Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
2, Februari 2024
PRINSIP KEHATI-HATIAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA PERNYATAAN
KEPUTUSAN RAPAT TERKAIT PEMBERHENTIAN SEMENTARA ANGGOTA DIREKSI YANG TIDAK SAH PT DBI (STUDI
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 616 K/PK/PDT/2023)
Andira Permata Sari
Fakultas
Hukum,
Universitas Indonesia,
Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Dewan
komisaris suatu perseroan terbatas diberikan hak oleh UU Perseroan Terbatas
untuk memberhentikan sementara anggota direksi perseroan. Pemberhentian
tersebut dilakukan secara tertulis kepada direksi yang bersangkutan dengan
menuliskan alasan pemberhentian. Namun sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung
No. 616 K/PK/Pdt/2023, prosedur pemberhentian sementara anggota direksi
perseroan dilakukan tanpa adanya alasan pemberhentian dan surat keputusan
pemberhentian tidak lengkap ditandatangani oleh 2 (dua) dewan komisaris. Selain
itu dalam putusan a quo, notaris membuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat
atas RUPS yang tidak sah, sehingga akta tersebut dibatalkan. Penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis keabsahan pemberhentian sementara anggota direksi
perseroan oleh dewan komisaris dan prinsip kehati-hatian notaris dalam
pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat berdasarkan notulensi rapat bawah
tangan. Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode yuridis normatif yang
bersifat preskriptif analitis, dengan menggunakan data sekunder. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberhentian sementara anggota direksi perseroan
oleh dewan komisaris yang tidak memenuhi syarat mengakibatkan pemberhentian
sementara dan seluruh rangkaian RUPS setelahnya tidak memiliki kekuatan hukum.
Oleh karena itu penerapan prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta
menjadi penting.
Kata Kunci: Pemberhentian Sementara Direksi,
RUPS, Akta PKR, Prinsip Kehati-hatian
Abstract
The board of commissioners of
a limited liability company is given the right by UU Perseroan Terbatas to temporarily dismiss the company's
directors. The dismissal is carried out in writing to the board of directors
stating the reasons for dismissal. However, as in Supreme Court Decision No.
616 K/PK/Pdt/2023, the procedure for temporary dismissal of company directors
is carried out without any reason. Apart from that, in court deciosion, the
notary made a Akta
Pernyataan Keputusan Rapat regarding the invalid General Meeting of
Shareholders, so the deed was cancelled. This research aims to analyze first¸
the legality of temporary dismissal of company directors by the board of
commissioners and secondly the precautionary principle by notary before making
deed. This research conducted based on normative juridical methods which are
prescriptive analytical, using secondary data. The research results show that
the temporary dismissal of the company's directors by the board of
commissioners which did not fulfill the resulted in the temporary dismissal and
the entire series of subsequent GMS did
not have any legal force. Therefore, the application of notary's precautionary
principle in deed is needed.
Keywords:
Temporary Dismissal of Directors, GMS, PKR Deed, Precautionary Principle
Pendahuluan
Notaris
dalam membuat Akta Pernyataan Keputsan RUPS (“Akta PKR”) harus menerapkan
prinsip kehati-hatian terutama jika isi keputusan rapat merupakan pemberhentian
anggota direksi suatu perseroan. Penerapan prinsip tersebut menjadi penting
karena dalam membuat Akta PKR, notaris tidak secara langsung menyaksikan
peristiwa hukum yang terjadi, melainkan membuat akta berdasarkan risalah RUPS
dibawah tangan.
Suatu badan hukum yang berbentuk
perseroan terbatas seringkali disebut sebagai artificial person yang diartikan
sebagai produk ciptaan manusia dan oleh karenanya memiliki status dan kedudukan
serta kewenangan selayaknya manusia. Sebagaimana J. Satrio menjelaskan bahwa
suatu perseroan mempunyai hak serta kewajiban yang diakui oleh sistem hukum
yang ada (Satrio, 1999). Namun suatu perseroan tidak dapat
bertindak sendiri selayaknya subjek hukum pribadi, oleh karena itu untuk dapat
melaksanakan kegiatan operasional perseroan memerlukan adanya organ perseroan.
Organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), Direksi, dan
Dewan Komisaris. Ketiganya berperan penting untuk menentukan langkah-langkah
perseroan dalam menjalankan bidang usahanya. Dalam penelitian ini akan membahas
kasus dalam putusan a quo yang berkaitan dengan Direksi dan RUPS
perseroan.
Sebagai ujung tombak dari jalannya
perseroan, direksi bertanggung jawab sepenuhnya atas kepengurusan
perseroan dan jika direksi terbukti bersalah atau lalai dalam menjalankan kepengurusan tersebut maka
ia dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi. Dengan besarnya
tanggung jawab yang diemban direksi perseroan, maka seharusnya pemberhentian
sementara yang ditujukan terhadap anggota direksi dilakukan dengan alasan dan
prosedur sesuai UU Perseroan Terbatas dan anggaran dasar perseroan sebagai
bentuk profesionalitas perseroan terbatas.
Lebih lanjut mengenai RUPS, UUPT menyebutkan
bahwa RUPS memiliki kewenangan yang Direksi dan Dewan Komisaris tidak miliki (Adriadi et al., 2021). Namun hal tersebut tidak diartikan bahwa
RUPS adalah forum yang memberikan kewenangan kepada Direksi dan Komisaris,
karena kewenangan direksi dan komisaris telah diatur dalam UUPT maupun anggaran
dasar perseroan (Sjawie & SH, 2017). RUPS menjadi satu-satunya forum bagi
pemegang saham untuk dapat mengambil keputusan tertentu, karena pemegang saham
perorangan tidak memiliki kewenangan untuk dapat memutuskan kebijakan terkait
perseroan. Oleh karena pentingnya pelaksanaan RUPS, UUPT telah mengatur
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan RUPS. Persyaratan
tersebut dibedakan antara perseroan terbuka dan perseroan tertutup.
Persyaratan
penyelenggaraan RUPS perseroan tertutup diatur hanya dalam UUPT. Seperti tempat
penyelenggaraan RUPS dan tata cara pemanggilan RUPS. Sedangkan perseroan
terbuka selain diatur dalam UUPT juga terikat syarat dalam peraturan lain
seperti peraturan Otoritas Jasa Keuangan (Sidik, 2023). Syarat tersebut terdiri dari tempat
penyelenggaraan RUPS, pemberitahuan RUPS, pengumuman RUPS, pemanggilan RUPS,
pimpinan RUPS, dan hanya notaris yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan
yang dapat dimintakan pembuatan risalah RUPS.
Khususnya bagi perseroan
tertutup, Pasal 82 UUPT mengatur pemanggilan RUPS pada perseroan tertutup
dilakukan maksimal 14 (empat belas) hari kalender sebelum pelaksanaan RUPS
tanpa menghitung tanggal pemanggilan RUPS dan tanggal pelaksanaan RUPS. Bilamana
syarat pemanggilan RUPS tidak dipenuhi maka keputusan yang diambil dalam RUPS
tersebut tetap sah jika semua pemegang saham atau kuasa pemegang saham yang
hadir menyetujui keputusan rapat dengan suara bulat. Selain itu syarat lain
yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan RUPS adalah terdapat kewajiban untuk
membuat risalah RUPS yang dapat dibuat dalam bentuk dibawah tangan (underhand) ataupun akta autentik (notarized) (D. A. S. Harahap, 2022). Berdasarkan ketentuan tersebut
pembuatan risalah RUPS tidak wajib dalam bentuk akta autentik, melainkan bentuk
dibawah tangan juga
diperkenankan sepanjang isi dan tanda tangannya
diakui sebagaimana ketentuan dalam Pasal 90 ayat (1) UUPT.
Terhadap
akta bawah tangan berlaku ketentuan Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”), yaitu “suatu tulisan di bawah tangan yang diakui
kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap
telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta autentik
bagi orang-orang yang menandatanganinya” Sedangkan akta
autentik diatur dalam dalam Pasal 1868 KUHPerdata
yang terdiri dari unsur:
1. Dibuat
ke dalam bentuk menurut undang-undang;
2. Dibuat
oleh atau dibuat di hadapan pejabat umum yang berwenang;
3. Pejabat
umum tersebut harus berwenang di tempat dimana akta tersebut dibuat.
Sedangkan bentuk akta notaris dibagi
ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu (Alwesius, 2022):
1.
Akta yang “dibuat oleh” Notaris atau
disebut juga sebagai Akta Relaas/Akta Pejabat. Diantaranya adalah
risalah rapat dan berita acara undian.
2. Akta
yang “dibuat dihadapan” Notaris atau disebut juga sebagai Akta Partij/Akta
Pihak. Diantaranya adalah akta perjanjian, pendirian perseroan terbatas, dan
hibah.
Oleh karena itu
risalah RUPS yang dibuat dalam bentuk akta autentik (notarized) tidak
diwajibkan untuk mencantumkan tanda tangan ketua rapat beserta seorang pemegang
saham sebagaimana risalah rapat dibawah tangan (underhand), karena
dibuat oleh notaris ke dalam bentuk akta yang telah ditentukan dalam
undang-undang.
Namun
dalam melaksanakan jabatannya terdapat notaris yang belum menerapkan prinsip
kehati-hatian sebagaimana terjadi dalam putusan a quo. Dimana terdapat
seorang notaris yang membuatkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat (Akta PKR) atas
RUPS yang tidak sah karena merupakan RUPS penegasan atas pemberhentian
sementara anggota direksi yang secara prosedural tidak sah. Pada tingkat
banding dan kasasi putusan a quo majelis hakim pada akhirnya membatalkan
Akta Pernyataan Keputusan Rapat tentang Penegasan Keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham Perseroan Terbatas PT DBI yang dibuat oleh Notaris MI. Secara prosedural,
pembatalan keputusan dalam RUPS hanya dapat dibatalkan melalui mekanisme
pengadilan (Budiarto, 2002).
Berdasarkan
pemaparan tersebut maka penelitian ini akan membahas mengenai 2 (dua) rumusan
masalah, yaitu keabsahan pemberhentian sementara terhadap anggota direksi
perseroan dan penerapan prinsip kehati-hatian yang seharusnya dilakukan oleh
notaris terkait pembuatan akta pernyataan keputusan rapat suatu perseroan.
Mengingat penerapan prinsip ini menjadi krusial untuk dapat mengidentifikasi
apakah RUPS yang dilaksanakan berdasarkan notulensi bawah tangan telah memenuhi
persyaratan pelaksanaan RUPS untuk kemudian dapat dibuatkan Akta PKR oleh
notaris.
Penelitian
ini dilakukan untuk menganalisis keabsahan pemberhentian sementara anggota direksi
perseroan oleh dewan komisaris dan prinsip kehati-hatian notaris dalam
pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat berdasarkan notulensi rapat bawah
tangan
Metode
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang
bersifat preskriptif analitis. Artinya, penelitian ini secara yuridis mengacu
pada norma hukum dalam UU Perseroan Terbatas dan bertujuan untuk mendapatkan
saran atas masalah-masalah yang terjadi. Dalam penelitian ini menggambarkan
adanya permasalahan dalam pemberhentian sementara anggota direksi suatu
perseroan di Surabaya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder
berupa bahan hukum primer dan sekunder sebagai acuan penulisan.
Hasil dan Pembahasan
Pemberhentian
Sementara Anggota Direksi Perseroan Terbatas
Peranan direksi yang sedemikian besar
tidak menutup kemungkinan akan terjadinya pemberhentian sementara yang
dilakukan oleh perseroan. Hal ini dapat disebabkan berbagai macam alasan seperti konflik internal maupun eksternal. Namun kembali
bahwa UU Perseroan Terbatas telah dengan tegas mengatur terkait prosedur
pemberhentian sementara anggota direksi dalam Pasal 106. Pada prinsipnya, hal
tersebut diperkenankan selama dewan komisaris perseroan memberitahukan alasan
pemberhentian sementara tersebut dalam surat keputusannya. Tidak hanya cukup
sampai diterbitkannya surat keputusan pemberhentian sementara, proses tersebut
harus ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya RUPS.
Sebagaimana yang terjadi di Surabaya
dalam perkara PT DBI berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 616 K/Pdt/2023.
Perlu diketahui sebelumnya bahwa susunan pengurus PT DBI terdiri dari “REP”
selaku Direktur Utama, “ROY-T” selaku Direktur, “NB” selaku Komisaris Utama,
dan “ROBBY-T’ selaku Komisaris. Sedangkan susunan pemegang saham PT DBI terdiri
dari REP sejumlah 1.800 saham, NB sejumlah 1.800 saham, ROY-T sejumlah 900
saham, ROBBY-T sejumlah 900 saham.
Perkara ini bermula ketika REP
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Gugatan ini diajukan untuk
membatalkan keseluruhan rangkaian pemberhentian dirinya yang diawali dengan
pemberhentian sementara oleh dewan komisaris perseroan.
Peristiwa
pertama, pemberhentian sementara
tersebut diawali dengan diterbitkannya Keputusan Dewan Komisaris PT DBI No.
01/DKDBI/IV/2018 tertanggal 5 April 2018. Peristiwa kedua,
PT DBI melaksanakan
RUPS-LB pada 3 Mei 2018 yang diharapkan REP dapat menjadi forum untuk pembelaan
dirinya. Namun ternyata RUPS tersebut dianggap telah tidak memenuhi syarat
penyelenggaraan RUPS dalam UUPT. Meskipun demikian RUPS tersebut tetap
dilaksanakan dan telah terbit resume pernyataan keputusan rapat.
Peristiwa ketiga, pada 30 Juli 2018, PT DBI kembali melaksanakan RUPS dengan
maksud penegasan atas RUPS sebelumnya. Penegasan tersebut dilakukan dengan cara
membuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 8 tertanggal 27 Agustus 2018 di
hadapan “MI” selaku Notaris berdasarkan notulensi rapat bawah
tangan. Berdasarkan timeline
tersebut maka dalam penelitian ini akan membahas satu per satu tiap
peristiwa hukum yang terjadi.
Peristiwa pertama adalah diterbitkannya
Surat Keputusan Dewan Komisaris No: 01/DKDBI/IV/2018 pada 5 April 2018 sebagai
dasar pemberhentian sementara REP selaku direktur utama PT DBI. Ketentuan
mengenai pemberhentian sementara anggota direksi diatur dalam Pasal 106 UUPT.
Secara umum pasal tersebut mengatur bahwa anggota direksi perseroan dapat
diberhentikan sementara oleh dewan komisaris, namun untuk keputusan
pemberhentian tetap akan diserahkan pada forum RUPS selanjutnya. Secara prosedural, pemberhentian
sementara anggota
direksi perseroan dilakukan
dengan rangkaian kegiatan berikut:
Gambar 1. Bagan Alur pemberhentian sementara anggota
direksi perseroan
Ini menunjukkan bahwa UUPT memberikan
batasan kewenangan dewan komisaris sebatas pemberhentian sementara (schorsing
suspension) karena tidak berwenang untuk memberhentikan secara permanen (Harahap, 2021). Pemberhentian secara permanen
dikembalikan kepada forum RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu perseroan.
Dalam pasal 106 ayat (1) dan ayat (2)
UUPT menentukan agar pemberhentian sementara anggota direksi tersebut
diberitahukan kepada direksi yang bersangkutan secara
tertulis dengan menyebutkan alasan pemberhentiannya. Namun dalam Surat
Keputusan Dewan Komisaris No: 01/DKDBI/IV/2018 yang dikeluarkan PT DBI ternyata
telah terbukti dalam persidangan tidak memuat alasan-alasan pemberhentian REP
selaku direktur utama PT DBI. Sehingga, surat keputusan tersebut melanggar
syarat dalam Pasal 106 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa pemberhentian
sementara dapat dilakukan dengan menyebutkan alasannya. Padahal, esensi dari penyebutan alasan pemberhentian sementara adalah
agar pada forum berikutnya yaitu RUPS, anggota direksi tersebut diberikan
kesempatan membela diri dari alasan-alasan yang ditujukan terhadap dirinya (Indonesia, 2007). Jika alasan pemberhentian sementara
tidak diberitahukan tentu akan menimbulkan kebingungan ketika anggota direksi
tersebut hendak membela diri atas tuduhan yang tidak beralasan. Sebagaimana yang terjadi dalam perkara PT
DBI, REP hanya dapat menduga-duga alasan dirinya diberhentikan sementara karena
terdapat
perbedaan pendapat
terkait penggunaan laba PT DBI antara REP dengan pengurus-pengurus lainnya.
Meskipun demikian, hal tersebut tidak terbukti dan oleh karenanya kejelasan
alasan pemberhentian tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis. Yahya Harahap
dalam bukunya menyampaikan beberapa alasan yang dapat digunakan bilamana
pemberhentian sementara anggota direksi diperlukan, diantaranya bilamana orang
tersebut dianggap tidak cakap dan tidak mampu menjalankan kepengurusan
operasional perseroan, penyalahgunaan kedudukan, menggunakan aset perseroan
atau menggelapkan keuntungan perusahaan semata-mata demi kepentingan pribadi,
ataupun pelanggaran terhadap statuta duty yang wajib dipatuhi direksi
tersebut (Harahap, 2021).
Lebih lanjut berdasarkan susunan
pengurus PT DBI yang terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yaitu komisaris utama
dan komisaris, maka berdasarkan Pasal 108 ayat (4) dianggap sebagai suatu
majelis yang bertindak secara bersama-sama, sehingga tidak diperkenankan untuk
bertindak secara sendiri-sendiri. Pasal tersebut menegaskan dewan komisaris
bertindak berdasarkan “keputusan dewan komisaris”. Dalam hal ini, termasuk
mengenai diterbitkannya surat keputusan dewan komisaris tentang pemberhentian
direktur utama PT DBI juga harus ditandatangani oleh seluruh anggota dewan
komisaris. Namun telah terbukti dalam persidangan bahwa surat keputusan
tersebut hanya ditandatangani oleh NB selaku komisaris utama PT DBI. Sedangkan
Robby-T selaku komisaris PT DBI tidak ikut serta menandatangani surat
pemberhentian sementara tersebut. Padahal dalam anggaran dasar PT DBI telah
menentukan anggota dewan komisaris terdiri dari 2 (dua) orang. Meskipun telah
ditandatangani oleh komisaris utama, tidak ikut sertanya Robby-T selaku komisaris
untuk menandatangani surat keputusan tersebut adalah pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 108 ayat (4) UUPT yang mewajibkan tindakan secara bersama-sama
bila dewan komisaris terdiri dari 2 orang atau lebih. Dengan ditandatanganinya
surat keputusan tersebut hanya oleh seorang anggota dewan komisaris maka unsur
“bertindak secara bersama-sama” yang dianut UUPT tidak terpenuhi. Jika
diartikan lebih lanjut dapat dikatakan bahwa status “komisaris utama” yang
dimiliki NB tidak serta merta menjadikannya dapat bertindak seorang diri untuk
mewakili kepentingan perseroan.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka
ditemukan 2 (dua) fakta hukum yang telah terbukti dalam persidangan. Pertama,
Surat Keputusan Dewan Komisaris PT DBI No: 01/DKDBI/IV/2018 yang dikeluarkan
pada 5 April 2018 tidak memberikan keterangan mengenai alasan yang mendasari
pemberhentian sementara REP selaku direktur utama PT DBI. Hal tersebut
merupakan pelanggaran terhadap syarat prosedural pemberhentian sementara yang diatur dalam Pasal 106
ayat (1) UUPT. Kedua, surat keputusan tersebut hanya ditandatangani oleh
seorang komisaris utama dan tidak ditandatangani oleh anggota komisaris lain.
Hal ini melanggar ketentuan dalam Pasal 108 ayat (4) UUPT yang mewajibkan 2
(dua) orang atau lebih dewan komisaris untuk bertindak melalui suatu keputusan
secara bersama-sama. Kedua alasan ini dapat digunakan sebagai alasan diajukan
pembatalan keputusan tersebut karena tidak memenuhi syarat-syarat dalam UUPT.
Bila melihat kembali pada bagan 1. di atas, maka jika peristiwa pertama telah
tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, maka akan berpengaruh pula
terhadap peristiwa
selanjutnya yang juga berpotensi dianggap batal dan tidak sah.
Jika melihat kembali pada syarat-syarat
pemberhentian sementara anggota direksi perseroan
pada Pasal 106 ayat (4) UUPT, disebutkan bahwa dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari kalender setelah adanya surat keputusan dewan komisaris terkait
pemberhentian anggota direksi, maka perseroan harus menyelenggarakan
RUPS. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa penyelenggaraan RUPS ini
harus didahului dengan panggilan oleh dewan komisaris sebagai organ yang
melakukan pemberhentian sementara anggota direksi perseroan. RUPS ini
dilaksanakan dengan maksud untuk dapat memberikan kesempatan kepada anggota
direksi yang diberhentikan sementara untuk dapat membela diri
atas alasan-alasan pemberhentian dirinya . Jika dalam RUPS tersebut menguatkan
keputusan pemberhentian sementara, maka anggota direksi tersebut menjadi
diberhentikan untuk seterusnya (Indonesia, 2007).
Apabila dilihat dari tanggal sejak
terbitnya surat keputusan dewan komisaris pada 5 April 2018, maka pelaksanaan
RUPS pada 3 Mei 2018 telah memenuhi ketentuan Pasal 106 ayat (4) UUPT, karena
dilaksanakan dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal
pemberitahuan pemberhentian sementara. Lebih lanjut jika syarat jangka waktu
pelaksanaan RUPS sebagai prosedur kedua dari pemberhentian sementara anggota direksi perseroan
telah sesuai UUPT, maka selanjutnya akan membahas terkait syarat penyelenggaraan
RUPS yaitu harus diadakan pemanggilan, dengan memperhatikan ketentuan:
1.
pemanggilan dilakukan oleh siapa;
2.
jangka waktu pemanggilan; dan
3.
hal yang harus termuat dalam pemanggilan.
Syarat pertama ditentukan
berdasarkan Pasal 79 ayat (5) UUPT yang secara prinsipnya pemanggilan RUPS dilakukan oleh
direksi, namun dimungkinkan pula bagi dewan komisaris untuk melakukan
pemanggilan RUPS. Meskipun demikian, terdapat suatu kondisi yang harus
terpenuhi sebelum dewan komisaris dapat melakukan pemanggilan RUPS sendiri.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 ayat (2) UUPT, dewan komisaris dapat
mengajukan pelaksanaan penyelenggaraan RUPS kepada direksi melalui surat
tercatat yang disertai dengan alasannya. Jika dalam jangka waktu 15 (lima
belas) hari terhitung sejak tanggal surat tercatat tersebut direksi tidak juga
melakukan pemanggilan, maka dewan komisaris berhak untuk melakukan pemanggilan
RUPS (Alwesius, 2022). Kewenangan dewan komisaris ini
diperkuat kembali dalam dalam penjelasan Pasal 106 ayat (4) UUPT yang
menentukan bahwa panggilan RUPS terkait pemberhentian sementara dilakukan oleh organ
terkait. Organ yang berhak melakukan pemberhentian sementara adalah dewan komisaris.
Berdasarkan kasus posisi dalam putusan a
quo, pemanggilan RUPS dilakukan dengan undangan yang dibuat dan
ditandatangani oleh komisaris utama. Maka keabsahan pemanggilan tersebut harus
memenuhi syarat-syarat:
1.
Pasal 108 ayat (4) UUPT yang menentukan
jika terdapat lebih dari seorang dewan komisaris, maka mereka tidak dapat
bertindak secara sendiri-sendiri. Artinya, jika undangan tersebut hanya
ditandatangani oleh komisaris utama tanpa ditandatangani oleh komisaris
lainnya, menjadi tidak sah;
2.
Pasal Pasal 79 ayat (6) UUPT yang
menentukan dewan komisaris dapat melakukan pemanggilan RUPS, jika direksi tidak
melaksanakan pemanggilan RUPS atas permintaan dewan komisaris. Berdasarkan
ketentuan tersebut, dewan komisaris seharusnya terlebih dahulu meminta direksi
untuk menyelenggarakan RUPS dengan mata acara terkait pemberhentian sementara
REP selaku direktur utama. Namun dalam putusan a quo tidak diketahui secara
jelas apakah dewan komisaris telah mengajukan permintaan tersebut.
Sehingga keabsahan pemanggilan dewan
komisaris harus diperiksa berdasarkan syarat keabsahan pemanggilan RUPS
lainnya. Syarat
kedua, termuat dalam Pasal 82 UUPT yang menentukan pemanggilan RUPS dilakukan maksimal 14
(empat belas) hari sebelum dilaksanakannya RUPS tanpa memperhitungkan tanggal
pemanggilan dan tanggal pelaksanaan RUPS tersebut. Dalam pemanggilan tersebut
juga harus memuat keterangan terkait pelaksanaan RUPS seperti tanggal, waktu,
tempat, mata acara rapat, serta ketersediaan bahan rapat yang dapat diambil di
kantor perseroan. Jika kembali pada perkara PT DBI, diketahui bahwa RUPS
dilaksanakan pada tanggal 3 Mei 2018. Maka berdasarkan ketentuan dalam UUPT,
pemanggilan yang ditujukan kepada pemegang saham harus dilakukan paling lambat
18 April 2018. Namun, pemanggilan dilakukan pada tanggal 25 April 2018. Hal ini
jelas melanggar ketentuan UUPT terkait jangka waktu pemanggilan RUPS karena
hanya terhitung 7 (hari) saja sebelum pelaksanaan RUPS.
Terhadap syarat ketiga, ternyata dalam undangan pemanggilan
juga tidak dicantumkan mata acara RUPS PT DBI. Padahal RUPS ini diselenggarakan
sebagai prosedur lanjutan setelah penerbitan surat pemberhentian sementara
anggota direksi.
Terhadap tidak dipenuhinya
syarat-syarat pemanggilan RUPS, UUPT telah memberikan alternatif lain, yaitu
keputusan di dalam RUPS akan tetap dianggap sah dengan catatan semua pemegang
saham dengan hak suara yang hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan
pemberhentian tersebut disetujui dengan suara bulat (Wulandewi & Mudana, 2019). Artinya, tidak diperkenankan adanya
suara tidak setuju atau abstain dalam RUPS tersebut. Ketentuan ini tidak dapat
diberlakukan pada perkara PT DBI, karena RUPS dilaksanakan tidak dalam keadaan
yang kondusif dan REP telah terlebih dahulu keluar dari ruangan sehingga tidak
tercapai kesepakatan bulat. Sehingga ia berhak untuk menuntut pembatalan RUPS yang memutus
pemberhentiannya.
Melalui Putusan PT Surabaya No.
367/Pdt/2022 dan Putusan Mahkamah Agung No. 616 K/Pdt/2023, gugatan REP
dikabulkan sebagian sehingga:
a.
Keputusan Dewan Komisaris No. 01/DKDBI/IV/2018 tertanggal 5
April 2018;
b.
Resume Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa tertanggal 3 Mei 2018;
c.
Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT DBI pada
30 Juli 2018, dan Akta Pernyataan Keputusan Rapat tentang Penegasan Keputusan
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT DBI;
adalah tidak sah dan karenanya tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Oleh karenanya majelis hakim memutuskan
kedudukan REP selaku direktur utama PT DBI tetap sah dengan mengacu pada akta
pendirian PT DBI.
Prinsip Kehati-hatian Notaris
Dalam pembahasan mengenai prinsip
kehati-hatian notaris dalam pembuatan akta terkait RUPS, perlu diketahui
perbedaan antara Risalah Rapat dan Akta Pernyataan Keputusan Rapat (“Akta
PKR”). Akta Risalah Rapat merupakan akta relaas (ambtelijke akten) yang berarti
akta tersebut “dibuat oleh” Notaris. Artinya, Notaris secara langsung
menyaksikan rapat dan menuangkan apa yang terjadi dalam rapat kedalam akta, dan
oleh karenanya bertanggung jawab penuh atas akta yang dibuatnya. Sedangkan Akta
PKR merupakan akta partij, yang artinya akta tersebut dibuat “dihadapan”
Notaris atas dasar keinginan para pihak, yang dalam kasus ini Notaris membuat
akta berdasarkan pada notulensi yang dibuat dibawah tangan oleh para pengurus
perseroan yang hadir di dalam rapat. Keduanya dikategorikan dalam bentuk akta
otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
Sebagai pejabat yang berwenang untuk
membuat akta otentik, Notaris, dalam membuat Akta PKR harus memperhatikan
bukti-bukti lain selain penggunaan notulens RUPS yang dibuat di bawah tangan
sebagai dasar pembuatan Akta PKR. Mengingat Notaris harus menerapkan prinsip
kehatian-hatian dan bertindak secara seksama (teliti, cermat) dalam menjalankan
jabatannya. Tidak lepas karena Notaris dianggap sebagai officium nobile. Artinya,
notaris merupakan profesi mulia, luhur, dan terhormat untuk memberikan
pelayanan hukum dalam bidang keperdataan berupa pembuatan alat bukti tertulis
(akta) kepada seluruh masyarakat.
Undang-Undang Jabatan Notaris tidak
mendefinisikan/mengatur lebih lanjut terkait bagaimana prinsip kehatian-hatian
seharusnya dilaksanakan. Prinsip ini muncul karena terdapat notaris terlibat dalam
suatu perkara di
pengadilan berdasarkan akta yang telah dibuatnya. Sebenarnya
jika diperhatikan lebih lanjut, notaris sebagai pejabat umum hanya menyatakan
kehendak para penghadap ke dalam suatu bentuk tertulis berupa akta autentik.
Sehingga, notaris
bukan pihak dalam akta, karenaya
akta hanya mengikat
kepada para pihak didalamnya. Namun, prinsip kehati-hatian dapat digunakan
sebagai upaya perlindungan bagi notaris dari pertanggungjawaban yang sebenarnya
tidak ditujukan pada notaris.
Habib Adjie dalam bukunya menjelaskan
prinsip kehati-hatian yang dapat dilakukan oleh Notaris diantaranya adalah
memeriksa identitas para penghadap, proaktif dalam menanyakan serta mencermati
kehendak para penghadap, memeriksa bukti-bukti baik berupa surat maupun dokumen
yang berkaitan dengan kehendak para penghadap, bahkan dapat memberikan saran
yang sekiranya diperlukan (Adjie, 2009). Selain itu juga notaris harus
memastikan kesesuaian dengan UU Jabatan Notaris dan peraturan
perundang-undangan lain yang terkait dengan akta yang akan dibuat. Sedangkan
menurut Manuaba menyatakan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan prinsip
kehati-hatian adalah memeriksa identitas apra penghadap termasuk melakukan
verifikasi data-data yang diberikan penghadap, adanya tenggang waktu dalam
pembuatan akta autentik, bersikap cermat dan teliti (Manuaba et al., 2018). Sebenarnya notaris tidak perlu untuk mencari
kebenaran materiil dari tiap kehendak para penghadap, notaris hanya bekerja
berdasarkan bukti formil. Namun jika timbul keraguan atau ketidakyakinan
notaris dari keterangan-keterangan dan dokumen yang diberikan para penghadap,
prinsip kehati-hatian dapat diterapkan sebelum membuat akta autentik (Rahman, 2018).
Prinsip tersebut menjadi krusial ketika
notaris membuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat (Akta PKR). Akta PKR merupakan
akta yang dibuat di hadapan notaris berisikan kehendak para penghadap untuk
menyatakan risalah RUPS dibawah tangan ke dalam bentuk akta autentik. Sehingga notulensi rapat yang semula berstatus dibawah
tangan (underhand), ditingkatkan kekuatan pembuktiannya menjadi akta
autentik (notarized). Maka dapat terlihat bahwa dibuatnya suatu Akta PKR
harus didasarkan pada notulensi rapat yang telah dibuat oleh ketua
rapat perseroan dan ditandatangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu)
orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS (D. A. S. Harahap, 2022). Ketentuan tersebut dimaksudkan agar
dapat menjamin kebenaran dan kepastian dari isi risalah RUPS tersebut. Pada
saat pembuatan Akta PKR ini dapat dipahami pula bahwa notaris membuat akta
hanya berdasarkan dokumen yang diberikan oleh para penghadap tanpa menyaksikan
secara langsung RUPS yang dimaksud. Oleh karena itu, notaris diberikan hak
untuk menolak membuat akta selama hal tersebut beralasan (Salamah & Iriantoro, 2022). Hal tersebut dapat dilakukan
diantaranya karena notaris tidak meyakini identitas para penghadap / tidak
mengenali para penghadap atau karena penghadap menghendaki sesuatu yang
dilarang dalam undang-undang (Tobing, 1983).
Berdasarkan pembahasan pada poin 1 di
atas, dapat diketahui bahwa rangkaian peristiwa hukum yang terjadi yaitu:
a.
Terbitnya Keputusan Dewan Komisaris Nomor: 01/DKDBI/IV/2018
tertanggal 5 April 2018 tentang Pemberhentian Sementara REP selaku direktur
utama PT DBI (selanjutnya disebut “Surat Pemberhentian”);
b.
RUPS pada 3 Mei 2018 sebagai tindakan lanjut dari
pemberhentian sementara (selanjutnya disebut: “RUPS Pertama”);
c.
RUPS pada 30 Juli 2018 sebagai penegasan akan RUPS Pertama (selanjutnya disebut: “RUPS Kedua”);
hanya melibatkan notaris saat RUPS Kedua. Dimana, Notaris MI diminta untuk
membuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat berdasarkan notulensi RUPS bawah
tangan.
Umumnya, bukti-bukti yang dilampirkan
oleh penghadap adalah notulensi rapat bawah tangan, untuk kemudian dibuatkan ke dalam bentuk notariil.
Sebagai salah satu bentuk penerapan prinsip kehati-hatian, notaris harus meminta kelengkapan
dokumen yang berkaitan dengan notulensi dibawah tangan oleh PT DBI (Lubis, 2021).
Dokumen kelengkapan diantaranya seperti akta pendirian perseroan beserta
perubahannya, surat undangan RUPS, tanda terima undangan RUPS, daftar hadir
yang disertai tanda tangan atau sidik jari, tata tertib rapat, daftar pemegang
saham, serta profil perseroan. Dalam kasus a quo, perlu diingat Notaris
MI tidak hanya memeriksa dokumen terkait RUPS Kedua saja, melainkan pemeriksaan dokumen
yang sama berlaku terhadap RUPS Pertama sampai pada terbitnya keputusan dewan
komisaris tertanggal 5 April 2018, karena sebagai suatu satu rangkaian
peristiwa yang tidak dapat dipisahkan.
Jika notaris telah melakukan penerapan
prinsip kehati-hatian dan bersikap teliti serta cermat dalam putusan a
quo, seharusnya Akta No. 8
tertanggal 27 Agustus 2018 tidak pernah tercipta karena 2
(dua) alasan. Pertama,
pemeriksaan pertama kali yang dilakukan terhadap RUPS Kedua sebagai RUPS
penegasan tidak akan lepas pemeriksaan dari dokumen kelengkapan RUPS Pertama.
Seharusnya pengecekkan ini akan menemukan fakta bahwa penyelenggaraan RUPS
Pertama telah tidak memenuhi syarat-syarat UUPT karena jangka waktu pemanggilan
RUPS dan dalam undangan tidak dicantumkan mata acara RUPS. Hal ini akan berdampak pada RUPS
Pertama tidak memiliki kekuatan hukum. Secara otomatis seharusnya RUPS Kedua
tidak dapat dilaksanakan. Kedua, pada saat pemeriksaan RUPS Pertama juga
seharusnya menemukan fakta bahwa pemberhentian sementara yang dilakukan dewann
komisaris PT DBI adalah tidak sah dan tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga RUPS Kedua yang dilaksanakan
berdasarkan pemberhentian sementara tidak sah tersebut juga secara otomatis
tidak memiliki kekuatan hukum.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil
penelitian dan pembahasan pada poin C tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa;
(1) pemberhentian sementara terhadap salah satu anggota direksi PT DBI tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena dalam surat keputusan
pemberhentian sementara oleh dewan komisaris tidak memenuhi syarat dalam UUPT. Pertama,
di dalam surat keputusan tersebut tidak memuat alasan pemberhentian sementara;
dan kedua, surat keputusan tersebut tidak ditandatangani lengkap oleh
kedua anggota dewan komisaris. Selain itu, RUPS yang yang dilaksanakan sebagai
tindak lanjut dari pemberhentian sementara tersebut juga tidak memenuhi
prosedur penyelenggaraan RUPS dalam UUPT. Pertama, tidak memenuhi jangka
waktu pemanggilan RUPS; dan kedua, undangan RUPS tidak ditandatangani
lengkap oleh kedua anggota dewan komisaris. Dan (2) bagi notaris yang membuat
akta PKR berdasarkan notulensi RUPS bawah tangan PT DBI harus memeriksa kembali
kelengkapan dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan RUPS tersebut seperti akta pendirian perseroan beserta
perubahannya, surat undangan RUPS, tanda terima undangan RUPS, daftar hadir
yang disertai tanda tangan atau sidik jari, tata tertib rapat, daftar pemegang
saham, serta profil perseroan. Khususnya dalam kasus ini, RUPS
diselenggarakan sebagai penegasan atas pemberhentian sementara anggota direksi
PT DBI yang ternyata tidak sah. Sehingga selain dokumen tersebut di atas, notaris
harus memeriksa seluruh kelengkapan dokumen sampai dengan peristiwa hukum
pertama, yaitu diterbitkannya surat keputusan dewan komisaris atas
pemberhentian sementara anggota direksi PT DBI. Bilamana notaris kurang
mencermati dokumen-dokumen terkait, maka akta yang dibuat berpotensi dinyatakan
batal oleh pengadilan.
BIBLIOGRAFI
Adjie, H. (2009). Meneropong
khazanah notaris dan PPAT Indonesia: kumpulan tulisan tentang notaris dan PPAT.
Citra Aditya Bakti.
Adriadi,
R. P., Pratama, S. A., & Syahida, A. Q. (2021). Perubahan Pengaturan
Pendirian Perseroan Terbatas Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasca
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Indonesian Notary, 3(2).
Alwesius.
(2022). Dasar-Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris (Cet.3). Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesiaj.
Budiarto,
A. (2002). Kedudukan hukum dan tanggung jawab pendiri perseroan terbatas.
Ghalia Indonesia.
Harahap,
D. A. S. (2022). Tanggung Jawab Notaris terhadap Pembuatan Akta Berita Acara
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Sesuai Pasal 90 Ayat (2) Undang-Undang
Perseroan Terbatas. Universitas Sumatera Utara.
Harahap,
Y. (2021). Hukum perseroan terbatas. Sinar Grafika (Bumi Aksara).
Indonesia,
R. (2007). Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 2007 tentang
perseroan terbatas. Jakarta: Sekretariat Negara.
Lubis,
A. M. (2021). Analisis Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Tanggung Jawab
Hukum Notaris dalam Pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Para Pemegang Saham
Perseroan Terbatas (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa No.
60/Pdt.G/2018/PN.Sgm). Universitas Indonesia.
Manuaba,
P., Bagus, I., Parsa, I. W., Ariawan, K., & Gusti, I. (2018). Prinsip kehati-hatian
notaris dalam membuat akta autentik. Udayana University.
Rahman,
F. A. (2018). Penerapan Prinsip Kehati-hatian Notaris dalam mengenal para
penghadap. Universitas Islam Indonesia.
Salamah,
S., & Iriantoro, A. (2022). Prinsip Kehati-Hatian dan Tanggungjawab Notaris
Dalam Membuat Akta Berdasarkan Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Jabatan
Notaris (Studi Kasus Putusan Nomor 457 PK/Pdt/2019). Imanot: Jurnal
Kemahasiswaan Hukum & Kenotariatan, 1(2), 555–579.
Satrio,
J. (1999). Hukum Pribadi. Citra Aditya Bakti.
Sidik,
Y. M. (2023). Keabsahan Akta Perubahan Anggaran Dasar Dan Data Perseroan
Akibat Perbuatan Melawan Hukum Oleh Direksi Dihubungkan Dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Fakultas Hukum Universitas
Pasundan.
Sjawie,
H. F., & SH, L. L. M. (2017). Direksi perseroan terbatas serta
pertanggungjawaban pidana korporasi. Prenada Media.
Tobing,
G. H. S. L. (1983). Peraturan jabatan notaris (notaris regelement).
Erlangga.
Wulandewi,
I. A. K. T., & Mudana, I. N. (2019). Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas
yang Anggaran Dasarnya Tidak Sesuai dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatase. Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, 7(40),
1–20.
Copyright
holder: Andira
Permata Sari (2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |