Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 1, Januari 2024
PILAR DAN KONSTELASI
MUSYAWARAH PERSFEKTIF AL QUR’AN
Ayub Handrihadi, Achmad Abu
Bakar, Halimah Basri
UIN Alauddin Makassar, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan
tentang Pilar dan Konstelasi musyawarah Perspektif al qur’an sebagai solusi
dalam menyelesaikan konflik, dalam penelitian ini diuraikan himpunan ayat-ayat
al qur’an yang membahas tentang musyawarah, sebab turunya serta munasabah ayat
dan analisis tematik terkait ayat-ayat musyawarah. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian kepustakaan (Library research) dengan melakukan
kajian secara mendalam dan sistematis, yang diambil dari sumber utamanya, yakni
Al qur’an dan tafsir para ulama. Hasil kajian menjelaskan bahwa, terdapat tiga
ayat dengan term berbeda yang menjelaskan tentang musyawarah antara lain, QS
al-Baqarah (2): 233 yang di dalamnya terdapat term tasyawur; QS. Ali Imran (3):
159 yang didalamnya terdapat term syawir; dan QS. al-Syura (42): 38 yang di
dalamnya terdapat term syura. Term syura mengandung interpretasi tentang
lapangan musyawarah dan demokrasi. Term syawir mengandung interpretasi demokrasi dan orang-orang yang
diminta bermusyawarah. Sedangkan term tasyawur mengandung interpretasi tentang
urgennya musyawarah diterapkan mulai dari unit sosial terkecil (rumah tangga)
untuk terbinanya kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang lebih besar
(negara).
Kata Kunci: Musyawarah, solusi, ayat, term, munasabah.
Abstract
This paper describes the Pillars and Constellations of
Deliberation The perspective of the Qur'an as a solution in resolving
conflicts, in this study is described the set of verses of the Qur'an which
discusses deliberation, the cause of derivation and plausibility of verses and
thematic analysis related to the verses of deliberation. The research method
used is library research by conducting in-depth and systematic studies, which
are taken from the main sources, namely the Qur'an and the interpretation of scholars.
The results of the study explained that, there are three verses with different
terms that explain deliberation, among others, QS al-Baqarah (2): 233 in which
there is the term tasyawur; QS. Ali Imran (3): 159 in which there is the term
shawir; and QS. al-Shura (42): 38 in which the term shura is contained. The
term shura contains an interpretation of the field of deliberation and
democracy. The term shawir contains the interpretation of democracy and the
people who are asked to deliberate. While the term tasyawur contains an
interpretation of the urgency of deliberation applied starting from the
smallest social unit (household) to the development of the habit of
deliberation in a larger social unit (state).
Keywords:
Deliberation, solution, verse, term, reasonable.
Pendahuluan
Musyawarah memiliki posisi mendalam dalam kehidupan masyarakat Islam. Bukan sekadar sistem politik pemerintahan, tapi juga merupakan karakter dasar seluruh masyarakat. Seluruh persoalan didasarkan atas musyawarah, lalu dari masyarakat, prinsip ini merembes ke pemerintahan. Pada masa Rasulullah SAW Beliau sering melakukan musyawarah dengan para sahabatnya dalam suatu urusan yang menyangkut kemaslahatan umat (Rangkuti, 2018). Nabi sendiri menganggap bahwa musyawarah merupakan salah satu sistem yang dapat digunakan untuk memutuskan suatu masalah dengan tepat. Karena itu, beliau selalu menempuh jalan tersebut dengan para sahabatnya ketika menghadapi berbagai persoalan, khususnya menyangkut kepentingan umum (Firdaus, 2019). Sebagai contoh, Nabi saw bermusyawarah dengan para sahabatnya mengenai strategi Perang Badar dan Uhud, perjanjian Hudaibiyah, tawaran perang Badar dan perlakuan atas jenazah Abdullah bin Ubay ibn Salul (Amrulloh & Arifandi, 2022).
Musyawarah yang dilakukan Rasulullah tidak terbatas dalam lingkup masyarakat muslim saja, Rasul mengajak masyarakat Yahudi dan Nasrani untuk ikut bermusyawarah juga. Sebagai bukti, yaitu lahirnya Piagam Madinah yang ditulis oleh Rasulullah dan disepakati oleh kelompok-kelompok yang ada di Madinah saat itu (Muslim, Yahudi, Nasrani) (Mubarok, 2019). Piagam itu dijadikan alat bagi Rasulullah saw untuk menyatukan kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim agar hidup rukun dan damai. Beliau menyadari betapa pluralnya masyarakat pada waktu itu, banyak perbedaan di antara mereka (Mubarok, 2019). Hal tersebut perlu diadakan suatu perundingan atau musyawarah untuk membuat sebuah kesepakatan agar masyarakat bisa hidup dengan aman dan damai. Maka dibuatlah Piagam Madinah sebagai hasil dari musyawarah, yang di dalamnya terdapat beberapa poin penting yang menjadi kesepakatan di antara kaum Muslim, Yahudi dan Nasrani di Madinah (Rifa’i, 2015).
Musyawarah merupakan karakter dasar seluruh masyarakat, yang memiliki posisi mendalam dalam kehidupan masyarakat Islam. Sebagai contoh, Rasulullah SAW melakukan musyawarah dengan para sahabatnya dalam suatu urusan yang menyangkut kemaslahatan umat, seperti strategi Perang Badar dan Uhud, perjanjian Hudaibiyah, tawaran perang Badar, dan perlakuan atas jenazah Abdullah bin Ubay ibn Salul (Abdullah, 2014). Musyawarah yang dilakukan Rasulullah tidak terbatas dalam lingkup masyarakat muslim saja, melakukan musyawarah dengan masyarakat Yahudi dan Nasrani untuk menyatukan kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim agar hidup rukun dan damai.
Penelitian terdahulu telah mencakup musyawarah dalam berbagai konteks, misalny ausyawarah mufakat merupakan nilai yang dihasilkan dari akar budaya bangsa Indonesia, yang dijelaskan dalam Sila keempat dasar negara kita, yaitu Pancasila. Pengembangan budaya musyawarah mufakat (Bubalah) merupakan langkah yang diambil Ketua Program Studi PPkn FKIP Universitas Lampung untuk mencapai keputusan yang lebih efisien (Pratiwi & Sunarso, 2018).
Rapat adat (sangkep) merupakan kebiasaan musyawarah untuk mencapai mufakat di kalangan masyarakat adat Bali. Tradisi pasangkepan merupakan kebiasaan musyawarah untuk mencapai mufakat di kalangan masyarakat adat Bali (Darsana, 2018).
Manajemen Musyawarah Kitab Kuning: membahas landasan teori terkait Manajemen Musyawarah Kitab Kuning di Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo (Azis, 2021).
Dari penelitian terdahulu tersebut, kita dapat melihat bahwa musyawarah merupakan konsep yang penting dalam masyarakat, yang telah dikembangkan dan diaplikasikan dalam berbagai konteks. Musyawarah merupakan cara yang efisien untuk mencapai keputusan dan mencapai kesepakatan dalam masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk untuk menguraikan tentang Pilar dan Konstelasi musyawarah Perspektif al qur’an sebagai solusi dalam menyelesaikan konflik
Metode
Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan
melakukan kajian secara mendalam, sistematis, melalui kitab sumbernya yakni
Al-Qur’an dan kitab tafsir sebagai pendukung dalam penelitian ini (Sari, 2021). Penelitian kepustakaan merupakan salah satu
jenis metode penelitian yang sering digunakan dalam penelitian ilmiah. Metode
ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber yang terkait
dengan topik penelitian, seperti buku, jurnal, artikel, dan dokumen lainnya.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dan disusun menjadi sebuah laporan
penelitian. Penelitian kepustakaan sangat cocok digunakan dalam penelitian yang
membutuhkan data sekunder, seperti penelitian tentang agama dan filsafat. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan Al-Qur’an dan kitab tafsir sebagai sumber
data utama untuk menjawab permasalahan penelitian. Peneliti melakukan kajian
secara mendalam dan sistematis terhadap sumber data yang ada untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang konsep musyawarah dalam perspektif Al-Qur’an.
Hasil dan Pembahasan
Himpunan
ayat-ayat tentang musyawarah
Sesuai hasil penelusuran penulis pada Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al- Qur'an al-Karim, ditemukan tiga ayat al-Qur’an didalamnya terdapat term yang akar katanya menunjukkan musyawarah, yakni: QS al-Baqarah (2): 233 yang di dalamnya terdapat term tasyawur; QS. Ali Imran (3): 159 yang didalamnya terdapat term syawir; dan QS. al-Syura (42): 38 yang di dalamnya terdapat term syura. QS. al-Baqarah( 2): 233 dan QS. ali Imran (3): 159, turun pada periode Madinah. Sedangkan QS. al-Syura (42): 38, turun pada periode Makkah. Ketiga ayat tersebut, akan dihimpun berdasarkan kronologi turunnya sebagai berikut :
a.
QS. Al-Syurah
(42) : 38.
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا
لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا
رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan
salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.
Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
b. QS.
Ali Imran (3): 159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Maka,
berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan
(penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal”.
c. QS.
Al baqarah (2): 233.
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى
الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ
نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ
لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا
عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ
اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا
سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا
اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Ibu-ibu
hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka
dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan
pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan
musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin
menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu
memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Sabab al-Nuzūl dan Munâsabah ayat
QS. al-Syūra (42):
38 telah turun
dalam periode Makkah. Dalam
hal ini, Ibnu Katsir menyatakan bahwa ayat tersebut berkenaan
dengan peristiwa permusuhan yang
sedang memuncak di Makkah,
sehingga sebagian para sahabat terpaksa harus berhijrah ke Habasyah (Yatim, n.d.). Quraish Shihab menyatakan bahwa “ayat ini turun pada
periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan
politik”. Dengan demikian (Sihab, 2007), dapat dipahami bahwa turunnya ayat yang menguraikan syūra
pada periode Makkah, menunjukkan adanya perintah untuk bermusyawarah adalah
anjuran Al-Qur‟an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum
ditemukan petunjuk Allah swt di dalamnya. Ini berarti bahwa Nabi saw dan para
sahabatnya seringkali melakukan musyawarah, jauh sebelum hijrahnya ke Madinah.
Ayat 37 dalam Surah yang sama, Allah swt menjelaskan tentang
perilaku baik orang-orang sering memberi maaf. Lalu pada ayat ke 38 Allah
menjelaskan tentang perilaku baik
orang-orang yang memenuhi seruan-Nya, yakni mereka yang melaksanakan
shalat dan segala urusan mereka dimusyawarahkan. Pada ayat selanjutnya, yakni
ayat 39 Allah swt menjelaskan orang-orang diperlakukan secara zalim, kemudian
pada ayat 40, kembali Allah swt menjelaskan tentang pahala orang yang selalu
memberi maaf.
Dengan mencermati kandungan QS. Al-Syura tersebut, khususnya munasabah al-ayat antara ayat 37
sampai dengan ayat 40, maka dapat dirumuskan bahwa masalah musyawarah memiliki
keterkaitan dengan masalah pemaafan. Fakta di lapangan membuktikan bahwa dalam
forum musyawarah seringkali muncul sifat-sifat egoistis, dan mereka yang
terlibat dalam musyawarah tersebut saling mempertahankan pendapatnya, sehingga muncul ketegangan diantara mereka.
Dalam keadaan seperti ini, maka diperlukan sikap lapang dada
dan kepada mereka diharapkan untuk
menjauhi sikap marah
sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat 37. Sikap marah
tersebut akan hilang bilamana mereka saling memaafkan, dan sikap saling
memaafkan adalah sesuatu yang terpuji bahkan pada ayat 40 dijelaskan bahwa
Allah swt memberi pahala kepada orang-orang
yang selalu memaafkan sesamanya. Berdasar pada intisari munasabah ayat di atas,
maka diketahui bahwa sikap rnarah yang identik dengan sikap kasar adalah
sesuatu yang mesti dihindari dalam musyawarah. Praktis bahwa
yang harus dinampakkan
dalam ber-musyawarah adalah sikap
lemah lembut sebagai antitesa dari sikap kasar, sebagai mana yang ditegaskan
dalam QS. Ali Imran (3): 159 yang turun pada periode Madinah.
Ayat 159 sampai ayat 165 dalam QS. Ali Imran, berbicara
tentang perang Uhud. Karena itu, Ibn Katsir menjelaskan bahwa sebab-sebab turunnya
QS. Ali- Imran (3): 159, secara khusus berkaitan dengan perang Uhud. Ayat ini
ditambahkan oleh Wahidy berdasarkan riwayat al-Kalabi, ia berkata bahwa ayat
tersebut turun ketika para tentara Islam berlomba-lomba menuntut rampasan
perang. Dalam riwayat lain dikemukakan
bahwa Nabi Saw berkali-kali mengutus pasukan ke medan jihad. Pada suatu waktu,
ada pasukan yang kembali dan di antaranya ada yang mengambil ghanimah sebelum dibagikan menurut haknya. Maka turunlah
ayat tersebut sebagai larangan mengambil rampasan perang sebelum dibagikan oleh
amir (pimpinan) (al-Suyuti, 2008)
Berdasar pada sabab nuzul ayat tersebut di atas, maka
dipahami bahwa ketika terjadi perang Uhud, Nabi saw kecewa atas tindakan tidak
disiplin sebagian sahabat dalam pertempuran yang mengakibatkan kekalahan di
pihak Nabi. Melalui QS. Ali Imran (3): 159 Allah swt mengingatkan Nabi saw
bahwa dalam posisinya sebagai pemimpin umat, ia harus bersikap lemah lembut
terhadap para sahabatnya, memaafkan kekeliruan mereka dan bermusyawarah dengan
mereka. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa cukup banyak
hal dalam peristiwa perang
Uhud yang dapat
mengundang emosi manusia
untuk marah, namun demikian,
cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemah-lembutan Nabi saw. Ia
bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang. Ia menerima usul
mayoritas mereka, walau Nabi saw sendiri kurang berkenan. Nabi saw tidak
memaki dan mempersalahkan sahabat
yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan
halus. Inilah perangai yang dicontohkan
oleh Nabi saw, ia lemah
lembut dan tidak berhati kasar, ia
selalu memaafkan sahabatnya dan
bersedia mendengar serta menerima saran dari sahabat yang ikut bermusyawarah.
Dengan mencermati
sabab nuzul dan
intisari QS. Ali
Imran (3): 159 tersebut, kelihatan bahwa ayat ini masih
memiliki munasabah yang erat dengan QS. al-Syuraa (42): 38 yang
telah diuraikan sebelumnya
yang sama-sama berbicara tentang sikap terpuji yang harus
ditampilkan dalam bermusyawarah, yakni sikap pemaaf dan menghindari sikap
kasar. Terkait dengan ini, DR. Mahmud Hijaziy menyatakan bahwa munasabah ayat
yang diperoleh dalam QS. Ali Imran (3) 159 pada aspek nikmat-nikmat dan
keutamaan yang dari Allah swt dan rahmat-Nya, sehingga pada diri Nabi saw
selalu tampil dengan sikap memaafkan, dan menyepakati hal-hal yang baik untuk
kepentingan dunia dan akhirat. Sikap
dan perangai Nabi saw tersebut harus dicontohi oleh umatnya, terutama ketika
mereka bermusyawarah dalam upaya mengatasi persoalan yang mereka hadapi, baik persoalan tersebut
menyangkut masalah pemerintahan
dalam skop yang
luas, maupun masalah rumah tangga dalam skop yang lebih kecil seperti
yang ditegaskan dalam QS. al-Baqarah (2): 233.
Dalam
berbagai literatur tafsir dan ilmu tafsir, serta kitab-kitab yang membicarakan
tentang sabab nuzul, penulis belum menemukan keterangan tentang latar belakang
turunnya QS al-Baqarah (2): 233 tersebut. Namun, dapat dipastikan bahwa ayat
ini, turun pada
periode Madinah. Dalam
hal ini, berdasar
pada pernyataan Manna' al-Qaththan bahwa ‘semua ayat yang terdapat dalam
surah al- Baqarah adalah madaniy antara
lain muatan pokok ayat ini, adalah memberi petunjuk agar
persoalan-persoalan kerumah-tanggaan dimusyawarahkan. Dengan demikian, ayat ini masih memiliki
munasabah yang erat dengan ayat-ayat tentang musyawarah yang telah diuraikan
sebelumnya. Mahmud Hijaziy menjelaskan ayat-ayat yang mendahului QS. al-Baqarah
(2): 233 tersebut berbicara tentang masalah talak, kemudian ayat 233 ini
berbicara tentang masalah penyapihan. Menurutnya, bahwa kedua masalah ini
terkait (bermunasabah) dengan masalah keluarga.
Masih terkait dengan aspek munasabahnya, Quraish Shihab juga menjelaskan
bahwa QS. al-Baqarah (2): 233 masih merupakan
rangkaian pembicaraan tentang
keluarga. Setelah berbicara
tentang suami isteri, maka pembicaraan pada ayat ini adalah tentang anak
yang lahir dari hubungan suami isteri itu. Disisi lain, ia masih berbicara
tentang wanita-wanita yang ditalak, yakni mereka yang memiliki bayi. Dengan
menggunakan redaksi berita, ayat ini memerintahkan dengan sangat kukuh kepada
para ibu agar menyusukan anak-anaknya,
dan persoalan rumahtangganya dimusyawarahkan antara suami isteri.
Analisis tematik tentang
ayat-ayat musyawarah
Setelah menghimpun dan
menguraikan sabab nuzul dan aspek-aspek munasabah dari ketiga ayat tentang
musyawarah, masih perlu analisis lebih lanjut terhadap kandungan ayat-ayat
tersebut untuk menemukan dan merumuskan konsep musyawarah dalam Al-Qur‟an
secara komprehensif.
a.
Lapangan
musyawarah dan lembaga syura
Lapangan musyawarah,
terinterpretasi dalam QS.
al-Syura (42): 38, dan
secara global ayat
tersebut mengadung konteks
pembicaraan mengenai ciri-ciri orang beriman, yakni;
1.
Taat dan
patuh kepada Allah
2.
Menunaikan
Shalat
3.
Menghidupkan
musyawarah
4.
Berjiwa
dermawan
Kata Wa’amruhum (urusan mereka)
dalam ayat ini, menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang
berkaitan dengan urusan mereka, serta
yang berada dalam wewenang mereka. Ini berarti yang dimusyawarahkan
adalah persoalan yang khusus berkaitan dengan masyarakat sebagai satu unit.
Mengenai kata-kata Syuuraa baynahum (musyawarah antara mereka) terkandung
konotasi berasal dari satu pihak tertentu.
Tetapi
rangkaian kalimatnya itu mengisyaratkan makna makna “saling bermusyawarah di
antara mereka”. Dengan demikian, ayat
ini mengandung interpretasi tentang lapangan musyawarah dan pentingnya lembaga
syura. Dikatakan demikian, karena Quraish Shihab mengidentikkan term syura
dalam ayat ini dengan demokrasi. Untuk
mewujudkan kehidupan berdemokrasi, maka lapangan bermusyawarah harus terbuka
secara bebas, dan lembaga syura harus menganut sistem demokrasi sebagai
antitesa dari pola-pola diktator dan egoisme.
Jadi
musyawarah yang merupakan ciri khas
demokrasi yang ditawarkan dalam Islam mempunyai dasar yang kuat. Mufassir
memahaminya sebagai ajaran bermusyawarah untuk kepentingan pemerintahan dan
Negara. Di samping itu, ditemukan
riwayat bahwa Nabi
saw dalam bermusyawarah
melibatkan banyak orang. Riwayat
tersebut bersumber dari Abu Hurairah sebagaimana yang terdapat sunan al-Turmuzi
yakni : “Tidak pernah aku melihat
seseorang yang lehih banyak bermusyawarah bersama- sama sahabat-sahabat dari
pada Rasulullah”.
Dari uraian
di atas, diketahui bahwa musyawarah amat penting dalam kehidupan bersama, dan
hal ini telah ditegaskan oleh Al-Qur’an pada awal datangnya Islam.
Agar musyawarah tersebut dapat berjalan dengan baik.
maka direrlukan lembaga syura sebagai tempat bermusyawarah. Dengan
adanya lembaga syura ini, sangat memungkinkan terwujudnya demokrasi.
b. Demokrasi dan orang-orang yang diminta
bermusyawarah.
Sistem demokrasi dalam perspektif
Islam, telah dicontohkan oleh Nabi saw ketika ia membangun Negara Madinah
sebagaimana yang digambarkan dalam QS.
Ali Imran (3): 159, karena ayat ini turun pada periode Madinah. Dari ayat ini
pula secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada Nabi
saw, karena mengandung konteks pembicaraan mengenai sikap yang
diperintahkan kepada Nabi saw yakni:
1)
Sikap
lemah lembut
2)
Memberi
maaf
3)
Perintah
bermusyawarah
4)
Perintah
bertawakkal
Kata Wasyaawirhum (dan bermusyawarahlah dengan mereka)
mengandung perintah kepada Nabi saw untuk bermusyawarah dengan sahabatnya.
Karena ayat ini adalah dalam konteks madaniyah, dan ketika itu Nabi saw juga
sebagai pemimpin Negara, maka perintah musyawarah dalam ayat tersebut
menunjukkan telah disyari’atkan musyawarah secara formal dalam suatu Negara.
Menurut M. Quraish Shihab bahwa petunjuk ayat tersebut tetap dapat dipahami
berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada Nabi saw. Di
sini Nabi saw berperan sebagai pemimpin umat, yang berkewajiban menyampaikan
kandungan ayat kepada seluruh umat, sehingga sejak kandungannya telah ditujukan
kepada mereka semua.
Dengan kembali mencermati redaksi ayat yang dikaji ini,
nampak bahwa ayat tersebut masih memiliki kandungan lain, yakni berkenaan
dengan moral kepemimpinan yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan
partisipasi umat dan tokoh-tokohnya. Sifat-sifat yang
dimaksud adalah lemah
lembut, dan tidak menyakiti hati
orang lain, baik dengan perkataan ataupun perbuatan. Serta memberi kemudahan
dan ketentraman kepada masyarakat. Sifat-sifat ini, merupakan faktor subyektif
yang dimiliki seorang pimpinan yang dapat merangsang dan mendorong orang lain
untuk berpartisipasi dalam musyawarah. sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak
memiliki sifat-sifat tersebut, niscaya orang akan menjauh dan tidak memberi
dukungan.
Menurut Muhammad
Rasyid Ridha bahwa sifat-sifat terpuji yang secara terinci dalam ayat tersebut
harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam upaya menciptakan pemerintahan
yang demokrasi (Rusdi, 2014). Dengan
sistem pemerintahan yang demokrasi, maka
rakyat akan terdidik
dalam mengeluarkan pendapat
dan mempraktekkannya. Di sisi
lain, Ibn Katsir menegaskan bahwa mewujudkan pemerintahan yang
demokrasi merupakan penghargaan
kepada tokoh-tokoh dan pemimpin masyarakat, sehingga mereka dapat
berpartisipasi dalam berbagai urusan dan kepentingan bersama. Bahkan dalam pandangan penulis bahwa
pelaksanaan musyawarah merupakan penghargaan kepada hak kebebasan mengemukakan
pendapat, hak persamaan, dan hak memperoleh keadilan setiap individu.
Ayat-ayat musyawarah
yang dikutip di atas, tidak menetapkan
sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah tidak juga jumlahnya. Namun
demikian, dari hadits dan pandangan ulama, diperoleh informasi tentang
sifat-sifat umum yang hendaknya dimilki oleh orang yang diajak bermusyawarah.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktik yang
dilakukan Nabi SAW cukup beragam (Bharata et al., 2023). Terkadang beliau
memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyarawahkan,
terkadang juga beliau melibatkan pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada
semua yang terlibat di dalam
masalah yang dihadapi. Dapat dipahami
bahwa praktek musyawarah seperti ini, sangat patut untuk
ditiru dan diikuti. Karena itu, kepada mereka yang hendak bermusyawarah hendaklah
memilih dan melihat siapa-siapa yang berhak untuk diikutkan dalam musyawarah,
sehingga keputusan yang diambil, menjadi akurat dan bermanfaat.
Kaidah dalam
bermusyawarah
Dalam bermusyawarah ada beberapa hal yang harus diperhatikan berdasarkan
petunjuk Al-Qur’an (QS Ali
Imran [3]: 159), antara lain :
1) Pertama, bersikap lemah
lembut. Setiap peserta musyawarah harus dapat bersikap lemah lembut, baik dalam
sikap, ucapan dan tindakan, serta menghindari sikap emosional, berkata-kata
kasar, menggebrak meja, dan keras kepala.
2) Kedua, mudah memberi
maaf. Sikap ini harus dimiliki oleh setiap peserta sebab musyawarah itu tidak
akan berjalan dengan baik jika masing-masing peserta masih diliputi kekeruhan
hati.
3) Ketiga, membangun
hubungan yang kuat dengan Allah melalui permohonan ampun. Dalam musyawarah
dimungkinkan terjadi kesalahan, baik yang disadari maupun tidak, Rasulullah SAW
mengajarkan doa kafaratul majelis sebagai penutup musyawarah.
"Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilahailla anta astaghfiruka
wa'atubu ilaik" (Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi
bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon
pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu). (HR Tirmidzi).
4) Keempat, membulatkan
tekad. Sudah semestinya peserta musyawarah membulatkan tekad dalam mengambil
suatu keputusan yang disepakati bersama (mufakat), bukan saling ingin menang
sendiri tanpa ada keputusan. Dan, jika suatu keputusan harus diputuskan melalui
voting maka setiap peserta musyawarah hendaknya dapat menerima hasilnya dengan
lapang dada.
5) Kelima, bertawakal kepada
Allah. Setelah bermusyawarah semestinya keputusan yang telah diambil, baik
secara mufakat maupun voting—hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena
Dialah yang menentukan segala sesuatu itu terjadi.
Kesimpulan
Musyawarah adalah suatu ajaran Islam
yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur'an
yang secara leksikal berarti perundingan. Akan tetapi, secara
terminologi, musyawarah dapat dipahami
sebagai upaya saling
berembuk dengan cara berinteraksi
yang baik antara
dua pihak atau
lebih untuk menyatukan konsep
dalam mencari seluruh yang dianggap terbaik terhadap sesuatu masalah yang dihadapi.
Konsep musyawarah dalam Al-Qur‚Äüan
dapat ditelusuri melalui tiga term, yakni Syura, Syawir,
dan tasyawur. Term syura mengandung interpretasi
tentang lapangan musyawarah dan
demokrasi. Term syawir
mengandung interpretasi
demokrasi dan orang-orang
yang diminta bermusyawarah. Sedangkan
term tasyawur mengandung interpretasi tentang urgennya musyawarah
diterapkan mulai dari unit sosial terkecil (rumah tangga) untuk terbinanya
kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang lebih besar (negara). Jadi,
musyawarah dalam perspektif Al- Qur‚Äüan adalah sesuatu yang penting dan merupakan
kewajiban bagi setiap muslim untuk menerapkannya dalam kehidupan ini.
Dalam bermusyawarah hendaknya
memperhatikan kaidah berdasarkan petunjuk Al-Qur'an sebagaimana yang telah
disebutkan pada pembahasan diatas, antara lain; bersikap lemah lembut, memiliki
jiwa pemaaf dan mudah memaafkan orang lain, senantiasa memiliki sikap taqwa
dengan selalu bermohon ampunan, memantapkan tekad dalam bermusyawarah dan
menjalankan hasilnya serta yang terakhir menyerahkan segala urusan hanya kepada
Allah (Tawakkal).
Abdullah, D. (2014). musyawarah dalam
al-quran (Suatu Kajian Tafsir Tematik). Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana Dan
Ketatanegaraan, 3(2), 242–253.
Al-Suyuti, Y. al-D. (2008). Lubab
al-nuqul fi asbad al-nuzul. Maktaba al-Qayama.
Amrulloh, A. Y., & Arifandi, F. (2022).
Ma’na al-Hub Fi Kitaab al-Hub fi al-Qur’an al-Karim bi Qalam M. Said Ramadhan
al-Buthi Istinadan Ila al-Mandzur al-Siimiiya’iy li Roman Jakobson. Afshaha:
Jurnal Bahasa Dan Sastra Arab, 1(2), 124–136.
Azis, M. H. (2021). Manajemen Musyawarah
Kitab Kuning Oleh Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo.
Institut Agama Islam Tribakti.
Bharata, W. S., Bakar, A., Sabry, M. S.,
Fajrin, S., & Rizal, R. (2023). Wawasan Al-Qur’an tentang Musyawarah (Suatu
Kajian Tematik). Attractive: Innovative Education Journal, 5(2),
479–493.
Darsana, I. M. (2018). Rapat Adat
(Sangkep) Dalam Masyarakat Adat Bali Sebagai Wahana Pembentukan Watak Warga
Negara (Civic Disposition): Studi Kasus Pada Masyarakat Adat Bali di Desa Buyut
Baru Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah. Universitas
Pendidikan Indonesia.
Firdaus, F. (2019). Musyawarah Dalam
Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Al-Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur’an Dan Tafsir,
4(2), 72–81.
Mubarok, A. A. (2019). Musyawarah dalam
Perspektif Al-Quran:(Analisis Tafsir Al-Maragi, Al-Baghawi, dan Ibnu Katsir). MAGHZA:
Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 4(2), 147–160.
Pratiwi, Y. E., & Sunarso, S. (2018).
Peranan Musyawarah Mufakat (Bubalah) Dalam Membentuk Iklim Akademik Positif di
Prodi PPKn FKIP Unila. Sosiohumaniora, 20(3), 199–206.
Rangkuti, A. (2018). Demokrasi dalam
Pandangan Islam dan Barat. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5(2),
40–59.
Rifa’i, T. (2015). Komunikasi dalam
musyawarah (tinjauan konsep Asyura dalam Islam). CHANNEL Jurnal Komunikasi,
3(2).
Rusdi, M. A. (2014). Wawasan Al-Qur’an
Tentang Musyawarah. Jurnal Tafsere, 2(1).
Sari, R. K. (2021). Penelitian Kepustakaan
Dalam Penelitian Pengembangan Pendidikan Bahasa Indonesia. Jurnal Borneo
Humaniora, 4(2), 60–69.
Sihab, M. Q. (2007). Tafsir AL Mishbah:
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati.
Yatim, B. (n.d.). Ikatan cendekiawan
muslim se-indonesia: background and hopes.
Copyright holder: Ayub Handrihadi, Achmad Abu Bakar, Halimah Basri (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |