Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
2, Februari 2024
PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEWUJUDKAN AMANDEMEN UUD 1945 YANG
BERKUALITAS
Jamaludin Ghafur1, Ariyanto2, Muslim3, Najamuddin Gani4, Jayanti Puspitaningrum5, Moh. Amin, Hamid6
Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Indonesia1
Fakultas Hukum, Universitas YAPIS, Indonesia 2,3,4,5,6
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Paper
ini berisi analisis tentang pentingnya keterlibatan Mahkamah Konstitusi
mengawasi proses amandemen UUD 1945 oleh MPR agar hasilnya senantiasa selaras
dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Sebab, sekalipun hukum sudah memberikan
pedoman bahwa MPR hanya dapat melakukan perubahan atas pasal- pasal konstitusi
sebagaimana yang telah diusulkan sebelumnya, namun ada potensi MPR mengabaikan
ketentuan tersebut sehingga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
yang dapat merugikan kepentingan rakyat. Adapun jalan keluar yang diusulkan
untuk mengoreksi pelanggaran oleh MPR saat melakukan amandemen konstitusi atas
ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi harus membatalkan
keputusan MPR tersebut melalui mekanisme judicial review.
Kata
kunci: Mahkamah
Konstitusi, Amandemen, Undang-Undang Dasar 1945
Abstract
This paper
contains an analysis of the importance of the involvement of the Constitutional
Court in overseeing the process of amending the 1945 Constitution by the MPR so
that the results are always in line with the provisions of Article 37 of the
1945 Constitution. Although the law has provided guidelines that the MPR can
only make changes to the articles of the constitution as previously proposed,
there is a potential for the MPR to ignore these provisions, thus opening up
the opportunity for abuse of power that can harm the interests of the people.
The proposed solution to correct the MPR's mistakes for violating article 37 of
the 1945 Constitution is that the Constitutional Court must overturn the MPR's
decision through a judicial review mechanism.
Keywords: Constitutional Court,
Amendments, the 1945 Constitution.
Pendahuluan
Pasca lebih dari dua dekade UUD 1945 mengalami perubahan,
beberapa waktu belakangan ide untuk mengamendemen ulang konstitusi kembali
mengemuka di tengah-tengah publik. Setelah sekian waktu sempat tenggelam oleh
hiruk-pikuk penanganan pandemi covid-19, dalam acara peringatan Hari Konstitusi
dan Ulang Tahun MPR ke-76 pada tanggal 18 Agustus 2021 silam, isu amandemen
konstitusi ini kembali digulirkan – salah satunya oleh Ketua MPR RI Bambang
Soesatyo.
Memang UUD 1945 telah diamandemen sebanyak 4 kali dari
tahun 1999 sampai dengan 2002, namun ternyata publik berbeda pendapat menyikapi
hasilnya. Menurut sejumlah pengamatan banyak kalangan, setidaknya terdapat
beragam pendapat masyarakat dalam merespon hasil amandemen yang dapat
dikelompokkan ke dalam empat diskursus sebagai berikut: Pertama, kelompok yang
menganggap bahwa amandemen itu sudah benar dan harus disosialisasikan secara
terus menerus; Kedua, kelompok yang menghendaki amandemen tidak dilakukan
secara parsial tetapi total (membuat konstitusi yang sama sekali baru); Ketiga,
kelompok yang menolak amandemen dan berharap kembali ke UUD 1945 naskah asli;
dan Keempat, kelompok yang menginginkan amandemen lanjutan tetapi parsial untuk
pasal-pasal tertentu.
Di antara beberapa sikap dan pendapat publik di atas, yang
paling relevan dan kontestual untuk ditindaklanjuti adalah gagasan tentang
pentingnya amandemen lanjutan tetapi parsial untuk pasal-pasal tertentu (Ghafur & Ariyanto,
2021). Hal ini didasarkan pada suatu argumen bahwa menurut hasil
penelitian para ahli, keputusan untuk mereformasi konstitusi pada masa lalu
tidak dilakukan secara terencana (by design), tetapi secara mendadak-sporadis
(by accident) karena tidak dilakukan melalui proses persiapan yang
matang sehingga sebenarnya tidak semua fraksi di MPR siap dengan konsep
perubahan UUD 1945. Hal ini tentu telah mengakibatkan produk amandemen konstitusi
sebelumnya tidak melahirkan hasil yang sempurna. Banyak substansi pasal yang
perlu dirubah dan disempurnakan kembali. UUD hasil amandemen masih menyimpan
potensi kelemahan baik bersifat materiil-substantif ataupun sekedar kekurangan
formalitas-teknis (Saragih, 2022).
Terlebih, sebagai sebuah produk pemikiran manusia, tentu
konstitusi harus selalu ditinjau ulang untuk memastikan keberadaannya tetap
sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat sebuah negara. Bagaimanapun, mengacu
pada pendapat K.C Wheare, konstitusi adalah sebuah resultante dalam arti dibuat
berdasarkan pertimbangan kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud)
pada zamannya. Oleh karena itu, ketika kondisi poleksosbud tersebut berubah,
maka mengamandemennya juga merupakan sebuah keniscayaan (Firmansyah, 2021). Di satu pihak penetapan UUD bersifat einmalig
atau hanya dilakukan satu kali, namun perubahan UUD seharusnya justru bersifat
mehrmalig, dapat dilakukan beberapa kali agar UUD menjadi konstitusi yang
selalu hidup dan berkembang (living constitution).
Namun yang harus disadari adalah bahwa Indonesia termasuk
negara yang relatif baru dalam berdemokrasi (Hidayat &
Taufikurrahman, 2020). Perlu ekstra kehati-hatian terkait dengan
wacana amandemen konstititusi ini agar jangan sampai nilai-nilai demokrasi yang
sudah ada di dalamnya justru dirusak oleh kepentingan sempit para elit sehingga
kita akan kembali menjadi negara otoriter. Peringatan akan kehati-hatian ini
bukan tanpa dasar sebab berbagai literatur menujukkan bahwa faktor penyebab
atau pendorong amandemen konstitusi dapat berasal dari salah satu dari dua hal:
keinginan para aktor politik; dan/atau karena dipengaruhi oleh konteks politik,
sosial, dan ekonomi di suatu negara – utamanya karena adanya tuntutan perubahan
dari rezim otoriter ke demokrasi. Faktor yang pertama cenderung hanya untuk
mengakomodir kepentingan kekuasaan, sementara yang kedua didasari oleh
keinginan untuk memperbaiki tatanan ketatanegaraan yang dianggap sedang
bermasalah.
Wacana amandemen UUD 1945 yang bergulir belakang ini, jujur
harus diakui lebih banyak karena dorongan elit politik daripada untuk memperbaiki
kelemahan sistem ketatanegaraan Indonesia. Terbukti, isu-isu krusial tentang
materi yang akan diamandemen lebih banyak datang dari elit secara top-down, dan
bukan berdasarkan aspirasi masyarakat (buttom-up). Misal, beberapa isu
yang mengemuka adalah mengenai perubahan periode jabatan presiden dari maksimal
dua periode, diwacanakan untuk dirubah menjadi tiga periode. Termasuk juga
keinginan dari segelintir elit politik untuk menghidupkan kembali kewenangan
MPR untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) walaupun dengan
usulan nama yang berbeda yaitu Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Sementara isu-isu krusial-substantif yang selama ini banyak
disuarakan rakyat, seperti: (i) penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) demi terciptanya sistem bikameral yang lebih kuat; (ii) penyatu-atapan
pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) di bawah
kekuasaan Mahkamah Konstitusi agar terjadi konsistensi putusan; (iii)
penambahan kewenangan MK seperti constitutional complaint dan
constitutional question di mana secara praktik sudah seringkali terjadi di
masyarakat akan tetapi tidak bisa ditangani oleh MK karena bukan merupakan
kewenangannya; (iv) pembenahan dan penguatan kedudukan, peran serta fungsi
Komisi Yudisial (KY) guna mendukung terciptanya peradilan yang berwibawa; (v)
perlunya pengaturan yang membuka peluang bagi munculnya calon presiden dan
wakil presiden perseorangan (sebagaimana Pilkada) agar pilpres menjadi lebih
kompetitif, dan berbagai isu penting lainnya tidak pernah menjadi bahan diskusi
dan usulan perubahan. Implikasinya, nuansa kepentingan elit lebih mengemuka
daripada kepentingan bangsa dan negara.
Sebab itulah dapat dipahami bila para ahli politik dan
ketatanegaraan berbeda pendapat tentang bagaimana sebaiknya negara-negara
demokrasi baru menyikapi amandemen konstitusinya. Sebagian menyarankan agar
mekanisme perubahan konstitusi dibuat fleksibel dan mudah dirubah sehingga
setiap generasi dapat mendesain UUD-nya sendiri menyesuaikan dinamika kehidupan
masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan. Sementara sebagian yang lain lebih
merekomendasikan untuk memposisikan konstitusinya secara rigid dan kaku dengan
membatasi upaya amandemen sebab ada kekhawatiran tentang konsekuensi yang tidak
pasti dari perubahan institusi politik.
Sikap yang baik dan bijak tentu bukan ekstrem kanan dalam
arti menggampangkan amandemen; atau ekstrim kiri dengan menutup peluang sama
sekali bagi adanya perubahan. Kita harus mengambil jalan tengah yaitu membuka
peluang adanya perubahan namun dengan sikap kehati-hatian sehingga hasilnya
adalah yang terbaik bagi bangsa dan negara. Tentang hal ini, Bagir Manan dan
Susi Dwi Harijanti mengungkapkan:
Salah seorang penandatangan UUD
Amerika, Gubernur Morris menyatakan silahkan diubah tapi harus hati-hati.
Karena dia (UUD) memiliki implikasi yang sangat luas, tidak hanya pada bidang
hukum, tetapi politik, sosial dan ekonomi. Apalagi kalau perubahan itu justru
melahirkan berbagai konflik, menjauhkan dari persatuan. Seperti diingatkan oleh
Parson, hukum itu (apalagi UUD, Pen), dibuat untuk mendorong integrasi,
meredakan konflik, dan memfasilitasi interaksi sosial. Bukan sebaliknya justru
membuat perpecahan, merangsang konflik, atau menimbulkan ketegangan sosial (Toloh,
2022).
Salah satu hal paling penting dan fundamental dari maksud
dan tujuan mengamandemen konstitusi adalah harus diarahkan untuk memperkuat
bangunan sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis berdasarkan hukum.
Bagaimanapun, demokrasi atau sistem politik yang demokratis membutuhkan desain
konstitusi yang juga demokratis. Tentang hal ini Amien Rais menyatakan bahwa,
semua praktik reformasi konstitusi di berbagai belahan dunia selalu identik
dengan upaya membangun kehidupan kenegaraan yang lebih demokratis (Fauzan, n.d.). Sebab itu, bila amandemen lanjutan terhadap
UUD 1945 di masa depan akan dilakukan kembali, maka harus ditujukan untuk (Fudika, 2021): (i) memperkuat sistem check and balances
antar cabang kekuasaan; (ii) harus selalu
berorientasi pada tujuan nasional (purposive behavior), sebagaimana
tersurat dan tersirat dalam pembukaan UUD 1945, (iii) harus ditujukan untuk
meningkatkan (to enhance) kredibilitas dan efektivitas pelbagai lembaga
publik; untuk memperkuat (to strengthen) demokrasi dan public engagement
melalui proses pengambilan keputusan; dan untuk meningkatkan (to increase)
kepercayaan dan akuntabilitas lembaga-lembaga negara.
Untuk mencapai beberapa tujuan di atas yaitu memastikan
gerak perubahan konstitusi di masa yang akan datang akan selalu menuju pada
arah yang semakin baik, dan bukan sebaliknya berjalan mundur ke belakang, maka
diperlukan suatu mekanisme pengawasan baik secara preventif dan represif dalam
mengawal pelaksanaan kewenangan MPR saat mengamandemen UUD 1945. Salah satu
lembaga yang dapat diposisikan sebagai lembaga pengawas tersebut adalah
Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, tulisan ini akan membahas tentang urgensi
pengawasan oleh Mahkamah Konstitusi atas Ketetapan MPR mengenai hasil Amandemen
UUD 1945.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan hasil dari penelitian hukum
normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan ‘statuta’ diawali dari suatu kajian terhadap konstitusi dari
segi aspek asas-asas hukum dan konsep- konsep hukum dan undang-undang ikutannya
atau peraturan organic (Sudiarti & Nainggolan,
2023). Adapun sumber-sumber penelitian berasal dari bahan-bahan
hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder (secondary sources of authorities),
dan bahan-bahan non hukum, yang dikumpulkan melalui studi pustaka.
Hasil dan Pembahasan
Semua ahli meyakini bahwa struktur dan sistem UUD tertentu
akan sangat mempengaruhi bangunan sebuah negara (Fardinal et al., 2022), sehingga semua bangsa pasti telah berusaha
keras untuk merumuskan konstitusinya secara ideal. Namun, sekuat dan semaksimal
apapun upaya untuk mendesain dan membangun konstitusi yang terbaik tersebut,
pada akhirnya perjalanan waktu akan mengikis secara perlahan atas idealitas
norma yang tercantum di dalamnya. Karenanya, sebagai sebuah produk pemikiran
manusia, konstitusi harus selalu ditinjau ulang untuk memastikan keberadaannya
tetap sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat sebuah negara.
Mempertimbangkan kenyataan yang tak terbantahkan bahwa
hukum termasuk konstitusi akan selalu tertinggal dari kebutuhan hukum
masyarakatnya, maka tidak heran bila hampir semua negara pasti akan menyisipkan
suatu pasal dalam konstitusinya yang mengatur tentang kemungkinan adanya
perubahan sekaligus prosedur dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Menurut
data yang disampaikan oleh Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang menunjukkan
bahwa inovasi atas proses dan mekanisme amandemen telah menyebar ke seluruh
negara di dunia. Hanya terdapat kurang dari 4% dari semua konstitusi nasional
yang tidak memiliki ketentuan tentang mekanisme amandemen formal (Al Ghozali, 2023).
Berlandaskan pada doktrin bahwa pembentukan sebuah
konstitusi bersandar pada persetujuan rakyat, maka rakyat juga dapat
menggantinya dengan yang baru atau sekedar untuk merubahnya. Bahkan kekuasaan
rakyat untuk mengamandemen konstitusi ini melampaui teori yang dikembangkan
oleh John Locke yang berpendapat bahwa rakyat dapat mengganti pemerintah hanya
ketika mereka yang dipercaya memegang kekuasaan pemerintahan terlebih dahulu
mendiskualifikasi diri mereka sendiri yaitu melakukan hal yang membahayakan kepentingan
dan kebahagiaan masyarakat sedemikian rupa (Achmad Rifai, 2020). Sementara kekuasaan rakyat untuk merubah atau
mengganti konstitusi tidak harus menunggu syarat apapun sebab mereka dapat
melakukannya kapan pun mereka mau (Rusdyanto, 2022).
Selain bersandar pada konsep kedaulatan rakyat, amandemen
konstitusi juga didasarkan pada suatu premis bahwa sifat manusia yang tidak
sempurna tetapi ia adalah makhluk terdidik (Siti, 2022). Premis ini berisi ajaran bahwa manusia dapat
salah tetapi ia mampu belajar melalui pengalaman. Karena potensi berbuat salah
adalah bagian dari sifat manusia, maka harus termuat ketentuan untuk mengubah
konstitusi jika berdasarkan pengalaman menunjukkan adanya kelemahan dan
kekurangan sehingga menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Oleh karena
itu, pada mulanya, proses amandemen tidak hanya didasarkan pada keinginan untuk
beradaptasi dengan perubahan keadaan, tetapi juga pada kebutuhan untuk menutupi
keterbatasan manusia. Dalam arti, seluruh gagasan konstitusi bersandar pada
asumsi: manusia adalah makhluk yang penuh dengan kesalahan, sebab jika manusia
adalah malaikat, maka tidak perlu mendirikan, mengarahkan, dan membatasi
pemerintahan melalui konstitusi.
Sekalipun perubahan atas konstitusi merupakan suatu
keniscayaan yang tak mungkin bisa dihindari, namun hal ini mensyaratkan bahwa
prosedurnya tidak boleh terlalu mudah atau terlalu sulit. Mekanisme perubahan
yang terlalu mudah, akan menyebabkan perbedaan antara konstitusi dan produk
legislasi biasa menjadi kabur dan tidak jelas, sehingga melanggar asumsi perlunya
pertimbangan tingkat tinggi dan kehatian-hatian. Sementara proses yang terlalu
sulit akan mengganggu atau memperlambat upaya perbaikan atas kesalahan yang
terdapat dalam konstitusi sehingga dengan demikian melanggar asumsi bahwa
manusia memiliki potensi untuk berbuat salah, termasuk ketika merumuskan naskah
konstitusinya (Muchith, 2023).
Namun demikian, sampai saat ini para ahli hukum tata negara
dan ilmu politik tidak mencapai satu kesepakatan tentang kondisi-kondisi apa
saja yang dapat menentukan mudah-sulitnya proses amandemen sebuah konstitusi.
Berbagai literatur menggambarkan beragam asumsi tentang hal tersebut
sebagaimana berikut: Pertama, semakin panjang/tebal konstitusi (semakin banyak
kata- katanya), semakin tinggi kemungkinan tingkat amandemennya. Sebaliknya,
semakin pendek/tipis konstitusi, semakin rendah tingkat amandemennya. Sebuah
konstitusi yang memiliki unsur-unsur yang menyerupai undang-undang biasa
(sangat tebal dengan banyak materi muatan), akan cenderung diubah secara mudah
layaknya undang-undang biasa. Berbagai literatur menerangkan bahwa konstitusi-
konstitusi negara bagian Amerika umumnya lebih tebal dibandingkan dengan
konstitusi nasional (negara federal) karena mereka (negara bagian) harus
mengatur lebih banyak fungsi pemerintahan secara lebih terperinci sehingga hal
ini membuka peluang atas kemungkinan amandemen yang lebih tinggi.
Kedua, semakin sulit proses dan prosedur amandemen, semakin
rendah tingkat amandemen, dan semakin mudah prosedur dan mekanisme amandemen,
semakin tinggi tingkat amandemen. Hambatan institusional utama dalam rangka
merubah konstitusi terletak pada prosedur yang mengaturnya. Konstitusi yang
memuat sejumlah “hambatan” yang signifikan bagi rencana amandemen (misalnya,
ketentuan tentang syarat dukungan super mayoritas atau mayoritas ganda) akan
menyebabkan amandemen lebih jarang terjadi. Logika di balik hubungan ini
sederhana. Semakin besar jumlah dukungan kelompok yang diperlukan untuk amandemen,
semakin kecil kemungkinan dukungan yang memadai akan terpenuhi.
Ketiga, lembaga legislatif (parlemen) yang terfragmentasi
menghasilkan lebih sedikit amandemen. Syarat amandemen biasanya membutuhkan
super mayoritas dukungan anggota legislatif sehingga komposisi kekuatan di
legislatif dapat mempengaruhi frekuensi amandemen. Secara khusus, negara-negara
dengan sedikit partai akan lebih mudah melewati ambang batas syarat amandemen
karena lebih sedikit aktor yang dapat menentang perubahan. Sebaliknya, negara-negara
dengan badan legislatif yang terfragmentasi akan lebih sulit untuk mengumpulkan
dukungan mayoritas mutlak.
Keempat, konstitusi yang dibuat dan dirumuskan secara
hati-hati akan menyebabkan lebih sedikit kebutuhan untuk dilakukannya amandemen
daripada konstitusi yang dibuat tergesa-gesa. Konstitusi yang diadopsi dengan
terburu-buru akan lebih rentan terhadap upaya amandemen karena pasti akan
mengandung banyak kekurangan yang pada akhirnya hal tersebut membutuhkan revisi
dan perbaikan segera. Masalah ini banyak dialami terutama oleh negara-negara
yang baru merdeka dari penjajahan seperti umumnya terjadi di negara bekas
komunis. Sebaliknya, proses perumusan dan penetapan konstitusi yang terukur
akan lebih mungkin menghasilkan konstitusi yang lebih stabil dan bertahan lama.
Kelima, frekuensi kebutuhan untuk amandemen akan meningkat
seiring berlalunya waktu. Konteks politik, sosial, dan ekonomi yang berubah,
akan menyebabkan konstitusi kehilangan relevansinya dengan keadaan saat itu.
Aktor politik pada gilirannya akan mencoba untuk mengadopsi amandemen yang
memungkinkan mereka untuk menyelesaikan masalah yang ada dengan lebih baik.
Salah satu implikasinya adalah perubahan konstitusi akan meningkat dari waktu
ke waktu. Di awal masa berlakunya, sebuah konstitusi mungkin relatif cocok
untuk merespon berbagai kebutuhan ketatanegaraan karena memang dirancang untuk
hal tersebut, tetapi seiring berjalannya waktu, kecocokan ini akan berkurang.
Keenam, rezim pemerintahan yang kurang demokratis, akan
menghasilkan lebih banyak tuntutan amandemen. Persaingan politik merupakan
faktor kontekstual yang sangat penting dalam demokrasi baru. Para pemimpin
otoriter akan mempertahankan secara mati-matian agar konstitusinya tidak
dirubah demi mempertahankan kepentingannya. Padahal, keinginan rakyat untuk
melakukan reformasi ketatanegaraannya agar lebih demokratis, mau tidak mau
harus dimulai dari perubahan konstitusinya sehingga hal ini akan memunculkan
tuntutan rakyat untuk segera dilakukannya amandemen.
Ketujuh, Demokratisasi menghasilkan lebih banyak amandemen.
Holmes dan Sunstein (1995), misalnya, berpendapat bahwa amandemen dapat
digunakan untuk memperbaiki konstitusi yang ditulis dan dirancang dengan sangat
buruk sehingga tidak ideal. Hal demikian dapat terjadi hanya setelah para
demokrat menggantikan para diktator. Dengan demikian, demokratisasi akan
mendorong lebih banyak tuntutan untuk adanya perubahan konstitusional.
Peluang akan adanya perubahan konstitusi untuk konteks
Indonesia diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 yang berbunyi: (1) Usul perubahan
pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh
sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. (2) Setiap usul perubahan
pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian
yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. (3) Untuk mengubah pasal-pasal
UUD, Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan
sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota
MPR.
Adapun mekanisme perubahan UUD 1945 secara lebih terperinci
diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
yang pada pokoknya mengatur hal-hal berikut: (i) Usul pengubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR; (ii)
Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan
persyaratannya yang meliputi: jumlah pengusul; dan pasal yang diusulkan diubah
dan alasan pengubahan; (iii) Pemeriksaan oleh pimpinan MPR dilakukan paling
lama 30 (tiga puluh) Hari sejak usul pengubahan diterima; (iv) Dalam
pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan
kelompok anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan; (v) Dalam hal usul
pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan
penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta
alasannya; (vi) Dalam hal usul pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi
kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna
MPR paling lama 60 (enam puluh) Hari; (vii) Anggota MPR menerima salinan usul
pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat
belas) Hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR; (viii) Dalam sidang
paripurna MPR dilakukan kegiatan sebagai berikut: (a). pengusul menjelaskan
usulan yang diajukan beserta alasannya; (b). fraksi dan kelompok anggota MPR
memberikan pemandangan umum terhadap usul pengubahan; dan (c). membentuk
panitia ad hoc untuk mengkaji usul pengubahan dari pihak pengusul; (ix) Dalam
sidang paripurna MPR berikutnya panitia ad hoc melaporkan hasil kajiannya; (x)
Fraksi dan kelompok anggota MPR menyampaikan pemandangan umum terhadap hasil
kajian panitia ad hoc; (xi) Sidang paripurna MPR dihadiri oleh paling sedikit
2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota MPR; dan (xii) Sidang paripurna MPR
dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dengan persetujuan paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari
jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 di atas dapat
disimpulkan bahwa setiap usulan atas rencana perubahan UUD oleh MPR harus
ditulis secara jelas mengenai pasal apa saja yang diusulkan untuk dirubah,
disertai dengan penjelasan dasar argumentasinya. Artinya, ketika MPR secara
kelembagaan pada akhirnya memutuskan untuk merubah UUD 1945, cakupan materi
perubahannya menjadi terbatas hanya pada hal-hal yang telah diusulkan secara
tertulis tersebut, dan tidak boleh melebar dengan mengamandemen materi-materi
yang sebelumnya tidak direncanakan untuk dilakukan perubahan. Terhadap
ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tersebut, Moh. Mahfud, MD memberi penjelasan
sebagai berikut:
Dengan ketentuan yang demikian akan sangat sulitlah
melakukan perubahan untuk satu paket (keseluruhan isi) UUD karena arahnya
mendorong perubahan pasal per pasal saja sehingga agak sulit untuk melakukan
perubahan secara komprehensif dengan konstruksi yang baru. Ketentuan ini
merupakan konsekuensi logis dari kesepakatan dasar pada saat akan dilakukan
perubahan tahun 1999 bahwa perubahan hanya akan dilakukan dengan addendum (Firdaus & Susanto,
2022).
Mekanisme atau prosedur perubahan demikian–yaitu harus
tertulis dengan menunjuk pasal yang akan dirubah dengan disertai
alasan-alasannya, memungkinkan bagi rakyat untuk mengawasi dan mengontrol atas
setiap usulan perubahan. Dalam arti, jika usulan amandemen yang digagas oleh
elit politik yang duduk di MPR justru mengarah kepada hal-hal yang negatif,
misalnya memuat hal- hal yang dapat merusak atas prinsip Indonesia sebagai
negara hukum yang demokratis – maka publik dapat menentang dan menolaknya.
Sebaliknya, bila materi dari usulan perubahan dimaksud sangat baik dan
mendukung terhadap perbaikan sistem ketatanegaraan secara menyeluruh,
masyarakat tentu wajib memberikan dukungan. Degan demikian, pengawasan rakyat
ini dapat diposisikan sebagai pengawasan preventif yaitu sebelum proses
amandemen itu sendiri dieksekusi dan dilakukan oleh MPR.
Patut disyukuri bahwa pengawasan secara represif oleh
rakyat atas berbagai rencana amandemen yang sempat mengemuka beberapa waktu
yang lalu, diakui atau tidak telah berhasil mencegah dilakukannya amandemen
secara serampangan oleh MPR. Sebagaimana telah menjadi kesadaran bersama bahwa
wacana mengenai penambahan masa jabatan presiden menjadi salah satu isu yang
paling hangat diperdebatkan. Beruntung publik memberikan suara penolakan yang
sangat lantang sehingga isu itu meredup seiring dengan berlalunya waktu.
Walaupun isu ini sudah sering dibantah oleh para anggota MPR melalui berbagai
forum dengan mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak memiliki keinginan
menambah masa jabatan Presiden dan menganggap isu tersebut dihembuskan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, akan tetapi kekhawatiran dan
kecurigaan publik tersebut dapat dipahami serta masuk akal sebab manakala kita
mengadakan studi komparatif dengan beberapa negara, ada satu fenomena yang
terjadi di belahan negara lainnya yaitu banyak penguasa negara yang dengan
berbagai cara telah mengambil kebijakan hukum untuk menambah masa jabatan
presidennya menjadi tiga periode (Hutabarat, 2022).
Sebagaimana disampaikan oleh Denny Indrayana bahwa wabah
atau virus termisme ketiga (third termism) telah merebak di Afrika.
Antara 2000 dan 2015, ada 15 pemimpin Afrika yang berusaha mengubah konstitusi
negaranya dan tertular virus jabatan ketiga kepresidenan. Dari 15 negara
tersebut, hanya empat negara saja yang gagal, sementara 11 lainnya berhasil. Fenomena
ini pada akhirnya berakibat buruk sebab telah menjadi faktor pendorong
menurunnya kepercayaan investor, meningkatkan ketegangan dalam negeri,
mendorong korupsi, militerisme, dan tak jarang memicu kekerasan atau bahkan
perang saudara. Termisme ketiga, karenanya menurut Mtembu merupakan kemunduran
terbesar bagi transisi demokrasi dan kembali menghadirkan rezim otoriter.
Karena itu, bila publik tidak menyuarakan penolakannya secara tegas, bukan
tidak mungkin fenomena yang terjadi di Afrika tersebut akan serta merta di copy-paste
oleh MPR.
Selain pengawasan preventif, tentu sangat
dibutuhkan pula pengawasan represif dalam arti memastikan hasil dari perubahan
UUD 1945 mengarah kepada hal yang semakin baik. Rakyat membutuhkan kepastian
secara hukum dan politik bahwa memang yang akan diamandemen oleh MPR hanya
menyasar kepada pasal- pasal yang sebelumnya sudah direncanakan secara tertulis
untuk dilakukan perubahan, dan tidak akan mengubah pasal lain yang tidak
direncanakan diawal. Hal ini penting dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya
kesewenang- wenangan (abuse of power) dalam proses amandemen yang dapat
berujung pada rusaknya tatanan bernengara. Sebab bisa saja yang tertuang dalam
draf usul perubahan kesemuanya menampilkan hal-hal baik dan positif, akan
tetapi hal itu hanya untuk mengecoh dan mengelabui publik dalam rangka membuka
pintu untuk melakukan amandemen terhadap pasal yang seharusnya tidak dilakukan.
Artinya, sangat mungkin proses amandemen akan melebar ke dalam banyak hal di
luar dari apa yang sudah direncanakan semula.
Kekhawatiran ini tidak boleh diabaikan begitu saja sebab
MPR adalah lembaga politik di mana berbagai kemungkinan bisa saja terjadi,
termasuk peluang bagi MPR untuk memperluas materi perubahan yang tidak hanya
terbatas pada usulan semula, tetapi menyasar juga pada pasal-pasal lain. Jika
hal ini terjadi, maka perlu ada pengawasan represif untuk meluruskan kesalahan
dan tindakan penyelewengan oleh MPR tersebut. Adapun lembaga yang wajib
memainkan peran tersebut adalah Mahkamah Konstitusi sebab MK merupakan lembaga
utama yang diberi tanggungjawab untuk menjaga dan menegakkan konstitusi. Salah
satunya melalui aktifitas pengujian konstitusionalitas norma peraturan.
Sebagaimana diketahui, Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-
Undang Dasar”. Ketentuan pasal tersebut mengandung makna bahwa setelah MPR
selesai melakukan perubahan UUD, maka tahap selanjutnya adalah menetapkan hasil
perubahan dimaksud melalui instrumen hukum Ketetapan (Tap) MPR. Ketetapan MPR
inilah yang harus diuji oleh MK jika proses dan hasil amandemennya bertentangan
dengan norma konstitusi.
Urgensi pelibatan MK dalam mengawal hasil amandemen menjadi
sangat penting untuk memastikan kepatuhan dan ketaatan MPR terhadap UUD 1945
yang Pasal 37 ayat (2) nya sudah secara tegas menentukan bahwa usulan materi
perubahan UUD 1945 harus disampaikan secara tertulis dengan menunjuk secara
jelas dan tegas pasal tertentu yang direncanakan akan dirubah, dengan dilampiri
penjelasan dan dasar argumentasinya. Dengan kata lain, konstitusi memberikan
limitasi materi amandemen yaitu hanya terbatas kepada hal yang diusulkan
tersebut dan tidak boleh merubah pasa-pasal yang sebelumnya tidak masuk dalam
daftar rencana perubahan. Sebab jika pada akhirnya MPR dibolehkan dan dibiarkan
untuk merubah seluruh pasal-pasal konstitusi, dan tidak hanya terbatas pada
pasal- pasal yang sebelumnya telah diusulkan, maka menjadi tidak ada gunanya
keberadaan dari Pasal 37 ayat (2) UUD 1945 tersebut. Dengan kata lain, telah
terjadi pelecehan terhadap konstitusi sebagai norma dasar yang seharusnya
ditaati dan dijunjung tinggi.
Kesimpulan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Makna dari ketentuan pasal tersebut adalah bahwa semua
alat-alat kelengkapan dari negara (pemerintah) dan warga negara dalam seluruh
tindakannya tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan
peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Dalam konteks pelaksanaan kewenangan mengubah
konstitusi, MPR terikat pada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang salah satu
amanatnya adalah bahwa setiap keinginan untuk mengubah pasal- pasal UUD, harus
diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan
untuk diubah beserta alasannya. Artinya, ketika persyaratan yang diperlukan
untuk mengubah UUD sudah terpenuhi, maka MPR terbatas hanya boleh mengamandemen
pasal-pasal seperti yang diusulkan sebelumnya, dan tidak boleh melebar ke
pasal-pasal lainnya.
Sebab itu, bila dalam kenyataan ditemukan fakta Pengabaian
atas prinsip pembatasan ini, maka itu artinya tindakan perubahan atas
konstitusi yang dilakukan MPR adalah tindakan yang bertentangan dengan
konstitusi itu sendiri sehingga MK wajib untuk meluruskan penyelewengan yang
terjadi dengan cara membatalkan isi dari Ketetatapan MPR yang dijadikan sebagai
instrumen hukum dalam menetapkan hasil amandemen UUD 1945. Keterlibatan MK
dalam ikut mengawasi hasil amandemen menjadi sangat penting dan urgen dalam
rangka memastikan tujuan dari perubahan konstitusi dimaksud semata-mata untuk
kepentingan rakyat, dan bukan untuk memperbesar dan memperkuat kekuasaan.
Achmad Rifai, S. H. (2020). Kesalahan
hakim dalam penerapan hukum pada putusan menciderai keadilan masyarakat.
Nas Media Pustaka.
Al Ghozali, I. (2023). Normative
Reconstruction In Constitutional Court Decisions. Acceleration:
Multidisciplinary Research Journal, 1(02), 93–101.
Fardinal, F., Ali, H., & US, K. A.
(2022). Mutu Pendidikan Islam: Jenis Kesisteman, Konstruksi Kesisteman dan
Berfikir Kesisteman. Jurnal Ekonomi Manajemen Sistem Informasi, 3(4),
370–382.
Fauzan, P. I. (n.d.). Polemis dan
reaksioner: telaah atas pemikiran dan praktik dakwah-politik pada elite dewan
dakwah islamiyah indonesia (1967-2015).
Firdaus, M., & Susanto, A. (2022).
Konstitusi Dan Amandemen UUD 1945. ’Aainul Haq: Jurnal Hukum Keluarga Islam,
2(II).
Firmansyah, F. (2021). Perubahan
Konstitusi: Dinamika Politik Dan Hukum Dalam Negara Yang Demokratis. Istinbath:
Jurnal Hukum, 18, 303–325.
Fudika, M. Dela. (2021). Politik Hukum
Pemberlakuan Kembali Garis Besar Haluan Negara Sebagai Panduan Pembangunan
Nasional Indonesia. Kodifikasi, 3(1), 1–13.
Ghafur, J., & Ariyanto, A. (2021). Quoa
Vadis Amandemen UUD 1945. Prosiding Senaspolhi, 1(1).
Hidayat, W., & Taufikurrahman, T.
(2020). Aktivisme Politik Mahasiswa Islam Membangun Demokrasi Pasca Orde Baru. SANGKéP:
Jurnal Kajian Sosial Keagamaan, 3(2), 129–144.
Hutabarat, N. R. (2022). Politik Hukum
Presidential Treshold; Studi Komprehensif Pemilihan Umum di Indonesia (Vol.
1). Nico Hutabarat.
Muchith, H. M. S. (2023). Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Moderasi Beragama. Nas Media
Pustaka.
Rusdyanto, S. (2022). Rekontruksi
Regulasi Pemilihan Kepala Daerah Pasca Amandemen Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 Berbasis Nilai Keadilan. Universitas Islam Sultan
Agung.
Saragih, G. M. (2022). Kajian Filosofis
Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Dari Perspektif Teori Jhon Austin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
91/PUU/XVII/2020. Jurnal Hukum, Politik Dan Ilmu Sosial, 1(4),
28–41.
Siti, M. (2022). Dinamika Politik Teori
Kontemporer. CV Mitra Ilmu.
Sudiarti, E., & Nainggolan, S. D. P.
(2023). Daya Mengikat Perjanjian Tertulis Tanpa Menggunakan Materai. Halu
Oleo Law Review, 7(1), 66–84.
Toloh, P. W. Y. (2022). Dilema Amendemen
Konstitusi: Urgensitas Amendemen dan Mempertahankan Konstitusi Demokratis. Tumou
Tou Law Review, 58–79.
Copyright holder: Jamaludin Ghafur, Ariyanto, Muslim, Najamuddin Gani, Jayanti Puspitaningru, Moh. Amin, Hamid (2024) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |