Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol.
9, No. 2, Februari 2024
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KREDIT
PEMILIKAN RUMAH ATAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP SERTIPIKAT INDUK YANG
BELUM DIPECAH
Ghiska Yuliarti, Markoni, Nardiman
Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Rumah sebagai tempat tinggal
merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia. Makin tingginya kebutuhan masyarakat
akan perumahan, membuat para pengembang berupaya membuat berbagai macam
perumahan, mulai apartemen sampai cluster
perumahan di pinggiran kota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pertanggungjawaban hukum dari para pihak dalam perjanjian kredit pemilikan
rumah atas pemberian hak tanggungan terhadap sertipikat induk yang belum
dipecah serta upaya yang dapat dilakukan oleh pihak konsumen yang merasa
dirugikan. Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
normatif, penelitian ini didasarkan pada bahan hukum primer, sekunder dan
tersier dengan interpretasi dan sistematisasi antar peraturan perundang-undangan,
serta menggunakan teori pertanggungjawaban hukum, teori perjanjian, dan teori
jaminan hak tanggungan. Berdasarkan hasil penelitian banyak konsumen yang
dirugikan akibat tidak langsungnya diberikan sertifikat kepada konsumen
meskipun konsumen telah melakukan pelunasan. Hal tersebut dikarenakan karena
serifikat belum dipecah masih dalam bentuk sertifikat induk. Kesimpulannya
adalah para pihak dan Pejabat terkait dapat diminta pertanggungjawaban hukumnya
bila terjadi kerugian terhadap pihak lain yang merasa dirugikan. Bahwa
pertanggungjawaban hukum para pihak telah diatur dalam klausul perjanjian,
kecuali jika perjanjian tersebut dilanggar, maka pihak yang dirugikan dapat
menuntut kerugiannya melalui proses musyawarah (non litigasi) atau proses pengadilan
(litigasi).
Kata Kunci:
kredit, perjanjian, wanprestasi
Abstract
Home as a place to live is a basic need for humans. Increasingly
high public demand for housing has forced developers to try to build various
types of housing, from apartments to housing clusters on the outskirts of the
city. This study aims to determine the legal responsibility of the parties in
the home ownership credit agreement for the granting of mortgage rights to the
parent certificate that has not been broken down and the efforts that can be
made by the consumer who feels aggrieved. This type of research in legal
writing is normative legal research, this research is based on primary,
secondary and tertiary legal materials with interpretation and systematization
of laws and regulations, as well as using the theory of legal liability,
contract theory, and mortgage theory. Based on the results of the research,
many consumers were harmed as a result of being indirectly given certificates
to consumers even though consumers had made payments. This is because the
certificate has not been divided, it is still in the form of a master
certificate. The conclusion is that the parties and related officials can be
held legally responsible if there is a loss to other parties who feel
aggrieved. Whereas the legal responsibilities of the parties have been
regulated in the clauses of the agreement, except if the agreement is violated,
then the injured party can claim losses through a deliberation process
(non-litigation) or court proceedings (litigation).
Keywords:
credit, agreement, default
Pendahuluan
Kebutuhan
akan tempat tinggal yang layak merupakan permasalahan manusia di seluruh dunia,
tidak saja di negara-negara yang sedang berkembang tetapi juga di negara yang
sudah maju (Isnaini & Adnan, 2018). Pembangunan perumahan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu
kebutuhan dasar manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan
kehidupan, memberi arah pada pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan kerja
serta menggerakkan kegiatan ekonomi dalam peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat (Hutagalung, 1985).
Pembangunan
perumahan dan pemukiman (papan) merupakan kebutuhan dasar manusia. Perumahan
dan permukiman penduduk tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan
hidup, tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan proses bermukim manusia dalam
menciptakan tatanan hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menempatkan jati dirinya (Saputra et al., 2023).
Makin
tingginya kebutuhan masyarakat akan perumahan, membuat para pengembang berupaya
membuat berbagai macam perumahan, mulai apartemen sampai cluster perumahan di pinggiran kota. Dalam membangun sebuah
perumahan, pengembang akan mempersiapkan lahannya terlebih dahulu. Jika areal
perumahan tersebut luas, biasanya perumahan tersebut berasal dari beberapa
sertipikat dan dari beberapa orang pemilik lahan. Masing-masing lahan dimaksud
bisa saja memiliki status tanah yang berbeda-beda. Misalnya ada yang masih berstatus
tanah girik, tanah bekas hak barat yang belum dikonversi, selain tanah-tanah
yang sudah bersertipikat dan berstatus Hak Milik (SHM), ataupun Hak Guna
Bangunan (SHGB) dan Hak Pakai (HP) (Devita, 2022).
Dokumen-dokumen
kepemilikan atas tanah tersebut biasanya ada yang lengkap, ada juga yang hanya
terdiri dari secarik surat keterangan garapan saja. Untuk dapat memperoleh
semua tanah yang akan dipergunakan sebagai perumahan, pengembang akan melakukan
pembebasan lahan, yaitu membeli tanah-tanah dimaksud dengan berbagai cara,
entah itu melalui jual beli biasa, maupun melalui pelepasan hak. Setelah
seluruh tanah di areal yang akan dijadikan sebagai lokasi perumahan dibebaskan,
maka selanjutnya tanah-tanah tersebut digabungkan dan disertipikatkan atas nama
pengembang dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) (Puspitoningrum, 2018). Penggabungan dari beberapa hak atas tanah yang berasal dari
berbagai jenis hak ke dalam satu sertipikat tersebut disebut sertipikat induk (Devita, 2022).
Pada
saat tanah dikavling-kavling dan dipasarkan berikut bangunan, sertipikat induk
itu dipecah atas nama konsumen (pembeli). Pecahan sertipikat induk tersebut
masih berstatus HGB, mengikuti status induknya. Dalam praktik, biasanya
konsumen membeli rumah di areal perumahan tersebut melalui dengan cara mencicil
melalui bank yang bekerjasama dengan pengembang. Untuk itu, konsumen harus
mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR) melalui bank yang
telah bekerjasama dengan pengembang (Kusnadi, 2015). Pada saat melakukan transaksi jual beli dan penandatanganan akad
kredit KPR dengan bank, dokumen kepemilikan berupa asli sertipikat tanah (yang
sudah dipecah) beserta dokumen lain seperti IMB dan akta jual beli, baru akan
diterima oleh bank dari pengembang dalam jangka waktu sekitar 6 sampai 12 bulan
sejak konsumen melunasi bea balik nama. Namun jangka waktu itu tidak seragam
antara satu pengembang dengan pengembang lainnya, karena biasanya pengembang
melakukan proses pemecahan sertipikat setelah hampir semua rumah yang
dibangunnya terjual habis. Setelah itu, barulah pengembang melakukan pemecahan
sekaligus. Jika sertipikat selesai
dipecah, maka pecahan-pecahan yang sudah dijualbelikan dan dibiayai oleh bank
tertentu yang menjadi rekanan pengembang, akan diserahkan ke bank bersangkutan (Devita, 2022).
Konsumen
yang membeli rumah dari pengembang tersebut selanjutnya membayar cicilan
bulanan kepada bank dengan jangka waktu yang tertera dalam surat perjanjian
kredit KPR. Rumah yang dibeli oleh konsumen dijadikan sebagai jaminan pelunasan
kewajiban pembayaran cicilan dari konsumen yang merupakan debitur dari bank
yang berkenaan.
Uraian
di atas menjelaskan bahwa peranan perbankan sangat dibutuhkan dalam menyediakan
dana dan memberikan prakarsa dalam usaha pembangunan perumahan. Kehadiran
sistem KPR sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang penghasilan ekonominya dalam
level kecil dan menengah (Anggraeni, 2010). Masyarakat, perorangan atau badan usaha dalam usaha meningkatkan
kebutuhan konsumtif atau produktif sangat membutuhkan dana dari pihak bank
sebagai salah satu sumber pendanaan yang di antaranya dalam bentuk kredit, agar
mampu memenuhi dalam mendukung peningkatan usahanya (Poesoko, 2006).
Pasal
1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, merumuskan bahwa:
“Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
Dalam
praktik perbankan, untuk lebih mengamankan dana yang disalurkan kreditur kepada
debitur diperlukan tambahan pengamanan berupa jaminan kredit khusus yang banyak
digunakan adalah jaminan kebendaan berupa tanah. Lembaga jaminan yang
disediakan oleh lembaga perbankan yang dianggap paling efektif dan aman adalah
tanah berupa jaminan hak tanggungan (Poesoko, 2006).
Menurut
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, menyatakan bahwa:
“Hak
tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain.”
Dalam
perjanjian KPR, selama fasilitas kredit yang diterima oleh konsumen (debitur
bank) belum lunas seluruhnya, maka seluruh dokumen kepemilikan atas rumah yang
dibelinya masih disimpan di bank dan dijadikan sebagai jaminan. Setelah kredit
lunas, barulah bank bisa menyerahkan dokumen-dokumen kepemilikan rumah termasuk
sertipikat yang telah dipecah kepada konsumen. Akan tetapi pada kenyataannya,
meskipun konsumen telah melunasi KPR, konsumen tersebut tidak dapat memperoleh
sertipikat rumah yang telah dijadikan jaminan di bank. Salah satu penyebabnya antara lain pengembang
yang menemui kendala berupa masalah keuangan atau tidak dapat membayar utangnya
sebelum menyelesaikan pembangunan perumahan. Dari berbagai faktor, salah satu
penyebab utamanya adalah adanya hambatan dalam pemutaran keuangan (baik yang
dilakukan oleh perusahaan maupun adanya itikad tidak baik dalam melakukan
keuangan tersebut) atau mungkin mengalami kemunduran perusahaan yang
mengakibatkan perusahaan pengembang tidak dapat membayar tagihan-tagihan
perusahaan yang sudah jatuh tempo (adanya pinjaman kepada bank, jasa
konstruksi, pekerja, dan lain-lain). Akibat adanya permasalahan tersebut, ada
kalanya pengembang yang lari dari tanggung jawab sehingga pembangunan perumahan
tidak dapat terselesaikan.
Berdasarkan
uraian tersebut diatas maka Penulis tertarik untuk membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
Bagaimana
pertanggungjawaban hukum para pihak dalam perjanjian kredit pemilikan rumah
atas pemberian hak tanggungan terhadap sertipikat induk yang belum dipecah.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum dari para pihak dalam
perjanjian kredit pemilikan rumah atas pemberian hak tanggungan terhadap
sertipikat induk yang belum dipecah serta upaya yang dapat dilakukan oleh pihak
konsumen yang merasa dirugikan.
Metode Penelitian
Jenis
penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu
kategori hukum tertentu, serta menganalisis hubungan antara peraturan (Mahmud, 2017). Penelitian ini didasarkan
pada bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan interpretasi dan
sistematisasi antar peraturan perundang-undangan.
Sifat
penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini, yaitu deskriptif analitis,
artinya bahwa pembahasan dilakukan dengan cara menyajikan dan menjelaskan data
secara lengkap, terperinci dan sistematis, kemudian terhadap data tersebut
dilakukan analisis dengan menggunakan teori-teori ilmu hukum dan peraturan
perundang-undangan (Mahmud, 2017).
Secara
teoritis tulisan ini diharapkan memberikan sebuah sumbangan pemikiran baru dan
sekaligus memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum. Seraca praktis dapat
memberikan sebuah sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi para pihak yang
terlibat dalam perjanjian kredit perumahan.
Fungsi penelitian ini adalah untuk mencari kebenaran hukum terhadap suatu permasalahan di dalam hukum.
Dalam jurnal ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah
ditulis atau di publikasikan orang lain, kecuali tertulis dengan jelas
dicantumkan dalam daftar pustaka.
Adapun
teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban
hukum, teori perjanjian dan teori hak tanggungan.
Teori Pertanggungjawaban Hukum
Pertanggungjawaban dalam hukum perdata
berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan
dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum bukan saja mencakup perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang pidana, tetapi apabila perbuatan
tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan
hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan
hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan (Komariah, 2001). Dalam ilmu hukum dikenal tiga kategori perbuatan melawan hukum,
yaitu sebagai berikut (Djojodirdjo, 1979):
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian).
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian
Dengan demikian, maka model tanggung jawab
adalah sebagai berikut:
a. Tanggungjawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata, menyatakan. Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
b. Tanggungjawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata, yang menyatakan: Setiap orang
bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang
hati-hatinya.
c. Tanggungjawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1367 KUHPerdata, yang menyatakan: Seorang tidak saja bertanggungjawab
untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah
pengawasannya … dst.
Selain dari tanggung jawab
perbuatan melawan hukum, KUHPerdata melahirkan tanggung jawab hukum perdata
berdasarkan wanprestasi. Diawali dengan adanya perjanjian yang menimbulkan hak
dan kewajiban. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut,
pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak melaksanakan atau melanggar kewajiban
yang dibebankan kepadanya, maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan
atas dasar itu ia dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum berdasarkan
wanprestasi. Sementara tanggung jawab hukum perdata berdasarkan perbuatan
melawan hukum didasarkan adanya hubungan hukum, hak dan kewajiban yang
bersumber pada hukum (Djojodirdjo, 1979).
Teori Perjanjian
Menurut M. Yahya Harahap,
pengertian perjanjian adalah (Salim, 2021):
“Suatu
hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih memberikan
kekuatan hak kepada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan para pihak lain tentang suatu prestasi.”
Dengan mengacu pada pengertian tersebut
dapat dilihat beberapa unsur dari pengertian perjanjian, antara lain hubungan
hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberi
hak kepada satu pihak dan kewajiban pihak lain tentang suatu prestasi.
Subekti
memberikan pendapat tentang perjanjian, yaitu sebagai berikut (Salim, 2021):
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal”.
Dengan pendapat tersebut maka timbul suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian berupa suatu
rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
secara lisan atau tertulis. Suatu akibat hubungan hukum yang dilakukan
berdasarkan tindakan hukum prestasi saja, maka tidak akan berarti terhadap
hukum perjanjian.
Sedangkan
menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa perjanjian merupakan (Andika, 2015):
“Suatu
hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dimana suatu pihak
berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan hal, sedangkan
pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan tersebut”. Dengan mengacu pada
pendapat para ahli hukum tersebut maka perjanjian itu mengandung unsur berikut:
a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua pihak.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu.
c. Ada obyek yang berupa benda.
d. Ada tujuan yang bersifat kebendaan.
e. Ada bentuk tertentu yang lisan/tulisan
Teori Hak Tanggungan
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), hak tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya (Salim, 2021).
Bagi
pemegang hak tanggungan, ia memiliki beberapa hak istimewa yang diberikan oleh
undang-undang, yaitu:
a. Hak-hak istimewa sebagai pemegang hak tanggungan pemegang hak
tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UUHT. Kedua Pasal
menentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembebanan hak
tanggungan adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi
hak tanggungan dapat berupa perorangan atau badan hukum, yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan.
b. Hak atas tanah yang dapat dibebankan hak tanggungan Tidak setiap
hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hanya hak atas tanah yang
dapat dijadikan jaminan dengan syarat-syarat sebagai berikut (Salim, 2021):
1) Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
2) Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus
memenuhi syarat publisitas;
3) Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur
cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum;
4) Memerlukan penunjukan dengan undang-undang.
Dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUHT telah menyatakan secara tegas mengenai hak
atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang. Ada 5 jenis tanah yang
dapadijaminkan dengan hak tanggungan, yaitu hak milik, Hak Guna Usaha (HGU),
Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dan Hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan
dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas
tanah yang bersangkutan.
Hasil dan Pembahasan
Kredit
pemilikan rumah (KPR) merupakan produk kredit yang diberikan oleh bank kepada
nasabah untuk pembelian rumah. Namun pada perkembangannya, oleh pihak perbankan
fasilitas KPR saat ini dikembangkan menjadi fasilitas kredit yang juga dapat
digunakan untuk keperluan renovasi dan/atau pembangunan rumah (Keuangan, 2017).
Dalam pelaksanaannya, KPR
terdiri dari dua jenis, yaitu:
KPR subsidi
KPR
Subsidi adalah KPR yang disediakan oleh Bank sebagai bagian dari program
pemerintah atau Jamsostek, dalam rangka memfasilitasi pemilikan atau pembelian
rumah sederhana sehat (RS Sehat/RSH) oleh masyarakat berpenghasilan rendah
sesuai kelompok sasaran. Adapun yang akan dikenakan subsidi adalah suku bunga
kredit atau uang muka. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
masyarakat berpenghasilan rendah mendapatkan dukungan kepemilikan rumah melalui
kebijakan kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah. Terkait
kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah tersebut selanjutnya
diatur dalam sebuah peraturan menteri yaitu Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 21/Prt/M/2016 tentang Kemudahan
dan/atau Bantuan Perolehan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Pada Peraturan
Menteri tersebut diatur beberapa hal, diantaranya adalah:
1) Kemudahan dan/atau bantuan perolehan rumah;
2) Fasilitas likuiditas pembiayaan
perumahan;
3) Subsidi bunga kredit perumahan;
4) Subsidi bantuan uang muka;
5) Pemanfaatan rumah sejahtera tapak dan satuan rumah sejahtera susun;
6) Pengembalian kemudahan dan/atau bantuan perolehan rumah;
KPR non subsidi
KPR non subsidi adalah produk KPR yang disalurkan oleh perbankan
yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat
dimana penentuan besarnya kredit maupun suku bunga dilakukan sesuai dengan
kebijakan bank yang bersangkutan, dengan tetap memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. KPR non subsidi diberikan kepada
konsumen berdasarkan harga jual rumah yang ditentukan oleh developer.
Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi
kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit atau
perjanjian pembiayaan. Perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan terbagi dua
yaitu berdasarkan sistem konvensional dan sistem syariah. Perbedaan pokok
antara KPR dengan sistem konvensional dan PPR dengan sistem syariah terletak
pada dasar perjanjian atau prinsipnya. Pada bank konvensional, perjanjian KPR
didasarkan pada suku bunga tertentu yang sifatnya fluktuatif atau mengikuti
kebijakan otoritas dan kebijakan internal bank. Sedangkan pada perjanjian PPR
(Pembiayaan Pemilikan Rumah) syariah bisa dilakukan dengan beberapa pilihan
perjanjian alternatif sesuai dengan kebutuhan nasabah (Keuangan, 2017).
Perjanjian KPR dengan sistem
konvensional merupakan perjanjian konsensuil berdasarkan ketentuan dalam
KUHPerdata antara debitur dengan kreditur (dalam hal ini bank) yang melahirkan
hubungan utang piutang. Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang
diberikan oleh kreditur berdasarkan pada syarat dan kondisi yang telah
disepakati oleh para pihak (Kosasih, 2021).
Berbeda dengan perjanjian KPR
dengan sistem konvensional, perjanjian PPR dengan sistem syariah selain
didasarkan pada ketentuan terkait perjanjian didalam KUHPerdata, juga
didasarkan pada prinsip yang telah diatur didalam fatwa MUI terkait perjanjian
pembiayaan. Perjanjian yang digunakan untuk KPR syariah diantaranya adalah murabahah, istishna, mudharabah, dan musyarakah mutanaqisah.
Setelah
konsumen membayar cicilannya sampai dengan lunas sesuai dengan perjanjian akad
waktu kredit, tentunya konsumen ingin segera mendapatkan sertifikat rumahnya
tersebut. Karena serifikat merupakan bukti kepemilikan yang paling kuat diatas
bukti kepemilikan lainnya. Namun yang
terjadi adakalanya ternyata pihak bank malah menahan sertifikat milik konsumen
yang telah lunas tersebut dengan berbagai alasan. Pihak Bank tidak memenuhi
kewajibannya untuk menyerahkan Sertifikat atas Tanah dan Bangunan milik
konsumen tersebut sebagaimana yang dijanjikan dengan alasan masih berkoordinasi
dan memproses dengan pihak Developer,
sedangkan dari pihak Developer
menyampaikan bahwa sertifikat masih dalam proses pemecahan karena masih dalam
bentuk sertifikat induk. Kemudian
apa yang dapat dilakukan oleh konsumen jika mengalami hal tersebut. Langkah
atau upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen kepada pihak Bank dan
pihak develover.
Dalam hal
nasabah telah menandatangani Perjanjian Kredit dengan Pihak Bank sebagai
Pemberi KPR dan telah memenuhi syarat sah nya perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu
dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Dengan telah
ditandatanganinya perjanjian kredit antara Nasabah dengan Bank pemberi KPR maka
kedua belah pihak terikat untuk menjalankan perjanjian, harus di ingat
baik-baik bahwa perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya, hal tersebut telah sesuai sebagaimana Pasal 1338
KUHPerdata yang berbunyi:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan i'tikad baik”.
Bahwa jika
konsumen telah melunasi kewajiban kepada pihak perbankan, yang mana secara
hukum perjanjian telah melunasi kewajiban terhadap pembayaran cicilan atas KPR
yang diberikan oleh Bank, dan seharusnya hak konsumen adalah menerima
Penyerahan Jaminan Kredit berupa Sertifikat atas Tanah dan Bangunan yang sudah
dilakukan pemecahan atas sertifikat induk dari pengembang/develover. Tetapi
yang terjadi justru pihak Bank tidak memberikan sertifikat
tersebut dengan alasan seperti yang telas disampaikan dalam uraian tersebut
diatas.
Bahwa didalam hukum perjanjian apabila salah satu pihak (antara
Kreditur dan Debitur) tidak melaksanakan apa yang disanggupi atau dijanjikan
maka dapat dikatakan pihak tersebut telah melakukan wanprestasi, ia alfa atau
lalai atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan
atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Dalam buku Hukum Perjanjian
(Subekti, 2004), menyebutkan bahwa wanprestasi (kelalaian atau
kealpaan) dapat berupa empat macam yaitu:
a. Tidak
melakukan apa yang telah disanggupi akan
dilakukannya;
b.
Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan;
c.
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat;
d.
Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ketika konsumen telah melaksanakan kewajibannya dan pihak Bank yang
tidak menyerahkan Sertifikat atas Tanah dan Bangunan hal tersebut dapat
dikategorikan telah melakukan wanprestasi berupa tidak melakukan apa yang telah
disanggupi atau dilakukannya
Permasalahan-permasalahan yang menyangkut kepentingan
konsumen selaku nasabah bank, konsumen dapat melaporkannya ke Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), hal tersebut sejalan dengan Tujuan dibentuknya OJK yaitu agar
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara
teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK mempunyai fungsi
menyelenggrakan system pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseleuruhan kegiatan disektor jasa keuangan., dan mempunyai tugas melakukan pengaturan dalam pengawasan
terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan
sector INKB.
Untuk mengimplementasikan salah satu tujuan OJK yaitu mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat maka dibuatlah Peraturan
Otoritas Jasa keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan, dimana ada beberapa pasal terkait dengan Pengawasan dan
Sanksi antara lain :
Pasal 51
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan
kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan
Konsumen.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pengawasan secara langsung maupun tidak langsung.
Pasal 53
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak
yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan
sanksi administratif, antara lain berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda yaitu kewajiban untuk
membayar
sejumlah uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha; dan
e. Pencabutan izin kegiatan
usaha.
Prinsip
kehati-hatian bank terkait dengan jaminan kredit yang secara nyata belum bisa
diberikan oleh Bank Pemberi KPR kepada konsumen sebagai tindak lanjut dari
pelunasan kewajiban, maka hal ini perlu dipertanyakan mengenai penerapan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit yang berlandaskan 5 aspek
penilaian, antara lain :
1. character
(watak) dari calon debitur;
2. capacity
(kemampuan) calon debitur dalam mengembangkan usahanya;
3. capital
(modal) dari calon nasabah;
4. collateral
(jaminan) dari calon debitur yang akan melakukan pinjaman;
5. condition
of economics (kondisi ekonomi).
Dalam hal
aspek collateral (jaminan) belum
terpenuhi dalam proses pemberian kredit KPR tersebut karena senyatanya pihak
tidak dapat menunjukkan dan menyerahkan Jaminan berupa Sertifikat atas Tanah
dan Bangunan kepada konsumen yang telah melunasi kewajiban pada Bank. Padahal jaminan kredit harusnya
diserahkan oleh developer kepada Bank
pada saat akad kredit, untuk selanjutnya ditindak lanjuti dengan pemberian
SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) sebagaimana diatur dalam Pasal
15 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan dalam 1 bulan
harus ditingkatkan menjadi APHT (Akta Pembebanan Hak Tanggungan) untuk tanah
terdaftar dan 3 bulan untuk tanah belum terdaftar.
Bahwa jika
ditemukan adanya pelanggaran atas prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7
tahun 1992 tentang Perbankan maka akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak
perbankan atau petugas bank antara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2)
b Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang Undang No 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi:
“Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja
tidak melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah)”.
Pasal 50 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan atas Undang Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
berbunyi :
“Pihak Terafiliasi yang dengan
sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Bahwa jika konsumen telah menyampaikan dokumen yang telah ditandatangani
berupa: 1). Akta Jual Beli (AJB); 2). Bukti Pembayaran Bea Perolehan Hak Tanah
dan Bangunan (BPHTB); 3). Dan Perikatan
Perjanjian Jual Beli (PPJB), seharusnya dengan telah ditandatangani dan
diterimanya dokumen tersebut oleh konsumen, pihak Developer harus menyerahkan sertifikat sebagai jaminan atas
pelunasan kredit KPR konsumen kepada Bank. Jika sertifikat tersebut masih dalam
proses pemecahan saat akad kredit maka Developer
harus meyakinkan pihak Bank dengan menyertakan bukti-bukti yang menunjukkan
sertifikat tersebut dalam proses pemecahan di Kantor Pertanahan setempat.
Bukti ini penting untuk menghindari kejadian
yang tidak diinginkan, misalnya
sertifikat milik konsumen/nasabah oleh pihak developer diagunkan ke Bank lain. Tindakan yang dilakukan oleh
developer yang tidak menyerahkan Sertifikat atas Tanah dan Bangunan kepada
konsumen, padahal konsumen telah menandatangani Akta Jual Beli (AJB) hal
tersebut dapat dikategorikan pihak develover telah melakukan wanprestasi berupa
tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilakukannya.
Konsumen
yang beritikad baik dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Konsumen dapat menggunakan dalil berupa janji-janji yang
diberikan oleh pihak developer baik yang tertuang di dalam
perjanjian maupun pada saat mempromosikan perumahan yang dimaksud, tentunya
dalam hal ini konsumen yang lebih mengetahui janji yang disampaikan oleh developer khususnya mengenai proses dan
Jangka Waktu Penandatanganan AJB, Pemecahan Sertifikat Induk, dan Penyerahan
Sertifikat hasil pemecahan kepada Bank Pemberi KPR. Jika hal tersebut disampaikan pihak developer tetapi
faktanya tidak dilakukan maka sebagai konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 1 huruf (f) Juncto Pasal 62 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang berbunyi sebagai berikut:
“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan
dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau
jasa tersebut”;
Pasal 62 ayat 1:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal
15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal
18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Jika konsumen dapat memastikan bahwa pihak developer mulai proses sejak awal promosi sampai dengan konsumen
tertarik dan kemudian membeli rumah yang ditawarkannya tersebut ternyata ada
rangkaian kata-kata bohong dan tipu muslihat yang menyebabkan konsumen tertarik
dan membeli rumah yang ditawarkan, misalnya developer menyampaikan bahwa ketika
konsumen telah melunasi cicilannya dan
menandatangani Akta Jual Beli maka akan langsung dilakukan Pemecahan
Sertifikat Induk dalam waktu paling lama empat bulan, namun pada faktanya
sampai dengan dua tahun lebih tidak ada pemecahan sertifikat induk, jika hal
ini terjadi yang demikian maka telah terjadi penipuan dalam permasalahan
tersebut.
Bahwa Tindak pidana penipuan dalam bentuk pokok atau yang disebutkan
dalam arti sempit yang diatur dalam Pasal 378 KUHP terdiri dari unsur-unsur
sebagai berikut (Anwar, 1989):
1. Unsur
subjektif: dengan maksud
a.
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
b.
Dengan melawan hukum.
2. Unsur
objektif: membujuk atau menggerakkan
orang lain dengan alat pembujuk atau
penggerak
a. Memakai nama palsu.
b. Memakai keadaan palsu.
c. Rangkaian kata-kata bohong.
d. Tipu muslihat agar:
1) Menyerahkan sesuatu barang.
2) Membuat hutang.
3) Menghapus piutang
Langkah pertama yang harus harus dilakukan oleh konsumen adalah mengirim surat
somasi kepada pihak Bank untuk meminta sertifikat atas nama konsumen, jika
pihak bank tidak dapat memberikan sertifikat kepada konsumen dengan alasan
masih berkoordinasi dan memproses dengan pihak developer, langkah yang kedua
yaitu melaporkan pihak bank ke OJK dan
ke Bank Indonesia sebagai Pengawasan dan
Perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat. Jika somasi yang telah dikirimkan kepada pihak bank
tidak mendapat respon yang baik dari pihak bank, maka konsumen dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan yang wilayah domisili hukumnya sesuai dengan keberadaan
Tergugat/pihak bank, atau dimana objek/rumah berada atas dasar wanprestasi
berupa tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilakukannya.
Jika konsumen
mengalami dalam permasalahan tersebut bisa dipastikan ada pelanggaran atas
prinsip kehati-hatian terkait dengan jaminan/collateral maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7
tahun 1992 tentang Perbankan dan konsumen dapat melaporkan pihak perbankan atau
petugas bank dengan pasal antara lain sebagaimana diatur dalam:
Pasal 49 ayat
(2) b Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang Undang No
7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Pasal 50 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan atas Undang Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Terhadap
pihak develover konsumen dapat
mengajukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi dan membuat laporan pidana
dengan dugaan pasal378 KUHP yaitu penipuan. Gugatan perdata atas dasar
wanprestasi berupa tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilakukannya.
Sedangkan Dalam hal pidana yaitu terkait janji-janji develover dalam promosi
atau dalam membuat perjanjian yanag tidak ditepatinya dapat dikatagorikan
sebagai bentuk penipuan, junto
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Biasanya
sebelum mengajukan gugatan perdata atau membuat laporan pidana, pihak konsumen
harus melayangkan somasi terlebih dahulu, hal ini diharapkan dengan adanya
somasi yang di respon baik oleh pihak bank dan pihak develover hal tersebut bisa selesai dengan jalan musyawarah, tidak
melalui jalan hukum baik perdata atau pidana karena hal tersebut akan memakan
waktu yang lama dan juga biaya yang lebih besar lagi.
Kesimpulan
Kebutuhan akan perumahan
merupakan kebutuhan dasar manusia. Rumah sebagai tempat tinggal sebuah keluarga
merupakan sarana kebutuhan hidup yang mendasar. Untuk membuat suatu rumah bagi
ekonomi kelas menengah kebawah tentu lah sangat sulit untuk mewujudkannya.
Pemerintah dan pihak swasta coba membantu mengatasi masalah perumahan dengan
memberikan kredit perumahan atau biasa di sebut dengan KPR. KPR bekerja samanya
pihak pengembang/develover dengan pihak bank yang dapat membiayai, sehingga
konsumen yang membutuhkan perumahan bisa mengajukan kredit perumahan kepada
develover dan develover akan menunjuk bank sebagai penjaminnya.
Setelah adanya perjanjian
antara pihak konsumen dengan pihak bank, maka pihak konsumen dapat menempati
rumahnya tersebut, akan tetapi masalah sering terjadi manakala ketika pihak
konsumen telah melunasi kreditnya kepada bank, pihak konsumen tidak bisa dengan
mudah untuk mendapatkan sertifikat atas rumah yang ditempatinya tersebut,
dengan alasan yang diberikan oleh pihak bank bahwa sertifikat tersebut masih
berupa sertifikat induk yang belum dipecah-pecah. Hal tersebut tentunya sangat
merugikan pihak konsumen. Konsumen tentunya ingin segera mendapatkan
sertifikatnya guna bisa dipergunakan lagi untuk mengajukan pinjaman ke bank
lagi ataupun bisa menjual rumah tersebut kepada pihak lain. Atas kerugian yang di alami oleh konsumen
tersebut, konsumen bisa melaporkan pihak bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
kepada Bank Indonesia karena telah melakukan wanprestasi. Begitu juga konsumen
bisa melaporkan develover karena telah melalukan perbuatan pidana yaitu
melanggar UU Perlindunan Konsumen, atau penipuan jika ada unsur tipu daya dalam
hal promosi atau dalam perjanjian yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen adalah
dapat melakukan gugatan perdata berupa wanprestasi ke Pengadilan Negeri dengan
para pihaknya yaitu, Pihak develover dan pihak bank sebagai tergugat, dan harus
disertakan juga pihak Badan Pertanahan setempat dan PPAT sebagai pihak turut
tergugat.
BIBLIOGRAFI
Andika, E. (2015). Keabsahan Perjanjian Baku Dalam Perjanjian
Kredit Bank Dihubungkan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak. Lex Privatum, 3(2).
Anggraeni, D. A. Y. U. (2010). Aspek Jaminan Dalam
Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (Kpr) Pada Pt. Bank Tabungan Negara (Btn)
Persero (Studi Kasus di PT. BTN Persero Kota Surakarta). Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Anwar, M. (1989). Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Devita, I. (2022). Pembelian Rumah Melalui Developer di
Areal Perumahan. Irmadevita.Com.
Djojodirdjo, M. A. M. (1979). Perbuatan melawan hukum:
tanggung gugat (aansprakelijkheid) untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatan melawan hukum. Pradnya Paramita.
Hutagalung, A. S. (1985). Program redistribusi tanah di
Indonesia: suatu sarana ke arah pemecahan masalah penguasaan tanah dan
pemilikan tanah. (No Title).
Isnaini, A. M., & Adnan, L. (2018). Hak warga negara
dalam pemenuhan lingkungan tempat tinggal yang layak ditinjau dari perspektif
hukum hak asasi manusia. Jatiswara, 33(1).
Keuangan, O. J. (2017). Kajian Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan: Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Jakarta: Departemen
Perlindungan Konsumen.
Komariah. (2001). Hukum Perdata Edisi Revisi. Universitas
Muhammadiyah Malang.
Kosasih, J. I. (2021). Akses Perkreditan dan Ragam
Fasilitas Kredit dalam Perjanjian Kredit Bank. Sinar Grafika (Bumi Aksara).
Kusnadi, I. (2015). Perlindungan Hukum Bagi Bank Terhadap
Pembelian Rumah Indent Secara Kredit Pemilikan Rumah (Kpr) Melalui Developer
Perumahan (Studi Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Loan Centre
Medan). University of North Sumatra.
Mahmud, M. P. (2017). Penelitian Hukum edisi revisi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Poesoko, H. (2006). Parate Executie Obyek Hak Tanggungan.
UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Puspitoningrum, W. H. (2018). Peningkatan Hak Guna Bangunan
Yang Habis Masa Berlakunya Menjadi Hak Milik Atas Tanah. Jurnal Hukum Dan
Kenotariatan, 2(2), 276–287.
Salim, H. S. (2021). Hukum kontrak: Teori dan teknik
penyusunan kontrak. Sinar Grafika.
Saputra, J., Utami, M. R., & Handayani, R. A. E. (2023).
Hubungan Masyarakat Berpenghasilan Rendah Dengan Penyaluran Rumah Bersubsidi di
Kota Palembang. Jurnal Ekonomi Bisnis, Manajemen Dan Akuntansi, 2(1),
115–124.
Subekti. (2004). Hukum Perjanjian. PT Intermasa.
Copyright
holder: Ghiska Yuliarti,
Markoni, Nardiman (2024) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |