Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 2, Februari 2024

 

 

PRINSIP KEHATI-HATIAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT TERKAIT PEMBERHENTIAN SEMENTARA ANGGOTA DIREKSI YANG TIDAK SAH PT DBI (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 616 K/PK/PDT/2023)

 

Andira Permata Sari

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Dewan komisaris suatu perseroan terbatas diberikan hak oleh UU Perseroan Terbatas untuk memberhentikan sementara anggota direksi perseroan. Pemberhentian tersebut dilakukan secara tertulis kepada direksi yang bersangkutan dengan menuliskan alasan pemberhentian. Namun sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung No. 616 K/PK/Pdt/2023, prosedur pemberhentian sementara anggota direksi perseroan dilakukan tanpa adanya alasan pemberhentian dan surat keputusan pemberhentian tidak lengkap ditandatangani oleh 2 (dua) dewan komisaris. Selain itu dalam putusan a quo, notaris membuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat atas RUPS yang tidak sah, sehingga akta tersebut dibatalkan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keabsahan pemberhentian sementara anggota direksi perseroan oleh dewan komisaris dan prinsip kehati-hatian notaris dalam pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat berdasarkan notulensi rapat bawah tangan. Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode yuridis normatif yang bersifat preskriptif analitis, dengan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberhentian sementara anggota direksi perseroan oleh dewan komisaris yang tidak memenuhi syarat mengakibatkan pemberhentian sementara dan seluruh rangkaian RUPS setelahnya tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu penerapan prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta menjadi penting.

Kata Kunci: Pemberhentian Sementara Direksi, RUPS, Akta PKR, Prinsip Kehati-hatian

 

Abstract

The board of commissioners of a limited liability company is given the right by UU Perseroan Terbatas to temporarily dismiss the company's directors. The dismissal is carried out in writing to the board of directors stating the reasons for dismissal. However, as in Supreme Court Decision No. 616 K/PK/Pdt/2023, the procedure for temporary dismissal of company directors is carried out without any reason. Apart from that, in court deciosion, the notary made a Akta Pernyataan Keputusan Rapat regarding the invalid General Meeting of Shareholders, so the deed was cancelled. This research aims to analyze first¸ the legality of temporary dismissal of company directors by the board of commissioners and secondly the precautionary principle by notary before making deed. This research conducted based on normative juridical methods which are prescriptive analytical, using secondary data. The research results show that the temporary dismissal of the company's directors by the board of commissioners which did not fulfill the resulted in the temporary dismissal and the entire series of subsequent GMS did not have any legal force. Therefore, the application of notary's precautionary principle in deed is needed.

Keywords: Temporary Dismissal of Directors, GMS, PKR Deed, Precautionary Principle

 

Pendahuluan

Notaris dalam membuat Akta Pernyataan Keputsan RUPS (“Akta PKR”) harus menerapkan prinsip kehati-hatian terutama jika isi keputusan rapat merupakan pemberhentian anggota direksi suatu perseroan. Penerapan prinsip tersebut menjadi penting karena dalam membuat Akta PKR, notaris tidak secara langsung menyaksikan peristiwa hukum yang terjadi, melainkan membuat akta berdasarkan risalah RUPS dibawah tangan.

Suatu badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas seringkali disebut sebagai artificial person yang diartikan sebagai produk ciptaan manusia dan oleh karenanya memiliki status dan kedudukan serta kewenangan selayaknya manusia. Sebagaimana J. Satrio menjelaskan bahwa suatu perseroan mempunyai hak serta kewajiban yang diakui oleh sistem hukum yang ada (Satrio, 1999). Namun suatu perseroan tidak dapat bertindak sendiri selayaknya subjek hukum pribadi, oleh karena itu untuk dapat melaksanakan kegiatan operasional perseroan memerlukan adanya organ perseroan. Organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), Direksi, dan Dewan Komisaris. Ketiganya berperan penting untuk menentukan langkah-langkah perseroan dalam menjalankan bidang usahanya. Dalam penelitian ini akan membahas kasus dalam putusan a quo yang berkaitan dengan Direksi dan RUPS perseroan.

Sebagai ujung tombak dari jalannya perseroan, direksi bertanggung jawab sepenuhnya atas kepengurusan perseroan dan jika direksi terbukti bersalah atau lalai dalam menjalankan kepengurusan tersebut maka ia dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi. Dengan besarnya tanggung jawab yang diemban direksi perseroan, maka seharusnya pemberhentian sementara yang ditujukan terhadap anggota direksi dilakukan dengan alasan dan prosedur sesuai UU Perseroan Terbatas dan anggaran dasar perseroan sebagai bentuk profesionalitas perseroan terbatas.

Lebih lanjut mengenai RUPS, UUPT menyebutkan bahwa RUPS memiliki kewenangan yang Direksi dan Dewan Komisaris tidak miliki (Adriadi et al., 2021). Namun hal tersebut tidak diartikan bahwa RUPS adalah forum yang memberikan kewenangan kepada Direksi dan Komisaris, karena kewenangan direksi dan komisaris telah diatur dalam UUPT maupun anggaran dasar perseroan (Sjawie & SH, 2017). RUPS menjadi satu-satunya forum bagi pemegang saham untuk dapat mengambil keputusan tertentu, karena pemegang saham perorangan tidak memiliki kewenangan untuk dapat memutuskan kebijakan terkait perseroan. Oleh karena pentingnya pelaksanaan RUPS, UUPT telah mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan RUPS. Persyaratan tersebut dibedakan antara perseroan terbuka dan perseroan tertutup.  

Persyaratan penyelenggaraan RUPS perseroan tertutup diatur hanya dalam UUPT. Seperti tempat penyelenggaraan RUPS dan tata cara pemanggilan RUPS. Sedangkan perseroan terbuka selain diatur dalam UUPT juga terikat syarat dalam peraturan lain seperti peraturan Otoritas Jasa Keuangan (Sidik, 2023). Syarat tersebut terdiri dari tempat penyelenggaraan RUPS, pemberitahuan RUPS, pengumuman RUPS, pemanggilan RUPS, pimpinan RUPS, dan hanya notaris yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan yang dapat dimintakan pembuatan risalah RUPS.

Khususnya bagi perseroan tertutup, Pasal 82 UUPT mengatur pemanggilan RUPS pada perseroan tertutup dilakukan maksimal 14 (empat belas) hari kalender sebelum pelaksanaan RUPS tanpa menghitung tanggal pemanggilan RUPS dan tanggal pelaksanaan RUPS. Bilamana syarat pemanggilan RUPS tidak dipenuhi maka keputusan yang diambil dalam RUPS tersebut tetap sah jika semua pemegang saham atau kuasa pemegang saham yang hadir menyetujui keputusan rapat dengan suara bulat. Selain itu syarat lain yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan RUPS adalah terdapat kewajiban untuk membuat risalah RUPS yang dapat dibuat dalam bentuk dibawah tangan (underhand) ataupun akta autentik (notarized) (D. A. S. Harahap, 2022). Berdasarkan ketentuan tersebut pembuatan risalah RUPS tidak wajib dalam bentuk akta autentik, melainkan bentuk dibawah tangan juga diperkenankan sepanjang isi dan tanda tangannya diakui sebagaimana ketentuan dalam Pasal 90 ayat (1) UUPT.

Terhadap akta bawah tangan berlaku ketentuan Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yaitu “suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta autentik bagi orang-orang yang menandatanganinya” Sedangkan akta autentik diatur dalam dalam Pasal 1868 KUHPerdata  yang terdiri dari unsur:

1.   Dibuat ke dalam bentuk menurut undang-undang;

2.   Dibuat oleh atau dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang;

3.   Pejabat umum tersebut harus berwenang di tempat dimana akta tersebut dibuat.

Sedangkan bentuk akta notaris dibagi ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu (Alwesius, 2022):

1.   Akta yang “dibuat oleh” Notaris atau disebut juga sebagai Akta Relaas/Akta Pejabat. Diantaranya adalah risalah rapat dan berita acara undian.

2.   Akta yang “dibuat dihadapan” Notaris atau disebut juga sebagai Akta Partij/Akta Pihak. Diantaranya adalah akta perjanjian, pendirian perseroan terbatas, dan hibah.

Oleh karena itu risalah RUPS yang dibuat dalam bentuk akta autentik (notarized) tidak diwajibkan untuk mencantumkan tanda tangan ketua rapat beserta seorang pemegang saham sebagaimana risalah rapat dibawah tangan (underhand), karena dibuat oleh notaris ke dalam bentuk akta yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Namun dalam melaksanakan jabatannya terdapat notaris yang belum menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana terjadi dalam putusan a quo. Dimana terdapat seorang notaris yang membuatkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat (Akta PKR) atas RUPS yang tidak sah karena merupakan RUPS penegasan atas pemberhentian sementara anggota direksi yang secara prosedural tidak sah. Pada tingkat banding dan kasasi putusan a quo majelis hakim pada akhirnya membatalkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat tentang Penegasan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas PT DBI yang dibuat oleh Notaris MI. Secara prosedural, pembatalan keputusan dalam RUPS hanya dapat dibatalkan melalui mekanisme pengadilan (Budiarto, 2002).

Berdasarkan pemaparan tersebut maka penelitian ini akan membahas mengenai 2 (dua) rumusan masalah, yaitu keabsahan pemberhentian sementara terhadap anggota direksi perseroan dan penerapan prinsip kehati-hatian yang seharusnya dilakukan oleh notaris terkait pembuatan akta pernyataan keputusan rapat suatu perseroan. Mengingat penerapan prinsip ini menjadi krusial untuk dapat mengidentifikasi apakah RUPS yang dilaksanakan berdasarkan notulensi bawah tangan telah memenuhi persyaratan pelaksanaan RUPS untuk kemudian dapat dibuatkan Akta PKR oleh notaris.

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keabsahan pemberhentian sementara anggota direksi perseroan oleh dewan komisaris dan prinsip kehati-hatian notaris dalam pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat berdasarkan notulensi rapat bawah tangan

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat preskriptif analitis. Artinya, penelitian ini secara yuridis mengacu pada norma hukum dalam UU Perseroan Terbatas dan bertujuan untuk mendapatkan saran atas masalah-masalah yang terjadi. Dalam penelitian ini menggambarkan adanya permasalahan dalam pemberhentian sementara anggota direksi suatu perseroan di Surabaya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer dan sekunder sebagai acuan penulisan.

 

Hasil dan Pembahasan

Pemberhentian Sementara Anggota Direksi Perseroan Terbatas

Peranan direksi yang sedemikian besar tidak menutup kemungkinan akan terjadinya pemberhentian sementara yang dilakukan oleh perseroan. Hal ini dapat disebabkan berbagai macam  alasan seperti konflik internal maupun eksternal. Namun kembali bahwa UU Perseroan Terbatas telah dengan tegas mengatur terkait prosedur pemberhentian sementara anggota direksi dalam Pasal 106. Pada prinsipnya, hal tersebut diperkenankan selama dewan komisaris perseroan memberitahukan alasan pemberhentian sementara tersebut dalam surat keputusannya. Tidak hanya cukup sampai diterbitkannya surat keputusan pemberhentian sementara, proses tersebut harus ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya RUPS.

Sebagaimana yang terjadi di Surabaya dalam perkara PT DBI berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 616 K/Pdt/2023. Perlu diketahui sebelumnya bahwa susunan pengurus PT DBI terdiri dari “REP” selaku Direktur Utama, “ROY-T” selaku Direktur, “NB” selaku Komisaris Utama, dan “ROBBY-T’ selaku Komisaris. Sedangkan susunan pemegang saham PT DBI terdiri dari REP sejumlah 1.800 saham, NB sejumlah 1.800 saham, ROY-T sejumlah 900 saham, ROBBY-T sejumlah 900 saham.

Perkara ini bermula ketika REP mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Gugatan ini diajukan untuk membatalkan keseluruhan rangkaian pemberhentian dirinya yang diawali dengan pemberhentian sementara oleh dewan komisaris perseroan.

Peristiwa pertama, pemberhentian sementara tersebut diawali dengan diterbitkannya Keputusan Dewan Komisaris PT DBI No. 01/DKDBI/IV/2018 tertanggal 5 April 2018. Peristiwa kedua, PT DBI melaksanakan RUPS-LB pada 3 Mei 2018 yang diharapkan REP dapat menjadi forum untuk pembelaan dirinya. Namun ternyata RUPS tersebut dianggap telah tidak memenuhi syarat penyelenggaraan RUPS dalam UUPT. Meskipun demikian RUPS tersebut tetap dilaksanakan dan telah terbit resume pernyataan keputusan rapat. Peristiwa ketiga, pada 30 Juli 2018, PT DBI kembali melaksanakan RUPS dengan maksud penegasan atas RUPS sebelumnya. Penegasan tersebut dilakukan dengan cara membuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 8 tertanggal 27 Agustus 2018 di hadapan “MI” selaku Notaris berdasarkan notulensi rapat bawah tangan. Berdasarkan timeline tersebut maka dalam penelitian ini akan membahas satu per satu tiap peristiwa hukum yang terjadi.

Peristiwa pertama adalah diterbitkannya Surat Keputusan Dewan Komisaris No: 01/DKDBI/IV/2018 pada 5 April 2018 sebagai dasar pemberhentian sementara REP selaku direktur utama PT DBI. Ketentuan mengenai pemberhentian sementara anggota direksi diatur dalam Pasal 106 UUPT. Secara umum pasal tersebut mengatur bahwa anggota direksi perseroan dapat diberhentikan sementara oleh dewan komisaris, namun untuk keputusan pemberhentian tetap akan diserahkan pada forum RUPS selanjutnya. Secara prosedural, pemberhentian sementara anggota direksi perseroan dilakukan dengan rangkaian kegiatan berikut:

 

Gambar 1. Bagan Alur pemberhentian sementara anggota direksi perseroan

 

Ini menunjukkan bahwa UUPT memberikan batasan kewenangan dewan komisaris sebatas pemberhentian sementara (schorsing suspension) karena tidak berwenang untuk memberhentikan secara permanen (Harahap, 2021). Pemberhentian secara permanen dikembalikan kepada forum RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu perseroan.

Dalam pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UUPT menentukan agar pemberhentian sementara anggota direksi tersebut diberitahukan kepada direksi yang bersangkutan secara tertulis dengan menyebutkan alasan pemberhentiannya. Namun dalam Surat Keputusan Dewan Komisaris No: 01/DKDBI/IV/2018 yang dikeluarkan PT DBI ternyata telah terbukti dalam persidangan tidak memuat alasan-alasan pemberhentian REP selaku direktur utama PT DBI. Sehingga, surat keputusan tersebut melanggar syarat dalam Pasal 106 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa pemberhentian sementara dapat dilakukan dengan menyebutkan alasannya. Padahal, esensi dari penyebutan alasan pemberhentian sementara adalah agar pada forum berikutnya yaitu RUPS, anggota direksi tersebut diberikan kesempatan membela diri dari alasan-alasan yang ditujukan terhadap dirinya (Indonesia, 2007). Jika alasan pemberhentian sementara tidak diberitahukan tentu akan menimbulkan kebingungan ketika anggota direksi tersebut hendak membela diri atas tuduhan yang tidak beralasan.  Sebagaimana yang terjadi dalam perkara PT DBI, REP hanya dapat menduga-duga alasan dirinya diberhentikan sementara karena terdapat perbedaan pendapat terkait penggunaan laba PT DBI antara REP dengan pengurus-pengurus lainnya. Meskipun demikian, hal tersebut tidak terbukti dan oleh karenanya kejelasan alasan pemberhentian tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis. Yahya Harahap dalam bukunya menyampaikan beberapa alasan yang dapat digunakan bilamana pemberhentian sementara anggota direksi diperlukan, diantaranya bilamana orang tersebut dianggap tidak cakap dan tidak mampu menjalankan kepengurusan operasional perseroan, penyalahgunaan kedudukan, menggunakan aset perseroan atau menggelapkan keuntungan perusahaan semata-mata demi kepentingan pribadi, ataupun pelanggaran terhadap statuta duty yang wajib dipatuhi direksi tersebut (Harahap, 2021).

Lebih lanjut berdasarkan susunan pengurus PT DBI yang terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yaitu komisaris utama dan komisaris, maka berdasarkan Pasal 108 ayat (4) dianggap sebagai suatu majelis yang bertindak secara bersama-sama, sehingga tidak diperkenankan untuk bertindak secara sendiri-sendiri. Pasal tersebut menegaskan dewan komisaris bertindak berdasarkan “keputusan dewan komisaris”. Dalam hal ini, termasuk mengenai diterbitkannya surat keputusan dewan komisaris tentang pemberhentian direktur utama PT DBI juga harus ditandatangani oleh seluruh anggota dewan komisaris. Namun telah terbukti dalam persidangan bahwa surat keputusan tersebut hanya ditandatangani oleh NB selaku komisaris utama PT DBI. Sedangkan Robby-T selaku komisaris PT DBI tidak ikut serta menandatangani surat pemberhentian sementara tersebut. Padahal dalam anggaran dasar PT DBI telah menentukan anggota dewan komisaris terdiri dari 2 (dua) orang. Meskipun telah ditandatangani oleh komisaris utama, tidak ikut sertanya Robby-T selaku komisaris untuk menandatangani surat keputusan tersebut adalah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 108 ayat (4) UUPT yang mewajibkan tindakan secara bersama-sama bila dewan komisaris terdiri dari 2 orang atau lebih. Dengan ditandatanganinya surat keputusan tersebut hanya oleh seorang anggota dewan komisaris maka unsur “bertindak secara bersama-sama” yang dianut UUPT tidak terpenuhi. Jika diartikan lebih lanjut dapat dikatakan bahwa status “komisaris utama” yang dimiliki NB tidak serta merta menjadikannya dapat bertindak seorang diri untuk mewakili kepentingan perseroan.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka ditemukan 2 (dua) fakta hukum yang telah terbukti dalam persidangan. Pertama, Surat Keputusan Dewan Komisaris PT DBI No: 01/DKDBI/IV/2018 yang dikeluarkan pada 5 April 2018 tidak memberikan keterangan mengenai alasan yang mendasari pemberhentian sementara REP selaku direktur utama PT DBI. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap syarat prosedural pemberhentian sementara yang diatur dalam Pasal 106 ayat (1) UUPT. Kedua, surat keputusan tersebut hanya ditandatangani oleh seorang komisaris utama dan tidak ditandatangani oleh anggota komisaris lain. Hal ini melanggar ketentuan dalam Pasal 108 ayat (4) UUPT yang mewajibkan 2 (dua) orang atau lebih dewan komisaris untuk bertindak melalui suatu keputusan secara bersama-sama. Kedua alasan ini dapat digunakan sebagai alasan diajukan pembatalan keputusan tersebut karena tidak memenuhi syarat-syarat dalam UUPT. Bila melihat kembali pada bagan 1. di atas, maka jika peristiwa pertama telah tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, maka akan berpengaruh pula terhadap peristiwa selanjutnya yang juga berpotensi dianggap batal dan tidak sah.

Jika melihat kembali pada syarat-syarat pemberhentian sementara anggota direksi perseroan pada Pasal 106 ayat (4) UUPT, disebutkan bahwa dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender setelah adanya surat keputusan dewan komisaris terkait pemberhentian anggota direksi, maka perseroan harus menyelenggarakan RUPS. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa penyelenggaraan RUPS ini harus didahului dengan panggilan oleh dewan komisaris sebagai organ yang melakukan pemberhentian sementara anggota direksi perseroan. RUPS ini dilaksanakan dengan maksud untuk dapat memberikan kesempatan kepada anggota direksi yang diberhentikan sementara untuk dapat membela diri atas alasan-alasan pemberhentian dirinya . Jika dalam RUPS tersebut menguatkan keputusan pemberhentian sementara, maka anggota direksi tersebut menjadi diberhentikan untuk seterusnya (Indonesia, 2007).

Apabila dilihat dari tanggal sejak terbitnya surat keputusan dewan komisaris pada 5 April 2018, maka pelaksanaan RUPS pada 3 Mei 2018 telah memenuhi ketentuan Pasal 106 ayat (4) UUPT, karena dilaksanakan dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal pemberitahuan pemberhentian sementara. Lebih lanjut jika syarat jangka waktu pelaksanaan RUPS sebagai prosedur kedua dari pemberhentian sementara anggota direksi perseroan telah sesuai UUPT, maka selanjutnya akan membahas terkait syarat penyelenggaraan RUPS yaitu harus diadakan pemanggilan, dengan memperhatikan ketentuan:

1.   pemanggilan dilakukan oleh siapa;

2.   jangka waktu pemanggilan; dan

3.   hal yang harus termuat dalam pemanggilan.

Syarat pertama ditentukan berdasarkan Pasal 79 ayat (5) UUPT yang secara prinsipnya pemanggilan RUPS dilakukan oleh direksi, namun dimungkinkan pula bagi dewan komisaris untuk melakukan pemanggilan RUPS. Meskipun demikian, terdapat suatu kondisi yang harus terpenuhi sebelum dewan komisaris dapat melakukan pemanggilan RUPS sendiri. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 ayat (2) UUPT, dewan komisaris dapat mengajukan pelaksanaan penyelenggaraan RUPS kepada direksi melalui surat tercatat yang disertai dengan alasannya. Jika dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal surat tercatat tersebut direksi tidak juga melakukan pemanggilan, maka dewan komisaris berhak untuk melakukan pemanggilan RUPS (Alwesius, 2022). Kewenangan dewan komisaris ini diperkuat kembali dalam dalam penjelasan Pasal 106 ayat (4) UUPT yang menentukan bahwa panggilan RUPS terkait pemberhentian sementara dilakukan oleh organ terkait. Organ yang berhak melakukan pemberhentian sementara adalah dewan komisaris.

Berdasarkan kasus posisi dalam putusan a quo, pemanggilan RUPS dilakukan dengan undangan yang dibuat dan ditandatangani oleh komisaris utama. Maka keabsahan pemanggilan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:

1.   Pasal 108 ayat (4) UUPT yang menentukan jika terdapat lebih dari seorang dewan komisaris, maka mereka tidak dapat bertindak secara sendiri-sendiri. Artinya, jika undangan tersebut hanya ditandatangani oleh komisaris utama tanpa ditandatangani oleh komisaris lainnya, menjadi tidak sah;

2.   Pasal Pasal 79 ayat (6) UUPT yang menentukan dewan komisaris dapat melakukan pemanggilan RUPS, jika direksi tidak melaksanakan pemanggilan RUPS atas permintaan dewan komisaris. Berdasarkan ketentuan tersebut, dewan komisaris seharusnya terlebih dahulu meminta direksi untuk menyelenggarakan RUPS dengan mata acara terkait pemberhentian sementara REP selaku direktur utama. Namun dalam putusan a quo tidak diketahui secara jelas apakah dewan komisaris telah mengajukan permintaan tersebut.

Sehingga keabsahan pemanggilan dewan komisaris harus diperiksa berdasarkan syarat keabsahan pemanggilan RUPS lainnya. Syarat kedua, termuat dalam Pasal 82 UUPT yang menentukan pemanggilan RUPS dilakukan maksimal 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakannya RUPS tanpa memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal pelaksanaan RUPS tersebut. Dalam pemanggilan tersebut juga harus memuat keterangan terkait pelaksanaan RUPS seperti tanggal, waktu, tempat, mata acara rapat, serta ketersediaan bahan rapat yang dapat diambil di kantor perseroan. Jika kembali pada perkara PT DBI, diketahui bahwa RUPS dilaksanakan pada tanggal 3 Mei 2018. Maka berdasarkan ketentuan dalam UUPT, pemanggilan yang ditujukan kepada pemegang saham harus dilakukan paling lambat 18 April 2018. Namun, pemanggilan dilakukan pada tanggal 25 April 2018. Hal ini jelas melanggar ketentuan UUPT terkait jangka waktu pemanggilan RUPS karena hanya terhitung 7 (hari) saja sebelum pelaksanaan RUPS.

Terhadap syarat ketiga, ternyata dalam undangan pemanggilan juga tidak dicantumkan mata acara RUPS PT DBI. Padahal RUPS ini diselenggarakan sebagai prosedur lanjutan setelah penerbitan surat pemberhentian sementara anggota direksi.

Terhadap tidak dipenuhinya syarat-syarat pemanggilan RUPS, UUPT telah memberikan alternatif lain, yaitu keputusan di dalam RUPS akan tetap dianggap sah dengan catatan semua pemegang saham dengan hak suara yang hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan pemberhentian tersebut disetujui dengan suara bulat (Wulandewi & Mudana, 2019). Artinya, tidak diperkenankan adanya suara tidak setuju atau abstain dalam RUPS tersebut. Ketentuan ini tidak dapat diberlakukan pada perkara PT DBI, karena RUPS dilaksanakan tidak dalam keadaan yang kondusif dan REP telah terlebih dahulu keluar dari ruangan sehingga tidak tercapai kesepakatan bulat. Sehingga ia berhak untuk menuntut pembatalan RUPS yang memutus pemberhentiannya.

Melalui Putusan PT Surabaya No. 367/Pdt/2022 dan Putusan Mahkamah Agung No. 616 K/Pdt/2023, gugatan REP dikabulkan sebagian sehingga:

a.   Keputusan Dewan Komisaris No. 01/DKDBI/IV/2018 tertanggal 5 April 2018;

b.   Resume Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tertanggal 3 Mei 2018;

c.   Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT DBI pada 30 Juli 2018, dan Akta Pernyataan Keputusan Rapat tentang Penegasan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT DBI;

adalah tidak sah dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Oleh karenanya majelis hakim memutuskan kedudukan REP selaku direktur utama PT DBI tetap sah dengan mengacu pada akta pendirian PT DBI.

 

Prinsip Kehati-hatian Notaris

Dalam pembahasan mengenai prinsip kehati-hatian notaris dalam pembuatan akta terkait RUPS, perlu diketahui perbedaan antara Risalah Rapat dan Akta Pernyataan Keputusan Rapat (“Akta PKR”). Akta Risalah Rapat merupakan akta relaas (ambtelijke akten) yang berarti akta tersebut “dibuat oleh” Notaris. Artinya, Notaris secara langsung menyaksikan rapat dan menuangkan apa yang terjadi dalam rapat kedalam akta, dan oleh karenanya bertanggung jawab penuh atas akta yang dibuatnya. Sedangkan Akta PKR merupakan akta partij, yang artinya akta tersebut dibuat “dihadapan” Notaris atas dasar keinginan para pihak, yang dalam kasus ini Notaris membuat akta berdasarkan pada notulensi yang dibuat dibawah tangan oleh para pengurus perseroan yang hadir di dalam rapat. Keduanya dikategorikan dalam bentuk akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik, Notaris, dalam membuat Akta PKR harus memperhatikan bukti-bukti lain selain penggunaan notulens RUPS yang dibuat di bawah tangan sebagai dasar pembuatan Akta PKR. Mengingat Notaris harus menerapkan prinsip kehatian-hatian dan bertindak secara seksama (teliti, cermat) dalam menjalankan jabatannya. Tidak lepas karena Notaris dianggap sebagai officium nobile. Artinya, notaris merupakan profesi mulia, luhur, dan terhormat untuk memberikan pelayanan hukum dalam bidang keperdataan berupa pembuatan alat bukti tertulis (akta) kepada seluruh masyarakat.

Undang-Undang Jabatan Notaris tidak mendefinisikan/mengatur lebih lanjut terkait bagaimana prinsip kehatian-hatian seharusnya dilaksanakan. Prinsip ini muncul karena terdapat notaris terlibat dalam suatu perkara di pengadilan berdasarkan akta yang telah dibuatnya. Sebenarnya jika diperhatikan lebih lanjut, notaris sebagai pejabat umum hanya menyatakan kehendak para penghadap ke dalam suatu bentuk tertulis berupa akta autentik. Sehingga, notaris bukan pihak dalam akta, karenaya akta hanya mengikat kepada para pihak didalamnya. Namun, prinsip kehati-hatian dapat digunakan sebagai upaya perlindungan bagi notaris dari pertanggungjawaban yang sebenarnya tidak ditujukan pada notaris.

Habib Adjie dalam bukunya menjelaskan prinsip kehati-hatian yang dapat dilakukan oleh Notaris diantaranya adalah memeriksa identitas para penghadap, proaktif dalam menanyakan serta mencermati kehendak para penghadap, memeriksa bukti-bukti baik berupa surat maupun dokumen yang berkaitan dengan kehendak para penghadap, bahkan dapat memberikan saran yang sekiranya diperlukan (Adjie, 2009). Selain itu juga notaris harus memastikan kesesuaian dengan UU Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan akta yang akan dibuat. Sedangkan menurut Manuaba menyatakan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan prinsip kehati-hatian adalah memeriksa identitas apra penghadap termasuk melakukan verifikasi data-data yang diberikan penghadap, adanya tenggang waktu dalam pembuatan akta autentik, bersikap cermat dan teliti (Manuaba et al., 2018). Sebenarnya notaris tidak perlu untuk mencari kebenaran materiil dari tiap kehendak para penghadap, notaris hanya bekerja berdasarkan bukti formil. Namun jika timbul keraguan atau ketidakyakinan notaris dari keterangan-keterangan dan dokumen yang diberikan para penghadap, prinsip kehati-hatian dapat diterapkan sebelum membuat akta autentik (Rahman, 2018).

Prinsip tersebut menjadi krusial ketika notaris membuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat (Akta PKR). Akta PKR merupakan akta yang dibuat di hadapan notaris berisikan kehendak para penghadap untuk menyatakan risalah RUPS dibawah tangan ke dalam bentuk akta autentik. Sehingga notulensi rapat yang semula berstatus dibawah tangan (underhand), ditingkatkan kekuatan pembuktiannya menjadi akta autentik (notarized). Maka dapat terlihat bahwa dibuatnya suatu Akta PKR harus didasarkan pada notulensi rapat yang telah dibuat oleh ketua rapat perseroan dan ditandatangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS (D. A. S. Harahap, 2022). Ketentuan tersebut dimaksudkan agar dapat menjamin kebenaran dan kepastian dari isi risalah RUPS tersebut. Pada saat pembuatan Akta PKR ini dapat dipahami pula bahwa notaris membuat akta hanya berdasarkan dokumen yang diberikan oleh para penghadap tanpa menyaksikan secara langsung RUPS yang dimaksud. Oleh karena itu, notaris diberikan hak untuk menolak membuat akta selama hal tersebut beralasan (Salamah & Iriantoro, 2022). Hal tersebut dapat dilakukan diantaranya karena notaris tidak meyakini identitas para penghadap / tidak mengenali para penghadap atau karena penghadap menghendaki sesuatu yang dilarang dalam undang-undang (Tobing, 1983).

Berdasarkan pembahasan pada poin 1 di atas, dapat diketahui bahwa rangkaian peristiwa hukum yang terjadi yaitu:

a.   Terbitnya Keputusan Dewan Komisaris Nomor: 01/DKDBI/IV/2018 tertanggal 5 April 2018 tentang Pemberhentian Sementara REP selaku direktur utama PT DBI (selanjutnya disebut “Surat Pemberhentian”);

b.   RUPS pada 3 Mei 2018 sebagai tindakan lanjut dari pemberhentian sementara (selanjutnya disebut: “RUPS Pertama”);

c.   RUPS pada 30 Juli 2018 sebagai penegasan akan RUPS Pertama (selanjutnya disebut: “RUPS Kedua”);

hanya melibatkan notaris saat RUPS Kedua. Dimana, Notaris MI diminta untuk membuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat berdasarkan notulensi RUPS bawah tangan.

Umumnya, bukti-bukti yang dilampirkan oleh penghadap adalah notulensi rapat bawah tangan, untuk kemudian dibuatkan ke dalam bentuk notariil. Sebagai salah satu bentuk penerapan prinsip kehati-hatian, notaris harus meminta kelengkapan dokumen yang berkaitan dengan notulensi dibawah tangan oleh PT DBI (Lubis, 2021).   Dokumen kelengkapan diantaranya seperti akta pendirian perseroan beserta perubahannya, surat undangan RUPS, tanda terima undangan RUPS, daftar hadir yang disertai tanda tangan atau sidik jari, tata tertib rapat, daftar pemegang saham, serta profil perseroan. Dalam kasus a quo, perlu diingat Notaris MI tidak hanya memeriksa dokumen terkait RUPS Kedua saja, melainkan pemeriksaan dokumen yang sama berlaku terhadap RUPS Pertama sampai pada terbitnya keputusan dewan komisaris tertanggal 5 April 2018, karena sebagai suatu satu rangkaian peristiwa yang tidak dapat dipisahkan.

Jika notaris telah melakukan penerapan prinsip kehati-hatian dan bersikap teliti serta cermat dalam putusan a quo, seharusnya Akta No. 8 tertanggal 27 Agustus 2018 tidak pernah tercipta karena 2 (dua) alasan. Pertama, pemeriksaan pertama kali yang dilakukan terhadap RUPS Kedua sebagai RUPS penegasan tidak akan lepas pemeriksaan dari dokumen kelengkapan RUPS Pertama. Seharusnya pengecekkan ini akan menemukan fakta bahwa penyelenggaraan RUPS Pertama telah tidak memenuhi syarat-syarat UUPT karena jangka waktu pemanggilan RUPS dan dalam undangan tidak dicantumkan mata acara RUPS. Hal ini akan berdampak pada RUPS Pertama tidak memiliki kekuatan hukum. Secara otomatis seharusnya RUPS Kedua tidak dapat dilaksanakan. Kedua, pada saat pemeriksaan RUPS Pertama juga seharusnya menemukan fakta bahwa pemberhentian sementara yang dilakukan dewann komisaris PT DBI adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga RUPS Kedua yang dilaksanakan berdasarkan pemberhentian sementara tidak sah tersebut juga secara otomatis tidak memiliki kekuatan hukum.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan pada poin C tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa; (1) pemberhentian sementara terhadap salah satu anggota direksi PT DBI tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena dalam surat keputusan pemberhentian sementara oleh dewan komisaris tidak memenuhi syarat dalam UUPT. Pertama, di dalam surat keputusan tersebut tidak memuat alasan pemberhentian sementara; dan kedua, surat keputusan tersebut tidak ditandatangani lengkap oleh kedua anggota dewan komisaris. Selain itu, RUPS yang yang dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari pemberhentian sementara tersebut juga tidak memenuhi prosedur penyelenggaraan RUPS dalam UUPT. Pertama, tidak memenuhi jangka waktu pemanggilan RUPS; dan kedua, undangan RUPS tidak ditandatangani lengkap oleh kedua anggota dewan komisaris. Dan (2) bagi notaris yang membuat akta PKR berdasarkan notulensi RUPS bawah tangan PT DBI harus memeriksa kembali kelengkapan dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan RUPS tersebut seperti akta pendirian perseroan beserta perubahannya, surat undangan RUPS, tanda terima undangan RUPS, daftar hadir yang disertai tanda tangan atau sidik jari, tata tertib rapat, daftar pemegang saham, serta profil perseroan. Khususnya dalam kasus ini, RUPS diselenggarakan sebagai penegasan atas pemberhentian sementara anggota direksi PT DBI yang ternyata tidak sah. Sehingga selain dokumen tersebut di atas, notaris harus memeriksa seluruh kelengkapan dokumen sampai dengan peristiwa hukum pertama, yaitu diterbitkannya surat keputusan dewan komisaris atas pemberhentian sementara anggota direksi PT DBI. Bilamana notaris kurang mencermati dokumen-dokumen terkait, maka akta yang dibuat berpotensi dinyatakan batal oleh pengadilan.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adjie, H. (2009). Meneropong khazanah notaris dan PPAT Indonesia: kumpulan tulisan tentang notaris dan PPAT. Citra Aditya Bakti.

Adriadi, R. P., Pratama, S. A., & Syahida, A. Q. (2021). Perubahan Pengaturan Pendirian Perseroan Terbatas Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasca Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Indonesian Notary, 3(2).

Alwesius. (2022). Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris (Cet.3). Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesiaj.

Budiarto, A. (2002). Kedudukan hukum dan tanggung jawab pendiri perseroan terbatas. Ghalia Indonesia.

Harahap, D. A. S. (2022). Tanggung Jawab Notaris terhadap Pembuatan Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Sesuai Pasal 90 Ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas. Universitas Sumatera Utara.

Harahap, Y. (2021). Hukum perseroan terbatas. Sinar Grafika (Bumi Aksara).

Indonesia, R. (2007). Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Jakarta: Sekretariat Negara.

Lubis, A. M. (2021). Analisis Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Tanggung Jawab Hukum Notaris dalam Pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Para Pemegang Saham Perseroan Terbatas (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa No. 60/Pdt.G/2018/PN.Sgm). Universitas Indonesia.

Manuaba, P., Bagus, I., Parsa, I. W., Ariawan, K., & Gusti, I. (2018). Prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta autentik. Udayana University.

Rahman, F. A. (2018). Penerapan Prinsip Kehati-hatian Notaris dalam mengenal para penghadap. Universitas Islam Indonesia.

Salamah, S., & Iriantoro, A. (2022). Prinsip Kehati-Hatian dan Tanggungjawab Notaris Dalam Membuat Akta Berdasarkan Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris (Studi Kasus Putusan Nomor 457 PK/Pdt/2019). Imanot: Jurnal Kemahasiswaan Hukum & Kenotariatan, 1(2), 555–579.

Satrio, J. (1999). Hukum Pribadi. Citra Aditya Bakti.

Sidik, Y. M. (2023). Keabsahan Akta Perubahan Anggaran Dasar Dan Data Perseroan Akibat Perbuatan Melawan Hukum Oleh Direksi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

Sjawie, H. F., & SH, L. L. M. (2017). Direksi perseroan terbatas serta pertanggungjawaban pidana korporasi. Prenada Media.

Tobing, G. H. S. L. (1983). Peraturan jabatan notaris (notaris regelement). Erlangga.

Wulandewi, I. A. K. T., & Mudana, I. N. (2019). Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas yang Anggaran Dasarnya Tidak Sesuai dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatase. Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, 7(40), 1–20.

 

 

 

 

Copyright holder:

Andira Permata Sari (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: