
2022).
Dari segi makna, Al-Ghazali
mendefinisikan Qalb dengan dua cara yang berbeda. Pertama, arti fisik Qalb
adalah segumpal darah yang tertimbun di dada sebelah kiri. Yang dimaksud adalah
organ hati sebagai sumber ruh dan kehidupan (Mahardhika,
2022). Makna Kalb dalam kaitannya
dengan spiritualitas sangat erat kaitannya dengan perintah-perintah dari Allah
yang dihias dengan ilmu tentang-Nya, ilmu yang mendasarkan pada hakikatnya dan
semangat untuk selalu mewartakan Keesaan Allah. Kebaikan memungkinkan seseorang
untuk mengetahui dan memahami dirinya sendiri. Qalb adalah asal muasal
keberadaan manusia dan ciptaan terakhir yang tersisa di hari kiamat. Esensi
Qalb tidak berasal dari alam fisik, melainkan dari alam metafisik. Karena
keberadaan mereka di alam fisik ini masih dianggap misteri. Menurut Al-
Ghazali, ini adalah sifat Kalb, atau sifat metafisik, kecuali seseorang dapat
melalui kontemplasi mengatasi penghalang yang ada antara alam fisik dan
metafisik dan melenyapkan Mujahada tidak dapat diungkapkan dari dalam dirinya.
Qalb merupakan suatu bagian dari
tubuh manusia yang dimana dianugerahkan untuk mengetahui, menyadari, dan
memahami. Dalam prespektif Bahasa Qalb memiliki arti “membalik”. Dikarenakan
qalb memang sering terbolak-balik karena suatu kondisi tertentu. Sebab, ada
kalanya manusia senang lalu susah, mudah lalu sulit, dan sejahtera lalu
sengsara itu semua dapat terbolak balik dengan waktu yang cepat. Menurut Imam
Al- Ghazali dalam Ihya’ nya bahwa qalb atau kalbu mempunyai dua pengertian,
yang pertama berupa segumpal daging yang berbentuk memanjang yang letaknya di
pinggir dada sebelah kiri yang mempunyai tugas khusus di dalamnya terdapat
rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber roh, yang kedua berupa suatu
yang halus bersifat ketuhanan dan kerohanian yang ada hubungannya dengan jasad
atau jasmani.
Daya konasi, qalb melakukan
keinginan dengan menerima konsekuensi sebagaimana firman Allah:
“Dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Ahzab [33]:5)
Kebanyakan orang tidak dapat
mendengar suara hati mereka. Atau mereka tidak dapat membersihkan hati mereka
dari noda dosa, dan tidak menemukan kebijaksanaan di dalam hati mereka. Tidak
banyak yang mencapai akal Qalbiyah ini karena membutuhkan kesucian Qalb.
Kecerdasan Calvya menyertai semua
kecerdasan yang ditemukan. Qalb berperan aktif dalam seluruh kecerdasan manusia.
a) Kecerdasan
intelektual, qalb, bertanggung jawab untuk menerima dan membangun pengetahuan
intuitif.
b) Kecerdasan
emosional, Qalb, bertanggung jawab untuk mengendalikan nafsu agresif dan
impulsif.
c) Cerdas
secara moral, Calv menjaga hubungan baik dengan sesama manusia.
d) Kecerdasan
Spiritual, atau Qalb, mengacu pada kualitas batin yang tidak dipengaruhi oleh
emosi atau alasan.
e) Bertanggung
jawab atas kecerdasan agama, qalb, kualitas agama dan ketuhanan.
Titik akhir kecerdasan Calvia
adalah tingkat kecintaan manusia kepada Allah. Cinta adalah puncak dari
keintiman manusia dan Tuhan mengungkapkan kebenaran-Nya kepada mereka yang
mencintai-Nya. Umumnya qalb diartikan sebagai hati. Jika demikian, penjelasan
berikut mengarah pada istilah qalb yang berarti hati. Menurut psikologi Sufi,
pikiran mengandung kecerdasan dan kebijaksanaan yang paling dalam. Itu adalah
ilmu yang paling dalam. Ketika mata batin terbuka, Anda dapat melihat semua
yang tampak melalui penampilan luar Anda. Ketika Anda membuka telinga hati
Otak adalah organ tubuh manusia, dan kedudukannya secara terhormat ditempatkan oleh Tuhan di atas kepala tubuh manusia dan terlindungi dengan baik di dalam tengkorak. Letak otak merupakan simbol yang menandakan bahwa manusia lebih mulia dari makhluk lain ciptaan Tuhan. Misalnya, hewan yang otaknya diposisikan dan diposisikan sejajar dengan bagian tubuh lainnya serta menyimpan dan mengeluarkan feses (perut dan anus). Atau tumbuhan tanpa otak, yang lokasinya tidak diketahui), otak jika ada.
Patokan atau acuan dan standar pendidikan Islam adalah keyakinan terhadap pengembangan perilaku akhlak terpuji yang berpusat pada kalbu atau betis, agar kalbu menjadi sehat dan sehat. Karena dalam proses pendidikan seperti itu paling tepat mendidik masyarakat. Humanisasi menjauhkan individu dari campur tangan setan dan fitnah. Baik berupa Jin maupun kelompok manusia. Maka dari itu, hati dan komponennya dapat memiliki dua akhlak, akhlak al- su` dan akhlak al-hasan. Manusia memiliki akhlak yang terpuji yang memungkinkan manusia menempati dunia kebahagiaan, sedangkan akhlak yang buruk, sebaliknya, membawa kepada kegagalan dan kehancuran. Pemahaman rinci tentang sifat yang terkandung dalam Hati dan pasukannya membaginya menjadi empat bagian: A Moral Shayatin, Akhlak Al-Bahaim, Akhlak Ashiva dan Akhlak Al-Malaikat. Perilaku rutin atau berpotensi buruk seperti bersenggama, makan, minum, dan tidur adalah bagian dari moralitas Alvaheim. Perlakuan dan tindakan pemukulan, pembunuhan, dan permusuhan adalah bagian dari akhlak al-Shiba. Berbohong, memalsukan, dan mengarang adalah moralitas Al-Saitan. Dan pikiran, kasih sayang, pengetahuan, dan perbuatan baik adalah kualitas malaikat.
Nafs merupakan sesuatu yang sudah ada pada diri manusia sejak lahir, sebab jika dilihat dari suatu penjelasan yang luas. Nafs bisa diartikan sebagai daya marah atau daya syahwat yang ada pada diri manusia. Sebab, secara umum penejelasan tersebut digunakan oleh para sufi, dimana tidak lain karena para sufi memahami Nafs sebagai sumber sifat baik maupun buruk dalam diri manusia (Saumantri, 2022). Nafs sendiri scara umum adalah potensi manusia dalam melakukan hal positif atau negatife. Dengan kata lain nafs dimaknai dengan sebagai dorongan yang terdapat dalam diri manusia untuk membantu manusia dalam melakukan sesuatu hal yang baik ataupun buruk yang berkaitan dengan dirinya sendiri (Sahbana, 2022).
Senada dengan pendapat di atas, al-Ghazali, yang hidup di abad pertengahan Islam, memandang manusia tidak terlepas dari kecenderungan umum zamannya. Sebagaimana pendapat para filsuf sebelumnya yang mengatakan manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu wujud tubuh jasmani (substansi material) dan wujud dalam (substansi imaterial) yaitu jiwa, atau roh. Kalau dibandingkan dengan konsep di atas, al-Ghazali terkesan menyederhanakan aspek psikis dan rohaniah menjadi satu unsur, yaitu unsur jiwa (nafs). Atau bisa dikatakan dalam satu unsur jiwa terdiri dari dua aspek, yaitu aspek psikis dan rohani. Ini karena menurut al-Ghazali, bahwa hanya di dalam jiwa tercipta kemampuan psikis dan rohani manusia. Oleh karenanya, dari segenap unsur pembentuk yang ada, yang menjadi esensi dari segenap unsur manusia itu adalah jiwanya (nafs) (Cholik, 2015).
Jika kita telaah konsep Nahu dalam Al-Qur'an, kita dapat memahami bahwa Nahu adalah aspek spiritual yang memiliki banyak daya dari Argad Abiya dan Arshawaniya. Prinsip pengoperasian kedua kekuatan ini adalah mengejar nafsu dan menyerah pada dorongan agresif dan seksual. Jadi mereka yang hanya mengikuti dua kekuatan ini adalah seperti binatang dan bahkan lebih hina dalam hal arah kehidupan yang mereka kejar. Oleh karena itu, dorongan ini disebut al-nafs alh ayawaniyyah dan jika dibiarkan akan membawa manusia pada gaya hidup hedonis, seks bebas, materialisme, dll. Gaya hidup inilah yang dikutuk Al-Qur'an karena selalu mengarah pada kejahatan dan malapetaka ketika nafsu menguasai manusia. Namun, ketika jiwa mampu mengendalikan kedua kekuatan ini, kedua kekuatan ini bertindak sebagai pelindung dan kekuatan hidup, mendorong pemiliknya untuk menunjukkan sisi kemanusiaannya, menikmati hidup dan berbuat baik. Ini hanya bisa terjadi ketika jiwa manusia membawa aspek mental dan mental keinginannya (keinginan).
Lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa badan bagi Kalb adalah kendaraan bekal dan bahan bakar yang diperoleh selama hidup di dunia, ilmu yang bermanfaat untuk menghasilkan amal kebaikan. Karena tubuh adalah alat yang rentan, maka tugas Kalb adalah melindungi tubuh melalui makanan, perlindungan dari sebab-sebab yang merusak, dan pengetahuan. Adapun makanan, dua pasukan diciptakan untuk Qalb: Dalam dan Luar
Esensi batin adalah keinginan, dan Zaheer adalah anggota tubuh yang diperlukan untuk makan. Dua pasukan, dalam dan luar, juga diciptakan untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan. Batin adalah sifat kemarahan, dan batin adalah anggota tubuh yang mengikuti kehendak amarah. Dalam hal ini, seluruh tubuh ibarat senjata qalb (jiwa). Selain itu, unsur pengetahuan juga diciptakan untuk melindungi tubuh dari kehancuran. Pertama, akal, pengetahuan tentang indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, raba) dan zahir (organ panca indera).
Apalagi pendidikan yang bisa meminimalisir kerancuan hawa nafsu itu tertuang dalam ajaran moral atau budi pekerti luhur. Mereka yang telah berevolusi, yang memiliki akal budi yang baik, yang telah mengendalikan hawa nafsunya dengan pendidikan akhlak yang baik dan akhlak yang mulia, kuat mentalnya, tahan terhadap cobaan hidup, tidak mudah jatuh, dan menghadapinya dengan ikhlas. Tantangan hidup. Seseorang mengalami banyak masalah dan kesulitan, tetapi jika dia memiliki jiwa yang kuat, dia dapat menghadapi masalah tersebut dalam keadaan pikiran yang tenang. Daripada menyerah atau cepat putus asa, melalui akal dan pikiran ia memperoleh hikmah yang terkandung dalam cobaan dan kesulitan yang ia alami, ia tentu mampu menghadapinya dengan tenang dan mengubahnya menjadi peluang, berkah, dan kemenangan.
Pendidikan itu sendiri memiliki dampak besar pada bagaimana kita berpikir tentang masa depan. Karena dalam pendidikan, saraf memiliki pengaruh yang kuat pada seseorang dalam melakukan tindakan selanjutnya. Oleh karena itu, siswa harus dapat memahami kelebihan atau kekurangan dirinya sendiri dan mampu mengendalikan nafsunya ketika berusaha melakukan perbuatan baik atau buruk. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari keinginan dan pemahaman diri. Karena mereka saling terkait dalam kehidupan sehari-hari.
Nafs dan Qalb terkait dalam satu tindakan ketika siswa mempelajari materi. Nafs dan Qalb merupakan perilaku yang sudah terlihat pada semua manusia, khususnya anak didik. Padahal, saat mengajar, siswa harus memiliki jiwa agar ajarannya bisa dipahami dengan benar dan sistem sarafnya bisa merespon tindakan tertentu. Begitu pula untuk Qalb, murid harus menyadari bahwa pasti ada respon dari saraf, terutama saraf otak, saat latihan.
Pada tingkat alam material (dimensi Dysmiya), perilaku manusia dikendalikan oleh alam “tidak sadar”. Hal ini karena dorongan yang muncul bersifat natural (naluri-biologis) dan tidak memerlukan koordinasi dengan 'aql' dan 'qalb'. Ini adalah tingkatan yang paling rendah, karena nilai kualitas manusia tidak bekerja pada tingkatan ini. Pada tingkat mental ("dimensi Aql dan Qalb"), perilaku manusia dikendalikan oleh alam "kesadaran". Karena di sini kekuatan nalar dan pikiran berperan dan menentukan nilai kualitas manusia. Pada tataran jiwa (psikis atau spiritual), perilaku manusia ditentukan oleh dorongan keinginan atau dorongan spiritual (spiritual). Ketika perilaku manusia didorong oleh keinginan (yaitu keinginan untuk mewujudkan berbagai keinginan), pada saat itu, orang "secara sadar" mewujudkan dorongan naluriah biologis yang ada "secara tidak sadar" yang dikendalikan oleh "sifat ambang". Alami. "Dengan sengaja". Kini, cara nafsu memenuhi tuntutan kebutuhan naluriah-biologis ditentukan oleh tingkat kualitas mental seseorang (dimensi Aql dan Qalb) dan spiritualitas seseorang (dimensi Ruh dan Fitrah). . Di sini keinginan manusia dinilai atau dinilai, apakah itu keinginan Amala, Rowama atau Mutmeinna. Jika tindakannya didorong oleh spiritualitas atau dorongan spiritual (dimensi roh dan fitra), itu berarti orang tersebut berada pada tingkat tertinggi, alam "kesadaran super". Pada level ini, manusia tidak hanya menyadari lingkungan fisik dan sosialnya, agama dan tanggung jawabnya, tetapi juga aspek spiritualnya seperti ilham, al-qasif, filasar, bashira, luya as sadika, dll. Disebut Indra keenam (Mahardhika, 2022).
Qalb merupakan bagian dalam nafs yang bekerja memahami, mengolah, menampung realita sekelilingnya, dan memutusskan sesuatu. Sedangkan, nafa sendiri kerjanya dilakukan melakukan jaringan qalb, aql, dan bashirah tetapi kesemuanya itu baru berfungsi manakalah ruh berada dalam jasad dan fungsi kejiwaan telah sempurna (Mahardhika, 2022).
Pendidikan Islam sendiri sangat berpengaruh dalam pelaksanaan pendidikan siswa. Karena mereka tahu di dalam jiwa mereka ke mana harus melakukannya dan sadar akan tindakan yang diberikan. Standar pelatihan tidak dapat dilihat hanya dalam pikiran. Pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan nafs dan qalb, tetapi juga mengandalkan sistem syaraf yang tanggap untuk membantu dalam melakukan perbuatan dan menyerap ilmu. Patokan atau acuan dan tolak ukur pendidikan Islam adalah keyakinan untuk mengembangkan akhlak terpuji yang berpusat pada kalbu atau qalb agar kalbu atau qalb menjadi baik dan sehat. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan seperti inilah cara yang paling tepat untuk memanusiakan para jomblo agar terhindar dari gangguan dan fitnah. Pembelajaran yang disampaikan melalui pendidikan Islam pada hakekatnya membantu memelihara, menularkan dan memajukan keadaan kesinambungan dan fungsi yang sebenarnya dari ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci Al- Quran dan Hadits (Andriani et al., 2022).
Manusia memiliki keutamaan kelebihan kemuliaan dan kedudukan yang tinggi dengan tahu diri, berilmu, dan mau menggunakan akalnya. Sebab, apa bila dia terjatuh meluncur ketingkat paling rendah jelek maka hilanglah kemanusiaannya dan berkedudukan yang paling hina dari binatang.
Kesimpulan
BIBLIOGRAFI
Abdusshomad, A. (2020). Pengaruh Covid-19
terhadap penerapan pendidikan karakter dan pendidikan Islam. QALAMUNA:
Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Agama, 12(2), 107–115.
Andriani, A. D., Awaludin, R., Muzaki, I. A.,
Pajarianto, H., Himawan, I. S., Latif, I. N. A., Nugroho, R. S., &
Imaduddin, M. (2022). Pendidikan Agama Islam di Era Disrupsi. Tohar
Media.
Azmi, V. N. (2022). Makna Tabarruj Perspektif Hadits
dalam Kitab Syarah Shahih Muslim Karya Imam an-Nawawi (631-676 H.). Jurnal
Penelitian Ilmu Ushuluddin, 2(2), 218–234.
Cholik, A. A. (2015). Relasi Akal dan Hati menurut
al-Ghazali. Kalimah: Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam, 13(2),
287–310.
Dewi, C. T., Fitri, N. W., & Soviya, O. (2018).
Neurosains dalam Pembelajaran Agama Islam. Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam,
6(2), 259–280.
Handayani, A. B., & Suyadi, S. (2019). Relevansi
konsep akal bertingkat Ibnu Sina dalam pendidikan Islam di era milenial. Ta’dibuna:
Jurnal Pendidikan Islam, 8(2), 222–240.
Mahardhika, M. F. (2022). Nafs dan Qalb dalam
Perspektif Neurosains dan Impliksinya terhadap Pendidikan Islam. FENOMENA,
14(1), 89–102.
Muhimmah, I., & Suyadi, S. (2020). Neurosains dan
Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 15(1),
68–87.
Nasruddin, M., & Muiz, A. (2018). Tinjauan kritis
neurosains terhadap konsep Qalb menurut Al-Ghazali. UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, Bandung.
Noor, F. A. (2018). Pendekatan Integratif dalam Studi
Islam. Cakrawala: Jurnal Studi Islam, 13(1).
Pasiak, T. (2012). Tuhan dalam Otak Manusia:
Mewujudkan kesehatan spiritual berdasarkan neurosains. Bandung: Mizan, 132,
24.
Rizayanti, H., & Suyadi, S. (2023). Concept of
Nafs and Qalb From The Perspective of Neuroscience: A Study of Al-Ghazali’s
Thoughts. Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 11(1), 49–66.
Sahbana, M. D. R. (2022). Hakikat Sumber Daya (Fitrah,
Akal, Qalb, dan Nafs) Manusia dalam Pendidikan Islam. Journal of Counseling
Education and Society, 3(2), 1–6.
Saumantri, T. (2022). Kesetaraan Gender: Perempuan
Perspektif Sufisme Jalaluddin Rumi. Equalita: Jurnal Studi Gender Dan Anak,
4(1), 13–28.
Suyadi, S. (2019). Pendidikan Islam Anak Usia Dini
dalam perspektif neurosains: robotik, akademik, dan saintifik. Edukasia:
Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 13(2), 273–304.
Wisarja, I. K., & Sudarsana, I. K. (2017). Praksis
Pendidikan Menurut Habermas (Rekonstruksi Teori Evolusi Sosial Melalui Proses
Belajar Masyarakat). IJER (Indonesian Journal of Educational Research), 2(1),
18–26.
Copyright holder: Annisa Rahma, Suyadi (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |