Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

MIKROMOBILISASI DALAM TERORISME SERIGALA TUNGGAL: KASUS NIDAL MALIK HASAN DAN UMAR FAROUK ABDULMUTALLAB

 

Pahrirreza, Syahrul Hidayat

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk membahas fenomena teroris serigala tunggal dalam konteks yang lebih luas sebagai bagian dari isu agama dan kekerasan dengan membahasnya melalui perspektif gerakan. Penelitian ini mengambil posisi yang berseberangan dengan definisi yang banyak diyakini mengenai serigala. Dalam definisi baku yang biasa digunakan dalam memahami serigala tunggal dikatakan aksi yang mereka lakukan tidak berkaitan dengan jaringan teroris yang lebih besar. Mereka dianggap mandiri dan tidak mengalami mobilisasi dalam aksinya. Penelitian ini hendak menunjukkan sebaliknya dengan membahas dua kasus yang cukup terkenal, yaitu Nidal Malik Hasan dan Umar Farouk Abdulmutallab. Dalam membahas ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan. Sebagai penelitian kepustakaan, penelitian ini mengandalkan berbagai pustaka relevan yang tersebar secara daring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hasan dan Abdulmutallab memang mengalami mobilisasi oleh Al-Awlaki, seorang perekrut teroris yang disegani di kalangan Islamis. Keduanya mengenal Al-Awlaki dari internet dan mengonsumsi materi-materi ceramahnya. Mereka bahkan aktif untuk membangun kontak dengan Al-Awlaki sebelum memutuskan melakukan aksi kekerasan. Memang Hasan terlihat lebih independen karena tidak mendapatkan perintah daripada Abdulmutallab yang bertemu, mendapatkan pelatihan dan perintah langsung dari Al-Awlaki. Namun, keduanya tetap dikatakan mengalami mobilisasi oleh Al-Awlaki, meskipun dengan derajat yang berbeda.

Kata Kunci: serigala tunggal, terorisme, mobilisasi, AQAP, Al-Awlaki

 

Abstract

This study aims to discuss the phenomenon of lone wolf terrorists in a broader context as part of religious and violent issues by discussing them through the perspective of the movement. This study takes the opposite position of the widely believed definition of a wolf. In the standard definition commonly used in understanding lone wolves, it is said that the actions they carry out are not related to larger terrorist networks. They are considered independent and do not experience mobilization in action. This study wants to show otherwise by discussing two well-known cases, namely Nidal Malik Hasan and Umar Farouk Abdulmutallab. In discussing this, researchers use qualitative methods with the type of literature research. As a literature research, this research relies on various relevant libraries spread online. The results showed that Hasan and Abdulmutallab were indeed mobilized by Al-Awlaki, a respected terrorist recruiter among Islamists. Both knew Al-Awlaki from the internet and consumed his lecture materials. They were even active in establishing contacts with Al-Awlaki before deciding to commit acts of violence. Indeed, Hasan seemed more independent because he did not get orders than Abdulmutallab who met, received training and direct orders from Al-Awlaki. However, both are still said to have been mobilized by Al-Awlaki, albeit to different degrees.

Keywords: lone wolf, terrorism, mobilization, AQAP, Al-Awlaki

 

Pendahuluan

Serangan 9/11 menjadi momentum yang mengubah pandangan para sarjana ilmu sosial, khususnya ilmu politik, terhadap agama. Jika pada periode sebelumnya para sarjana ilmu politik cenderung mengambil posisi sekuler sehingga agama tidak banyak mendapatkan tempat dalam kajian ilmu politik, maka setelah serangan tersebut para sarjana mulai menyadari pentingnya peran agama. Kettel (2014: 210) menyatakan dengan terang bahwa serangan tersebut menjadi bukti bahwa agama merupakan salah satu kekuatan yang mampu memengaruhi, bahkan membentuk sebuah peristiwa politik. Mulai dari sini lah berbagai studi yang membahas peran agama dalam memengaruhi peristiwa politik menjadi semakin banyak dilakukan oleh para sarjana.

Serangan 9/11 membuat peran Islam dalam peristiwa tersebut banyak dibahas oleh para sarjana dalam studi mereka. Silvestri dan Mayall (2015: 21) menyebut peristiwa tersebut menjadikan Islam sebagai objek studi dalam isu agama dan kekerasan. Umumnya mereka yang tertarik pada isu ini menjelaskan pengaruh agama dalam memicu kekerasan dengan menggunakan pendekatan mobilisasi. Mantilla (2010: 37) menegaskan pendekatan mobilisasi sebagai penopang dari teori-teori utama dalam isu agama dan kekerasan. Dalam pendekatan ini, kekuatan interpretatif dan aksi strategis seorang aktor terhadap teks sebuah agama dipandang sangat menentukan dalam terjadinya kekerasan. Di ranah praktis, mobilisasi kekerasan menggunakan agama ini memiliki tiga elemen kunci, yaitu: rasa persatuan komunitas agama yang kuat, adanya doktrin agama, dan adanya pemimpin yang berperan memobilisasi kekerasan (Mantilla, 2010).

Terkait penjelasan di atas, terdapat kekerasan berbasis agama yang sedang berkembang dan dianggap menjadi ancaman global, yaitu terorisme serigala tunggal (lone wolf) yang terinspirasi oleh Islam (Simon, 2016, p. 25). Burton dan Stewart (2008) mendefinisikan serigala tunggal sebagai ‘orang yang bertindak sendiri tanpa perintah dari—atau bahkan hubungan ke—sebuah organisasi. Dengan kata lain, berbeda dengan kekerasan berbasis agama lain, atau spesifiknya terorisme yang beroperasi secara berkelompok, serigala tunggal bisa dikatakan tidak mengalami mobilisasi dalam aksi kekerasan yang mereka lakukan. Namun, definisi ini, menurut hemat peneliti masih dapat digugat karena beberapa kasus serigala tunggal juga ternyata menunjukkan adanya jejaring mobilisasi dengan kelompok yang lebih besar. Penelitian ini akan mendiskusikan kasus Nidal Malik Hasan dan Umar Farouk Abdulmutallab untuk menunjukkan bahwa serigala tunggal juga sebetulnya mengalami mobilisasi seperti kekerasan berbasis agama lainnya.

Penelitian ini pada dasarnya ingin mengetengahkan fenomena serigala tunggal, khususnya serigala tunggal dengan basis ideologi Islam, ke dalam pembicaraan mengenai agama dan kekerasan. Tulisan ini mengambil posisi berseberangan dari definisi serigala tunggal yang banyak diyakini. Definisi baku dari serigala tunggal menyebutkan bahwa mereka merupakan individu-individu yang melakukan serangan terorisme secara mandiri tanpa dimobilisasi oleh jaringan teroris yang telah ada, pokok argumen dari tulisan ini justru sebaliknya. Peneliti berpendapat bahwa serigala tunggal dalam aksi kekerasan yang mereka lakukan mengalami mobilisasi. Hal ini akan berusaha dibuktikan dengan mengambil dua kasus serigala tunggal yang cukup terkenal, yaitu kasus Hasan dan Abdulmutallab.

Penelitian ini memiliki tujuan tunggal, yaitu untuk memperdalam pengetahuan mengenai serigala tunggal, khususnya mobilisasi yang dialami oleh pelakunya, dengan mengambil kasus Nidal Malik Hasan dan Umar Farouk Abdulmutallab untuk menunjukkan bahwa pelaku dari terorisme jenis ini juga berhubungan dengan kelompok ekstrem tertentu.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan merupakan bagian dari penelitian kualitatif yang dilakukan tanpa terjun ke lapangan dengan memanfaatkan sumber data sekunder, baik yang sudah atau belum dipublikasikan (Bagenda, 2022, p. 15). Senada dengan pendapat tersebut, Zed (2014: 2) lebih jelas menyatakan bahwa penelitian kepustakaan sebagai metode untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan membatasi kegiatan hanya pada bahan yang tersedia di dalam perpustakaan. Sebagai penelitian kepustakaan, sumber data dalam penelitian ini tentu saja akan mengandalkan data sekunder yang relevan, baik berupa buku, artikel jurnal, majalah, atau bentuk pustaka lain. Pustaka-pustaka yang dibutuhkan ini dikumpulkan menggunakan teknik kepustakaan (Maisarah, 2022, p. 102). Kemudian, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti menggunakan beberapa instrumen seperti kartu catatan dan kotak penyimpan catatan (Zed, 2014). Metode analisis data sendiri menggunakan metode seleksi yang biasa dipakai dalam penelitian kepustakaan (Zed, 2014).

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa tulisan ini hanya mendiskusikan dua kasus serigala tunggal, yaitu Hasan dan Abdulmutallab. Dua kasus ini dipilih berdasarkan pada data dari Saiya (2021: 13) yang memuat tidak kurang dari 60 kasus serangan serigala tunggal yang memiliki motif Islam. Pemilihan dua kasus ini tidak didasarkan pada banyaknya korban dari serangan, melainkan berdasarkan pertimbangan bahwa dua kasus ini memiliki hubungan dengan Al-Awlaki, seorang penceramah radikal yang melakukan perekrutan untuk Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP). Selain itu, kedua kasus ini dipilih dengan alasan pragmatis, karena data yang tersedia mengenai dua kasus sudah cukup memadai dan visible untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.

 

Hasil dan Pembahasan

Mengadopsi Identitas Partisipasi

Keterampilan dan Sumber Daya

Hasan merupakan anak seorang imigran Palestina bernama Malik Awadallah dan Hanan Ismail pada tahun 1970 di Arlington County, Virginia, Amerika Serikat. Orang tua Hasan sebenarnya bukan seorang Muslim yang taat. Karenanya Hasan juga tidak terlalu tertarik pada agama. Pada tahun 1986 Hasan pindah ke Roanoke, Virginia menyusul ayahnya yang sudah lebih dulu pindah. Di sini dia dan keluarganya mengelola sebuah restoran dan bar yang menjual minuman beralkohol (Poppe, 2018, p. 6). Di sini dia menamatkan sekolahnya di William Fleming High School pada tahun 1988 (New York Times, 2013). Setelah itu, dia mendaftar Angkatan Darat untuk tur tiga tahun. Dia menganggap militer sebagai cara untuk kemajuan dirinya dan sebagai jalan mendapatkan bantuan keuangan untuk kuliah. Pada tahun 1997 Hasan mendapatkan gelar sarjana di bidang biokimia dari College of Agriculture and Life Sciences di Virginia Tech dengan kuliah dibiayai oleh Angkatan Darat Amerika Serikat (Poppe, 2018).

Setelah lulus dari Virginia Tech, Hasan mulai memasuki tugas aktif karena dia diangkat sebagai perwira di Departemen Medis Angkatan Darat dan menjalani pelatihan medis di Fort Sam Houston pada tahun 1997 (New York Times, 2013). Pada tahun yang sama dia juga tercatat sebagai mahasiswa di Uniformed Services University of the Health Sciences (USUHS) (Poppe, 2018). Di USUHS dia memiliki kinerja yang buruk (Mount, 2010). Masa studinya di USUHS ini baru diselesaikan pada tahun 2003 di bidang psikiatri. Setelah itu dia masuk residensi di Walter Reed Army Medical Center (Poppe, 2018). Menurut Poppe (2018: 8) di sinilah radikalisasi Hasan mulai terlihat. Pada tahun 2009 Hasan dipromosikan menjadi mayor. Pada tahun yang sama pula dia menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk memulai serangan terhadap rekannya. Dia tercatat membeli pistol FN 5-7, magazien, dan amunisi di Guns Galore, sebuah toko senjata di Killen. Dia juga diketahui pergi latihan menembak ke Stan’s Shooting Range yang letaknya cukup jauh pada waktu luangnya. Seorang instruktur di tempat latihannya mengatakan Hasan berhasil menembak kepala mencapai 80-90 persen (Poppe, 2018).

Sementara Abdulmutallab merupakan anak seorang bankir dan pengusaha kaya dari Funtua, Katsina, Nigeria Utara. Dia lahir dari ayah bernama Umaru Mutallab dan ibu bernama Aisha pada tanggal 22 Desember 1986 (Counter Extremism Project, n.d.; Global Fight Against Terrorism Funding, 2019; Rice, 2009). Jika melihat latar belakang keluarganya, Abdulmutallab bisa dikatakan anak salah satu elite Nigeria. Ayahnya dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Afrika (Global Fight Against Terrorism Funding, 2019). Ayahnya merupakan ketua First Bank of Nigeri dan mantan Komisioner Federal Nigeria untuk Pembangunan Ekonomi (Tucker et al., 2013, p. 2).

Dengan latar belakang cemerlang seperti itu, Abdulmutallan menikmati pendidikan di lembaga pendidikan elite sepanjang hidupnya (Tucker et al., 2013). Walker et al. (2009) menyebut pendidikannya sebagai cerminan dari hak istimewa yang dimilikinya. Dia menghadiri kelas di berbagai sekolah elite. Meskipun begitu, kurang jelas apakah dia menyelesaikannya. Namun, informasi yang jelas menyebutkan pada tahun 2005 hingga 2008 dia tercatat sebagai salah satu mahasiswa di University College London (UCL) di bidang teknik mesin (Tucker et al., 2013). Selama menjadi mahasiswa di UCL, dia hidup nyaman di sebuah apartemen di London Barat (BBC, 2011). Pada tahun 2008 dia menamatkan pendidikannya di UCL. Mulai dari sini dia sering mengunjungi keluarganya di Nigeria (Rice, 2009). Dalam salah satu kunjungannya, dia menyampaikan niatnya untuk terus belajar bahasa Arab. Namun, orang tuanya justru mengirimnya ke Dubai untuk menjalani program pascasarjana di bidang bisnis internasional di University of Wollongong. Kuliahnya di Dubai ini tidak selesai. Dia mengatakan menemukan kursus alternatif. Dari sinilah Abdulmutallab menghilang sampai serangan bom bunuh diri yang dilakukan (Tucker et al., 2013).

Ikatan Sosial/Komitmen

Perlu dicatat bahwa baik Hasan dan Abdulmutallab lahir dan besar dalam keluarga dengan keragamaan yang berbeda. Hasan sebagaimana telah disinggung di atas lahir dari orang tua yang tidak taat. Sehingga tidak ada celah untuk mencurigai keluarganya sebagai orang yang menginspirasinya untuk melakukan aksi terorisme. Sementara Abdulmutallab memang lahir dari keluarga yang cukup konservatif. Namun, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa keluarga Abdulmutallab memiliki minat pada pemahaman ekstrem. Dengan demikian, dua pelaku serigala tunggal ini tidak bisa dikatakan terpengaruh oleh keluarganya. Di lingkungan pertemanan pun keduanya tampaknya sama-sama gagal membuat hubungan pertemanan. Hasan diketahui gagal mengembangkan hubungan dekat dengan rekan-rekan profesinya selama di Walter Reed Army Medical Center (Poppe, 2018). Kondisi terpinggirkan ini bahkan dialami Hasan di dalam komunitas Muslim (Mueller, 2020, p. 505).  Abdulmutallab pun demikian, dia juga diketahui sebagai pribadi yang susah menjalin hubungan dengan orang lain (Amusan & Adeyeye, 2014, p. 1869).

Namun, meskipun mereka gagal secara sosial karena tidak bisa membangun hubungan, bukan berarti mereka tidak memiliki seseorang yang dekat. Dalam kasus Hasan terdapat beberapa nama yang dapat dikatakan menginspirasi Hasan untuk terlibat dalam gerakan terorisme. Nama pertama adalah Hasan Akbar yang merupakan prajurit Amerika Serikat yang juga menyerang rekannya hingga terbunuh saat bertugas (Gruen, 2010). Nama Akbar sering muncul dalam pembicaraan Hasan, khususnya dalam presentasinya selama masa residensi di Walter Reed Army Medical Center. Hitchens (2020: 192) menyebut Akbar sebagai rujukan serangan yang dilakukan Hasan. Nama selanjutnya adalah Anjem Choudary, seorang Islamis asal Inggris yang mendirikan Al-Muhajiroun dan Islam4UK. Poppe (2018: 7) menyebut Choudary sebagai sosok yang dikagumi oleh Hasan. Terkahir, tentu saja Al-Awlaki yang merupakan penceramah radikal sekaligus perekrut AQAP. Kekaguman Hasan ini terlihat dari intensitasnya mendengarkan ceramah Al-Awlaki. Dia bahkan ingin membuat sebuah lomba dengan tema ‘Mengapa Anwar Al-Awlaki adalah Aktivis dan Pemimpin Hebat’ untuk menghormatinya (Poppe, 2018).

Sebagaimana Hasan, Abdulmutallab juga pribadi yang soliter. Oleh karena itu, menurut Mueller (2020: 520) komunitas Muslim memiliki sedikit pengaruh dalam perkembangan ideologi keagamaan Abdulmutallab. Selain itu, tidak banyak nama yang dapat dicurigai memiliki pengaruh dalam terhadap pemikiran Abdulmutallab menuju aktivisme yang keras (Meleagrou-Hitchens, 2020). Satu-satunya nama yang jelas memengaruhi Abdulmutallab adalah Al-Awlaki. Tidak terlalu jelas kapan Abdulmutallab pertama kali mengenal Al-Awlaki. Namun, menurut catatan Mueller (2020: 520) keduanya pertama kali bertemu pada tahun 2005 ketika Abdulmutallab belajar bahasa Arab di Yaman. Mulai dari sini hubungan mereka berlanjut. Sejak saat itu mereka diketahui saling bertukar komunikasi selama setahun sebelum serangan pada tahun 2009. Kemudian pada Oktober 2009 Abdulmutallab diketahui pergi ke Yaman lagi untuk bertemu Al-Awlaki di rumahnya.

Identitas Suci yang Dilindungi

Perlu digarisbawahi bahwa dua serangan serigala tunggal yang dibahas dalam penelitian ini terjadi pada era War on Terror atau yang secara resmi disebut Global War on Terror (GWOT). GWOT ini telah melahirkan persepsi di kalangan umat Islam bahwa telah terjadi serangan terhadap Islam dan Muslim akibat kampanye GWOT yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Muslim banyak yang meyakini adanya serangan terhadap Islam pada era GWOT ini. Hal ini terlihat dari berbagai materi para penceramah yang mengingatkan tentang serangan terhadap Islam ini, termasuk Al-Awlaki yang ceramahnya memengaruhi Hasan dan Abdulmutallab. keduanya terodorng untuk terlibat dalam gerakan terorisme secara aktif dengan melakukan serangan setelah meyakini adanya ancaman terhadap Islam dan Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa Islam dan Muslim merupakan identitas suci bagi mereka berdua.

Pentingnya Islam dan identitas sebagai Muslim ini terlihat dalam perkembangan pemikiran keagamaan Hasan dan Abdulmutallab. Identitas sebagai Muslim ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi mereka setelah mereka mengalami fase tertentu dalam kehidupan mereka masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari perubahan mereka selama masa radikalisasi. Pada masa radikalisasi ini banyak pandangan dan sikap keagamaan mereka terlihat menjadi sangat keras dan kadang dalam kesempatan tertentu tidak ragu diungkapkan secara terang-terangan. Dalam kasus Hasan, kematian ibunya dianggap sebagai pemicu dirinya mulai beralih dari seorang yang sekuler menjadi Muslim yang taat. Sejak kematian ibunya ini dia mulai menjadi Muslim yang taat sambil intensif mempelajari Islam secara mandiri. Dari sinilah dia menemukan Al-Awlaki. Al-Awlaki tidak hanya memengaruhi Hasan dengan gagasan penyerahan mutlak pada Allah, tapi juga memberi Hasan wawasan tentang apa artinya berperang terhadap Islam dan bagaimana Amerika Serikat atau Barat berusaha menyerang Islam (Poppe, 2018).

Pengaruh Al-Awlaki ini sangat terasa selama masa studinya di USUHS. Pada masa studinya ini dia banyak mengeluarkan pendapat yang kontroversial seperti membela Osama bin Laden, membenarkan bom bunuh diri, dan menyatakan dedikasinya kepada Syariat Islam sambil membandingkannya dengan Konstitusi Amerika Serikat (Meleagrou-Hitchens, 2020). Poppe (2018: 9) menjelaskan pada tahun ketiga residensinya di Walter Reed Army Medical Center, Hasan bahkan mulai berpikir untuk melakukan sesuatu demi membantu perlawanan saudara-saudara Muslimnya di Irak dan Afganistan. Menurut beberapa laporan, Hasan juga membuat kartu nama yang mencantumkan pangkat dan posisinya sebagai psikiater Angkatan Darat dengan menyertakan tambahan ‘SoA’ yang merupakan singkatan dari ‘Soldier of Allah’ (Meleagrou-Hitchens, 2020). Hal ini menunjukkan perubahan identitas Hasan secara signifikan sekaligus menunjuk betapa pentingnya identitasnya sebagai Muslim.

Sementara itu, Abdulmutallab sedikit berbeda dengan Hasan yang tidak menunjukkan minat pada agama di masa mudanya. Abdulmutallab sendiri sejak kecil sudah mengenal Islam. Namun, pandangannya pada saat dia masih kecil tidaklah ekstrem. Menurut Hitchens (2020: 165) periode sejak tahun 2005 yang bertepatan dengan dirinya menjadi mahasiswa UCL menjadi penanda penting tranformasi Abdulmutallab dari seorang pemuda yang beragama secara moderat ke bentuk Islam yang kaku. Inilah periode yang memperlihatkan identitasnya sebagai Muslim menguat dan pandangan-pandangannya berubah menjadi lebih keras sebagaimana keyakinan ekstremis Muslim.

Lebih lanjut, Hitchens (2020: 170) menjelaskan bahwa perubahan Abdulmutallab ini berkaitan erat dengan lingkungannya di UCL. Di UCL dia diketahui terlibat dalam Islamic Society UCL. Inilah faktor kunci yang membuat dirinya beralih menuju aktivisme Islam. Islam mulai digunakan untuk memahami dunia di sekitarnya, termasuk masalah-masalah dunia Islam. Selain itu, Inggris juga dapat dikatakan sebagai negara yang memiliki skena Islamis yang berkembang dan berpengaruh pada saat dia menjadi mahasiswa di UCL (Meleagrou-Hitchens, 2020). ­­­ Pada tahun 2006 dia menulis panjang lebar tentang manfaat demonstrasi anti-perang dan pandangannya tentang konflik antara Inggris-Amerika Serikat dengan Suriah dan Iran. Pada tahun yang sama dia juga bicara tentang Yvonne Ridley, jurnalis Inggris dan aktivis anti-perang, yang ditahan oleh Taliban dalam sebuah acara diskusi film tentang tahanan Guantanamo Bay. Menurutnya Taliban memperlakukan Ridley dengan cara yang jauh lebih manusiawi daripada tahanan Guantanamo. Kemudian pada tahun 2007, dia mempromosikan acara Islamic Society UCL yang bertajuk “War on Terror Week” dengan menyoroti kematian ribuan nyawa yang tidak bersalah dan ribuan orang lagi yang ditahan secara ilegal tanpa sidang atau pengadilan dalam perang melawan terorisme. Menurutnya, situasi yang dihadapi akibat perang ini tidak hanya memerlukan pembicaraan, tapi sebuah tindakan nyata untuk mengakhirinya.

Bisa dikatakan Abdulmutallab tergerak oleh sejumlah kelompok aktivis Islam selama dirinya di London dan terlibat dalam berbagai gerakan untuk membela kepentingan Islam dan Muslim. Dalam wawancara dengan FBI dia mengaku pernah ikut serta dalam sejumlah protes, termasuk mars anti-Israel dan protes terhadap kartun Nabi Muhammad SAW. Selain menjadi bagian dari Islamic Society UCL dan FOSIS, dia juga mengaku tergerak oleh pesan dari Cageprisoners dan kelompok lain yang memperjuangkan hak para tahanan Muslim, khususnya mereka yang dituduh melakukan aksi terorisme. Dia pernah ikut berjaga di luar penjara sebagai dukungan moril untuk tahanan Muslim dan menyumbangkan beberapa ratus poundsterling ke sebuah lembaga amal bernama Helping Households Under Great Stress (HHUGS) yang bekerjasama dengan Cageprisoners untuk membantu tahanan Muslim di Inggris (Meleagrou-Hitchens, 2020).

Menurut Hitchens (2020: 187) masa tinggalnya di London lah yang memang memengaruhi cara Abdulmutallab memandang dirinya sendiri dan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim di era GWOT. Kepindahannya ke London ini telah mengubah dirinya dari salafi yang pasif dan apolitis menjadi salafi yang aktif dan politis akibat terpapar oleh aktivisme setelah mendaftar di UCL. Pada periode ini dia sadar bahwa cara pandangnya yang sempit dan hanya berorientasi ke dalam tidak akan memberikan keuntungan bagi umat Islam yang sedang menderita. Oleh karena itu, aktivisme menjadi satu-satunya jalan untuk memastikan perubahan. Dalam konteks inilah dia memilih jenis aktivisme yang ditawarkan oleh Al-Awlaki, yaitu salafi jihadis. Al-Awlaki dalam hal ini memperkenalkan gerakan jihad global kepada Abdulmutallab sebagai satu-satunya bentuk aktivisme yang benar sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dan sahabat. Jadi selain kegiatan aktivisme di UCL, pertemuan dengan Al-Awlaki juga membentuk kembali identitas Abdulmutallab sebagai seorang Muslim yang tinggal di Barat. Identitas kolektif yang dibangun oleh gerakan jihad global yang dikembangkan oleh Al-Awlaki menarik baginya dan menjadi identitas penting yang dia pertahankan (Meleagrou-Hitchens, 2020).

 

Merayu Calon Serigala Tunggal

Saluran Identifikasi

Untuk menentukan saluran identifikasinya, perlu kiranya dijelaska terlebih dahulu mengenai Al-Awlaki yang menjadi perekrut dari dua serigala tunggal yang dibahas. Al-Awlaki merupakan penceramah radikal yang terhubung dengan AQAP dan memiliki kewarganegaraan ganda, yaitu Amerika Serikat dan Yaman. Dia tinggal di Amerika Serikat cukup lama, lebih dari 20 tahun lamanya. Selama itu dia menyebarkan propagandanya guna merekrut Muslim untuk melakukan kekerasan. Aktivitasnya ini membuat dirinya dianggap sebagai salah satu teroris paling dicari di Amerika Serikat (Mueller, 2020). Al-Awlaki melakukan perekrutan terhadap calon serigala tunggal umumnya melalui internet. Dia banyak mengirim ceramah panjang dengan penekanan yang eksplisit pada doktrin jihad. Namun, pola ini seiring waktu berubah dan mengambil bentuk lain seperti artikel pendek, tulisan di blog, dan ceramah singkat yang berisi ideologi salafi-jihadis dengan dihubungkan pada peristiwa-peristiwa tertentu untuk mempengaruhi Muslim Barat (Meleagrou-Hitchens, 2020).

Selain melalui tulisan-tulisan pendek di blog, Al-Awlaki juga diketahui memanfaatkan berbagai media lain untuk menyebarkan proganda salafi-jihadis. Tulisan-tulisan dan video ceramahnya tersebar di berbagai media sosial seperti Youtube, Facebook, Twitter, dan situs-situs internet lain yang memiliki pengguna luas untuk menyebarkan propagandanya (ABC News, 2011). Aktifnya Al-Awlaki dalam menyampaikan pesan propagandanya melalui internet ini membuatnya diberi julukan sebagai ‘The bin Laden of the Internet.’ Materi-materi ceramahnya menjadi inspirasi bagi beberapa ekstremis Muslim yang melakukan serangan di Amerika Serikat dan meraka yang bergabung dengan kelompok teroris di luar negeri.

Dua kasus serigala tunggal yang dibahas dalam penelitian ini pun pelakunya terpengaruh oleh Al-Awlaki. Dalam kasus Hasan, kemungkinan hubungan keduanya dimulai pada tahun 2001 ketika ibu Hasan meninggal. Pada waktu itu Hasan menghadiri pemakaman ibunya di Dar Al-Hijrah Islamic Center di Falls Church, Virginia, tempat di mana Al-Awlaki menjadi imam dan memberikan ceramah. Hasan diketahui menghadiri ceramah di masjid ini secara teratur selama bertahun-tahun, tidak jelas dia pernah bertemu Al-Awlaki di tempat ini (New York Times, 2013). Namun, dalam sebuah wawancara yang dilakukan hanya selang sebulan setelah serangan Fort Hood, Al-Awlaki mengakui pertemuan pertama mereka terjadi sembilan tahun sebelumnya (Anti Defamation League, 2013, p. 1). Jika demikian, maka berarti kemungkinan pertemuan mereka memang terjadi pada saat  kematian ibu Hasan. Hal ini sejalan dengan penegasan Ferran dan Meek (2018) yang menyebut Al-Awlaki memimpin pemakaman ibu Hasan. Jadi kemungkinan mereka bertemu pada acara pemakaman tersebut.

Tidak ada penjelasan lanjutan mengenai hubungan mereka setelah pertemuan ini. Namun, hubungan mereka tampaknya terus berlanjut. Olsson (2013: 8) menyebut Hasan memiliki hubungan yang cukup dalam dengan Al-Awlaki. Menurutnya, Hasan menganggap Al-Awlaki sebagai sosok ayah atau kakak laki-laki. Oleh karena itu Hasan sangat menghormati Al-Awlaki. Sementara itu Meloy dan Genzman (2016: 8) menyebut Hasan menjadi pengagum berat Al-Awlaki. Hasan sangat intens mengonsumsi materi-materi ekstrimis yang dibagikan Al-Awlaki secara daring. Hasan memang diketahui aktif di internet. Dia mendapatkan materi-materi ceramah Al-Awlaki tersebut dari situs Al-Awlaki sendiri dan bahkan berlangganan layanan surat elektroniknya. Selain berlangganan situs Al-Awlaki dan secara rutin mengonsumsi ceramah-ceramah darinya, Hasan juga diketahui memiliki kontak yang luas dengan Al-Awlaki (Olsson, 2013). Hal ini bisa dilihat dari beberapa surat elektronik yang dikirim Hasan kepada Al-Awlaki beberapa tahun menjelang serangan yang dia lakukan. Menurut Mueller (2020: 503) pertukaran surat elektronik antara Hasan Al-Awlaki ini bisa mengonfirmasi bahwa hubungan mereka barangkali jauh lebih dalam dari sekedar penceramah dan jamaah.

Meskipun tampaknya Hasan dan Al-Awlaki memiliki hubungan yang sangat dekat, akan tetapi ini tidak membuktikan Hasan direkrut secara langsung oleh Al-Awlaki. Dalam wawancara yang dilakukan oleh Al-Jazeera, Al-Awlaki menegaskan tidak merekrut Hasan. Dalam wawancara tersebut dia mengatakan tidak merekrut Hasan untuk serangan yang dilakukan di Fort Hood. Menurutnya, Hasan justru direkrut oleh Amerika Serikat melalui kejahatan dan ketidakadilan yang dilakukan terhadap Islam dan umat Islam. Lebih lanjut, Al-Awlaki menjelaskan bahwa Hasan merupakan seorang Muslim sebelum dia menjadi orang Amerikan dan dia juga berasal dari Palestina. Hasan melihat penindasan Yahudi terhadap rakyatnya di bawah perlindungan dan dukungan Amerika Serikat. Al-Awlaki hanya mengakui bahwa dia memiliki peran dalam arah intelektual Hasan atau dalam transformasi keyakinannya (NBC News, 2009).

Sementara itu, Abdulmutallab sebagaimana telah disinggung pada bagian lain penelitian ini telah mengikuti ceramah-ceramah Al-Awlaki secara daring sebelum pergi ke Yaman pada tahun 2009. Setelah mengikuti ceramah-ceramah Al-Awlaki ini dia mencari penceramah radikal tersebut dari masjid ke masjid (Pelofsky, 2012). Sampai akhirnya dia bertemu dengan Qa’id Al-Dahab di Ibukota Yaman yang kemudian merekrutnya. Namun, sebelum bertemu dengan Qa’id, menurut pengakuan Abdulmutallab, dia pertama kali berkenalan dengan seorang agen Al-Qaeda bernama Abu Tarak yang dicurigai merupakan salah satu saudara dari Al-Dahab. Al-Dahab merupakan klan yang menjadi pendukung utama Al-Qaeda di Semenanjung Arab dan telah menjalin persahabatan dengan Al-Awlaki yang menikahi saudara perempuan mereka. Setelah bertemu dengan Qa’ide Al-Dahab inilah Abdulmutallab kemudian dibawa kepada Al-Awlaki yang saat itu memimpin AQAP (Cruickshank & Lister, 2014).

Dia menginap selama tiga hari di rumah Al-Awlaki. Selama kurun waktu tersebut, keduanya terus bicara tentang kesyahidan dan jihad (Finn, 2012). Setelah dari rumah Al-Awlaki ini, dia kemudian dihubungkan dengan Al-Asiri yang mengajarinya untuk membuat bom. Di sinilah Abdulmutallab menerima pelatihan khusus untuk merakit perangkat peledak dan pelatihan militer dasar di kamp AQAP. Setelah ini dia diperintah oleh Al-Awlaki untuk melakukan peledakan bom di wilayah udara Amerika Serikat. Al-Asiri memberikan Abdulmutallab bahan peledak sebagai bekal untuk aksinya. Sebelum melancarkan aksinya, Al-Awlaki memberi nasihat-nasihat kepada Abdulmutallab agar tidak terbang dari Yaman ke Amerika Serikat untuk menghindari kecurigaan. Dia juga memberikan motivasi jihad padanya. Selain itu, Al-Awlaki juga membantu Abdulmutallab untuk menulis surat wasiat (Zimmerman, 2013, p. 3).

Narasi, Emosi dan Arena

Kedua serigala tunggal yang dibahas dalam penelitian ini merupakan pelaku serangan terorisme yang terpengaruh oleh Al-Awlaki. Hitchens (2020: 95) menyebut Al-Awlaki dan ideologi salafi-nya muncul pada era GWOT. Jadi arenanya adalah seluruh dunia, khususnya dunia Barat, dengan konteks GWOT. Secara historis, GWOT pertama kali dipopulerkan oleh George W. Bush pada tahun 2001 dan terus berlanjut hingga kepemimpinan Barack Obama (Azmi & Aulia, 2019, p. 284) dan baru berhenti pada saat kepemimpinan Donald Trump dengan ditandai penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afganistan secara bertahap sejak tahun 2020 hingga 2021. GWOT secara historis muncul sebagai respons atas serangan 9/11 yang dilakukan oleh Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Ralph (2013: 23) menjelaskan bahwa pasca serangan 9/11 dilakukan, Bush dengan dukungan kongres menganggap Amerika Serikat sedang dalam keadaan perang dengan Al-Qaeda. Hal inilah yang mendorong kebijakan GWOT diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Meskipun istilah ini tampak mirip dengan istilah lain seperti ‘War on Drugs’, akan tetapi GWOT ternyata bukanlah perang dalam arti metaforis, melainkan perang sesungguhnya yang melibatkan kekuatan militer.

Setelah kampanye ini diluncurkan, perburuan terhadap Al-Qaeda dan jaringan teroris lainnya pun berjalan. Pada tanggal 7 Oktober 2001, Bush mengumumkan bahwa Amerika Serikat memulai serangan militer di Afganistan untuk memburu anggota Al-Qaeda (George W. Bush Library, n.d.). Serangan yang dinamakan operasi Enduring Freedom ini dimaksudkan untuk menghalangi Afganistan sebagai basis operasi teroris dan untuk menyerang militer rezim Taliban. Dalam hal ini, Taliban dianggap bertanggungjawab akibat penolakan mereka untuk menutup kamp-kamp pelatihan teroris, menyerahkan pemimpin jaringan Al-Qaeda dan mengembalikan semua warga asing, termasuk warga Amerika Serikat, yang ditahan. Muncul kritik terhadap serangan ini akibat Taliban dianggap tidak memiliki kontrol atas Al-Qaeda sehingga wajar mereka tidak melakukan apa yang diminta. Namun, pemerintahan Bush tetap menganggap Taliban mendukung Al-Qaeda dan karenanya mereka harus dijatuhkan dan dibawa ke pengadilan (Ralph, 2013).

Serangan seperti ini pun tidak hanya terjadi terhadap Afganistan. Serangan serupa juga muncul di negara lain setelah kampanye GWOT diluncurkan. Pada tahun 2002 dan awal 2003 Amerika Serikat mulai memberikan tekanan pada Irak sebagai tindak lanjut komitmennya untuk meningkatkan hak asasi manusia, membebaskan tahanan, memutuskan hubungan dengan teroris dan menghancurkan senjata pemusnah massal. Saat itu Bush dan Colin Powell yang menjabat sebagai menteri luar negeri berusaha meyakinkan dunia mengenai bahaya rezim Saddam Hussein di Irak melalui pidato di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Hingga 19 Maret 2003 upaya Amerika Serikat untuk menyingkirkan Hussein dari kekuasaan memuncak dengan dimulainya Perang Irak (George W. Bush Library, n.d.).

Apa yang terjadi di Afganistan dan Irak ini merupakan konsekuensi dari kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Bush. Pasca serangan 9/11 Amerika Serikat membuat setiap negara harus membuat pilihan untuk memerangi terorisme atau tidak. Jika tidak terlibat untuk memerangi terorisme, negara tersebut akan dianggap mendukung terorisme dan menjadi sponsor penjahat yang membunuh orang-orang tidak berdosa (Ralph, 2013). Dengan kata lain, pasca serangan 9/11 setiap negara menjadi semacam medan pertempuran untuk memerangi terorisme. Tidak ada negara yang netral. Hal inilah yang membuat perang-perang serupa juga terjadi negara lain, tidak hanya di Afganistan. Sukma (dalam Fanani, 2011: 207) menyebut posisi Amerika Serikat sebagai negara adidaya lah yang membuat negara-negara lain harus menyesuaikan diri dengan kebijakan luar negeri dan pertahanan Amerika Serikat setelah serangan 9/11.

Agresifnya kampanye ini membuat berbagai kritik muncul. Salah satu kritiknya menyebut GWOT tidak lain adalah perang melawan Islam karena menyasar negeri-negeri Muslim (Katz, n.d.). Kritik seperti ini muncul karena GWOT, diakui atau tidak, menimbulkan dampak negatif terhadap Islam dan Muslim, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena serangan 9/11 yang menjadi dasar dari dilancarkannya kampanye GWOT telah menempatkan Islam dan Muslim pada posisi penting secara negatif. Serangan tersebut membuat Islam dan Muslim menjadi pusat perhatian dan kecurigaan. Terlebih Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden mengklaim bertanggungjawab atas tindakan tersebut. Sementara mereka merupakan Muslim yang terlihat selalu mengkampanyekan Amerika Serikat sebagai musuh Islam. Inilah yang membuat dunia menjadi memandang Islam dan Muslim secara negatif (Fanani, 2011). Dampak negatif GWOT pasca serangan 9/11 ini akhirnya memunculkan persepsi bahwa kampanye tersebut merupakan serangan terhadap Islam dan Muslim. Persepsi ini terutama sekali muncul di kalangan Muslim (Fanani, 2011).

Dalam konteks arena seperti inilah Al-Awlaki tampil dan menggunakan narasi yang mampu menarik Muslim untuk berpartisipasi dalam gerakan teroris secara mandiri, terutama di Barat. Dalam hal ini, narasi yang digunakan adalah narasi jihad yang dikontekstualisasikan dengan peristiwa kekinian saat era GWOT. Padahal di awal masa karirnya, Hitchens (2020: 47) menyebut Al-Awlaki hanya seorang penceramah biasa, karya-karyanya tidak mengandung ajakan untuk melakukan kekerasan secara eksplisit. Namun, semuanya berubah setelah dia melihat respons Amerika Serikat yang meluncurkan kampanye GWOT pasca serangan 9/11. Di titik ini Al-Awlaki berubah dari seorang penceramah menjadi pendukung dan perekrut teroris jihadis.

GWOT membuat Al-Awlaki mulai berpikir bahwa aktivisme politik tidak akan cukup untuk menghentikan gelombang anti-Islam di dalam dan luar negeri. Mulai dari sini Al-Awlaki aktif untuk memperkenalkan beragam doktrin kepada audiensnya agar dapat direkrut untuk bergabung dalam gerakan jihad global. Untuk melakukan ini, dia mulai merumuskan respons yang seharusnya dilakukan Muslim terhadap ancaman yang mereka hadapi sembari menyampaikan doktrin yang bersifat motivasional untuk mendorong audiensnya agar berpartisipasi dalam gerakan jihad global, termasuk dengan cara-cara terorisme. Menurut Hitchens (2020: 96) pada titik ini Al-Awlaki berkontribusi dalam pengembangan strategi terorisme baru berbasis serigala tunggal yang dia rekrut dengan berbagai cara, seperti menerjemahkan ayat-ayat jihad dan mengaitkan ayat-ayat tersebut saat mengomentari peristiwa yang terjadi di Barat. Dia juga memberikan pertimbangan keuntungan individu maupun kolektif dari partisipasi Muslim dalam gerakan jihad. Dengan cara-cara seperti inilah dia menyediakan ‘cadangan’ individu yang berpotensi dimobilisasi untuk gerakan jihad global.

Dengan demikian, bisa dipahami bahwa Al-Awlaki menggunakan narasi salafi jihadisme yang dikontekstualisasikan dengan peristiwa pada era GWOT saat itu untuk meyakinkan bahwa Islam sedang diserang oleh Barat dan Muslim perlu untuk mengambil peran dalam membela agamanya. Namun, narasi ini tentu saja tidak bisa dipahami secara baik oleh Muslim Barat jika masih tetap dalam bahasa aslinya yang hanya tersedia dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, Al-Awlaki melakukan penerjemahan terhadap karya-karya pemikir berpengaruh dari bahasa Arab ke bahasa Inggris agar mudah diakses dan dipahami oleh Muslim Barat. Beberapa karya yang diterjemahkan, misalnya The Book of Jihad karya Ibnu Nuhaas dan Constants on the Path of Jihad karya Yusuf Al-Uyayree. Berbekal berbagai literatur ini, Al-Awlaki menjadi penceramah radikal yang populer di Barat. Shane (2016) mengatakan Al-Awlaki menjadi penceramah kharismatik Amerika Serikat yang menjadi perekrut Al-Qaeda untuk penutur bahasa Inggris paling efektif.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa proses mobilisasi level mikro atau mikromobilisasi dalam kasus Hasan dan Abdulmutallab terjadi melalui faktor internal dan eksternal yang saling bekerja satu sama lain. Secara internal, baik Hasan atau Abdulmutallab memiliki keterampilan dan sumber daya yang memadai. Keduanya berasal dari keluarga yang berkecukupan, punya materi yang cukup untuk mereka beraksi. Mereka dapat memberi barang yang dibutuhkan dalam aksinya. Mereka juga memiliki pengetahuan serta bakat yang memadai. Abdulmutallab bahkan anak orang yang super kaya di negaraya, sementara Hassan adalah seorang tentara yang meskipun berkinerja buruk tetap dapat diandalkan untuk terlibat dalam kekerasan terorisme. Aksi yang mereka lakukan tampaknya terinspirasi oleh beberapa orang yang mereka kenal memiliki komitmen dalam gerakan yang sama. Dalam hal ini, Hasan mengetahui Akbar, Choudary dan Al-Awlaki. Sementara itu, Abdulmutallab mengenal Al-Awlaki. Hasan dan Abdulmutallab mengenal mereka semua sebagai sosok yang memiliki komitmen serupa dan mengagumi mereka. Sehingga sosok-sosok tersebut memengaruhi mereka untuk terlibat dalam gerakan terorisme secara aktif.

Kemudian, Hasan dan Abdulmutallab juga memiliki identitas suci yang sama sebagai seorang Muslim. Tampaknya ini juga yang menjadi saluran identifikasi dalam proses rekrutmen mereka yang terjadi melalui internet. Sebagai Muslim taat yang hidup pada era GWOT, terlebih terpapar oleh ceramah Al-Awlaki dari internet, keduanya merasa Islam dan Muslim sedang mengalami ancaman akibat kampanye kontra terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat tersebut. Karena itu, serangan yang mereka lakukan tidak bisa dilepaskan dari identitas mereka sebagai Muslim yang ingin melakukan pembelaan terhadap saudara Muslim mereka yang menjadi korban di Irak, Afganistan, dan negeri Muslim lainnya akibat kampanye GWOT. Namun demikian, keduanya tidak mengalami mobilisasi pada derajat yang sama. Di satu sisi Hasan tidak mendapatkan perintah langsung dalam serangannya, di sisi lain Abdulmutallab mendapatkan perintah langsung dari Al-Awlaki.

 

BIBLIOGRAFI

 

ABC News. (2011). How Anwar Al-Awlaki Inspired Terror From Across the Globe.

Amusan, L., & Adeyeye, A. I. (2014). Nigeria: A Rogue State in the Wake of Umar Farouk Abdulmutallab’s Terror Adventure? Mediterranean Journal of Social Sciences, 5(23), 1866–1874. https://doi.org/10.5901/mjss.2014.v5n23p1866

Anti Defamation League. (2013). Profile: Anwar al-Awlaki.

Azmi, N. A., & Aulia, A. W. (2019). Analisis Kebijakan Global War On Terror (GWOT) di Era Donald Trump. Prosiding Senas POLHI Ke-2 Tahun 2019, 281–294.

Bagenda, C. (2022). Landasan Filosofi Dalam Library Research. In Evanirosa, C. Bagenda, Hasnawati, F. Annova, K. Azizah, Nursaeni, Maisarah, Asdiana, R. Ali, M. Shobri, & M. Adnan (Eds.), Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penerbit Media Sains Indonesia.

BBC. (2011). Profile: Umar Farouk Abdulmutallab.

Burton, F., & Stewart, S. (2008). The “Lone Wolf” Disconnect. Worldview.

Counter Extremism Project. (n.d.). Umar Farouk Abdulmutallab.

Cruickshank, P., & Lister, T. (2014). Al Qaeda in the Arabian Peninsula Confirms Links to Underwear Bomber.

Fanani, A. F. (2011). The Global War on Terror, American Foreign Policy, and its Impact on Islam and Muslim Societies. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 1(2), 205–227. https://doi.org/10.18326/ijims.v1i2.205-255

Ferran, L., & Meek, J. G. (2018). Fort Hood Attack Would Save Mother’s Soul, Letters Show.

Finn, P. (2012). Al-Awlaki Directed Christmas ‘Underwear Bomber’ Plot, Justice Department Memo Says.

George W. Bush Library. (n.d.). Global War on Terror.

Global Fight Against Terrorism Funding. (2019). Umar Farouk Abdulmutallab.

Gruen, M. (2010). Backgrounder : Sgt . Hasan Akbar.

Katz, M. N. (n.d.). What Exactly Is the “War on Terror?”

Kettell, S. (2014). Do We Need a “Political Science of Religion?” Political Studies Review, 14(2), 210–222. https://doi.org/10.1111/1478-9302.12068

Maisarah. (2022). Teknik Pengumpulan Data Dalam Library Research. In Evanirosa, C. Bagenda, Hasnawati, F. Annova, K. Azizah, Nursaeni, Maisarah, Asdiana, R. Ali, M. Shobri, & M. Adnan (Eds.), Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penerbit Media Sains Indonesia.

Mantilla, G. (2010). What is the Link Between Religion and Violence? An Assement of the Literature. Analisis Politico, 23(70), 25–41.

Meleagrou-Hitchens, A. (2020). Incitement: Anwar Al-Awlaki’s Western Jihad. Harvard University Press.

Meloy, J. R., & Genzman, J. (2016). The Clinical Threat Assessment of the Lone-Actor Terrorist. Psychiatric Clinics of North America, 39(4), 649–662. https://doi.org/10.1016/j.psc.2016.07.004

Mount, M. (2010). Military Review: Troubling Signals from Fort Hood Suspect missed.

Mueller, J. (2020). Terrorism Since 9/11: The American Cases The Cases. Ohio State University.

NBC News. (2009). Transcript of Interview with Al-Awlaki.

New York Times. (2013). The Life and Career of Major Hasan.

Olsson, P. A. (2013). Homegrown Terrorist, Rebels in Search of a Cause. Middle East Quarterly, 3–10.

Pelofsky, J. (2012). U.S. Says Al Qaeda Leader Awlaki Directed Underwear Bomber.

Poppe, K. (2018). Nidal Hasan: A Case Study in Lone-Actor Terrorism. The George Washingon University.

Ralph, J. (2013). America’s War on Terror the State of the 9/11 Exception from Bush to Obama. Oxford University Press.

Rice, X. (2009). Bombing Suspect was Pious Pupil Who Shunned High Life of the Rich.

Saiya, N. (2021). Who Attacks America? Islamist Attacks on the American Homeland. Perspectives on Terrorism, 15(5), 14–25.

Shane, S. (2016). The Enduring Influence of Anwar al-Awlaki in the Age of the Islamic State. CTC Sentinel, 9(7).

Silvestri, S., & Mayall, J. (2015). The Role of Religion in Conflict and Peace Building. The British Academy.

Simon, J. D. (2016). Lone Wolf Terrorism: Understanding The Growing Threat. Prometheus Books.

Tucker, C. E., Tucker, S. P. R., & Stouffer, B. (2013). Operationalizing Intelligence in the Long War: the Case of Umar Farouk Abdulmutallab and the Attempted 2009 Northwest Airlines Flight 253 Bombing. Complex Operations Case Studies Series.

Walker, P., Rice, X., & Norton-Taylor, R. (2009). Rich and Privileged - the Gilded Life of Would-be Plane Bomber.

Zed, M. (2014). Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Zimmerman, K. (2013). AQAP ’ s Role in the al Qaeda Network.

 

Copyright holder:

Pahrirreza, Syahrul Hidayat (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: