Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
9, No. 4,
April
2024
PERILAKU
KOMUNIKASI TERHADAP ANAK DOWN SYNDROME
Maria Florencia Yunita Bello, Meylisa Yuliastuti
Sahan, Innosensia E. I. N. Satu
Universitas Katolik Widya
Mandira, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini
dibuat dengan tujuan untuk mengetahui perilaku komunikasi anak dengan down
syndrome di panti asuhan bakti luhur kupang. Peran biarawati dalam mengasuh dan mendidik anak down
syndrome tentu saja berbeda dengan anak down syndrome yang diasuh langsung
oleh orangtua mereka sendiri. Metode penelitian yang digunakanadalah penelitian
kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan peran biarawati sebagai pengasuh
dalam meningkatkan kemandirian yang mempengaruhi perilaku komunikasi setiap
anak down syndrome di panti asuhan bakti luhur. Bagaimana mereka
membimbing, membina, mendidik, memotivasi, menjadi teladan, menasihati, dan
melatih anak. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa peningkatan komunikasi
anak down syndrome dalam aspek self help dan self care, dan
secara umum kemandirian dalam daily living skill.
Kata Kunci: perilaku komunikasi, anak, down syndrome
Abstract
This study aims to determine the
communication behavior of children with Down syndrome at the Bakti Luhur Kupang
orphanage. The role of nuns in caring for and educating children with Down
syndrome is different from children with Down syndrome who are cared for
directly by their parents. This research uses qualitative research methods with
interviews, observation, and documentation data collection techniques. The
research results also show that the role of nuns as caregivers in increasing
the independence of children with Down syndrome at the Bakti Luhur orphanage is
to educate, guide, develop, motivate, be role models, advise, and train
children. The research results also show that the independence of children with
Down syndrome increases in the aspects of self-help and self-care and general
independence in daily living skills.
Keywords: communication behavior, children, Down syndrome
Pendahuluan
Mengasuh dan mengurus anak dengan keterbelakangan mental
bukanlah hal yang mudah, diantara banyaknya anak dengan keterbelakangan mental
salah satunya adalah anak dengan down syndrome. Biarawati yang menjadi
pengganti sosok seorang ibu dari anak down syndrome merupakan suatu tantangan
baru yang membutuhkan usaha maupun tanggung jawab yang besar. Kehidupan seorang
biarawati katolik yang hidup untuk melayani membuat kita sebagai awam sungguh
terpukau, bagaimana mereka dengan terbuka menerima anak dengan down syndrome
yang tidak diketahui dimana keberadaan orangtua ataupun keluarganya, cara
mereka mengelola kondisi psikologis anak tersebut dan berbagai aspek lainnya
seperti ekonomi dan juga lingkungan tempat anak dengan down syndrome tumbuh.
Situasi dan kondisi ini yang membedakan dengan anak down syndrome lainnya yang
ditangani langsung oleh kedua orangtuanya.
Telah kita ketahui
bahwa komunikasi merupakan kegiatan yang kita lakukan setiap harinya dan bagian
dari proses interaksi itu sendiri. Dengan tujuan untuk membangun interaksi
antara satu dengan lainnya. Komunikasi tidak dibatasi oleh jenis kelamin, usia,
maupun fisik dan mental seseorang, karena komunikasi sebagai jembatan dalam
penyampaian pesan sehingga menghasilkan suatu paham yang sama.
Chamidah (2017) sebelumnya telah melakukan
penelitian sejenis tentang perkembangan komunikasi pada anak down syndrome.
komunikasi awal yang efektif akan sangat penting untuk memastikan perkembangan
komunikasi positif pada anak dengan Down Syndrome. Intervensi awal yang
berfokus pada pengembangan kemampuan awal sebagai dasar bahasa dan ucapan akan
memiliki manfaat jangka panjang. Meningkatkan intervensi pada kegiatan
rutinitas sehari-hari merupakan pendekatan yang efektif terhadap intervensi
bahasa dini pada anak dengan Down Syndrome. Penelitian ini bertujuan untuk
menguraikan karakteristik perkembangan komunikasi anak-anak dengan Down
Syndrome dan beberapa kendala yang membuat mereka sulit untuk memiliki
perkembangan bahasa yang baik.
Dengan menggunakan teori interaksi simbolik oleh Mead
peneliti ingin membahas tentang perilaku komunikasi biarawati bersama anak down
syndrome selama ini yang didalamnya terdapat proses, simbol, yang menghasilkan
makna juga tindakan.
Komunikasi yang tidak dibatasi, khususnya oleh fisik dan
mental cukup menarik perhatian. Bagaimana anak Down Syndrome berkomunikasi
dalam kehidupan mereka setiap harinya. Mereka yang berkebutuhan khusus pada
dasarnya sama saja dengan yang tidak berkebutuhan khusus. Mereka juga memiliki
potensi yang bisa dikembangkan selama diberi bimbingan, arahan dan pendidikan
seperti diberikan terapi khusus.
Seorang anak dengan down syndrome perlu diberikan perhatian
khusus karena biasanya mengalami keterlambatan dalam perkembangan dan masalah
perilaku, contohnya dalam berkomunikasi biasanya berbicara lebih lambat dan
sulit dimengerti, belum memahami tentang bahaya atas suatu tindakan, mencari
perhatian dengan membuat masalah, keras kepala, obsesif dan mudah tantrum,
sehingga hal-hal ini mempengaruhi komunikasi dan interaksi sosial.
Selain itu faktor lain yang mempengaruhi komunikasi adalah
kemampuan intelektual anak yang akan berpengaruh pada kemampuan berbicara dan
berkomunikasi. Anak yang IQ-nya lebih tinggi biasanya lebih mudah, lebih tertarik
dan lebih lancar dalam berbicara dibandingkan dengan anak yang memiliki IQ
kurang (Muslimah
& Satwika, 2019). Lingkungan juga
memiliki peran dalam perkembangan komunikasi anak (Santrock,
2007).
Para biarawati yang menangani anak dengan down syndrome
punya tanggung jawab yang berbeda dibanding menangani anak-anak lain pada
umumnya, tentu saja perlu adanya penyesuaian yang tidak mudah. Anak dengan down syndrome pada dasarnya sudah
berbeda sejak awal, maka sangat dibutuhkan perhatian dan penanganan ekstra.
Para biarawati harus lebih memperhatikan dan menciptakan lingkungan yang baik
bagi tumbuh kembangnya. lingkungan yang baik, memiliki daya sendiri bagi mereka
sehingga mereka tumbuh percaya diri dan berprestasi walaupun mereka memiliki
kekurangan dan perbedaan. Perbedaan yang mereka miliki membutuhkan ilmu dan
pembinaan yang tepat, baik itu pemahaman tentang down syndrome itu sendiri
maupun pendidikan, psikologi, dan pastinya komunikasi.
Perilaku komunikasi anak dengan down syndrome yang diasuh
oleh para biarawati ini sangat menarik dan penting untuk dikaji sehingga mampu
menemukan solusi dan mengembangkan proses yang tepat dalam menunjang proses
komunikasi terhadap anak down syndrome di panti asuhan bakti luhur itu sendiri.
Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui perilaku komunikasi anak
dengan down syndrome di panti asuhan bakti luhur kupang.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi, Pendekatan fenomenologi yang digunakan sesuai pendapat
Polkinghome bahwa fenomenologi merupakan studi yang menjelaskan makna dari
sebuah pengalaman hidup seorang individu atau lebih mengenai suatu konsep atau
fenomena. Seorang ahli fenomenologi akan mengeksplorasi struktur kesadaran yang
ada di dalam pengalaman manusia. Fenomenologi mengacu pada sebuah usaha untuk
mendeskripsikan pondasi akhir dari pengalaman manusia dengan cara melihat lebih
pengalaman sehari-hari untuk menggambarkan esensi yang mendukung (Creswell
& Poth, 2016). Peneliti ingin
menganilisa pengalaman, sikap serta perilaku komunikasi anak dengan down
syndrome yang ada dipanti asuhan bakti luhur. Data yang dikumpulkan melalui
wawancara, dokumentasi dan observasi langsung kelokasi.
Hasil dan Pembahasan
WHO sebagai organisasi kesehatan dunia mengatakan anak
berkebutuhan khusus atau juga dikenal dengan disabilitas yang artinya
ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas atau aktivitas tertentu seperti orang
normal, yang disebabkan kondisi mereka seperti kecacatan, ataupun kelainan
psikologis, fisiologis, atau struktural atau fungsi anatomi. Mereka juga
memiliki kondisi yang berbeda-beda, seperti cacat fisik, cacat mental, dan
gabungan antara cacat fisik dan mental yang berdampak pada kemampuan
adaptasinya sehingga memerlukan dukungan dan bantuan (ILO, 2006) salah satunya
dalah down syndrome (Sholihah,
2016).
Down syndrome merupakan kondisi kelainan
kromosom yang ada hubungannya dengan kecacatan intelektual dan ditandai dengan berbagai kelainan klinis
yang berbeda-beda pada setiap individu. Menurut John Langdon tahun 1866 pada awal
munculnya down syndrome
mengidentifikasi bahwa jenis
penyakit ini disebabkan oleh
penyebab kelainanan genetik. Masih sering ditemukan kesenjangan
dalam hal perawatan maupun kesehatan bagi anak dengan down syndrome bahkan
sampai terjadinya diskriminasi (Kamil
et al., 2023). Hal ini memberi
dampak menurun dan terbatasnya kualitas hidup anak dengan down syndrome
sehingga sering menemui kendala dan keterbatasan gerak dalam hal fisik yang
membuat mereka perlu bergantung dengan individu lainnya. Penderita DS yang
sering disebut juga dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mempunyai
ciri fisik secara
umum yang berbeda
dengan individu lainnya, Kesehatan mental yang kurang stabil
serta ditandai dengan kelainan sosial dilingkungan masyarakat. Down Syndrome dapat disebut
dengan anak berkebutuhan
khusus.
Anak dengan gangguan
emosi dan perilaku
a)
Down Syndrome
Down syndrome atau kembar
sedunia merupakan suatu kelainan yang terjadi karena adanya kelainan pada
perkembangan kromosom yaitu pada kromosom 21. Down syndrome mempunyai ciri-ciri
yang sama dan unik pada anak kembar. semua orang yaitu : mata sipit ke atas,
hidung lebar, leher tebal, muka. jari-jari tangan rata, pendek, dan otot
cenderung lemah.
b)
Anak dengan Gangguan Konsentrasi dan Hiperaktif
Anak dengan Attention and
Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Attention Deficit and Hyperactivity Disorder
(ADHD) adalah suatu gangguan tumbuh kembang yang ditandai dengan gangguan
pengendalian diri, masalah dengan perhatian dan perhatian, serta hiperaktif dan
impulsif yang menyebabkan anak kesulitan berperilaku, berpikir, dan
mengendalikan emosi.
c)
Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD)
Autism Spectrum Disorder (ASD)
adalah sekelompok gangguan perkembangan yang melibatkan spektrum dengan
berbagai gejala, kemampuan, dan berbagai tingkat keterbatasan seperti gangguan
komunikasi, interaksi sosial, dan gerakan berulang dari derajat ringan hingga
berat.
d)
Cerebral Palsy
Cerebral palsy merupakan
penyakit yang meliputi kurangnya koordinasi otot, gemetar atau cacat bicara
yang tidak jelas yang paling sering disebabkan oleh kekurangan oksigen saat
lahir (Santrock,
2009). Berdasarkan
beberapa penggolongan anak berkebutuhan khusus di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang termasuk dalam kelompok anak berkebutuhan khusus adalah individu yang
mempunyai gangguan atau hambatan dalam bidang fisik, psikis, sosial, dan
emosional.
Anak
berkebutuhan khusus dengan berbagai hambatan, baik satu hambatan maupun dua hambatan
sekaligus akan merugikan perkembangan diantaranya, perkembangan komunikasi,
perkembangan gerak, perkembangan kognitif, perkembangan sosial dan emosional,
serta perkembangan konsep dan citra diri (Sunanto,
2013). Melihat hal
tersebut Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan dan pelayanan yang khusus dan
berkesinambungan guna membantu anak berkebutuhan khusus dalam meminimalisir
dampak dari hambatan yang dimilikinya. Idealnya, orang tua khususnya ayah perlu
memberikan pengasuhan yang dibutuhkan anak-anak tersebut (Sailana
et al., 2016). Anak berkebutuhan
khusus memerlukan pelayanan yang lebih intensif selain pengasuhan dan
pengasuhan orang tua (Tafuli
et al., 2016).
Pelayanan
Anak Berkebutuhan Khusus oleh Biarawati Pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus
adalah pelayanan yang diberikan oleh seseorang (guru, pembina, pengasuh, atau
pelatih) untuk orang lain (anak berkebutuhan khusus) untuk memenuhi
kebutuhannya. Pelayanan tersebut diperlukan untuk membantu anak agar mempunyai
kualitas hidup (Kiling-Bunga
& Kiling, 2017).
Layanan
bagi anak berkebutuhan khusus juga dibekali para biarawati dalam menjalankan
misinya menyerukan kehidupan religius. Dilihat dari tata tertib atau cara hidup
kongregasi, ditemukan adanya pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus
yang menjadi bagian dari pelayanan suster dalam tugas misi. Anggaran dasar atau
cara hidup dengan pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus, termasuk (a)
hidup bersama anak berkebutuhan khusus/disabilitas, miskin, dan terlantar; (b)
membentuk kelompok masyarakat berkebutuhan khusus dan perkumpulan untuk
memperkuat kerja pelayanan; (c) memberikan pelayanan dengan memperhatikan
budaya lokal tanpa membedakan suku, agama, dan suku; (d) pembentukan kader
pemimpin yang bertanggung jawab dalam pelayanan (Statuta ALMA Puteri di Derung
Tahun 2018). Hal inilah yang menjadi tugas para suster yaitu mendampingi dan
memberdayakan masyarakat berkebutuhan khusus, khususnya pelayanan terhadap anak
berkebutuhan khusus dan juga masyarakat miskin terlantar. Para biarawati
mengemban misi ini untuk mewujudkan Injil dan hubungannya dengan Tuhan dalam
pelayanan (Kitab
Hukum Kanonik, 2016).
Inilah tugas para biarawati, yaitu mendampingi
dan memberdayakan masyarakat berkebutuhan khusus khususnya pelayanan terhadap
anak berkebutuhan khusus dan juga masyarakat miskin terlantar. Para biarawati
mengemban misi ini untuk mewujudkan Injil dan hubungannya dengan Tuhan dalam
pelayanan (Kitab Hukum Kanonik, 2016). Hal ini menjadi tugas para suster, yaitu
membantu dan memberdayakan masyarakat berkebutuhan khusus, khususnya pelayanan
kepada anak berkebutuhan khusus dan juga kepada masyarakat miskin terlantar.
Para biarawati mengemban misi ini untuk mewujudkan Injil dan hubungannya dengan
Tuhan dalam pelayanan (Kitab
Hukum Kanonik, 2016)
Salah
satu misi pelayanan yang dilakukan para biarawati adalah pelayanan kepada anak
berkebutuhan khusus yang dikenal dengan misi kasih yaitu biarawati. melakukan
pekerjaan sosial dan upaya mencari, mengasuh, merawat, mendidik dan hidup
bersama dengan penyandang disabilitas (Derung, 2018). Dalam menjalankan misi
tersebut, para biarawati perlu menunjukkan empati dan penghargaan positif tanpa
syarat untuk membantu mereka dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Disabilitas
(Kiling-Bunga
& Kiling, 2017). Pelayanan suster
dalam tugas misi tidak hanya ditujukan kepada anak-anak berkebutuhan khusus
yang tinggal bersama seperti di panti asuhan atau asrama, namun juga bergerak
ke masyarakat luas untuk kepentingan bersama. masyarakat umum, khususnya
masyarakat miskin, berkebutuhan khusus dan masyarakat terlantar tanpa memandang
suku, agama, dan ras (Halidu,
2022). Para biarawati
mengasuh, mengasuh, dan juga menafkahi segala kebutuhan anak-anak berkebutuhan
khusus yang terlayani dengan tangan mereka sendiri begitu juga dengan kehidupan
berkeluarganya sendiri. Makna Misi Oleh Para Biarawati Tugas misionaris kepada
para biarawati adalah tugas yang wajib diemban atau diemban dilakukan oleh
biarawati yang telah mempersembahkan diri dan nyawanya melalui ucapan janji
atau nazar untuk melaksanakan tugas pengabdian yang diterima dari tarekat atau
jamaah yang membawahinya sesuai dengan spiritualitas tarekat tersebut. Para
biarawati mengemban berbagai macam tugas dakwah, salah satunya adalah pelayanan
terhadap fakir miskin dan terlantar, khususnya kepada anak berkebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus dengan berbagai kondisi yaitu adanya disabilitas
fisik, disabilitas mental, dan kombinasi disabilitas fisik dan mental berdampak
pada kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan sehinggabahwa perlu adanya
dukungan dan bantuan dari pihak lain (ILO,
2006). Oleh karena itu,
pelayanan khususnya akan membantu mereka untuk lebih mandiri dalam berinteraksi,
bersosialisasi, dan melakukan aktivitas dalam menjalani kehidupan seperti yang
dilakukan biarawati. Pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus dilaksanakan
oleh biarawati sebagai salah satu tugas misi, karena biarawati mempunyai tugas
membantu dan memberdayakan masyarakat berkebutuhan khusus dan juga masyarakat
miskin yang terlantar sebagai wujud Injil dan hubungannya dengan Tuhan (Kitab
Hukum Kanonik, 2016).
Anak yang
mengalami down syndrome
yakni yang membedakan
adalah kemampuan dan mood
masing-masing siswa. Disinilah
pentingnya peran biarawati dalam proses
komunikasi yang baik
yaitu dengan melakukan
pendekatan sebelum berlanjut ke proses berikutnya agar proses
pengembangan berjalan dengan baik. Maka dari itu biarawati menggunakan pola komunikasi interpersonal tujuannya agar
bisa memahami karakteristik dan mood mereka lebih dalam
dan mempengaruhi perilakunya.
Melalui komunikasi interpersonal
ini biasanya biarawati menjadi lebih intim perlakuannya yang
dapat menyemangati dan memberikan perhatian lebih pada anak
tersebut. Maka dalam pelaksanaan komunikasi interpersonal sendiri sangat bagus
digunakan untuk mempersuasi mereka.
Seseorang yang terlibat
dalam komunikasi interpersonal
pasti akan memperoleh pengalaman.
Proses komunikasi
interpersonal menghasilkan pengalaman
baru yang menunjukkan perubahan kecil maupun perubahan besar
(Martha
et al., 2022).
Pengalaman
komunikasi para biarawati dengan anak down syndrome merupakan pengalaman yang
beragam, mulai dari mereka harus menerima keadaan anak sampai dengan mengasuh
dan membimbing mereka. Pengasuhan pada anak down syndrome merupakan proses
paling penting yang harus dilakukan dan dilalui, hal ini dikarenakan pengasuhan
yang diberikan para biarawati kepada anak down syndrome akan menjadi salah satu
modal atau dasar anak dalam menjalani kehidupan ke depannya, khususnya
pengasuhan atau pembelajaran yang menumbuhkan kemandirian anak. Banyak sekali
perubahan yang terjadi pada kehidupan setelah bertemu anak dengan down
syndrome, seperti keseharian mereka, aktivitas dan kagiatan sehari-hari,
pekerjaan, dan lain-lain. Menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keperluan
rumah tangga, waktu untuk anak, dan waktu untuk diri sendiri dalam kehidupan
sehari-hari merupakan suatu tantangan yang berat (Rahma
& Indrawati, 2018).
Kesimpulan
Anak
berkebutuhan khusus atau disabilitas adalah kondisi yang mempengaruhi kemampuan
individu dalam melakukan aktivitas atau aktivitas tertentu, seperti cacat
fisik, cacat mental, atau gabungan antara kedua. Down syndrome adalah contoh
kelainan kromosom yang disebabkan oleh penyebab kelainanan genetik dan
mempengaruhi kemampuan intelektual, kesehatan mental, dan sosial. Anak
berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan yang lebih intensif selain pengasuhan
dan pengasuhan orang tua. Pelayanan anak berkebutuhan khusus oleh biarawati
meliputi pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus yang menjadi bagian
dari pelayanan suster dalam tugas misi. Idealnya, orang tua harus memberikan
pengasuhan yang dibutuhkan anak-anak tersebut, dan anak berkebutuhan khusus
memerlukan pelayanan yang lebih intensif selain pengasuhan dan pengasuhan orang
tua.
BIBLIOGRAFI
Chamidah,
A. N. (2017). Intervensi dini gangguan perkembangan komunikasi pada anak down
syndrome. Dinamika Pendidikan, 22(1), 27–37.
Creswell, J. W., & Poth, C. N. (2016). Qualitative
inquiry and research design: Choosing among five approaches. Sage
publications.
Halidu, S. (2022). Pendidikan Anak berkebutuhan Khusus.
Penerbit P4I.
ILO, I. L. O. (2006). Global employment trends for youth.
International Labor Office Geneva.
Kamil, N., Fitri, Z. Z., Nasution, H., & Putro, K. Z.
(2023). Memahami Anak Berkebutuhan Khusus: Down Syndrome. Murhum: Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2), 190–198.
Kiling-Bunga, B. N., & Kiling, I. Y. (2017). Tinjauan
tempat tinggal dan jenis kelamin pada kualitas hidup orang usia lanjut. Temu
Ilmiah Nasional “Kontribusi Psikologi Bagi Human Well-Being Indonesia”.
Prosiding.
Kitab Hukum Kanonik. (2016). Dipromulgasikan oleh Paus
Yohanes Paulus II. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.
Martha, A. A., Purwanti, S., & Dwivayani, K. D. (2022).
Pola Komunikasi Guru Terhadap Siswa Down Syndrome di Sekolah Luar Biasa Negeri
Kota Samarinda. Journal of Communication Studies, 2(1), 27–36.
Muslimah, I., & Satwika, Y. W. (2019). Hubungan antara
optimisme dengan adversity quotient pada siswa kelas XI SMA Negeri 2 Pare. Character:
Jurnal Penelitian Psikologi, 6(1), 1–7.
Rahma, M. S., & Indrawati, E. S. (2018). Pengalaman
pengasuhan anak Down Syndrome (studi kualitatif fenomenologis pada Ibu yang
bekerja). Jurnal Empati, 6(3), 223–232.
Sailana, R. M., Thoomaszen, F. W., Kiling-Bunga, B. N., &
Kiling, I. Y. (2016). Aksesibilitas paternal pada ayah dari anak usia dini di
Kota Kupang. Seminar Nasional “Improving Moral Integrity Based on Family”.
Proceeding.
Santrock, J. W. (2007). Psikologi Pendidikan. Kencana
Prenada Media Group.
Santrock, J. W. (2009). Psicologia educacional. AMGH
Editora.
Sholihah, I. (2016). Kebijakan Baru: Jaminan Pemenuhan hak
bagi penyandang disabilitas. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan
Usaha Kesejahteraan Sosial, 2(2).
Sunanto, J. (2013). Konsep Dasar Individu dengan Hambatan
Majemuk. Jassi Anakku, 12(1), 73–86.
Tafuli, Y. K. E., Kiling-Bunga, B. N., Thoomaszen, F. W.,
& Kiling, I. Y. (2016). Persepsi lurah di kota Kupang tentang keterlibatan
ayah dalam pengasuhan dan pendidikan anak usia dini. Seminar Nasional
“Improving Moral Integrity Based on Family”. Proceeding.
Copyright holder: Maria
Florencia Yunita Bello, Meylisa Yuliastuti Sahan, Innosensia E. I. N. Satu (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |