Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

 

PENGEMBANGAN KONTEN KURIKULUM TAZKIYATUN NAFS (STUDI PEMIKIRAN MAJID IRSAN KAILANI DALAM KITAB MANAHIJ TARBIYAH ISLAMIYAH WAL MURABBUNAL AMILUNA FIHA)

 

R. Marpu Muhidin Ilyas1, Izuddin Mistofa2, Ateng Rohendi3

Pesantren Al Muhajirin Purwakarta, Indonesia1

UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia2,3

Email: [email protected]

 

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaiman konsep Tazkiyatun Nafs atau penyucian diri dalam pendidikan Islam berdasarkan pemikiran Majid Irsan Kailani dalam kitab Manahij Tarbiyah Islamiyah wal Murabbunal Amiluna Fiha. Melalui metode kajian kepustakaan, penelitian ini bertujuan untuk memahami makna dan tujuan Tazkiyatun Nafs serta mengidentifikasi konten yang dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Hasilnya menunjukkan bahwa Tazkiyatun Nafs penting untuk membersihkan manusia dari penyakit mental seperti tirani dan ketertindasan, menyucikan budaya Islam dari nilai-nilai yang merusak, serta menumbuhkan nilai-nilai persaudaraan universal. Secara praktis, Tazkiyatun Nafs mencakup empat aspek mental spiritual dan fisik materiel manusia seperti penyucian kompetensi intelektual, penyucian dorongan kemauan, penyucian sensorik pendengaran dan penglihatan serta penyucian fisik. Artikel ini merekomendasikan lebih banyak integrasi Tazkiyatun Nafs dalam kurikulum dan kehidupan pendidikan Islam.

Kata Kunci: Tazkiyatun Nafs, Pengembangan Kurikulum, Pendidikan Islam

 

Abstract

This study aims to find out how the concept of Tazkiyatun Nafs or self-purification in Islamic education based on the thoughts of Majid Irsan Kailani in the book Manahij Tarbiyah Islamiyah wal Murabbunal Amiluna Fiha. Through the literature review method, this study aims to understand the meaning and purpose of Tazkiyatun Nafs and identify content that can be integrated into the Islamic education curriculum. The results show that Tazkiyatun Nafs is important for ridding people of mental illnesses such as tyranny and oppression, purifying Islamic culture from destructive values, as well as cultivating universal fraternal values. In practical terms, Tazkiyatun Nafs covers four mental, spiritual and physical aspects of human material, such as purification of intellectual competence, purification of willpower, sensory purification of hearing and sight, and physical purification. This article recommends more integration of Tazkiyatun Nafs in the curriculum and life of Islamic education.

Keywords: Tazkiyatun Nafs, Curriculum Development, Islamic Education

 

Pendahuluan

Pentingnya pengembangan muatan, cakupan, dan konten kurikulum merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dalam dunia pendidikan, khususnya dalam konteks pendidikan Islam (Anwar & El Fiah, 2018). Kurikulum yang baik tidak hanya memuat materi pelajaran, tetapi juga harus mampu membentuk karakter dan nilai-nilai yang baik pada peserta didik (Anwar & El Fiah, 2018). Dalam konteks ini, Tazkiyatun Nafs, yang merupakan proses penyucian dan pengembangan jiwa manusia, memiliki peran penting dalam pendidikan Islam (Afidah, 2016).

Pendidikan Islam tidak hanya berfokus pada pengetahuan teoritis, tetapi juga pada pengembangan karakter dan nilai-nilai moral (Anwar & El Fiah, 2018). Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam harus mencakup Tazkiyatun Nafs sebagai bagian integral dari proses pembelajaran (Qisom, 2023). Tazkiyatun Nafs membantu dalam menghilangkan unsur-unsur yang melemahkan kemanusiaan manusia dan segala kerusakan yang diakibatkannya, serta mengembangkan unsur-unsur yang mewujudkan kemanusiaan manusia dan segala kebaikan yang diakibatkannya dalam kehidupan individu dan masyarakat (Afidah, 2016).

Pengembangan muatan, cakupan, dan konten kurikulum yang mencakup Tazkiyatun Nafs juga penting dalam konteks global saat ini (Qisom, 2023). Dalam era globalisasi, tantangan yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks (Mahfud, 2015). Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mampu memberikan solusi dan panduan yang relevan untuk menghadapi tantangan tersebut (Mahfud, 2015). Dalam hal ini, Tazkiyatun Nafs dapat berfungsi sebagai panduan dalam membentuk karakter dan nilai-nilai yang baik pada peserta didik, sehingga mereka mampu menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan bijaksana dan bertanggung jawab (Afidah, 2016).

Dengan demikian, pengembangan muatan, cakupan, dan konten kurikulum yang mencakup Tazkiyatun Nafs merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dalam pendidikan Islam (Anwar & El Fiah, 2018). Oleh Hal ini tidak hanya penting untuk pengembangan karakter dan nilai-nilai yang baik pada peserta didik, tetapi juga untuk membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan (Mahfud, 2015).

Penelitian yang berjudul "Pengembangan Konten Kurikulum Tazkiyatun Nafs: Studi Pemikiran Majid Irsan Kailani dalam kitab Manahij Tarbiyah Islamiyah wal Murabbunal Amiluna Fiha" ini berfokus pada dua isu utama. Pertama, penelitian ini berusaha untuk memahami dan menjelaskan makna dan tujuan dari konsep tazkiyatun nafs menurut Majid Irsan Kailani. Kedua, penelitian ini berupaya untuk mengeksplorasi dan mengidentifikasi cakupan atau konten dari tazkiyatun nafs yang dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Islam.

Tujuan dari penelitian ini adalah dua lipat. Pertama, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami konsep tazkiyatun nafs menurut Majid Irsan Kailani. Ini melibatkan penelitian mendalam tentang pemikiran dan interpretasi Kailani tentang tazkiyatun nafs, serta tujuan dan maknanya dalam konteks pendidikan Islam. Kedua, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi bagaimana cakupan tazkiyatun nafs dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Ini melibatkan analisis tentang bagaimana konsep tazkiyatun nafs dapat diterapkan dalam praktek pendidikan, dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum dan praktek pendidikan Islam.

Tazkiyatun nafs secara etimologis berarti perbaikan, penyucian, dan pengembangan (Afidah, 2016). Para ahli tafsir dan ulama mendefinisikan tazkiyatun nafs sebagai proses membersihkan manusia dari syirik dan penyembahan berhala, serta pengembangan dan peningkatan mereka dalam ketaatan kepada Allah (Afidah, 2016). Ibnu Taimiyah mengartikan tazkiyatun nafs sebagai proses mendidik hati dan mengembangkannya dengan kebaikan dan kesempurnaan (Afidah, 2016). Namun, definisi ini cenderung memusatkan perhatian pada aspek batiniah dan emosi manusia, tanpa memperhatikan aspek luar yang membentuk lingkungan umum yang mengarahkan pencapaian umat dan menentukan aktivitas mereka.

Majid Irsan Kailani menekankan pentingnya tazkiyatun nafs dalam pendidikan Islam untuk menyucikan manusia dari penyakit tirani dan keterasingan, serta menumbuhkan kondisi moderat yang mewakili kesehatan mental dan perilaku (Qisom, 2023). Tujuan tazkiyatun nafs dalam pendidikan Islam adalah menyucikan budaya umat Islam itu sendiri dari gejala tirani dan keterasingan yang melahirkan sistem, pemikiran, dan perilaku yang melemahkan serta mendatangkan keterbelakangan (Qisom, 2023). Selain itu, tazkiyatun nafs bertujuan menumbuhkan nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan universal yang dibawa oleh ajaran Islam, yang sangat relevan di era globalisasi saat ini (Qisom, 2023).

Dalam konteks ini, pemikiran Majid Irsan Kailani tentang tazkiyatun nafs menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut, terutama dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang tidak hanya berfokus pada aspek kognitif tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik siswa (Anwar & El Fiah, 2018).

Berdasarkan latar belakang penelitian yang dijelaskan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaiman konsep Tazkiyatun Nafs atau penyucian diri dalam pendidikan Islam berdasarkan pemikiran Majid Irsan Kailani dalam kitab Manahij Tarbiyah Islamiyah wal Murabbunal Amiluna Fiha.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kajian kepustakaan. Metode ini melibatkan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data dari berbagai sumber literatur yang relevan dengan topik penelitian, yaitu Tazkiyatun Nafs atau penyucian diri dalam Islam (Creswell & Poth, 2016). Literatur primer penelitian ini adalah kitab Manaahijut Tarbiyatil Islamiyyati wal Murabbuunal ‘Aamiluuna Fiiha karya Majid Irsan Kailani.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berfokus pada pemahaman mendalam tentang Tazkiyatun Nafs. Penelitian kualitatif ini mencakup analisis teks   Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi cakupan kurikulum Tazkiyatun Nafs dari berbagai perspektif dan interpretasi.

Dalam penelitian ini, analisis data juga melibatkan komparasi dan kontrastasi antara berbagai interpretasi dan pendekatan terhadap Tazkiyatun Nafs. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi tema-tema umum, perbedaan, dan perspektif yang unik dalam pemahaman tentang Tazkiyatun Nafs.

 Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berharga untuk studi tentang pendidikan Islam dan psikologi spiritual dalam konteks kontemporer.

 

Hasil dan Pembahasan

            Tazkiyatun Nafs, dalam konteks etimologis, berarti perbaikan, penyucian, dan pengembangan. Dalam istilah agama, para ahli tafsir dan ulama awal mendefinisikan Tazkiyatun Nafs sebagai proses membersihkan manusia dari syirik dan penyembahan berhala, serta pengembangan dan peningkatan mereka dalam ketaatan kepada Allah (Sahri, 2021). Menurut Ibnu Taimiyah, Tazkiyatun Nafs adalah proses mendidik hati dan mengembangkannya dengan kebaikan dan kesempurnaan, dengan mendapatkan yang bermanfaat dan menjauhkan yang merugikan (Aliyah et al., 2019).

Tazkiyatun Nafs juga berarti membersihkan jiwa dengan amal shaleh dan meninggalkan perbuatan buruk, atau menghilangkan keburukan dan menambah kebaikan (Priyatna, 2017). Namun, definisi-definisi yang diberikan oleh para ulama terdahulu dan para pengikut mereka dari kalangan ulama masa kini cenderung memusatkan perhatian pada aspek-aspek batiniah dan emosi manusia, tanpa memperhatikan aspek luar yang membentuk lingkungan umum yang mengarahkan pencapaian umat dan menentukan aktivitas mereka.

Namun, petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam Al-Qur'an dan hadis menunjukkan bahwa Tazkiyatun Nafs adalah proses yang komprehensif yang mencakup seluruh kehidupan manusia (Afiani, 2022). Tazkiyatun Nafs adalah proses membersihkan dan mengembangkan jiwa manusia, dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang melemahkan kemanusiaan manusia dan segala kerusakan yang diakibatkannya, serta mengembangkan unsur-unsur yang mewujudkan kemanusiaan manusia dan segala kebaikan yang diakibatkannya dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Berdasarkan definisi ini, Tazkiyatun Nafs memiliki dua jenis, yaitu Tazkiyatun Nafs ruhaniyah yang mencakup keyakinan, nilai, dan budaya, serta Tazkiyatun Nafs jasadiyah yang mencakup sistem dan aplikasi (Mustangin, 2014). Dengan demikian, Tazkiyatun Nafs bukan hanya sekadar proses spiritual, tetapi juga mencakup aspek material dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan utama Tazkiyatun Nafs adalah menyucikan manusia dari penyakit "taghut" (tirani) dan "istidha'af" (keterasingan), serta menumbuhkan kondisi moderat yang mewakili kesehatan mental dan perilaku. Penyakit mental seperti taghut dan istidha'af dapat diatasi melalui proses pembersihan jiwa yang ditekankan dalam konsep tazkiyatun nafs Ibnul Qayyim, yang bertujuan untuk membersihkan hati dari segala kotoran dan nafsu syahwat serta mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sholih (Junaidi et al., 2022). Moderasi berarti mengembalikan kedua kelompok ini ke kondisi sehat dengan mentaati Allah, mengakui kepemilikan-Nya atas segala sesuatu, dan berpedoman pada nilai-nilai keadilan yang melahirkan kebebasan, kebajikan dan kemajuan.

Tujuan kedua dari program tazkiyah adalah menyucikan budaya umat Islam itu sendiri. Budaya umat Islam perlu disucikan dari gejala tirani dan keterasingan yang melahirkan sistem, pemikiran, dan perilaku yang melemahkan serta mendatangkan keterbelakangan. Gejala-gejala ini kemudian diganti dengan nilai-nilai moderasi dan keadilan yang memberikan kesehatan mental dan kemampuan untuk menjalankan tanggung jawab secara dinamis sesuai tuntutan perkembangan zaman (Zarkasyi, 2019).

Tujuan ketiga dari program tazkiyah adalah menumbuhkan nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan universal yang dibawa oleh ajaran Islam. Hal ini sangat relevan di era globalisasi saat ini yang sering disebut sebagai desa global. Tujuannya adalah untuk melebur berbagai loyalitas primordial seperti loyalitas kekeluargaan, kesukuan, kewilayahan, dan keserumpunan etnis ke dalam satu loyalitas keimanan. Loyalitas keimanan ini kemudian menempatkan segala hal termasuk wilayah geografis dan suku bangsa untuk melayani gagasan-gagasan Islam tentang kebajikan dan reformasi sosial. Dengan kata lain, tazkiyah bertujuan menumbuhkan solidaritas dan persatuan antar sesama manusia di atas segala perbedaan latar belakang mereka, berlandaskan nilai-nilai universal ajaran Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan kebajikan bersama (Mubarok et al., 2019).

Tazkiyatul Qudratil Aqliyah merujuk pada penyucian kemampuan intelektual manusia (Alias et al., 2019). Dalam konteks ini, kemampuan intelektual mencakup aktivitas mental yang berfokus pada pemahaman tentang apa yang baik dan benar, serta apa yang buruk dan salah, dan bertindak sesuai dengan pemahaman tersebut. Kemampuan mental ini dapat mengalami kondisi kesehatan, penyakit, dan kematian, sama seperti kemampuan fisik. Oleh karena itu, kemampuan mental membutuhkan tazkiyah yang konstan (Zuhria, 2018).

Sub-bahasan pertama dari Tazkiyatul Qudratil Aqliyah adalah Tazkiyatu masaril fikri, atau penyucian jalur berpikir. Penyucian jalur berpikir melibatkan pengembangan kemampuan mental untuk fokus pada tujuan yang telah ditetapkan, yaitu mengatur urusan manusia dan mengatur hubungan mereka dengan Sang Pencipta, alam semesta, sesama manusia, kehidupan, dan akhirat. Ketika kemampuan mental berhasil fokus pada tujuan ini, mereka disebut hikmah, dan orang yang memiliki hikmah disebut bijaksana (Zuhria, 2018).

Penyucian jalur berpikir ini penting karena jika kemampuan mental menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan, mereka menjadi tipu daya yang buruk. Setiap jalur dari ketiga jalur kemampuan mental ini akan membawa manusia ke kondisi tertentu. Jalur yang sehat atau jalur hikmah akan membawa manusia ke kondisi moderasi (al-wasatiyyah). Jalur kelebihan akan membawa manusia ke kondisi tirani (taghut), dan jalur kekurangan akan mengakibatkan penurunan kemanusiaan atau kondisi ketertindasan (istidha'af) (Zuhria, 2018).

Dengan demikian, Tazkiyatu masaril fikri dalam pendidikan Islam melibatkan penyucian jalur berpikir, dengan tujuan membantu manusia mencapai kondisi moderasi, menjauhkan mereka dari kondisi tirani dan ketertindasan, serta memastikan kesehatan mental dan keberhasilan dalam kehidupan dunia dan akhirat (Zuhria, 2018).

Tazkiyatu Asykalit Tafkir atau Tazkiyah Bentuk Pemikiran adalah proses penyucian dan pengembangan pola pikir yang berlandaskan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Majid Irsan Kailani menawarkan tujuh cara untuk melatih bentuk atau pola pikir yang merupakan perwujudan dari berpikir kritis dan kreatif berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an. Berikut adalah elaborasi dari ketujuh cara tersebut:

1)  Kritik Diri dan Penolakan Pembenaran Eksternal: Proses ini mengajak individu untuk bertanggung jawab atas kekurangan dan kesalahan yang mereka lakukan, serta menghindari mencari pembenaran eksternal. Al-Qur'an mengkritik bentuk pemikiran yang mencari pembenaran dalam berbagai situasi, seperti yang terlihat dalam kisah Firaun yang menyalahkan "ekstremisme agama" yang diatribusikan kepada Musa AS dan pengikutnya (Al-A'raf: 130-131). Proses kritik diri ini penting untuk membentuk individu yang mampu melakukan introspeksi dan pertumbuhan pribadi (Maududin et al., 2021).

2)  Berpikir Inovatif: Melatih individu untuk berinovasi daripada mengikuti tradisi. Al-Qur'an mengutuk mereka yang mengikuti tradisi tanpa kritis, seperti yang diungkapkan dalam ayat "Sesungguhnya kami menemukan nenek moyang kami mengikuti suatu agama, dan sesungguhnya kami mengikuti jejak mereka" (Az-Zukhruf: 23). Berpikir inovatif mengajak individu untuk menciptakan pemikiran dan solusi baru yang relevan dengan tantangan zaman (Sembiring, 2021).

3)  Berpikir Ilmiah: Melatih individu untuk berpikir secara ilmiah daripada berdasarkan spekulasi dan nafsu. Al-Qur'an menekankan pentingnya pengetahuan dan mengutuk mereka yang mengikuti spekulasi dan nafsu (An-Najm: 23). Berpikir ilmiah mengajak individu untuk berdasarkan pada bukti dan logika, serta menghindari spekulasi yang tidak berdasar (Mustofa Sembiring, 2021).

4)  Berpikir Kolektif: Melatih individu untuk berpikir secara holistik dan kolektif daripada berpikir secara parsial. Al-Qur'an mengkritik mereka yang memecah belah agama dan menjadi golongan-golongan (Al-An'am: 159). Berpikir kolektif mengajak individu untuk memahami pentingnya kesatuan dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama (Sembiring, 2021).

5)  Berpikir Berdasarkan Kausalitas (Sunani): Melatih individu untuk berpikir berdasarkan hukum alam dan sebab akibat daripada berpikir berdasarkan keajaiban. Al-Qur'an mengajarkan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi dan bahwa manusia harus bekerja keras untuk mencapai hasil (Al-Hashr: 21). Berpikir berdasarkan kausalitas mengajak individu untuk memahami pentingnya usaha dan kerja keras dalam mencapai tujuan (Sembiring, 2021).

6)  Berpikir Terbuka: Melatih individu untuk terbuka terhadap pengalaman yang benar dan tidak terpaku pada pengalaman tradisional. Allah SWT berfirman: "Kami meninggikan derajat siapa saja yang Kami kehendaki. Dan di atas setiap orang yang memiliki pengetahuan ada yang lebih mengetahui." Berpikir terbuka mengajak individu untuk selalu siap belajar dan menerima pengetahuan baru (Sembiring, 2021).

7)  Berpikir Holistik: Melatih individu untuk berpikir secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek cakupannya serta aspek historis yang melingkupinya. Hal ini akan menghindarkan siswa dari berpikir parsial dan dikotomis yang bisa merusak pemahaman tentang sesuatu (Sembiring, 2021).

Ketujuh cara melatih bentuk pemikiran ini sangat relevan dengan keterampilan berpikir yang diperlukan siswa di abad ke-21, di mana berpikir kritis dan kreatif menjadi kunci dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan zaman. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip ini ke dalam pendidikan, siswa dapat dilatih untuk menjadi pemikir yang mandiri, inovatif, dan bertanggung jawab, yang mampu menggunakan pengetahuan mereka untuk kebaikan umat manusia dan kepatuhan kepada Allah SWT (Sembiring, 2021).

            Tazkiyatu Asalibit Tafkir (Penyucian Metode Berpikir) dalam kajian Majid Irsan Kailani menekankan pentingnya proses penyucian metode berpikir dalam konteks pendidikan Islam. Proses ini melibatkan langkah-langkah berpikir ilmiah yang dimulai dengan merasakan adanya masalah, mengidentifikasinya, memahami detailnya, mengumpulkan informasi terkait, menganalisis dan merenungkan informasi tersebut, dan akhirnya bergerak menuju penemuan hikmah yang tersembunyi di baliknya dan merumuskan solusi yang diperlukan. Pada tahap ini, sangat penting untuk membersihkan pikiran individu dari pengaruh berpikir poetik, yang melompat dari tahap merasakan masalah langsung ke tahap merumuskan solusi, berdasarkan asumsi dan keinginan yang dipengaruhi oleh fanatisme buta dan keinginan serta harapan yang telah ada sebelumnya (Mustangin, 2014).

Penekanan pada menemukan hikmah dalam metode berpikir ilmiah ini mencerminkan pendekatan Islam terhadap pengetahuan dan pemahaman. Hikmah, dalam konteks ini, dapat diartikan sebagai pengetahuan yang mendalam atau pemahaman yang mendalam tentang suatu masalah, yang diperoleh melalui proses berpikir ilmiah yang teliti dan kritis. Hikmah ini kemudian dapat digunakan untuk merumuskan solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk masalah tersebut (Mustangin, 2014).

Sebagai contoh penerapannya dalam permasalahan kontemporer, metode berpikir ini dapat digunakan dalam mengatasi isu-isu sosial yang kompleks seperti kemiskinan atau ketidaksetaraan pendidikan. Dalam konteks ini, pendekatan berpikir ilmiah yang disucikan dapat membantu individu atau kelompok untuk merasakan dan mengidentifikasi masalah yang ada, memahami detail dan konteksnya, mengumpulkan dan menganalisis informasi terkait, dan kemudian merenungkan dan menemukan hikmah atau pemahaman mendalam tentang masalah tersebut. Dengan pemahaman ini, mereka kemudian dapat merumuskan dan menerapkan solusi yang efektif dan berkelanjutan, yang mencerminkan hikmah dan pemahaman mendalam mereka tentang masalah tersebut (Mustangin, 2014).

Dalam konteks Tazkiyatul Qudratil Iradiyah, penyucian dorongan marah adalah proses mengatur dan mengendalikan emosi marah agar tidak menyimpang dari tujuan yang benar. Marah adalah respons alami terhadap situasi yang dianggap mengancam atau tidak adil, namun ketika tidak dikendalikan, marah dapat menyebabkan perilaku destruktif dan merusak hubungan sosial. Penyucian dorongan marah dalam pendidikan Islam bertujuan untuk mengarahkan emosi ini ke dalam bentuk yang konstruktif, seperti memperjuangkan keadilan dan melawan ketidakadilan, tanpa melampaui batas yang ditetapkan oleh syariat. Penyucian dorongan syahwat berkaitan dengan pengendalian nafsu dan keinginan seksual.

Dalam Islam, syahwat bukanlah sesuatu yang inheren negatif, tetapi harus diarahkan dengan cara yang sesuai dengan ajaran agama. Penyucian dorongan syahwat mengajarkan individu untuk menghormati batasan yang ditetapkan oleh Islam, seperti menjaga kesucian sebelum pernikahan dan kesetiaan dalam pernikahan. Proses ini juga melibatkan pengembangan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang didasarkan pada saling menghormati dan mencintai, bukan sekadar memuaskan nafsu.

Penyucian dorongan takut dalam Tazkiyatul Qudratil Iradiyah adalah proses mengubah rasa takut menjadi sesuatu yang positif dan produktif. Dalam Islam, rasa takut yang paling utama adalah takut kepada Allah, yang merupakan awal dari kebijaksanaan. Penyucian dorongan takut mengajarkan individu untuk tidak takut pada ciptaan, tetapi hanya pada Pencipta. Hal ini membantu individu untuk menghadapi tantangan dan kesulitan dengan keberanian dan kepercayaan bahwa Allah selalu bersama mereka. Proses ini juga mengajarkan pentingnya menghindari rasa takut yang tidak rasional yang dapat menghambat kemajuan pribadi dan sosial.

Dalam pendidikan Islam, proses penyucian ini penting untuk mengembangkan karakter yang seimbang dan harmonis, di mana dorongan-dorongan alami seperti marah, syahwat, dan takut diatur dan diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan mulia. Proses penyucian ini tidak hanya mengarah pada pengembangan pribadi yang lebih baik, tetapi juga pada pembentukan masyarakat yang lebih adil dan harmonis (Mustangin, 2014).

Tazkiyatul Qudratis Sami'iyah wal Bashariyah merujuk pada penyucian dan pengembangan kemampuan pendengaran dan penglihatan dalam konteks pendidikan Islam. Ini adalah bagian penting dari proses Tazkiyah, yang bertujuan untuk membersihkan dan mengembangkan jiwa manusia, dengan tujuan menghilangkan unsur-unsur yang melemahkan kemanusiaan manusia dan segala kerusakan yang diakibatkannya, serta mengembangkan unsur-unsur yang mewujudkan kemanusiaan manusia dan segala kebaikan yang diakibatkannya dalam kehidupan individu dan masyarakat (Hasanah, 2017)

Dalam konteks ini, penyucian kemampuan pendengaran merujuk pada proses mendidik individu untuk menggunakan pendengaran mereka dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Ini melibatkan pengembangan kebiasaan mendengarkan dengan penuh perhatian dan pemahaman, serta menghindari mendengarkan hal-hal yang tidak bermanfaat atau merusak, seperti gosip, fitnah, atau pembicaraan yang tidak bermanfaat (Seman et al., 2016). Al-Qur'an memberikan penekanan khusus pada penggunaan kemampuan pendengaran dalam proses berpikir yang mengarah pada pengumuman ide-ide kebenaran, pujian, dan perlindungan dari hukuman kebodohan di dunia dan hukuman neraka di akhirat.

Penyucian kemampuan penglihatan, di sisi lain, merujuk pada proses mendidik individu untuk menggunakan penglihatan mereka dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Ini melibatkan pengembangan kebiasaan melihat dengan penuh perhatian dan pemahaman, serta menghindari melihat hal-hal yang tidak bermanfaat atau merusak, seperti gambaran atau adegan yang tidak pantas (Harahap, 2016). Al-Qur'an juga memberikan penekanan khusus pada penggunaan kemampuan penglihatan dalam proses berpikir yang mengarah pada pengumuman ide-ide kebenaran, pujian, dan perlindungan dari hukuman kebodohan di dunia dan hukuman neraka di akhirat.

Secara keseluruhan, Tazkiyatul Qudratis Sami'iyah wal Bashariyah adalah bagian penting dari proses Tazkiyah dalam pendidikan Islam, yang bertujuan untuk membersihkan dan mengembangkan kemampuan pendengaran dan penglihatan individu, sehingga mereka dapat digunakan dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam dan berkontribusi pada pengembangan individu dan masyarakat yang sehat dan harmonis.

Tazkiyatul Jism merujuk pada konsep penyucian dan pengembangan tubuh dalam pendidikan Islam. Konsep ini merupakan bagian integral dari proses Tazkiyah, yang bertujuan untuk membersihkan dan mengembangkan jiwa manusia, termasuk aspek fisiknya. Dalam konteks ini, Tazkiyatul Jism mencakup aspek-aspek seperti makanan, minuman, olahraga, dan seni, yang semuanya memiliki peran penting dalam kesehatan dan kesejahteraan fisik manusia.

Dalam pandangan Majid Irsan Kailani, makanan dan minuman memiliki peran penting dalam Tazkiyatul Jism. Al-Qur'an dan Hadits memberikan petunjuk yang jelas tentang jenis makanan dan minuman yang diperbolehkan (halal) dan yang dilarang (haram). Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya makan dan minum dengan cara yang sehat dan bertanggung jawab. Misalnya, Al-Qur'an menyarankan agar kita makan dan minum, tetapi tidak berlebihan (QS. 7:31). Dengan demikian, dalam konteks Tazkiyatul Jism, makanan dan minuman harus dipilih dan dikonsumsi dengan cara yang sejalan dengan ajaran Islam, dan dengan tujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik.

Olahraga juga merupakan bagian penting dari Tazkiyatul Jism. Rasulullah SAW sendiri dikenal sebagai seseorang yang menjaga kesehatan fisiknya dan mendorong pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Hadits-hadits Nabi menunjukkan bahwa beliau mendorong aktivitas fisik seperti berjalan, berenang, dan berkuda. Dalam konteks ini, olahraga dan aktivitas fisik lainnya harus dipandang sebagai bagian penting dari upaya untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik, dan oleh karena itu, mereka harus menjadi bagian integral dari proses Tazkiyatul Jism (Qisom, 2023).

Seni juga memiliki peran dalam Tazkiyatul Jism. Dalam pandangan Majid Irsan Kailani, seni dapat digunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan dan mengembangkan kreativitas manusia, dan oleh karena itu, dapat berkontribusi pada kesejahteraan fisik dan mental. Dalam konteks ini, seni harus dipandang sebagai bagian dari proses Tazkiyatul Jism, dan harus digunakan dengan cara yang sejalan dengan ajaran Islam.

Secara keseluruhan, Tazkiyatul Jism adalah konsep penting dalam pendidikan Islam yang mencakup aspek-aspek seperti makanan, minuman, olahraga, dan seni. Semua aspek ini memiliki peran penting dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik manusia, dan oleh karena itu, mereka harus menjadi bagian integral dari proses Tazkiyah.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Tazkiyatun Nafs memiliki peran penting dalam pendidikan Islam. Tazkiyatun Nafs adalah proses penyucian dan pengembangan jiwa manusia, yang bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur yang melemahkan kemanusiaan manusia dan segala kerusakan yang diakibatkannya, serta mengembangkan unsur-unsur yang mewujudkan kemanusiaan manusia dan segala kebaikan yang diakibatkannya dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Ada tiga tujuan utama dari Tazkiyatun Nafs dalam pendidikan Islam. Pertama, menyucikan manusia dari penyakit "taghut" (tirani) dan "istidha'af" (keterasingan), serta menumbuhkan kondisi moderat yang mewakili kesehatan mental dan perilaku. Kedua, menyucikan budaya umat Islam itu sendiri dari gejala tirani dan keterasingan yang melahirkan sistem, pemikiran, dan perilaku yang melemahkan serta mendatangkan keterbelakangan. Ketiga, menumbuhkan nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan universal yang dibawa oleh ajaran Islam.

Dalam konteks praktis, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam implementasi Tazkiyatun Nafs, seperti penyucian jalur pemikiran, penyucian bentuk pemikiran, dan penyucian metode pemikiran. Semua ini bertujuan untuk membantu manusia mencapai kondisi moderasi, menjauhkan mereka dari kondisi tirani dan keterasingan, serta memastikan kesehatan mental dan keberhasilan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat diberikan. Pertama, pendidikan Islam perlu lebih memfokuskan diri pada implementasi Tazkiyatun Nafs dalam kurikulumnya. Kedua, perlu ada upaya lebih lanjut untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip Tazkiyatun Nafs dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ketiga, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memahami bagaimana Tazkiyatun Nafs dapat diintegrasikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Afiani, A. K. (2022). Implementasi Tazkiyatun Nafs (Penyucian jiwa) menggunakan konsep Konseling Sufistik Melalui Dzikir dan Puasa Dalail al-Khairat di Pondok Pesantren Darul Falah VI putri Jekulo Kudus. IAIN KUDUS.

Afidah, N. (2016). Peran Konseling Islam Dalam Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Melalui Aplikasi “Tazkiyatun Nafs” Menurut Pemikiran Sa’id Hawwa. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Alias, U. K., Ishak, H., & Mohamad, S. (2019). Kaedah-kaedah bacaan al-Quran dalam kalangan orang kurang upaya pendengaran. Al-Turath Journal Of Al-Quran And Al-Sunnah, 4(2), 59–67.

Aliyah, A., Hawi, A., & Mardeli, M. (2019). Hubungan Antara Kompetensi Kepribadian Guru Dengan Pendidikan Karakter Tanggung Jawab Siswa Kelas Ix Di Smp Islam Az-Zahrah 2 Palembang. Jurnal PAI Raden Fatah, 1(2), 128–138.

Anwar, S., & El Fiah, R. (2018). Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Berwawasan Kebangsaan. Akademika: Jurnal Pemikiran Islam, 23(2), 435–454.

Creswell, J. W., & Poth, C. N. (2016). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five approaches. Sage publications.

Harahap, M. (2016). Esensi peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 1(2), 140–155.

Hasanah, M. (2017). Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga Anak Penyandang Cerebral Palsy Di Salatiga Tahun 2016. IAIN Salatiga.

Junaidi, M. I., Rahminawati, N., & Sobarna, A. (2022). Analisis Program Tazkiyatun Nafs pada Pesantren Mahasiswa Universitas Aisyiyah Bandung. Bandung Conference Series: Islamic Education, 2(2), 543–547.

Kusumawati, E. (2021). Implementasi Customer Relationship Management pada Industri Pendidikan: Studi Kasus Pada Akademi Pariwisata. Altasia Jurnal Pariwisata Indonesia3(1), 1-8.

Mahfud, C. (2015). Urgensi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Lalu Lintas dalam perspektif Islam. Tasyri’: Jurnal Tarbiyah-Syari’ah Islamiyah, 22(2), 113–115.

Maududin, I. A., Tamam, A. M., & Supraha, W. (2021). Konsep Pendidikan Tazkiyatun Nafs Ibnul Qayyim Dalam Menangani Kenakalan Peserta Didik. Rayah Al-Islam, 5(01), 140–156.

Mubarok, M. S., Halimi, A., & Pamungkas, M. I. (2019). Nilai-Nilai Pendidikan dalam Al-Quran Surah Al-Maidah Ayat 32 Tentang Hifdzun Nafs. Prosiding Pendidikan Agama Islam, 198–203.

Mustangin, K. (2014). Metode Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa) Melalui Ibadah Shalat dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Akhlak. Skripsi-Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Priyatna, M. (2017). Konsep Pendidikan Jiwa (Nafs) Menurut Al Qur’an Dan Hadits. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 3(05).

Qisom, S. (2023). Pendekatan Tasawuf dalam Meningkatkan Spiritualitas Pengahafal Al-Qur’an. Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, 4(2), 125–135.

Sahri, M. A. (2021). Mutiara Akhlak Tasawuf-Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo Persada.

Seman, N. H., Omar, M. C., Yusoff, A., & Abdullah, M. Y. (2016). Analisis permasalahan pelajar cacat pendengaran dalam pembelajaran mata pelajaran pendidikan Islam di Malaysia. Jurnal Ilmi, 1(1).

Sembiring, I. M. (2021). Model berpikir sistem dalam pendidikan Islam: studi analisis ayat-ayat Al qur’an. Tarbawi: Jurnal Pendidikan Islam, 18(1).

Zarkasyi, A. (2019). Human Resources Development, Using a Humanism Sufistik Approach. Qolamuna: Jurnal Studi Islam, 4(2), 331–342.

Zuhria, F. I. (2018). Tazkiyatun Nafs Perspektif al-Qur’an (Kajian Tematik Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab). IAIN Kediri.

 

 

 

 

Copyright holder:

R. Marpu Muhidin Ilyas, Izuddin Mistofa, Ateng Rohendi (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: