Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
2, Februari 2024
Tantri
Odhi Pradana
Universitas
Indonesia, Indonesia
Abstrak
Berkembangnya layanan mobile broadband dan
layanan digital berdampak pada kebutuhan spektrum frekuensi yang makin besar
sehingga perlunya antisipasi dalam pengelolaan spektrum frekuensi sehingga
penggunaan frekuensi dapat optimal. Penggunaan spektrum yang cerdas dan efisien
sangat penting untuk memajukan peningkatan komunikasi dan pengembangan digital
dan untuk memaksimalkan kontribusi pembangunan digital terhadap pertumbuhan
ekonomi, namun keputusan pemerintah juga memiliki dampak bagi pembangunan
industry, ekonomi dan social. Harga spektrum frekuensi yang tinggi dalam jangka
panjang akan berdampak pada kinerja industry telekomunikasi yang rendah dan
akan memiliki implikasi pada kontribusi pertumbuhan PDB sector telekomunikasi
yang kecil. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dampak dari kebijakan
valuasi terhadap keberlanjutan industry telekomunikasi dan optimalisasi PNBP.
Metode penelitian yang digunakan adalah secara kualitatif deskriptif, teknik pengumpulan
data sekunder dilakukan studi literatur dan dokumentasi. Kesimpulan dari penelitian
ini adalah perlu menetukan kriteria yang optimal dalam factor pengurang yang ada pada kebijakan
BHP Frekuensi Radio untuk memberikan dampak sustainability bagi industry telekomunikasi
dan tetap dapat dapat memberikan kontribusi penerimaan negara yang optimal.
Kata
kunci: kebijakan BHP,
spektrum frekuensi radio, industri telekomunikasi
Abstract
The development of mobile
broadband services and digital services has an impact on the need for a larger
frequency spectrum so that anticipation is needed in frequency spectrum
management so that frequency use can be optimal. Smart and efficient use of
spectrum is essential to advance improved communication and digital development
and to maximize the contribution of digital development to economic growth, but
government decisions also have implications for industrial, economic and social
development. High frequency spectrum prices in the long run will have an impact
on the low performance of the telecommunications industry and will have
implications for the small contribution of GDP growth in the telecommunications
sector. The purpose of this paper is to determine the impact of valuation
policies on the sustainability of the telecommunications industry and
optimization of PNBP. The research method used is qualitatively descriptive,
secondary data collection techniques are carried out literature studies and
documentation. The conclusion of this study is that it is necessary to
determine the optimal criteria in the reducing factors in the BHP Radio
Frequency policy to have a sustainability impact on the telecommunications
industry and still be able to contribute to optimal state revenue.
Keywords: BHP policy, radio frequency spectrum,
telecommunications industry
Pendahuluan
Spektrum frekuensi radio merupakan salah satu sumber daya alam yang
dimiliki oleh Indonesia, sifatnya sangat terbatas dan berperan sebagai media
transmisi bagi radio tanpa kabel (wireless technology) (Sanjaya & Aziz, 2011). Karena memiliki nilai strategis dan komersial pada penyelenggaraannya,
pemanfaatan sumber daya ini perlu diatur melalui regulasi (Coleago Consulting, 2019).
Regulasi yang menjadi pilar utama dan sangat penting di era digital saat
ini adalah yang menyangkut jaringan pita lebar (mobile broadband). Dengan regulasi yang tepat akan berdampak pada
suksesnya penggelaran layanan seluler mobile broadband yang manfaatnya
akan dirasakan oleh masyarakat, karena penetrasi jaringan seluler mampu
menjangkau daerah-daerah yang memiliki keterbatasan infrastruktur jaringan fixed-line
(Ditisrama et al., 2022). Hal tersebut mendukung program pemerintah dalam melakukan pemerataan
infrastruktur digital dan akselerasi transformasi digital yang sejalan dengan
pencapaian visi Indonesia EMAS 2045.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika berkepentingan
untuk mengalokasikan rentang pita frekuensi baru untuk mendukung penggelaran
layanan mobile broadband, terutama demi kesuksesan layanan komunikasi
berbasis teknologi 5G. Berkembangnya layanan mobile broadband dan
layanan digital berdampak pada kebutuhan spektrum frekuensi radio yang semakin
besar sehingga perlu diantisipasi dengan melakukan perencanaan dan pengelolaan
spektrum frekuensi radio yang baik sehingga sumber daya frekuensi yang sifatnya
terbatas dapat digunakan secara efektif (Oughton et al., 2022).
Tambahan spektrum frekuensi radio akan meningkatkan kapasitas, kualitas
layanan, serta area jangkauan atau jangkauan (coverage) pada
penyelenggaraan jaringan bergerak seluler atau operator seluler. Tambahan
spektrum frekuensi juga mendukung dalam pengimplementasian teknologi baru guna
mendukung transformasi digital dimana meningkatkan peluang usaha dan
pertumbuhan ekonomi (Zehle, 2020).
Seiring dengan berkembangnya teknologi digital dan layanan
telekomunikasi serta semakin bergantungnya masyarakat pada manfaat
telekomunikasi telah mendorong peningkatan penggunaan layanan telekomunikasi
untuk berbagai kegiatan baik individu maupun kelompok, dan dalam berbagai
sektor seperti keuangan, perdagangan, transportasi, pendidikan, pengadaan,
retail dan lainnya termasuk penggunaan layanan telekomunikasi untuk layanan
pemerintahan baik layanan public umum ataupun kebencanaan (Prasetya, 2018). Munculnya peran industri telekomunikasi dalam berbagai bidang baik
ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai bidang lainnya
telah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Perkembangan industri telekomunikasi juga menjadi faktor enabler dalam
menciptakan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, pemberdayaan di berbagai
bidang, serta peningkatan kualitas dan jangkauan layanan publik seperti
pendidikan dan kesehatan (Fonna, 2019). Dalam konteks transformasi digital, sektor telekomunikasi menjadi
tulang punggung.
Pada negara berkembang terutama Indonesia, industri telekomunikasi
memiliki peran yang cukup signifikan dalam mendorong perkembangan layanan
berbasis digital di sector ekonomi. Teknologi mobile broadband memiliki
pengaruh yang lebih signifikan untuk pembangunan ekonomi dibandingkan dengan
teknologi fixed broadband (Pradana, 2021). Peningkatan penetrasi mobile broadband di negara berkembang
memiliki dampak positif terhadap PDB. Menurut Data BPS pada tahun 2021
kontribusi sector TIK (atas dasar harga berlaku) terhadap PDB Indonesia sebesar
4,41%, dan 2022 sebesar 4,15%, hal tersebut menunjukan bahwa sector TIK
memiliki peran siginifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Namun, terdapat penurunan persentase sector TIK terhadap PDB dari tahun 2020
yaitu 4,51.
Studi yang dilakukan oleh ITU (2020) menjelaskan bahwa mobile broadband
memiliki peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.
Peningkatan penetrasi mobile broadband berdampak positif pada pertumbuhan
ekonomi. Peningkatan 10% penetrasi broadband seluler akan berdampak pada
peningkatan GDP sebesar 2,44% pada negara-negara berpenghasilan rendah hingga
menengah di Asia Pasifik, termasuk Indonesia (Safril et al., 2016).
Tambahan spektrum frekuensi radio dapat membantu penyelenggaran jaringan
bergerak seluler atau operator seluler dalam meningkatkan kapasitas, kualitas
layanan, serta area jangkauan atau coverage layanan (Cahyanto & Hilal, 2013). Tambahan spektrum frekuensi juga mendukung dalam pengimplementasian
teknologi baru guna mendukung transformasi digital dimana sekaligus
meningkatkan peluang usaha dan pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan tambahan pita
frekuensi radio untuk jaringan akses khususnya mobile broadband menjadi
hal yang penting untuk dukungan peningkatan kualitas layanan TIK ke masyarakat.
Perkembangan ini diprediksi akan meningkatkan konsumsi trafik data per
mobile subscriber dan juga peningkatan kebutuhan kapasitas jaringan lebih
besar, sehingga diperlukan pembangunan infrastruktur yang memerlukan investasi
yang besar (Hendraningrat & Setiawan, 2017).
Kebijakan Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio diatur dalam PP
No. 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika dianggap perlu
penyesuaian atau evaluasi kembali seiring dengan pertumbuhan layanan
telekomunikasi berbasis wireless yang semakin banyak (Hikmat et al., 2019). Hal tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa pihak yang merasakan
adanya ketidakseimbangan antara tarif BHP Frekuensi suatu pengguna teknologi
dengan pengguna teknologi lainnya, padahal sumber daya radio yang digunakan
adalah sumber daya yang sama. Tren pertumbuhan beban BHP Frekuensi dengan
pendapatan operator seluler dapat dilihat melalui tabel berikut:
Gambar 1. Perbandingan Beban
BHP Frekuensi Radio dan Pendapatan Operator Seluler
Sumber: Laporan Keuangan Operator Seluler, diolah oleh Direktorat Penataan
Tabel tersebut menjelaskan beban BHP frekuensi mengalami pertumbuhan
dengan CAGR sebesar 12,1% lebih tinggi dibanding pertumbuhan pendapatan operator
seluler dengan CAGR sebesar 5,69%. Dalam kondisi saat ini muncul scissors
effect yaitu dimana pendapatan dan beban bergerak kearah berbeda, dalam hal
ini pendapatan operator seluler cenderung stagnan namun beban BHP Frekuensi
Radio terus meningkat. Dalam Jangka panjang ini sangat berbahaya karena
kemampuan pendapatan untuk membayar beban BHP frekuensi akan semakin kecil. Menurut
Coleago Consulting (2019), komposisi biaya BHP frekuensi terhadap revenue
yang akan menjadikan industri tumbuh berkelanjutan (sustainable) adalah
di bawah 5%, sedangkan komposisi antara 5% – 10 % masih dapat mendorong keberlanjutan
industri (industry may be sustainable).
Kontribusi industri TIK secara
langsung ke pendapatan negara berbentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
yang dipungut oleh Kementerian Kominfo. PNBP yang dipungut oleh Kementerian
Kominfo cenderung memiliki peningkatan dari tahun ke tahun dengan nilai
realisasi yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Mayoritas PNBP tersebut diperoleh dari penyelenggara telekomunikasi atau
operator seluler yang saat ini berpotensi terbebani dengan BHP Frekeusni Radio
tersebut.
Biaya spektrum yang lebih tinggi mempengaruhi kondisi finansial
penyelenggara jaringan bergerak seluler. Semakin tinggi biaya spektrum maka
akan tingkat kemampuan berinvestasi dalam infrastruktur dan inovasi teknologi
akan makin rendah dan mengganggu keberlanjutan serta kesehatan industri
telekomunikasi (Savitri, 2019).
Dalam rangka optimasi kontribusi industry telekomunikasi terhadap
pertumbuhan ekonomi, perlu suatu kebijakan spektrum frekuensi radio yang tepat,
karena keputusan yang diambil oleh pemerintah akan memiliki konsekuensi dan
dampak signifikan terhadap industry, ekonomi dan social.
Berdasarkan poin permasalahan tersebut menjadi latar belakang peneliti
untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan BHP Frekuensi Radio dalam upaya
menjaga sustainability kondisi industry telekmounikasi dan optimalnya
PNBP sector TIK.
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu
rangkaian penelitian (rencana dan langkah-langkah) berupa asumsi-asumsi luas
hingga metode yang lebih spesifik dalam pengumpulan, analisis, dan pandangan
terhadap data (Creswell
& Creswell, 2017). Metode penelitian yang digunakan
adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang mencerminkan kondisi riil
mengenai objek yang diteliti, data yang dikumpulkan berupa naskah, wawancara,
catatan lapangan dan dokumen lain.
Pendekatan
penelitian secara kualitatif dimana metode-metode untuk mencari dan memahami makna
yang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan pada sekelompok orang atau
individu tertentu (Creswell
& Creswell, 2017).
Teknik
pengumpulan data sekunder dilakukan studi literatur dan dokumentasi dari
peraturan perundangan, jurnal terkait penyelenggaraan telekomunikasi dan PNBP
sector telekomunikasi, LAKIP, data BPS, laporan tahunan operator seluler dan informasi
yang diperoleh dari internet.
Hasil dan Pembahasan
TIK dan Pertumbuhan GDP Indonesia
Sektor telekomunikasi memiliki peran sangat strategis dalam pembangunan, perekonomian, pertahanan nasional, dan sudah menjadi kebutuhan dasar publik, seperti halnya listrik, air, dan perumahan. Perkembangan industri telekomunikasi juga menjadi faktor enabler dalam menciptakan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, pemberdayaan di berbagai bidang, serta peningkatan kualitas dan jangkauan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam konteks transformasi digital, sektor telekomunikasi menjadi tulang punggung.
Meskipun menjadi sektor yang semakin penting, berbagai persoalan tata kelola masih melingkupi industri telekomunikasi. Selain masalah ketergantungan teknologi ke negara lain, investasi, dan kompetisi yang semakin kuat, hubungan antara industri telekomunikasi (yang dianggap mandiri) dengan negara juga masih banyak persoalan. Negara cenderung melihat sektor ini sebagai ranah komersial dan private, sehingga lebih dilihat sebagai potensi sumber pendapatan negara. Hal ini tentunya tidak salah, namun mengingat kebutuhan akses publik yang semakin luas dan penting, maka perlu ada pengaturan dan fasilitasi yang lebih proporsional dan fair, khususnya dalam kaitannya dengan beban yang harus dikontribusikan sektor ini kepada negara.
Dalam kaitannya dengan perkembangan sektor ekonomi , industri telekomunikasi memiliki peran penting dalam peningkatan ekonomi digital, peningkatan pertumbuhan GDP, serta peningkatan esifiensi dan produktivitas di berbagai sektor ekonomi, baik di negara maju maupun berkembang
Dalam perkembangan ekonomi Indonesia, salah satu peran penting industri telekomunikasi adalah mendorong peningkatan layanan digital di berbagai sektor ekonomi. Dalam laporan e- Conomy SEA 2022 yang dikeluarkan Google bersama Temasek dan Bain & Co., dijelaskan pertumbuhan besar ekonomi digital di Asia Tenggara di berbagai sektor, diantaranya: e- commerce, transportasi dan pesan antar makanan, media digital, layanan perjalanan online, layanan keuangan digital, dan pendanaan swasta. Penggunaan TIK juga untuk melakukan tranformasi pelayanan publik, serta dalam tata kelola kebencanaan dan situasi gawat darurat. Salah satu aspek penting infrastruktur digital untuk menopang pembangunan adalah perluasan broadband.
Studi yang dilakukan oleh ITU (2020) menjelaskan bahwa mobile broadband memiliki peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Peningkatan penetrasi mobile broadband berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Peningkatan 10% penetrasi broadband seluler akan berdampak pada peningkatan GDP sebesar 2,44% pada negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah di Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Secara nasional, kontribusi sektor TIK terhadap GDP nasional terlihat adanya peningkatan setiap tahunnya (mulai periode 2015 s.d. 2022), sebagaimana terlihat dalam grafik berikut:
Gambar 2. Kontribusi Sektor
TIK Terhadap GDP Nasional
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa kontribusi sektor TIK terhadap GDP nasional pada tahun 2015 sebesar 4,7%, meningkat setiap tahun, dan mencapai 6,41% pada tahun 2022. Ini menunjukkan bahwa sektor TIK sendiri memberikan kontribusi terhadap peningkatan GDP nasional.
Kontribusi Industri Telekomunikasi Terhadap Penerimaan
Bukan Pajak
Kontribusi industri TIK secara langsung ke pendapatan negara berbentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut oleh Kementerian Kominfo. PNBP yang dipungut oleh Kementerian Kominfo cenderung memiliki peningkatan dari tahun ke tahun dengan nilai realisasi yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Dalam periode 2015-2021 realisasi PNBP Kementerian Kominfo mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,52% per tahun. Sebagai gambaran pada tahun 2021 Kementerian Kominfo menargetkan PNBP sebesar Rp. 23,91 triliun sedangkan realisasinya sebesar Rp. 25,45 triliun.
Gambar 3. Target dan Realisasi Penerimaan PNBP
Kemkominfo Tahun 2015-2021
Kementerian Kominfo mengupayakan ekstensifikasi dan intensifikasi PNBP, khususnya melalui lelang spektrum frekuensi radio pada pita 2,3 GHz yang menghasilkan upfront fee sebanyak dua kali dan annual fee sebanyak satu kali. Dengan upaya tersebut, Kementerian Kominfo berhasil memperoleh pencapaian PNBP sebesar Rp. 25,45 triliun, di atas target yang ditentukan
Perkembangan kinerja PNBP sektor telekomunikasi ini antara lain dipengaruhi oleh pandangan atau persepsi dari perusahaan terkait kewajiban membayar PNBP. Penelitian yang dilakukan oleh PKAPBN-BKF tahun 2019 menunjukkan persepsi wajib bayar terhadap BHP Telekomunikasi tergolong positif. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa para wajib bayar masih bersedia membayar dengan besaran tarif sebesar 0,576% untuk BHP Telekomunikasi (0,076% lebih tinggi dari tarif yang berlaku).
Dalam melakukan analisis terhadap kebijakan BHP Frekuensi Radio, penulis menggunakan teori evaluasi kebijakan dari Stufflebeam dan Corin (2014), dimana Model evaluasi kebijakan yang dilakukan adalah Context, Input, Process and Product atau yang dikenal CIPP untuk mendukung pengambilan keputusan dan akuntabilitas dari suatu program. Adapun model evaluasi kebijakan dimaksud dapat dijabarkan sebagai berikut:
Evaluasi Context
PNBP merupakan salah satu sumber pokok pendapatan negara, selain pajak, hibah, dan pendapatan lainnya. Berbeda dengan pajak yang dikenakan kepada siapapun yang memenuhi unsur wajib pajak, PNBP hanya dikenakan kepada sektor tertentu saja, khususnya yang memanfaatkan sumber kekayaan negara atau layanan yang diberikan oleh pemerintah. Layanan jenis ini dianggap tidak masuk dalam public goods, karena memang hanya dibutuhkan oleh sektor tertentu saja. Sifat dasar PNBP adalah imbalan atas pemanfaatan sumber daya tertentu atau pelayanan langsung yang diberikan oleh pemerintah kepada para pembayarnya. Sejarah pungutan PNBP bermula dari kewenangan revenue dominial, di mana negara melalui pemerintah berhak melakukan pungutan atas pemanfaatan keyaaan atau suatu pelayanan yang diberikan. Awalnya PNBP dikenal dengan administrative tax dan memiliki dua fungsi sekaligus, budgetary dan regulatory.
Dalam fungsi budgetary, PNBP bermanfaat menyediakan sumber anggaran dalam pelaksanaan pemerintahan. Pada sektor telekomunikasi, penerapan PNBP telah secara signifikan meningkatkan pendapatan negara. Dalam kaitannya dengan fungsi regulatory, PNBP menjadi instrumen strategis dalam pengaturan, penentuan arah, maupun penetapan kebijakan pemerintah pusat di berbagai sektor. Melalui fungsi ini, pemerintah melakukan pengaturan pemanfaatan aset negara agar bisa dikelola untuk kemajuan bangsa dan dijaga kelestariannya bagi generasi mendatang. Di sisi lain, keberlanjutan layanan pemerintah juga membutuhkan anggaran, sehingga penerima layanan membayar beban atas jasa yang diterimanya.
Dalam fungsi budgetary, PNBP bermanfaat menyediakan sumber anggaran dalam pelaksanaan pemerintahan. Pada sektor telekomunikasi, penerapan PNBP telah secara signifikan meningkatkan pendapatan negara. Dalam kaitannya dengan fungsi regulatory, PNBP menjadi instrumen strategis dalam pengaturan, penentuan arah, maupun penetapan kebijakan pemerintah pusat di berbagai sektor. Melalui fungsi ini, pemerintah melakukan pengaturan pemanfaatan aset negara agar bisa dikelola untuk kemajuan bangsa dan dijaga kelestariannya bagi generasi mendatang. Di sisi lain, keberlanjutan layanan pemerintah juga membutuhkan anggaran, sehingga penerima layanan membayar beban atas jasa yang diterimanya.
Di sektor telekomunikasi, regulasi PNBP diatur dalam PP No. 43 Tahun 2023 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika. PNBP sektor ini meliputi penerimaan yang berasal dari:
a. Sertifikasi operator radio;
b. Penyelenggaraan amatir radio dan komunikasi radio antar penduduk;
c. Sertifikasi alat dan perangkat telekomunikasi;
d. Kalibrasi alat ukur;
e. Sertifikasi penetapan balai uji alat dan perangkat telekomunikasi;
f. Penyelenggaraan pos;
g. Penyelenggaraan telekomunikasi;
h. Izin penyelenggaraan penyiaran;
i. Pengelolaan nama domain Indonesia;
j. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
k. Penyelenggaraan pendidikan sekolah tinggi multimedia;
l. Penggunaan sarana dan prasarana;
m. Penggunaan spektrum frekuensi radio, yang mencakup; 1) biaya Hak Penggunaan Frekuensi Radio untuk Izin Stasiun Radio (BHP ISR) yang dihitung menggunakan formula; dan 2) biaya Hak Penggunaan Frekuensi radio untuk Izin Pita Frekuensi Radio (BHP IPFR) yang dihitung dengan menggunakan mekanisme seleksi atau formula.
Diantara potensi di atas, PNBP terbesar adalah BHP IPFR dan BHP ISR. Penerimaan PNBP spektrum diprediksi akan terus bertambah, seiring dengan peningkatan kebutuhan alokasi spektrum frekuensi radio oleh penyelenggara telekomunikasi.
Berdasarkan data dari laporan keuangan operator seluler; Telkomsel, Indosat, XL dan Smart, diperoleh gambaran bahwa beban BHP frekuensi cenderung meningkat setiap tahunnya seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4. Beban BHP Frekuensi Terhadap Revenue Operator Seluler
Sumber:
Laporan Keuangan Operator Seluler, diolah oleh Direktorat Penataan
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa komposisi beban BHP frekuensi meningkat dari 6,71% (2013) menjadi 11,4% (2022) atau meningkat dengan CAGR sebesar 6,07%. Jika dilihat dari benchmark, BHP frekuensi sebesar 11,4%, dianggap tidak mendukung bagi keberlanjutan industry, karena beberapa hal sebagai berikut:
1. Kebutuhan akan tambahan alokasi spektrum frekuensi radio yang semakin meningkat akibat potensi trafik yang besar, yang berdampak pada meningkatnya beban BHP frekuensi operator.
2. Pertumbuhan trafik yang tinggi tidak memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan pendapatan, sehingga pertumbuhan biaya lebih besar dari pertumbuhan pendapatan.
Hal ini penting menjadi perhatian, mengingat pertumbuhan trafik yang tinggi akan berdampak pada peningkatan kebutuhan kapasitas. Tambahan investasi untuk peningkatan infrastruktur, sangat diperlukan. Untuk pengembangan infrastruktur, tentunya diperlukan tambahan investasi untuk penggelaran jaringan baru, baik untuk peningkatan coverage, kapasitas dan kualitas layanan. Untuk penggelaran jaringan 5G misalnya, perlu rencana alokasi spektrum frekuensi radio pada band yang lebih tinggi, yang memiliki kapasitas besar tetapi coverage yang kecil. Untuk dapat menjaga coverage layanan eksisting, diperlukan dua atau lebih jaringan baru dan ini akan berdampak pada peningkatan investasi.
PNBP pada Kementerian Kominfo mengalami peningkatan yang konsisten dari tahun ke tahun, dan nilai realisasinya selalu melebihi target yang ditetapkan. Struktur wajib bayar PNBP Kemenkominfo menarik untuk dilihat, karena lebih dari 80% total PNBP berasal dari empat perusahaan telekomunikasi utama, yaitu Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Telkom. Namun, peningkatan PNBP yang berarti menjadi beban penyelenggara telekomunikasi tersebut perlu dilihat secara lebih hati-hati, mengingat tidak sepenuhnya mencerminkan pertumbuhan positif industri dan telah melahirkan pertanyaan terkait keberlanjutan dan inovasi sektor telekomunikasi.
Evaluasi Input
Seiring dengan perkembangan teknologi mobile broadband yang memiliki kapasitas lebih besar, menghadirkan peluang inovasi berbagai layanan baru yang berdampak pada peningkatan konsumsi trafik data. Secara umum gambaran dari rasio net profit terhadap beban BHP frekuensi dijabarkan sebagai berikut:
Gambar 5. Rasio Net Profit Operator Seluler terhadap Beban BHP
Frekuensi
Sumber:
Laporan Keuangan Operator Seluler, diolah oleh Direktorat Penataan
Jika dilihat dari besarnya kemampuan net profit untuk total industri terlihat bahwa rasio net profit terhadap beban BHP frekuensi cenderung menurun dari 1,89 kali pada tahun 2013 menjadi 1,34 kali pada tahun 2022 atau menurun dengan CAGR sebesar -3,74% setiap tahunnya.
Jika mengacu pada rasio tahun 2022 dimana hanya sebesar 1,34 kali maka apabila ada peningkatan beban BHP frekuensi karena kenaikan tarif berdasarkan formula atau karena ada tambahan alokasi frekuensi baru, misalnya diasumsikan ada kenaikan sebesar 50% dari beban BHP eksisting, maka akan berdampak pada kinerja net profit industry menjadi rugi.Jika hal ini terjadi dan dibiarkan dalam jangka panjang akan berdampak pada adanya kecenderungan operator telekomunikasi untuk melakukan merger dan akusisi sehingga akan berdampak pada keberlanjutan industri kedepan yang tidak kompetitif dan layanan ke masyarakat menjadi terhambat atau harga ke pelanggan di naikan.
Hal ini penting menjadi perhatian, mengingat semakin tingginya trafik akan berdampak pada peningkatan kebutuhan kapasitas. Tambahan investasi untuk peningkatan infrastruktur, sangat diperlukan. Untuk pengembangan infrastruktur, tentunya diperlukan tambahan investasi untuk penggelaran jaringan baru, baik untuk peningkatan coverage, kapasitas dan kualitas layanan.
Di luar kewajiban PNBP, beban yang harus ditanggung oleh sektor ini juga mencakup biaya perijinan dan biaya lain yang masuk dalam kategori regulatory cost. Dalam perhitungan ekonomi telekomunikasi, regulatory cost dipandang telah mencapai titik maksimal yang bisa menjadi ancaman bagi keberlanjutan bisnis. Kebutuhan untuk menyeimbangkan antara kewajiban regulatory cost (khususnya PNBP) dengan menjaga kesehatan dan keberlanjutan bisnis industri telekomunikasi mutlak diperlukan. Dari sisi pemerintah, ekstensifikasi PNBP merupakan upaya untuk memenuhi target pendapatan. Target PNBP, khususnya sektor telekomunikasi yang cenderung naik dari tahun ke tahun menjadi beban yang tidak ringan bagi penyelenggara telekomunikasi. Situasi ini berakibat pada melambatnya pertumbuhan bisnis dan semakin beratnya investasi baru yang adaptif dengan perkembangan.
Evaluasi Proses
Adanya perbaikan kebijakan PNBP bidang telekomunikasi yang dapat mendorong industri berkelanjutan dan beradilan sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan adanya gap; di satu sisi industri telekomunikasi memiliki peran sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, namun di sisi lain menanggung beban PNBP dan biaya akibat regulasi (regulatory cost) yang cenderung meningkat, dan pada akhirnya membebani keuangan perusahaan. Aspek-aspek berikut menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan industri telekomunikasi di Indonesia.
Regulatory costs merujuk pada biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan dalam rangka mematuhi peraturan dan kebijakan yang diberlakukan oleh KL terkait dalam penerbitan ijin dan operasi usaha perusahaan telekomunikasi. Biaya-biaya ini meliputi pendaftaran, lisensi, pengawasan, pematuhan aturan keamanan dan privasi data, serta persyaratan administratif lainnya. Regulatory costs memiliki dampak signifikan terhadap beban operasional dan keuangan perusahaan.
Dalam kaitannya dengan lelang frekuensi, fragmentasi kebijakan ditunjukkan dengan adanya proses penentuan besaran harga referensi dan PNBP yang dikenakan kepada operator. Untuk harga referensi selain ditentukan oleh Kominfo, rekomendasi berasal dari BPKP. Sementara terkait dengan besaran PNBP, Kominfo harus berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Keuangan, khususnya terkait dengan target-target PNBP. Selain PNBP harga frekuensi, penyelenggaran komunikasi juga harus membayar USO, yang pemanfaatannya dilakukan oleh Bakti Kominfo dalam rangka pembangunan BTS dan infrastruktur lainnya untuk menjangkau wilayah-wilayah 3T. Adanya perubahan target dan berbagai bentuk pungutan PNBP melahirkan situasi yang tidak sepenuhnya mendukung kondisi ekosistem usaha.
Target kenaikan PNBP oleh pemerintah selalu menjadi justifikasi kenaikan PNBP yang harus ditanggung operator telekomunikasi. Dalam prosesnya, tidak ada ruang bagi operator untuk melakukan negosiasi terhadap besaran formula yang ditetapkan. Ketika berupaya untuk menyampaikan keberatan, respons secara umum adalah bahwa ini merupakan kebijakan Kementerian sectoral atau kementerian lain yang terkait.
Evaluasi Produk
Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa “Dalam kondisi tertentu, tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa biaya hak penggunaaan spektrum frekuensi radio untuk izin pita frekuensi radio yang dihitung berdasarkan seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat dikenakan faktor pengurang”.
PP Nomor 43 Tahun 2023 tersebut dilakukan dalam rangka menyesuaikan jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatka sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2015 dimana dirasakan oleh operator terdapat formula perhitungan yang menyebabkan kenaikan PNBP berupa beban BHP Frekuensi Radio yang semakin tinggi. Operator khawatir jika cost semakin besar sedangkan pendapatan menurun akan berdampak buruk pada keberlanjutan kesehatan perusahaan.
Perlu dipertimbangkan menghilangkan Regulatory Cost dengan memastikan pemungutan biaya PNBP yang tidak berlapis dan berulang di setiap tingkat otoritas. Untuk mengatasi beban PNBP yang berlapis-lapis ini, diperlukan suatu regulasi yang mengintegrasikan peraturan pemerintah pusat dan daerah terkait besaran PNBP yang harus dibayarkan perusahaan dalam satu sistem baku. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi peluang kesewenang-wenangan pengenaan biaya oleh instansi tertentu serta memberi kemudahan bagi Kominfo untuk mengontrol besaran PNBP yang ideal bagi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, peran kunci
industri telekomunikasi dalam pertumbuhan ekonomi, integrasi nasional,
pertahanan, dan pelayanan publik tidak dapat disangkal. Namun, saat ini
industri telekomunikasi menghadapi sejumlah tantangan terutama terkait
kewajiban PNBP dan biaya regulasi yang berpotensi mengganggu keberlanjutan
industri. Pertumbuhan pendapatan yang stagnan dan peningkatan biaya operasi
menjadi permasalahan utama yang dihadapi, mempengaruhi cashflow operasi yang
rendah. Untuk mengatasi hal ini, perbaikan kebijakan PNBP yang seimbang antara
target PNBP Kominfo dan kesehatan industri telekomunikasi menjadi krusial.
Transparansi dalam tata kelola kebijakan PNBP perlu ditingkatkan untuk
membangun kepercayaan pelaku industri telekomunikasi. Kementerian Komunikasi
dan Informatika harus memainkan peran penting dalam melindungi keberlanjutan
industri dengan menjadi pusat harmonisasi PNBP yang terintegrasi dan memastikan
implementasi regulasi antar lembaga berjalan lancar. Pentingnya menetapkan
kriteria optimal pada faktor pengurang kebijakan BHP Frekuensi Radio agar
industri telekomunikasi dapat tumbuh secara sehat, memberikan layanan yang terjangkau,
tetapi tetap memberikan kontribusi optimal pada penerimaan negara.
BIBLIOGRAFI
Cahyanto, D., & Hilal, H. (2013). Analisa Potensi
Keunggulan Kompetitif Re-farming Frekuensi 900 MHz. InComTech: Jurnal Telekomunikasi
Dan Komputer, 4(1), 69–98.
Coleago Consulting. (2019). Sustainable spectrum pricing:
Fostering the deployment of 5G through appropriate spectrum pricing.
https://www.coleago.com/app/uploads/2020/09/Sustainable-Spectrum-Pricing-Coleago-June-2019.pdf
Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research
design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage
publications.
Ditisrama, T. D., Sinaulan, R. L., & Ismail, I. I.
(2022). Fungsi Budgetary dan Regulatory Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di
Indonesia. Syntax Idea, 4(6), 1045–1055.
Fonna, N. (2019). Pengembangan revolusi industri 4.0 dalam
berbagai bidang. Guepedia.
Hendraningrat, D. K., & Setiawan, D. (2017). Roadmap
Broadband Indonesia Menuju Era Teknologi 5G. Elex Media Komputindo.
Hikmat, M., Wahyudin, A., Hidayat, A. A., Sarbini, A.,
Budiana, M., & Kurnia, S. S. (2019). Aktualisasi kearifan lokal dalam
digitalisasi penyiaran Indonesia. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID)
Provinsi Jawa Barat.
Kementerian
Sekretaiat Negara. (2023, September 18). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43
Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berlaku pada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Retrieved from
Database Peraturan BPK: https://peraturan.bpk.go.id/Details/264789/pp-no-43-tahun-2023
Kementerian
Hukum dan HAM. (2015, November 2). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun
2015 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Kementerian Komunikasi Dan Informatika. Retrieved from
Database Peraturan BPK:
https://peraturan.bpk.go.id/Details/5658/pp-no-80-tahun-2015
Oughton, E. J., Comini, N., Foster, V., & Hall, J. W.
(2022). Policy choices can help keep 4G and 5G universal broadband affordable. Technological
Forecasting and Social Change, 176, 121409.
Pradana, R. S. (2021). Pengaruh akses teknologi informasi dan
komunikasi terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi banten tahun 2015-2019. Jurnal
Kebijakan Pembangunan Daerah, 5(1), 9–23.
Prasetya, A. B. (2018). Pengembangan Komunikasi Publik dan
pariwisata berbasis internet pada website dinas pariwisata pemerintah kota
malang. WACANA: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 17(2), 135–142.
Safril, A., Wardahni, A., Ponsela, D. F., & Tsauro, M. A.
(2016). Problem dasar kesenjangan digital di Asia Tenggara. Global &
Strategis, X, 208, 2016–2204.
Sanjaya, I., & Aziz, A. (2011). Jaringan Radio Kognitif
Sebagai Solusi Optimalisasi Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Buletin Pos
Dan Telekomunikasi, 9(1), 93–112.
Savitri, A. (2019). Revolusi industri 4.0: mengubah
tantangan menjadi peluang di era disrupsi 4.0. Penerbit Genesis.
Stufflebeam, D. L., & Coryn, C. L. S. (2014). Evaluation
theory, models, and applications (Vol. 50). John Wiley & Sons.
Zehle, S. (2020). Sustainable spectrum pricing. Fostering
the deployment of 5G through appropriate spectrum pricing.
Copyright
holder: Tantri Odhi Pradana (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |