Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 4, April 2024

 

PERILAKU KOMUNIKASI TERHADAP ANAK DOWN SYNDROME

 

Maria Florencia Yunita Bello, Meylisa Yuliastuti Sahan, ⁠Innosensia E. I. N. Satu

Universitas Katolik Widya Mandira, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui perilaku komunikasi anak dengan down syndrome di panti asuhan bakti luhur kupang. Peran biarawati  dalam mengasuh dan mendidik anak down syndrome tentu saja berbeda dengan anak down syndrome yang diasuh langsung oleh orangtua mereka sendiri. Metode penelitian yang digunakanadalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan peran biarawati sebagai pengasuh dalam meningkatkan kemandirian yang mempengaruhi perilaku komunikasi setiap anak down syndrome di panti asuhan bakti luhur. Bagaimana mereka membimbing, membina, mendidik, memotivasi, menjadi teladan, menasihati, dan melatih anak. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa peningkatan komunikasi anak down syndrome dalam aspek self help dan self care, dan secara umum kemandirian dalam daily living skill.

Kata Kunci: perilaku komunikasi, anak, down syndrome

 

Abstract

This study aims to determine the communication behavior of children with Down syndrome at the Bakti Luhur Kupang orphanage. The role of nuns in caring for and educating children with Down syndrome is different from children with Down syndrome who are cared for directly by their parents. This research uses qualitative research methods with interviews, observation, and documentation data collection techniques. The research results also show that the role of nuns as caregivers in increasing the independence of children with Down syndrome at the Bakti Luhur orphanage is to educate, guide, develop, motivate, be role models, advise, and train children. The research results also show that the independence of children with Down syndrome increases in the aspects of self-help and self-care and general independence in daily living skills.

Keywords: communication behavior, children, Down syndrome

 

Pendahuluan

Mengasuh dan mengurus anak dengan keterbelakangan mental bukanlah hal yang mudah, diantara banyaknya anak dengan keterbelakangan mental salah satunya adalah anak dengan down syndrome. Biarawati yang menjadi pengganti sosok seorang ibu dari anak down syndrome merupakan suatu tantangan baru yang membutuhkan usaha maupun tanggung jawab yang besar. Kehidupan seorang biarawati katolik yang hidup untuk melayani membuat kita sebagai awam sungguh terpukau, bagaimana mereka dengan terbuka menerima anak dengan down syndrome yang tidak diketahui dimana keberadaan orangtua ataupun keluarganya, cara mereka mengelola kondisi psikologis anak tersebut dan berbagai aspek lainnya seperti ekonomi dan juga lingkungan tempat anak dengan down syndrome tumbuh. Situasi dan kondisi ini yang membedakan dengan anak down syndrome lainnya yang ditangani langsung oleh kedua orangtuanya.

   Telah kita ketahui bahwa komunikasi merupakan kegiatan yang kita lakukan setiap harinya dan bagian dari proses interaksi itu sendiri. Dengan tujuan untuk membangun interaksi antara satu dengan lainnya. Komunikasi tidak dibatasi oleh jenis kelamin, usia, maupun fisik dan mental seseorang, karena komunikasi sebagai jembatan dalam penyampaian pesan sehingga menghasilkan suatu paham yang sama.

Chamidah (2017) sebelumnya telah melakukan penelitian sejenis tentang perkembangan komunikasi pada anak down syndrome. komunikasi awal yang efektif akan sangat penting untuk memastikan perkembangan komunikasi positif pada anak dengan Down Syndrome. Intervensi awal yang berfokus pada pengembangan kemampuan awal sebagai dasar bahasa dan ucapan akan memiliki manfaat jangka panjang. Meningkatkan intervensi pada kegiatan rutinitas sehari-hari merupakan pendekatan yang efektif terhadap intervensi bahasa dini pada anak dengan Down Syndrome. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan karakteristik perkembangan komunikasi anak-anak dengan Down Syndrome dan beberapa kendala yang membuat mereka sulit untuk memiliki perkembangan bahasa yang baik.

Dengan menggunakan teori interaksi simbolik oleh Mead peneliti ingin membahas tentang perilaku komunikasi biarawati bersama anak down syndrome selama ini yang didalamnya terdapat proses, simbol, yang menghasilkan makna juga tindakan.

Komunikasi yang tidak dibatasi, khususnya oleh fisik dan mental cukup menarik perhatian. Bagaimana anak Down Syndrome berkomunikasi dalam kehidupan mereka setiap harinya. Mereka yang berkebutuhan khusus pada dasarnya sama saja dengan yang tidak berkebutuhan khusus. Mereka juga memiliki potensi yang bisa dikembangkan selama diberi bimbingan, arahan dan pendidikan seperti diberikan terapi khusus.

Seorang anak dengan down syndrome perlu diberikan perhatian khusus karena biasanya mengalami keterlambatan dalam perkembangan dan masalah perilaku, contohnya dalam berkomunikasi biasanya berbicara lebih lambat dan sulit dimengerti, belum memahami tentang bahaya atas suatu tindakan, mencari perhatian dengan membuat masalah, keras kepala, obsesif dan mudah tantrum, sehingga hal-hal ini mempengaruhi komunikasi dan interaksi sosial.

Selain itu faktor lain yang mempengaruhi komunikasi adalah kemampuan intelektual anak yang akan berpengaruh pada kemampuan berbicara dan berkomunikasi. Anak yang IQ-nya lebih tinggi biasanya lebih mudah, lebih tertarik dan lebih lancar dalam berbicara dibandingkan dengan anak yang memiliki IQ kurang (Muslimah & Satwika, 2019). Lingkungan juga memiliki peran dalam perkembangan komunikasi anak (Santrock, 2007).

Para biarawati yang menangani anak dengan down syndrome punya tanggung jawab yang berbeda dibanding menangani anak-anak lain pada umumnya, tentu saja perlu adanya penyesuaian yang tidak mudah.  Anak dengan down syndrome pada dasarnya sudah berbeda sejak awal, maka sangat dibutuhkan perhatian dan penanganan ekstra. Para biarawati harus lebih memperhatikan dan menciptakan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembangnya. lingkungan yang baik, memiliki daya sendiri bagi mereka sehingga mereka tumbuh percaya diri dan berprestasi walaupun mereka memiliki kekurangan dan perbedaan. Perbedaan yang mereka miliki membutuhkan ilmu dan pembinaan yang tepat, baik itu pemahaman tentang down syndrome itu sendiri maupun pendidikan, psikologi, dan pastinya komunikasi.

Perilaku komunikasi anak dengan down syndrome yang diasuh oleh para biarawati ini sangat menarik dan penting untuk dikaji sehingga mampu menemukan solusi dan mengembangkan proses yang tepat dalam menunjang proses komunikasi terhadap anak down syndrome di panti asuhan bakti luhur itu sendiri. Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui perilaku komunikasi anak dengan down syndrome di panti asuhan bakti luhur kupang.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, Pendekatan fenomenologi yang digunakan sesuai pendapat Polkinghome bahwa fenomenologi merupakan studi yang menjelaskan makna dari sebuah pengalaman hidup seorang individu atau lebih mengenai suatu konsep atau fenomena. Seorang ahli fenomenologi akan mengeksplorasi struktur kesadaran yang ada di dalam pengalaman manusia. Fenomenologi mengacu pada sebuah usaha untuk mendeskripsikan pondasi akhir dari pengalaman manusia dengan cara melihat lebih pengalaman sehari-hari untuk menggambarkan esensi yang mendukung (Creswell & Poth, 2016). Peneliti ingin menganilisa pengalaman, sikap serta perilaku komunikasi anak dengan down syndrome yang ada dipanti asuhan bakti luhur. Data yang dikumpulkan melalui wawancara, dokumentasi dan observasi langsung kelokasi.

 

Hasil dan Pembahasan

WHO sebagai organisasi kesehatan dunia mengatakan anak berkebutuhan khusus atau juga dikenal dengan disabilitas yang artinya ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas atau aktivitas tertentu seperti orang normal, yang disebabkan kondisi mereka seperti kecacatan, ataupun kelainan psikologis, fisiologis, atau struktural atau fungsi anatomi. Mereka juga memiliki kondisi yang berbeda-beda, seperti cacat fisik, cacat mental, dan gabungan antara cacat fisik dan mental yang berdampak pada kemampuan adaptasinya sehingga memerlukan dukungan dan bantuan (ILO, 2006) salah satunya dalah down syndrome (Sholihah, 2016).

Down syndrome merupakan kondisi  kelainan  kromosom  yang  ada hubungannya  dengan kecacatan intelektual  dan ditandai dengan berbagai kelainan klinis yang berbeda-beda pada setiap individu. Menurut John Langdon tahun 1866 pada awal munculnya down  syndrome mengidentifikasi   bahwa   jenis   penyakit   ini disebabkan  oleh  penyebab  kelainanan  genetik. Masih sering ditemukan kesenjangan dalam hal perawatan maupun kesehatan bagi anak dengan down syndrome bahkan sampai terjadinya diskriminasi (Kamil et al., 2023). Hal ini memberi dampak menurun dan terbatasnya kualitas hidup anak dengan down syndrome sehingga sering menemui kendala dan keterbatasan gerak dalam hal fisik yang membuat mereka perlu bergantung dengan individu lainnya. Penderita DS yang sering disebut juga dengan  anak  berkebutuhan khusus (ABK) yang   mempunyai   ciri   fisik   secara   umum   yang   berbeda   dengan   individu   lainnya, Kesehatan mental yang kurang stabil serta ditandai dengan kelainan sosial dilingkungan masyarakat. Down  Syndrome dapat  disebut  dengan  anak  berkebutuhan  khusus.

 

 

 

 

Anak dengan gangguan emosi dan perilaku

a)    Down Syndrome

Down syndrome atau kembar sedunia merupakan suatu kelainan yang terjadi karena adanya kelainan pada perkembangan kromosom yaitu pada kromosom 21. Down syndrome mempunyai ciri-ciri yang sama dan unik pada anak kembar. semua orang yaitu : mata sipit ke atas, hidung lebar, leher tebal, muka. jari-jari tangan rata, pendek, dan otot cenderung lemah.

b)    Anak dengan Gangguan Konsentrasi dan Hiperaktif

Anak dengan Attention and Hyperactivity Disorder (ADHD) atau Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah suatu gangguan tumbuh kembang yang ditandai dengan gangguan pengendalian diri, masalah dengan perhatian dan perhatian, serta hiperaktif dan impulsif yang menyebabkan anak kesulitan berperilaku, berpikir, dan mengendalikan emosi.

c)    Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD)

Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah sekelompok gangguan perkembangan yang melibatkan spektrum dengan berbagai gejala, kemampuan, dan berbagai tingkat keterbatasan seperti gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan gerakan berulang dari derajat ringan hingga berat.

d)    Cerebral Palsy

Cerebral palsy merupakan penyakit yang meliputi kurangnya koordinasi otot, gemetar atau cacat bicara yang tidak jelas yang paling sering disebabkan oleh kekurangan oksigen saat lahir (Santrock, 2009). Berdasarkan beberapa penggolongan anak berkebutuhan khusus di atas, dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam kelompok anak berkebutuhan khusus adalah individu yang mempunyai gangguan atau hambatan dalam bidang fisik, psikis, sosial, dan emosional.

Anak berkebutuhan khusus dengan berbagai hambatan, baik satu hambatan maupun dua hambatan sekaligus akan merugikan perkembangan diantaranya, perkembangan komunikasi, perkembangan gerak, perkembangan kognitif, perkembangan sosial dan emosional, serta perkembangan konsep dan citra diri (Sunanto, 2013). Melihat hal tersebut Oleh karena itu, perlu adanya bimbingan dan pelayanan yang khusus dan berkesinambungan guna membantu anak berkebutuhan khusus dalam meminimalisir dampak dari hambatan yang dimilikinya. Idealnya, orang tua khususnya ayah perlu memberikan pengasuhan yang dibutuhkan anak-anak tersebut (Sailana et al., 2016). Anak berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan yang lebih intensif selain pengasuhan dan pengasuhan orang tua (Tafuli et al., 2016).

Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus oleh Biarawati Pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pelayanan yang diberikan oleh seseorang (guru, pembina, pengasuh, atau pelatih) untuk orang lain (anak berkebutuhan khusus) untuk memenuhi kebutuhannya. Pelayanan tersebut diperlukan untuk membantu anak agar mempunyai kualitas hidup (Kiling-Bunga & Kiling, 2017).

Layanan bagi anak berkebutuhan khusus juga dibekali para biarawati dalam menjalankan misinya menyerukan kehidupan religius. Dilihat dari tata tertib atau cara hidup kongregasi, ditemukan adanya pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus yang menjadi bagian dari pelayanan suster dalam tugas misi. Anggaran dasar atau cara hidup dengan pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus, termasuk (a) hidup bersama anak berkebutuhan khusus/disabilitas, miskin, dan terlantar; (b) membentuk kelompok masyarakat berkebutuhan khusus dan perkumpulan untuk memperkuat kerja pelayanan; (c) memberikan pelayanan dengan memperhatikan budaya lokal tanpa membedakan suku, agama, dan suku; (d) pembentukan kader pemimpin yang bertanggung jawab dalam pelayanan (Statuta ALMA Puteri di Derung Tahun 2018). Hal inilah yang menjadi tugas para suster yaitu mendampingi dan memberdayakan masyarakat berkebutuhan khusus, khususnya pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus dan juga masyarakat miskin terlantar. Para biarawati mengemban misi ini untuk mewujudkan Injil dan hubungannya dengan Tuhan dalam pelayanan (Kitab Hukum Kanonik, 2016).

 Inilah tugas para biarawati, yaitu mendampingi dan memberdayakan masyarakat berkebutuhan khusus khususnya pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus dan juga masyarakat miskin terlantar. Para biarawati mengemban misi ini untuk mewujudkan Injil dan hubungannya dengan Tuhan dalam pelayanan (Kitab Hukum Kanonik, 2016). Hal ini menjadi tugas para suster, yaitu membantu dan memberdayakan masyarakat berkebutuhan khusus, khususnya pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus dan juga kepada masyarakat miskin terlantar. Para biarawati mengemban misi ini untuk mewujudkan Injil dan hubungannya dengan Tuhan dalam pelayanan (Kitab Hukum Kanonik, 2016)

Salah satu misi pelayanan yang dilakukan para biarawati adalah pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus yang dikenal dengan misi kasih yaitu biarawati. melakukan pekerjaan sosial dan upaya mencari, mengasuh, merawat, mendidik dan hidup bersama dengan penyandang disabilitas (Derung, 2018). Dalam menjalankan misi tersebut, para biarawati perlu menunjukkan empati dan penghargaan positif tanpa syarat untuk membantu mereka dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Disabilitas (Kiling-Bunga & Kiling, 2017). Pelayanan suster dalam tugas misi tidak hanya ditujukan kepada anak-anak berkebutuhan khusus yang tinggal bersama seperti di panti asuhan atau asrama, namun juga bergerak ke masyarakat luas untuk kepentingan bersama. masyarakat umum, khususnya masyarakat miskin, berkebutuhan khusus dan masyarakat terlantar tanpa memandang suku, agama, dan ras (Halidu, 2022). Para biarawati mengasuh, mengasuh, dan juga menafkahi segala kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus yang terlayani dengan tangan mereka sendiri begitu juga dengan kehidupan berkeluarganya sendiri. Makna Misi Oleh Para Biarawati Tugas misionaris kepada para biarawati adalah tugas yang wajib diemban atau diemban dilakukan oleh biarawati yang telah mempersembahkan diri dan nyawanya melalui ucapan janji atau nazar untuk melaksanakan tugas pengabdian yang diterima dari tarekat atau jamaah yang membawahinya sesuai dengan spiritualitas tarekat tersebut. Para biarawati mengemban berbagai macam tugas dakwah, salah satunya adalah pelayanan terhadap fakir miskin dan terlantar, khususnya kepada anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus dengan berbagai kondisi yaitu adanya disabilitas fisik, disabilitas mental, dan kombinasi disabilitas fisik dan mental berdampak pada kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan sehinggabahwa perlu adanya dukungan dan bantuan dari pihak lain (ILO, 2006). Oleh karena itu, pelayanan khususnya akan membantu mereka untuk lebih mandiri dalam berinteraksi, bersosialisasi, dan melakukan aktivitas dalam menjalani kehidupan seperti yang dilakukan biarawati. Pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus dilaksanakan oleh biarawati sebagai salah satu tugas misi, karena biarawati mempunyai tugas membantu dan memberdayakan masyarakat berkebutuhan khusus dan juga masyarakat miskin yang terlantar sebagai wujud Injil dan hubungannya dengan Tuhan (Kitab Hukum Kanonik, 2016).

Anak  yang  mengalami down   syndrome yakni    yang   membedakan   adalah kemampuan  dan  mood  masing-masing  siswa.  Disinilah  pentingnya  peran biarawati  dalam proses  komunikasi  yang  baik  yaitu  dengan  melakukan  pendekatan  sebelum  berlanjut ke proses berikutnya agar proses pengembangan berjalan dengan baik. Maka dari itu biarawati menggunakan  pola komunikasi interpersonal tujuannya agar bisa memahami karakteristik dan mood mereka lebih  dalam  dan  mempengaruhi  perilakunya.  Melalui  komunikasi  interpersonal  ini biasanya  biarawati   menjadi lebih intim   perlakuannya   yang   dapat   menyemangati   dan memberikan perhatian lebih pada anak tersebut. Maka dalam pelaksanaan komunikasi interpersonal sendiri sangat bagus digunakan untuk mempersuasi mereka.  Seseorang  yang  terlibat  dalam  komunikasi  interpersonal  pasti  akan  memperoleh pengalaman. Proses  komunikasi  interpersonal  menghasilkan  pengalaman  baru  yang  menunjukkan perubahan kecil maupun perubahan besar (Martha et al., 2022).

Pengalaman komunikasi para biarawati dengan anak down syndrome merupakan pengalaman yang beragam, mulai dari mereka harus menerima keadaan anak sampai dengan mengasuh dan membimbing mereka. Pengasuhan pada anak down syndrome merupakan proses paling penting yang harus dilakukan dan dilalui, hal ini dikarenakan pengasuhan yang diberikan para biarawati kepada anak down syndrome akan menjadi salah satu modal atau dasar anak dalam menjalani kehidupan ke depannya, khususnya pengasuhan atau pembelajaran yang menumbuhkan kemandirian anak. Banyak sekali perubahan yang terjadi pada kehidupan setelah bertemu anak dengan down syndrome, seperti keseharian mereka, aktivitas dan kagiatan sehari-hari, pekerjaan, dan lain-lain. Menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keperluan rumah tangga, waktu untuk anak, dan waktu untuk diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu tantangan yang berat (Rahma & Indrawati, 2018).

 

Kesimpulan

Anak berkebutuhan khusus atau disabilitas adalah kondisi yang mempengaruhi kemampuan individu dalam melakukan aktivitas atau aktivitas tertentu, seperti cacat fisik, cacat mental, atau gabungan antara kedua. Down syndrome adalah contoh kelainan kromosom yang disebabkan oleh penyebab kelainanan genetik dan mempengaruhi kemampuan intelektual, kesehatan mental, dan sosial. Anak berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan yang lebih intensif selain pengasuhan dan pengasuhan orang tua. Pelayanan anak berkebutuhan khusus oleh biarawati meliputi pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus yang menjadi bagian dari pelayanan suster dalam tugas misi. Idealnya, orang tua harus memberikan pengasuhan yang dibutuhkan anak-anak tersebut, dan anak berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan yang lebih intensif selain pengasuhan dan pengasuhan orang tua.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Chamidah, A. N. (2017). Intervensi dini gangguan perkembangan komunikasi pada anak down syndrome. Dinamika Pendidikan, 22(1), 27–37.

Creswell, J. W., & Poth, C. N. (2016). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five approaches. Sage publications.

Halidu, S. (2022). Pendidikan Anak berkebutuhan Khusus. Penerbit P4I.

ILO, I. L. O. (2006). Global employment trends for youth. International Labor Office Geneva.

Kamil, N., Fitri, Z. Z., Nasution, H., & Putro, K. Z. (2023). Memahami Anak Berkebutuhan Khusus: Down Syndrome. Murhum: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(2), 190–198.

Kiling-Bunga, B. N., & Kiling, I. Y. (2017). Tinjauan tempat tinggal dan jenis kelamin pada kualitas hidup orang usia lanjut. Temu Ilmiah Nasional “Kontribusi Psikologi Bagi Human Well-Being Indonesia”. Prosiding.

Kitab Hukum Kanonik. (2016). Dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.

Martha, A. A., Purwanti, S., & Dwivayani, K. D. (2022). Pola Komunikasi Guru Terhadap Siswa Down Syndrome di Sekolah Luar Biasa Negeri Kota Samarinda. Journal of Communication Studies, 2(1), 27–36.

Muslimah, I., & Satwika, Y. W. (2019). Hubungan antara optimisme dengan adversity quotient pada siswa kelas XI SMA Negeri 2 Pare. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 6(1), 1–7.

Rahma, M. S., & Indrawati, E. S. (2018). Pengalaman pengasuhan anak Down Syndrome (studi kualitatif fenomenologis pada Ibu yang bekerja). Jurnal Empati, 6(3), 223–232.

Sailana, R. M., Thoomaszen, F. W., Kiling-Bunga, B. N., & Kiling, I. Y. (2016). Aksesibilitas paternal pada ayah dari anak usia dini di Kota Kupang. Seminar Nasional “Improving Moral Integrity Based on Family”. Proceeding.

Santrock, J. W. (2007). Psikologi Pendidikan. Kencana Prenada Media Group.

Santrock, J. W. (2009). Psicologia educacional. AMGH Editora.

Sholihah, I. (2016). Kebijakan Baru: Jaminan Pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 2(2).

Sunanto, J. (2013). Konsep Dasar Individu dengan Hambatan Majemuk. Jassi Anakku, 12(1), 73–86.

Tafuli, Y. K. E., Kiling-Bunga, B. N., Thoomaszen, F. W., & Kiling, I. Y. (2016). Persepsi lurah di kota Kupang tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan pendidikan anak usia dini. Seminar Nasional “Improving Moral Integrity Based on Family”. Proceeding.

 

Copyright holder:

Maria Florencia Yunita Bello, Meylisa Yuliastuti Sahan, ⁠Innosensia E. I. N. Satu (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: