Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

 

EFEKTIVITAS INTERVENSI EDUKASI PADA PESANTREN TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT SKABIES

 

Nurhasanah, Lambok Siahaan, Rina Caromina Saragih

Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Skabies adalah penyakit kulit menular yang sering dijumpai pada pemukiman padat seperti pesantren. Peran pengelola sebagai panutan, penyadia sarana prasarana dan pembuat kebijakan sangat penting untuk pengendalian skabies di pesantren. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat tingkat pengetahuan dan efikasi diri pengelola sebelum dan sesudah pemberian edukasi. Penelitian ini adalah suatu penelitian quasi eksperiment untuk membandingkan pengaruh edukasi pada kelompok intervensi. Penelitian ini dilakukan di dua pesantren di Bangka Belitung. Pesantren A sebagai tempat dilakukan edukasi dan pesantren B sebagai kelompok kontrol. 30 pengelola masing masing dari kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang terdiri dari unsur pimpinan,sekretaris, ustaz, administrator dan pengurus santri ikut serta dalam penelitian ini. Data dikumpulkan melalui kuesioner tervalidasi yang diberikan sebelum dan sesudah edukasi. Sebagai perbandingan dilakukan juga pretest dan postest pada kelompok kontrol. Data diolah dengan SPSS versi 25 dan diuji dengan marginal homogeneity test. Data menunjukkan hasil bahwa edukasi efektif meningkatkan pengetahuan pengelola tentang skabies (p<0,01) akan tetapi edukasi tidak efektif meningkatkan efikasi diri pengelola (p;0,219)

Kata kunci: skabies, pengetahuan, efikasi diri, pengelola, pesantren, edukasi kesehatan 

 

Abstract

Scabies is an infectious skin disease that is often found in densely populated residential areas such as Islamic boarding schools. The role of managers as role models, infrastructure providers and policy makers is very important for controlling scabies in Islamic boarding schools. The aim of this research is to see the level of knowledge and self-efficacy of managers before and after providing education. This research is a quasi-experimental study to compare the effect of education in the intervention group. This research was conducted at two Islamic boarding schools in Bangka Belitung. Islamic boarding school A as a place for education and Islamic boarding school B as a control group. 30 managers each from the intervention group and the control group consisting of leaders, secretaries, ustaz, administrators and student administrators participated in this research. Data was collected through validated questionnaires given before and after education. As a comparison, a pretest and posttest were also carried out in the control group. Data were processed with SPSS version 25 and tested with the marginal homogeneity test. The data shows that education is effective in increasing managers' knowledge about scabies (p<0.01) but education is not effective in increasing managers' self-efficacy (p;0.219)

Keywords: scabies, knowledge, self-efficacy, management, Islamic boarding school, health education

 

 

Pendahuluan

Skabies atau kudis pada manusia adalah investasi parasit sangat menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var hominis. Skabies menimbulkan efek sosial yang signifikan, menurunkan kualitas hidup, dan berdampak pada populasi yang sangat besar secara ekonomi dan psikologis (Talaga-Ćwiertnia, 2021).

 Secara global, skabies diperkirakan mengenai lebih dari 150-200 juta orang setiap tahun dengan perkiraan 455 juta kasus insiden tahunan (Engelman et al., 2020). Perkiraan prevalensi dunia dalam literatur terkait skabies dalam kurun waktu tiga tahun terakhir berkisar antara 0,2% hingga 71% (WHO, 2020b). Indonesia merupakan Negara dengan DALY (disability-adjusted life-years) skabies tertinggi di dunia yaitu 153·86 (95% CI 86·48–254·02) (Karimkhani et al., 2017).

Penyakit skabies terkait dengan kondisi genetik, usia, imunitas tubuh, perilaku dan lingkungan baik lingkungan fisik,ekonomi maupun sosial. Menurut review dari Katarzyna Talaga-Cwiertnia Talaga-Ćwiertnia, (2021) kerentanan dan keparahan penyakit skabies dapat dipengaruhi secara genetik, gangguan imunitas, seperti pada pasien HIV, gangguan neurologis, dan gangguan intelektual.     Berdasarkan hasil penelitian di Ethiopia menyebutkan faktor perilaku seperti jarang berganti pakaian, tidur di lantai, berbagi tempat tidur, jarang mencuci kain, tinggal bersama pengungsi internal dan hanya menggunakan air untuk mencuci tangan,  memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan investasi skabies pada anak usia sekolah (Misganaw et al., 2022),  sedangkan Ismah dkk yang melakukan systemic review tentang skabies di pesantren menyimpulkan bahwa perilaku personal higiene santri seperti berbagi tempat tidur, pakaian tidak bersih, bertukar barang pribadi merupakan faktor risiko ke tiga terbesar dengan investasi skabies pada santri (Ismah et al., 2021).

Faktor lingkungan fisik seperti suhu tinggi dan kelembaban rendah, akses dan pemanfaatan air yang buruk berkontribusi secara signifikan terhadap infeksi skabies Jetly et al., (2022), Dari hasil penelitian Ismah, 2021 faktor risiko kejadian skabies tertinggi di pesantren adalah kepadatan hunian, faktor risiko kedua adalah kondisi ruangan (Ismah et al., 2021).  Kondisi ruang tidur yang tidak sehat (tidak memiliki ventilasi yang cukup, kurang sinar matahari alami, ruang tidur yang sempit dan tidak dibersihkan secara teratur) cenderung 8,81 kali lebih terkait dengan investasi skabies (Yulfi et al., 2022).

Skabies terutama ditularkan melalui kontak kulit ke kulit. Penyebaran membutuhkan kontak pribadi yang dekat, akibat dari kondisi perumahan yang padat dan tempat seperti penjara, sekolah, rumah sakit, panti jompo Kivi, (2022) tempat pengungsian dan sekolah berasrama (Trasia, 2020)

Salah satu tempat dengan karakteristik yang memiliki risiko tinggi penyakit skabies adalah pondok pesantren. Pondok pesantren adalah  tempat atau asrama para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji (Purnomo, 2017). Pondok pesantren semakin bertambah jumlah dan berkembang jenis ilmu yang dipelajari. Pada saat ini di Indonesia tercatat di Kementerian Agama Indonesia sebanyak 36.600 buah, jumlah santri aktif 4,08 juta dengan kiai/ustaz sebanyak 340.000 orang (Ramadhani, 2022). Pesantren memiliki ciri khas yaitu memiliki nafas keagamaan, kehadiran kiai, eksistensi masjid, referensi keilmuan dengan garis (sanad) yang jelas dan fasilitas tempat mondok. Kiai atau pengasuh merupakan sosok yang paling memiliki pengaruh tinggi di dalam kehidupan pesantren dan lingkungan pesantren (Septuri et al., 2021).

Pondok pesantren merupakan kondisi ideal untuk berkembangnya penyakit menular khususnya skabies. Dari berbagai penelitian prevalensi skabies pada santri di pondok pesantren Indonesia antara tahun 2013–2022 berkisar 24,6%-54,76%  Tresnasari et al., 2019; Yulfi et al., (2022) beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari hubungan antara pengetahuan, sikap tindakan dan faktor–faktor risiko pada santri terhadap kejadian skabies di pesantren, namun peran kiai, ustaz, pengurus santri, dan tenaga administrasi  yang kemudian kita sebut sebagai pengelola pesantren belum banyak digali dalam upaya penanggulangan skabies di pesantren

Skabies adalah penyakit menular yang dapat dicegah dan dikendalikan, pencegahan skabies memiliki tiga tingkat yaitu pencegahan primer, sekunder dan pencegahan tersier. Pencegahan primer pada saat fase pra-patogenesis skabies dilakukan dengan menjaga personal higiene, pendidikan dan penyuluhan untuk komunitas. Pada fase patogenesis dilakukan pencegahan sekunder berupa diagnosis dini, penatalaksanaan segera dan pembatasan cacat serta pencegahan tersier berupa rehabilitasi (Sungkar, 2016).

Pendidikan dapat merubah persepsi seseorang terhadap suatu objek. Persepsi adalah identifikasi dan interpretasi awal dari suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra. Berdasarkan pengertian persepsi tersebut maka pengertian persepsi secara umum adalah proses menerima, mengatur dan menginterpretasikan stimulus menjadi suatu gambaran yang logis dan menjadi sesuatu yang berarti. Salah satu bentuk persepsi adalah Self efficacy. Self efficacy atau efikasi diri adalah merupakan suatu keyakinan bahwa seseorang dapat berhasil mengubah perilaku.  Efek efikasi diri pada perilaku adalah mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional yang dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kemampuan koping.

Bandura dan wood menyatakan bahwa efikasi diri memiliki peran utma dalam proses pengaturan melalui motivasi individu dan pencapaian inerja yang sudah ditetapkan. Orang dengan pertimbanagan efikasi diri yang kuat mempu menggunakan usaha terbaiknya untuk mengatasihambatan, sedangkan orang dengan efikasi diri yang lemah cendrung mengurangi usahanya atau lari dari hambatan yang ada.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan efikasi diri pengelola pesantren terhadap penyakit skabies dan untuk mempelajari efektifitas edukasi pada Tingkat pengetahuan dan efikasi diri pengelola.

 

Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperiment prepostest dengan intervensi edukasi untuk mengetahui peningkatan pengetahuan dan efikasi diri pengelola di pesantren tentang skabies (Abraham & Supriyati, 2022). Penelitian ini dilaksanakan anatara bulan juli dan Agustus 2023 di Kabupaten Bangka, Propinsi Bangka Belitung.

Populasi target pada penelitian ini adalah masing- masing 30 pengelola (kiai, usta/usatazah, administrator dan pengurus santri) di pesantren A sebagai kelompok intervensi dan pesantren B sebagai kelompok kontrol. Dengan kriteria inklusi adalah pengelola yang sudah mengajar lebih dari 1 tahun dan menyetujui ikut dalam penelitian ditandai dengan penandatanganan inform concern. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah data yang tidak lengkap dan responden yang berhenti mengikuti penelitian dengan alas an apapun (Effendi, 2013).

Variabel inependen pada penelitian ini adlah pemberian edukasi , dan variabel dependen adalah tingkat pengetahuan dan efikasi pengelola terhadap pengendalian penyakit skabies

Untuk yang setujui ikut dalam penelitian pada kelompok intervensi, akan ikut serta dalam kegiatan edukasi tentang skabies dan akan diberikan pertanyaan sebelum dan setelah edukasi. Edukasi diberikan oleh peneliti dengan waktu penyampaian 90 menit pelajaran. Untuk kelompok kontrol dilakukan pretest dan posttest.

Data yang dikumpulkan di proses, editing , di koding dan dimasukkan dala program SPSS versi 25. Analisis dan interpretasi dengan menggunakan test marginal homogeneity dengan signifikansi (p<0.01) menggunakan SPSS for windows versi 25 (Hadi Ismanto & Pebruary, 2021).

Kuesioner telah melalui proses uji validitas dan realibilitas. Pertanyaan tentang pengetahuan meliputi penyebab skabies, cara pencegahan, cara penularan , cara menggunakan obat skabies  dan cara penanggulanag skabies. Pertanyaan tentang efikasi merupakan merupakan modifikasi dari instrumen efikasi diri “Bandura teacher’s selfefficacy”, semakin tinggi nilai efikasi diri semakin besar persepsi seseorang untuk merasa  mampu  mengimplementasikan perilaku baru dalam hal ini perilaku pencegahan penyakit skabies

 

Hasil dan Pembahasan

Edukasi adalah salah satu metode untuk meningkatkan pengetahuan responden tentang penyakit. Pengelola sering menjumpai santri yang menderita skabies di pesantren.

Penelitian ini melibatkan 30 pengelola pada pesantren A dan 30 pengelola pada pesantren B. pengetahuan tentang skabies dikatagorikan sebagai baik, cukup dan kurang. Sedangkan untuk efikasi diri dikatagorikan dengan tinggi dan rendah.  Edukasi yang diberikan menggunakan metode ceramah. Kuesioner diberikan sebelum dan sesudah edukasi dengan pertanyaan yang sama. Kemudian dilakukan perbandingan pre dan posttest tiap kelompok dan antara kelompok intervensi dan kontrol. Perbandingan karakteristik kedua kelompok penelitian sebagaimana terlihat pada tabel 1.

 

Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian

Berdasarkan tabel 1 diatas Karakteristik responden pengelola pada kedua pesantren berdasarkan jenis kelamin wanita lebih banyak dari pria, yaitu 60% pada kelompok intervensi dan 73,3 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan jabatan pada dua kelompok terwakili oleh pimpinan, sekretaris, ustaz, administrator dan pengurus santri. Pendidikan terbanyak pengelola adalah strata 1 yaitu 80% pada kelompok intervensi dan 83,4 % pada kelompok kontrol. Usia pengelola sebagian besar di bawah 35 tahun dengan rata-rata usia 32 tahun pada kelompok intervensi dan 33 tahun pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan karakteristik antara dua kelompok sehingga kedua kelompok ini homogen. Tabel 2 menunjukkan perbandingan pengetahuan pre-post test pada kelompok intervensi dan control.

 

Tabel 2 Tingkat pengetahuan pengelola tentang skabies pada kelompok intervensi

dan kelompok kontrol

 

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebelum edukasi pada pengelola kelompok intervensi nilai pretest untuk  kategori kurang yaitu 46,7 %, dan kategori cukup 53.3%, tidak ada yang memiliki kategori baik. Setelah edukasi terdapat peningkatan proporsi pengelola yang memiliki pengetahuan baik dari 0% menjadi 53,3%. Penurunan pada kategori kurang dari 56,7% menjadi 16,7% dan kategori cukup dari 43,3 % menjadi 30,0%.

 

Perbandingan nilai post test antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol memiliki nilai signifikan (p) < 0,001. Nilai ini kecil dari  nilai (α); 0,05 sehingga Ho ; ditolak  dan Hα diterima. Terdapat perbedaan antara nilai posttest variabel pengetahuan kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Hasil dari uji Gain nilai mean dari kelompok pengelola intervensi adalah adalah 63,44 % sedangkan pada kelompok kontrol 2,69 % Hasil ini menunjukkan edukasi cukup efektif terhadap peningkatan pengetahuan pengelola kelompok intervensi.

Tabel 3 menunujukkan jawaban untuk tiap pertanyaan pre dan post test pada kelompok intervensi.

 

Tabel 3 Hasil pretest dan posttest variabel pengetahuan

pada pengelola kelompok intervensi

 

Berdasarkan tabel 3 diatas pada hasil pretest tiap butir pertanyaan memiliki proporsi benar antara 20% sampai 73,3%. setelah dilakukan edukasi hasil jawaban responden pengelola pada pengetahuan tentang penyakit skabies meningkat jawaban yang benar menjadi 70% - 96,7%. Pertanyaan tentang cara memakai obat salep scabies adalah pertanyaan dengan persentase benar yang paling kecil yaitu 20%. Hasil posttest setelah edukasi terdapat peningkatan pengetahuan pada pertanyaan mengenai agen penyebab skabies sebesar 33,7%, predileksi skabies sebesar 30%, cara penularan skabies sebesar 30%, cara memakai obat salep skabies 50%, penanganan pencegahan penularan skabies skabies memiliki proporsi yang tetap sebelum dan sesudah edukasi.

Untuk Tingkat efikasi responden dapat dilihat dari tabel 4 dibawah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 4. Tingkat efikasi responden  tentang skabies

pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

 

 

Data dari tabel 4 di atas menunjukkan bahwa sebelum edukasi pada pengelola kelompok intervensi nilai pretest efikasi diri kategori tinggi adalah 66,7% sedangkan kategori rendah 33,3% Setelah edukasi proporsi pengelola yang memiliki kategori tinggi menurun menjadi 53,3 %, sedangkan kategori rendah meningkat menjadi 46,7%. Jawaban responden pengelola intervensi untuk tiap butir pertanyaan persepsi efikasi diri pada pretest dan posttest dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 5 Hasil pretest dan posttest variabel persepsi pada responden pengelola

kelompok intervensi

 

Dari tabel 5 di atas untuk jawaban tidak ada paling tinggi didapat pada pertanyaan tentang “seberapa besar pengaruh saudara untuk mempengaruhi ukuran kelas”, denagn jawaban tidak ada sebanyak 27% pada pretest diikuti dengan pertanyaan. “Seberapa banyak yang dapat Saudara lakukan untuk melibatkan kelompok masyarakat dalam bekerja sama dalam bidang kesehatan dengan pesantren? Yaitu 17% kemudian “Seberapa banyak yang dapat Saudara lakukan untuk membuat orang tua terlibat dalam kegiatan pesantren khususnya dalam kegiatan kesehatan?” yaitu 13 %, dan “Seberapa besar saudara dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat di pesantren?” juga 13%.

Jawaban ‘sangat banyak/besar” yang paling tinggi proporsinya adalah pada pertanyaan “Seberapa banyak yang dapat Saudara lakukan untuk membuat siswa tetap mengerjakan tugas yang menjaga kebersihan lingkungan? Dan pertanyaan tentang “Seberapa banyak yang dapat Saudara lakukan untuk membuat anak-anak mengikuti peraturan pesantren? yaitu setinggi 27%.

 

Pembahasan

   Skabies masih merupakan masalah kesehatan pada tempat dengan kepadatan tinggi seperti pesantren.. Skabies dapat menyebabkan gatal yang sangat hebat pada malam hari , menyebabkan gangguan tidur dan akhirnya kesulitan belajar pada santri yang menyebabkan penurunan prestasi. Skabies juga menimbulkan stigma dan rasa malu bagi penderitanya. Sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup santri.

Skabies yang tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi sistemik yang mengakibatkan superinfeksi dengan pathogen lain yang dapat menyebabkan kerusakan jantung dan ginjal.

Peran penegelola sebagai pengajar, pembimbing, panutan dan penyedia sarana prasarana dan kebijakan sangat sentral dalam upaya penanggulangan skabies.

Pengetahuan akan penyakit memiliki efek pada efikasi diri seseoraang dan tindakan yang perlu untuk upaya pencegahan dan pengendalian skabies. Sehingga untuk melakukan pengendalian skabies di pesantren pengelola harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit tersebut, dan memiliki efikasi yang baik untuk mendorong perubahan pengetahuan menjadid suatu tindakan yang nyata. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan mereka edukasi tentang penyakit tersebut. Materi Pelajaran harus mencakup pengetahuan umum tenang skabies seperti penyebab, gejala, predileksi, cara penularan, cara pencegahan , cara menggunakan obat topical yang benar dan cara pengendalian jika terdapat siswa yang mengalami penyakit skabies. Pendidikan diharapkan dapat meningkatkan efiksi diri responden dalam penanggulangan skabies.

 

Tingkat pengetahuan pengelola pesantren

Sebagaimana terlihat dalam tabel 2 diatas untuk kategori pengetahuan baik dari 0% sebelum edukasi menjadi 53,3% sesudah dilakukan program edukasi. Edukasi efektif meningkatkan pengetahuan pada pengelola pesantren. Hal ini sesuai dengan hasil dari penelitian sebelumnya bahwa edukasi efektif untuk meningkatkan pengetahuan tentang skabies (Rosandi & Sungkar, 2015; Sungkar, 2016). Namun peningkatan tersebut tidak terlalu tinggi, hal ini sejalan dengan penelitian dari Salthouse 1991, pada 627 orang dewasa berusia 20 sampai 84 tahun bahwa seiring dengan pertambahan usia akan menurunkan kemampuan belajar pada manusia. Orang dengan usia lebih tua memerlukan lebih banyak waktu belajar karena kesulitan mereka adalah mempelajari informasi secara memadai untuk. diingat. Setelah mereka mempelajari informasi dengan cukup baik, ingatan mereka tidak terganggu. Jadi mungkin waktu mengajar orang dewasa lebih lama dibandingkan dengan orang yang lebih muda sehingga mereka harus diberikan waktu mengajar yang lebih lama (Gini beqiri). Penurunan kemampuan belajar mulai terlihat pada rentang usia 45-49 tahun (Singg, 2015).

Pertanyaan dengan jawaban skor paling rendah pada pengelola adalah cara memakai salep skabies yang benar. hanya 20% responden yang menjawab benar. Salah satu sebab kegagalan dalam pengobatan skabies adalah penggunaan obat topikal yang tidak tepat atau tidak sesuai (K Karthikeyan). Edukasi tentang penggunaan obat topikal yang benar menjadi salah satu topik yang dipilih dalam rancangan edukasi pada penelitian ini.

 

Menurut L.Green (L green,2005) peningkatan pengetahuan saja tidak selalu merubah perilaku atau perubahan organisasi, namun pengetahuan diperlukan untuk terjadinya suatu tindakan secara sadar. Pengetahuan mempengaruhi keputusan organisasi melalui stake holder, namun strategi lain dan pertimbangan politis juga harus berperan serta untuk penerapan keputusan ini. Kebijakan atau program dari pusat dapat mendorong pengetahuan untuk diimplementasikan dalam kegiatan. Pengetahuan mungkin tidak serta merta merubah suatu perilaku, namun efek kumulatif dari peningkatan pengetahuan, kesadaran akan membentuk sistem kepercayaan, nilai, sikap dan efikasi diri dan akhirnya pada perubahan perilaku.

Untuk tingkat efikasi pengelola pada kelompok intervensi terdapat penurunan proporsi tingkat efikasi diri tinggi dari 66,7 % sebelum edukasi menjadi 53,3 %, namun penurunan ini tidak signifikan. Pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi memiliki proporsi yang sama sebagian besar memiliki tingkat efikasi tinggi yaitu 60%. Hal ini dapat diterangkan bahwa penurunan kemampuan belajar mulai terlihat pada peningkatan usia(singh-manoux,2012) dan sesuai hasil review dari S.Priyadharsan terhadap pengaruh usia pada efikasi diri pekerja, semakin tua terjadi penurunan efikasi diri.

Untuk pertanyaan efikasi pengelola terhadap siswa proporsi jawaban “lumayan banyak/besar dan sangat banyak/besar “mencapai lebih dari 60 %. Sebagian besar pengelola memiliki persepsi dapat mempengaruhi sikap siswa terhadap perilaku kesehatan. Untuk pertanyaan efikasi yang melibatkan objek di luar pesantren seperti orang tua dan masyarakat, proporsi jawaban negative yaitu “tidak ada” dan “sangat sedikit/kecil” mencapai lebih dari 30%. Sedangkan 30% responden pengelola menyatakan tidak punya peran atau memiliki sedikit peran menentukan kebijakan pesantren dan menentukan ukuran kelas.Hal ini dapat diterangkan bahwa sesuai dengan karakteristik responden pengelola bahwa proporsi responden yang terkait manajemen pondok pesantren hanya 10%.

Kesimpulan

Sebelum edukasi Tingkat pengetahuan pengelola terhadap skabies dalam katagori cukup 43,3 %, dan pengetahuan kurang 56,7% sesudah diberikan edukasi Tingkat pengetahuan pengelola dengan kategori baik menjadi 53,3%, cukup 30 % dan kurang menurun menjadi 16%. Edukasi secara bermakna meningkatkan pengetahuan pengelola pesantren tentang penyakit skabies.

Namun edukasi tidak mengubah tingkat efikasi pengelola perlu dilakukan edukasi kepada pengelola pesantren tentang penyakit skabies agar dapat melakukan pengendalian penyakit skabies secara komprehensif mulai dari penyediaan sarana, prasarana, kebijakan dan pengawasan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang kepatuhan prosedur pengobatan skabies pada santri agar menghindari kegagalan terapi, resistensi obat dan agar penanggulangan skabies di pesantren lebih efektif

 

BIBLIOGRAFI

 

Abraham, I., & Supriyati, Y. (2022). Desain kuasi eksperimen dalam pendidikan: Literatur review. Jurnal Ilmiah Mandala Education, 8(3).

Effendi, M. S. (2013). Desain eksperimental dalam penelitian pendidikan. Jurnal Perspektif Pendidikan, 6(1), 87–102.

Engelman, D., Yoshizumi, J., Hay, R. J., Osti, M., Micali, G., Norton, S., Walton, S., Boralevi, F., Bernigaud, C., & Bowen, A. C. (2020). The 2020 international alliance for the control of scabies consensus criteria for the diagnosis of scabies. British Journal of Dermatology, 183(5), 808–820.

Hadi Ismanto, S. E., & Pebruary, S. (2021). Aplikasi SPSS dan Eviews dalam analisis data penelitian. Deepublish.

Ismah, Z., Falefi, R., Ayukhaliza, D. A., Lestari, C., & Siregar, S. M. (2021). Identify Factors Associated with Scabies Aged 6-19 Years Old in The Boarding School. The Indonesian Journal of Public Health, 8(2).

Jetly, K., Ibrahim, F. E., Karim, I. K. A., Jeevanathan, C., MOKTI, K., Omar, A., Pang, N. T. P., Rahim, S., Jeffree, M. S., & Azhar, Z. I. (2022). Risk factors for scabies in school children: a systematic review. Вопросы Практической Педиатрии, 17(2), 117–125.

Karimkhani, C., Dellavalle, R. P., Coffeng, L. E., Flohr, C., Hay, R. J., Langan, S. M., Nsoesie, E. O., Ferrari, A. J., Erskine, H. E., & Silverberg, J. I. (2017). Global skin disease morbidity and mortality: an update from the global burden of disease study 2013. JAMA Dermatology, 153(5), 406–412.

Kivi, N. (2022). Solving a mighty mite problem. New Zealand Medical Student Journal, 34, 28–31.

Misganaw, B., Nigatu, S. G., Gebrie, G. N., & Kibret, A. A. (2022). Prevalence and determinants of scabies among school-age children in Central Armachiho district, Northwest, Ethiopia. Plos One, 17(6), e0269918.

Purnomo, M. H. (2017). Manajemen pendidikan pondok pesantren. Bildung Pustaka Utama.

Ramadhani, M. A. (2022). Pesantren: Dulu, Kini, dan Mendatang. Direktorat Pendidikan Diniyah Dan Pondok Pesantren. https://ditpdpontren ….

Rosandi, M. E. T., & Sungkar, S. (2015). The Knowledge on Scabies among Students in a Pesantren in East Jakarta, Before and After Health Education. EJournal Kedokteran Indonesia, 2(3), 60338.

Septuri, F. L., Silfeni, S., & Pasaribu, P. (2021). Tinjauan Potensi Wisata di Objek Wisata Tarusan Kamang Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam. Journal of Home Economics and Tourism, 15(2).

Singg, S. (2015). Scabies awareness and fear of scabies scale-10. J. Clin. Case Stu, 1(1).

Sungkar, S. (2016). Skabies: Etiologi, patogenesis, pengobatan, pemberantasan, dan pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 48–57.

Talaga-Ćwiertnia, K. (2021). Sarcoptes infestation. What is already known, and what is new about scabies at the beginning of the third decade of the 21st century? Pathogens, 10(7), 868.

Trasia, R. F. (2020). Scabies in Indonesia: Epidemiology and prevention. Insights in Public Health Journal, 1(2), 30–38.

Tresnasari, C., Respati, T., Maulida, M., Triyani, Y., Tejasari, M., Kharisma, Y., & Ismawati, I. (2019). Understanding scabies in religious boarding school (pesantren). Social and Humaniora Research Symposium (SoRes 2018), 520–522.

Yulfi, H., Zulkhair, M. F., & Yosi, A. (2022). Scabies infection among boarding school students in Medan, Indonesia: Epidemiology, risk factors, and recommended prevention. Tropical Parasitology, 12(1), 34.

 

 

                       

Copyright holder:

Nurhasanah, Lambok Siahaan, Rina Caromina Saragih (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: