Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH ATAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP SERTIPIKAT INDUK YANG BELUM DIPECAH

 

Ghiska Yuliarti, Markoni, Nardiman
Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Rumah sebagai tempat tinggal merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia. Makin tingginya kebutuhan masyarakat akan perumahan, membuat para pengembang berupaya membuat berbagai macam perumahan, mulai apartemen sampai cluster perumahan di pinggiran kota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum dari para pihak dalam perjanjian kredit pemilikan rumah atas pemberian hak tanggungan terhadap sertipikat induk yang belum dipecah serta upaya yang dapat dilakukan oleh pihak konsumen yang merasa dirugikan. Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif, penelitian ini didasarkan pada bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan interpretasi dan sistematisasi antar peraturan perundang-undangan, serta menggunakan teori pertanggungjawaban hukum, teori perjanjian, dan teori jaminan hak tanggungan. Berdasarkan hasil penelitian banyak konsumen yang dirugikan akibat tidak langsungnya diberikan sertifikat kepada konsumen meskipun konsumen telah melakukan pelunasan. Hal tersebut dikarenakan karena serifikat belum dipecah masih dalam bentuk sertifikat induk. Kesimpulannya adalah para pihak dan Pejabat terkait dapat diminta pertanggungjawaban hukumnya bila terjadi kerugian terhadap pihak lain yang merasa dirugikan. Bahwa pertanggungjawaban hukum para pihak telah diatur dalam klausul perjanjian, kecuali jika perjanjian tersebut dilanggar, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut kerugiannya melalui proses musyawarah (non litigasi) atau proses pengadilan (litigasi).

Kata Kunci: kredit, perjanjian, wanprestasi

 

Abstract

Home as a place to live is a basic need for humans. Increasingly high public demand for housing has forced developers to try to build various types of housing, from apartments to housing clusters on the outskirts of the city. This study aims to determine the legal responsibility of the parties in the home ownership credit agreement for the granting of mortgage rights to the parent certificate that has not been broken down and the efforts that can be made by the consumer who feels aggrieved. This type of research in legal writing is normative legal research, this research is based on primary, secondary and tertiary legal materials with interpretation and systematization of laws and regulations, as well as using the theory of legal liability, contract theory, and mortgage theory. Based on the results of the research, many consumers were harmed as a result of being indirectly given certificates to consumers even though consumers had made payments. This is because the certificate has not been divided, it is still in the form of a master certificate. The conclusion is that the parties and related officials can be held legally responsible if there is a loss to other parties who feel aggrieved. Whereas the legal responsibilities of the parties have been regulated in the clauses of the agreement, except if the agreement is violated, then the injured party can claim losses through a deliberation process (non-litigation) or court proceedings (litigation).

Keywords: credit, agreement, default

 

Pendahuluan


Kebutuhan akan tempat tinggal yang layak merupakan permasalahan manusia di seluruh dunia, tidak saja di negara-negara yang sedang berkembang tetapi juga di negara yang sudah maju (Isnaini & Adnan, 2018). Pembangunan perumahan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi arah pada pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi dalam peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat (Hutagalung, 1985).

Pembangunan perumahan dan pemukiman (papan) merupakan kebutuhan dasar manusia. Perumahan dan permukiman penduduk tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan tatanan hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menempatkan jati dirinya (Saputra et al., 2023).

Makin tingginya kebutuhan masyarakat akan perumahan, membuat para pengembang berupaya membuat berbagai macam perumahan, mulai apartemen sampai cluster perumahan di pinggiran kota. Dalam membangun sebuah perumahan, pengembang akan mempersiapkan lahannya terlebih dahulu. Jika areal perumahan tersebut luas, biasanya perumahan tersebut berasal dari beberapa sertipikat dan dari beberapa orang pemilik lahan. Masing-masing lahan dimaksud bisa saja memiliki status tanah yang berbeda-beda. Misalnya ada yang masih berstatus tanah girik, tanah bekas hak barat yang belum dikonversi, selain tanah-tanah yang sudah bersertipikat dan berstatus Hak Milik (SHM), ataupun Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Hak Pakai (HP) (Devita, 2022).

Dokumen-dokumen kepemilikan atas tanah tersebut biasanya ada yang lengkap, ada juga yang hanya terdiri dari secarik surat keterangan garapan saja. Untuk dapat memperoleh semua tanah yang akan dipergunakan sebagai perumahan, pengembang akan melakukan pembebasan lahan, yaitu membeli tanah-tanah dimaksud dengan berbagai cara, entah itu melalui jual beli biasa, maupun melalui pelepasan hak. Setelah seluruh tanah di areal yang akan dijadikan sebagai lokasi perumahan dibebaskan, maka selanjutnya tanah-tanah tersebut digabungkan dan disertipikatkan atas nama pengembang dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) (Puspitoningrum, 2018). Penggabungan dari beberapa hak atas tanah yang berasal dari berbagai jenis hak ke dalam satu sertipikat tersebut disebut sertipikat induk (Devita, 2022).

Pada saat tanah dikavling-kavling dan dipasarkan berikut bangunan, sertipikat induk itu dipecah atas nama konsumen (pembeli). Pecahan sertipikat induk tersebut masih berstatus HGB, mengikuti status induknya. Dalam praktik, biasanya konsumen membeli rumah di areal perumahan tersebut melalui dengan cara mencicil melalui bank yang bekerjasama dengan pengembang. Untuk itu, konsumen harus mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR) melalui bank yang telah bekerjasama dengan pengembang (Kusnadi, 2015). Pada saat melakukan transaksi jual beli dan penandatanganan akad kredit KPR dengan bank, dokumen kepemilikan berupa asli sertipikat tanah (yang sudah dipecah) beserta dokumen lain seperti IMB dan akta jual beli, baru akan diterima oleh bank dari pengembang dalam jangka waktu sekitar 6 sampai 12 bulan sejak konsumen melunasi bea balik nama. Namun jangka waktu itu tidak seragam antara satu pengembang dengan pengembang lainnya, karena biasanya pengembang melakukan proses pemecahan sertipikat setelah hampir semua rumah yang dibangunnya terjual habis. Setelah itu, barulah pengembang melakukan pemecahan sekaligus.  Jika sertipikat selesai dipecah, maka pecahan-pecahan yang sudah dijualbelikan dan dibiayai oleh bank tertentu yang menjadi rekanan pengembang, akan diserahkan ke bank bersangkutan (Devita, 2022).

Konsumen yang membeli rumah dari pengembang tersebut selanjutnya membayar cicilan bulanan kepada bank dengan jangka waktu yang tertera dalam surat perjanjian kredit KPR. Rumah yang dibeli oleh konsumen dijadikan sebagai jaminan pelunasan kewajiban pembayaran cicilan dari konsumen yang merupakan debitur dari bank yang berkenaan.

Uraian di atas menjelaskan bahwa peranan perbankan sangat dibutuhkan dalam menyediakan dana dan memberikan prakarsa dalam usaha pembangunan perumahan. Kehadiran sistem KPR sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang penghasilan ekonominya dalam level kecil dan menengah (Anggraeni, 2010). Masyarakat, perorangan atau badan usaha dalam usaha meningkatkan kebutuhan konsumtif atau produktif sangat membutuhkan dana dari pihak bank sebagai salah satu sumber pendanaan yang di antaranya dalam bentuk kredit, agar mampu memenuhi dalam mendukung peningkatan usahanya (Poesoko, 2006).

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, merumuskan bahwa:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” 

Dalam praktik perbankan, untuk lebih mengamankan dana yang disalurkan kreditur kepada debitur diperlukan tambahan pengamanan berupa jaminan kredit khusus yang banyak digunakan adalah jaminan kebendaan berupa tanah. Lembaga jaminan yang disediakan oleh lembaga perbankan yang dianggap paling efektif dan aman adalah tanah berupa jaminan hak tanggungan (Poesoko, 2006).

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, menyatakan bahwa:

“Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”

Dalam perjanjian KPR, selama fasilitas kredit yang diterima oleh konsumen (debitur bank) belum lunas seluruhnya, maka seluruh dokumen kepemilikan atas rumah yang dibelinya masih disimpan di bank dan dijadikan sebagai jaminan. Setelah kredit lunas, barulah bank bisa menyerahkan dokumen-dokumen kepemilikan rumah termasuk sertipikat yang telah dipecah kepada konsumen. Akan tetapi pada kenyataannya, meskipun konsumen telah melunasi KPR, konsumen tersebut tidak dapat memperoleh sertipikat rumah yang telah dijadikan jaminan di bank.  Salah satu penyebabnya antara lain pengembang yang menemui kendala berupa masalah keuangan atau tidak dapat membayar utangnya sebelum menyelesaikan pembangunan perumahan. Dari berbagai faktor, salah satu penyebab utamanya adalah adanya hambatan dalam pemutaran keuangan (baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun adanya itikad tidak baik dalam melakukan keuangan tersebut) atau mungkin mengalami kemunduran perusahaan yang mengakibatkan perusahaan pengembang tidak dapat membayar tagihan-tagihan perusahaan yang sudah jatuh tempo (adanya pinjaman kepada bank, jasa konstruksi, pekerja, dan lain-lain). Akibat adanya permasalahan tersebut, ada kalanya pengembang yang lari dari tanggung jawab sehingga pembangunan perumahan tidak dapat terselesaikan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka Penulis tertarik untuk membuat rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana pertanggungjawaban hukum para pihak dalam perjanjian kredit pemilikan rumah atas pemberian hak tanggungan terhadap sertipikat induk yang belum dipecah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum dari para pihak dalam perjanjian kredit pemilikan rumah atas pemberian hak tanggungan terhadap sertipikat induk yang belum dipecah serta upaya yang dapat dilakukan oleh pihak konsumen yang merasa dirugikan.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, serta menganalisis hubungan antara peraturan (Mahmud, 2017).  Penelitian ini didasarkan pada bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan interpretasi dan sistematisasi antar peraturan perundang-undangan.

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini, yaitu deskriptif analitis, artinya bahwa pembahasan dilakukan dengan cara menyajikan dan menjelaskan data secara lengkap, terperinci dan sistematis, kemudian terhadap data tersebut dilakukan analisis dengan menggunakan teori-teori ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan (Mahmud, 2017). 

Secara teoritis tulisan ini diharapkan memberikan sebuah sumbangan pemikiran baru dan sekaligus memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum. Seraca praktis dapat memberikan sebuah sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit perumahan.

Fungsi penelitian ini adalah untuk mencari kebenaran hukum terhadap suatu permasalahan di dalam hukum. Dalam jurnal ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau di publikasikan orang lain, kecuali tertulis dengan jelas dicantumkan dalam daftar pustaka.

Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban hukum, teori perjanjian dan teori hak tanggungan.

Teori Pertanggungjawaban Hukum

Pertanggungjawaban dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum bukan saja mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana, tetapi apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan (Komariah, 2001). Dalam ilmu hukum dikenal tiga kategori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut (Djojodirdjo, 1979):

a.   Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

b.   Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).

c.   Perbuatan melawan hukum karena kelalaian

Dengan demikian, maka model tanggung jawab adalah sebagai berikut:

a.   Tanggungjawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata, menyatakan. Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

b.   Tanggungjawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata, yang menyatakan: Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya. 

c.   Tanggungjawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata, yang menyatakan: Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah pengawasannya … dst. 

Selain dari tanggung jawab perbuatan melawan hukum, KUHPerdata melahirkan tanggung jawab hukum perdata berdasarkan wanprestasi. Diawali dengan adanya perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum berdasarkan wanprestasi. Sementara tanggung jawab hukum perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum didasarkan adanya hubungan hukum, hak dan kewajiban yang bersumber pada hukum (Djojodirdjo, 1979).

 

 

 

Teori Perjanjian

Menurut M. Yahya Harahap, pengertian perjanjian adalah (Salim, 2021):

“Suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih memberikan kekuatan hak kepada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan para pihak lain tentang suatu prestasi.” 

Dengan mengacu pada pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur dari pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberi hak kepada satu pihak dan kewajiban pihak lain tentang suatu prestasi. 

Subekti memberikan pendapat tentang perjanjian, yaitu sebagai berikut (Salim, 2021):

 “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.

 Dengan pendapat tersebut maka  timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan atau tertulis. Suatu akibat hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum prestasi saja, maka tidak akan berarti terhadap hukum perjanjian.

Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa perjanjian merupakan (Andika, 2015):

“Suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dimana suatu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan hal, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan tersebut”. Dengan mengacu pada pendapat para ahli hukum tersebut maka perjanjian itu mengandung unsur berikut:

a.   Ada pihak-pihak, sedikitnya dua pihak.

b.   Ada persetujuan antara pihak-pihak itu.

c.   Ada obyek yang berupa benda.

d.   Ada tujuan yang bersifat kebendaan.

e.   Ada bentuk tertentu yang lisan/tulisan

 

Teori Hak Tanggungan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya (Salim, 2021).

Bagi pemegang hak tanggungan, ia memiliki beberapa hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang, yaitu:

a.   Hak-hak istimewa sebagai pemegang hak tanggungan pemegang hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UUHT. Kedua Pasal menentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi hak tanggungan dapat berupa perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan.

b.   Hak atas tanah yang dapat dibebankan hak tanggungan Tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hanya hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan dengan syarat-syarat sebagai berikut (Salim, 2021):

1)  Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;

2)  Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;

3)  Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum;

4)  Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.

Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUHT telah menyatakan secara tegas mengenai hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang. Ada 5 jenis tanah yang dapadijaminkan dengan hak tanggungan, yaitu hak milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.

 

Hasil dan Pembahasan

Kredit pemilikan rumah (KPR) merupakan produk kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah untuk pembelian rumah. Namun pada perkembangannya, oleh pihak perbankan fasilitas KPR saat ini dikembangkan menjadi fasilitas kredit yang juga dapat digunakan untuk keperluan renovasi dan/atau pembangunan rumah (Keuangan, 2017).

Dalam pelaksanaannya, KPR terdiri dari dua jenis, yaitu:

KPR subsidi

KPR Subsidi adalah KPR yang disediakan oleh Bank sebagai bagian dari program pemerintah atau Jamsostek, dalam rangka memfasilitasi pemilikan atau pembelian rumah sederhana sehat (RS Sehat/RSH) oleh masyarakat berpenghasilan rendah sesuai kelompok sasaran. Adapun yang akan dikenakan subsidi adalah suku bunga kredit atau uang muka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, masyarakat berpenghasilan rendah mendapatkan dukungan kepemilikan rumah melalui kebijakan kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah. Terkait kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah tersebut selanjutnya diatur dalam sebuah peraturan menteri yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 21/Prt/M/2016 tentang Kemudahan dan/atau Bantuan Perolehan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Pada Peraturan Menteri tersebut diatur beberapa hal, diantaranya adalah:

1)  Kemudahan dan/atau bantuan perolehan rumah;

2)  Fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan;

3)  Subsidi bunga kredit perumahan;

4)  Subsidi bantuan uang muka;

5)  Pemanfaatan rumah sejahtera tapak dan satuan rumah sejahtera susun;

6)  Pengembalian kemudahan dan/atau bantuan perolehan rumah;

KPR non subsidi

KPR non subsidi adalah produk KPR yang disalurkan oleh perbankan yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat dimana penentuan besarnya kredit maupun suku bunga dilakukan sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan, dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. KPR non subsidi diberikan kepada konsumen berdasarkan harga jual rumah yang ditentukan oleh developer.

Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan. Perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan terbagi dua yaitu berdasarkan sistem konvensional dan sistem syariah. Perbedaan pokok antara KPR dengan sistem konvensional dan PPR dengan sistem syariah terletak pada dasar perjanjian atau prinsipnya. Pada bank konvensional, perjanjian KPR didasarkan pada suku bunga tertentu yang sifatnya fluktuatif atau mengikuti kebijakan otoritas dan kebijakan internal bank. Sedangkan pada perjanjian PPR (Pembiayaan Pemilikan Rumah) syariah bisa dilakukan dengan beberapa pilihan perjanjian alternatif sesuai dengan kebutuhan nasabah (Keuangan, 2017).

Perjanjian KPR dengan sistem konvensional merupakan perjanjian konsensuil berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata antara debitur dengan kreditur (dalam hal ini bank) yang melahirkan hubungan utang piutang. Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur berdasarkan pada syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak (Kosasih, 2021).

Berbeda dengan perjanjian KPR dengan sistem konvensional, perjanjian PPR dengan sistem syariah selain didasarkan pada ketentuan terkait perjanjian didalam KUHPerdata, juga didasarkan pada prinsip yang telah diatur didalam fatwa MUI terkait perjanjian pembiayaan. Perjanjian yang digunakan untuk KPR syariah diantaranya adalah murabahah, istishna, mudharabah, dan musyarakah mutanaqisah.

Setelah konsumen membayar cicilannya sampai dengan lunas sesuai dengan perjanjian akad waktu kredit, tentunya konsumen ingin segera mendapatkan sertifikat rumahnya tersebut. Karena serifikat merupakan bukti kepemilikan yang paling kuat diatas bukti kepemilikan lainnya.  Namun yang terjadi adakalanya ternyata pihak bank malah menahan sertifikat milik konsumen yang telah lunas tersebut dengan berbagai alasan. Pihak Bank tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan Sertifikat atas Tanah dan Bangunan milik konsumen tersebut sebagaimana yang dijanjikan dengan alasan masih berkoordinasi dan memproses dengan pihak Developer, sedangkan dari pihak Developer menyampaikan bahwa sertifikat masih dalam proses pemecahan karena masih dalam bentuk sertifikat induk. Kemudian apa yang dapat dilakukan oleh konsumen jika mengalami hal tersebut. Langkah atau upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen kepada pihak Bank dan pihak develover.

Dalam hal nasabah telah menandatangani Perjanjian Kredit dengan Pihak Bank sebagai Pemberi KPR dan telah memenuhi syarat sah nya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Dengan telah ditandatanganinya perjanjian kredit antara Nasabah dengan Bank pemberi KPR maka kedua belah pihak terikat untuk menjalankan perjanjian, harus di ingat baik-baik bahwa perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, hal tersebut telah sesuai sebagaimana Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan i'tikad baik”.

Bahwa jika konsumen telah melunasi kewajiban kepada pihak perbankan, yang mana secara hukum perjanjian telah melunasi kewajiban terhadap pembayaran cicilan atas KPR yang diberikan oleh Bank, dan seharusnya hak konsumen adalah menerima Penyerahan Jaminan Kredit berupa Sertifikat atas Tanah dan Bangunan yang sudah dilakukan pemecahan atas sertifikat induk dari pengembang/develover. Tetapi yang terjadi justru pihak Bank tidak memberikan sertifikat tersebut dengan alasan seperti yang telas disampaikan dalam uraian tersebut diatas.       

Bahwa didalam hukum perjanjian apabila salah satu pihak (antara Kreditur dan Debitur) tidak melaksanakan apa yang disanggupi atau dijanjikan maka dapat dikatakan pihak tersebut telah melakukan wanprestasi, ia alfa atau lalai atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Dalam buku Hukum Perjanjian (Subekti, 2004), menyebutkan bahwa wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa empat macam yaitu:
a.  Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan
     dilakukannya;

b.  Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya,
     tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;

c.  Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
     terlambat;

d.  Melakukan sesuatu yang menurut
     perjanjian tidak boleh dilakukannya.

          Ketika konsumen telah melaksanakan kewajibannya dan pihak Bank yang tidak menyerahkan Sertifikat atas Tanah dan Bangunan hal tersebut dapat dikategorikan telah melakukan wanprestasi berupa tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilakukannya          

Permasalahan-permasalahan yang menyangkut kepentingan konsumen selaku nasabah bank, konsumen dapat melaporkannya ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hal tersebut sejalan dengan Tujuan dibentuknya OJK yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK mempunyai fungsi menyelenggrakan system pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseleuruhan kegiatan disektor jasa keuangan., dan mempunyai tugas melakukan pengaturan dalam pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sector INKB.

Untuk mengimplementasikan salah satu tujuan OJK yaitu mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat maka dibuatlah Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dimana ada beberapa pasal terkait dengan Pengawasan dan Sanksi antara lain :
Pasal 51
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan Konsumen.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan secara langsung maupun tidak langsung.
Pasal 53
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:
     a.   Peringatan tertulis;
     b.   Denda yaitu kewajiban untuk membayar
           sejumlah uang tertentu;

     c.   Pembatasan kegiatan usaha;
     d.   Pembekuan kegiatan usaha; dan
     e.   Pencabutan izin kegiatan usaha.

Prinsip kehati-hatian bank terkait dengan jaminan kredit yang secara nyata belum bisa diberikan oleh Bank Pemberi KPR kepada konsumen sebagai tindak lanjut dari pelunasan kewajiban, maka hal ini perlu dipertanyakan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit yang berlandaskan 5 aspek penilaian, antara lain :
1. character (watak) dari calon debitur;
2. capacity (kemampuan) calon debitur dalam mengembangkan usahanya;
3. capital (modal) dari calon nasabah;
4. collateral (jaminan) dari calon debitur yang akan melakukan pinjaman;
5. condition of economics (kondisi ekonomi).

Dalam hal aspek collateral (jaminan) belum terpenuhi dalam proses pemberian kredit KPR tersebut karena senyatanya pihak tidak dapat menunjukkan dan menyerahkan Jaminan berupa Sertifikat atas Tanah dan Bangunan kepada konsumen yang telah melunasi kewajiban pada Bank. Padahal jaminan kredit harusnya diserahkan oleh developer kepada Bank pada saat akad kredit, untuk selanjutnya ditindak lanjuti dengan pemberian SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan dalam 1 bulan harus ditingkatkan menjadi APHT (Akta Pembebanan Hak Tanggungan) untuk tanah terdaftar dan 3 bulan untuk tanah belum terdaftar.

Bahwa jika ditemukan adanya pelanggaran atas prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan maka akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak perbankan atau petugas bank antara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) b Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi:

 Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak    melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap   ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”.

 

Pasal 50 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi :

Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

 

Bahwa jika konsumen telah menyampaikan dokumen yang telah ditandatangani berupa: 1). Akta Jual Beli (AJB); 2). Bukti Pembayaran Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB);  3). Dan Perikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB), seharusnya dengan telah ditandatangani dan diterimanya dokumen tersebut oleh konsumen, pihak Developer harus menyerahkan sertifikat sebagai jaminan atas pelunasan kredit KPR konsumen kepada Bank. Jika sertifikat tersebut masih dalam proses pemecahan saat akad kredit maka Developer harus meyakinkan pihak Bank dengan menyertakan bukti-bukti yang menunjukkan sertifikat tersebut dalam proses pemecahan di Kantor Pertanahan setempat. Bukti ini penting untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan,  misalnya sertifikat milik konsumen/nasabah oleh pihak developer diagunkan ke Bank lain. Tindakan yang dilakukan oleh developer yang tidak menyerahkan Sertifikat atas Tanah dan Bangunan kepada konsumen, padahal konsumen telah menandatangani Akta Jual Beli (AJB) hal tersebut dapat dikategorikan pihak develover telah melakukan wanprestasi berupa tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilakukannya.

Konsumen yang beritikad baik dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen dapat menggunakan dalil berupa janji-janji yang diberikan oleh  pihak developer baik yang tertuang di dalam perjanjian maupun pada saat mempromosikan perumahan yang dimaksud, tentunya dalam hal ini konsumen yang lebih mengetahui janji yang disampaikan oleh developer khususnya mengenai proses dan Jangka Waktu Penandatanganan AJB, Pemecahan Sertifikat Induk, dan Penyerahan Sertifikat hasil pemecahan kepada Bank Pemberi KPR. Jika hal tersebut disampaikan pihak developer tetapi faktanya tidak dilakukan maka sebagai konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 1 huruf (f) Juncto Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut:

“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut”;

Pasal 62 ayat 1:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
             

            Jika konsumen dapat memastikan bahwa pihak developer mulai proses sejak awal promosi sampai dengan konsumen tertarik dan kemudian membeli rumah yang ditawarkannya tersebut ternyata ada rangkaian kata-kata bohong dan tipu muslihat yang menyebabkan konsumen tertarik dan membeli rumah yang ditawarkan, misalnya developer menyampaikan bahwa ketika konsumen telah melunasi cicilannya dan  menandatangani Akta Jual Beli maka akan langsung dilakukan Pemecahan Sertifikat Induk dalam waktu paling lama empat bulan, namun pada faktanya sampai dengan dua tahun lebih tidak ada pemecahan sertifikat induk, jika hal ini terjadi yang demikian maka telah terjadi penipuan dalam permasalahan tersebut.
            Bahwa Tindak pidana penipuan dalam bentuk pokok atau yang disebutkan dalam arti sempit yang diatur dalam Pasal 378 KUHP terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut
(Anwar, 1989):
1.   Unsur subjektif: dengan maksud
       a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
       b. Dengan melawan hukum.
2.   Unsur objektif:  membujuk atau menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk atau

      penggerak
       a.  Memakai nama palsu.
       b.  Memakai keadaan palsu.
       c.   Rangkaian kata-kata bohong.
       d.   Tipu muslihat agar:
             1) Menyerahkan sesuatu barang.
             2) Membuat hutang.
             3) Menghapus piutang

           

Langkah pertama yang harus harus dilakukan oleh konsumen adalah mengirim surat somasi kepada pihak Bank untuk meminta sertifikat atas nama konsumen, jika pihak bank tidak dapat memberikan sertifikat kepada konsumen dengan alasan masih berkoordinasi dan memproses dengan pihak developer, langkah yang kedua yaitu melaporkan pihak bank ke OJK  dan ke Bank Indonesia  sebagai Pengawasan dan Perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat. Jika somasi yang telah dikirimkan kepada pihak bank tidak mendapat respon yang baik dari pihak bank, maka konsumen dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan yang wilayah domisili hukumnya sesuai dengan keberadaan Tergugat/pihak bank, atau dimana objek/rumah berada atas dasar wanprestasi berupa tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilakukannya.

Jika konsumen mengalami dalam permasalahan tersebut bisa dipastikan ada pelanggaran atas prinsip kehati-hatian terkait dengan jaminan/collateral maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan konsumen dapat melaporkan pihak perbankan atau petugas bank dengan pasal antara lain sebagaimana diatur dalam:

Pasal 49 ayat (2) b Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Pasal 50 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Terhadap pihak develover konsumen dapat mengajukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi dan membuat laporan pidana dengan dugaan pasal378 KUHP yaitu penipuan. Gugatan perdata atas dasar wanprestasi berupa tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilakukannya. Sedangkan Dalam hal pidana yaitu terkait janji-janji develover dalam promosi atau dalam membuat perjanjian yanag tidak ditepatinya dapat dikatagorikan sebagai bentuk penipuan,  junto Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Biasanya sebelum mengajukan gugatan perdata atau membuat laporan pidana, pihak konsumen harus melayangkan somasi terlebih dahulu, hal ini diharapkan dengan adanya somasi yang di respon baik oleh pihak bank dan pihak develover hal tersebut bisa selesai dengan jalan musyawarah, tidak melalui jalan hukum baik perdata atau pidana karena hal tersebut akan memakan waktu yang lama dan juga biaya yang lebih besar lagi. 

 

Kesimpulan

Kebutuhan akan perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia. Rumah sebagai tempat tinggal sebuah keluarga merupakan sarana kebutuhan hidup yang mendasar. Untuk membuat suatu rumah bagi ekonomi kelas menengah kebawah tentu lah sangat sulit untuk mewujudkannya. Pemerintah dan pihak swasta coba membantu mengatasi masalah perumahan dengan memberikan kredit perumahan atau biasa di sebut dengan KPR. KPR bekerja samanya pihak pengembang/develover dengan pihak bank yang dapat membiayai, sehingga konsumen yang membutuhkan perumahan bisa mengajukan kredit perumahan kepada develover dan develover akan menunjuk bank sebagai penjaminnya.

Setelah adanya perjanjian antara pihak konsumen dengan pihak bank, maka pihak konsumen dapat menempati rumahnya tersebut, akan tetapi masalah sering terjadi manakala ketika pihak konsumen telah melunasi kreditnya kepada bank, pihak konsumen tidak bisa dengan mudah untuk mendapatkan sertifikat atas rumah yang ditempatinya tersebut, dengan alasan yang diberikan oleh pihak bank bahwa sertifikat tersebut masih berupa sertifikat induk yang belum dipecah-pecah. Hal tersebut tentunya sangat merugikan pihak konsumen. Konsumen tentunya ingin segera mendapatkan sertifikatnya guna bisa dipergunakan lagi untuk mengajukan pinjaman ke bank lagi ataupun bisa menjual rumah tersebut kepada pihak lain.  Atas kerugian yang di alami oleh konsumen tersebut, konsumen bisa melaporkan pihak bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dan kepada Bank Indonesia karena telah melakukan wanprestasi. Begitu juga konsumen bisa melaporkan develover karena telah melalukan perbuatan pidana yaitu melanggar UU Perlindunan Konsumen, atau penipuan jika ada unsur tipu daya dalam hal promosi atau dalam perjanjian yang tidak sesuai dengan kenyataan. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen adalah dapat melakukan gugatan perdata berupa wanprestasi ke Pengadilan Negeri dengan para pihaknya yaitu, Pihak develover dan pihak bank sebagai tergugat, dan harus disertakan juga pihak Badan Pertanahan setempat dan PPAT sebagai pihak turut tergugat.

 

BIBLIOGRAFI

 

Andika, E. (2015). Keabsahan Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Kredit Bank Dihubungkan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak. Lex Privatum, 3(2).

Anggraeni, D. A. Y. U. (2010). Aspek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (Kpr) Pada Pt. Bank Tabungan Negara (Btn) Persero (Studi Kasus di PT. BTN Persero Kota Surakarta). Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Anwar, M. (1989). Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Citra Aditya Bakti, Bandung.

Devita, I. (2022). Pembelian Rumah Melalui Developer di Areal Perumahan. Irmadevita.Com.

Djojodirdjo, M. A. M. (1979). Perbuatan melawan hukum: tanggung gugat (aansprakelijkheid) untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum. Pradnya Paramita.

Hutagalung, A. S. (1985). Program redistribusi tanah di Indonesia: suatu sarana ke arah pemecahan masalah penguasaan tanah dan pemilikan tanah. (No Title).

Isnaini, A. M., & Adnan, L. (2018). Hak warga negara dalam pemenuhan lingkungan tempat tinggal yang layak ditinjau dari perspektif hukum hak asasi manusia. Jatiswara, 33(1).

Keuangan, O. J. (2017). Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Jakarta: Departemen Perlindungan Konsumen.

Komariah. (2001). Hukum Perdata Edisi Revisi. Universitas Muhammadiyah Malang.

Kosasih, J. I. (2021). Akses Perkreditan dan Ragam Fasilitas Kredit dalam Perjanjian Kredit Bank. Sinar Grafika (Bumi Aksara).

Kusnadi, I. (2015). Perlindungan Hukum Bagi Bank Terhadap Pembelian Rumah Indent Secara Kredit Pemilikan Rumah (Kpr) Melalui Developer Perumahan (Studi Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Loan Centre Medan). University of North Sumatra.

Mahmud, M. P. (2017). Penelitian Hukum edisi revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Poesoko, H. (2006). Parate Executie Obyek Hak Tanggungan. UNIVERSITAS AIRLANGGA.

Puspitoningrum, W. H. (2018). Peningkatan Hak Guna Bangunan Yang Habis Masa Berlakunya Menjadi Hak Milik Atas Tanah. Jurnal Hukum Dan Kenotariatan, 2(2), 276–287.

Salim, H. S. (2021). Hukum kontrak: Teori dan teknik penyusunan kontrak. Sinar Grafika.

Saputra, J., Utami, M. R., & Handayani, R. A. E. (2023). Hubungan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Dengan Penyaluran Rumah Bersubsidi di Kota Palembang. Jurnal Ekonomi Bisnis, Manajemen Dan Akuntansi, 2(1), 115–124.

Subekti. (2004). Hukum Perjanjian. PT Intermasa.

 

 

Copyright holder:

Ghiska Yuliarti, Markoni, Nardiman (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: