Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 11, November 2023
KAJIAN KOEFISIEN
REGIME ALIRAN SUNGAI DAN INDEK BASEFLOW SEBAGAI INDIKATOR KINERJA DAERAH ALIRAN
SUNGAI
Yayat Hidayat
Institut
Pertanian Bogor, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Fluktuasi debit aliran sungai merupakan
salah satu indikator fungsi pengaturan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam
penyimpanan dan pelelapasn air hujan yang jatuh pada suatu wilayah DAS. Salah satu indikator yang biasa digunakan
adalah Koefisien Regim Aliran Sungai (KRA). Nilai KRA yang dihitung dalam
jangka waktu yang pendek (pertahun) sangat bervariasi sehingga terjadi
perubahan status DAS tahun satu ke tahun berikutnya padahal kondisi biofisik
DAS di lapang tidak banyak mengalami perubahan. Indek baseflow merupakan
cerminan kestabilan kontribusi baseflow terhadap total aliran sungai yang juga
dapat digunakan sebagai salah satu indikator kinerja DAS. Tujuan penelitian
adalah mengkaji koefisien regim aliran sungai dan indek baseflow sebagai
indikator kinerja DAS pada beberapa DAS prioritas di Jawa Barat. Hasil kajian menunjukkan bahwa: 1) nilai
koefisien regim aliran sungai (KRA) sangat fluktuatif jika dihitung dalam
jangka waktu yang pendek (pertahun) dan cukup stabil jika dihitung dalam selang
waktu cukup panjang disesuaikan dengan perubahan kondisi biofisik DAS di lapang;
2) Rataan nilai KRA DAS Citarum Hulu adalah 57.9 yang tergolong kedalam
katagori sedang, Ciliwung Hulu 34.1 (rendah), Cisadane Hulu 17.5 (sangat
rendah), dan Cipunagara Hulu 52.1 (sedang); 3) rataan indek baseflow DAS
Citarum Hulu, Ciliwung Hulu, Cisadane Hulu dan Cipunagara Hulu masing-masing
sebesar 0.69, 0.77, 0.72, dan 0.75, dengan koefisien keragaman 5.43%-18.2%; 4)
semakin tinggi nilai IBF semakin rendah nilai KRA; dan 5) indek baseflow dapat
digunakan sebagai salah satu indikator kinerja DAS yang relatif lebih baik
dibandingkan dengan koefisien regim aliran sungai (KRA).
Kata
kunci: fluktuasi debit aliran sungai, Indek
baseflow, indikator kinerja DAS, koefisien regime aliran sungai,
Abstract
Fluctuations in river flow discharge are one indicator of
the regulatory function of watersheds in store and release rainwater that falls
in a watershed area. One of the
indicators commonly used is the River Flow Regime Coefficient (RFRC). The RFRC value that calculated over a short
period of time (per year) varies greatly so that watershed status changes from
one year to the next even though the biophysical condition of the watershed in
the field has not changed enough. The
baseflow index (BFI) is another indicator of the stability of baseflow
contribution to total river flow which can also be used as an indicator of
watershed performance. The aim of the
research is to examine the RFRC and BFI as indicators of watershed performance
in several priority watersheds in West Java.
The results show that: 1) the value of the RFRC is very fluctuates if
calculated over a short period of time (per year) and quite stable if
calculated over a fairly long period of time in accordance with changes in the
biophysical conditions of the watershed in the field; 2) The average RFRC value
for the Upper Citarum watershed is 57.9 which is classified as medium, Ciliwung
Hulu 34.1 (low), Cisadane Hulu 17.5 (very low), and Cipunagara Hulu 52.1
(medium); 3) the average value of BFI for the Upper Citarum, Upper Ciliwung,
Upper Cisadane and Upper Cipunagara watersheds is 0.69, 0.77, 0.72, and 0.75
respectively, with a diversity coefficient of 5.43%-18.2%; 4) the higher the
BFI value, the lower the RFRC value; and 5) The BFI can be used as an indicator
of watershed performance which is relatively better than the RFRC.
Keywords:
baseflow
index, river flow discharge fluctuations, river flow regime coefficients,
watershed performance indicators
Pendahulauan
Fluktuasi
debit aliran sungai merupakan salah satu indikator fungsi pengaturan Daerah
Aliran Sungai (DAS) dalam penyimpanan dan pelelapasn air hujan yang jatuh pada suatu
wilayah DAS. Fluktuasi yang tinggi menandakan fungsi penyimpanan air DAS sudah menurun
dimana sebagian besar air hujan yang jatuh pada wilayah DAS tersebut segera
terkonversi menjadi aliran sungai. Sebaliknya
jika fluktuasi tersebut rendah, DAS masih mempunyai kemampuan menyimpan air
hujan dalam bentuk air tanah (air bawah tanah) dan melepasnya secara perlahan
ketika tidak terjadi hujan (musim kemarau).
Fluktuasi debit aliran sungai tersebut biasanya dihitung sebagai rasio
antara debit aliran maksimum (Qmax) pada musim penghujan dan debit
minimum (Qmin) pada musim kemarau dan dikenal sebagai Koefisien Regim
Aliran Sungai (KRA).
Koefisien
regim aliran sungai merupakan salah satu informasi yang sangat penting dalam
pengelolaan DAS. Regim aliran sungai
mempunyai pola yang mirip pada kondisi iklim, topografi dan geologi wilayah yang
identik. Pada kondisi iklim yang sama, jenis dan ketebalan tanah, tutupan
vegetasi dan ukuran DAS mempengaruhi pola regim sungai. DAS dengan tanah yang dalam dan permeabel
mampu mneyerap air lebih banyak sehingga debit puncak alirannya lebih rendah
dengan lama aliran yang lebih panjang. Walaupun
pola regim sungai dapat ditentukan dari karakteristik debit aliran sungai,
karakteristik hujan tahunan perlu dipertimbangkan dalam menentukan regim aliran
sungai.
Regim
aliran secara alami dapat dianggap sebagai pola aliran sungai dalam suatu
wilayah DAS yang belum dipengaruhi oleh intervensi manusia. Perkembangan kehidupan manusia telah
mempengaruhi secara signifikan regim aliran sungai (Wu CL, 2017). Perubahan penggunaan lahan yang meliputi
pengembangan pertanian dan urbanisasi merupakan faktor penyebab utama
kehilangan regim aliran secara alami. Perubahan tersebut terutama terkait
dengan besaran dan variabiltas debit serta waktu aliran, yang konsekuensinya
akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem.
KRA merupakan
salah satu indikator kinerja DAS (KLHK, 2014) untuk kestabilan tata air DAS.
Berbagai penelitian telah dilakukan dalam menentukan KRA pada berbagai DAS di
Indonesia seperti DAS Cibaliung di Provinsi Banten (Rachman et al., 2020), DAS
Ciliman (Christofery et al., 2019), DAS Pedindang (Bayu et al., 2018), DAS
Samin (Rahayu et al., 2017), DAS Kotopanjang (Nurdin dan Suprayogi, 2017), DAS
Babak (Sunardi, 2016), DAS Bila (Staddal et al., 2016), DAS Bulok (Pratama dan
Yuwono, 2016), dan DAS Kawatuna (Hasnawir et al, 2015). Beragam data dan pendekatan perhitungan yang
digunakan menyebabkan perbedaan interpretasi KRA yang dihasilkan.
Base
Flow Index (BFI) juga merupakan salah satu parameter regim aliran sungai yang
dapat digunakan sebagai indikator kinerja DAS.
BFI menunjukkan proporsi base flow terhadap total aliran sungai, dimana
nilai BFI yang tinggi merupakan indikasi lebih banyak aliran sungai yang
terbentuk dari cadangan air (ground water storage) yang tertahan dalam
wilayah DAS.
Tujuan
penelitian adalah mengkaji Koefisien Regim Aliran Sungai dan Base Flow Index pada
3 DAS super prioritas di Provinsi Jawa Barat (DAS Citarum Hulu, Ciliwung Hulu,
dan Cisdane Hulu) sebagai salah satu indikator kinerja DAS.
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian
dilakukan pada 3 DAS super prioritas di Jawa Barat (DAS Citarum Hulu, Ciliwung
Hulu dan Cisadane Hulu) yang secara adiminstrasi termasuk kedalam wilayah
Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan
Kuningan (DAS Citarum Hulu); Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Kabupaten Cianjur
(DAS Ciliwung Hulu); serta Kabupaten Bogor dan Kota Bogor (DAS Cisadane Hulu)
(Gambar 1). Penelitian dilaksanakan pada
bulan Juli 2022 hingga September 2023.
Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Citarum Hulu, Ciliwung
Hulu dan Cisadane Hulu)
Bahan dan Alat
Bahan
yang digunakan terdiri dari data debit aliran sungai Citarum Hulu tahun 1974 - 2018
pada SPAS (Stasiun Pengukuran Arus Sungai) Nanjung; debit aliran sungai
Ciliwung Hulu tahun 1977 - 2018 (SPAS Katulampa); debit aliran sungai Cisadane Hulu tahun
1992-2018 (SPAS Batubeulah); debit aliran sungai Cipunagara tahun 1980-2006 (SPAS
Kiara Payung); debit aliran sungai Asahan, Barumun, Wampu, Serdang, Batang
Toru, Batang Ankola dan Aek Kolang tahun 2009-2014; Citra SPOT 5; DEM Nasional 8 m; peta batas DAS nasional; serta peta DAS Citarum Hulu, Ciliwung Hulu, dan
Cisadane Hulu. Peralatan yang digunakan
terdiri dari ArcGis 10.5, global positioning system, camera, microsoft office,
dan software BFI+3.
Metoda
a. Koefisien
Regim Aliran
Koefisien
regim aliran sungai (KRA) dihitung sebagai nisbah debit maksimum harian rataan
musim hujan terhadap debit minimum rataan pada musim kemarau dengan formula
(Permenhut nomor 61 tahun 2014):
KRA =
KRA : koefisien regim aliran sungai
Qmax : debit aliran sungai maksimum pada musim
penghujan (m3/dt)
Qmin : debit aliran sungai minimum pada musim
kemarau (m3/dt).
Debit
aliran sungai dibangkitkan dari data tinggi muka aliran melalui kurva lengkung
debit
aliran pada masing-masing SPAS (Nanjung, Katulampa, dan Batu Beulah).
Perhitungan
KRA yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Rachman et al., 2020; Christofery
et al., 2019; Bayu et al., 2018; Rahayu et al., 2017; Nurdin dan Suprayogi,
2017; Sunardi, 2016; Staddal et al., 2016; Pratama dan Yuwono, 2016; dan
Hasnawir et al, 2015) menggunakan data debit aliran sungai
maksimum dan minimum per tahun, sehingga menghasilkan nilai KRA yang fluktuatif. Koefisien regim aliran sungai pada penelitian
ini juga dianalisis menggunakan data debit aliran sungai maksimum dan minimum
rataan dalam interval waktu 10 tahun:
KRA =
KRA : koefisien regim aliran sungai
QmaxR10 : rataan debit aliran sungai maksimum 10
tahunan (m3/dt)
Qmin R10 : rataan debit aliran sungai minimum 10
tahunan (m3/dt).
Koefisien
regim aliran sungai dikatagorikan sesuai dengan Permenhut nomor P 61 tahun 2014
(Tabel 1).
Tabel 1. Katagori
nilai koefisien regim aliran sungai
Nilai koefisien regim aliran sungai |
|
b. Indek
Base Flow
Indek
Base Flow (IBF) mencirikan proporsi aliran dasar (base flow) yang
dihasilkan dari suatu wilayah DAS dibandingkan dengan total aliran sungai
sehingga IBF biasanya dihitung sebagai rasio debit aliran dasar terhadap total debit
aliran sungai. Aliran dasar dipisahkan
dari total aliran sungai menggunakan software Base Flow Index (BFI+3.0) dengan pendekatan
local minimum method dalam interval waktu 7 hari. Koefisien resesi base flow dihitung dengan
formula seperti dikemukanan Singh (1992, dalam Hatmoko 2003).
IBF
dihitung dengan formula:
IBF =
IBF :
Indek base flow
DBF :
Debit aliran base flow (m3/dt)
TDAS :
Total debit aliran sungai (m3/dt)
Hasil Dan Pembahasan
Koefisien Regim
Aliran Sungai
Koefisien
regim aliran sungai (KRA) sangat bervariasi jika dihitung menggunakan debit
maksimum dan debit minimum tahunan. Dengan
menggunakan data rataan debit aliran sungai maksimum dan minimum tahun
1974-2018, nilai KRA DAS Citarum Hulu adalah sebesar 57.9 dan tergolong kedalam
katagori sedang (Tabel 2). Nilai KRA sangat fluktuatif jika data yang digunakan
adalah data per-tahun. Sebagai ilustrasi nilai KRA DAS Citarum Hulu tahun 1974
dan 1975 adalah 23.6 dan 24.2 dan tergolong katagori rendah. Namun demikian
nilai KRA tahun 1976 dan 1977 meningkat drastis menjadi 90.9 (tinggi) dan 70.0
(sedang). Peningkatan nilai KRA terutama
disebabkan karena terjadi penurunan debit minimum yang sangat nyata (dari 13.5
m3/dt menjadi 2.3 dan 3.2 m3/dt) sebagai akibat musim
kemarau yang cukup panjang. Setelah
terjadi peningkatan debit minimum menjadi 7.9 m3/dt nilai KRA DAS
Citarum Hulu pada tahun 1978 kembali tergolong kedalam katagori rendah. Nilai KRA DAS Citarum Hulu yang sangat
fluktuatif juga terjadi pada tahun 1982, 1983, 1991, 1992, 2000, 2010, dan
tahun 2017. Selain disebabkan karena
perubahan iklim, peningkatan nilai KRA juga karena intervensi manusia yang
menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang mengkonversi lahan hutan
menjadi lahan pertanian dan konversi lanjutannya menjadi lahan terbangun. Sedangkan penurunan KRA biasanya berkaitan
dengan kegiatan penghijauan dan penggunaan lahan pertanian yang telah
menerapkan teknik konservasi tanah dan air.
Fluktuasi KRA juga terjadi di DAS Ciliwung Hulu, Cisadane Hulu, Cipunagara
dan DAS lainnya di P. Sumatera (Asahan, Barumun, Wampu, Serdang, Batang Toru
dan Batang Angkola) (Gambar 2, 3, 4, dan 5).
Tabel 2. Debit Aliran Sungai dan
Koefisien Regim Aliran Sungai DAS Citarum Hulu
Tahun |
Debit
Aliran Sungai (m3/dt) |
KRA |
Tahun |
Debit
Aliran Sungai (m3/dt) |
KRA |
||||
Maksimum |
Minimum |
Nilai |
Katagori |
Maksimum |
Minimum |
Nilai |
Katagori |
||
1974 |
295.0 |
12.5 |
23.6 |
R |
1998 |
444.4 |
9.9 |
44.7 |
R |
1975 |
327.0 |
13.5 |
24.2 |
R |
1999 |
284.7 |
5.5 |
52.2 |
S* |
1976 |
209.0 |
2.3 |
90.9 |
T* |
2000 |
291.7 |
2.7 |
108.0 |
T* |
1977 |
224.0 |
3.2 |
70.0 |
S |
2001 |
401.6 |
9.4 |
42.8 |
R* |
1978 |
252.0 |
7.9 |
31.8 |
R |
2002 |
397.6 |
5.7 |
69.8 |
S |
1979 |
257.0 |
6.0 |
42.8 |
R |
2003 |
374.5 |
5.1 |
73.9 |
S |
1980 |
259.0 |
5.3 |
49.3 |
R |
2004 |
247.7 |
5.5 |
45.4 |
R |
1981 |
230.0 |
8.5 |
27.1 |
R |
2005 |
478.6 |
8.0 |
60.0 |
S |
1982 |
239.0 |
1.5 |
158.3 |
ST* |
2006 |
348.0 |
4.8 |
72.7 |
S |
1983 |
202.0 |
1.0 |
196.1 |
ST* |
2007 |
380.9 |
4.7 |
80.3 |
S |
1984 |
424.0 |
10.8 |
39.3 |
R |
2008 |
441.9 |
7.1 |
62.6 |
S |
1985 |
210.0 |
8.8 |
23.8 |
R |
2009 |
319.6 |
10.3 |
30.9 |
R |
1986 |
314.0 |
11.5 |
27.3 |
R |
2010 |
606.3 |
38.1 |
15.9 |
SR* |
1987 |
245.0 |
3.8 |
65.3 |
S |
2011 |
287.2 |
6.8 |
42.3 |
R |
1988 |
284.0 |
3.8 |
75.7 |
S |
2012 |
332.5 |
4.3 |
77.3 |
S |
1990 |
296.0 |
5.5 |
53.8 |
S |
2013 |
385.4 |
7.2 |
53.9 |
S |
1991 |
365.0 |
3.6 |
101.4 |
T* |
2014 |
462.6 |
8.9 |
51.9 |
S |
1992 |
299.0 |
9.0 |
33.2 |
R* |
2015 |
332.5 |
4.3 |
77.3 |
S |
1994 |
331.0 |
4.3 |
76.4 |
S |
2016 |
345.2 |
11.9 |
29.1 |
R |
1995 |
260.0 |
7.3 |
35.5 |
R |
2017 |
333.5 |
17.6 |
18.9 |
SR* |
1996 |
333.0 |
9.5 |
35.1 |
R |
2018 |
430.3 |
7.9 |
54.3 |
S |
1997 |
221.0 |
4.3 |
51.8 |
S |
|
|
|
|
|
Rataan 1974-2018 |
324.8 |
7.6 |
57.9 |
S |
KRA : koefisien regim aliran sungai
SR : sangat rendah
R : rendah
S : sedang
T : tinggi
ST : sangat tinggi
Gambar 2. Koefisien
regim aliran sungai DAS Ciliwung Hulu (1977-2018)
Gambar 3. Koefisien regim aliran
sungai DAS Cisadane Hulu (1992-2018)
Gambar 4. Koefisien regim aliran
sungai DAS Cisadane Hulu (1980-2006)
Gambar 5. Koefisien regim aliran
sungai DAS Asahan, Barumun, Wampu, Serdang.
Batang Toru, Batang Angkola,
dan Aek Kolang (2009-2014)
Perubahan
nilai KRA yang sangat fluktuatif mengindikasikan terjadi perubahan status
kondisi respon hidrologi DAS yang sangat signifikan terhadap curah hujan yang
jatuh pada wilayah DAS. Namun demikian
pada kondisi lapang perubahan status hidrologi DAS yang sangat cepat dari
kondisi baik ke buruk dan sebaliknya dari kondisi buruk menjadi baik tidak
terjadi dalam waktu yang sangat singkat.
Oleh karena itu penilaian KRA yang dilakukan per-tahun secara langsung
belum dapat menunjukkan status respon hidrologi DAS secara keseluruhan. Perubahan nilai KRA dari tahun ke tahun lebih
disebabkan karena perbedaan jumlah curah hujan yang jatuh pada wilayah DAS
tersebut.
Untuk
mengetahui respon hidrologi DAS terhadap pengaruh intervensi manusia misalnya
dampak perubahan penggunaan lahan penilaian nilai KRA sebaiknya dilakukan dalam
selang waktu tertentu misalnya 5 tahunan atau 10 tahunan, dimana dampak dari
intervensi tersebut diasumsikan telah mempengaruhi debit aliran sungai
(khususnya base flow). Nilai KRA 10 tahunan DAS Citarum Hulu, Ciliwung
Hulu, Cisadane Hulu, dan Cipunagara Hulu disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Koefisien
regim aliran sungai DAS Citarum Hulu, Ciliwung Hulu, Cisadane Hulu, dan
Cipunagara Hulu
KRA Citarum Hulu |
KRA Ciliwung Hulu |
KRA Cisadane Hulu |
KRA Cipunagara Hulu |
||||||||
Tahun |
Nilai |
ST |
Tahun |
Nilai |
ST |
Tahun |
Nilai |
ST |
Tahun |
Nilai |
ST |
1974-1983 |
40.4 |
R |
1977-1986 |
14.6 |
SR |
1992-1997 |
4.1 |
SR |
1980-1989 |
52.1 |
S |
1984-1993 |
43.5 |
R |
1987-1996 |
41.6 |
R |
1999-2008 |
20.3 |
R |
1990-1999 |
73.9 |
S |
1994-2003 |
52.5 |
S |
1997-2006 |
99.6 |
T |
2009-2018 |
26.6 |
R |
2000-2006 |
34.4 |
R |
2004-2013 |
39.6 |
R |
2007-2018 |
45.9 |
R |
|
|
|
|
|
|
2014-2018 |
37.6 |
R |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1974-2018 |
57.9 |
S |
1977-2018 |
34.1 |
R |
1992-2018 |
17.5 |
SR |
1980-2006 |
52.1 |
S |
KRA : Koefisien regim Aliran Sungai
ST : status
SR : sangat rendah
R : rendah
S : sedang
T : tinggi
Berdasarkan
data rataan jangka panjang diketahui Nilai KRA tergolong sedang untuk DAS
Citarum Hulu dengan variasi rendah-sedang, rendah (DAS Ciliwung Hulu) dengan
variasi sangat rendah-tinggi, sangat rendah (Cisadane Hulu) dengan variasi
sangat rendah-rendah, dan sedang (DAS Cipunagara Hulu) dengan variasi rendah-sedang.
Indek Baseflow
Aliran
dasar (baseflow) didefinisikan sebagai bagian dari aliran sungai yang bersumber
dari cadangan air bawah tanah diantara kejadian hujan (Singh et al., 2019; dan
Gnann et al., 2019) yang menunjukkan respon DAS terhadap proses
hidrometeorologi dan lingkungan (Bloomfield et al., 2011). Baseflow yang
mengalir dalam suatu DAS merupakan fungsi dari parameter geologi, tanah,
topografi, vegetasi dan iklim (Lacey dan Grayson 1998). Pengaruh geologi
terhadap baseflow sangat dominan terutama berkaitan dengan porositas batuan
dimana air tanah akan tersimpan dalam batuan, dan pengaruh geologi/batuan induk
dalam mempengaruhi proses pembentukan tanah.
Bahan induk yang berbeda biasanya menghasilkan jenis tanah yang berbeda.
Pengaruh vegetasi terhadap base flow biasanya dikaitkan dengan pengaruh
vegetasi dalam mempengaruhi struktur dan porositas tanah. Pada kondisi vegetasi yang masih rapat
seperti hutan, ketersediaan serasah dan bahan organik yang tinggi akan
mempengaruhi peningkatan pori drainase sehingga tanah tersebut mempunyai laju
infiltrasi/permeabilitas cukup tinggi sehingga mendorong pengisian cadangan air
tanah yang lebih banyak.
Pada
DAS dengan pola aliran permanen (perenial stream) dengan kondisi geologi dan
iklim yang homogen, baseflow biasanya mempunyai proporsi terhadap total aliran
sungai dengan pola yang konsisten. Pada
musim penghujan proporsi baseflow terhadap total aliran menjadi lebih rendah
dan sebaliknya pada musim kemarau proporsi baseflow menjadi lebih dominan
(Gambar 6).
Gambar
6. Baseflow merupakan aliran dominan
pada musim kemarau (DAS Citarum Hulu tahun 1974 dan 2018)
Indek
baseflow merupakan karakter baseflow yang digunakan sebagai parameter kemampuan
DAS untuk menyimpan dan melepas air, sehingga IBF merupakan representasi
numerik komponen baseflow pada aliran sungai.
IBF dihitung sebagai rasio volume aliran baseflow terhadap total volume
aliran (Gustrad et al., 1992). Rataan indek
baseflow DAS Citarum Hulu, Ciliwung Hulu, Cisadane Hulu dan Cipunagara Hulu masing-masing
sebesar 0.69, 0.77, 0.72, dan 0.75 (Tabel 4).
Indek baseflow yang diperoleh relatif stabil dengan koefisien keragaman 5.43%
(DAS Citarum Hulu) hingga 18.20% (DAS Cilwung Hulu) yang masih memenuhi kriteria
keragaman data di lapang (< 20%). Koefisien regim aliran sungai mempunyai
keragaman yang lebih besar yaitu 59.88% untuk DAS Citarum Hulu dan 84.80% untuk
DAS Ciliwung Hulu (Tabel 5). Koefisien keragaman yang lebih rendah menunjukkan
bahwa indek baseflow dapat digunakan sebagai salah satu indikator kinerja DAS
yang relatif lebih baik dibandingkan dengan koefisien regim aliran sungai
(KRA).
Tabel 4. Rataan indek baseflow DAS Citarum Hulu,
Ciliwung Hulu, Cisadane Hulu dan Cipunagara Hulu
Parameter Analisis |
DAS Citarum Hulu |
DAS Ciliwung Hulu |
DAS Cisadane Hulu |
DAS Cipunagara Hulu |
Tahun data yang dianalisis |
1974-2018 |
1990-2018 |
1999-2018 |
1991-2006 |
Indek baseflow rataan |
0.69 |
0.77 |
0.72 |
0.75 |
Indek baseflow maksimum |
0.78 |
0.99 |
0.83 |
0.86 |
Indek baseflow minimum |
0.62 |
0.38 |
0.61 |
0.63 |
Standar deviasi |
0.038 |
0.14 |
0.055 |
0.077 |
Koefisien keragaman |
5.43 |
18.20 |
7.57 |
10.25 |
Tabel 5. Perbandingan indek baseflow dan koefisien
regim aliran sungai (DAS Citarum Hulu dan Ciliwung Hulu)
DAS Citarum Hulu |
DAS Ciliwung Hulu |
||||
Tahun |
Indek Baseflow |
Koefisien Regim Aliran Sungai |
Tahun |
Indek Baseflow |
Koefisien Regim Aliran Sungai |
1974 |
0.62 |
24 |
1990 |
0.81 |
52.6 |
1997 |
0.67 |
45 |
1993 |
0.83 |
60.2 |
1998 |
0.70 |
52 |
1994 |
0.85 |
40.6 |
1999 |
0.69 |
108 |
1995 |
0.81 |
40.3 |
2000 |
0.69 |
43 |
1996 |
0.60 |
73.8 |
2001 |
0.69 |
70 |
1997 |
0.62 |
161.5 |
2002 |
0.67 |
74 |
1998 |
0.38 |
204.0 |
2003 |
0.66 |
45 |
1999 |
0.59 |
253.2 |
2004 |
0.66 |
60 |
2000 |
0.61 |
287.3 |
2005 |
0.77 |
73 |
2001 |
0.66 |
182.0 |
2006 |
0.68 |
80 |
2004 |
0.71 |
88.0 |
2007 |
0.70 |
63 |
2007 |
0.77 |
50.8 |
2008 |
0.65 |
31 |
2008 |
0.84 |
42.0 |
2009 |
0.70 |
16 |
2009 |
0.87 |
34.4 |
2010 |
0.71 |
42 |
2010 |
0.85 |
34.5 |
2011 |
0.72 |
77 |
2011 |
0.88 |
57.6 |
2012 |
0.74 |
54 |
2012 |
0.90 |
61.4 |
2013 |
0.69 |
52 |
2013 |
0.86 |
70.8 |
2014 |
0.74 |
77 |
2014 |
0.82 |
76.0 |
2015 |
0.78 |
29 |
2016 |
0.99 |
47.9 |
2016 |
0.73 |
19 |
2017 |
0.78 |
29.4 |
2017 |
0.71 |
54 |
2018 |
0.80 |
25.8 |
Rataan |
0.69 |
57.87 |
|
0.77 |
89.75 |
Maksimum |
0.78 |
196.12 |
0.99 |
287.33 |
|
Minimum |
0.62 |
15.92 |
0.38 |
25.84 |
|
Simpangan Deviasi |
0.038 |
34.65 |
0.14 |
76.11 |
|
Koefisien Keragaman |
5.432 |
59.88 |
18.20 |
84.80 |
Nilai IBF
yang tinggi menggambarkan DAS mempunyai debit aliran sungai yang cukup stabil
dan mampu memberikan suplai air ke sungai meskipun pada musim kemarau yang
cukup panjang (Indarto et al., 2016). Semakin tinggi nilai IBF semakin rendah
nilai KRA (Gambar 7). Yusuf et al. (2021) dalam penelitiannya di DAS Way
Seputih Provinsi Lampung menunjukkan bahwa IBF sensitif dipengaruhi oleh
perubahan penggunaan lahan.
Gambar
7. Korelasi indek baseflow dan koefisien
regim aliran sungai
(DAS Ciliwung Hulu 1990-2018)
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka kesimpulan yang
didapatkan adalah; (1) nilai koefisien regim aliran sungai (KRA)
sangat fluktuatif jika dihitung dalam jangka waktu yang pendek (per-tahun). Nilai
KRA menjadi relatif stabil jika dihitung dalam selang waktu cukup panjang
disesuaikan dengan perubahan kondisi biofisik DAS di lapang, (2) rataan nilai
KRA DAS Citarum Hulu adalah 57.9 yang tergolong kedalam katagori sedang,
Ciliwung Hulu 34.1 (rendah), Cisadane Hulu 17.5 (sangat rendah), dan Cipunagara
Hulu 52.1 (sedang), (3) rataan indek baseflow DAS Citarum Hulu, Ciliwung Hulu,
Cisadane Hulu dan Cipunagara Hulu masing-masing sebesar 0.69, 0.77, 0.72, dan
0.75, dengan koefisien keragaman 5.43%-18.2%, (4) indek baseflow dapat
digunakan sebagai salah satu indikator kinerja DAS yang relatif lebih baik
dibandingkan dengan koefisien regim aliran sungai (KRA), dan (5) semakin tinggi
nilai IBF semakin rendah nilai KRA.
BIBLIOGRAFI
Bayu HH,
Baskoro DPT, Rachman LM, & Oktaviandi D. 2018. Evaluasi kondisi sub das prioritas pedindang
pasca Tambang di Provinsi Bangka Belitung.
Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS IX 2018. ISBN: 978-602-361-137-9
Bloomfield,
J. P., Bricker, S. H., & Newell, A. J.2 011. Some relationships between lithology, basin
form and hydrology: a case study from the Thames Basin, UK, Hydrol. Process.,
25, 2518–2530, https://doi.org/10.1002/hyp.8024.
Gnann, S.
J., Woods, R. A., & Howden, N. J. K. 2019.
Is there a baseflow Budyko curve?, Water Resour. Res., 55, 2838–2855, https://doi.org/10.1029/2018WR024464.
Gustard
A, Bullock A, & Dixon J. 1992. Low Flow Estimation in the United Kingdom;
Institute of Hydrology: Wallingford, UK.
Hasnawir,
Setiawan H, & Isnan W. 2015. Monitoring dan evaluasi sub daerah aliran
sungai Kawatuna di sulawesi tengah. Info Teknis EBONI Vol. 12 (2): 131 – 139.
Indarto,
Novita E, Wahyuningsih S, & Ahmad H. 2016. Studi Tentang Pemisahan Aliran
Dasar pada DAS di Wilayah UPT PSDA Pasuruan, Jawa Timur. Jurnal Keteknikan
Pertanian vol. 4 No. 2 (227-236), doi: 10.19028/jtep.04.2.227-236.
Kristofery L, Murtilaksono K, & Baskoro
DPT. 2019. Simulasi Perubahan Penggunaan
Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Daerah Aliran Sungai Ciliman. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor.
Lacey GC &
Grayson RB. 1998. Relating baseflow to
catchment properties in south-eastern Australia. Journal of Hydrology Vol 204 (1-4): 231-250.
Nurdin & Suprayogi I. 2017. Analisis Koefisien Regim Sungai (Krs) Di Waduk
PLTA Kotopanjang Menggunakan Model Hidrologi Swat. Proseding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Secara Terpadu. Universitas Riau. Pekanbaru.
Pratama W
& Yuwono SB. 2017. Analisis perubahan penggunaan lahan
terhadapKarakteristik hidrologi di das bulok.
Jurnal Sylva Lestari, Vol. 4 No.3, Juli 2016 (11—20). ISSN 2339-0913.
Rahayu N,
Sutarno, & Komariah. 2017. Alih fungsi lahan dan curah hujan terhadap
perubahan hidrologi sub das samin.
Agrotech Res J. Vol 1. (1): 13-20. ISSN: 2614-7416
Rachman
LM, Mubarokah N, & Tarigan SD. 2020.
Kajian terhadap teknik konservasi tanah dan air untuk meningkatkan
kualitas DAS Cibaliung, Banten. Journal
of Tropical Upland Ressources Vol 2 (2): 181-190. ISSN p: 26865253.
Staddal
I, Haridjaja O, & Hidayat Y. 2016. Analisis debit aliran sungai das bila
sulawesi selatan. Jurnal Sumber Daya Air
Vol.12 No. 2, 117 – 130.
Singh, S.
K., Pahlow, M., Booker, D. J., Shankar, U., & Chamorro. A. 2019. Towards baseflow index characterisation at
national scale in New Zealand, J. Hydrol., 568, 646–657, https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2018.11.025.
Sunardi.
2016. Analisis koefisien aliran dan
koefisien regim sungai sebagai parameter penilaian kekritisan das (studi kasus
DAS babak). Skripsi. Universitas
Mataram.
Yusuf A,
Kusumastuti DI, & Wahono EP. 2021.
Pengaruh Tutupan Lahan terhadap Base Flow Index DAS Way Seputih Provinsi
Lampung. Siklus: Jurnal Teknik Sipil Vol
7, No.2 (146-159). p- ISSN 2443- 1729 e- ISSN 2549- 3973.
Copyright
holder: Yayat Hidayat (2024) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |