Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 9, No. 2, Februari 2024
DISPARITAS
HUKUMAN
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PEDOMAN PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH
MAHKAMAH AGUNG
Yohana Maria Theresia, Markoni, Nardiman
Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Dalam praktik peradilan penanganan perkara korupsi
sering terjadi disparitas pidana yang tidak saja mengenai jangka waktu
pemidanaan yang dijatuhkan, tapi juga mengenai jenis pidana serta praktik
pelaksanaan pidana tersebut. Disparitas pemidanaan yang tidak dilandasi dasar
dan alasan yang rasional berdampak negatif bagi proses penegakan hukum. Tujuan
dari penelitian adalah untuk menganalisis pertimbangan hukum dan kendala hakim
atas terjadinya disparitas hukuman dalam tindak pidana korupsi.
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif
yang didasarkan pada bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan
interpretasi dan sistematisasi antar peraturan perundang-undangan, serta
menggunakan teori penjatuhan hukuman, teori penegakan
hukum, teori hukum pidana, teori pertimbangan hakim, dan teori
pertanggung-jawaban pidana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan
Mahkamah Agung No. 1/2020 lahir dengan dilandasi dasar pemikiran bahwa
penjatuhan pidana harus dilakukan dengan memperhatikan proporsionalitas
pemidanaan tanpa menyampingkan kepastian hukum. Peraturan Mahkamah Agung ini
juga lahir sebagai upaya nyata dalam hal memberikan tolok ukur yang memudahkan
bagi hakim, terutama dalam hal penegakan hukum, berupa menetapkan berat
ringannya pemidanaan, berdasarkan pertimbangan yang lengkap dan komprehensif
atas kerugian negara, tingkat kesalahan, dampak, dan rentang pemidanaan, serta
dengan tidak melupakan hal-hal yang meringankan dan memberatkan serta dengan tidak mengurangi kewenangan dan
kemandirian hakim.
Kata Kunci: Disparitas, Korupsi, Peraturan
Mahkamah Agung
Abstract
In the
practice of the judiciary dealing with corruption cases, there is often a
criminal disparity which is not only about the length of the sentence imposed,
but also regarding the type of crime and the practice of implementing the
crime. The occurrence of disparity in sentencing that is not based on a
rational basis or reason can harm the law enforcement process. The research aims to
understand further the background of the legal considerations and the Judge’s
constraints related to the occurrence of the disparity in sentencing’. This
type of research in legal writing is normative legal research based on primary,
secondary and tertiary legal materials with interpretation and systematization
of laws and regulations, as well as using sentencing theory, law enforcement
theory, criminal law theory, judge judgment theory, and theory criminal
responsibility. The results of the research show that Supreme Court Regulation
No. 1/2020 was formed and formalized
based on the premise that sentencing must be carried out by taking into account
the proportionality of sentencing without neglecting legal certainty. This
Supreme Court Regulation was also formed
as a real effort in terms of providing benchmarks that make it easier for
judges, especially in terms of law enforcement, in the form of determining the
severity of sentencing, based on a complete and comprehensive consideration of
state losses, the level of guilt, impact, and range of sentencing. as well as
by not forgetting mitigating and aggravating matters and by not reducing the
authority and independence of judges.
Keywords: Disparity,
Corruption, Supreme Court Regulation
Pendahuluan
Disparitas
pemidanaan pada tindak pidana korupsi sering diperbincangkan di kalangan
akademisi, pemerhati, dan praktisi hukum di Indonesia (Danil, 2021). Tidak
sedikit yang beranggapan keberadaan disparitas pemidanaan ini akan kontra
produktif dengan upaya pemberantasan korupsi yang tengah dilakukan negeri ini.
Secara lebih khusus, disparitas pemidanaan sering diperbincangkan dalam konteks
yang lebih sempit dan dimaknai sekedar terjadinya perbedaan hukuman antara dua
atau lebih kasus yang memiliki karakteristik serupa. Di Indonesia, disparitas
pemidanaan terkait perkara korupsi bukan merupakan hal yang baru. Contoh
disparitas pemidanaan perkara korupsi di Indonesia bisa dilihat pada perkara
suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Kasus tersebut,
sekurangnya melibatkan 29 (dua puluh sembilan) anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI). Dalam kenyataanya pidana penjara yang dijatukan
kepada para penerima suap tidak sama dan
bervariasi. Padahal peran yang dilakukan penerima relatif sama, yaitu menerima
uang/janji untuk memilih Miranda Gultom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank
Indonesia (Langkun et al., 2014).
Disparitas pemidanaan dalam perkara korupsi
merupakan salah satu faktor utama yang mendorong Undang-Undang 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 (Pinarta & Mertha, 2020). Salah
satu perubahan yang terjadi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah
perumusan ancaman hukumannya. Dalam undang-undang ini, ancaman pidana minimum
khusus mulai diatur kembali.
Berbicara mengenai disparitas putusan, maka tidak dapat dipisahkan dengan independensi
hakim. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
menyatakan bahwa: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Annisa, 2017). Selain
itu Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, menyatakan bahwa: dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa.
Ada banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan, tetapi pada akhirnya
hakimlah yang memegang peranan penting dalam hal ini. Eva
Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji menyatakan: Independensi
hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bukan tanpa batas, terdapat asas nulla poena sine lege yang memberi batas
kepada hakim untuk memutuskan sanksi pidana berdasarkan takaran yang sudah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (Ariyanti, 2019). Meskipun
ada takaran, masalah disparitas akan tetap terjadi karena jarak antara sanksi
pidana minimal dan maksimal dalam takaran itu terlampau besar. Berdasarkan
uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap masalah
ini dan menulisnya dalam bentuk jurnal dengan judul: “Disparitas Hukuman
Perkara Tindak Pidana Korupsi Dan Pedoman Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi Oleh
Mahkamah Agung”.
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
penelitian yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ‘Bagaimana
latar-belakang pertimbangan hukum dan kendala hakim atas terjadinya disparitas hukuman’. Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis
pertimbangan hukum dan kendala hakim atas terjadinya disparitas hukuman dalam
tindak pidana korupsi.
Metode Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini
adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang memberikan penjelasan
sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, serta
menganalisis hubungan antara peraturan (Marzuki, 2017).
Penelitian ini didasarkan pada bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan
interpretasi dan sistematisasi antar peraturan perundang-undangan. Penelitian ini bersifat deskriptif
analitis, dengan menggunakan penelitian
kepustakaan (library research). Dalam
pengumpulan bahan hukum ini data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu
data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber primer (asli) tetapi
diperoleh dari bahan-bahan pustaka baik bahan hukum primer, sekunder maupun
bahan hukum tersier yang berkaitan dengan
tujuan penelitian ini.
Sifat penelitian dalam penulisan hukum ini adalah
deskiptif analitis, yaitu obyek yang diteliti dengan cara menyajikan dan
menjelaskan data secara lengkap, terperinci dan sistematis. Kemudian terhadap
data tersebut dilakukan analisis dengan menggunakan teori-teori ilmu hukum,
khusunya hukum pidana, dan peraturan perundang-undangan, khususnya yang
berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana untuk meminimalisir disparitas pemidanaan
tindak pidana korupsi melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020.
Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran baru dan sekaligus memberi manfaat bagi
perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana mengenai disparitas pemidanaan
tindak pidana korupsi. Secara praktis dapat memberikan sebuah sumbangan
pemikiran yang bermanfaat kepada hakim, para penegak hukum dan akademisi
mengenai disparitas pemidaan tindak pidana korupsi berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020.
Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori penjatuhan hukuman, teori penegakan hukum, teori hukum pidana,
teori pertimbangan hakim, dan teori pertanggung-jawaban pidana.
Teori
Penjatuhan Hukuman
Pada dasarnya penjatuhan hukuman adalah
bentuk pemberian penderitaan kepada orang. Para ahli hukum seperti Simons,
Sudarto, Roeslan Saleh, Ted Honderich, Alf Ross, P.A.F Lamintang mengatakan
penjatuhan hukuman menunjuk kepada suatu bentuk penderitaan terhadap si pelaku (Ekaputra & Kahir, 2010). G.P.
Hoefnagel mengatakan penjatuhan hukuman bukan saja penderitaan tetapi termasuk
semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan undang-undang,
sejak penangkapan, penahanan, penuntutan, dan sampai dijatuhkannya vonis (Muladi & Arief, 2005).
Soegandhi mengatakan bahwa penjatuhan
hukuman sama dengan pemidanaan yang berarti perasaan tidak enak (penderitaan
nestapa) yang dijatuhkan hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar
undang-undang hukum pidana. Tujuan dari hukuman antara lain sebagai pembalasan,
memberikan rasa takut (deterrence)
agar tidak lagi melakukan kejahatan, memperbaiki orang yang telah melakukan
kejahatan ataupun untuk mempertahankan tata tertib kehidupan bersama (Sugandhi, 1981).
Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi
kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal (Dellyana, 1988).
Sebagai
suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan
diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal
law application) yang melibatkan berbagai sub sistem struktural berupa
aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, termasuk
didalamnya tentu saja lembaga penasihat hukum (Dellyana, 1988).
Teori Hukum Pidana
Secara teori, setidaknya terdapat 3 (tiga)
teori pidana, yaitu teori absolut, teori relatif dan teori gabungan.
a.
Teori absolut merupakan teori yang lahir
dari aliran klasik hukum pidana. Aliran klasik sendiri merupakan aliran hukum
pidana yang lahir pada abad pertengahan, di mana saat itu di Eropa sana,
raja-raja berkuasa sangat absolut dan tidak ada batasan yang jelas mengenai
perbuatan yang dapat dipidana maupun tidak.
b.
Teori relatif. Teori yang lahir dari
aliran modern hukum pidana. Berbeda dengan aliran klasik yang melahirkan asas
legalitas dan bertujuan melindungi kepentingan individu dari
kesewenang-wenangan penguasa, aliran modern bertujuan untuk melindungi masyarakat
dari kejahatan. Le salut du people est la
supreme loi. Hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat.
c.
Teori gabungan, yakni teori yang
menggabungkan teori absolut dan teori relatif. Teori gabungan ini berangkat
dari pemikiran bahwa, baik teori absolut maupun teori relatif sama-sama
memiliki kelemahan, sehingga kedua teori ini digabungkan untuk menutupi
kekurangan dari masing-masing teori tersebut. Dalam teori gabungan, pidana
digunakan selain untuk membalas perbuatan pelaku, juga untuk memperbaiki pelaku
agar pelaku tidak mengulangi tindak pidana lagi di masa mendatang.
Teori Pertimbangan Hakim
Putusan
hakim merupakan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili
oleh hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut (Sudarto & Pidana, 1993):
a.
Keputusan mengenai peristiwanya, apakah
terdakwa telah melakukan perbuatan yang di tuduhkan kepadanya.
b.
Keputusan mengenai hukumnya, apakah
perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah
terdakwa bersalah dan dapat dipidana.
c.
Keputusan mengenai pidananya, apabila
terdakwa memang dapat di pidana.
Pertanggungjawaban Pidana
Tindak
pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan,
merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta undang-undang pidana.
Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu
bertanggung jawab, syarat-syarat seorang terdakwa mampu bertanggung jawab
adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dan faktor kehendak yaitu
dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang
tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan
keinsyafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak (Saleh, 1999).
Hasil dan Pembahasan
Dalam konteks tindak pidana, perlu
dibedakan antara karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan
karakteristik orang yang melakukannya. Karakteristik orang yang melakukan
tindak pidana berhubungan dengan penentuan dapat dipertanggungjawabkannya suatu perbuatan
oleh yang bersangkutan. Berdasarkan hal di
atas, antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bukan hanya dibedakan
tetapi lebih jauh lagi harus dipisahkan.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat
dikatakan bahwasannya tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang yang dapat bertanggung jawab atas tindakannya tersebut (Pradana, 2015). Di mana tindakan yang dilakukannya
tersebut adalah tindakan yang melawan atau melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Sehingga tindakan tersebut dapat diancam
dengan suatu pidana yang bermaksud memberi efek jera, baik bagi individu yang
melakukannya maupun bagi orang lain yang mengetahuinya.
Menurut Hermien HK, istilah korupsi yang
berasal dari kata “corrupteia” yang
dalam bahasa Latin berarti seduction
atau bribery. Bribery adalah memberikan atau menyerahkan kepada seseorang untuk
agar orang tadi memperoleh keuntungan. Sedangkan seduction berarti sesuatu yang menarik yang membuat seseorang
menjadi menyeleweng (Hermien, 1994).
Korupsi selalu membawa konsekuensi negatif
terhadap proses demokratisasi dan pembangunan, sebab korupsi telah
mendelegetimasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik
melalui money politics. Korupsi juga
telah mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, menghilangkan akuntabilitas publik serta mengingkari the rule
of law. Di sisi lain, korupsi menyebabkan
berbagai proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah serta tidak
sesuai dengan kebutuhan yang semestinya, sehingga menghambat pembangunan jangka
panjang yang berkelanjutan (Santoso, 2011).
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan-ketentuan yang mengancam dengan pidana
orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik-delik yang dilakukan
oleh pejabat yang terkait dengan korupsi. Ketentuan-ketentuan tindak pidana
korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi
atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu,
dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah
korupsi, dengan harapan dapat mengisi serta menyempurnakan kekurangan yang
terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan berlakunya Undang-Undang
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210
KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417
KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425
KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku (Santoso, 2011).
Ada banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya disparitas putusan. Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling
menentukan terjadinya disparitas. Dalam melaksanakan fungsi peradilan hakim
yang merupakan benteng terakhir dari keadilan memiliki kebebasan untuk memilih
jenis putusan pidana yang dikehendaki berkaitan dengan penerapan system
alternatif dalam pengancaman pidana dalam undang-undang serta memilih beratnya
pidana yang akan dijatuhkan, hal ini ini karena yang ditentukan dalam undang-undang
adalah rentang pidana maksimum dan minimumnya. Sehingga dalam batas-batas
maksimum dan minimum tersebut hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana
yang dianggap tepat.
Faktor
kultural, latar belakang sosial dan fakor human juga merupakan faktor
internal yang dapat mempengaruhi disparitas putusan, walaupun tindak pidana
yang dilakukan dapat dikatakan sama (Sucahyo & Purwoto, 2013). Misalnya, ada dua
orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara yang sama dan akibat yang
hampir sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan Pasal 362 KUHP, namun hukuman
yang dijatuhkan dapat saja berbeda.
Posisi
hakim menjadi kuat karena kedudukannya secara konstitusional dijamin secara
penuh oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, seperti
yang tercantum dalam Bab IX Pasal 24 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Masalah disparitas pidana masih terus
terjadi karena adanya jarak antara sanksi pidana minimal dengan sanksi pidana
maksimal dalam takaran yang terlalu besar. Proses pembentukan Peraturan
perundang-Undangan juga berpengaruh karena tidak adanya standard untuk
merumuskan sanksi pidana. Upaya untuk meminimalisir disparitas pidana adalah
dengan cara membuat pedoman pemidanaan. Meskipun berat ringannya hukuman menjadi
wewenang hakim tingkat pertama dan banding, tetapi dalam beberapa Putusan Hakim
Agung mengkoreksi vonis dengan alasan pemidanaan yang
proposional. Tindak
pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang
dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat (Umar, 2020). Melihat kenyataan tersebut maka permasalahan
disparitas putusan dalam tindak pidana korupsi harus diminimalisir sedapat
mungkin sehingga penjatuhan putusan pidana tidak saja dengan tujuan untuk
mengembalikan kerugian negara, namun yang lebih penting adalah untuk
menimbulkan efek jera guna mencegah semakin meluasnya tindak pidana korupsi di
negara tercinta ini.
Berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW) ditemukan
fakta bahwa disparitas yang cukup mencolok dalam masalah uang pengganti,
khususnya penjara pengganti yang ditetapkan oleh pengadilan. Sebagai contoh
terdapat putusan dimana penjara pengganti atas uang pengganti sebesar Rp. 2,7 milyar (putusan MA No. 2 K/Pid.Sus/2012) ditetapkan oleh pengadilan selama 3
bulan penjara, sementara terdapat juga putusan dimana atas uang pengganti
sebesar Rp. 2,8 juta (putusan MA No. 50
K/Pid.Sus/2010) penjara
pengganti yang ditetapkan selama 1 tahun penjara. Contoh lainnya yaitu terdapat
uang pengganti sebesar Rp. 5,5 milyar (putusan MA No. 2688 K/Pid.Sus/2009) dengan
penjara pengganti selama 5 tahun, sementara dalam perkara lain yang besaran
uang penggantinya sebesar Rp. 378 milyar (putusan MA No. 655 K/Pid.Sus/2010)
penjara pengganti yang ditetapkan hanya 1 tahun (Langkun et al., 2014).
Setiap penjatuhan
pidana harus dilakukan dengan memperhatikan kepastian dan proporsionalitas
pemidanaan untuk mewujudkan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk menghindari disparitas
perkara yang memiliki karakter serupa, diperlukan pedoman pemidanaan. Berdasarkan hal tersebut, maka Mahkamah Agung
telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Manihuruk et al., 2022). Dalam
Pasal 20 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga
ditentukan bahwa pedoman pemidanaan tidak mengurangi kewenangan hakim untuk
menjatuhkan pidana tambahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dilihat bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020
tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi salah satu tujuannya adalah disparitas pemidanaan perkara
tindak pidana korupsi. Dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut diatur cukup
jelas jenjang atau bobot kategorisasi hukuman, yang paling berat penentuan
jumlah kerugian negara Rp. 100 miliar lebih dengan hukuman penjara seumur
hidup. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan
Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
disamping dapat memperkecil disparitas (perbedaan) hukuman pada kasus tindak
pidana korupsi juga diharapkan memiliki efek jera terhadap para koruptor serta
efek preventif (pencegahan).
Beberapa
penyebab disparitas penjatuhan pidana yang dapat penulis kemukakan, adalah Undang-undang, Hakim, Terdakwa dan Korban.
Pandangan
mengenai disparitas penjatuhan pidana merupakan suatu pembenaran dengan
ketentuan bahwa disparitas penjatuhan pidana harus didasarkan pada
alasan-alasan yang jelas dan dapat dibenarkan. Pandangan ini sejalan dengan
asas kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan
padanya. Pandangan ini juga merupakan bentuk refleksi yang mana hakim dalam
usahanya untuk tetap menjaga kewibawaan hukum, harus dapat
mempertanggungjawabkan putusan yang dihasilkannya dengan memberikan alasan yang
benar dan wajar tentang perkara yang diperiksanya. Jika hal ini diterapkan,
secara logika disparitas peradilan pidana akan dapat diterima oleh pihak yang
bersangkutan maupun masyarakat secara luas.
Kehadiran
Peraturan Mahkamah Agung tersebut dapat mengakselerasi pemberantasan korupsi di
Indonesia serta mewujudkan kepastian hukum dan keadilan. Peraturan Mahkamah
Agung ini, merupakan salah satu cara Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan
yudikatif tertinggi untuk mencegah terjadinya disparitas pemidanaan terhadap
kasus-kasus tindak pidana korupsi khususnya penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU
Tindak Pidana Korupsi. Hal ini lantaran dalam praktiknya seringkali terjadi
pemidanaan yang berlainan terhadap kasus sejenis dan menimbulkan pertanyaan
publik.
Pada
pokoknya, diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung tersebut untuk menghindari
disparitas pemidanaan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi yang dalam
praktik sering menimbulkan pertanyaan publik terhadap tiada prinsip keadilan
pemidanaan. Selain itu, Peraturan
Mahkamah Agung tersebut merupakan aturan yang relevan dan signifikan, dimana
penentuan jumlah kerugian negara Rp. 100 miliar lebih dengan hukuman penjara
seumur hidup adalah sebuah aturan yang responsif dan progresif.
Diterbitkannya
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2
dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksudkan untuk
menghindari disparitas pemidanaan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi. Akan tetapi, pada praktiknya penerapan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2
dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih menghadapi
beberapa kendala, yaitu Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih kurang lengkap, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menitikberatkan
pada kerugian negara dan dampak
korupsi seyogyanya dilengkapi dengan table pedoman untuk
kasus koruspi yang berkaitan dengan gratifikasi atau suap yang secara statistis
merupakan kasus yang cukup banyak terjadi di Indonesia. Ancaman hukuman
mati dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menurut pendapat penulis hendaknya disertai dengan
aturan atau ketentuan pendamping, atau dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis untuk dapat memastikan bahwa konsekuensi terberat yang menjadi
akibat dari suatu perbuatan pidana sudah didasari oleh hal-hal yang mendapatkan
legitimasi dari pihak berwenang, sehingga tujuan dari pemidaan dapat tercapai
tanpa keraguan dan supermasi hukum dapat berdiri tegak.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan, sebagai berikut; (1) pertimbangan
hukum atas diberlakukanan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 yaitu
untuk memudahkan hakim dalam mengadili perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal
3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mencegah perbedaan rentang
penjatuhan pidana terhadap perkara tindak pidana yang memiliki karakteristik
yang serupa tanpa disertai pertimbangan yang cukup dengan tidak mengurangi
kewenangan dan kemandirian hakim, mewajibkan Hakim untuk mempertimbangkan
alasan dalam menentukan berat ringannya pidana terhadap perkara tindak pidana,
dan mewujudkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan yang proporsional
dalam menjatuhkan pidana terhadap perkara tindak pidana korupsi, dan (2) kendala
yang dihadapi dalam penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 dan
bagaimana upaya jalan keluarnya, yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi masih kurang lengkap. Sebagai upaya jalan keluarnya,
Peraturan Mahkamah Agung tersebut sebaiknya dilengkapi dengan pedoman
pemidanaan kasus-kasus suap dan gratifikasi, karena secara statistik kasus ini paling
banyak terjadi serta sering menimbulkan disparitas pidana. Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung yang menitikberatkan
pada kerugian negara dan dampak korupsi, maka dalam hal ini Mahkamah Agung
mendorong para hakim untuk menggunakan landasan dampak korupsi yang
ditimbulkan, mentukan klaster perkara korupsi yang masuk kelas kakap, sedang,
dan kecil berdasarkan jumlah kerugian negara, dan ancaman minimal bagi terdakwa
korupsi tidak boleh melampaui ketentuan yang sudah digariskan Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi.
BIBLIOGRAFI
Annisa, N. F. (2017). Peranan Hakim
sebagai Penegak Hukum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Lex et Societatis, 5(3).
Ariyanti,
V. (2019). Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal
Yuridis, 6(2), 33–54.
Danil,
E. (2021). Korupsi: Konsep, Tindak Pidana Dan Pemberantasannya. PT. Raja
Grafindo Persada.
Dellyana,
S. (1988). Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty, 33.
Ekaputra,
M., & Kahir, A. (2010). Sistem Pidana di dalam KUHP dan pengaturannya
menurut Konsep KUHP Baru. USUpress.
Hermien,
H. K. (1994). Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana
Korupsi. Bandung. Citra Aditya Bhakti.
Langkun,
T. S., Wasef, M., & Wahyu, T. (2014). Studi Atas Disparitas Putusan
Pemidanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi.
Manihuruk,
T. N. S., Daeng, Y., & Johar, O. A. (2022). Penerapan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 Dan Pasal 3
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Negeri
Pekanbaru. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 9(2), 162–169.
Marzuki,
M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media.
Muladi,
B., & Arief, B. N. (2005). Teori-teori dan kebijakan Pidana. Alumni,
Bandung: Hlm, 90.
Pinarta,
I. P. B., & Mertha, I. K. (2020). Pengaturan Tindak Pidana Korupsi:
Analisis Disparitas Penanggulangan Penjatuhan Pidana di Indonesia. Jurnal
Kertha Semaya, 8(10).
Pradana,
A. M. (2015). Tinjauan hukum pidana terhadap prostitusi dan pertanggungjawaban
pidana para pihak yang terlibat dalam prostitusi. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 45(2), 276–307.
Saleh,
R. (1999). Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru.
Santoso,
I. (2011). Memburu tikus-tikus otonom: gerakan moral pemberantasan korupsi.
Penerbit Gava Media.
Sucahyo,
D., & Purwoto, S. (2013). Disparitas Penjatuhan Pidana Terhadap Tindak
Pidana Pemalsuan Surat. Diponegoro Law Journal, 2(3), 1–12.
Sudarto,
K. S. H. P., & Pidana, H. (1993). Hukum dan Hukum Pidana.
Sugandhi,
R. (1981). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Penjelasannya. (No
Title).
Umar,
O. (2020). Eksistensi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Menurut
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002.
Copyright
holder: Yohana
Maria Theresia, Markoni, Nardiman
(2024) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |