Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 4, April 2024

 

PENGHITUNGAN PROPORSI KERUGIAN PADA PENDAPATAN NEGARA BERDASARKAN KUALIFIKASI KESENGAJAAN DAN KUALIFIKASI PERBUATAN PELAKU TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

 

Wahyu Widodo1, Rizki Piet Darmawan2, Ariesto Narindro3

Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3

 

Abstrak

Pembebanan kerugian pada pendapatan negara secara proporsional kepada para pelaku tindak pidana di bidang perpajakan telah diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ketentuan tersebut tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pembebanan proporsional tersebut mendasarkan pada prinsip "let punishment fit the crime" dan asas-asas penerapan pidana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi pertanggungjawaban pidana terkait pembebanan kerugian pada pendapatan negara kepada pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan interdisipliner. Keseluruhan analisis dalam penelitian ini selalu mempertimbangkan unsur mens rea dan actus reus dari pelaku tindak pidana, serta mengemukakan alternatif kerangka penghitungan proporsi kerugian pada pendapatan negara berdasarkan kualifikasi kesengajaan dan perbuatan dari masing-masing pelaku. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang penerapan proporsionalitas dalam pertanggungjawaban pidana di bidang perpajakan, serta memberikan panduan praktis bagi penegak hukum dalam menentukan proporsi kerugian yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana sesuai dengan tingkat keseriusan tindakannya. Selain itu, analisis ini juga diharapkan dapat menjadi kontribusi dalam pengembangan teori dan praktik hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam konteks penegakan hukum perpajakan dan pidana ekonomi.

Kata kunci: proporsi pertanggungjawaban pidana, kerugian pada pendapatan negara, pidana di bidang perpajakan, kualifikasi kesengajaan, kualifikasi perbuatan

 

Abstract

The imposition of losses on state revenue proportionally to perpetrators of criminal acts in the field of taxation has been regulated in the Law on General Provisions and Tax Procedures. These provisions are contained in the explanation of Law Number 7 of 2021 concerning Harmonization of Tax Regulations (HPP Law). The proportional burden is based on the principle of "let punishment fit the crime" and the principles of criminal application in Law Number 1 of 2023 concerning the Criminal Code. The purpose to be achieved in this study is to determine the proportion of criminal liability related to imposing losses on state revenue to perpetrators of criminal acts in the field of taxation. The method used in this study is a qualitative method with an interdisciplinary approach. The overall analysis in this study always considers the mens rea and actus reus elements of criminal offenders, and proposes an alternative framework for calculating the proportion of losses to state revenue based on the qualifications of the intentional and intentional actions of each perpetrator. The results of the analysis are expected to provide a deeper understanding of the application of proportionality in criminal liability in the field of taxation, as well as provide practical guidance for law enforcement in determining the proportion of losses charged to criminal offenders according to the seriousness of their actions. In addition, this analysis is also expected to be a contribution in the development of criminal law theory and practice in Indonesia, especially in the context of tax law enforcement and economic crime.

Keywords: proportion of criminal liability, loss to state revenue, criminal in the field of taxation, qualification of willfulness, qualification of deeds

 

Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2021 (Kofman & Senge, 1993). UU HPP telah memperbarui beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) (Rahmadi & Wahyudi, 2022). Salah satu ketentuan dalam UU KUP yang diperbarui adalah mengenai pembebanan kerugian pada pendapatan negara kepada pelaku tindak pidana di bidang perpajakan dalam rangka penghentian penyidikan sesuai pasal 44B UU KUP (Adiyanta, 2018). Dalam Penjelasan Pasal 44B UU KUP, kerugian pada pendapatan negara dibebankan kepada pelaku tindak pidana sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya. Ketentuan mengenai proporsi ini merupakan kebaruan karena UU KUP tidak mengatur sebelumnya (Patricia, 2017).

Penjelasan Pasal 44B UU HPP hanya memberikan satu contoh penerapan proporsi pembebanan kerugian pada pendapatan negara, yaitu berdasarkan manfaat yang diterima oleh masing-masing pelaku tindak pidana (Siregar & Silaban, 2020). Padahal dalam praktik penegakan hukum pidana pajak, sangat mungkin ditemukan pelaku turut serta atau pelaku pembantuan yang tidak mendapatkan manfaat ekonomi sebagaimana dicontohkan dalam Penjelasan Pasal 44B UU KUP (Al-Rasyid & SH, 2019). Akibatnya, penanganan terhadap pelaku yang tidak mendapat atau tidak terbukti mendapatkan manfaat ekonomi ini akan memunculkan permasalahan mengenai bagaimana menghitung proporsi kerugian pada pendapatan negara yang dibebankan kepadanya (H. Z. Ali, 2022).

Selain itu, ketentuan proporsi pembebanan kerugian pada pendapatan negara juga hanya tercantum dalam pasal yang mengatur tentang penghentian penyidikan (Nugroho & SH, 2018). Padahal pembebanan kerugian pada pendapatan negara juga diterapkan pada tahap penuntutan dan penjatuhan vonis dalam persidangan (Lasmadi & Sudarti, 2021). Hal ini menjadikan kekosongan atau ketidakjelasan dasar hukum mengenai apakah ketentuan proporsi juga dapat diterapkan dalam penuntutan dan penjatuhan vonis dalam persidangan (Laksana, 2021). Proporsi kerugian pada pendapatan negara yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana merupakan ancaman sanksi pidana denda yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana sebagai pertanggungjawaban pidana kepada pelaku tindak pidana (Amalia, 2021).

Permasalahan-permasalahan mendasar tersebut yang akan dianalisis dan dijawab dalam tulisan ini dengan mendasarkan pada teori hukum, pendapat ahli, dan putusan-putusan hakim sebelumnya. Dalam tulisan ini, penulis berusaha memberikan alternatif kerangka penghitungan proporsi kerugian pada pendapatan negara berdasarkan kualifikasi kesengajaan dan kualifikasi perbuatan dari masing-masing pelaku tindak pidana.

Prinsip proporsionalitas dalam hukum pidana sudah dikenal sejak masa Babilonia kuno melalui Code of Hammurabi pada abad ke-18 SM.  Menurut Code of Hammurabi (1904), dasar hukuman adalah pembalasan. Ide ini dikenal sebagai lex talionis. Prinsip lex talionis dapat dijelaskan dengan menggunakan gagasan “an eye for an eye” atau “a tooth for a tooth”. Prinsip lex talionis tidak hanya mengatakan bahwa hukuman harus proporsional dengan tindak pidananya tapi juga menyatakan bahwa metode hukuman harus sama dengan tindak pidana. Pada abad ke-13, Raja John dari Kerajaan Inggris Raya menyetujui piagam Magna Carta yang merupakan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah Eropa. Di dalam Magna Carta, proporsionalitas tercermin dalam pernyataan, “A free man shall not be amerced (penalized) for a small fault, but according to the measure thereof; and for a great crime according to its magnitude, in proportion to his degree….. A free man shall not be amerced for a trivial offense, except in accordance with the degree of the offense; and for a serious offense he shall be amerced according to its gravity(2014), yang intinya mengatur bahwa orang akan dihukum sesuai dengan jenis kesalahan, tingkat tindak pidana atau dampak dari perbuatan.

Perjalanan sejarah ide tentang pedoman pemidanaan kemudian diaplikasikan di beberapa negara. Dasar dari pembenaran pembuatan ide tersebut adalah teori proporsionate sentencing yang berakar dari pandangan sarjana klasik Cesare Beccaria tentang perlunya kesebandingan antara hukuman dengan kesalahan. Ajaran klasik Beccaria sebenarnya menjelaskan dua prinsip dasar penjatuhan pidana yaitu: (a) bahwa "let punishment fit the crime" yang mengarahkan pandangan bahwa pemidanaan harus mampu mencegah terjadinya tindak pidana dan (b) peniadaan discretionary power dari hakim dalam memutus perkara karena hakim adalah corong undang-undang semata. Gagasan ini mendapatkan tentangan dari beberapa pihak karena dianggap akan membatasi hakim dalam menjatuhkan pidana. Meskipun pandangan Beccaria memperoleh penolakan, akan tetapi prinsip "let punishment fit the crime" tetap diterima dalam arti bahwa pemidanaan diarahkan untuk mencapai suatu tujuan pemidanaan dalam pengertian pencegahan dan penanggulangan tindak pidana, upaya rehabilitasi serta sarana perlindungan bagi masyarakat. Dalam Naskah Akademik RUU KUHP, selain prinsip "let punishment fit the crime" dijabarkan juga asas-asas penerapan pidana denda yang antara lain meliputi (1) terdakwa memperoleh sejumlah uang dari kejahatan yang dilakukan; (2) pidana denda dapat menunjang usaha pencegahan kejahatan dan perbaikan terpidana; (3) terdakwa akan mampu membayar denda perbaikan terpidana tersebut tidak menghambat terdakwa dalam rangka membayar ganti rugi perbaikan kepada korban tindak pidananya

William W. Berry III menyatakan bahwa “Proportionality refers to the relationship of the punishment to the criminal conduct of the offender, and it serves as a limit on the power of the state to impose criminal sanctions based on various individual interests and political considerations. As a result, punishments are disproportionate when they exceed the state’s legitimate power” (2011), bahwa proporsionalitas mengacu pada hubungan antara beratnya ancaman pidana dengan tindak pidana yang dilakukan pelaku. Berry membatasi kekuasaan negara untuk memberikan ancaman sanksi pidana berdasarkan kepentingan-kepentingan individu dan pertimbangan-pertimbangan politik. Ancaman sanksi pidana dianggap tidak proporsional apabila melampaui kekuasan sah negara. Proporsionalitas mengacu kepada keseriusan suatu tindak pidana dan beratnya ancaman sanksi pidana. Semakin serius suatu tindak pidana, semakin berat sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku. Dikatakan tidak proporsional jika tindak pidana yang serius diancam dengan sanksi pidana yang ringan. Ancaman pidana yang berat terhadap tindak pidana ringan juga dianggap tidak mencerminkan prinsip proporsionalitas.

Pernyataan jelas terkait dengan prinsip proporsionalitas ditemukan dalam kasus Hoare vs The Queen di pengadilan di Inggris pada tahun 1989. Hakim menyatakan dalam putusannya bahwa prinsip dasar dari pemidanaan adalah hukuman yang dijatuhkan tidak boleh melebihi hukuman yang dibenarkan atau sebanding dengan beratnya kejahatan yang dipertimbangkan berdasarkan keadaan obyektifnya. Ada 2 (dua) prinsip yang harus diukur yaitu keseriusan tindak pidana dan penjatuhan hukuman pidana. Sedangkan di Amerika Serikat, pengadilan menyatakan the Proportionality Doctrine di tahun 1980an pada 3 (tiga) kasus yaitu: Enmund vs Florida (1982), Solem vs Helm (1983) dan Tison vs Arizona (1987). Prinsip dasar yang digunakan dalam penerapan proporsionalitas adalah bahwa “the punishment should fit the crime”.

Saat ini, ide proporsionalitas pidana banyak merujuk kepada pemikiran Andrew von Hirsch. Pemikiran Hirsch tentang proporsionalitas pidana banyak mempengaruhi pemikiran ahli hukum pidana lainnya. Hirsch mengemukakan desert theory yang merupakan teori yang menggambarkan pemikiran tentang proporsionalitas dalam pemidanaan. Desert theory menyatakan bahwa "the desert rational rest on the idea that penal sanction should fairly reflect the degree of reprehensibleness (that is, the harmfulness and culpability) of the actor conduct" (2011). Pandangan ini menyatakan bahwa beratnya sanksi pidana harus seimbang dengan kesalahan dari pelaku. Teori ini amat berkorelasi dengan adagium "only the guilty alight to be punished" atau dalam literatur hukum pidana Indonesia dikenal sebagai asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zander schuld). Karenanya adalah terlarang untuk menjatuhkan sanksi pidana pada seseorang yang tidak bersalah dan penjatuhan pidana pun harus diukur berdasarkan besar kecilnya kesalahan yang dibuat oleh seorang pelaku tindak pidana.

Menurut Hirsch, pidana mempunyai dua justifikasi. Pertama, pidana mengacu pada hubungan antara hukuman/balasan (desert) dan pidana. Desert merupakan bagian dari keputusan atas ketercelaan, sedangkan pidana yang dijatuhkan oleh negara berfungsi untuk melembagakan fungsi penghukuman. Kedua, pidana menekankan fungsi preventif yang bertujuan mencegah masyarakat untuk melakukan tindak pidana. Dengan pidana berat yang dijatuhkan sesuai keseriusan dengan tindak pidana, maka diharapkan masyarakat menghindari tindak pidana. Hirsch mengatakan bahwa rasionalitas digunakannya teori proporsionalitas (bobot) pidana disebabkan bergesernya konsep pembalasan pada pelaku atas tindak pidana yang dilakukan kepada konsepsi pencelaan pidana. Pergeseran ini lebih menekankan kepada proporsionalitas yang membolehkan penggunaan sanksi yang moderat. Kriteria kepantasan pidana terkait keseriusan tindak pidana, penilaian beratnya ancaman pidana, dan peranan catatan tindak pidana yang dilakukan pelaku di masa lalu.

Asas proporsionalitas atau principle of proportionality mengandung makna bahwa pidana yang dijatuhkan hendaknya sebanding dengan keseriusan atau beratnya tindak pidana dan kesalahan pelaku atau dikenal dengan prinsip the punishment fitting to the crime. Sebagaimana dikatakan oleh Hirsch “The principle of proportionality – that the sanctions be proportionate in their severity to the gravity of offences – appears to be requirement of justice. People have sense that punishment which comfort with the gravity of offences are more equitable than punishment that do not.” (Duff & Garland, 1994) Dalam rangka memenuhi syarat keadilan, maka sanksi pidana sebanding dengan beratnya tindak pidana. Hal ini sesuai dengan rasa keadilan yang dimiliki oleh masyarakat bahwa pidana yang sesuai dengan beratnya tindak pidana akan lebih cocok daripada pidana yang tidak demikian. Selanjutnya Hirsch menegaskan bahwa “the principle of proportionality is defended on grounds of fairness”. Selanjutnya dinyatakan oleh Hirsch bahwa argumentasi asas proporsionalitas ini akan merefleksikan ide bahwa jika pencelaan merupakan penyampaian pesan tentang perbuatan salah, maka banyaknya pencelaan harus merefleksikan besarnya kesalahan atas perbuatan.

Dalam memberikan argumentasi tentang proporsionalitas Hirsch mengemukakan hal-hal sebagai berikut; (1) the state’s sanctions against proscribe conduct should take a punishment form; that is, visit deprivations in a manner that expresses censure or blame. Bahwa sanksi negara terhadap perbuatan yang dilarang seharusnya berbentuk hukuman pidana, (2) the severity of a sanction expresses the stringency of the blame. Beratnya suatu sanksi menggambarkan beratnya kesalahan, dan (3) hence, punitive sanctions should be arrayed according to the degree of blameworthiness (i.e. seriousness) of conduct. Ancaman sanksi pidana harus seimbang dalam beratnya dengan tingkat keseriusan perbuatan dan kesalahan pelaku.

Dalam menentukan proporsionalitas dalam pemidanaan sehingga sebanding dengan tindak pidana dan kesalahan pelaku, Hirsch mengemukakan 2 (dua) cara proporsionalitas pidana, yaitu proporsionalitas ordinal (ordinal/relative proportionality) dan proporsionalitas kardinal (cardinal/nonrelative proportionality). Proporsionalitas ordinal mensyaratkan beratnya ancaman pidana harus menggambarkan tingkat keseriusan tindak pidana dan kesalahan pelaku. Pelaku yang melakukan tindak pidana berat harus menerima pidana yang berat, pidana yang diterima harus sesuai dengan kadar perbuatannya. Proporsionalitas ordinal mensyaratkan konsep pemidanaan yang adil. Tindak pidana yang lebih berat diterapkan hukuman yang lebih besar terhadap pelaku, dan hanya dibenarkan pada pelaku berdasarkan tingkat keseriusan kesalahan. Sedangkan proporsionalitas kardinal mensyaratkan perlunya mempertahankan proporsi yang rasional antara tingkat tertinggi pidana dengan keseriusan tindak pidana. Pemidanaan disusun berdasarkan skala sehingga beratnya pidana berkaitan dengan perbandingan kesalahan pelaku tindak pidana. Selain itu skala pidana dirancang untuk menggambarkan perbandingan beratnya tindak pidana.

Barbara A. Hudson mengartikan proporsionalitas ordinal sebagai “...ranking offences according to seriousness and then establishing a scale of penalties of commensurate severity”. Seseorang yang melakukan tindak pidana yang dapat diperbandingkan keseriusannya harus menerima hukuman yang beratnya dapat diperbandingkan. Seseorang yang melakukan tindak pidana yang berbeda beratnya, ancaman pidana dinilai berdasarkan keseriusannya. Tindak pidana dengan tingkat keseriusan yang sama, diancam dengan sanksi pidana yang sama. Sedangkan Hirsch mensyaratkan 3 (tiga) hal dalam proporsionalitas ordinal, yaitu parity (keseimbangan), rank ordering (urutan peringkat), dan spacing of penalties (jarak pidana).

Parity terjadi ketika para pelaku dipidana atas tindak pidana dengan tingkat keseriusan yang sama maka mereka berhak atas pidana yang beratnya seimbang. Tidak berarti bahwa pidana yang sama dikenakan pada semua tindak pidana dalam satu kategori tindak pidana. Jika variasi dalam satu kategori telah dipastikan kesetaraannya, maka pidana yang ditetapkan juga harus memiliki tingkat yang sama. Rank ordering dimaksudkan bahwa pidana harus menggambarkan peringkat keseriusan dari tindak pidana. Sedangkan spacing of penalties artinya bahwa untuk menentukan keseriusan tindak pidana harus ada perbedaan jarak sanksi pidana antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, misalnya untuk kasus dengan tingkat tinggi, sedang atau ringan. Hirsch mengemukakan bahwa kriteria keseriusan tindak pidana berdasarkan pada 2 (dua) hal utama, yaitu kerugian sebagai akibat dari tindak pidana dan kesalahan (M. Ali, 2018). Kerugian mengacu pada tingkat kerugian atau risiko yang ditimbulkan. Kerugian dapat berupa: 1) kerugian personal, kerugian sosial, kerugian institusional, dan kerugian negara; 2) kerugian materiial dan immateriil; 3) kerugian aktual maupun potensial; dan d) kerugian fisik dan kerugian psikis. Sedangkan kesalahan terkait kesengajaan, kealpaan, dan kondisi-kondisi yang menyertainya. Sehingga, Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi pertanggungjawaban pidana terkait pembebanan kerugian pada pendapatan negara kepada pelaku tindak pidana di bidang perpajakan.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian hukum yang digunakan dalam studi ini nampaknya adalah penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal pada dasarnya mengandalkan sumber-sumber hukum seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur hukum untuk menganalisis isu-isu hukum dan mengembangkan argumen hukum. Dalam studi ini, peneliti bermaksud untuk menganalisis perubahan dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia (UU HPP) dan implikasinya terhadap Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara Peradilan Pidana (UU KUP) mengenai pembebanan kerugian pada pendapatan negara kepada pelaku tindak pidana perpajakan. Analisis melibatkan penafsiran ketentuan-ketentuan perundang-undangan, pemeriksaan prinsip-prinsip hukum, dan penelusuran keputusan-keputusan pengadilan untuk menanggapi isu-isu hukum yang diangkat dalam pendahuluan. Selain itu, peneliti bermaksud untuk mengeksplorasi konsep hukum historis seperti prinsip proporsionalitas dalam hukum pidana, melacak asal-usulnya dari sistem hukum kuno seperti Kode Hammurabi hingga teori-teori hukum kontemporer yang diusulkan oleh para sarjana hukum. Pendekatan doktrinal ini memungkinkan peneliti untuk menganalisis norma-norma hukum, prinsip-prinsip, dan konsep-konsep hukum yang relevan dengan pertanyaan penelitian dan mengembangkan argumen berdasarkan penalaran dan interpretasi hukum.

 

Hasil dan Pembahasan

Dasar Pertanggungjawaban Pidana

Dalam teori hukum pidana terdapat asas actus non facit reum, nisi mens sit rea yang berarti bahwa perbuatan tidak membuat orang bersalah, kecuali jika terdapat sikap batin yang jahat. Selaras dengan pemikiran tersebut, terdapat juga asas geen straf zonder schuld atau asas tiada pidana tanpa kesalahan atau asas no punishment without fault yang berarti tiada satu orangpun dapat dipertanggungjawabkan terhadap hukum pidana, tanpa ia melakukan suatu perbuatan pidana karena sengaja ataupun karena kealpaan.

Berdasarkan asas tersebut, pertanggungjawaban pidana tidak hanya didasarkan pada perbuatan yang dilakukan (actus reus) tetapi juga pada sikap batinnya (mens rea). Dengan demikian perbuatan pidana seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana jika memenuhi 2 (dua) unsur yaitu: (1) adanya tindak pidana; dan (2) adanya kesalahan, baik kesalahan karena kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa).

Penerapan asas actus non facit reum, nisi mens sit rea dapat ditemui dalam induk hukum pidana di Indonesia, yaitu KUHP. Dalam penjelasan (penafsiran) KUHP ditemukan bahwa KUHP disusun dengan mendasarkan pada pemikiran aliran neo-klasik yang menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subyektif (orang/batiniah/sikap batin). Aliran neo-klasik memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana (daad-dader strafrecht). Dalam perumusan pasal per pasal dalam KUHP, dasar pemikiran tersebut dituangkan dengan penggunaan frasa antara lain ‘sengaja’ (Pasal 56), ‘mengetahui’ (Pasal 123), ‘dengan maksud’ (Pasal 181), ‘niat’ (Pasal 53), ‘dengan rencana’ (Pasal 340).

Selain dalam KUHP, penerapan asas actus non facit reum, nisi mens sit rea juga dapat ditemui dalam UU KUP. Ketentuan pidana dalam UU KUP dirumuskan dengan memuat unsur mens rea dan unsur actus reus. Unsur mens rea terlihat dari perumusan frasa seperti alpa (Pasal 38), sengaja (Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 39A), melakukan lagi (Pasal 39 ayat (2)), percobaan (Pasal 39 ayat (3)). Sedangkan unsur actus reus terlihat jelas dari setiap pasal pidana yang memuat perbuatan-perbuatan apa saja yang diancam dengan sanksi pidana.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa pertanggungjawaban pidana dalam sistem hukum di Indonesia mempertimbangkan dan mengharuskan adanya unsur mens rea dan unsur actus reus dari pelaku tindak pidana. Demkian juga, proporsi pertanggungjawaban tindak pidana perpajakan berupa pembebanan kerugian pada pendapatan negara kepada pelaku tindak pidana ditentukan dengan mempertimbangan unsur mens rea dan unsur actus reus dari pelaku tindak pidana.

 

Kerangka Proporsi Pertanggungjawaban Pidana

Berdasarkan uraian mengenai dasar pertanggungjawaban pidana tersebut di atas, proporsi kerugian pada pendapatan negara sebagai pertanggungjawaban pidana di bidang perpajakan haruslah mempertimbangkan unsur mens rea dan unsur actus reus dari pelaku tindak pidana.

Sesuai UU KUP, unsur mens rea pelaku tindak pidana di bidang perpajakan dibedakan menjadi alpa, sengaja, perulangan, dan percobaan. Selanjutnya, dengan merujuk pada KUHP, teori hukum pidana, dan pendapat ahli hukum pidana, masing-masing unsur mens rea tersebut dapat dikualifikasikan secara berjenjang. Sedangkan unsur actus reus dikualifikasi dalam derajat yang berbeda dengan merujuk pada Pasal 55 – 57 KUHP, Pasal 43 ayat (1) UU KUP, serta Pasal 13 – 21, Pasal 40 – 57, dan pasal terkait lainnya dalam KUHP baru yang mulai berlaku tahun 2026.

Setelah dilakukan pengkualifikasian mens rea dan actus reus, selanjutnya perlu dilakukan pembobotan masing-masing kualifikasi dengan merujuk pada rumusan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP, rentang ancaman pidana denda dalam UU KUP, dan/atau berdasarkan professional judgement dari ahli perpajakan berdasarkan fakta penyidikan.

 

Kualifikasi Kesengajaan (Mens Rea)

Pembuktian tindak pidana selain mempertimbangkan perbuatan yang tampak (actus reus), juga mempertimbangkan sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan (mens rea). Ahli hukum Profesor Hikmahanto Juwana menyampaikan keterkaitan actus reus dan mens rea sebagai berikut: “Unsur terpenuhinya perbuatan pidana harus ada niat dan/atau perbuatan jahat. Apabila ada niat dan perbuatan jahat maka terpenuhi adanya kesengajaan. Bila hanya ada perbuatan jahat namun tidak ada niat jahat berarti kelalaian. Tapi kalau niat ada tapi perbuatan tidak menghasilkan, namun ada langkah persiapan untuk itu, maka bisa disebut percobaan. Kalau ada niat jahat dan tidak ada perbuatan jahat maka tidak bisa dikenakan." Berdasarkan hal tersebut, mens rea pelaku dapat dikategorikan menjadi kelalaian, percobaan, dan kesengajaan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam buku Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, kesengajaan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: (1) kesengajaan yang bersifat tujuan (opzet als oogmerk); (2) kesengajaan secara keinsafan kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzijn); dan (3) kesengajaan keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn).

Kesengajaan yang bersifat tujuan mengandung makna bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat (tujuan) dari tindak pidana yang dilakukan. Jenis kesengajaan ini diikuti oleh dua teori, yaitu teori kehendak dan teori bayangan. Teori kehendak menganggap kesengajaan ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki oleh si pelaku. Sementara, teori bayangan menganggap kesengajaan ada apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai. Sedangkan kesengajaan secara keinsafan kepastian dimaknai ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Jenis kesengajaan yang ketiga adalah kesengajaan keinsafan kemungkinan yaitu suatu kesengajaan dianggap terjadi apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka, bahwa akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju.

Berdasarkan uraian tersebut, unsur kesengajaan dapat dikualifikasikan menjadi (1) sengaja berbuat dengan tujuan untuk mencapai akibat yang dikehendaki; (2) sengaja berbuat dan mempunyai bayangan yang terang mengenai akibat yang akan terjadi; (3) sengaja berbuat dan mengetahui kemungkinan akibat dari perbuatannya itu; dan (4) sengaja berbuat namun tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang merupakan tindak pidana.

 

Kualifikasi Perbuatan (Actus Reus)

Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 56 KUHP menguraikan kualifikasi pelaku dengan menekankan pada perbedaan atau derajat perbuatannya, yaitu: yang melakukan tindak pidana dan yang membantu kejahatan (membantu melakukan tindak pidana). Pasal 55 KUHP menguraikan bahwa yang melakukan tindak pidana adalah (1) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; (2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Sedangkan yang membantu kejahatan adalah sebagaimana diuraikan dalam Pasal 56 KUHP, yaitu (1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; (2) mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dari rumusan pasal 55 dan pasal 56 KUHP tersebut di atas, terdapat lima pelaku atau peserta tindak pidana, yaitu:

1.     yang melakukan perbuatan (plegen, dader), yaitu orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik, orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dipandang yang bertanggung jawab, orang yang mempunyai kekuasaan/kemampuan  untuk mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang itu berlangsung terus;

2.     yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader), yaitu orang yang melakukan perbuatan dengan perantara orang lain dimana perantara yang digunakan hanya sebagai 'alat' (alat sebagai 'pembuat materiil');

3.     yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader), dalam arti bersama-sama melakukan. Sedikitnya harus ada dua orang, yaitu yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Keduanya melakukan perbuatan pelaksanaan. Terdapat kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka. Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu untuk mencapai tujuan masing-masing;

4.     yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker), yaitu orang yang menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana dengan menggunakan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke -2 KUHP;

5.     yang membantu melakukan perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige), jika ia sengaja memberikan bantuan pada waktu atau sebelum (tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Dapat dikualifikasi membantu perbuataan apabila unsur “sengaja” telah ada, dengan kata lain, orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dapat dipidana. “Niat” untuk melakukan kejahatan itu harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu.

Selain dapat dilakukan oleh orang pribadi (natural person), perbuatan tindak pidana juga dapat dilakukan oleh korporasi. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, kesalahan (tindak pidana) korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana antara lain: (1) Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; (2) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau (3) Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Berdasarkan uraian tersebut, perbuatan tindak pidana dapat kualifikasikan menjadi perbuatan melakukan tindak pidana, perbuatan membantu kejahatan, dan perbuatan-perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi sebagaimana diuraikan di atas.

 

Pembobotan Unsur Kesengajaan dan Unsur Perbuatan dalam Penghitungan Proporsi Kerugian pada Pendapatan Negara

Setelah diketahui kualifikasi kesengajaan dan kualifikasi perbuatan dari masing-masing pelaku tindak pidana, langkah selanjutnya adalah memberi koefisien pembobotan derajat kesengajaan dan derajat perbuatan. Pembobotan derajat kesengajaan dan derajat perbuatan didasarkan pada pemaknaan Barbara A. Hudson atas proporsionalitas ordinal sebagai “...ranking offences according to seriousness and then establishing a scale of penalties of commensurate severity”. Keseriusan tindak pidana menentukan besaran sanksi yang dijatuhkan, sedangkan keseriusan ditentukan dengan kesengajaan yaitu niat batin (mens rea) seseorang melakukan tindak pidana dan besarnya peran pelaku (actus reus) sehingga terjadinya tindak pidana. Proporsionalitas ordinal tidak cukup untuk menentukan besaran proporsi yang dibebankan pada pelaku tindak pidana karena hanya memberi gambaran keseriusan tindak pidana tidak menggambarkan berapa besaran proporsi yang dibebankan. Untuk mengkuantifikasi niat batin dan peran tersebut digunakan pembobotan atas dasar proporsionalitas kardinal yang dikemukakan Hirsch yang perlu mempertahankan proporsi yang rasional antara tingkat tertinggi pidana dengan keseriusan tindak pidana. Pemidanaan disusun berdasarkan skala sehingga beratnya pidana berkaitan dengan perbandingan kesalahan pelaku tindak pidana. Selain itu skala pidana dirancang untuk menggambarkan perbandingan beratnya tindak pidana. Penyusunan skala menurut Hirsch sesuai dengan tingkat tertinggi dan keseriusan tindak pidana memberikan dasar yang rasional untuk pembobotan beban pengenaan sanksi pidana. Tulisan ini memberikan petunjuk pembobotan didasarkan pada ancaman hukuman paling ringan sampai dengan hukuman paling berat dari suatu delik. Semakin tinggi keseriusan tindak pidana diancam dengan sanksi pidana semakin tinggi. Pembobotan ini dituangkan dalam tabulasi untuk dapat mengetahui proporsi kerugian pada pendapatan negara untuk masing-masing pelaku. Tabel 1 yang disajikan berikut ini merupakan contoh/simulasi tabulasi unsur kesengajaan, unsur perbuatan, koefisien, dan pembobotan yang menghasilkan proporsi kerugian pada pendapatan negara untuk masing-masing pelaku.

Koefisiensi yang digunakan pada contoh tabulasi merujuk pada rentang pengali pidana denda sesuai pasal pidana UU KUP. Koefisien pembobotan untuk tindak pidana sesuai Pasal 39 adalah paling ringan 2 (dua) kali dan paling berat 4 (empat) kali. Sedangkan untuk Pasal 39A, koefisien paling ringan adalah 2 (dua) kali dan koefisien paling berat adalah 6 (enam).

 


Tabel 1. Simulasi Penghitungan Proporsi Kerugian pada Pendapatan Negara Berdasarkan Kualifikasi Kesengajaan dan Kualifikasi Perbuatan

Unsur

Kualifikasi

Indikator

Koefisien

Tsk 1
(Korporasi)

Tsk 2
(Direktur)

Tsk 3
(Tax Manager)

Tsk 4
(Staf Bag. Pajak)

Tsk 5
(Staf)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

UNSUR SENGAJA

1

sengaja berbuat untuk mencapai akibat (tujuan) yang dikehendaki

   menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan;

   menghendaki sungguh-sungguh akibatnya;

   mampu untuk menentukan kehendak berbuat;

   mampu bertanggung jawab atas akibatnya;

   mendapat manfaat/keuntungan terbesar.

6

6

 

 

 

2

sengaja berbuat dan mengetahui akibat yang akan terjadi

   menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan;

   mengetahui akibatnya;

   mampu untuk menentukan kehendak berbuat;

   mendapat manfaat/keuntungan.

4

 

4

 

 

3

sengaja berbuat dan mengetahui kemungkinan akibat dari perbuatannya itu.

   menghendaki dan kurang mengetahui apa yang dilakukan;

   mengetahui kemungkinan akibat yang terjadi;

   mengetahui risiko atas perbuatan yang dilakukan;

   tidak mendapat manfaat/keuntungan.

3

 

 

3

 

4

sengaja berbuat namun tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang merupakan tindak pidana

   tidak merencanakan;

   menjalankan perintah;

   kurang mengetahui akibatnya;

   tidak/kurang mendapat manfaat.

2

 

 

 

2

UNSUR PERBUATAN

(Pasal 39-Pasal 39A dan Pasal 43 ayat (1))

1

yang melakukan perbuatan (plegen, dader);

   orang yang melakukan perbuatan tindak pidana;

   orang yang menurut maksud pembuat UU harus dipandang yang bertanggung jawab;

   orang yang mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang itu berlangsung terus.

6

6

 

 

 

2

yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader);

   orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dengan perantara orang lain;

   perantara yang digunakan hanya sebagai 'alat' (alat sebagai 'pembuat materiil');

   orang yang menurut maksud pembuat UU harus dipandang yang bertanggung jawab;

   orang yang dapat mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang itu berlangsung terus.

5

 

 

 

 

3

yang turut serta melakukan perbuatan (medeplegen, mededader);

   orang yang bersama-sama melakukan perbuatan tindak pidana;

   ada kerjasama secara sadar, ada pengertian antara orang-orang yang melakukan kejahatan;

   yang melakukan suatu perbuatan dengan tujuan yang sama;

   hanya melaksanakan sebagian saja dari unsur-unsur delik tersebut.

 

4

 

4

 

 

4

yang menganjurkan supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker);

   ada kesengajaan menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana;

   menggerakkannya dengan menggunakan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP;

   putusan kehendak dari pembuat materiil ditimbulkan karena ada kausalitas dari hal-hal 1 dan 2 di atas;

   ada penganjuran ketika pembuat materiil sudah melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau sudah ada percobaan melakukan tindak pidana;

   pembuat materiil tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

3

 

 

3

 

5

yang membantu melakukan perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige)

   tidak harus ada kerjasama yg disadari;

   merupakan perbuatan pelaksanaan;

   tidak mempunyai kepentingan/tujuan sendiri.

   Tidak termasuk perbuatan pelaksanaan melainkan perbuatan yang mempermudah terjadinya suatu tindak pidana.

2

 

 

 

2

PROPORSI

Jumlah Koefisien Tiap Pelaku

 

12

8

6

4

4

Jumlah Koefisien 

 

 

 

34

 

Persentase Proporsi

 

35,29%

23,53%

17,65%

11,76%

11,76%

Jumlah KpPN (Rp) 

 

 

 

10.000.000.000

 

Proporsi KpPN (Rp)

 

3.529.411.765

2.352.941.176

1.764.705.882

1.176.470.588

1.176.470.588


Pembahasan

Penghitungan Proporsi Kerugian pada Pendapatan Negara untuk Masing-Masing Pelaku

Sesuai dengan tabulasi di atas, didapat hasil proporsi kerugian pada pendapatan negara untuk masing-masing pelaku tindak pidana baik orang pribadi maupun korporasi. Penghitungan proporsi dilakukan dengan cara memberikan pembobotan terhadap kualifikasi kesengajaan dan kualifikasi perbuatan sehingga diperoleh nilai proporsi masing-masing pelaku untuk selanjutnya dikalikan dengan keseluruhan nilai kerugian pada pendapatan negara yang menghasilkan jumlah proporsi kerugian pada pendapatan negara untuk masing-masing pelaku.

Berdampak dan Ber-outcome Lebih

Metode ini diharapkan dapat melengkapi contoh penghitungan proporsi kerugian pada pendapatan negara sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 44B Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Selain itu, hasil lebih yang diharapkan dari penghitungan kerugian pada pendapatan negara secara proporsional adalah terwujudnya penegakan hukum yang lebih berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum. Lebih berkeadilan karena sesuai dengan penjelasan Pasal 44B Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, masing-masing pelaku tindak pidana akan dibebani denda sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya. Kepada pelaku utama akan dibebani denda yang lebih besar dibandingkan dengan denda yang dibebankan kepada pelaku turut serta. Ketentuan proporsi diharapkan juga akan membawa kemanfaatan yang lebih karena kepada para pelaku tindak pidana tidak dibebankan seluruh denda, tetapi sebagian denda sesuai proporsinya, sehingga para pelaku lebih mungkin untuk membayar kerugian pada pendapatan negara. Lebih lanjut, dengan adanya penghentian penyidikan demi kepentingan umum, biaya untuk tahap penegakan hukum selanjutnya seperti pengeluaran negara pada lembaga pemasyarakatan menjadi tidak ada. Dengan kata lain, ketentuan proporsional semakin berkemanfaatan karena lebih membuka kesempatan bagi wajib pajak/tersangka untuk menghindari pemidanaan, mendukung pencapaian penerimaan negara, dan menghemat pengeluaran negara. Selain itu, pembebanan denda secara proporsional juga akan meningkatkan kepastian hukum karena masing-masing pelaku tindak pidana terbuka untuk mengetahui besaran denda yang dibebankan kepadanya untuk kemudian dapat diajukan penghentian penyidikan terhadap dirinya tanpa bergantung pada penanganan pidana terhadap tersangka lain.

 

Kesimpulan

Penghitungan proporsi kerugian pada pendapatan negara untuk masing-masing pelaku tindak pidana, baik orang pribadi maupun korporasi, dilakukan dengan cara memberikan pembobotan terhadap kualifikasi kesengajaan dan kualifikasi perbuatan. Hasil penghitungan ini diharapkan dapat berwujudnya penegakan hukum yang lebih berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum. Masing-masing pelaku tindak pidana akan dibebankan denda sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya, dengan pelaku utama dibebankan denda yang lebih besar dibandingkan dengan denda yang dibebankan kepada pelaku turut serta. Ketentuan proporsi juga diharapkan akan membawa kemanfaatan karena para pelaku tindak pidana tidak dibebankan seluruh denda, tetapi sebagian denda sesuai proporsinya, sehingga para pelaku lebih mungkin untuk membayar kerugian pada pendapatan negara. Selain itu, dengan adanya penghentian penyidikan demi kepentingan umum, biaya untuk tahap penegakan hukum selanjutnya seperti pengeluaran negara pada lembaga pemasyarakatan menjadi tidak ada. Pembebanan denda secara proporsional juga akan meningkatkan kepastian hukum karena masing-masing pelaku tindak pidana terbuka untuk mengetahui besaran denda yang dibebankan kepadanya untuk kemudian dapat diajukan penghentian penyidikan terhadap dirinya tanpa bergantung pada penanganan pidana terhadap tersangka lain.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adiyanta, F. C. S. (2018). Kebijakan Penghapusan Sanksi Administrasi Perpajakan sebagai Stimulus Peningkatan Penerimaan Negara dari Sektor Pajak (Studi Evaluatif Normatif Kebijakan Perpajakan Nasional). Administrative Law and Governance Journal, 1(2), 165–181.

Al-Rasyid, H. H., & SH, M. (2019). Fikih Korupsi. Prenada Media.

Ali, H. Z. (2022). Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Sinar Grafika.

Ali, M. (2018). Proporsionalitas dalam Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 25(1), 137–158.

Amalia, R. (2021). Gagasan Memasukkan Biaya Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Ke Dalam Skema Pidana Denda Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berry III, W. W. (2011). Promulgating Proportionality. Ga. L. Rev., 46, 69.

Duff, A., & Garland, D. (1994). A reader on punishment.

Kofman, F., & Senge, P. M. (1993). Communities of commitment: The heart of learning organizations. Organizational Dynamics, 22(2), 5–23.

Laksana, A. D. (2021). Kebiri Kimia dan Pelaku Kekerasan Seksual oleh Pedofil-Jejak Pustaka. Jejak Pustaka.

Lasmadi, S., & Sudarti, E. (2021). Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Pencucian Uang. Refleksi Hukum Jurnal Ilmu Hukum, 5(2), 199–2018.

Lerner, C. S. (2014). Does the Magna Carta Embody a Proportionality Principle. Geo. Mason UCRLJ, 25, 271.

Nugroho, A. D., & SH, A. (2018). Hukum Pidana Pajak Indonesia. PT Citra Aditya Bakti.

Patricia, M. B. S. (2017). Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak dan Penerapan e-filing terhadap Kepatuhan Wajib Pajak (Studi pada UMKM yang terdaftar di KPP Pratama Candisari Semarang). Diponegoro University.

Prince, J. D. (1904). The code of Hammurabi. University of Chicago Press.

Rahmadi, Z. T., & Wahyudi, M. A. (2022). Implikasi kehadiran undang-undang HPP dan insentif perpajakan sehubungan covid 19 terhadap kewajiban perpajakan klaster PPN. Rekaman: Riset Ekonomi Bidang Akuntansi Dan Manajemen, 6(1), 33–41.

Siregar, G., & Silaban, R. (2020). Hak-Hak Korban Dalam Penegakan Hukum Pidana. CV, Manhaji Medan.

 

 

Copyright holder:

Wahyu Widodo, Rizki Piet Darmawan, Ariesto Narindro (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: