Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 5, Mei
2024
Annisa Rachman Supartono1, Annisa Dwirizki2, Nabila
Mauraputri Wijayasari Irsyam3, Bella Rizkylillah Suseno4,
Phalita Gatra5, Bimbi Fonseca6
Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia1,2,3,4,5,6
Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, [email protected]4, [email protected]5, [email protected]6
Berdasarkan gagasan dari berbagai penulis dalam penelitian
sebelumnya, spiritualitas seringkali dipandang sebagai bagian dari budaya yang
melekat dengan sistem kepercayaan pada entitas kelompok masyarakat lokal di
suatu wilayah, dimana para penulis beranggapan bahwa spiritualitas mampu
mempengaruhi pengambilan keputusan tentang penggunaan sumber daya lokal dalam
pembangunan. Berbagai pandangan terkait spiritualitas dalam pembangunan ini
menarik untuk dikaji, terlebih mengenai relasi antara konsep-konsep
spiritualitas dengan praktik pembangunan yang ada saat ini; apakah keduanya
berjalan selaras atau saling bertentangan. Maka dari itu penulis merasa perlu melakukan
kajian dengan tujuan sebagai berikut, yakni mengetahui kaitan spiritualitas
dengan pembangunan serta penerapan spiritualitas dalam pembangunan di
Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelusuran pustaka dari berbagai
buku dan jurnal terkait. Adapun studi kasus dalam penelitian ini meliputi
nilai-nilai Tri Hita Karana pada masyarakat Bali; tradisi Baumo pada masyarakat
Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari, Jambi; tradisi Merti Desa pada
masyarakat Kecamatan Mangunrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah; dan nilai-nilai mitologi Nyi Roro Kidul di Pantai
Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan adanya
keterkaitan antara spiritualitas dan etika dalam pembangunan: pengetahuan dan
pemahaman terhadap budaya lokal khususnya dalam hal spiritualitas sangat
penting dan berguna bagi pengambil kebijakan pembangunan untuk menjadikan kebijakan
di tingkat lokal menjadi lebih efektif dan efektif. berkelanjutan dimana
memahami spiritualitas sebagai salah satu etika dalam pelaksanaan pembangunan.
Kata
kunci: Etika dalam pembangunan, kearifan
lokal, spiritualitas
Abstract
Based on the ideas from the previous research, spirituality
is often viewed as an integral part of the culture intertwined with the belief
systems of local community entities in a particular region. These authors
believe that spirituality has the potential to influence decision-making
regarding the utilization of local resources in the context of development.
Various perspectives on the relationship between spirituality and development
are worth examining, particularly concerning how spiritual concepts align or
conflict with existing development practices. Therefore, the author deems it
necessary to conduct a study with the following objectives: understanding the
interplay between spirituality and development and exploring the practical
application of spirituality in the context of development in Indonesia. This
research is carried out through a literature review method, encompassing
various relevant books and journals. The case studies within this research
encompass the Tri Hita Karana values in Balinese society, the Baumo tradition
in the Batin XXIV Subdistrict, Batanghari Regency, Jambi, the Merti Desa
tradition in the Mangunrejo Subdistrict, Magelang Regency, Central Java, and
the mythological values associated with Nyi Roro Kidul in Pelabuhan Ratu Beach,
Sukabumi Regency. The research findings indicate a significant connection
between spirituality and ethical considerations in development. An
understanding of local culture, especially in the context of spirituality,
holds immense importance and utility as a fundamental reference point in the
process of formulating development policies. As a result, the direction of
development becomes more effective, sustainable, and harmonious with the
customs, norms, and cultural values embraced by the local community.
Nevertheless, in practical implementation, the integration of spirituality into
development encounters various challenges, including the absence of a
standardized definition of spirituality, the lack of universal indicators for
assessing the success of spirituality in development, the potential for
fostering religious egocentrism, and the risk of diverting the focus from
economic advancement.
Keywords:
Development, ethics of development, local
wisdom, spirituality, tradition.
Pembangunan yang dulunya diterima sebagai
obat mujarab bagi sebagian besar permasalahan umat manusia mengalami
pertentangan secara serius (Ferguson
et al., 2021); (Rahman,
1999); (Max-Neef
& Smith, 2011). Sepanjang sejarah sistem sosial yang
berbeda seperi feodalisme, kapitalisme, sosialisme, dan lainnya, melanggengkan
dan menonjolkan ketidaksetaraan Oleh karena itu, penggantian satu sistem dengan
sistem lainnya tidak dapat membawa kesejahteraan bagi semua manusia selama
individu tetap egois, berhasrat, dan serakah. Untuk menemukan solusi terhadap
permasalahan ini, seseorang harus melampaui kerangka materialistis dari
paradigma pembangunan konvensional, pengetahuan ilmiah modern, dan teknologi
modern. Pada titik inilah spiritualitas mengambil peran penting sebagai sarana
untuk mengurangi egoisme, keinginan dan keserakahan akan kekayaan materi, dan
menciptakan masyarakat yang penuh kasih, peduli dan welas asih yang perka
terhadap kebutuhan orang lain serta lingkungan (Ulluwishewa,
2014).
Subjek terkait spiritualitas secara
mencolok kurang terwakili dalam literatur pembangunan dan dalam kebijakan dan
program organisasi pembangunan (Khatib
& Verbeek, 2002). Dari beberapa penulis tentang
spiritualitas dan pembangunan, sebagian besar menganggap bahwa spiritualitas
sebagai bagian dari budaya dan penilitian lebih condong ke bagaimana sistem
kepercayaan, ritual, dan berbagai praktik budaya masyarakat lokal yang terkait
dengan kepercayaan lokal mampu mempengaruhi pengambilan keputusan tentang
penggunaan sumber daya lokal. Berdasarkan hasil temuan dari penelitian (Khatib
& Verbeek, 2002), (Gonese,
1999), (Wals
& Kieft, 2010), (Verhelst
& Tyndale, 2002), menunjukkan bahwa pengetahuan dan
pemahaman tentang spiritualitas masyarakat lokal sangat berguna bagi praktisi
pembangunan untuk membuat program pembangunan di tingkat lokal agar lebih
efektif dan berkelanjutan. Penulis lain menganggap spiritualitas sebagai
entitas yang terpisah dari budaya dan agama, dimana spiritualitas memiliki
potensi dalam mencapai keberlanjutan ekologi dan pembangunan berkelanjutan
dalam arti yang lebih luas,
Berdasarkan pada penjelasan diatas,
penulis merasa bahwa perlu dilakukan kajian terkait spiritualitas dengan
beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai yakni; (1) bagaimana
konsep-konsep mengenai spiritualitas dan nilai-nilai yang menyertainya dipegang
teguh oleh kelompok masyarakat tertentu, dan (2) bagaimana nilai-nilai
spiritualitas ini mempengaruhi pertimbangan masyarakat dalam melakukan
pengambilan keputusan dan bersikap dalam pembangunan.
Pendekatan tinjauan literatur digunakan
untuk mengumpulkan data sekunder dari buku-buku dan majalah-majalah yang dapat
diakses mengenai topik spiritualitas dalam pembangunan, baik lokal maupun
internasional. Artikel-artikel yang telah terpublikasi menjadi literatur yang
dirujuk untuk menunjukkan hubungan antara spiritualitas dan etika dalam Pembangunan.
Penulis melakukan penyaringan terhadap artikel-artikel yang ditemukan dalam
tinjauan pustaka dengan membaca judul, abstrak, temuan, dan kesimpulan. Dari
kumpulan artikel tersebut, kemudian dipilih lima artikel untuk dianalisis lebih
lanjut karena dianggap mempunyai relevansi yang cukup kuat dengan rumusan
masalah dalam penelitian.
Spiritualitas secara harfiah berarti
keadaan bersama roh. Spiritualitas dapat merujuk pada realitas tertinggi atau
immaterial yang diyakini ada di luar materi (Ulluwishewa, 2014). Pandangan bahwa ada realitas atau roh tertinggi di luar dunia material
adalah dasar dari semua agama serta sistem kepercayaan lainnya. Dengan demikian, spiritualitas, seperti
yang dirasakan oleh orang-orang spiritual, tetapi non-religius, adalah konsep
yang rasional dan praktis. (Ho,
2023), menyoroti nilai praktis spiritualitas
sebagai sarana untuk mengembangkan potensi penuh seseorang. Demikian pula
Whitmore (1997) dalam upayanya untuk mengklarifikasi proses pengembangan diri,
mengidentifikasi dua dimensi dalam perkembangan pribadi seseorang secara
psikologis dan spiritual.
Dalam (Ulluwishewa,
2014), dijelaskan bahwa egoisme individu
merupakan akar penyebab dari semua kesengsaraan yang dihadapi umat manusia
seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, kekurangan gizi, perang saudara dan perang
antar bangsa, kekerasan dan kejahatan. Oleh karena itu, terdapat asumsi bahwa
solusi untuk permasalahan ini adalah dengan mengembangkan kualitas intrinsik
dalam diri manusia untuk mencapai transformasi pikiran manusia atau
didefinisikan sebagai spiritualitas.
Pembangunan konvensional dirasa gagal
untuk mengidentifikasi dan mengatasi akar penyebab kemiskinan yakni sifat
destruktif dari kecenderungan materialistis yang ada dalam pikiran manusia.
Oleh karena itu, solusi yang dapat dilakukan adalah berusaha mengurangi
nilai-nilai materialisme dan meningkatkan nilai-nilai spiritualitas, yakni
sebuah transformasi pikiran manusia yang disebut juga dengan evolusi spiritual
atau kemajuan spiritual. Hal ini dikarenakan perubahan untuk mengubah dunia
hanya dapat dilakukan dengan cara mengubah diri kita sendiri. Dengan perubahan
terdapat masing-masing individu, akan terjadi perubahan di masyarakat tempat
kita tinggal, dan ketika masyarakat berubah maka dunia juga akan mengikuti
perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, tugas pembangunan adalah menyediakan
ruang dan dukungan untuk berkembangnya nilai-nilai spiritualitas dan memelihara
kehidupan berkelanjutan didasari pada kepuasan diri dan tanpa adanya kekerasan.
Beberapa langkah menuju hal tersebut dapat dilakukan melalui: 1) integrasi
nilai-nilai spiritualitas ke dalam pendidikan formal; 2) re-spiritualisasi
agama; 3) penelitian ilmiah tentang spiritualitas; 4) layanan pribadi yang
berorientasi spiritual; dan 5) integrasi spiritualitas kedalam studi
pembangunan (Ulluwishewa,
2014).
Dengan terciptanya kemajuan spiritual
yang menggerakkan manusia menuju kualitas spiritualitas yang mencakup kesatuan,
ketidakmementingkan diri sendiri, kerja sama, berbagi, ketidakserakahan
terhadap kekayaan dan kekuasaan, pencarian kebahagiaan melalui kedamaian batin,
hubungan cinta dengan sesama manusia, serta pelayanan tanpa pamrih, akan
mengakibatkan goncangan dalam sistem kapitalis global yang didasarkan pada
sifat-sifat materialisme. Akibatnya, sejumlah perubahan mungkin muncul, yaitu:
1)
Individu
yang berkembang secara spiritual akan mulai melihat konsumsi sebagai sarana
untuk kesejahteraan, mendorong gaya hidup sederhana yang membutuhkan lebih
sedikit sumber daya;
2)
Orang
kaya yang saat ini mengonsumsi lebih dari yang mereka butuhkan mungkin akan
mengurangi konsumsi mereka dan mendistribusikan kekayaan berlebih mereka kepada
mereka yang membutuhkan;
3)
Kekayaan
yang diperoleh akan dimanfaatkan untuk pengembangan dan mendukung kelangsungan
hidup individu dan masyarakat secara keseluruhan;
4) Kolaborasi antar semua lapisan masyarakat yang dipicu oleh cinta tanpa
syarat akan menjadi norma;
5) Kesenjangan ekonomi dapat berkurang dan mengarah pada pemerataan ekonomi
secara global;
6) Kebahagiaan tidak lagi tergantung pada kebahagiaan materi, melainkan dicari
melalui kedamaian batin. Pertumbuhan ekonomi tidak akan melebihi batas-batas
lingkungan dan akan bergerak menuju sistem keseimbangan diri yang berkelanjutan;
7) Sistem global baru yang didorong oleh cinta tanpa syarat dan
ketidakterikatan pada benda materiil akan membawa kedamaian abadi bagi umat manusia
(Ulluwishewa, 2014).
Perubahan-perubahan
diatas akan mengarah pada sistem ekonomi global baru yang akan menyertai bentuk
pembangunan baru yang berangkat dari spiritualitas. Oleh karena itu, dalam
bentuk perkembangan baru yang berangkat dari spiritualitas ini, cinta tanpa
pamrih menjadi motivasi produksi yang lebih tinggi, dan orang menghasilkan
barang dan jasa bukan untuk mengekploitasi orang lain dan dengan demikian
menghasilkan keuntungan tetapi didasari pada prinsip untuk melayani orang lain
dengan cinta tanpa pamrih. Tujuan pendidikan di bawah model pembangunan baru
adalah untuk membekali siswa tidak hanya dengan kemampuan praktis untuk
membangun kekayaan tetapi juga dengan pemahaman metafisik yang akan
memungkinkan mereka bertumbuh dalam kehidupan spiritual mereka. Mereka menjadi
lebih peduli, simpatik, dan peka terhadap kebutuhan orang lain sebagai hasil
dari sistem pendidikan ini, dibandingkan dengan sifat egosentris dan
bersemangat untuk menimbun kekayaan, kekuasaan, dan kedudukan sosial. Selain
itu, mereka lebih memilih bekerja sama untuk menciptakan lebih banyak sumber
daya yang dibutuhkan semua orang daripada bersaing satu sama lain untuk
mendapatkan sumber daya yang terbatas.
Salah satu
pandangan kontemporer tentang spiritualitas adalah adanya tiga pandangan
terkait spiritualitas, yakni: 1) spiritualitas dan agama; 2) spiritualitas
tanpa agama; dan 3) spiritualitas dalam perspektif sains. Sesuai dengan judul
dari sub-bab ini, bagian ini akan menjelaskan pemahaman spiritualitas dalam
perspektif agama secara garis besar, serta keterkaitannya dalam Pembangunan (Ulluwishewa, 2014).
Seiring
berjalannya waktu, perspektif agama akhirnya dipertimbangkan dalam aspek
pembangunan, yang dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, termasuk: 1) krisis
lingkungan, yang dimana mendorong peranan komunitas religius dalam menanggapi
masalah lingkungan; 2) kelemahan dan kekuatan komunitas religius dalam membahas
masalah kependudukan dan konsumsi; 3) kesadaran ekologis dalam berbagai
komunitas religius; 4) komitmen komunitas religius dalam mempromosikan suatu
masa depan yang lebih berkelanjutan; 5) pengembangan sumber daya alam dalam
diri dan mencapai rasa kepenuhan spiritual dan kesejahteraan (Ulluwishewa, 2014).
Pada Mei 1994,
sebanyak 30 pemikir dari berbagai agama berkumpul di Geneva, Belgia, dalam
rangka menghadiri Konferensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang Kependudukan dan Pembangunan dan membahas pandangan-pandangan dari
setiap agama terhadap tema dan program aksi International Conference on
Population and Development (ICPD), yang mana menghasilkan temuan-temuan sebagai
berikut:
1) Kebebasan beragama hendaknya tidak memicu perdebatan yang melumpuhkan
pembangunan;
2)
Mengakui
terjadinya krisis kependudukan dan pembangunan;
3)
Istilah
pembangunan perlu didefinisikan secara komprehensif,
4)
Konsumsi
yang berlebihan mengakibatkan pencemaran lingkungan, terdapat ketimpangan
distribusi sumber daya;
5)
Lingkungan
alam itu suci, dan kesejahteraan manusia bergantung pada kualitas udara, bumi,
dan air;
6)
Peran
perempuan dalam isu populasi dan pembangunan mulai diperjuangkan;
7)
Komunitas
keagamaan memandang keluarga sebagai tempat ditanamkannya nilai agama dan
budaya;
8)
Hukum
aborsi berbeda-beda di setiap agama, namun yang pasti aborsi berisiko bagi
kehidupan & kesehatan perempuan;
9)
Perlunya
pengajaran melalui pemberian informasi, panduan moral, dan pendidikan seksual
secara khusus bagi remaja;
10) Kontrasepsi dipandang sebagai instrumen
reproduksi dan kesehatan publik, serta stabilitas jumlah penduduk;
11) Perlunya pendidikan seksual agar
terhindar dari penyakit AIDS; dan
12) Migran yang tak berumah perlu perhatian
khusus & belas kasih (Dokumen Konferensi ICPD (1994).
Lebih lanjut, dalam tabel di bawah ini,
kami akan menjabarkan ringkasan perspektif beberapa agama terkait isu-isu
konsumerisme, kependudukan, dan lingkungan:
Tabel
1. Isu Konsumerisme, Kependudukan, dan Lingkungan dalam Perspektif Agama
Agama |
Penjelasan |
||
Konsumerisme |
Kependudukan |
Lingkungan |
|
Yahudi |
● Konsumsi pada
tingkat tertentu tidak merendahkan barang yang dikonsumsi maupun orang yang
mengonsumsi, melainkan memungkinkan seseorang untuk mengalami yang kudus
dalam pengalaman sehari-hari, misalnya pemberkatan saat pemakaian baju baru. ● Di satu sisi
masyarakat Yahudi didesak untuk berpartisipasi secara penuh di dalam drama
Penciptaan, tetapi di sisi lain harus berupaya menghindari keserakahan. ● Segala sesuatu
adalah kudus, dunia bukanlah milik manusia untuk dieksploitasi sekehendak
mereka, melainkan masih menjadi milik Tuhan ● Kitab Talmus
mengatakan:“Terlaranglah menikmati [apa
pun] yang datang dari dunia ini tanpa diberkati sebelumnya.” ● Dunia itu milik
Tuhan dan pemanfaatan kekayaannya harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung
jawab |
● Kepemilikan dunia
yang ditafsirkan sebagai hak Tuhan dimanifestasikan lebih jauh dalam
pandangan Yudaisme tentang keadilan sosial. Zedaqah - upaya memberi pada orang yang membutuhkan tidak bermakna
amal melainkan keadilan. ● Zedaqah bukanlah sikap murah hati yang datang
dari jiwa, melainkan kebenaran yang menuntut bahwa semua sumber daya harus
didistribusikan kembali sehingga kebutuhan setiap dasar orang harus dipenuhi.
● Hak untuk memiliki
kekayaan didukung oleh Yudaisme tetapi diawasi dengan sikap untuk terus
berlaku adil. ● Bentuk amal
tertinggi dalam pandangan Yahudi ialah memberikan jalan kepada orang lain
untuk mendapatkan kehidupan yang bebas |
● Kepedulian Ilahi
menjangkau lebih dari skala manusia, mencakup seluruh makhluk, yang menjadi
perintah ilahi bukan hanya berkembangnya kultur manusia, tetapi juga
berkembangnya tanaman dan hewan di dalam habitat alamnya. ● Harus adanya nilai
religius dalam sikap memelihara makhluk yang memperingatkan kita terhadap
adanya pola-pola konsumsi yang menghasilkan perusakan habitat alam dan yang
mengancam makhluk lain menuju kepunahannya. ●
Yudaisme memandang adanya hubungan integral antara
keadilan sosial (yaitu antarmanusia) dan keadilan ekologis (yaitu manusia dan
seluruh makhluk lainnya). Secara
terus-menerus, tindakan religius tertentu mengandung kedua unsur ini yang
saling terjalin baik secara praktis maupun filosofis. |
Ortodoks Yunani |
|
|
Umat
Kristen Ortodoks menyadari bahwa perusakan lingkungan merupakan bentuk
penghinaan terhadap ciptaan Tuhan. Dengan demikian, langkah-langkah tindakan
sebagai wujud keprihatinan terhadap masa depan lingkungan: ● Redefinisi dosa ● Pengakuan dan
dukungan kepada hak-hak komunitas tradisional ● Mendorong perluasan
dan implementasi program pendidikan lingkungan ● Mendorong upaya
kerjasama untuk melestarikan lingkungan ● Penyadaran akan
penggunaan lahan yang ramah lingkungan ● Mendorong peran
media ● Mengakui urgensi
dalam masalah lingkungan bumi: Proyek Patmos. |
Islam |
● Al-Qur'an secara
eksplisit menjelaskan mengenai masalah "Tegakkanlah keseimbangan itu
dengan adil" (QS 55: 9) dan mengingatkan manusia akan tanggung jawab ini
dalam berbagai ayat, diantaranya: 1) "Dan Dia ciptakan padanya
gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dan kemudian Dia berkahi, dan Dia
tentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-Nya dalam empat masa, memadai untuk
(memenuhi kebutuhan) mereka yang memerlukannya." (QS 41: 10); 2) "Sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat
hamba-hamba-Nya." (QS: 17:30); 3) "Makan dan Minumlah, tetapi
jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih
lebihan." (QS: 7:31). ● “Bersaing sebagai
manusia untuk memenuhi tuntutan kita, yaitu penggunaan sumber daya bumi
dengan kecepatan yang tidak terkontrol dan menghasilkan sampah yang tidak
dapat didaur ulang oleh bumi ini. Melemahkan manusia dan mempercepat
hilangnya habitat adalah dua akibat dari tindakan kita. Kita begitu asyik
dengan keinginan kita sendiri sehingga kita tidak menyadari bahwa tindakan
kita mengganggu tatanan alam, menyebabkan spesies tertentu menuju kepunahan,
dan merampas hak asasi manusia generasi berikutnya.” (Fazlun Khalid) |
● Al-Qur'an secara
tegas mengatakan "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh
mereka itu sungguh suatu dosa yang besar." (QS 17:31) Ayat tersebut
mengacu kepada praktik kejam pembunuhan bayi-bayi perempuan yang dijalankan
di Arab pada saat diturunkannya wahyu Al-Qur'an. ● Al-Qur'an tidak mengatur
mengenai kontrasepsi, namun, beberapa ulama berpendapat bahwa Islam tidak
menyukai atau bahkan melarang penggunaan kontrasepsi, dengan tafsiran,
kontrasepsi adalah pembunuhan terhadap bayi. ● Di sisi lain, Nabi
pernah membahas masalah ini dalam berbagai konteks dengan para sahabat dimana
kesimpulannya, kontrasepsi menggunakan sarana-sarana yang saat itu tersedia
diperbolehkan dengan keyakinan, jika Tuhan berkehendak, tak satu jenis pun
kontrasepsi dapat menghalangi kehendak-Nya. |
● Imbauan yang
lantang dalam Al-Qur'an kepada umat manusia untuk memelihara lingkungan
semakin diperkuat dengan sabda-sabda Nabi Muhammad dalam hadis-hadis berikut
ini: 1) "Sebuah anugerah menanti bagi siapa saja yang dapat membawa
kehidupan ke daerah yang tidak produktif/tandus. Dan setiap kali seekor hewan
memakan hasil bumi, maka ia akan mendapat pahala. (Misykat Al Masabih); 2)
“Tuhan telah memilihmu untuk menjadi wakil-Nya dan sebagai pemelihara dunia
yang hijau dan indah ini. Kinerjamu dalam peranmu jelas bagi-Nya.." (HR.
Muslim); 3) Barang siapa menanam sebatang pohon dan merawatnya dengan baik
hingga pohon itu besar dan produktif, ia akan mendapat ganjaran di
akhirat." (HR Bukhari dan Muslim). ● Makna dari posisi
manusia sebagai wakil Tuhan di bumi yaitu: "Makna dari kepercayaan ini
adalah bahwa umat manusia tidak punya hak absolut atas bumi untuk
sebebas-bebasnya menggunakan, merusak, atau menghabiskan lingkungan hidup dan
makhluk Tuhan hanya demi kebutuhan hari ini, atau demi nafsu manusia. Hakikat
dari posisi manusia adalah akuntabilitas demi kesejahteraan yang
berkelanjutan bagi bumi dan bagi semua spesies flora fauna yang ada."
(Abdullah Omar Naseef) |
Sumber: Hasil Summary dari (Chapman et al., 2008)
Mengacu pada buku Spirituality and Sustainable Development oleh (Ulluwishewa,
2014), spiritualitas berdasarkan pandangan
kontemporer dapat ditinjau dari perspektif agama, non-agama, dan sains.
Spiritualitas dari perspektif agama (God-centered spirituality) berlandaskan
pada kepercayaan dan iman kepada Tuhan, yang meyakini bahwa Tuhan dapat
membebaskan manusia dari sifat egois/self-centered melalui berbagai ritual dan
aktivitas ibadah yang membuat manusia “terkoneksi” dengan Tuhan. Sebaliknya,
dari perspektif non-agama (Non-God-centered spirituality), spiritualitas
berlandaskan pada aspek kecerdasan dan rasionalitas, yang meyakini bahwa
seseorang dapat terbebas dari sifat egois/self-centered atas kemauan dan usaha
diri sendiri, bukan melalui Tuhan. Dalam perspektif tersebut, manusia dapat
merasakan pengalaman spiritual melalui media lain selain ritual ibadah,
seperti: meditasi, yoga, penyembuhan (healing), mempelajari parapsikologi,
mitologi, menemukan koneksi spiritual melalui kesenian, keindahan, lagu, dan
halusinogen sintesis. Dari perspektif sains, spiritualitas menekankan pada
bagaimana benda-benda yang tidak hidup juga dapat memiliki kesadaran, seperti:
yang bergerak dan membentuk materi tertentu menunjukkan bahwa atom memiliki
“kesadaran”.
Selain dari pandangan kontemporer,
spiritualitas dapat ditinjau menggunakan perspektif pembangunan. Pembangunan
yang berorientasi pada pencapaian spiritualitas jiwa, membuat manusia dapat
mengesampingkan pemikiran egois (saya dan milik saya), sehingga mengurangi
kecenderungan untuk mengeksploitasi orang/golongan lain dan lingkungan, serta
mencapai kemakmuran dan kedamaian umat manusia. Selain itu, dalam perspektif
pembangunan, spiritualitas juga dipandang sebagai transformasi nilai, dari
self-centered (mementingkan diri sendiri) menjadi selflessness (bertujuan pada
kepentingan bersama, bukan hanya diri sendiri). Lipton (2005) dalam (Ulluwishewa,
2014) menganalogikan transformasi pikiran
manusia sebagai sistem yang autopilot namun harus dikendalikan oleh pilot. Hal
ini memiliki makna bahwa alam bawah sadar akan mendorong manusia untuk bergerak
secara otomatis sesuai masa lalu dan budaya yang “telah terprogram” dalam
pikiran manusia. Namun demikian, jika pikiran manusia dibiarkan autopilot, maka
akan tercipta kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri (self-centered),
sehingga manusia perlu mengontrol pikirannya layaknya pilot, agar turut
memperhatikan kepentingan orang/golongan lain (selflessness). Dengan demikian,
kasih sayang antar manusia dapat tercipta.
Pembangunan konvensional yang mengusung
paham materialisme dipandang bertentangan dengan nilai-nilai spiritualitas. Hal
ini karena dalam pembangunan konvensional, kekayaan dipandang sebagai sumber
utama kebahagiaan, sehingga mendorong manusia–terutama kaum elite, untuk
bersifat tamak dan egois, serta mengeksploitasi kaum miskin untuk kepentingan
pribadi/golongan. Sementara itu, dalam nilai-nilai spiritual, diyakini bahwa
kebahagiaan hakiki terletak dalam diri manusia, dan diasosiasikan dengan cinta
dan kedamaian. Berdasarkan tingkat spiritualitas dan golongan ekonomi, (Ulluwishewa,
2014) membagi manusia ke dalam 5 kelompok.
Adapun 5 kelompok tersebut terbagai atas: satu kelompok yang telah berkembang
secara spiritual (spiritually developed), yaitu mereka yang termasuk dalam
golongan ekonomi optimum dan mengejar kebahagiaan spiritual melalui aktualisasi
potensi/kapasitas diri, dan empat kelompok yang belum berkembang secara
spiritual (spiritually underdeveloped), yang meliputi: 2) golongan ekonomi
optimum yang mengejar kebahagiaan spiritual melalui materi/kekayaan
(overconsumers); 3) overconsumers yang tamak dan berkuasa; 4) golongan miskin
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar/materil, sehingga tidak memiliki
waktu untuk mencari kebahagiaan spiritual; dan 5) golongan miskin yang ingin
menjadi overconsumers.
Pembangunan
konvensional yang bertumpu pada paham materialisme menciptakan suatu sistem
ekonomi global yang bertentangan dengan nilai spiritualitas. Pembangunan yang dilaksanakan
tanpa spiritualitas berimplikasi pada timbulnya sejumlah permasalahan, antara
lain: 1) kemiskinan dan ketimpangan, yang disebabkan dominasi sifat egois
manusia terutama kaum elite yang cenderung mengeksploitasi kaum miskin; 2)
ketidaklestarian lingkungan, yang disebabkan oleh konsumsi yang lebih banyak
dan manusia yang serakah terhadap sumber daya, dan 3) ketidakbahagiaan,
terutama bagi masyarakat tradisional yang belum berkembang secara ekonomi. Oleh
karena itu, pembangunan berbasis spiritualitas perlu diupayakan. Menurut (Ulluwishewa, 2014), terdapat 3 fase yang perlu dilalui dalam pembangunan berbasis
spiritualitas (psychospiritual development), yaitu: 1) pre-personal
spirituality, yaitu fase di mana manusia belum mencapai rasionalitas, masih
bersifat self-centered, dan mementingkan status, harga diri, kekuasaan, dan
takut kehilangan hal-hal yang dimiliki; 2) personal spirituality, di fase ini,
manusia sudah memahami nilai dari spiritualitas. Kegiatan spiritual yang
dilakukan sudah berdasarkan integritas dan kebenaran, dan manusia mulai
meyakini bahwa praktik ibadah dapat membantu mengurangi kebiasaan
self-centered.; 3) transpersonal spirituality, fase di mana manusia telah
“melampaui batas” dari ruang dan waktu karena pengalaman spiritual yang ia
miliki telah melebihi pemikiran rasional.
Banyak kelompok
ras dan etnis yang berbeda, serta tradisi budaya, telah berkembang di berbagai
pulau di Indonesia. Oleh karena itu, setiap daerah di Indonesia adalah rumah
bagi beragam populasi yang telah mengembangkan budaya dan adat istiadatnya yang
unik. Hal inilah yang menjadikan Indonesia benar-benar multikultural. Dalam
kebanyakan kasus, praktik suatu budaya atau tradisi merupakan warisan yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Karena komunitas metropolitan kontemporer
di Indonesia jauh lebih terpapar pada pengaruh budaya dunia luar, desa-desa
tradisional di Indonesia cenderung lebih terikat kuat dengan kehidupan
sehari-hari masyarakat adat. Hal ini disebabkan oleh keyakinan mereka yang kuat
bahwa tradisi, sebagai hasil kearifan nenek moyang, harus diwariskan dari
generasi ke generasi.
Dalam budaya
pribumi, cara pandang dan cara berpikir kosmis masyarakat menjadi landasan pola
pikir dunia sebelumnya (Hardjasoemantri, 2003). Karena manusia merupakan komponen alam semesta yang integral dan tidak
dapat dipisahkan, pemikiran kosmis berpendapat bahwa keberadaan manusia harus
selaras dan mengalir dengan kosmos. Pada saat yang sama, pemikiran komunitas
mengakui bahwa manusia merupakan komponen integral dari suatu spesies yang
hanya dapat bertahan hidup dalam komunitas dimana mereka telah membentuk ikatan
yang kuat satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya
saling bergantung; kita adalah makhluk sosial yang tidak dapat bertahan hidup tanpa
dukungan sesama manusia lain. Gagasan bahwa masyarakat mempunyai kewajiban satu
sama lain untuk melestarikan praktik budaya mereka, termasuk hubungan mereka
dengan alam, berkembang dari hal ini. Cita-cita spiritual dan sosial yang dapat
membawa kehidupan manusia dalam keselarasan muncul dari dua sudut pandang ini.
Terkait dengan
tradisi-tradisi tersebut, masih ada sebagian wilayah Indonesia yang masih
mempertahankan tradisi sebagai warisan turun temurun yang memuat
prinsip-prinsip spiritual di mana prinsip-prinsip tersebut membantu mereka
dalam menjalani kehidupan. Beberapa daerah di Indonesia memasukkan prinsip
spiritual ke dalam kehidupan, adat istiadat, dan budaya sehari-hari; artikel
ini mengeksplorasi bidang-bidang ini dan kaitannya dengan pembangunan. Praktik
budaya dan adat istiadat Masyarakat di provinsi Bali, Kabupaten Batanghari,
Jambi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat
dibahas dalam artikel ini.
Rumah tradisional
Bali telah menjadi simbol pariwisata bagi pengunjung di pulau tersebut. Rumah
tradisional Bali ini mencontohkan norma budaya, agama, dan perilaku yang
berakar pada agama Hindu. Arsitektur tradisional Bali
banyak dipengaruhi oleh norma agama Hindu yaitu Tri Hita Karana (Putra, 2021).
Gabungan kata
“tri” dan “hita” (artinya “bahagia” dan “penyebab”) membentuk kata Tri Hita
Karana. Menurut aliran pemikiran ini, perkembangan manusia bergantung pada
hubungan yang selaras dengan penciptanya. Yang lebih tepat dinyatakan sebagai
berikut: “Falsafah hidup masyarakat Bali yang mengandung tiga unsur yang
membangun keseimbangan dan keselarasan dalam hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang merupakan
sumber kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia”.
Gagasan tersebut juga tertuang dalam Peraturan Nomor 3 Tahun 2020 (bersama-sama
disebut “Perda”), yang diubah menjadi Peraturan Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029 (“RTRWP”).
Menurut (Putra, 2021), ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan Tri Hita Karana
dalam perencanaan rumah: 1) hubungan antara manusia dengan Tuhan, 2) interaksi
antara manusia dengan sesamanya, dan 3) hubungan antara manusia dengan alam dan
lingkungan. Tabel
berikut menguraikan poin-poin tersebut:
Tabel 2. Aspek-Aspek
Nilai Tri Hita Karana dalam Perencanaan Rumah Masyarakat Tradisional Bali
Aspek Hubungan |
Penjelasan |
Manusia dengan Tuhan |
Setiap rumah
hendaknya mempunyai tempat beribadah jika tersedia cukup ruang. |
Manusia dengan manusia |
Manusia, sebagai
makhluk sosial, mengatur hubungannya dengan komunitas yang lebih luas. Acara
adat dan keagamaan banyak terdapat dalam budaya Bali, yang sebagian besar
beragama Hindu, dan memperhitungkan pertumbuhan keluarga mulai dari saat
pembuahan hingga saat kematian. Kelompok kesatuan seperti banjar, sekeha, dan
subak menangani interaksi budaya, politik, dan ekonomi yang lebih luas. Dalam situasi seperti ini, diperlukan persiapan yang
matang dalam merencanakan suatu aktivitas tertentu. Untuk upacara besar,
seperti pernikahan, perlu mencari lokasi alternatif di luar lingkungan perumahan
jika rumah tidak mampu menampung semua pengunjung. |
Manusia dengan lingkungan |
Segala sesuatu di
lingkungan fisik terdekat kita yang mungkin berdampak pada bentuk kehidupan
lain, termasuk manusia, dianggap sebagai bagian dari lingkungan dan evolusinya.
Dalam arsitektur tradisional Bali, lingkungan abiotik dipertimbangkan dalam
perencanaan dengan menutup bangunan menggunakan tembok keliling, sedangkan
interior dibiarkan terbuka untuk memaksimalkan cahaya dan aliran udara dengan
membuka ruang sebanyak mungkin, dan sebaiknya menghadap ke Tengah atau natah.
Dalam rumah khas Bali, taman sering dibagi menjadi tiga bagian; bagian luan atau
bagian yang lebih tinggi, diperuntukkan bagi sembahyang; bagian tengah untuk
tempat tinggal; dan bagian teben atau bagian paling bawah untuk menyimpan
barang-barang yang tidak berguna, serta untuk peternakan. Tanaman yang
digunakan untuk keperluan upacara, rumah tangga, dan pengobatan juga ditanam
dengan cermat di setiap daerah. Konteks lingkungan dan persyaratan kekuatan
bahan konstruksi juga dipertimbangkan. Dikarenakan lokasi Bali yang aktif
secara seismik dan merupakan jalur gempa, lebih banyak material struktural yang
digunakan dengan sifat lebih lentur, seperti bambu dan kayu. |
Sumber:(Putra, 2021)
Bersamaan dengan itu, Tri Hita Karana
menawarkan varian desain dari ide ruang Tri (tiga) dan Angga (tubuh). Dalam
konteks ini, angga (primer, madya, dan nista) menekankan pada nilai-nilai kebendaan.
Berikut adalah konsep dari ketiga gagasan Tri Angga:
1)
Kawasan
utama, yaitu ruangan tempat suci (sanggah atau merajan), yang berada di bagian
hulu dari kaja kangin.
2)
Madya,
tempat berlangsungnya kegiatan rutin termasuk ritual keagamaan dan budaya.
Bangunan angkul-angkul (pintu masuk dan keluar pekarangan), natah (halaman),
jineng (lumbung), dan tempat suci penunggun karang semuanya membentuk kelompok
ruang tengah.
3)
Nista,
bagian yang terdiri atas tiga ruangan di sisi kiri, meliputi angkul-angkul, bangunan
kandang, serta sebagian bale dauh dan paon.
Selain itu, seperti yang telah
dijabarkan secara singkat di atas, penerapan Tri Hita Karana juga telah
diakomodir dalam berbagai peraturan daerah provinsi Bali, termasuk Perda, di mana konsep tersebut menjadi salah satu
asas yang mendasari RTRWP Bali. Selain peraturan provinsi, Bali juga memiliki
hukum adat yang dilandasi oleh Tri Hita
Karana, yaitu awig-awig.
“Tri Hita Karana” (berarti “tiga”,
“hita” berarti “bahagia”, dan “karana” berarti “penyebab”) adalah prinsip yang
dianut oleh umat Hindu. Menurut aliran pemikiran ini, perkembangan manusia
bergantung pada hubungan yang selaras dengan penciptanya. Mayoritas penduduk
Hindu di Bali sangat mengutamakan prinsip ini dalam banyak aspek kehidupan
sehari-hari, termasuk pembangunan rumah—khususnya gaya arsitektur tradisional
Bali.
Rumah tradisional di Bali
mengaplikasikan Tri Hita Karana yang berarti memasukkan unsur-unsur berikut ke
dalam rumah adat Bali: 1) hubungan manusia dengan Tuhan (penyediaan ruangan
untuk sembahyang); 2) hubungan manusia dengan manusia (menyediakan ruangan
untuk menyambut tamu, khususnya dalam rangka mengadakan upacara-upacara besar);
dan 3) hubungan manusia dengan lingkungan (salah satunya yaitu tersedianya
sirkulasi udara yang baik). Kemudian, dalam membangun rumah tradisional Bali,
konsep Tri Hita Karana memiliki turunan konsep yaitu Tri Angga yang
mengutamakan tiga aspek fisik yaitu: utama (tempat suci untuk memuliakan arwah
suci para leluhur yang sudah meninggal), madya (rumah itu sendiri beserta
halaman), dan nista (area memasak, menerima tamu, dan meletakkan kandang).
Aspek-aspek fisik tersebut pada dasarnya adalah pembagian ruang dalam satu
pekarangan rumah.
Terkait relevansinya dengan etika
pembangunan, secara spesifik Tri Hita Karana merupakan ajaran Hindu yang
mencakup spiritualitas dalam agama; Umat Hindu percaya pada Tuhan dan
memasukkan gagasan tentang hubungan Tuhan dengan umat manusia ke dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, setiap rumah harus mempunyai
ruang khusus untuk beribadah. Tri Hita Karana diterapkan dalam hukum
provinsi sampai dengan hukum adat di Bali. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan
di Bali haruslah berlandaskan Tri Hita Karana di mana terdapat keseimbangan
antara manusia dengan Tuhan, keharmonisan manusia dengan sesama manusia lainnya,
serta keselarasan manusia dengan lingkungannya. Di sini kita melihat contoh
rumah khas Bali yang di dalamnya terdapat ruang sembahyang, ruang yang cukup
besar untuk mengadakan acara, dan unsur-unsur yang mendukung kesehatan para
penghuninya, seperti tanaman dan ventilasi yang baik. Sama halnya seperti yang
diajarkan agama Hindu melalui ajaran Tri Hita Karana,
Islam pun mengatur mengenai prinsip keseimbangan, di antaranya adalah mengatur
bagaimana manusia harus melestarikan lingkungan serta tidak melakukan konsumsi
berlebihan. Hal ini dilakukan agar generasi mendatang masih dapat menikmati sumber
daya seperti yang sudah dinikmati oleh generasi kita saat ini.
Berikutnya di
Provinsi Jambi, tepatnya di Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari, terdapat
masyarakat yang masih memegang teguh tradisi-tradisi spiritual dan falsafah
hidup, salah satunya tradisi pada Masyarakat Melayu Jambi yang masih menganut
nilai-nilai konservasi alam. Tradisi
tersebut dinamakan tradisi baumo yang masih dilakukan hingga saat ini. Menurut (Ziman,
2020), ritual baumo secara tradisional
dilakukan menjelang musim tanam. Praktik ini menggabungkan ritual adat dengan praktik
bertani tradisional yang bertujuan untuk memanjatkan do'a kepada Tuhan YME agar
nantinya saat bercocok tanam padi di sawah mendapat keberkahan dan dijauhkan
dari segala musibah serta mendapatkan hasil padi yang melimpah (Ziman,
2020).
Jika dilihat dari segi kehidupan sosial
budaya Masyarakat di Kabupaten Batin XXIV, terlihat bahwa masyarakat setempat
sangat mengutamakan sikap gotong royong, tolong menolong, dan saling bantu
membantu, sama seperti masyarakat pada umumnya yang memandang manusia sebagai
makhluk sosial dan saling bergantung satu sama lain. Dari segi keagamaan, masyarakat
Kecamatan Batin XXIV memiliki pandangan yang tegas bahwasannya agama memiliki
peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Mereka percaya
bahwa agama membantu individu menemukan keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Menurut Uin dkk. (2020), masyarakat Kecamatan Batin XXIV merupakan umat
religius yang taat dan menjunjung tinggi ajaran agama yang dianutnya.
Meski mengalami
perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun, tradisi baumo masih dilakukan
oleh masyarakat di Kecamatan Batin XXIV hingga saat ini. Masyarakat tetap
menghidupkan tradisi ini karena mereka yakin hal ini dapat membantu mereka
dalam menjaga nilai-nilai agama dan moral yang melekat dalam ritual baumo.
Masyarakat Kabupaten Batin XXIV selalu menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap
prinsip-prinsip tersebut, sehingga nilai-nilai tersebut diyakini terbukti dalam
menyatukan kehidupan sosial masyarakat di sana. Selain itu, prinsip-prinsip
tersebut juga membawa masyarakat Kecamatan Batin XXIV pada keseimbangan
interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Mengutip dari (Ziman, 2020), nilai-nilai tersebut lebih lanjut diuraikan pada tabel berikut:
Tabel 3. Nilai-Nilai Tradisi Baumo di Kecamatan Batin
XXIV, Jambi
Aspek Nilai |
Penjelasan |
Nilai Filosofis |
Prinsip spiritual dalam
tradisi baumo terlihat dari banyaknya prosesi yang dilakukan oleh masyarakat
Batin XXIV. Prosesi ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam dan cerita
animisme. Masyarakat baumo menjunjung tinggi kepercayaan terhadap jiwa padi
sebagai nilai spiritual. Terlihat dari prosesi awal adat baumo, benih padi direndam
dalam air sambil dibacakan basmalah dan disirami air yang sudah dibacakan
Surah Yasin, kemudian benih tersebut digendong dan ditanam. Begitu pula dalam
proses pengelolaan lahan yang dinamakan lahan Umo, ada upacara penyambutan
padi yang bersifat manusiawi. Dalam proses tersebut, masyarakat harus
memperlakukan padi dengan santun dan lembut, sama halnya seperti
memperlakukan seorang anak. Selain itu, masyarakat
setempat menganut prinsip etika lingkungan dalam menjalankan tradisi baumo
dengan menerapkan pengetahuan lokal tentang pelestarian alam. Mereka selalu berprinsip untuk menjaga keseimbangan
antara manusia dan alam. Hal ini terlihat dari sudut pandang aksiologis yang
terikat pada etika, logika, dan estetika. Mereka hidup dengan sederhana,
moderat, dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan
kehidupan sosial bermasyarakat. |
Nilai Spiritual |
Prinsip spiritual tentang
keberkahan ditunjukkan dalam praktik menetapkan hari baik sebagai landasan
tradisi baumo. Kepercayaan masyarakat terhadap keutamaan, manfaat, dan
pantangan-pantangan yang ada pada bulan Hijriyah, mendorong praktik penentuan
hari baik ini. Selain itu, kualitas spiritual dalam tradisi Baumo terwujud
dalam bentuk rasa terima kasih kepada manusia dan alam; misalnya saja
perayaan padi baru yang merupakan ungkapan rasa syukur terhadap alam. Pada
ritual ini, dilakukan proses menyapo padi dan berbagi dengan lingkungan saat
basokat. Masyarakat menyapu padi dan memberikannya kepada lingkungan, sebagai
penghormatan terhadap padi karena dianggap sebagai makhluk yang berjiwa. |
Sumber: Hasil Summary
dari (Ziman, 2020)
Selain kedua daerah tersebut, Desa
Mangunrejo di Magelang Jawa Tengah memiliki tradisi warisan leluhur yang masih
dilestarikan dan dilaksanakan secara rutin. Untuk mengingat pesan dan
melestarikan warisan leluhur pendiri desa, setiap tahun-tepatnya pada Bulan
Safar selama 2 hari, masyarakat Desa Mangunrejo mengadakan tradisi merti desa. Tradisi merti desa dianggap sebagai salah satu cara mencapai spiritualitas
memayu hayuning bawana (memperindah keindahan manusia). Tradisi merti desa
terdiri atas serangkaian acara yang meliputi: a) mujahadah/doa bersama; b)
ziarah kubur leluhur pendiri Desa Mangunrejo (Raden Shodiq/Kyai Grinjing); c)
acara bancaan (makan bersama uba rampe: nasi tumpeng, ayam ingkungan, jajanan
pasar, disiapkan pula uang receh dan kendi dari gerabah); d) pertunjukkan
wayang kulit (termasuk ruwatan) (Siswayanti, 2022). Aspek-aspek ini akan
lebih lanjut diuraikan pada tabel berikut:
Tabel 4. Nilai-Nilai Tradisi Merti Desa pada Masyarakat Mangunrejo,
Magelang, Jawa Tengah
Aspek Nilai Spiritualitas |
Penjelasan |
Rasa Syukur |
Rasa syukur kepada Tuhan atas kebaikan yang telah diberikan
kepada Desa Mangunrejo, seperti keamanan, ketentraman, panen melimpah,
masyarakat rukun dan sehat, bebas dari malapetaka, dsb. |
Doa dan Harapan |
Harapan agar Tuhan
melindungi masyarakat di sana dari bahaya sehingga mereka dapat menjalani
hidup tanpa rasa takut, serta agar memayu hayuning bawana, yang
artinya “mempercantik kecantikan manusia”, dapat tercapai melalui interaksi
sosial yang harmonis antarmasyarakat. |
Peneladanan Karakter Leluhur |
Pimpinan Desa Mangunrejo perlu ngayomi (melindungi masyarakat dengan adil dan bijaksana)
sehingga ngayemi (menentramkan dan
menenangkan) dan ngayani
(memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, serta melestarikan
kearifan lokal). |
Cerminan Kerukunan Masyarakat |
Rukun bandha artinya
“bekerja sama, saling membantu, dan melaksanakan merti desa secara bahu
membahu sesuai kemampuan masing-masing”; rukun bala' yang berarti “menjalin
persatuan dalam tali persaudaraan dan persahabatan”; dan rukun rasa yang
berarti “perasaan harmonis dan kesamaan sikap, tujuan, serta pandangan”. |
Pelestarian Potensi Alam (Padi) |
Kisah wayang kulit lakon Dewi Sri-Sadono memberi pesan
bagi masyarakat untuk melestarikan padi yang merupakan sumber pangan
penyejahtera masyarakat. |
Media Pelestarian Tanah dan Air |
Meruwat merupakan ritual penyucian, yang umumnya
dilakukan melalui media wayang kulit. Meruwat air ditujukan untuk menjaga
kebersihan dan kejernihan air dari sampah. Sementara itu, meruwat tanah
ditujukan untuk melerstarikan tanah yang menjadi lahan yang subur untuk
bertani. |
Sumber: Hasil Summary
dari (Siswayanti, 2022)
Daerah terakhir yang dibahas dalam
artikel ini yaitu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Mitos Nyi Roro Kidul masih dipercaya
oleh masyarakat Pantai Pelabuhan Ratu Sukabumi, Jawa Barat. Jumlah pengunjung
yang berbondong-bondong ke Pantai Pelabuhan Ratu untuk berwisata meningkat setalah
adanya mitos ini. Selain mitos mengenai Nyi Roro Kidul, terdapat beberapa
dimensi kearifan lokal lain di Pelabuhan Ratu yang tak kalah menarik wisatawan.
Mengutip dari (Rahayu, 2016) penjelasan
beberapa dimensi spiritualitas akan lebih lanjut diuraikan pada tabel berikut:
Tabel 5. Nilai-Nilai Kepercayaan Pada Mitos Nyi Roro Kidul, Pantai
Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi
Dimensi |
Penjelasan |
Dimensi Pengetahuan Lokal |
Dengan statusnya
yang melegenda, Nyi Roro Kidul berpotensi menjadi aset pendapatan berkat banyaknya
kunjungan wisatawan. Dalam mitos Nyi Roro Kidul, dipercaya
bahwa tahta ratu dan tempat pemakamannya berada di Kamar 308 Hotel Samudera. |
Dimensi Nilai Lokal |
Labuh Saji
merupakan ritual upacara adat tahunan untuk menghormati Kanjeng Nyi Roro
Kidul, ratu pantai selatan. Ritual ini dilaksanakan di laut setiap tanggal 6
April. Persembahan sesajen dan kepala kerbau dilemparkan ke laut sebagai
bentuk penghormatan kepada sang ratu. |
Dimensi Keterampilan Lokal |
Cinderamata hasil dari keterampilan masyarakat sekitar. |
Dimensi Sumber Daya Lokal |
Batu yang dianggap sebagai petilasan Nyi Roro Kidul di
daerah Karang Hawu, yang masih dirawat oleh masyarakat sekitar. |
Sumber: Hasil Summary
dari (Rahayu, 2016)
Sosok Nyi Roro Kidul justru menjadi
daya tarik bagi wisatawan. Walaupun sudah banyak mitos-mitos mengenai Nyi Roro
Kidul, hal tersebut tidak membuat para wisatawan takut, justru semakin
penasaran untuk membuktikan keberadaan Nyi Roro Kidul. Dimensi pengetahuan
lokal, dimensi nilai lokal, dimensi keterampilan lokal dan dimensi sumber daya
lokal yang sudah dibahas sebelumnya, menambah daya tarik wisatawan dan
menjadikan Pelabuhan Ratu masuk ke dalam syarat desa wisata yang berpengaruh
pada kemampuan untuk berkontribusi dalam menghasilkan aset untuk pemerintah
daerah maupun masyarakat sekitar.
Tabel 6. Pemetaan Bentuk Penerapan
Nilai-Nilai Adat, Sistem Kepercayaan, dan Budaya pada Keempat Studi Kasus
terhadap Konsep Spiritualitas dalam Pembangunan
Konsep Spiritualitas dalam
Pembangunan |
Tri Hita Karana dan Prinsip Harmoni
dalam Bangunan Tradisional Bali |
Nilai Filosofis dan Spiritual dalam Tradisi Baumo Masyarakat Jambi |
Spiritualitas Merti Desa dalam Pembangunan di Desa Mangunrejo Magelang |
Kearifan Lokal Pantai Laut Selatan
(Mitos Nyi Roro Kidul) |
Pemahaman spiritualitas sebagai etika pembangunan |
Rumah tradisional Bali mewajibkan
adanya ruangan tersendiri untuk masyarakat Hindu melakukan sembahyang |
Masyarakat di sana beranggapan bahwa
berdoa sebelum melakukan setiap tahapan Baumo akan mendatangkan hasil tani
yang baik |
Masyarakat Desa Mangunrejo percaya
bahwa jika tradisi Merti Desa tidak dilaksanakan, maka desa tersebut akan
tertimpa malapetaka dalam pembangunannya |
|
Tanggung jawab manusia kepada Sang Pencipta dan makhluk
hidup yang lain |
Rumah tradisional Bali sebaiknya
mementingkan aspek lingkungan di mana ada bagian-bagian ruang terbuka, di
mana pemilik rumah mendapatkan sirkulasi udara yang baik serta memiliki ruang
khusus untuk menyambut tamu, khususnya jika mengadakan upacara |
Masyarakat dalam melakukan tradisi
Baumo tidak mau merusak habitat makhluk hidup yang lain, sehingga mereka
sangat berhati-hati dalam melakukan tahapan demi tahapan proses bertani |
Tradisi Merti Desa
selalu diawali dengan syukuran dan doa kepada Tuhan. Dalam tradisi tersebut juga disampaikan
pesan untuk menjaga potensi alam terutama padi, dan melestarikan tanah dan
air |
|
Keterkaitan norma-norma etika dan moral |
Tri Hita Karana adalah bagian dari
ajaran agama Hindu yang memiliki makna bahwa berkehidupan harus berlandaskan
hubungan antarmanusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan lingkungan |
Tradisi baumo sangat menjunjung
norma-norma etika dan moral, di mana mereka sangat memperhatikan keseimbangan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lain, manusia dengan makhluk
hidup lain, serta manusia dengan lingkungan selama menjalankan prosesi Baumo |
Melalui tradisi Merti Desa, masyarakat
Desa Mangunrejo diingatkan untuk menjaga etika terhadap lingkungan dan alam
(terutama padi, tanah, dan air) |
Adanya larangan menggunakan pakaian
berwarna hijau jika berkunjung ke Pantai Pelabuhan Ratu karena kepercayaan
masyarakat sekitar jika mengenakan pakaian tersebut maka akan diculik oleh
Nyi Roro Kidul |
Keseimbangan untuk mencapai kesejahteraan |
Rumah tradisional Bali yang dibangun
sesuai Tri Hita Karana dipercaya dapat menciptakan keseimbangan antara
hubungan antarmanusia (ruang sosialisasi), manusia dengan Tuhan (ruang
sembahyang), dan manusia dengan lingkungan (sirkulasi udara dan ruang terbuka
hijau) |
Masyarakat di sana selalu menjaga
keseimbangan alam dengan tetap mempertahankan kondisi lahan pertanian tanpa
adanya perusakkan alam dengan teknologi modern |
Tradisi Merti Desa menggambarkan
keseimbangan masyarakat Desa Mangunrejo, baik secara vertikal (hubungan
dengan Tuhan), maupun horizontal (dengan sesama manusia dan alam) |
|
Persatuan dalam keberagaman (unity in diversity) |
Tri Hita Karana
mencakup kehidupan antara manusia dengan manusia atau kehidupan sosial |
Masyarakat di sana selalu memegang
teguh prinsip manusia sebagai makhluk yang saling bergantung satu sama lain |
Persiapan tradisi Merti Desa setiap
tahun dilakukan oleh warga Desa Mangunrejo secara bergotong-royong |
Tradisi Labuh Saji setiap tanggal 6
April diikuti seluruh masyarakat sekitar Pantai Pelabuhan Ratu |
Kesetaraan dan keadilan (equity and justice) |
Tri Hita Karana
diatur dalam peraturan skala provinsi dan juga diatur dalam peraturan adat Bali
(awig-awig) |
Tradisi baumo
mengedepankan nilai kesetaraan di mana setiap lapisan masyarakat memiliki
kesempatan terlibat dalam tradisi tersebut |
Tradisi Merti Desa
menunjukkan kesetaraan sosial dan gender, mengingat seluruh lapisan
masyarakat dari jenis kelamin apapun dapat mengikuti tradisi ini |
Keberadaan wujud
‘non-human’ di sini layaknya human, yaitu memiliki daerah kekuasaan, memiliki
tempat (kamar) khusus dan diberi penghormatan |
Kesetaraan jenis kelamin (equality of the sexes) |
|
Setiap warga baik laki-laki maupun
perempuan memiliki peran masing-masing dalam tradisi ini |
Terdapat kesetaraan antara wanita dan
pria. Dalam tradisi Merti Desa, selain meneladani kepemimpinan Raden
Shodiq/Kyai Grinjing, masyarakat juga mempercayai Dewi Sri sebagai jelmaan padi
yang memberikan kesejahteraan. |
Terdapat kesetaraan antara kekuasaan
pemimpin wanita dan pria. Masyarakat mempercayai penguasa laut selatan adalah
Nyi Roro Kidul (wanita), menunjukkan bahwa pemimpin tidak harus pria. |
Kepercayaan dan kepemimpinan moral (trustworthiness and moral leadership) |
|
Tradisi baumo merupakan tradisi yang
diwariskan secara turun-temurun di mana tradisi ini mengandung nilai-nilai
moral yang harus dilestarikan |
Pemimpin desa (Raden Shodiq/Kyai
Grinjing) dipercaya dan dijadikan teladan. Begitu juga dengan Dewi Sri yang
dipercaya sebagai jelmaan padi atau jelmaan kesejahteraan rakyat. |
|
Investigasi kebenaran independen (Independent Investigation of Truth) |
Tri Hita Karana
berasal dari kepercayaan agama Hindu. |
Ritual penentuan
hari baik tradisi Baumo terinspirasi dari keyakinan masyarakat setempat
mengenai keberkahan, keutaman, dan pantangan yang ada pada bulan-bulan
Hijriyah |
Terdapat
kepercayaan yang sudah dipercaya masyarakat sebagai kebenaran, yaitu jika
tradisi Merti Desa tidak dilaksanakan, maka akan menimbulkan malapetaka bagi
Desa Mangunrejo. |
Terdapat
kepercayaan adanya lempengan batu yang dianggap sebagai tempat petilasan Nyi
Roro Kidul serta tari bedhaya yang menceritakan kisah cinta Panembahan
Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul (‘atasan’ Nyi Roro Kidul) |
Sumber: Hasil Analisis, (2023)
Pada dasarnya,
manusia memiliki sifat serakah, haus akan kekayaan dan kekuasaan, serta selalu
ingin mengedepankan kepentingan diri sendiri (self-interest). Setiap manusia memiliki dorongan untuk terus
memperoleh, memiliki, menggunakan, dan mengumpulkan kekayaan, serta mencapai
keuntungan pribadi, tidak terkecuali dalam hal pembangunan. Berdasarkan buku Spirituality and Development, terdapat 2 jenis pembangunan, yaitu
pembangunan yang disengaja (intentional
development)–selanjutnya disebut pula pembangunan konvensional, dan pembangunan imanen (Ulluwishewa, 2014). Pembangunan yang disengaja–atau
pembangunan konvensional, didefinisikan sebagai intervensi terencana yang
dilakukan suatu badan/lembaga untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, sementara
pembangunan imanen merupakan outcome/hasil
dari suatu pembangunan yang disengaja, atau sebagai akibat dari kapitalisme (Ulluwishewa,
2014). Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa
sifat dasar manusia yang egois, dan serakah akan materi/kekayaan merupakan akar
penyebab kegagalan pembangunan konvensional dalam mengentaskan kemiskinan dan
kesenjangan, mencapai kelestarian lingkungan hidup, serta memberikan
kebahagiaan bagi semua orang. Oleh karena itu, penerapan spiritualitas
merupakan hal yang krusial, dan dipandang dapat mengurangi keserakahan,
keegoisan manusia, sehingga manusia dapat hidup sederhana berdampingan dengan
sesama dan alam (Ulluwishewa, 2014).
Walaupun terdengar ideal, penerapan spiritualitas
dalam pembangunan mendatangkan sejumlah tantangan, antara lain: Pertama, tidak terdapat definisi baku
mengenai spiritualitas. Sebagai contoh, dalam buku Spirituality and Development dijelaskan bahwa terdapat konsep
spiritualitas yang berpusat pada Tuhan, dan yang tidak berpusat pada Tuhan.
Selain itu, pengembangan definisi spiritualitas antar masyarakat yang memiliki
keragaman sistem nilai, kepercayaan, adat istiadat, dan budaya, juga berpotensi
menimbulkan perdebatan. Namun, hal tersebut tidak menghalangi implementasi
spiritualitas pada Pembangunan masa kini. Jika melihat kembali pada pembahasan
studi kasus di bagian sebelumnya sebagai contoh, penerapan nilai-nilai Tri Hita
Karana pada bangunan tradisional Bali mirip dengan aturan penataan ruang yang
lebih luas dalam prinsip-prinsip perencanaan kota dan wilayah, dimana dalam
konteks penataan ruang dikenal zona-zona kawasan lindung (hutan), kawasan
budidaya, dan kawasan pengolahan limbah produk dari aktivitas manusia. Ini
menunjukan bahwa nilai-nilai kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat Bali
dalam menata ruang huniannya dapat diimpelentasikan/diadopsi pada aspek
perencanaan ruang yang lebih luas; selama nilai-nilai ajarannya baik dan
sejalan dengan kajian sains modern.
Kedua, belum terdapat indikator yang universal untuk mengukur keberhasilan
penerapan spiritualitas dalam pembangunan, sehingga dikhawatirkan penerapan
konsep tersebut akan terlalu subjektif. Namun demikian, jika konsep
spiritualitas dalam masyarakat dipandang dapat berkontribusi pada pembangunan
dan sejalan dengan logika, maka konsep tersebut dapat diterapkan. Sebagai
contoh, pada studi kasus mitologi Nyi Roro Kidul yang berkembang di masyarakat
Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi; dimana terdapat kepercayaan bahwa
pengunjung yang datang ke pantai tidak diperbolehkan untuk menggunakan pakaian
berwarna hijau, sebagian mengatakan tidak boleh menggunakan pakaian berwarna
biru. Jika dikaji kembali untuk mencari alasan rasionalnya, mungkin dengan
menggunakan pakaian hijau/biru—yang merupakan warna pantulan Cahaya air laut,
akan memudahkan tim penyelamat untuk mencari korban yang tergulung ombak,
mengingat Pantai Selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia yang
terkenal dengan arus dan gelombang yang cukup kuat. Hal-hal seperti ini yang
terkadang luput dari kesadaran masyarakat modern saat ini, sehingga cenderung
menganggap mitologi-mitologi masyarakat terdahulu sudah usang. Pengukuran
keberhasilan pembangunan yang menerapkan spiritualitas dengan indikator yang
universal memang sulit dilakukan, karena pengalaman spiritual sangat subjektif
dan pemaknaan terhadap mitologi atau kepercayaan masyarakat adat/lokal di suatu
wilayah dapat berbeda satu sama lain, di kalangan masyarakat modern saat ini.
Ketiga, berpotensi menimbulkan egoisme agama. Dalam buku Spirituality and Development, dijelaskan bahwa egoisme agama muncul
saat penganut agama tertentu mengklaim agamanya sebagai satu-satunya yang
benar, terbaik, dan satu-satunya jalan menuju kebenaran dan memandang rendah
agama lain sebagai mitos dan takhayul. Padalah, inti dari agama adalah sarana
yang memperkuat spiritualitas seseorang, sehingga diharapkan sikap mementingkan
diri sendiri dapat berkurang. Selain itu, penelitian (“Engendering
Macroeconomic Theory and Policy,” 2020) menyebutkan bahwa institusi keagamaan
sebagai refleksi dari spiritualitas dalam pembangunan tidak menunjukkan jalan
untuk memperbaiki isu kesetaraan gender sesuai Tujuan 5 Pembangunan
Berkelanjutan. Hal ini menyebabkan pembangunan di suatu negara menjadi
terhambat. Untuk meminimalisir adanya egoisme agama, pendidikan dan dialog
antaragama kemungkinan dapat membantu mengatasi masalah tersebut, dan
memastikan bahwa spiritualitas mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan,
termasuk kesetaraan gender.
Keempat, penerapan spiritualitas dikhawatirkan mendistraksi semangat sebuah bangsa
untuk maju secara ekonomi, sehingga kurang realistis diterapkan di negara
berkembang. Hal ini sejalan dengan temuan dalam tulisan (Liu et
al., 2018) bahwa agama memiliki kecenderungan
menghambat kreativitas dan inovasi manusia, karena manusia terikat dengan
aturan agama, yang mengarahkan agar orang beriman menerima saja segala sesuatu
yang diberikan Tuhan. Namun demikian, terdapat pula pandangan yang bertentangan
dengan hal tersebut, yaitu spiritualitas justru dapat mendukung perkembangan
ekonomi dengan mendorong nilai-nilai seperti etika bisnis yang kuat, tanggung
jawab sosial perusahaan, dan pemberdayaan masyarakat.
Pada akhirnya baik atau buruknya perwujudan
paham akan spiritualitas dalam suatu bentuk tindakan akan tergantung kepada
setiap individu dalam memaknai nilai-nilai spiritualitas. Ini berkaitan dengan
tantangan pada poin pertama dan kedua, dimana penulis berpandangan pentingnya kajian ilmiah, untuk
membantu penarikan makna dari setiap ajaran spiritualitas yang diterima
masyarakat agar ketidakpastian dan perbedaan pemaknaan dapat terminimalisir.
Konsep
spiritualitas dalam pembangunan memang merupakan isu yang kompleks dan penuh
tantangan. Dalam prakteknya, penting untuk mencari keseimbangan yang tepat
antara aspek-aspek spiritual dan pembangunan yang dapa diukur. Pemerintah,
lembaga internasional, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk
mengembangkan pendekatan yang efektif dan berkelanjutan untuk mengintegrasikan
spiritualitas dalam agenda pembangunan global tanpa mengabaikan kebutuhan akan
indikator yang dapat diukur dan progres yang nyata.
Penerapan spiritualitas dalam
pembangunan menuai berbagai tantangan, antara lain tidak adanya definisi baku
tentang spiritualitas, tidak adanya indikator universal untuk mengukur
keberhasilan spiritualitas dalam pembangunan, berpotensi menimbulkan egoisme
agama, dan mendistraksi semangat kemajuan ekonomi. Dalam menghadapi
tantangan-tantangan di atas, peneliti berpandangan penting sekali untuk
melakukan kajian ilmiah dan pendekatan yang berdasarkan bukti untuk memahami
dan menerapkan nilai-nilai spiritualitas dalam pembangunan, hal ini sejalan
seperti yang dikemukakan oleh Arybowo (2010). Hal ini dapat membantu mengurangi
ketidakpastian dan perbedaan dalam pemahaman spiritualitas serta membantu
mengintegrasikan spiritualitas dalam agenda pembangunan global tanpa
mengabaikan indikator yang dapat diukur dan progres yang nyata. Berikut adalah
detail hal-hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan sebelum melakukan adopsi
nilai-nilai spiritualitas terhadap pembangunan. Secara keseluruhan, penerapan
spiritualitas dalam pembangunan merupakan isu yang kompleks, dan mencari
keseimbangan antara aspek spiritual dan pembangunan yang dapat diukur menjadi
penting dalam upaya mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
BIBLIOGRAFI
Chapman,
A. R., Petersen, R. L., & Smith-Moran, B. (2008). Bumi yang Terdesak:
Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan.
Mizan Pustaka.
Engendering
macroeconomic theory and policy. (2020). Feminist Economics, 26(2),
27–61.
Ferguson, T., Roofe,
C., & Cook, L. D. (2021). Teachers’ perspectives on sustainable
development: the implications for education for sustainable development. Environmental
Education Research, 27(9), 1343–1359.
Gonese, C. (1999). The
three worlds. Interculture-Montreal-, 31.
Hardjasoemantri.
(2003). Hukum dan Bencana Alam di Indonesia. Universitas Islam
Indonesia.
Ho, L. S. (2023). Spirituality,
religiosity, and happiness: identifying the nexus.
Khatib, Z., &
Verbeek, P. (2002). Water to value–produced water management for sustainable
field development of mature and green fields. SPE International Conference
and Exhibition on Health, Safety, Environment, and Sustainability?,
SPE-73853.
Liu, Z., Guo, Q., Sun,
P., Wang, Z., & Wu, R. (2018). Does religion hinder creativity? A national
level study on the roles of religiosity and different denominations. Frontiers
in Psychology, 9, 406003.
Max-Neef, M., &
Smith, P. B. (2011). Economics unmasked: from power and greed to compassion
and the common good. Bloomsbury Publishing.
Putra, C. (2021). Tri
Hita Karana Dan Prinsip Harmoni Dalam Bangunan Tradisional Bali. Vidya
Wertta: Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia, 4(1), 69–77.
Rahayu, Y. (2016).
Kearifan Lokal Pantai Laut Selatan (Mitos Nyi Roro Kidul) sebagai Desa Wisata
dan Asset Kabupaten Sukabumi. Media Wisata, 14(2).
Rahman, A. (1999).
Micro-credit initiatives for equitable and sustainable development: who pays? World
Development, 27(1), 67–82.
Siswayanti, N. (2022).
Spiritualitas Merti Desa dalam Pembangunan di Desa Mangunrejo, Magelang, Jawa
Tengah. Tebuireng: Journal of Islamic Studies and Society, 2(2),
152–165.
Ulluwishewa, R.
(2014). Spirituality and sustainable development. Springer.
Verhelst, T., &
Tyndale, W. (2002). Development and culture. Oxfam GB.
Wals, A. E. J., &
Kieft, G. (2010). Education for sustainable development: Research overview.
Ziman, Z. Z. (2020). Nilai
Filosofis Dan Spiritual Dalam Tradisi Baumo Masyarakat Kecamatan Batin Xxiv
Kabupaten Batanghari. Tajdid: Jurnal Ilmu Ushuluddin, 19(2),
188–213.
Copyright holder: Annisa Rachman Supartono, Annisa Dwirizki, Nabila Mauraputri Wijayasari Irsyam, Bella Rizkylillah Suseno, Phalita Gatra, Bimbi Fonseca (2024) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |