Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 5, Mei 2024            

 

KONSTRUKSI IDENTITAS GENDER DALAM FANFIKSI KPOP BERTEMA BOYS LOVE

 

Esa Jati Natyakalyana1, Shuri Mariasih Gietty Tambunan2

Universitas Indonesia, Depok, Indonesia1,2

Email: [email protected]1, [email protected]2

 

Abstrak

Artikel ini mengkaji performativitas gender dalam fanfiksi Kpop yang bertemakan Boys Love (BL). Genre BL dalam fanfiksi yang seharusnya menjadi ruang untuk mengeksplorasi hubungan dan identitas yang beragam, seringkali malah mengukuhkan heteronormativitas melalui dikotomi karakter maskulin dan feminin. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap bagaimana identitas gender dan tubuh karakter pasangan BL dalam fanfiksi Kpop dikonstruksi. Penelitian ini menggunakan metode analisis tekstual dan akan mengambil studi kasus pada fanfiksi grup idola Seventeen. Selain itu, teori performativitas gender oleh Judith Butler (1999) akan digunakan menganalisa data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam fanfiksi BL, tubuh diberi jenis kelamin bukan berdasarkan subjektivitas yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan hasil dari pertunjukan (performativitas). Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya posisi Top dan Bottom yang masing-masing merepresentasikan maskulinitas dan feminitas, yang memberlakukan kembali norma-norma gender patriarki.

Kata kunci: performativitas gender, konstruksi gender, fanfiksi Kpop, Boys Love

 

Abstract

This article examines gender performativity in Kpop fanfiction themed around Boys Love (BL). The BL genre in fanfiction, which should be a space to explore diverse relationships and identities, often reinforces heteronormativity through the dichotomy of masculine and feminine characters. Therefore, this study aims to reveal how the gender and body identities of BL couple characters in Kpop fanfiction are constructed. This research uses textual analysis method and will take a case study on fanfiction of idol group Seventeen. In addition, the theory of gender performativity by Judith Butler (1999) will be used to analyse the data. The results show that in BL fanfiction, bodies are assigned gender not based on predetermined subjectivity, but rather the result of performance. This is also shown by the existence of Top and Bottom positions that represent masculinity and femininity respectively, which re-enact patriarchal gender norms.

Keywords: gender performativity, gender construction, Kpop fanfiction, Boys Love

 

Pendahuluan

Popularitas fiksi Boys Love (BL) di kalangan penggemar, terutama perempuan, telah menjadi fenomena yang signifikan dalam berbagai konteks budaya. Di Cina, fiksi BL telah mendapatkan popularitas yang tinggi dengan jutaan pelanggan di platform seperti Jinjiang Literature City (Ge, 2022). Fandom BL, yang sebagian besar terdiri dari remaja perempuan dan perempuan dewasa, telah menjadi subkultur yang berkembang dengan basis penggemar yang besar (Wang, 2021). Genre ini memungkinkan perempuan untuk bermain-main dengan konstruksi gender, menantang narasi romantis heteroseksual, dan menawarkan alternatif dari dinamika hubungan tradisional (Tang, 2023).  

            Boys Love (BL) juga merupakan subgenre yang sering ditemukan dalam fanfiksi atau fiksi penggemar. Fiksi penggemar melibatkan cerita yang dibuat oleh penggemar yang dibangun berdasarkan karakter, dunia, dan hubungan yang ada di buku, acara TV, film, anime, dan bahkan musik, seperti genre Kpop. Fanfiksi Kpop, salah satu bagian dari fanfiksi, adalah bentuk cerita yang dibuat oleh penggemar menggunakan idola Kpop sebagai karakter. Hal ini memungkinkan para penggemar untuk mengeksplorasi kreativitas mereka dan mengekspresikan kecintaan mereka terhadap idola melalui tulisan. Fanfiksi dalam konteks Kpop sangat populer karena memungkinkan penggemar dari seluruh dunia untuk mengakses dan menikmati cerita (Mulyani & Suryani, 2019). Fiksi dalam fandom Kpop juga telah dipelajari karena sifatnya yang dekonstruktif—penulis fanfiksi mengubah dan menafsirkan ulang tokoh-tokoh idola Kpop (Cahyanti & Dermawan, 2021). Fanfiksi Kpop berkontribusi pada popularitas budaya Hallyu dan telah menjadi bagian penting dari karya sastra populer di berbagai negara. Selain itu, fanfiksi Kpop menawarkan ruang bagi para penggemar untuk terhubung, mengeksplorasi minat mereka, dan mendiversifikasi preferensi estetika mereka (Liu, 2023).

Kepopuleran fiksi penggemar Boys Love (BL) dapat ditelusuri kembali dari kemunculan media BL di Jepang. Genre Boys Love sendiri dipercaya berasal dari manga Jepang—yang juga dikenal sebagai manga Yaoi—dan mulai populer pada pertengahan tahun 1980-an (Tamagawa, 2016). Fanfiksi BL berawal sebagai cara bagi para penggemar untuk terlibat dan memperluas narasi dan hubungan yang digambarkan dalam media BL. Hal ini memungkinkan para penggemar untuk mengeksplorasi interpretasi dan fantasi mereka sendiri, menciptakan cerita dan skenario baru yang melibatkan karakter pria. Fanfiksi BL telah mendapatkan popularitas dan telah menjadi bagian penting dari budaya penggemar, memberikan ruang bagi penggemar untuk mengekspresikan kreativitas mereka dan terlibat dengan individu yang berpikiran sama. Konsumsi fanfiksi BL mencerminkan upaya perempuan untuk mencapai otonomi dan kemandirian, meskipun nilai-nilai patriarki masih memengaruhi genre ini (Li, 2022).

Cerita-cerita bergenre BL—atau dalam konteks global sering disebut slash—menjadi cara bagi penggemar untuk menegosiasikan dan menata ulang gender, seksualitas, dan hubungan di luar norma-norma tradisional. Dalam konteks Kpop, fanfiksi BL memungkinkan penggemar untuk terlibat dengan idola favorit mereka dan membayangkan skenario romantis, serta menantang norma-norma heteronormativitas konvensional (Cahyanti & Dermawan, 2021). Fanfiksi BL dapat mendekonstruksi dan mentransformasi tokoh-tokoh idola Kpop asli, dan memberikan kebebasan kepada penulis untuk menciptakan karakter baru dalam genre ini (Cahyanti & Dermawan, 2021).

Meski mengusung tema romansa laki-laki, penelitian telah menunjukkan bahwa motivasi di balik penulisan fanfiksi BL sering kali didorong oleh kecintaan penggemar, yang sebagian besar perempuan, terhadap budaya Kpop dan keinginan untuk menjalin hubungan khusus dengan tokoh idola (Budiarto et al., 2021). Beberapa studi berupaya untuk mengeksplorasi mengapa penggemar perempuan tertarik untuk menulis cerita mengenai romansa laki-laki berjenis kelamin sama. Faye (2012) mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan itu dengan menemukan motivasi pribadinya dalam menulis fanfiksi BL dari serial TV Sherlock Holmes. Faye berpendapat bahwa ada suatu celah atas pengetahuan yang ia ketahui tentang karakter Sherlock Holmes yang mengarah pada keinginannya untuk mengisi kekosongan itu dan memiliki pengetahuan yang lebih besar daripada karakter itu sendiri. Dengan kata lain keinginan untuk mengeksplorasi aspek-aspek yang tidak diketahui dari karakter yang kita cintai adalah apa yang menginspirasi kita untuk menjadi penulis. Hal yang sama mungkin saja terjadi dalam dunia fandom Kpop. Kesenjangan informasi mengenai hubungan romansa sang idola, membuat para penggemar untuk mengisi ruang kekosongan tersebut melalui tulisan karangannya.

Dominasi penulis perempuan dalam fanfiksi BL dapat pula dikaitkan dengan beberapa faktor. Pertama, media BL, yang terutama menargetkan perempuan muda dan heteroseksual, berfungsi sebagai sumber inspirasi untuk pembuatan fanfiksi. Konsumsi media BL dan keterlibatan dalam penulisan fanfiksi memungkinkan penggemar perempuan untuk mengeksplorasi interpretasi dan fantasi mereka sendiri, serta menyediakan ruang untuk ekspresi kreatif dan hubungan emosional mereka. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan cenderung lebih tertarik pada hubungan interpersonal dan keluarga, yang dapat berkontribusi pada keterlibatan mereka dalam menulis fanfiksi BL. Tekanan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma gender dan keyakinan tentang pekerjaan khusus gender juga dapat memengaruhi minat pekerjaan dan kegiatan kreatif (Masters & Barth, 2022).

Beberapa penelitian terdahulu mengenai budaya fanfiksi BL sudah pernah dilakukan. Mengenai pola konsumsinya terutama di kalangan penggemar Cina, Li (2022) beragumen bahwa konsumsi fanfiksi BL dianggap sebagai bentuk budaya populer yang mengeksplorasi hubungan emosional dan seksual antara laki-laki, yang dibuat dan dikonsumsi terutama oleh perempuan muda. Sementara itu di Jepang, genre romansa laki-laki, yang diproduksi dan dikonsumsi terutama oleh perempuan, telah menimbulkan pertanyaan tentang dinamika gender dan konsumsi budaya (Okabe & Pelletier-Gagnon, 2019). Selain itu, sudah ada diskusi mengenai potensi fiksi, termasuk BL, sebagai bahan sumber di berbagai bidang. Perspektif-perspektif ini menyoroti signifikansi budaya dan sosial dari fanfiksi populer dan potensinya sebagai alat untuk pembelajaran, penelitian, dan eksplorasi kreatif (Cooke, 2000; Laz, 2020). Dapat disimpulkan, penelitian tentang budaya fanfiksi BL mengakui perannya yang kompleks sebagai bentuk budaya yang merefleksikan dan menantang norma-norma sosial, melibatkan pembaca, dan menyediakan ruang untuk mengeksplorasi hubungan dan identitas yang beragam.

Meski beberapa studi mengenai fanfiksi BL melihat aspek subversif untuk menentang heteronormativitas, ada pula beberapa pendapat lain yang menunjukkan bahwa tidak semua pasangan slash atau BL dalam fanfiksi melanggar norma gender seperti yang diklaimnya. Bahkan, beberapa memperburuk stereotip gender yang melekat pada dua jenis kelamin heteroseksual. An (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Gender and Sexuality Construction in Korean Idol Fanfiction” menemukan bahwa gender dan seksualitas dikonstruksikan dalam kategori Top/Bottom melalui parodi dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Hal ini terungkap melalui bagaimana karakter idola dikonstruksi dan bagaimana ia berfungsi melalui kategori parodi Top/Bottom yang menunjukkan dikotomi maskulin/feminin. Sejalan dengan penelitian An (2010), Jiang (2019) yang meneliti fanfiksi slash BBC Sherlock, juga menemukan bahwa konstruksi pasangan di cerita, John dan Sherlock, didasarkan pada dua kategori jenis kelamin yang heteronormatif—John, yang menandakan maskulinitas, adalah yang dominan, sementara Sherlock, yang menandakan feminitas, adalah yang submisif.

Adanya perdebatan mengenai fanfiksi BL, mendasari ketertarikan penulis untuk melihat apakah fanfiksi Kpop yang berkembang sekarang, terutama di media sosial, merupakan bentuk penentangan atas norma-norma sosial atau justru bahkan melanggengkan heteronormativitas. Temuan awal penulis menunjukkan bahwa masih adanya pelanggengan stereotip maskulin dan feminin di fanfiksi BL Kpop melalui performativitas gendernya. Namun peneliti berargumen bahwa dengan mengganti dua jenis kelamin yang berlawanan dengan dua karakter laki-laki, struktur gender antara laki-laki dan perempuan, maskulinitas dan femininitas, dalam masyarakat heteroseksual juga ditantang. Maka dari itu, pertanyaan penelitian ini yang akan dijawab pada penelitian ini adalah bagaimana identitas gender dan tubuh karakter pasangan fanfiksi BL Kpop dikonstruksi? Lebih lanjut, bagaimana penulisan fanfiksi Kpop menumbangkan norma-norma heteroseksual?

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian tekstual yang berfokus pada studi kasus terhadap fanfiksi Kpop yang ditemukan pada media sosial twitter. Fanfiksi yang dipilih merupakan fanfiksi dari grup idola Seventeen yang berjudul “Si Bapak Besar dan Wonwoonya”. Alasan pemilihan studi kasus ini didasari oleh ketertarikan pribadi penulis terhadap grup idola ini dan fanfiksi BL-nya. Terlebih lagi, dalam fandom Seventeen yang dinamakan Carat, terdapat pasangan-pasangan anggota yang memang dipasangkan secara sengaja oleh penggemar berdasarkan kedekatan mereka yang ditunjukkan di kamera, dan berdasarkan hal itu banyak cerita BL yang ditulis. Selanjutnya, dari fanfiksi “Si Bapak Besar dan Wonwoonya” ditemukan beberapa asumsi dikotomi dominan/submisif, yang menyediakan bahan yang cukup untuk penelitian ini.

            Dalam melakukan penelitian, pertama-tama peneliti akan melakukan pembacaan dekat dan interpretasi karakter serta narasi dari fanfiksi tersebut. Selanjutnya, hasil dari interpretasi akan dianalisa menggunakan teori performativitas gender yang dikemukakan Judith Butler (1999) untuk melihat bagaimana gender-gender dalam karakter fanfiksi dikonstruksikan. Dalam argumen Butler, identitas gender bukanlah sesuatu yang permanen dan tetap, tetapi bersifat performatif, yaitu identitas gender adalah hasil dari pemberlakuan dan pemeragaan norma-norma gender. Hal inilah yang akan menjadi sorotan dalam menganalisis narasi dari fiksi penggemar ini.

 

Hasil dan Pembahasan

Konstruksi Maskulinitas/Feminitas pada Pasangan Dominan/Submisif

Secara singkat, fanfiksi “Si Bapak Besar dan Wonwoonya” bercerita tentang tokoh Wonwoo, seorang fresh graduate, yang diminta oleh bos temannya, Mingyu, untuk berpura-pura menjadi calon suaminya karena ia sudah dituntut untuk menikah oleh orang tuanya. Alasan Mingyu sebenarnya tidak lain karena ia yang dari awal memang sudah menyukai Wonwoo. Awalnya Wonwoo menolak, akan tetapi lama-kelamaan ia berubah pikiran karena merasa hidupnya akan sejahtera jika menikahi bosnya. Pernikahan pun tetap berlangsung karena mereka tidak tega untuk mengecewakan orang tua Mingyu yang sudah berharap lebih. Walau pernikahan ini tidak berdasarkan perasaan cinta dari pihak Wonwoo, namun seperti apa kata pepatah Jawa, “witing tresno jalaran soko kulino” (cinta hadir karena terbiasa), seiring berjalannya waktu mereka akhirnya mulai mencintai satu sama lain dan menjalankan kehidupan berumah tangganya dengan bahagia. Fanfiksi ini berbentuk series yang terdiri dari episode-episode terpisah yang mengisahkan kisah tokoh Mingyu dan Wonwoo dari awal menikah hingga mempunyai anak. Tiap-tiap episode diunggah dengan utas yang terpisah pula dan kurang lebih berjumlah 32 utas.

   Uniknya, dalam menyampaikan cerita, penulis fanfiksi ini tidak hanya menggunakan narasi tulisan tapi juga menggunakan media pesan singkat. Saat membaca fanfiksi ini, pembaca dapat melihat percakapan kedua karakter dalam bentuk ruang chat pribadi tokoh utama dengan pasangannya dan dengan teman-temannya. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan pada fiksi penggemar ini cenderung tidak baku dan menggunakan bahasa sehari-hari. Selanjutnya mengenai hubungan romansa antara kedua tokoh utama, penulis seakan sudah menentukan bagaimana posisi dan peran kedua tokoh dalam kehidupan rumah tangga mereka. Meski keduanya sama-sama laki-laki, tokoh Mingyu berperan sebagai sosok yang lebih dominan dibandingkan tokoh Wonwoo. Hal ini secara eksplisit penulis sebutkan dalam beberapa narasinya. Tokoh Mingyu kerap disebut sebagai ‘sang dominan’, sementara tokoh Wonwoo disebut sebagai ‘sang submisif’. Pembagian peran dominan dan submisif juga terlihat melalui penggambaran kontras karakter kedua tokoh. Tokoh Mingyu dalam cerita bersikap lebih mengayomi, dewasa, dan sering kali berperan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. Sebaliknya, Wonwoo digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut, tapi manja dan sedikit kekanakan.

            Dominasi tokoh Mingyu pertama-tama dapat terlihat jelas dari penggambaran fisik tokoh Mingyu pada judul fanfiksi ini, “Si Bapak Besar dan Wonwoonya”. Tokoh Mingyu pada fanfiksi ini berulang kali digambarkan sebagai sosok yang berbadan besar sehingga membuat tokoh Wonwoo sedikit takut dengannya. Faktor usia juga mendukung peran Mingyu yang lebih dominan. Disebutkan dalam fanfiksi ini, Mingyu memiliki umur yang jauh diatas Wonwoo, sehingga alih-alih memanggilnya dengan sebutan “Kakak”, ia lebih memilih memanggil Mingyu dengan sebutan “Bapak”. Hal ini karena Wonwoo merasa segan dan tidak sopan jika memanggil Mingyu dengan sebutan “Kakak”.

Lebih lanjut, bentuk dominasi tokoh Mingyu terhadap Wonwoo dalam hal ukuran tubuh secara lebih detail akan dijelaskan dalam beberapa kutipan berikut:

 

“‘Kamu mau makan saja wangi seperti ini…’

‘Kan habis mandi. Kenapa?’ Wonwoo jalan buat bantu ngambilin nasi sama lauk si bapak ke piringnya.

‘Baunya nyampur, Wonwoo.

‘Oh? Sorry… terus gimana?’

 

Panik dong jelas. Si bapak tuh ga pernah marah, tapi bukan bikin Wonwoo jadi semena-mena. Soalnya gimana ya… lengannya dia aja segede itu. Apa ga dibanting nanti dia? Kan ngeri.”

 

Dalam adegan ini, Wonwoo yang baru saja selesai mandi membuat Mingyu terganggu oleh baunya karena dianggap akan tercampur dengan bau makan malam yang akan mereka santap. Meski sebenarnya tokoh Mingyu di sini tidak marah, akan tetapi Wonwoo sudah mengantisipasi dan takut jika ia membuat Mingyu marah. Ketakutan tersebut bukannya tidak berdasar. Pada kutipan tersebut, dapat dilihat bagaimana Mingyu ditampilkan sebagai sosok yang secara fisik lebih superior dengan deskripsi memiliki ‘lengan besar’ dan dapat ‘membanting’ tubuh Wonwoo–yang menunjukkan bahwa tubuhnya ‘kuat’. Hal ini mengakibatkan Wonwoo yang merasa lebih rentan dan inferior dibanding Mingyu. 

Pada narasi yang berbeda, secara konsisten penulis kembali menunjukkan bagaimana dominasi Mingyu terhadap Wonwoo berdasarkan perbedaan ukuran tubuhnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

 

 “‘Kenapa?” Tanya Mingyu setibanya di depan sang suami ‘kecil’nya.

‘Iyaa jangan diomelin lagi…’

‘Loh engga … siapa yang mau ngomelin lagi? Saya kan sudah bilang, saya ga ngomel.’

‘Bapak…’

‘Tidak, Wonwoo. Saya tidak ngomel. Ayo bantu saya nyiapin dinner.’ Si bapak nadahin tangannya minta Wonwoo untuk ikut sama dia ke dapur. Masih takut tapi ga takut juga karena emang nyatanya bapak lagi ga marah.”

 

Berbanding terbalik dengan Mingyu yang dideskripsikan memiliki tubuh besar, Wonwoo dipanggil sebagai suami ‘kecil’. Dalam konstruksi ini, Wonwoo tampak lebih rentan secara fisik dibandingkan Mingyu, yang memungkinkan terjadinya kekerasan terhadapnya. Hal ini mengakibatkan tokoh Wonwoo yang lagi-lagi terlihat ‘takut’ akan kemarahan tokoh Mingyu. Oleh karena itu, hierarki relasi kuasa dibangun melalui konstruksi dominasi antara tokoh Mingyu dan Wonwoo, yang didasarkan pada ketimpangan fisik keduanya. 

Selanjutnya, relasi kuasa antara tokoh Mingyu dan Wonwoo juga dikukuhkan oleh konstruksi perintah dan kepatuhan. Hal itu tergambar dalam kutipan pesan singkat dan narasi berikut ini:

 

Gambar 1. Potongan percakapan pesan singkat tokoh Wonwoo dan Mingyu

 

            Kutipan 1

“‘Bilang apa ke mama tadi?’ Si bapak memiringkan kepalanya mencari titik fokus pandangan Wonwoo yang tampak berpikir.

‘Aku ga ngadu…’ lirih menunduk.

‘Coba lihat sini dulu.’ Si bapak narik ke atas dagu Wonwoo supaya keduanya dapat saling melihat.

‘Itu… tadi mama ngechat iseng terus tanya-tanya. Ya aku bilang pengen es krim tapi ga dikasih…’

‘Kamu tau kan alasan saya tidak mengizinkan itu apa?’

Wonwoonya menganggung tak berani bersuara…”

 

            Pada adegan dalam Gambar 1 dan kutipan di atas–yang masih dalam rentang waktu yang sama–diceritakan Wonwoo yang sedang sakit merajuk karena Mingyu yang tidak mau membelikannya es krim. Melihat perlawanan dari Wonwoo, Mingyu memerintahkan Wonwoo untuk ‘nurut’ atau patuh. Tokoh Min gyu pada kedua kutipan di atas terlihat bersikap tegas dan mengintimidasi. Dalam hal ini pula Mingyu menyebutkan ‘anak pintar’ yang mengarah pada Wonwoo akan menjadi anak pintar jika ia mematuhi perintah Mingyu. Sebaliknya, Wonwoo yang memang sejak awal lebih inferior kembali dikukuhkan dengan ia yang ‘menunduk’ dan tidak berani menatap lawan bicaranya, yang pada akhirnya ia pun ‘mengangguk’ mematuhi larangan dari Mingyu. 

            Ketidakberdayaan Wonwoo untuk menatap balik Mingyu tidak hanya terjadi dalam situasi terancam, tapi juga dalam situasi saat ia ‘ditatap’ oleh Mingyu. Dalam beberapa kesempatan, Wonwoo kerap digambarkan sebagai sosok yang malu-malu ketika dipuji atau saat beradegan intim. Terlebih, meski dalam fanfiksi ini tokoh Wonwoo memiliki tubuh laki-laki, ia digambarkan ‘cantik’ dan ‘manis’ di bawah tatapan Mingyu. Di sini, tanda ‘cantik’ dan ‘manis’ menempatkan Wonwoo dalam kategori feminitas dalam kaitannya dengan tatapan Mingyu. Hal ini dapat dilihat pada dua kutipan berikut:

 

            Kutipan 1

“‘Hehee, tadi aku abis beres-beres koper barang aku, eh nemu ini… aneh ya?’

‘Enggaaa… ga aneh. Cantik.’

Blushh ~

Darah Wonwoo mengalir ke pipi semua. Rasanya panas dan sedikit menegangkan karena kini jantungnya berdetak lebih cepat.

Oke, sebelum si bapak mungkin akan segera menyadari itu, Wonwoo langsung melepas kontak mereka dan kembali berkelut pada masakannya.

‘Ohh nasi goreng!’ Oke berhasil. Si bapak langsung fokus ke makanan. Pantes badannya segede gapura, kalau liat makanan langsung seger.”

 

Kutipan 2

“... Mingyu menjauhkan wajah Wonwoo dari lehernya dan menatap si manis tepat pada netra hitam itu. Wonwoo? Tersipu dan kembali menyembunyikan wajahnya tak ingin menciptakan eye contact apapun dengan sang suami.”

 

            Berkaitan dengan interpretasi pada kutipan-kutipan di atas, tubuh yang lebih besar dan kuat, serta sikap tegas dan mengintimidasi, memperjelas dan mereproduksi tendensi maskulinitas dengan memberdayakan tokoh Mingyu. Sebagai perbandingan, tubuh yang kecil dan rasa takut memperjelas dan mereproduksi tendensi feminitas yang melemahkan Wonwoo. Keberdayaan dan ketidakberdayaan tokoh Mingyu dan Wonwoo juga terlihat dari bagaimana mereka menatap dan ditatap.  Oleh karena itu, dalam konstruksi relasi kuasa yang timpang antara Mingyu dan Wonwoo, Mingyu adalah sosok yang superior, berdaya, dan maskulin, sedangkan Wonwoo adalah yang inferior, tidak berdaya, dan feminin. Selain itu, oposisi biner ini dapat dikatakan sebagai struktur gender yang timpang antara Mingyu dan Wonwoo.

            Dapat disimpulkan, dalam kasus fiksi penggemar Mingyu-Wonwoo, tubuh laki-laki Wonwoo didekonstruksi dan dikonstruksi ulang ke dalam kategori femininitas, sementara tubuh laki-laki Mingyu dikukuhkan kembali ke dalam kategori maskulinitas. Untuk membedakan konstruksi keduanya, serangkaian tanda yang berbeda diberikan pada masing-masing kategori. Tanda-tanda ini tidak hanya merepresentasikan persepsi normatif mengenai gender laki-laki dan perempuan dalam wacana heteroseksual, namun juga merepresentasikan tubuh mereka yang dikonstruksi dan dibagi menurut norma-norma heteroseksual.

 

Konstruksi Gender dan Seksualitas dalam Kategori Top/Bottom

Seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya, sedari awal penulis fanfiksi ini sudah menetapkan ‘peran gender’ kedua tokohnya, Mingyu sang dominan dan Wonwoo sang submisif. Hal ini juga berkaitan dengan posisi mereka di ranjang, atau yang sering disebut sebagai Top dan Bottom. Posisi Top berarti yang ‘memasukkan’, sementara Bottom yang ‘dimasukkan’. Dalam fanfiksi idola Korea, Top dan Bottom menunjukkan seksualitas tubuh laki-laki. Namun, seksualitas ini ditopang oleh konstruksi gender maskulinitas/feminitas dengan cara yang sama seperti jenis kelamin (An, 2010). 

            Dikotomi Top dan Bottom dapat dilihat dalam kasus fanfiksi “Si Bapak Besar dan Wonwoonya”. Mingyu yang dominan berperan sebagai Top, sementara Wonwoo yang submisif berperan sebagai Bottom. 

 

“… Tubuh Mingyu turun mengecupi perut datar Wonwoo yang mendadak menegang karena dapat merasakan nafas hangat suaminya.

‘Relaks sayang…’ ucapnya mengingatkan.

Wonwoo hanya mengangguk tapi tak mengurangi ketegangan lelaki Jeon itu sama sekali.

Sang dominan melepas satu-satunya yang menutupi Wonwoo kali ini. Menyebabkan lelaki Jeon itu benar-benar bertelanjang bulat di bawah kendalinya.

Ia kecupi kaki Wonwoo dari betis lalu masuk ke paha sang submisif. Jilatan disertai liur ia lukiskan pula di paha dalam suaminya yang hanya bisa mendesah sambal semakin merapatkan pahanya menjepit kepala Mingyu.”

Pada saat adegan intim yang tergambar dalam kutipan di atas, terlihat bahwa ‘sentuhan’ memperjelas perbedaan cara Mingyu dan Wonwoo melakukan kegiatan seksual. Mingyu mengalami kenikmatan seksual sebagai orang yang ‘menyentuh’ dan mengeksplorasi tubuh Wonwoo, dalam hubungan timbal balik, Wonwoo berperan sebagai orang yang ‘disentuh’. Meski awalnya Wonwoo sempat tegang, namun lama-kelamaan ia pun mendapatkan kenikmatan seksual melalui ‘sentuhan’ itu. Dengan demikian, ‘sentuhan’ memperjelas biner maskulinitas/feminitas dalam konstruksi Mingyu (Top) dan Wonwoo (Bottom) dengan membedakan tidak hanya hasrat yang mereka miliki terhadap satu sama lain, tetapi juga kenikmatan seksual yang mereka alami dalam tampilan erotis. Dalam kutipan di atas juga menunjukkan bahwa Mingyu berperan sebagai pemegang ‘kendali’ dan Wonwoo berada di kuasaannya. Ketika Mingyu ‘memegang kendali’, mau tidak mau Wonwoo menjadi tubuh seksual yang ‘patuh’.

Dalam dunia dominasi patriarki, perempuan berada di bawah tatapan umum laki-laki yang bertujuan untuk menundukkan perempuan menjadi makhluk seksual yang patuh. Dalam narasi pasangan BL Top/Bottom, sebaliknya, Wonwoo adalah pihak yang berada di bawah tatapan Mingyu yang tak henti-hentinya dan menjadi makhluk seksual yang feminin. Meskipun Mingyu dan Wonwoo sama-sama memiliki tubuh laki-laki, namun penandaan keduanya sama sekali berbeda. Dalam hal ini, penandaan itu meliputi biner menyentuh/disentuh dan memegang kendali/yang dikendalikan.

Secara konsisten, pada fanfiksi ini pula Mingyu dan Wonwoo memiliki peran yang ajek, yaitu Mingyu ‘memasukkan’ dan Wonwoo ‘dimasukkan’. Lebih jauh dalam hal perannya sebagai Bottom, tubuh Wonwoo dikonstruksikan memiliki ciri-ciri feminitas, seperti memiliki rahim dan dapat hamil. Dalam salah satu narasi, Wonwoo diceritakan hamil dan mengalami tanda-tanda kehamilan seperti mual di pagi hari dan ngidam. Dalam dunia fanfiksi ini, terlihat seperti hal yang wajar dan sah-sah saja jika laki-laki dapat hamil. Sebab dalam dunia fanfiksi Kpop, baik Top maupun Bottom ditampilkan mereka memang sudah ‘terlahir’ sebagai Top dan Bottom, yang tentu saja merupakan salinan dari batasan seksualitas dalam kategori dua jenis kelamin. Hal-hal itu dapat dilihat pada beberapa kutipan berikut:

 

Kutipan 1

“…‘Tapi kalau itu nanti saya keluarnya di dalem, sekalian saya buat kamu hamil anak saya.’

Duh, deg-degan banget Wonwoo dengan kalimat yang keluar dari si kakak barusan. Kayak… kok ngeri ya?’” 

Kutipan 2

“… Mingyu berkali-kali menghentakkan pinggulnya dengan keras berbarengan dengan spermanya yang masuk ke dalam rahim submisif. Kaki Wonwoo menekuk dengan jari-jari yang mengkerut. Tangannya meremat keras pundak Mingyu merasakan hangat perutnya terisi sesuatu yang kental.”

Kutipan 3

“… Dengan perasaan setengah takut setengah penasaran, lelaki Kim (Mingyu) itu membuka kotak pemberian Wonwoo dalam genggamannya. Ada 5 tes pack yang 4 nya memberi hasil positif dan satu lagi samar.”

 

Hanya karena memiliki rahim dan memiliki kemampuan untuk hamil, tidak serta merta membuat Wonwoo menjadi perempuan, seperti dalam dunia heteronormatif. Tubuh Wonwoo tetaplah laki-laki. Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana Wonwoo dilihat dan dipanggil oleh orang-orang sekitarnya. Dalam suatu adegan pada fanfiksi, Wonwoo yang sedang ngidam bersikeras ingin pulang ke rumah orang tuanya yang ada di luar kota. Sesampainya di sana, keluarga Wonwoo terkejut atas kedatangan tiba-tiba mereka tapi pada akhirnya memaklumi karena Wonwoo sedang ngidam. Pada narasi itu pula keluarga Wonwoo memanggilnya dengan sebutan ‘pakmil’ atau Bapak Hamil, yang mengindikasikan seorang laki-laki yang sedang hamil.

“‘yeayyy!!! Kita bertiga minum matcha bareng-bareng…’ ujar Wonwoo senang sambil menutup botol minumannya terus ditaruh gitu aja.

Pas sampe, orang rumah pada kaget. Dikiranya kenapa, ternyata cuma ngidamnya pakmil.”

Di lain kesempatan, pada saat Wonwoo dan Mingyu sedang merencanakan panggilan mereka untuk anak mereka nanti, Mingyu mengatakan bahwa ia ingin dipanggil Daddy, sementara Wonwoo ingin dipanggil Pipi–kedua panggilan merupakan panggilan yang ditujukan untuk orang tua laki-laki. 

“‘Kakak mau dipanggil daddy nanti kalau udah lahir dedeknya?’

‘he’eum… daddy aja. Kamu mau dipanggil apa?’

‘Papa? Or pipi’

‘Pipi sounds great’.”

Kedua kutipan ini penting untuk mengingatkan pembaca bahwa tubuh yang sedang mereka tatap adalah tubuh laki-laki. Namun, tubuh laki-laki ini dikonstruksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi memiliki peran sebagai lelaki seutuhnya dalam tatanan heteronormativitas. Dalam teori performativitas gender, konsepsi gender tidak lagi dianggap sebagai subjek yang mengatur tubuh, menentukan kinerjanya, dan memberikan ciri khas pada setiap jenis kelamin. Teori ini mendobrak anggapan lama tentang gender dengan menyatakan bahwa identitas gender bukanlah sesuatu yang dilakukan oleh subjek, melainkan hasil dari pemberlakuan dan pemeranan kembali norma-norma gender (Butler, 1999).

Selanjutnya, Butler menunjukkan bahwa konsep performativitas tidak dapat dianggap sebagai suatu tindakan sederhana, tetapi merupakan "praktik pengulangan dan pengutipan" dari struktur heteronormatif seks dan gender (Butler, 1993). Apa yang diulang dan dikutip dalam kasus fiksi penggemar idola Kpop “Si Bapak Besar dan Wonwoonya” adalah struktur gender dari dua kategori jenis kelamin heteroseksual.

Konstruksi masing-masing Mingyu dan Wonwoo ke dalam kategori maskulinitas dan femininitas ditentukan oleh peran mereka, bukan oleh subjek yang telah ditentukan sebelumnya yang mengatur tubuh mereka. Hanya karena mereka berdua memiliki tubuh laki-laki, tidak serta merta memberikan identitas gender laki-laki kepada keduanya. Sebaliknya, hanya ketika Mingyu berperan sebagai Top yang memegang kendali dan ‘memasukkan’, ia dapat diberi identitas gender laki-laki, sedangkan hanya ketika Wonwoo menyetujui tindakan Mingyu untuk ‘masuk ke dalam tubuhnya’ dan fakta bahwa ia bisa hamil, ia dapat diberi identitas gender perempuan.

Oleh karena itu, dalam kasus fiksi penggemar Si Bapak Besar dan Wonwoonya, tubuh kedua karakter diberi jenis kelamin bukan berdasarkan subjektivitas yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan hasil dari pertunjukan. Dengan kata lain, ketika Mingyu dan Wonwoo dilekatkan dengan maskulinitas dan femininitas, mereka harus terus menerus memberlakukan dan menampilkan kembali norma-norma gender tersebut untuk memastikan dan mempertahankan identitas gender dan tubuh yang dikonstruksikan yang didominasi oleh heteronormativitas. Relasi gender antara Mingyu dan Wonwoo dibangun secara timpang untuk mempertahankan dominasi heteronormativitas. Temuan mengenai kategori Top/Bottom yang meniru kategori dua jenis kelamin tidak hanya ditunjukkan pada bab analisis ini, tetapi juga pada penelitian, perdebatan, dan kritik sebelumnya seputar feminisasi Bottom (An, 2010).

 

Penantangan Heteronormativitas Melalui Parodi Gender

Pemberlakuan dan peragaan kembali dua kategori jenis kelamin heteroseksual yang dibahas pada subbab sebelumnya adalah apa yang Butler (1999) sebut sebagai Parodi Gender. Parodi Gender adalah peniruan terhadap asumsi normatif dari dua kategori jenis kelamin. Peniruan ini tidak mengasumsikan adanya identitas asli untuk ditiru oleh identitas parodi, karena subjek sebagai entitas yang telah diberikan sebelumnya ditolak. Sebaliknya, fakta bahwa norma-norma heteroseksual sebagai sesuatu yang disebut asli harus ditiru tanpa henti menunjukkan bahwa dominasinya bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan sebuah konstruksi yang permanen. Oleh karena itu, parodi gender berfungsi sebagai “tempat yang tidak dapat dihindarkan” untuk melakukan penggugatan dan memobilisasi norma-norma gender heteroseksual.

            Dalam fiksi penggemar idola KPop “Si Bapak Besar dan Wonwoonya”, konstruksi tokoh utama Mingyu dan Wonwoo mengulangi dan mengutip norma-norma gender heteroseksual. Dalam beberapa penelitian dan kritik terdahulu, narasi seperti itu dianggap berisiko memperkuat dan memperburuk norma gender heteroseksual yang dipaksakan pada dua kategori jenis kelamin. Namun, perlu diperhatikan bahwa parodi yang dilakukan dalam fanfiksi idola KPop tidak hanya meniru norma-norma heteronormativitas, tetapi secara bersamaan mengacaukan dan menantang norma-norma tersebut. Konstruksi Mingyu dan Wonwoo mengaburkan norma-norma heteroseksual dengan menirunya tanpa henti sehingga segmentasi gender tidak lagi semata-mata hanya yang berjenis kelamin laki-laki/perempuan. Serta mendesentralisasi hierarki gender dari dua kategori jenis kelamin dengan menggantinya dengan jenis kelamin yang sama.

            Feminisasi tubuh laki-laki Wonwoo, menurut perspektif Parodi Gender, bersifat subversif karena melakukan pengulangan dan pengutipan feminitas pada tubuh laki-laki yang pada akhirnya melunturkan maskulinitasnya. Selain itu, penulis meyakini bahwa parodi konvensi heteroseksual antara dua karakter laki-laki juga bersifat subversif. Sebab struktur gender dan relasi kuasa yang ada pada dua jenis kelamin yang berlawanan digugat karena struktur-struktur pada dua jenis kelamin yang selama ini diterima dalam wacana heteroseksual kini digantikan oleh sesama jenis.

            Perlu diingat bahwa dari hasil penelitian terdahulu, sebagian besar penulis fiksi penggemar BL adalah perempuan. Begitu pula penulis dari fiksi penggemar “Si Bapak Besar dan Wonwoonya”.  Dari perspektif ini, fiksi penggemar BL dapat dilihat sebagai formasi diskursif bagi penggemar perempuan menggunakan bahasa untuk mendefinisikan ulang dunia.  Dalam wacana fiksi penggemar idola KPop, penggemar perempuan merekonstruksi praktik-praktik diskursif patriarkis dan menyusunnya kembali pada diri idola laki-laki mereka. Dua tubuh laki-laki yang mereka kontrol telah menjadi subjek dari serangkaian praktik pendisiplinan yang digunakan oleh kuasa patriarki untuk mengatur tubuh individu secara efektif.

Sebagai contoh, dalam dominasi patriarki, perempuan dianggap sebagai entitas yang lebih lemah dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan inilah yang membuatnya harus ‘patuh’ terhadap laki-laki. Praktik-praktik pendisiplinan femininitas ini direproduksi dan dipertahankan melalui konstruksi identitas gender dan tubuh Wonwoo yang lebih kecil dan ‘takut’ akan dominasi Mingyu. Berbeda dengan Wonwoo, tubuh Mingyu juga tunduk pada praktik-praktik pendisiplinan maskulinitas. Misalnya, Mingyu yang harus lebih kuat secara fisik dan bersikap tegas serta menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga. Hal ini sejalan dengan hasil temuan Jiang (2019) dalam studi kasusnya terhadap fiksi penggemar Sherlock.

 

Pembahasan

Penelitian ini mengkaji bagaimana identitas gender dan tubuh dikonstruksi dalam fiksi penggemar idola Kpop bertemakan Boys Love (BL). Boys Love (BL) merupakan tema yang secara populer berkembang di dunia fiksi penggemar, yang memungkinkan penggemar untuk menulis kisah romansa antara dua laki-laki. Fiksi penggemar BL umumnya dibangun berdasarkan karakter, dunia, dan hubungan yang ada di buku, acara TV, film, anime, dan bahkan musik, seperti genre Kpop itu sendiri. Melalui tema ini, penggemar diberi kesempatan untuk bermain-main dengan konstruksi gender, menantang romansa heteroseksual, dan menawarkan alternatif terhadap dinamika hubungan konvensional.

            Mengenai hal tersebut, penulis mengambil studi kasus pada fiksi penggemar idola Kpop yang berjudul “Si Bapak Besar dan Wonwoonya”. Fiksi penggemar ini menghadirkan dua karakter utama Mingyu dan Wonwoo. Temuan pada penelitian menunjukkan bahwa konstruksi Mingyu dan Wonwoo didasari oleh dua kategori jenis kelamin yang heteronormatif, yaitu Mingyu, yang menandakan maskulinitas, adalah yang dominan sementara Wonwoo, yang menandakan feminitas, adalah yang submisif. Identitas gender dan seksualitas Mingyu dan Wonwoo juga dikonstruksi dalam kategori Top/Bottom melalui parodi dua jenis kelamin. Terungkap bagaimana kategori dua jenis kelamin berlawanan dikonstruksi dan bagaimana fungsinya melalui kategori parodi dua jenis kelamin Top/Bottom. Reproduksi dua kategori seks yang heteronormatif antara Mingyu dan Wonwoo ini mencerminkan apa yang Butler katakan sebagai parodi gender. Parodi gender tidak mengasumsikan adanya subjek alamiah di balik Mingyu dan Wonwoo yang mengatur identitas dan tubuh mereka, tetapi identitas gender dan tubuh Mingyu dan Wonwoo ditentukan oleh pertunjukan mereka. Pertunjukan-pertunjukan inilah memberlakukan dan menampilkan kembali norma-norma gender patriarki.

            Selanjutnya, dengan tanpa henti memberlakukan dan memeragakan kembali norma-norma gender heteroseksual, konstruksi dikotomi dominan/submisif antara Mingyu dan Wonwoo menggugat norma-norma yang sama yang menjadi dasarnya. Dengan feminasi tubuh laki-laki Wonwoo, tubuh laki-laki yang diistimewakan ‘diluruhkan’ maskulinitasnya, dan dengan demikian koherensi yang diasumsikan antara tubuh laki-laki dan maskulinitas, tubuh perempuan dan femininitas juga ditantang. Dengan mengganti dua jenis kelamin yang berlawanan dengan dua karakter laki-laki, struktur gender antara laki-laki dan perempuan, maskulinitas dan femininitas dalam masyarakat heteroseksual juga secara tidak langsung ditantang.

 

Kesimpulan

Penelitian ini mengkaji bagaimana identitas gender dan tubuh dikonstruksi dalam fiksi penggemar K-pop yang berfokus pada tema Boys Love (BL). Melalui studi kasus fiksi penggemar "Si Bapak Besar dan Wonwoonya," ditemukan bahwa karakter Mingyu dan Wonwoo dikonstruksi berdasarkan kategori gender heteronormatif, dengan Mingyu mewakili maskulinitas dan Wonwoo mewakili femininitas. Penelitian menunjukkan bagaimana kategori-kategori ini diparodi dan ditantang melalui biner Top/Bottom, yang mengulang kembali norma-norma gender heteronormatif. Representasi parodi gender ini menantang kohesi yang diasumsikan antara tubuh laki-laki dan maskulinitas, serta oposisi biner antara tubuh laki-laki dan perempuan serta peran gender yang terkait dengan mereka.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

An, R. (2010). Gender and Sexuality Construction in Korean Idol Fan Fiction (Master’s thesis).

Budiarto, A., Chairunissa, R., Fitriani, A. (2021). The Motivation Behind Writing Fanfictions For Digital Authors On Wattpad and Twitter. Alphabet, 1(4), 48-53. https://doi.org/10.21776/ub.alphabet.2021.04.01.06

Butler, J. (1993). Bodies That Matter: On the Discursive Limits of “Sex”. New York: Routledge.

Butler, J. (1999). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York and London: Routledge.

Cahyanti, L., & Dermawan, T. (2021). Transformasi Tokoh Fanfiction Kpop dalam Novel My Lord Karya Ellina Exsli: Kajian Dekonstruksi Derrid. JoLLA: Journal of Language, Literature, and Arts, 1(1), 1–14.

Cooke, R. (2000). Teacher Talking Time: Couldn’t There Be More?. asp, 27-30, 253-260. https://doi.org/10.4000/asp.2139

Faye, L. (2012). Prologue. In L. E. Stein, & K. Busse (Eds.). Sherlock and Transmedia Fandom. Jefferson, N.C.: McFarland

Ge, L. (2022). Dual ambivalence: The Untamed Girls as a counterpublic. Media, Culture & Society, 44(5), 1021–1033.

Jiang, X. (2019). Study of gender and power in slash fan fiction: A case study of BBC Sherlock slash fan fiction (Master's thesis).

Li, H. (2022). Consumer Behavior of Chinese Female on Boys’ Love Fiction: A Sociological Perspective. 2022 8th International Conference on Humanities and Social Science Research (ICHSSR 2022), 1006–1013.

Liu, C. (2023). The research on the influence of Kpop (Korean popular music) culture on fans. Communications in Humanities Research, 4(1), 63–68.

Laz, C. (2020). Republication Of “Science Fiction and Introductory Sociology: The handmaid In The Classroom”. Teach Sociol, 1(48), 54-62. https://doi.org/10.1177/0092055x19894639

Masters, S., & Barth, J. (2022). Do Gender Conformity Pressure and Occupational Knowledge Influence Stereotypical Occupation Preferences in Middle Childhood? Frontiers in Education, 6, 780815.

Mulyani, R., & Suryani, L. (2019). Linguistics varieties: Register in English fanfiction K-Pop “Miss Perfect Idol.” PROJECT: Professional Journal of English Education, 2(5), 665–674.

Tamagawa, M. (2016). Same-sex marriage in Japan. Journal of GLBT Family Studies, 12(2), 160–187.

Tang, J. L. (2023). Shipping on the edge: Negotiations of precariousness in a Chinese real-person shipping fandom community. International Journal of Cultural Studies, 26(3), 293–309.

Wang, A. (2021). ‘Farming Writing’: An Innovative Subgenre of Internet Literature. Humanis, 25(4), 396.

 

Copyright holder:

Esa Jati Natyakalyana, Shuri Mariasih Gietty Tambunan (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: