Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 4, April 2024
PENGHITUNGAN PROPORSI KERUGIAN PADA PENDAPATAN
NEGARA BERDASARKAN KUALIFIKASI KESENGAJAAN DAN
KUALIFIKASI PERBUATAN PELAKU TINDAK PIDANA DI BIDANG
PERPAJAKAN
Wahyu Widodo1,
Rizki Piet Darmawan2, Ariesto Narindro3
Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten, Indonesia1,2,3
Email: [email protected]1,
[email protected]2, [email protected]3
Abstrak
Pembebanan kerugian pada pendapatan negara
secara proporsional kepada para pelaku tindak pidana di bidang perpajakan telah
diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketentuan
tersebut tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pembebanan proporsional tersebut
mendasarkan pada prinsip "let
punishment fit the crime" dan asas-asas penerapan pidana dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi pertanggungjawaban
pidana terkait pembebanan kerugian pada pendapatan negara kepada pelaku tindak
pidana di bidang perpajakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif dengan pendekatan interdisipliner. Keseluruhan analisis dalam
penelitian ini selalu mempertimbangkan unsur mens rea dan actus reus
dari pelaku tindak pidana, serta mengemukakan alternatif kerangka penghitungan
proporsi kerugian pada pendapatan negara berdasarkan kualifikasi kesengajaan
dan perbuatan dari masing-masing pelaku. Hasil analisis tersebut diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang penerapan
proporsionalitas dalam pertanggungjawaban pidana di bidang perpajakan, serta
memberikan panduan praktis bagi penegak hukum dalam menentukan proporsi
kerugian yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana sesuai dengan tingkat
keseriusan tindakannya. Selain itu, analisis ini juga diharapkan dapat menjadi
kontribusi dalam pengembangan teori dan praktik hukum pidana di Indonesia,
khususnya dalam konteks penegakan hukum perpajakan dan pidana ekonomi.
Kata kunci: proporsi pertanggungjawaban pidana, kerugian
pada pendapatan negara, pidana di bidang perpajakan, kualifikasi kesengajaan, kualifikasi
perbuatan
Abstract
The imposition of losses on state revenue proportionally to perpetrators
of criminal acts in the field of taxation has been regulated in the Law on
General Provisions and Tax Procedures. These provisions are contained in the
explanation of Law Number 7 of 2021 concerning Harmonization of Tax Regulations
(HPP Law). The proportional burden is based on the principle of "let punishment
fit the crime" and the principles of criminal application in Law Number 1
of 2023 concerning the Criminal Code. The purpose to be achieved in this study
is to determine the proportion of criminal liability related to imposing losses
on state revenue to perpetrators of criminal acts in the field of taxation. The
method used in this study is a qualitative method with an interdisciplinary
approach. The overall analysis in this study always considers the mens rea and
actus reus elements of criminal offenders, and proposes an alternative
framework for calculating the proportion of losses to state revenue based on
the qualifications of the intentional and intentional actions of each
perpetrator. The results of the analysis are expected to provide a deeper understanding
of the application of proportionality in criminal liability in the field of
taxation, as well as provide practical guidance for law enforcement in
determining the proportion of losses charged to criminal offenders according to
the seriousness of their actions. In addition, this analysis is also expected
to be a contribution in the development of criminal law theory and practice in
Indonesia, especially in the context of tax law enforcement and economic crime.
Keywords: proportion of criminal liability, loss to state
revenue, criminal in the field of taxation, qualification of willfulness,
qualification of deeds
Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah diundangkan pada tanggal 29
Oktober 2021 (Kofman & Senge, 1993). UU HPP telah memperbarui beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) (Rahmadi & Wahyudi, 2022). Salah satu ketentuan dalam UU KUP yang
diperbarui adalah mengenai pembebanan kerugian pada pendapatan negara kepada
pelaku tindak pidana di bidang perpajakan dalam rangka penghentian penyidikan
sesuai pasal 44B UU KUP (Adiyanta, 2018). Dalam Penjelasan Pasal 44B UU KUP, kerugian
pada pendapatan negara dibebankan kepada pelaku tindak pidana sesuai dengan
proporsi yang menjadi bebannya. Ketentuan mengenai proporsi ini merupakan
kebaruan karena UU KUP tidak mengatur sebelumnya (Patricia, 2017).
Penjelasan Pasal 44B UU HPP hanya memberikan
satu contoh penerapan proporsi pembebanan kerugian pada pendapatan negara,
yaitu berdasarkan manfaat yang diterima oleh masing-masing pelaku tindak pidana
(Siregar & Silaban, 2020). Padahal dalam praktik penegakan hukum pidana
pajak, sangat mungkin ditemukan pelaku turut serta atau pelaku pembantuan yang
tidak mendapatkan manfaat ekonomi sebagaimana dicontohkan dalam Penjelasan
Pasal 44B UU KUP (Al-Rasyid & SH, 2019). Akibatnya, penanganan terhadap pelaku yang
tidak mendapat atau tidak terbukti mendapatkan manfaat ekonomi ini akan
memunculkan permasalahan mengenai bagaimana menghitung proporsi kerugian pada
pendapatan negara yang dibebankan kepadanya (H. Z. Ali, 2022).
Selain itu, ketentuan proporsi pembebanan
kerugian pada pendapatan negara juga hanya tercantum dalam pasal yang mengatur
tentang penghentian penyidikan (Nugroho & SH, 2018). Padahal pembebanan kerugian pada pendapatan
negara juga diterapkan pada tahap penuntutan dan penjatuhan vonis dalam
persidangan (Lasmadi & Sudarti, 2021). Hal ini menjadikan kekosongan atau
ketidakjelasan dasar hukum mengenai apakah ketentuan proporsi juga dapat
diterapkan dalam penuntutan dan penjatuhan vonis dalam persidangan (Laksana, 2021). Proporsi kerugian pada pendapatan negara yang
dibebankan kepada pelaku tindak pidana merupakan ancaman sanksi pidana denda
yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana sebagai pertanggungjawaban
pidana kepada pelaku tindak pidana (Amalia, 2021).
Permasalahan-permasalahan mendasar tersebut yang
akan dianalisis dan dijawab dalam tulisan ini dengan mendasarkan pada teori
hukum, pendapat ahli, dan putusan-putusan hakim sebelumnya. Dalam tulisan ini,
penulis berusaha memberikan alternatif kerangka penghitungan proporsi kerugian
pada pendapatan negara berdasarkan kualifikasi kesengajaan dan kualifikasi
perbuatan dari masing-masing pelaku tindak pidana.
Prinsip proporsionalitas dalam hukum pidana
sudah dikenal sejak masa Babilonia kuno melalui Code of Hammurabi pada abad ke-18 SM. Menurut Code
of Hammurabi (1904), dasar hukuman adalah pembalasan. Ide ini dikenal sebagai lex talionis. Prinsip lex talionis dapat dijelaskan dengan
menggunakan gagasan “an eye for an eye”
atau “a tooth for a tooth”. Prinsip lex talionis tidak hanya mengatakan
bahwa hukuman harus proporsional dengan tindak pidananya tapi juga menyatakan
bahwa metode hukuman harus sama dengan tindak pidana. Pada abad ke-13, Raja
John dari Kerajaan Inggris Raya menyetujui piagam Magna Carta yang merupakan
konstitusi tertulis pertama dalam sejarah Eropa. Di dalam Magna Carta,
proporsionalitas tercermin dalam pernyataan, “A free
man shall not be amerced (penalized) for a small fault, but according to the
measure thereof; and for a great crime according to its magnitude, in
proportion to his degree….. A free man shall
not be amerced for a trivial offense, except in accordance with the degree of
the offense; and for a serious offense he shall be amerced according to its
gravity”(2014), yang intinya mengatur bahwa orang akan dihukum
sesuai dengan jenis kesalahan, tingkat tindak pidana atau dampak dari
perbuatan.
Perjalanan sejarah ide tentang pedoman
pemidanaan kemudian diaplikasikan di beberapa negara. Dasar dari pembenaran
pembuatan ide tersebut adalah teori proporsionate
sentencing yang berakar dari pandangan sarjana klasik Cesare Beccaria
tentang perlunya kesebandingan antara hukuman dengan kesalahan. Ajaran klasik
Beccaria sebenarnya menjelaskan dua prinsip dasar penjatuhan pidana yaitu: (a)
bahwa "let punishment fit the crime"
yang mengarahkan pandangan bahwa pemidanaan harus mampu mencegah terjadinya
tindak pidana dan (b) peniadaan discretionary
power dari hakim dalam memutus perkara karena hakim adalah corong
undang-undang semata. Gagasan ini mendapatkan tentangan dari beberapa pihak
karena dianggap akan membatasi hakim dalam menjatuhkan pidana. Meskipun
pandangan Beccaria memperoleh penolakan, akan tetapi prinsip "let punishment fit the crime" tetap
diterima dalam arti bahwa pemidanaan diarahkan untuk mencapai suatu tujuan
pemidanaan dalam pengertian pencegahan dan penanggulangan tindak pidana, upaya
rehabilitasi serta sarana perlindungan bagi masyarakat. Dalam Naskah Akademik
RUU KUHP, selain prinsip "let
punishment fit the crime" dijabarkan juga asas-asas penerapan pidana
denda yang antara lain meliputi (1) terdakwa memperoleh sejumlah uang dari
kejahatan yang dilakukan; (2) pidana denda dapat menunjang usaha pencegahan
kejahatan dan perbaikan terpidana; (3) terdakwa akan mampu membayar denda
perbaikan terpidana tersebut tidak menghambat terdakwa dalam rangka membayar
ganti rugi perbaikan kepada korban tindak pidananya
William W. Berry III menyatakan bahwa “Proportionality refers to the relationship
of the punishment to the criminal conduct of the offender, and it serves as a
limit on the power of the state to impose criminal sanctions based on various
individual interests and political considerations. As a result, punishments are
disproportionate when they exceed the state’s legitimate power” (2011), bahwa proporsionalitas mengacu pada hubungan
antara beratnya ancaman pidana dengan tindak pidana yang dilakukan pelaku.
Berry membatasi kekuasaan negara untuk memberikan ancaman sanksi pidana
berdasarkan kepentingan-kepentingan individu dan pertimbangan-pertimbangan
politik. Ancaman sanksi pidana dianggap tidak proporsional apabila melampaui
kekuasan sah negara. Proporsionalitas mengacu kepada keseriusan suatu tindak
pidana dan beratnya ancaman sanksi pidana. Semakin serius suatu tindak pidana,
semakin berat sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku. Dikatakan tidak
proporsional jika tindak pidana yang serius diancam dengan sanksi pidana yang
ringan. Ancaman pidana yang berat terhadap tindak pidana ringan juga dianggap
tidak mencerminkan prinsip proporsionalitas.
Pernyataan jelas terkait dengan prinsip
proporsionalitas ditemukan dalam kasus Hoare vs The Queen di pengadilan di
Inggris pada tahun 1989. Hakim menyatakan dalam putusannya bahwa prinsip dasar
dari pemidanaan adalah hukuman yang dijatuhkan tidak boleh melebihi hukuman
yang dibenarkan atau sebanding dengan beratnya kejahatan yang dipertimbangkan
berdasarkan keadaan obyektifnya. Ada 2 (dua) prinsip yang harus diukur yaitu
keseriusan tindak pidana dan penjatuhan hukuman pidana. Sedangkan di Amerika
Serikat, pengadilan menyatakan the
Proportionality Doctrine di tahun 1980an pada 3 (tiga) kasus yaitu: Enmund
vs Florida (1982), Solem vs Helm (1983) dan Tison vs Arizona (1987). Prinsip
dasar yang digunakan dalam penerapan proporsionalitas adalah bahwa “the punishment should fit the crime”.
Saat ini, ide proporsionalitas pidana banyak
merujuk kepada pemikiran Andrew von Hirsch. Pemikiran Hirsch tentang
proporsionalitas pidana banyak mempengaruhi pemikiran ahli hukum pidana
lainnya. Hirsch mengemukakan desert
theory yang merupakan teori yang menggambarkan pemikiran tentang
proporsionalitas dalam pemidanaan. Desert
theory menyatakan bahwa "the
desert rational rest on the idea that penal sanction should fairly reflect the
degree of reprehensibleness (that is,
the harmfulness and culpability) of
the actor conduct" (2011). Pandangan ini menyatakan bahwa beratnya sanksi
pidana harus seimbang dengan kesalahan dari pelaku. Teori ini amat berkorelasi
dengan adagium "only the guilty
alight to be punished" atau dalam literatur hukum pidana Indonesia
dikenal sebagai asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zander schuld). Karenanya adalah terlarang untuk
menjatuhkan sanksi pidana pada seseorang yang tidak bersalah dan penjatuhan
pidana pun harus diukur berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat oleh
seorang pelaku tindak pidana.
Menurut Hirsch, pidana mempunyai dua
justifikasi. Pertama, pidana mengacu pada hubungan antara hukuman/balasan (desert) dan pidana. Desert merupakan bagian dari keputusan atas ketercelaan, sedangkan
pidana yang dijatuhkan oleh negara berfungsi untuk melembagakan fungsi
penghukuman. Kedua, pidana menekankan fungsi preventif yang bertujuan mencegah
masyarakat untuk melakukan tindak pidana. Dengan pidana berat yang dijatuhkan
sesuai keseriusan dengan tindak pidana, maka diharapkan masyarakat menghindari
tindak pidana. Hirsch mengatakan bahwa rasionalitas digunakannya teori
proporsionalitas (bobot) pidana disebabkan bergesernya konsep pembalasan pada
pelaku atas tindak pidana yang dilakukan kepada konsepsi pencelaan pidana.
Pergeseran ini lebih menekankan kepada proporsionalitas yang membolehkan
penggunaan sanksi yang moderat. Kriteria kepantasan pidana terkait keseriusan
tindak pidana, penilaian beratnya ancaman pidana, dan peranan catatan tindak
pidana yang dilakukan pelaku di masa lalu.
Asas proporsionalitas atau principle of proportionality mengandung makna bahwa pidana yang
dijatuhkan hendaknya sebanding dengan keseriusan atau beratnya tindak pidana
dan kesalahan pelaku atau dikenal dengan prinsip the punishment fitting to the crime. Sebagaimana dikatakan oleh
Hirsch “The principle of proportionality
– that the sanctions be proportionate in their severity to the gravity of
offences – appears to be requirement of justice. People have sense that
punishment which comfort with the gravity of offences are more equitable than
punishment that do not.” (Duff & Garland, 1994) Dalam rangka memenuhi syarat keadilan, maka
sanksi pidana sebanding dengan beratnya tindak pidana. Hal ini sesuai dengan
rasa keadilan yang dimiliki oleh masyarakat bahwa pidana yang sesuai dengan
beratnya tindak pidana akan lebih cocok daripada pidana yang tidak demikian.
Selanjutnya Hirsch menegaskan bahwa “the
principle of proportionality is defended on grounds of fairness”.
Selanjutnya dinyatakan oleh Hirsch bahwa argumentasi asas proporsionalitas ini
akan merefleksikan ide bahwa jika pencelaan merupakan penyampaian pesan tentang
perbuatan salah, maka banyaknya pencelaan harus merefleksikan besarnya
kesalahan atas perbuatan.
Dalam memberikan argumentasi tentang
proporsionalitas Hirsch mengemukakan hal-hal sebagai berikut; (1) the state’s
sanctions against proscribe conduct should take a punishment form; that is,
visit deprivations in a manner that expresses censure or blame. Bahwa sanksi negara terhadap perbuatan yang dilarang
seharusnya berbentuk hukuman pidana, (2) the
severity of a sanction expresses the stringency of the blame. Beratnya
suatu sanksi menggambarkan beratnya kesalahan, dan (3) hence, punitive sanctions should be arrayed according to the degree of
blameworthiness (i.e. seriousness) of conduct. Ancaman sanksi pidana harus
seimbang dalam beratnya dengan tingkat keseriusan perbuatan dan kesalahan
pelaku.
Dalam menentukan proporsionalitas dalam
pemidanaan sehingga sebanding dengan tindak pidana dan kesalahan pelaku, Hirsch
mengemukakan 2 (dua) cara proporsionalitas pidana, yaitu proporsionalitas
ordinal (ordinal/relative proportionality)
dan proporsionalitas kardinal (cardinal/nonrelative
proportionality). Proporsionalitas ordinal mensyaratkan beratnya ancaman
pidana harus menggambarkan tingkat keseriusan tindak pidana dan kesalahan
pelaku. Pelaku yang melakukan tindak pidana berat harus menerima pidana yang
berat, pidana yang diterima harus sesuai dengan kadar perbuatannya.
Proporsionalitas ordinal mensyaratkan konsep pemidanaan yang adil. Tindak
pidana yang lebih berat diterapkan hukuman yang lebih besar terhadap pelaku,
dan hanya dibenarkan pada pelaku berdasarkan tingkat keseriusan kesalahan.
Sedangkan proporsionalitas kardinal mensyaratkan perlunya mempertahankan
proporsi yang rasional antara tingkat tertinggi pidana dengan keseriusan tindak
pidana. Pemidanaan disusun berdasarkan skala sehingga beratnya pidana berkaitan
dengan perbandingan kesalahan pelaku tindak pidana. Selain itu skala pidana
dirancang untuk menggambarkan perbandingan beratnya tindak pidana.
Barbara A. Hudson mengartikan proporsionalitas
ordinal sebagai “...ranking offences
according to seriousness and then establishing a scale of penalties of
commensurate severity”. Seseorang yang melakukan tindak pidana yang dapat
diperbandingkan keseriusannya harus menerima hukuman yang beratnya dapat
diperbandingkan. Seseorang yang melakukan tindak pidana yang berbeda beratnya,
ancaman pidana dinilai berdasarkan keseriusannya. Tindak pidana dengan tingkat
keseriusan yang sama, diancam dengan sanksi pidana yang sama. Sedangkan Hirsch
mensyaratkan 3 (tiga) hal dalam proporsionalitas ordinal, yaitu parity (keseimbangan), rank ordering (urutan peringkat), dan spacing of penalties (jarak pidana).
Parity terjadi ketika para pelaku dipidana atas tindak
pidana dengan tingkat keseriusan yang sama maka mereka berhak atas pidana yang
beratnya seimbang. Tidak berarti bahwa pidana yang sama dikenakan pada semua
tindak pidana dalam satu kategori tindak pidana. Jika variasi dalam satu
kategori telah dipastikan kesetaraannya, maka pidana yang ditetapkan juga harus
memiliki tingkat yang sama. Rank ordering
dimaksudkan bahwa pidana harus menggambarkan peringkat keseriusan dari tindak
pidana. Sedangkan spacing of penalties
artinya bahwa untuk menentukan keseriusan tindak pidana harus ada perbedaan
jarak sanksi pidana antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, misalnya
untuk kasus dengan tingkat tinggi, sedang atau ringan. Hirsch mengemukakan
bahwa kriteria keseriusan tindak pidana berdasarkan pada 2 (dua) hal utama,
yaitu kerugian sebagai akibat dari tindak pidana dan kesalahan (M. Ali, 2018). Kerugian mengacu pada tingkat kerugian atau
risiko yang ditimbulkan. Kerugian dapat berupa: 1) kerugian personal, kerugian
sosial, kerugian institusional, dan kerugian negara; 2) kerugian materiial dan
immateriil; 3) kerugian aktual maupun potensial; dan d) kerugian fisik dan
kerugian psikis. Sedangkan kesalahan terkait kesengajaan, kealpaan, dan
kondisi-kondisi yang menyertainya. Sehingga, Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi pertanggungjawaban pidana
terkait pembebanan kerugian pada pendapatan negara kepada pelaku tindak pidana
di bidang perpajakan.
Metode Penelitian
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam
studi ini nampaknya adalah penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum
doktrinal pada dasarnya mengandalkan sumber-sumber hukum seperti peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur hukum untuk menganalisis
isu-isu hukum dan mengembangkan argumen hukum. Dalam studi ini, peneliti
bermaksud untuk menganalisis perubahan dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia
(UU HPP) dan implikasinya terhadap Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara
Peradilan Pidana (UU KUP) mengenai pembebanan kerugian pada pendapatan negara
kepada pelaku tindak pidana perpajakan. Analisis melibatkan penafsiran
ketentuan-ketentuan perundang-undangan, pemeriksaan prinsip-prinsip hukum, dan
penelusuran keputusan-keputusan pengadilan untuk menanggapi isu-isu hukum yang
diangkat dalam pendahuluan. Selain itu, peneliti bermaksud untuk mengeksplorasi
konsep hukum historis seperti prinsip proporsionalitas dalam hukum pidana,
melacak asal-usulnya dari sistem hukum kuno seperti Kode Hammurabi hingga
teori-teori hukum kontemporer yang diusulkan oleh para sarjana hukum.
Pendekatan doktrinal ini memungkinkan peneliti untuk menganalisis norma-norma
hukum, prinsip-prinsip, dan konsep-konsep hukum yang relevan dengan pertanyaan
penelitian dan mengembangkan argumen berdasarkan penalaran dan interpretasi
hukum.
Dasar
Pertanggungjawaban Pidana
Dalam teori hukum pidana terdapat asas actus non facit reum, nisi mens sit rea
yang berarti bahwa perbuatan tidak membuat orang bersalah, kecuali jika
terdapat sikap batin yang jahat. Selaras dengan pemikiran tersebut, terdapat
juga asas geen straf zonder schuld
atau asas tiada pidana tanpa kesalahan atau asas no punishment without fault yang berarti tiada satu orangpun dapat
dipertanggungjawabkan terhadap hukum pidana, tanpa ia melakukan suatu perbuatan
pidana karena sengaja ataupun karena kealpaan.
Berdasarkan asas tersebut, pertanggungjawaban
pidana tidak hanya didasarkan pada perbuatan yang dilakukan (actus reus) tetapi juga pada sikap
batinnya (mens rea). Dengan demikian
perbuatan pidana seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana jika
memenuhi 2 (dua) unsur yaitu: (1) adanya tindak pidana; dan (2) adanya
kesalahan, baik kesalahan karena kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa).
Penerapan asas actus non facit reum, nisi mens sit rea dapat ditemui dalam induk
hukum pidana di Indonesia, yaitu KUHP. Dalam penjelasan (penafsiran) KUHP
ditemukan bahwa KUHP disusun dengan mendasarkan pada pemikiran aliran
neo-klasik yang menjaga keseimbangan antara faktor obyektif
(perbuatan/lahiriah) dan faktor subyektif (orang/batiniah/sikap batin). Aliran
neo-klasik memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak
pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku
tindak pidana (daad-dader strafrecht).
Dalam perumusan pasal per pasal dalam KUHP, dasar pemikiran tersebut dituangkan
dengan penggunaan frasa antara lain ‘sengaja’ (Pasal 56), ‘mengetahui’ (Pasal
123), ‘dengan maksud’ (Pasal 181), ‘niat’ (Pasal 53), ‘dengan rencana’ (Pasal
340).
Selain dalam KUHP, penerapan asas actus non facit reum, nisi mens sit rea
juga dapat ditemui dalam UU KUP. Ketentuan pidana dalam UU KUP dirumuskan
dengan memuat unsur mens rea dan
unsur actus reus. Unsur mens rea terlihat dari perumusan frasa
seperti alpa (Pasal 38), sengaja (Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 39A), melakukan
lagi (Pasal 39 ayat (2)), percobaan (Pasal 39 ayat (3)). Sedangkan unsur actus reus terlihat jelas dari setiap
pasal pidana yang memuat perbuatan-perbuatan apa saja yang diancam dengan
sanksi pidana.
Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa
pertanggungjawaban pidana dalam sistem hukum di Indonesia mempertimbangkan dan
mengharuskan adanya unsur mens rea
dan unsur actus reus dari pelaku
tindak pidana. Demkian juga, proporsi pertanggungjawaban tindak pidana
perpajakan berupa pembebanan kerugian pada pendapatan negara kepada pelaku
tindak pidana ditentukan dengan mempertimbangan unsur mens rea dan unsur actus reus
dari pelaku tindak pidana.
Kerangka
Proporsi Pertanggungjawaban Pidana
Berdasarkan uraian mengenai dasar
pertanggungjawaban pidana tersebut di atas, proporsi kerugian pada pendapatan
negara sebagai pertanggungjawaban pidana di bidang perpajakan haruslah
mempertimbangkan unsur mens rea dan
unsur actus reus dari pelaku tindak
pidana.
Sesuai UU KUP, unsur mens rea pelaku tindak pidana di bidang perpajakan dibedakan
menjadi alpa, sengaja, perulangan, dan percobaan. Selanjutnya, dengan merujuk
pada KUHP, teori hukum pidana, dan pendapat ahli hukum pidana, masing-masing
unsur mens rea tersebut dapat
dikualifikasikan secara berjenjang. Sedangkan unsur actus reus dikualifikasi dalam derajat yang berbeda dengan merujuk
pada Pasal 55 – 57 KUHP, Pasal 43 ayat (1) UU KUP, serta Pasal 13 – 21, Pasal
40 – 57, dan pasal terkait lainnya dalam KUHP baru yang mulai berlaku tahun
2026.
Setelah dilakukan pengkualifikasian mens rea dan actus reus, selanjutnya perlu dilakukan pembobotan masing-masing
kualifikasi dengan merujuk pada rumusan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP,
rentang ancaman pidana denda dalam UU KUP, dan/atau berdasarkan professional judgement dari ahli
perpajakan berdasarkan fakta penyidikan.
Kualifikasi
Kesengajaan (Mens Rea)
Pembuktian tindak pidana selain mempertimbangkan
perbuatan yang tampak (actus reus),
juga mempertimbangkan sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan (mens rea). Ahli hukum Profesor
Hikmahanto Juwana menyampaikan keterkaitan actus
reus dan mens rea sebagai
berikut: “Unsur terpenuhinya perbuatan pidana harus ada niat dan/atau perbuatan
jahat. Apabila ada niat dan perbuatan jahat maka terpenuhi adanya kesengajaan. Bila hanya ada perbuatan jahat namun tidak ada
niat jahat berarti kelalaian. Tapi
kalau niat ada tapi perbuatan tidak menghasilkan, namun ada langkah persiapan
untuk itu, maka bisa disebut percobaan.
Kalau ada niat jahat dan tidak ada perbuatan jahat maka tidak bisa
dikenakan." Berdasarkan hal tersebut, mens
rea pelaku dapat dikategorikan menjadi kelalaian, percobaan, dan
kesengajaan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku
Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, kesengajaan terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu: (1) kesengajaan yang bersifat tujuan (opzet als oogmerk); (2) kesengajaan secara keinsafan kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzijn); dan
(3) kesengajaan keinsafan kemungkinan (opzet
bij mogelijkheids-bewustzijn).
Kesengajaan yang bersifat tujuan mengandung
makna bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat (tujuan) dari
tindak pidana yang dilakukan. Jenis kesengajaan ini diikuti oleh dua teori,
yaitu teori kehendak dan teori bayangan. Teori kehendak menganggap kesengajaan
ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki
oleh si pelaku. Sementara, teori bayangan menganggap kesengajaan ada apabila si
pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai.
Sedangkan kesengajaan secara keinsafan kepastian
dimaknai ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk
mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict,
tapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Jenis
kesengajaan yang ketiga adalah kesengajaan keinsafan kemungkinan yaitu suatu kesengajaan dianggap terjadi apabila dalam
gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka, bahwa akan terjadi
akibat yang bersangkutan tanpa dituju.
Berdasarkan uraian tersebut, unsur kesengajaan
dapat dikualifikasikan menjadi (1) sengaja berbuat dengan tujuan untuk mencapai
akibat yang dikehendaki; (2) sengaja berbuat dan mempunyai bayangan yang terang
mengenai akibat yang akan terjadi; (3) sengaja berbuat dan mengetahui
kemungkinan akibat dari perbuatannya itu; dan (4) sengaja berbuat namun tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang merupakan tindak pidana.
Kualifikasi
Perbuatan (Actus Reus)
Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 56 KUHP menguraikan
kualifikasi pelaku dengan menekankan pada perbedaan atau derajat perbuatannya,
yaitu: yang melakukan tindak pidana dan yang membantu kejahatan (membantu
melakukan tindak pidana). Pasal 55 KUHP menguraikan bahwa yang melakukan tindak
pidana adalah (1) mereka yang melakukan,
yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; (2) mereka
yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan. Sedangkan yang membantu kejahatan adalah sebagaimana
diuraikan dalam Pasal 56 KUHP, yaitu (1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; (2) mereka yang
sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari rumusan pasal 55 dan pasal 56 KUHP tersebut
di atas, terdapat lima pelaku atau peserta tindak pidana, yaitu:
1. yang melakukan perbuatan (plegen, dader), yaitu orang yang
melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik, orang yang menurut
maksud pembuat undang-undang harus dipandang yang bertanggung jawab, orang yang
mempunyai kekuasaan/kemampuan
untuk mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan
keadaan terlarang itu berlangsung terus;
2. yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader), yaitu
orang yang melakukan perbuatan dengan perantara orang lain dimana perantara
yang digunakan hanya sebagai 'alat' (alat sebagai 'pembuat materiil');
3. yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader), dalam arti
bersama-sama melakukan. Sedikitnya harus ada dua orang, yaitu yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Keduanya
melakukan perbuatan pelaksanaan.
Terdapat kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan
suatu kehendak bersama di antara mereka. Mereka harus bersama-sama melaksanakan
kehendak itu untuk mencapai tujuan masing-masing;
4. yang membujuk supaya perbuatan
dilakukan (uitlokken, uitlokker),
yaitu orang yang menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana dengan
menggunakan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke -2 KUHP;
5. yang membantu melakukan perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige), jika
ia sengaja memberikan bantuan pada waktu atau sebelum (tidak sesudahnya)
kejahatan itu dilakukan. Dapat dikualifikasi membantu perbuataan apabila unsur
“sengaja” telah ada, dengan kata lain, orang yang secara kebetulan dengan tidak
mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk
melakukan kejahatan itu tidak dapat dipidana. “Niat” untuk melakukan kejahatan
itu harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau
keterangan itu.
Selain dapat dilakukan oleh orang pribadi (natural person), perbuatan tindak pidana
juga dapat dilakukan oleh korporasi. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13
Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi,
kesalahan (tindak pidana) korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidana antara lain: (1) Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari
tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan
Korporasi; (2) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau (3) Korporasi tidak melakukan
langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak
yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku
guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Berdasarkan uraian tersebut, perbuatan tindak
pidana dapat kualifikasikan menjadi perbuatan melakukan tindak pidana,
perbuatan membantu kejahatan, dan perbuatan-perbuatan tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi sebagaimana diuraikan di atas.
Pembobotan
Unsur Kesengajaan dan Unsur Perbuatan dalam Penghitungan Proporsi Kerugian pada
Pendapatan Negara
Setelah diketahui kualifikasi kesengajaan dan
kualifikasi perbuatan dari masing-masing pelaku tindak pidana, langkah
selanjutnya adalah memberi koefisien pembobotan derajat kesengajaan dan derajat
perbuatan. Pembobotan derajat kesengajaan dan derajat perbuatan didasarkan pada
pemaknaan Barbara A. Hudson atas proporsionalitas ordinal sebagai “...ranking offences according to seriousness
and then establishing a scale of penalties of commensurate severity”.
Keseriusan tindak pidana menentukan besaran sanksi yang dijatuhkan, sedangkan
keseriusan ditentukan dengan kesengajaan yaitu niat batin (mens rea) seseorang melakukan tindak pidana dan besarnya peran
pelaku (actus reus) sehingga
terjadinya tindak pidana. Proporsionalitas ordinal tidak cukup untuk menentukan
besaran proporsi yang dibebankan pada pelaku tindak pidana karena hanya memberi
gambaran keseriusan tindak pidana tidak menggambarkan berapa besaran proporsi
yang dibebankan. Untuk mengkuantifikasi niat batin dan peran tersebut digunakan
pembobotan atas dasar proporsionalitas kardinal yang dikemukakan Hirsch yang
perlu mempertahankan proporsi yang rasional antara tingkat tertinggi pidana
dengan keseriusan tindak pidana. Pemidanaan disusun berdasarkan skala sehingga
beratnya pidana berkaitan dengan perbandingan kesalahan pelaku tindak pidana.
Selain itu skala pidana dirancang untuk menggambarkan perbandingan beratnya
tindak pidana. Penyusunan skala menurut Hirsch sesuai dengan tingkat tertinggi
dan keseriusan tindak pidana memberikan dasar yang rasional untuk pembobotan
beban pengenaan sanksi pidana. Tulisan ini memberikan petunjuk pembobotan
didasarkan pada ancaman hukuman paling ringan sampai dengan hukuman paling
berat dari suatu delik. Semakin tinggi keseriusan tindak pidana diancam dengan
sanksi pidana semakin tinggi. Pembobotan ini dituangkan dalam tabulasi untuk
dapat mengetahui proporsi kerugian pada pendapatan negara untuk masing-masing pelaku.
Tabel 1 yang disajikan berikut ini merupakan contoh/simulasi tabulasi unsur
kesengajaan, unsur perbuatan, koefisien, dan pembobotan yang menghasilkan
proporsi kerugian pada pendapatan negara untuk masing-masing pelaku.
Koefisiensi yang digunakan pada contoh tabulasi
merujuk pada rentang pengali pidana denda sesuai pasal pidana UU KUP. Koefisien
pembobotan untuk tindak pidana sesuai Pasal 39 adalah paling ringan 2 (dua)
kali dan paling berat 4 (empat) kali. Sedangkan untuk Pasal 39A, koefisien
paling ringan adalah 2 (dua) kali dan koefisien paling berat adalah 6 (enam).
Tabel 1. Simulasi Penghitungan
Proporsi Kerugian pada Pendapatan Negara Berdasarkan Kualifikasi Kesengajaan
dan Kualifikasi Perbuatan
Unsur |
Kualifikasi |
Indikator |
Koefisien |
Tsk 1 |
Tsk 2 |
Tsk 3 |
Tsk 4 |
Tsk 5 |
UNSUR
SENGAJA |
1 |
sengaja berbuat untuk mencapai akibat (tujuan) yang dikehendaki |
− menghendaki dan mengetahui apa
yang dilakukan; − menghendaki sungguh-sungguh
akibatnya; − mampu untuk menentukan kehendak
berbuat; − mampu bertanggung jawab atas akibatnya; − mendapat manfaat/keuntungan
terbesar. |
6 |
6 |
|
|
|
2 |
sengaja berbuat dan mengetahui akibat yang akan terjadi |
− menghendaki dan mengetahui apa
yang dilakukan; − mengetahui akibatnya; − mampu untuk menentukan kehendak
berbuat; − mendapat manfaat/keuntungan. |
4 |
|
4 |
|
|
|
3 |
sengaja berbuat dan mengetahui kemungkinan akibat dari
perbuatannya itu. |
− menghendaki dan kurang mengetahui
apa yang dilakukan; − mengetahui kemungkinan akibat yang
terjadi; − mengetahui risiko atas perbuatan
yang dilakukan; − tidak mendapat manfaat/keuntungan. |
3 |
|
|
3 |
|
|
|
sengaja berbuat namun tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang
merupakan tindak pidana |
− tidak merencanakan; − menjalankan perintah; − kurang mengetahui akibatnya; − tidak/kurang mendapat manfaat. |
2 |
|
|
|
2 |
|
UNSUR
PERBUATAN (Pasal
39-Pasal 39A dan Pasal 43 ayat (1)) |
1 |
yang melakukan perbuatan (plegen, dader); |
− orang yang melakukan perbuatan
tindak pidana; − orang yang menurut maksud pembuat
UU harus dipandang yang bertanggung jawab; − orang yang mempunyai
kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap
memberikan keadaan terlarang itu berlangsung terus. |
6 |
6 |
|
|
|
2 |
yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke
dader); |
− orang yang melakukan perbuatan
tindak pidana dengan perantara orang lain; − perantara yang digunakan hanya
sebagai 'alat' (alat sebagai 'pembuat materiil'); − orang yang menurut maksud pembuat
UU harus dipandang yang bertanggung jawab; − orang yang dapat mengakhiri
keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang itu berlangsung
terus. |
5 |
|
|
|
|
|
3 |
yang turut serta melakukan perbuatan (medeplegen, mededader); |
− orang yang bersama-sama melakukan
perbuatan tindak pidana; − ada kerjasama secara sadar, ada
pengertian antara orang-orang yang melakukan kejahatan; − yang melakukan suatu perbuatan
dengan tujuan yang sama; − hanya melaksanakan sebagian saja
dari unsur-unsur delik tersebut. |
4 |
|
4 |
|
|
|
|
yang menganjurkan supaya perbuatan dilakukan (uitlokken,
uitlokker); |
− ada kesengajaan menggerakkan orang
lain melakukan tindak pidana; − menggerakkannya dengan menggunakan
sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP; − putusan kehendak dari pembuat
materiil ditimbulkan karena ada kausalitas dari hal-hal 1 dan 2 di atas; − ada penganjuran ketika pembuat
materiil sudah melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau sudah ada
percobaan melakukan tindak pidana; − pembuat materiil tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. |
3 |
|
|
3 |
|
|
5 |
yang membantu melakukan perbuatan (medeplichtig zijn,
medeplichtige) |
− tidak harus ada kerjasama yg
disadari; − merupakan perbuatan pelaksanaan; − tidak mempunyai kepentingan/tujuan
sendiri. − Tidak termasuk perbuatan pelaksanaan
melainkan perbuatan yang mempermudah terjadinya suatu tindak pidana. |
2 |
|
|
|
2 |
|
PROPORSI |
Jumlah Koefisien Tiap Pelaku |
|
12 |
8 |
6 |
4 |
4 |
|
Jumlah Koefisien |
|
|
|
34 |
|
|||
Persentase Proporsi |
|
35,29% |
23,53% |
17,65% |
11,76% |
11,76% |
||
Jumlah KpPN (Rp) |
|
|
|
10.000.000.000 |
|
|||
Proporsi KpPN (Rp) |
|
3.529.411.765 |
2.352.941.176 |
1.764.705.882 |
1.176.470.588 |
1.176.470.588 |
Penghitungan Proporsi Kerugian pada
Pendapatan Negara untuk Masing-Masing Pelaku
Sesuai dengan tabulasi di atas, didapat hasil
proporsi kerugian pada pendapatan negara untuk masing-masing pelaku tindak
pidana baik orang pribadi maupun korporasi. Penghitungan proporsi dilakukan
dengan cara memberikan pembobotan terhadap kualifikasi kesengajaan dan
kualifikasi perbuatan sehingga diperoleh nilai proporsi masing-masing pelaku
untuk selanjutnya dikalikan dengan keseluruhan nilai kerugian pada pendapatan
negara yang menghasilkan jumlah proporsi kerugian pada pendapatan negara untuk
masing-masing pelaku.
Berdampak dan Ber-outcome Lebih
Metode ini diharapkan dapat melengkapi contoh
penghitungan proporsi kerugian pada pendapatan negara sebagaimana tercantum
dalam Penjelasan Pasal 44B Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan. Selain itu, hasil lebih yang diharapkan dari penghitungan
kerugian pada pendapatan negara secara proporsional adalah terwujudnya
penegakan hukum yang lebih berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum.
Lebih berkeadilan karena sesuai dengan penjelasan Pasal 44B Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, masing-masing pelaku
tindak pidana akan dibebani denda sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya.
Kepada pelaku utama akan dibebani denda yang lebih besar dibandingkan dengan
denda yang dibebankan kepada pelaku turut serta. Ketentuan proporsi diharapkan
juga akan membawa kemanfaatan yang lebih karena kepada para pelaku tindak
pidana tidak dibebankan seluruh denda, tetapi sebagian denda sesuai
proporsinya, sehingga para pelaku lebih mungkin untuk membayar kerugian pada
pendapatan negara. Lebih lanjut, dengan adanya penghentian penyidikan demi
kepentingan umum, biaya untuk tahap penegakan hukum selanjutnya seperti
pengeluaran negara pada lembaga pemasyarakatan menjadi tidak ada. Dengan kata
lain, ketentuan proporsional semakin berkemanfaatan karena lebih membuka
kesempatan bagi wajib pajak/tersangka untuk menghindari pemidanaan, mendukung
pencapaian penerimaan negara, dan menghemat pengeluaran negara. Selain itu,
pembebanan denda secara proporsional juga akan meningkatkan kepastian hukum
karena masing-masing pelaku tindak pidana terbuka untuk mengetahui besaran
denda yang dibebankan kepadanya untuk kemudian dapat diajukan penghentian
penyidikan terhadap dirinya tanpa bergantung pada penanganan pidana terhadap
tersangka lain.
Kesimpulan
Penghitungan proporsi kerugian pada pendapatan
negara untuk masing-masing pelaku tindak pidana, baik orang pribadi maupun
korporasi, dilakukan dengan cara memberikan pembobotan terhadap kualifikasi
kesengajaan dan kualifikasi perbuatan. Hasil penghitungan ini diharapkan dapat
berwujudnya penegakan hukum yang lebih berkeadilan, berkemanfaatan, dan
berkepastian hukum. Masing-masing pelaku tindak pidana akan dibebankan denda
sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya, dengan pelaku utama dibebankan
denda yang lebih besar dibandingkan dengan denda yang dibebankan kepada pelaku
turut serta. Ketentuan proporsi juga diharapkan akan membawa kemanfaatan karena
para pelaku tindak pidana tidak dibebankan seluruh denda, tetapi sebagian denda
sesuai proporsinya, sehingga para pelaku lebih mungkin untuk membayar kerugian
pada pendapatan negara. Selain itu, dengan adanya penghentian penyidikan demi
kepentingan umum, biaya untuk tahap penegakan hukum selanjutnya seperti
pengeluaran negara pada lembaga pemasyarakatan menjadi tidak ada. Pembebanan
denda secara proporsional juga akan meningkatkan kepastian hukum karena
masing-masing pelaku tindak pidana terbuka untuk mengetahui besaran denda yang
dibebankan kepadanya untuk kemudian dapat diajukan penghentian penyidikan
terhadap dirinya tanpa bergantung pada penanganan pidana terhadap tersangka
lain.
BIBLIOGRAFI
Adiyanta, F. C. S. (2018). Kebijakan Penghapusan Sanksi
Administrasi Perpajakan sebagai Stimulus Peningkatan Penerimaan Negara dari
Sektor Pajak (Studi Evaluatif Normatif Kebijakan Perpajakan Nasional). Administrative
Law and Governance Journal, 1(2), 165–181.
Al-Rasyid, H. H., & SH, M.
(2019). Fikih Korupsi. Prenada Media.
Ali, H. Z. (2022). Hukum Islam:
Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Sinar Grafika.
Ali, M. (2018). Proporsionalitas
dalam Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 25(1),
137–158.
Amalia, R. (2021). Gagasan
Memasukkan Biaya Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Ke Dalam Skema Pidana
Denda Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berry III, W. W. (2011). Promulgating
Proportionality. Ga. L. Rev., 46, 69.
Duff, A., & Garland, D. (1994). A
reader on punishment.
Kofman, F., & Senge, P. M.
(1993). Communities of commitment: The heart of learning organizations. Organizational
Dynamics, 22(2), 5–23.
Laksana, A. D. (2021). Kebiri
Kimia dan Pelaku Kekerasan Seksual oleh Pedofil-Jejak Pustaka. Jejak
Pustaka.
Lasmadi, S., & Sudarti, E.
(2021). Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang. Refleksi Hukum
Jurnal Ilmu Hukum, 5(2), 199–2018.
Lerner, C. S. (2014). Does the Magna
Carta Embody a Proportionality Principle. Geo. Mason UCRLJ, 25,
271.
Nugroho, A. D., & SH, A. (2018). Hukum
Pidana Pajak Indonesia. PT Citra Aditya Bakti.
Patricia, M. B. S. (2017). Pengaruh
Kesadaran Wajib Pajak dan Penerapan e-filing terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
(Studi pada UMKM yang terdaftar di KPP Pratama Candisari Semarang).
Diponegoro University.
Prince, J. D. (1904). The code of
Hammurabi. University of Chicago Press.
Rahmadi, Z. T., & Wahyudi, M. A.
(2022). Implikasi kehadiran undang-undang HPP dan insentif perpajakan
sehubungan covid 19 terhadap kewajiban perpajakan klaster PPN. Rekaman:
Riset Ekonomi Bidang Akuntansi Dan Manajemen, 6(1), 33–41.
Siregar, G., & Silaban, R.
(2020). Hak-Hak Korban Dalam Penegakan Hukum Pidana. CV, Manhaji Medan.
Copyright holder: Wahyu Widodo,
Rizki Piet Darmawan, Ariesto Narindro (2024) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |