Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9, No. 2, Februari 2024
EFEKTIVITAS
INTERVENSI EDUKASI PADA PESANTREN TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT SKABIES
Nurhasanah, Lambok Siahaan, Rina Caromina Saragih
Fakultas
Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Skabies adalah penyakit kulit menular yang
sering dijumpai pada pemukiman padat seperti pesantren. Peran pengelola sebagai
panutan, penyadia sarana prasarana dan pembuat kebijakan sangat penting untuk
pengendalian skabies di pesantren. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat
tingkat pengetahuan dan efikasi diri pengelola sebelum dan sesudah pemberian
edukasi. Penelitian ini adalah suatu penelitian quasi eksperiment untuk
membandingkan pengaruh edukasi pada kelompok intervensi. Penelitian ini
dilakukan di dua pesantren di Bangka Belitung. Pesantren A sebagai tempat
dilakukan edukasi dan pesantren B sebagai kelompok kontrol. 30 pengelola masing
masing dari kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang terdiri dari unsur
pimpinan,sekretaris, ustaz, administrator dan pengurus santri ikut serta dalam
penelitian ini. Data dikumpulkan melalui kuesioner tervalidasi yang diberikan
sebelum dan sesudah edukasi. Sebagai perbandingan dilakukan juga pretest dan
postest pada kelompok kontrol. Data diolah dengan SPSS versi 25 dan diuji
dengan marginal homogeneity test. Data menunjukkan hasil bahwa edukasi efektif
meningkatkan pengetahuan pengelola tentang skabies (p<0,01) akan tetapi
edukasi tidak efektif meningkatkan efikasi diri pengelola (p;0,219)
Kata kunci: skabies, pengetahuan, efikasi diri,
pengelola, pesantren, edukasi kesehatan
Abstract
Scabies
is an infectious skin disease that is often found in densely populated
residential areas such as Islamic boarding schools. The role of managers as
role models, infrastructure providers and policy makers is very important for
controlling scabies in Islamic boarding schools. The aim of this research is to
see the level of knowledge and self-efficacy of managers before and after
providing education. This research is a quasi-experimental study to compare the
effect of education in the intervention group. This research was conducted at
two Islamic boarding schools in Bangka Belitung. Islamic boarding school A as a
place for education and Islamic boarding school B as a control group. 30
managers each from the intervention group and the control group consisting of
leaders, secretaries, ustaz, administrators and student administrators
participated in this research. Data was collected through validated
questionnaires given before and after education. As a comparison, a pretest and
posttest were also carried out in the control group. Data were processed with
SPSS version 25 and tested with the marginal homogeneity test. The data shows
that education is effective in increasing managers' knowledge about scabies
(p<0.01) but education is not effective in increasing managers'
self-efficacy (p;0.219)
Keywords: scabies, knowledge, self-efficacy, management,
Islamic boarding school, health education
Pendahuluan
Skabies
atau kudis pada manusia adalah investasi parasit sangat menular yang disebabkan
oleh Sarcoptes scabiei var hominis. Skabies menimbulkan efek sosial yang
signifikan, menurunkan kualitas hidup, dan berdampak pada populasi yang sangat
besar secara ekonomi dan psikologis (Talaga-Ćwiertnia, 2021).
Secara global, skabies diperkirakan mengenai
lebih dari 150-200 juta orang setiap tahun dengan perkiraan 455 juta kasus
insiden tahunan (Engelman et al., 2020). Perkiraan prevalensi dunia dalam
literatur terkait skabies dalam kurun waktu tiga tahun terakhir berkisar antara
0,2% hingga 71% (WHO, 2020b). Indonesia merupakan Negara dengan DALY
(disability-adjusted life-years) skabies tertinggi di dunia yaitu 153·86 (95%
CI 86·48–254·02) (Karimkhani et al., 2017).
Penyakit
skabies terkait dengan kondisi genetik, usia, imunitas tubuh, perilaku dan
lingkungan baik lingkungan fisik,ekonomi maupun sosial. Menurut review dari
Katarzyna Talaga-Cwiertnia Talaga-Ćwiertnia, (2021) kerentanan dan keparahan penyakit
skabies dapat dipengaruhi secara genetik, gangguan imunitas, seperti pada
pasien HIV, gangguan neurologis, dan gangguan intelektual. Berdasarkan hasil penelitian di Ethiopia
menyebutkan faktor perilaku seperti jarang berganti pakaian, tidur di lantai,
berbagi tempat tidur, jarang mencuci kain, tinggal bersama pengungsi internal
dan hanya menggunakan air untuk mencuci tangan,
memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan investasi
skabies pada anak usia sekolah (Misganaw et al., 2022),
sedangkan Ismah dkk yang melakukan systemic review tentang skabies di
pesantren menyimpulkan bahwa perilaku personal higiene santri seperti berbagi
tempat tidur, pakaian tidak bersih, bertukar barang pribadi merupakan faktor
risiko ke tiga terbesar dengan investasi skabies pada santri (Ismah et al., 2021).
Faktor
lingkungan fisik seperti suhu tinggi dan kelembaban rendah, akses dan
pemanfaatan air yang buruk berkontribusi secara signifikan terhadap infeksi
skabies Jetly et al., (2022), Dari hasil penelitian Ismah, 2021
faktor risiko kejadian skabies tertinggi di pesantren adalah kepadatan hunian,
faktor risiko kedua adalah kondisi ruangan (Ismah et al., 2021). Kondisi ruang tidur yang tidak sehat (tidak
memiliki ventilasi yang cukup, kurang sinar matahari alami, ruang tidur yang
sempit dan tidak dibersihkan secara teratur) cenderung 8,81 kali lebih terkait
dengan investasi skabies (Yulfi et al., 2022).
Skabies
terutama ditularkan melalui kontak kulit ke kulit. Penyebaran membutuhkan
kontak pribadi yang dekat, akibat dari kondisi perumahan yang padat dan tempat
seperti penjara, sekolah, rumah sakit, panti jompo Kivi, (2022) tempat pengungsian dan sekolah
berasrama (Trasia, 2020)
Salah
satu tempat dengan karakteristik yang memiliki risiko tinggi penyakit skabies
adalah pondok pesantren. Pondok pesantren adalah tempat atau asrama para santri untuk belajar
atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji (Purnomo, 2017). Pondok pesantren semakin
bertambah jumlah dan berkembang jenis ilmu yang dipelajari. Pada saat ini di
Indonesia tercatat di Kementerian Agama Indonesia sebanyak 36.600 buah, jumlah
santri aktif 4,08 juta dengan kiai/ustaz sebanyak 340.000 orang (Ramadhani, 2022). Pesantren memiliki ciri khas
yaitu memiliki nafas keagamaan, kehadiran kiai, eksistensi masjid, referensi
keilmuan dengan garis (sanad) yang jelas dan fasilitas tempat mondok. Kiai atau
pengasuh merupakan sosok yang paling memiliki pengaruh tinggi di dalam kehidupan
pesantren dan lingkungan pesantren (Septuri et al., 2021).
Pondok
pesantren merupakan kondisi ideal untuk berkembangnya penyakit menular
khususnya skabies. Dari berbagai penelitian prevalensi skabies pada santri di
pondok pesantren Indonesia antara tahun 2013–2022 berkisar 24,6%-54,76% Tresnasari et al., 2019; Yulfi et al., (2022) beberapa penelitian telah
dilakukan untuk mencari hubungan antara pengetahuan, sikap tindakan dan
faktor–faktor risiko pada santri terhadap kejadian skabies di pesantren, namun
peran kiai, ustaz, pengurus santri, dan tenaga administrasi yang kemudian kita sebut sebagai pengelola
pesantren belum banyak digali dalam upaya penanggulangan skabies di pesantren
Skabies
adalah penyakit menular yang dapat dicegah dan dikendalikan, pencegahan skabies
memiliki tiga tingkat yaitu pencegahan primer, sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan primer pada saat fase pra-patogenesis skabies dilakukan dengan
menjaga personal higiene, pendidikan dan penyuluhan untuk komunitas. Pada fase
patogenesis dilakukan pencegahan sekunder berupa diagnosis dini,
penatalaksanaan segera dan pembatasan cacat serta pencegahan tersier berupa
rehabilitasi (Sungkar, 2016).
Pendidikan
dapat merubah persepsi seseorang terhadap suatu objek. Persepsi adalah
identifikasi dan interpretasi awal dari suatu stimulus berdasarkan informasi
yang diterima melalui panca indra. Berdasarkan pengertian persepsi tersebut
maka pengertian persepsi secara umum adalah proses menerima, mengatur dan
menginterpretasikan stimulus menjadi suatu gambaran yang logis dan menjadi
sesuatu yang berarti. Salah satu bentuk persepsi adalah Self efficacy. Self
efficacy atau efikasi diri adalah merupakan suatu keyakinan bahwa seseorang
dapat berhasil mengubah perilaku. Efek
efikasi diri pada perilaku adalah mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional
yang dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kemampuan koping.
Bandura
dan wood menyatakan bahwa efikasi diri memiliki peran utma dalam proses
pengaturan melalui motivasi individu dan pencapaian inerja yang sudah
ditetapkan. Orang dengan pertimbanagan efikasi diri yang kuat mempu menggunakan
usaha terbaiknya untuk mengatasihambatan, sedangkan orang dengan efikasi diri
yang lemah cendrung mengurangi usahanya atau lari dari hambatan yang ada.
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan efikasi
diri pengelola pesantren terhadap penyakit skabies dan untuk mempelajari
efektifitas edukasi pada Tingkat pengetahuan dan efikasi diri pengelola.
Metode penelitian
Penelitian
ini menggunakan desain quasi eksperiment prepostest dengan intervensi
edukasi untuk mengetahui peningkatan pengetahuan dan efikasi diri pengelola di
pesantren tentang skabies (Abraham & Supriyati, 2022). Penelitian ini dilaksanakan
anatara bulan juli dan Agustus 2023 di Kabupaten Bangka, Propinsi Bangka
Belitung.
Populasi
target pada penelitian ini adalah masing- masing 30 pengelola (kiai,
usta/usatazah, administrator dan pengurus santri) di pesantren A sebagai
kelompok intervensi dan pesantren B sebagai kelompok kontrol. Dengan kriteria
inklusi adalah pengelola yang sudah mengajar lebih dari 1 tahun dan menyetujui
ikut dalam penelitian ditandai dengan penandatanganan inform concern. Kriteria
eksklusi penelitian ini adalah data yang tidak lengkap dan responden yang
berhenti mengikuti penelitian dengan alas an apapun (Effendi, 2013).
Variabel
inependen pada penelitian ini adlah pemberian edukasi , dan variabel dependen
adalah tingkat pengetahuan dan efikasi pengelola terhadap pengendalian penyakit
skabies
Untuk
yang setujui ikut dalam penelitian pada kelompok intervensi, akan ikut serta
dalam kegiatan edukasi tentang skabies dan akan diberikan pertanyaan sebelum
dan setelah edukasi. Edukasi diberikan oleh peneliti dengan waktu penyampaian
90 menit pelajaran. Untuk kelompok kontrol dilakukan pretest dan posttest.
Data
yang dikumpulkan di proses, editing , di koding dan dimasukkan dala program
SPSS versi 25. Analisis dan interpretasi dengan menggunakan test marginal
homogeneity dengan signifikansi (p<0.01) menggunakan SPSS for windows versi
25 (Hadi Ismanto & Pebruary, 2021).
Kuesioner telah melalui proses uji validitas dan
realibilitas. Pertanyaan tentang pengetahuan meliputi penyebab skabies, cara
pencegahan, cara penularan , cara menggunakan obat
skabies dan cara penanggulanag skabies.
Pertanyaan tentang efikasi merupakan merupakan modifikasi dari instrumen
efikasi diri “Bandura teacher’s selfefficacy”, semakin tinggi nilai
efikasi diri semakin besar persepsi seseorang untuk merasa mampu
mengimplementasikan perilaku baru dalam hal ini perilaku pencegahan
penyakit skabies
Hasil dan
Pembahasan
Edukasi
adalah salah satu metode untuk meningkatkan pengetahuan responden tentang
penyakit. Pengelola sering menjumpai santri yang menderita skabies di
pesantren.
Penelitian ini
melibatkan 30 pengelola pada pesantren A dan 30 pengelola pada pesantren B.
pengetahuan tentang skabies dikatagorikan sebagai baik, cukup dan kurang. Sedangkan
untuk efikasi diri dikatagorikan dengan tinggi dan rendah. Edukasi yang diberikan menggunakan metode
ceramah. Kuesioner diberikan sebelum dan sesudah edukasi dengan pertanyaan yang
sama. Kemudian dilakukan perbandingan pre dan posttest tiap kelompok dan antara
kelompok intervensi dan kontrol. Perbandingan karakteristik kedua kelompok
penelitian sebagaimana terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Responden
Penelitian
Berdasarkan
tabel 1 diatas Karakteristik responden pengelola pada kedua pesantren
berdasarkan jenis kelamin wanita lebih banyak dari pria, yaitu 60% pada
kelompok intervensi dan 73,3 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan jabatan pada
dua kelompok terwakili oleh pimpinan, sekretaris, ustaz, administrator dan
pengurus santri. Pendidikan terbanyak pengelola adalah strata 1 yaitu 80% pada
kelompok intervensi dan 83,4 % pada kelompok kontrol. Usia pengelola sebagian
besar di bawah 35 tahun dengan rata-rata usia 32 tahun pada kelompok intervensi
dan 33 tahun pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan karakteristik
antara dua kelompok sehingga kedua kelompok ini homogen. Tabel 2 menunjukkan
perbandingan pengetahuan pre-post test pada kelompok intervensi dan control.
Tabel 2 Tingkat pengetahuan
pengelola tentang skabies pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol
Tabel
2 di atas menunjukkan bahwa sebelum edukasi pada pengelola kelompok intervensi
nilai pretest untuk kategori kurang
yaitu 46,7 %, dan kategori cukup 53.3%, tidak ada yang memiliki kategori baik.
Setelah edukasi terdapat peningkatan proporsi pengelola yang memiliki
pengetahuan baik dari 0% menjadi 53,3%. Penurunan pada kategori kurang dari 56,7% menjadi 16,7% dan kategori
cukup dari 43,3 % menjadi 30,0%.
Perbandingan
nilai post test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol memiliki nilai
signifikan (p) < 0,001. Nilai ini kecil dari nilai (α); 0,05 sehingga Ho ; ditolak dan Hα diterima.
Terdapat perbedaan antara nilai posttest variabel pengetahuan kelompok
intervensi dengan kelompok kontrol. Hasil dari uji Gain nilai mean dari
kelompok pengelola intervensi adalah adalah 63,44 % sedangkan pada kelompok
kontrol 2,69 % Hasil ini menunjukkan edukasi cukup efektif terhadap peningkatan
pengetahuan pengelola kelompok intervensi.
Tabel 3
menunujukkan jawaban untuk tiap pertanyaan pre dan post test pada kelompok
intervensi.
Tabel 3 Hasil pretest dan posttest
variabel pengetahuan
pada pengelola kelompok intervensi
Berdasarkan
tabel 3 diatas pada hasil pretest tiap butir pertanyaan memiliki proporsi benar
antara 20% sampai 73,3%. setelah dilakukan edukasi hasil jawaban responden
pengelola pada pengetahuan tentang penyakit skabies meningkat jawaban yang
benar menjadi 70% - 96,7%. Pertanyaan tentang cara memakai obat salep scabies
adalah pertanyaan dengan persentase benar yang paling kecil yaitu 20%. Hasil
posttest setelah edukasi terdapat peningkatan pengetahuan pada pertanyaan
mengenai agen penyebab skabies sebesar 33,7%, predileksi skabies sebesar 30%,
cara penularan skabies sebesar 30%, cara memakai obat salep skabies 50%,
penanganan pencegahan penularan skabies skabies memiliki proporsi yang tetap
sebelum dan sesudah edukasi.
Untuk Tingkat
efikasi responden dapat dilihat dari tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Tingkat efikasi
responden tentang skabies
pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol
Data
dari tabel 4 di atas menunjukkan bahwa sebelum edukasi pada pengelola kelompok
intervensi nilai pretest efikasi diri kategori tinggi adalah 66,7% sedangkan
kategori rendah 33,3% Setelah edukasi proporsi pengelola yang memiliki kategori
tinggi menurun menjadi 53,3 %, sedangkan kategori rendah meningkat menjadi
46,7%. Jawaban responden pengelola intervensi untuk tiap butir pertanyaan
persepsi efikasi diri pada pretest dan posttest dapat dilihat pada tabel 5 di
bawah ini.
Tabel 5 Hasil pretest dan posttest
variabel persepsi pada responden pengelola
kelompok intervensi
Dari
tabel 5 di atas untuk jawaban tidak ada paling tinggi didapat pada pertanyaan
tentang “seberapa besar pengaruh saudara untuk mempengaruhi ukuran kelas”,
denagn jawaban tidak ada sebanyak 27% pada pretest diikuti dengan pertanyaan.
“Seberapa banyak yang dapat Saudara lakukan untuk melibatkan kelompok
masyarakat dalam bekerja sama dalam bidang kesehatan dengan pesantren? Yaitu
17% kemudian “Seberapa banyak yang dapat Saudara lakukan untuk membuat orang
tua terlibat dalam kegiatan pesantren khususnya dalam kegiatan kesehatan?”
yaitu 13 %, dan “Seberapa besar saudara dapat mempengaruhi keputusan yang
dibuat di pesantren?” juga 13%.
Jawaban
‘sangat banyak/besar” yang paling tinggi proporsinya adalah pada pertanyaan
“Seberapa banyak yang dapat Saudara lakukan untuk membuat siswa tetap
mengerjakan tugas yang menjaga kebersihan lingkungan? Dan pertanyaan tentang
“Seberapa banyak yang dapat Saudara lakukan untuk membuat anak-anak mengikuti
peraturan pesantren? yaitu setinggi 27%.
Pembahasan
Skabies
masih merupakan masalah kesehatan pada tempat dengan kepadatan tinggi seperti
pesantren.. Skabies dapat menyebabkan gatal yang sangat hebat pada malam hari ,
menyebabkan gangguan tidur dan akhirnya kesulitan belajar pada santri yang
menyebabkan penurunan prestasi. Skabies juga menimbulkan stigma dan rasa malu
bagi penderitanya. Sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup santri.
Skabies
yang tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi sistemik yang
mengakibatkan superinfeksi dengan pathogen lain yang dapat menyebabkan
kerusakan jantung dan ginjal.
Peran
penegelola sebagai pengajar, pembimbing, panutan dan penyedia sarana prasarana
dan kebijakan sangat sentral dalam upaya penanggulangan skabies.
Pengetahuan
akan penyakit memiliki efek pada efikasi diri seseoraang dan tindakan yang
perlu untuk upaya pencegahan dan pengendalian skabies. Sehingga untuk melakukan
pengendalian skabies di pesantren pengelola harus memiliki pengetahuan yang
cukup tentang penyakit tersebut, dan memiliki efikasi yang baik untuk mendorong
perubahan pengetahuan menjadid suatu tindakan yang nyata. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan mereka edukasi tentang penyakit tersebut. Materi
Pelajaran harus mencakup pengetahuan umum tenang skabies seperti penyebab,
gejala, predileksi, cara penularan, cara pencegahan , cara menggunakan obat
topical yang benar dan cara pengendalian jika terdapat siswa yang mengalami
penyakit skabies. Pendidikan diharapkan dapat meningkatkan efiksi diri
responden dalam penanggulangan skabies.
Tingkat pengetahuan pengelola pesantren
Sebagaimana
terlihat dalam tabel 2 diatas untuk kategori pengetahuan baik dari 0% sebelum
edukasi menjadi 53,3% sesudah dilakukan program edukasi. Edukasi efektif
meningkatkan pengetahuan pada pengelola pesantren. Hal ini sesuai dengan hasil
dari penelitian sebelumnya bahwa edukasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan
tentang skabies (Rosandi & Sungkar, 2015; Sungkar, 2016). Namun peningkatan tersebut tidak
terlalu tinggi, hal ini sejalan dengan penelitian dari Salthouse 1991, pada 627
orang dewasa berusia 20 sampai 84 tahun bahwa seiring dengan pertambahan usia
akan menurunkan kemampuan belajar pada manusia. Orang dengan usia lebih tua
memerlukan lebih banyak waktu belajar karena kesulitan mereka adalah
mempelajari informasi secara memadai untuk. diingat. Setelah mereka mempelajari
informasi dengan cukup baik, ingatan mereka tidak terganggu. Jadi mungkin waktu
mengajar orang dewasa lebih lama dibandingkan dengan orang yang lebih muda
sehingga mereka harus diberikan waktu mengajar yang lebih lama (Gini beqiri).
Penurunan kemampuan belajar mulai terlihat pada rentang usia 45-49 tahun (Singg, 2015).
Pertanyaan
dengan jawaban skor paling rendah pada pengelola adalah cara memakai salep
skabies yang benar. hanya 20% responden yang menjawab benar. Salah satu sebab
kegagalan dalam pengobatan skabies adalah penggunaan obat topikal yang tidak
tepat atau tidak sesuai (K Karthikeyan). Edukasi tentang penggunaan obat
topikal yang benar menjadi salah satu topik yang dipilih dalam rancangan
edukasi pada penelitian ini.
Menurut
L.Green (L green,2005) peningkatan pengetahuan saja tidak selalu merubah
perilaku atau perubahan organisasi, namun pengetahuan diperlukan untuk
terjadinya suatu tindakan secara sadar. Pengetahuan mempengaruhi keputusan
organisasi melalui stake holder, namun strategi lain dan pertimbangan politis
juga harus berperan serta untuk penerapan keputusan ini. Kebijakan atau program
dari pusat dapat mendorong pengetahuan untuk diimplementasikan dalam kegiatan.
Pengetahuan mungkin tidak serta merta merubah suatu perilaku, namun efek
kumulatif dari peningkatan pengetahuan, kesadaran akan membentuk sistem
kepercayaan, nilai, sikap dan efikasi diri dan akhirnya pada perubahan
perilaku.
Untuk
tingkat efikasi pengelola pada kelompok intervensi terdapat penurunan proporsi
tingkat efikasi diri tinggi dari 66,7 % sebelum edukasi menjadi 53,3 %, namun
penurunan ini tidak signifikan. Pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah
intervensi memiliki proporsi yang sama sebagian besar memiliki tingkat efikasi
tinggi yaitu 60%. Hal ini dapat diterangkan bahwa penurunan kemampuan belajar
mulai terlihat pada peningkatan usia(singh-manoux,2012) dan sesuai hasil review
dari S.Priyadharsan terhadap pengaruh usia pada efikasi diri pekerja, semakin
tua terjadi penurunan efikasi diri.
Untuk
pertanyaan efikasi pengelola terhadap siswa proporsi jawaban “lumayan
banyak/besar dan sangat banyak/besar “mencapai lebih dari 60 %. Sebagian besar
pengelola memiliki persepsi dapat mempengaruhi sikap siswa terhadap perilaku
kesehatan. Untuk pertanyaan efikasi yang melibatkan objek di luar pesantren
seperti orang tua dan masyarakat, proporsi jawaban negative yaitu “tidak ada”
dan “sangat sedikit/kecil” mencapai lebih dari 30%. Sedangkan 30% responden
pengelola menyatakan tidak punya peran atau memiliki sedikit peran menentukan
kebijakan pesantren dan menentukan ukuran kelas.Hal ini dapat diterangkan bahwa
sesuai dengan karakteristik responden pengelola bahwa proporsi responden yang terkait
manajemen pondok pesantren hanya 10%.
Kesimpulan
Sebelum
edukasi Tingkat pengetahuan pengelola terhadap skabies dalam katagori cukup
43,3 %, dan pengetahuan kurang 56,7% sesudah diberikan edukasi Tingkat
pengetahuan pengelola dengan kategori baik menjadi 53,3%, cukup 30 % dan kurang
menurun menjadi 16%. Edukasi secara bermakna meningkatkan pengetahuan pengelola
pesantren tentang penyakit skabies.
Namun
edukasi tidak mengubah tingkat efikasi pengelola perlu dilakukan edukasi kepada
pengelola pesantren tentang penyakit skabies agar dapat melakukan pengendalian
penyakit skabies secara komprehensif mulai dari penyediaan sarana, prasarana,
kebijakan dan pengawasan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang kepatuhan
prosedur pengobatan skabies pada santri agar menghindari kegagalan terapi,
resistensi obat dan agar penanggulangan skabies di pesantren lebih efektif
BIBLIOGRAFI
Abraham, I., & Supriyati, Y.
(2022). Desain kuasi eksperimen dalam pendidikan: Literatur review. Jurnal
Ilmiah Mandala Education, 8(3).
Effendi, M. S. (2013). Desain eksperimental dalam penelitian pendidikan. Jurnal
Perspektif Pendidikan, 6(1), 87–102.
Engelman, D., Yoshizumi, J., Hay, R. J., Osti, M., Micali, G., Norton, S.,
Walton, S., Boralevi, F., Bernigaud, C., & Bowen, A. C. (2020). The 2020
international alliance for the control of scabies consensus criteria for the
diagnosis of scabies. British Journal of Dermatology, 183(5),
808–820.
Hadi Ismanto, S. E., & Pebruary, S. (2021). Aplikasi SPSS dan
Eviews dalam analisis data penelitian. Deepublish.
Ismah, Z., Falefi, R., Ayukhaliza, D. A., Lestari, C., & Siregar, S.
M. (2021). Identify Factors Associated with Scabies Aged 6-19 Years Old in The
Boarding School. The Indonesian Journal of Public Health, 8(2).
Jetly, K., Ibrahim, F. E., Karim, I. K. A., Jeevanathan, C., MOKTI, K.,
Omar, A., Pang, N. T. P., Rahim, S., Jeffree, M. S., & Azhar, Z. I. (2022).
Risk factors for scabies in school children: a systematic review. Вопросы
Практической Педиатрии, 17(2), 117–125.
Karimkhani, C., Dellavalle, R. P., Coffeng, L. E., Flohr, C., Hay, R. J.,
Langan, S. M., Nsoesie, E. O., Ferrari, A. J., Erskine, H. E., &
Silverberg, J. I. (2017). Global skin disease morbidity and mortality: an
update from the global burden of disease study 2013. JAMA Dermatology, 153(5),
406–412.
Kivi, N. (2022). Solving a mighty mite problem. New Zealand Medical
Student Journal, 34, 28–31.
Misganaw, B., Nigatu, S. G., Gebrie, G. N., & Kibret, A. A. (2022).
Prevalence and determinants of scabies among school-age children in Central
Armachiho district, Northwest, Ethiopia. Plos One, 17(6),
e0269918.
Purnomo, M. H. (2017). Manajemen pendidikan pondok pesantren.
Bildung Pustaka Utama.
Ramadhani, M. A. (2022). Pesantren: Dulu, Kini, dan Mendatang.
Direktorat Pendidikan Diniyah Dan Pondok Pesantren.
https://ditpdpontren ….
Rosandi, M. E. T., & Sungkar, S. (2015). The Knowledge on Scabies
among Students in a Pesantren in East Jakarta, Before and After Health
Education. EJournal Kedokteran Indonesia, 2(3), 60338.
Septuri, F. L., Silfeni, S., & Pasaribu, P. (2021). Tinjauan Potensi
Wisata di Objek Wisata Tarusan Kamang Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam. Journal
of Home Economics and Tourism, 15(2).
Singg, S. (2015). Scabies awareness and fear of scabies scale-10. J.
Clin. Case Stu, 1(1).
Sungkar, S. (2016). Skabies: Etiologi, patogenesis, pengobatan,
pemberantasan, dan pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 48–57.
Talaga-Ćwiertnia, K. (2021). Sarcoptes infestation. What is already known,
and what is new about scabies at the beginning of the third decade of the 21st
century? Pathogens, 10(7), 868.
Trasia, R. F. (2020). Scabies in Indonesia: Epidemiology and prevention. Insights
in Public Health Journal, 1(2), 30–38.
Tresnasari, C., Respati, T., Maulida, M., Triyani, Y., Tejasari, M.,
Kharisma, Y., & Ismawati, I. (2019). Understanding scabies in religious
boarding school (pesantren). Social and Humaniora Research Symposium (SoRes
2018), 520–522.
Yulfi, H., Zulkhair, M. F., & Yosi, A. (2022). Scabies infection among
boarding school students in Medan, Indonesia: Epidemiology, risk factors, and
recommended prevention. Tropical Parasitology, 12(1), 34.
Copyright holder: Nurhasanah,
Lambok Siahaan, Rina Caromina Saragih (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |