Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 12, Desember 2022

 

RIBA PERSPEKTIF MADZHAB SYI’AH ITHNA ‘ASY’ARIAH: ANALISIS AYAT RIBA DALAM TAFSIR MAJMA AL-BAYAN FI TAFSIR AL-QURAN KARYA AL-THABARISI

 

Alif Hibatullah

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Indonesia.

Email: [email protected] 

 

Abstrak

Riba merupakan tambahan dari pinjaman dan ini diharamkan dalam Islam. Dan telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Umat Islam sebagai agama yang merujuk Al-Qur’an sebagai pedoman hidup faktanya memiliki berbagai aliran yang memiliki perbedaan hukum dan ideologi. Tetapi dalam diskursus riba dua kelompok Islam yakni Syi’ah dan Sunni memiliki persamaan tentang haramnya riba. Maka dari itu penelitian ini dilakukan. Metode yang digunakan adalah kualitatif. Dari hasil penelitian menunjukkan al-Thabarsi sebagai salah satu tokoh Syi’ah Ithna ‘Asy’ari merumuskan hukum riba memiliki tiga kandungan Pertama, riba sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, dan hal ini menjadi alasan di balik penurunan ayat-ayat yang melarang praktik riba. Kedua, larangan terhadap riba didasarkan pada kepedulian terhadap orang-orang yang berada dalam kesulitan; dengan menghindari riba, orang yang mampu dapat membantu orang yang kurang mampu. Ketiga, hal ini juga menyangkut prinsip keadilan, karena memberlakukan tambahan atas pinjaman akan memberatkan pihak yang meminjam, dan hal ini tidak adil serta berpotensi menciptakan ketidaksetaraan sosial.

 

Kata kunci: Riba; Tafsir; Syi’ah; al-Thabarsi

 

Abstract

Usury is in addition to loans and is prohibited in Islam. And it has been explained in the Koran. In fact, Muslims as a religion that refers to the Koran as a guide to life have various sects that have different laws and ideologies. However, in the discourse on usury, two Islamic groups, namely Shi'ites and Sunnis, have similarities regarding the prohibition of usury. Therefore this research was carried out. The method used is qualitative. The results of the research show that al-Thabarsi, as one of the Shi'ite Ithna 'Ash'ari figures, formulated the law of usury as having three contents. First, usury has existed since the time of the Prophet Muhammad, and this is the reason behind the decline of verses that prohibit the practice of usury. . Second, the prohibition against usury is based on concern for people in difficulty; By avoiding usury, people who are capable can help people who are less fortunate. Third, this also concerns the principle of justice, because imposing additional loans will burden those who borrow, and this is unfair and has the potential to create social inequality.

 

Keywords: Usury; Interpretation; Shia; al-Tabarsi

 

Pendahuluan

Salah madzhab agama di Dunia yang kita kenal adalah Syi’ah, yang berkayakinan dan berbudaya mendewa-dewakan manusia, serta menganggap orang yang lebih berilmu adalah orang yang sangat suci hal ini sangat sesuai dengan orang-orang Persia yang kala itu mereka baru menerima Islam dan mengkorelasi keduanya. Negara Iran, Irak, Pakistan serta Negara-negara yang terkenal saat ini membawa aliran Syi’ah.  Secara konteks bahasa Syi’ah bermakna pengikut atau pendukung, namun seiring berkembangnya zaman istilah ini jika di dalam Islam dikenal sebagai kaum yang memiliki keyakinan kuat bahwa Ali lah yang seharusnya menjadi khalifah pertama yang menggantikan Nabi Muhammad setelah wafat dan bukanlah Abu bakar. 

Melalui sejarahnya Syi’ah ini hadir pada akhir masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan, sebagai aliran madzhab yang berpolitik kala itu. Kala itu mereka mengangumi segala tindakan Ali dari bakat yang dimilikinya, kekuatan Ali di dalam agama, serta ilmu yang dimilikinya. Maka, mereka membuat propaganda terhadap apa yang mereka kagumi dan mereka eksplorasi lebih dalam mengenai apa yang mereka kagumi dari Ali dan menyebarkannya. Jika dilihat tidak hanya faktor politk yang menjadi penyebab dari propaganda ini akan tetapi memang ada unsur kesengajaan yang dirancang sedemikian rupa untuk memecah umat Islam yang mana penyebarannya sudah cukup matang mereka perhitungkan. Diketahui, Syi’ah terpecah menjadi empat kelompok besar yang membentuk sekte-sekte Syi’ah yaitu Ithna ‘Asy’ariyah, Isma’iliyah, Zaidiyah dan Ghulat (ekstremis).

Syi’ah memiliki aqidah yang berbeda dengan kaum Sunni. Hingga dua kelompok ini sering bertikai. Akidah yang berbahaya bagi kaum Syi’ah adalah keyakinan bahwa kaum Sunni adalah musuh yang harus dibenci, dimarahi, dan dihujat. Sebaliknya, dalam pandangan kaum Sunni, Syi’ah dianggap sebagai musuh utama. Hal ini menyebabkan mereka menyebut Sunni dengan sebutan al-Nawasib, yang merujuk pada orang-orang yang sangat membenci Syi’ah. Oleh karena itu, beberapa syaikh dan fuqaha Syi’ah berpendapat bahwa musuh sejati bagi kaum Syi’ah adalah kaum Sunni, bukan pihak lain.

Meski beridiologi berbeda, faktanya, ditemui beberapa kesamaan pandangan antara kaum Syi’ah dengan Sunni. Seperti dalam hukum riba. Kedua belah pihak sepakat bahwa riba hukumnya haram. Seperti yang diungkapkan seorang bermadzhab Syi’ah yang dikenal bersifat moderat imam al-Thabarisi dalam tafsir Majma’ al-Bayan fi Tafsir Alquran. Tentu hal ini menarik dikaji, bagaimana bisa sosok berideologi Syi’ah tetapi pemikirannya tidak seekstrim Syi’ah pada umumnya, khususnya dibidang hukum riba. Artikel ini bertujuan menganalisa pemikiran al-Thabarisi tentang hukum riba.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Merupakan pendekatan yang melibatkan data dari lapangan, interaksi simbolik, studi kasus, studi deskriptif, observasi, wawancara, data kepustakaan. Sehingga teori seperti etnometodologi, phenomenologik, kebudayaan dan lainnya, teori tersebut sifatnya tidak pasti atau mapan. Menganalisa dari fenomena-fenomena manusia dari segi simbol yang kemungkinan dapat berubah.

 

Hasil dan Pembahasan

Melalui perspektif bahasa Syi’ah bermaknakan pengikut, pengagum, pecinta sahabat Nabi yakni Ali bin Abi Thalib.  Tsyayu’ merupakan kata yang tepat untuk disandingkan dengan Syi’ah yang berartikan patuh tanpa keraguan dan dengan keikhlasan. Sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam surah al-Shaffat ayat 83 menerangkan penggunaan kata Syi’ah:

۞ وَاِنَّ مِنْ شِيْعَتِهٖ لَاِبْرٰهِيْمَ ۘ

“Dan sesungguhnya Ibrahim termasuk golongannya (Nuh)”

Maksudnya, keduanya mempunyai kesamaan dalam hal keimanan kepada Allah dan pokok-pokok ajaran agama.

Sedangkan secara terminologi ada banyak pendapat mengenai Syi’ah sendiri, di antara yang berpendapat tentang pengertian Syi’ah adalah pengikut Islam yang berpaham melalui garis keturunan Nabi Muhammad, Ali sebagai sepupu Nabi Muhammad, sekaligus suami serta menantu dari anaknya Rasulullah yaitu Fatimah al-Zahra yang dilahirkan dari seorang wanita bernama Khadijah dan memiliki anak bernama Hasan serta Husein bin Ali. Pengerian tersebut dikemukakan oleh Ikatan Jama’ah Ahlu Bayt Indonesia (IJABI) yaitu ketuanya Jalaludin Rahmat. Adapun Syi’ah adalah kaum Muslimin yang berpendapat bahwa yang berhak menggantikan kenabian Nabi Muhammad setelah wafat adalah Ali karena beliau merupakan Ahlu Bayt dari Rasulullah sendiri, selain itu keilmuannya yang istimewa dan kebudayaan yang dimiliki Ahlu Bayt, hal tersebut dikemukakan oleh Muhammad Husain Attabi’i dalam buku karangannya.  Bagi Ali Muhammad al-Jurjani Syi’ah merupakan pengikut Ali bin Abi Thallib yang percaya bahwa Ali merupakan imam yang tepat setelah kematian Rasul, hal tersebut dikutip oleh mufasir Indonesia yaitu Quraish Shihab berdasarkan perspektif Ali Muhammad.  Lebih lanjut buku Ensiklopedi Islam mendefinisikan Syi’ah yakni kelompok atau jama’ah atau aliran yang menganggap bahwa Ali bin Abi Thallib serta keturunannya merupakan imam atau para pemimpin agama setelah Rasulullah wafat.

Sejarah munculnya Syi’ah perspektif Sirajuddin Abbas bahwa Syi’ah sudah muncul sejak zaman sahabat, dia menyebut Syi’ah lahir diakibatkan rasa dendamnya kepada kaum muslim dikarenakan ketika mereka masuk Islam tidak mendapat sambutan yang baik. Sehingga muncul dalam dirinya keinginan menghancurkan Islam dengan cara mengkultuskan Ali dan keturunannya.

Pendapat itu dibantah oleh Quraish Shihab, hal tersebut menuai kontradiktif karena menurutnya ini adalah propaganda yang tidak mungkin dibuat oleh orang Yahudi, karena orang Yahudi tidak mungkin dapat mempengaruhi sahabat Nabi. Tokoh yang bernama Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif yang sengaja dibuat untuk menciptakan konspirasi.

Sedangkan Syi’ah Ithna Asy’ariah imamiah sendiri muncul ketika wafatnya imam Ja’far al-Saddiq yang menimbulkan perpecahan hingga terbentuk dua kelompok Syi’ah besar yakni Syiah Ithna Asy’ariah Imamiah dan Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah. Mereka saling bertikai terkait siapa pengganti dari imam Ja’far al-Saddiq, ada yang berpihak mengangkat Musa al-Khazim dengan alasan telah ditunjuk oleh Imam Ja’far al-Saddiq secara tekstual.

Aliran atau Sekte dalam Syi’ah Abu al-Khair al-Baghdadi, menurutnya perbedaan aliran yang terdapat dalam Syi’ah terjadi karena adanya perbedaan pendapat serta prinsip setelah pergantian dari satu imam ke imam lainnya, diketahui terdapat enam imam yang setelahnya terbagi aliran Syi’ah ini kedalam empat aliran yaitu Zaidiyyah, Isma’iliyyah, Ithna Asy’ariyah, Ghulat (Ekstremis). Keenam imam tersebut adalah Imam al-Husein sebagai Imam ketiga, setelahnya Ali Zaenal Abidin Imam Keempat lalu Ja’far Sadiq sebagai Imam keenam.

Syi’ah Ithna ‘Asy’ariAda banyak sekte dalam Syi’ah salah satunya adalah Ithna ‘Asy’ari. Dalam tulisan ini akan fokus pada kajian Syi’ah Ithna ‘Asy’ari dan pandangannya atas hukum riba. Diawali membahas pengertian dan sejarah Ithna ‘Asy’ari: 

 

Pengertian dan sejarah Syi’ah Ithna Asy’ari

Kembali pada pengertiannya secara bahasa Syi‘ah Ithna ‘Asy’ariyyah atau Syi‘ah yang percaya dengan konsep dua belas imam yang berhak memimpin semua kaum Islam.  Ithna ‘Asy’ariyah dalam segi bahasa merupakan sebuah terminologi dalam bahasa arab yang berarati dua belas. Secara etimologi Syi’ah Ithna ‘Asy’ariyah golongan atau aliran memiliki paham konsep dua belas. Sama halnya dengan terminologi menurut Ahmad Amin definisi Syi’ah Ithna ‘Asy’ariyah adalah aliran Syi’ah Imamiyah yang berpegang teguh pada keyakinan bahwa imam yang ma’sum ada dua belas orang.

Sejarah Syi’ah Ithna ‘Asy’ariyah menurut Ahmad Syalabi lahir setelah terbentuknya kedua belas imam tersebut pada abad ketiga.  Dalam sejarah perkembangannya terdapat dua periode penting masa penyebaran Syi’ah Ithna ‘Asy’ariyah yaitu pada masa kekhalifahan bani ‘Abbasiyyah yang di bawahi oleh dinasti Buwaihi pada tahun 932-1026 M. Pada masa itu para penguasa dinasti Buwaihi menganut paham agama mereka adalah Syi’ah. Tahun lainnya pada periode 1502 M, dari periode tersebut berlaku hingga kini di Iran paham Syi’ah ini dijadikan aliran sebagai paham yang resmi  di Negara Persia Baru serta menjadi resmi bagi madzhab di republik Islam Iran.

Ajaran Ithna ‘Asy’ari Pokok dari ajaran yang kita ketahui melaui sejarahnya adalah mengenai kekhilafahan yang akhirnya bercampur dengan keagamaan, yang mana ajaran-ajaran terpenting di dalam Syi’ah Ithna ‘Asy’ari aliran ini adalah imamah, ismah, taqiyyah, marja’iyyat al-Taqlid, yang wajib di jalankan bagi penganutnya. Ajaran itu bagi Ithna ‘Asy’ari merupakan bagian dari qat’iyyah. Berbeda dengan ahlu al-sunnah yang memasukkan ajaran tersebut pada wilayah furu’iyyat.

 

 

Pengertian Riba

Kata riba memiliki beberapa pengertian, antara lain bertambah dan tumbuh dalam konteks harta.  Riba mengandung pengertian manfaat atau keuntungan yang diperoleh oleh si pemberi riba dari orang yang berhutang kepadanya. Secara epistemologis, riba memiliki beberapa pengertian, antara lain, riba adalah tambahan yang tidak terkait dengan ganti yang dijadikan syarat oleh dua orang yang berakad (dalam jual beli). Dalam istilah syariah, riba berarti tambahan yang diberikan oleh debitor kepada kreditor disebabkan oleh penangguhan waktu atau oleh berbedanya jenis barang.

 

Sejarah Riba

Dalam masyarakat Arab pra Islam sebelum Nabi hingga beberapa waktu ketika Rasulullah. memperkenalkan agama Islam, riba dipraktikkan secara luas dalam beberapa bentuk. Berikut ini dikutip beberapa keterangan dari beberapa sumber yang daripadanya dapat dilihat beberapa bentuk riba yang dipraktikkan di zaman jahiliah.

Dalam kitab tafsir Ahkam al-Qur'an “Riba yang dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat Arab jahiliah) itu sesungguhnya adalah mengkreditkan (meminjamkan) uang dirham atau dinar untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan atas jumlah yang dipinjam sesuai dengan kesepakatan mereka. Inilah praktik yang populer di kalangan mereka.”

Dalam at-Tafsir al-Kabir “Mereka menyerahkan harta (uang) dengan ketentuan bahwa mereka akan mengam bil tam bahan sejumlah tertentu setiap bulan, sementara pokok modalnya tetap. Bilamana hutang itu sudah jatuh tempo, mereka menagih pokok modalnya kepada debitur. Jika debitur tidak dapat mengembalikannya, mereka menambah hutangnya sebagai imbalan penangguhan.”

Dalam tasfir Jami’ al-Bayan, meriwayatkan dari Qatadah “Dari Qatadah (diriwayatkan) bahwa riba Jahiliah itu berbentuk seseorang melakukan jual beli dengan pembayaran di belakang, maka apabila pernbayarannya telah jatuh tempo sementara pembeli tidak dapat melunasinya, maka pembeli memberi tambahan kepada penjual dan penjual memberi penangguhan kepada pembeli.”

Dari riwayat dan kutipan-kutipan di atas terlihat bahwa riba Jahiliah itu merupakan riba hutang pihutang. Hutang itu ada kalanya bersumber kepada akad hutang pihutang (perminjaman) dan ada kalanya bersumber kepada akad jual beli dengan pembayaran di belakang (tidak tunai) dan termasuk pula akad salam. Bentuk ribanya meliputi tambahan (bunga) atas pinjaman yang diperjanjikan pada waktu akad, dan bunga (denda) atas keterlambatan pelunasan. Dari segi objek transaksi hutang tersebut, terlihat bahwa obyeknya adakalanya uang (dinar dan dirham), ada kalanya buah-buahan, dan bahkan juga adakalanya unta. Untuk buah-buahan ribanya berbentuk pelipat gandaan jumlahnya, dan untuk unta ribanya adalah dengan menukar untanya menjadi unta yang berusia lebih tua.

 

Macam-Macam Riba

Sesuai dengan konteks pengertian dan pelaksanaanya ada beberapa penggolongan dari riba menurut jenisnya yaitu riba fadhli, riba nasi’ah, riba yad dan riba qardhli. Riba fadhli merupakan sebuah bentuk tambahan yang diisyaratkan dalam tukar menukar barang yang sejenis atau barter dengan tanpa imbalan tambahan.  Perumpamaan dalam riba fadhli adalah menukar beras 10 kg dengan beras 11 kg. Hal ini termasuk riba fadhli. Tetapi apabila menukar dengan sesuatu yang tidak sejenis maka hukumnya dibolehkan. Misalnya menukar beras ketan sebanyak 10 kg dengan beras 12 kg.

Riba Nasi’ah menurut Sayid Sabiq merupakan tambahan yang disyaratkan diambil kembali oleh yang memberikan pinjaman sebagai imbalan penundaan pembayaran. Menurut ulama hanafiah riba nasi’ah merupakan bentuk jual beli barter yang tidak ada kelebihan tetapi penyerahan imbalan atau harga di berikan diakhir. Riba nasi’ah hukumnya haram menurut Alquran dan fiqih. Riba nasi’ah ini dikenal juga dengan sebutan riba jahiliyyah. Hal ini dilatar belakangi kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang memberikan pinjaman kepada seseorang dan pada saat sudah jatuh tempo, mereka menawarkannya untuk diperpanjang atau tidak sehingga riba ini beranak pinak. Riba nasi’ah pada saat sekarang ini dilembaga-lembaga keuangan atau perbankan yaitu dengan model pinjaman uang yang pengembaliannya diangsur dengan bunga bulanan atau tahunan seperti 5%, 10%, dan seterusnya. Praktek seperti ini jelas menunjukkan riba nasi’ah yang hukumnya dosa.

Riba Yad adalah kegiatan jual beli atau tukar menukar dengan cara mengakhirkan penerimaan kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa menyebutkan masanya. Dengan kata lain, jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang yang dibelinya kemudian dia tidak boleh menjualnya lagi kepada siapa pun sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang pertama. Dengan kata lain akad sudah final, namun belum ada serah terima barang.

Riba Qardli adalah semua bentuk praktik hutang piutang yang di dalamnya terdapat motif keuntungan (syarth naf’an) yang kembali kepada pihak pemberi pinjaman hutang (muqaridl) saja atau sekaligus kepada pihak yang berhutang (muqtaridl). Secara substansi, riba qardl ini termasuk kategori riba faddli dikarenakan keuntungan yang disyaratkan dalam riba qardl adalah bentuk penambahan atau bunga pada salah satu komoditi ribawi.

 

Biografi Imam Thabarsi

Nama lengkap tokoh syiah dalam penelitian ini adalah Abu Ali l-Fadll bin l-Hasan al-Thabarsi, hidup hingga usia 90 tahun dan lahir di Thabaristan pada tahun 462 H. Setelah tinggal di Masyhad dan Sibzawar, beliau wafat di Sibzawar. Tahun wafatnya kontroversial, disebutkan 561 H atau malam Idhul Adha tahun 548 H. Lokasi makamnya juga menjadi perdebatan, dengan pendapat yang berbeda antara Qotlakah dan Thous yang terkenal. Dia adalah ulama terkemuka dengan budi pekerti mulia, dihormati sebagai rujukan oleh ulama lain pada masanya. Keahliannya mencakup tafsir, fiqih, dan hadits, sehingga beliau dikenal dengan sejumlah gelar prestisius.

Sebagai tokoh intelektual, al-Thabarsi tentu telah belajar kepada banyak guru, di antara guru-gurunya adalah syekh al-Imam al-Sa’id al-Zahid Abi Fath Abdillah bin Abdil Karim bin Hauzan al-Qasyiri, Syekh Abi Wafa’ Abdul Jabbar bin Ali al-Muqri’ al-Razi, syekh Imam Muwaffaq din bin al-Fath al-Wa’idh al-Bakr Abadi, Syekh Abil Hasan Ubaidillah Muhammad bin Hasan al-Baihaqi, Sayyid Abi Thalib Muhammad bin al-Husain al-Husaini al-Jarjani, Syekh al-Ajal al-Hasan bin bin al-Husain bin al-Hasan bin Babaweh al-Qummi al-Razi, Syeh Abu Ali al-Thusiy.

Al-Thabarsi, seorang mufassir Syiah Imamiyyah Isna’ al-‘Asy’ariyyah atau dikenal sebagai Syiah Ja’fariyyah, aktif pada abad ke-6 H. Merupakan penerus al-Imam al-Tusi dan sangat dipengaruhi oleh riwayat-riwayat dari gurunya, meskipun terdapat perbedaan di antara keduanya. Al-Thabarsi juga mengembangkan akidah Syiah dengan sebagian pemahaman Mu’tazilah. Meskipun membela mazhabnya dan memahami kitabullah sesuai dengan akidahnya, namun tidak terlalu fanatik dalam membela akidahnya pada penafsiran ayat-ayat al-Qur’an karena memiliki pemahaman Syi’ah yang moderat.

Keberhasilan al-Thabarsi dalam memahami seluruh bidang ilmu terlihat melalui karyanya yang tertuang dalam bentuk tulisan. Beberapa karya tulisnya meliputi Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an sebanyak 10 jilid, al-Wafi fi Tafsir al-Qur’an al-Wasit sebanyak 4 jilid, al-Wajiz sebanyak 2 jilid, A’lam al-Huda sebanyak 2 jilid, Misykah al-Anwar, Risalah Haqaiq al-Umur, ilmu al-Faraid (dalam Bahasa Persi), Kitab Syawahid al-Tanzil li Qawaid al-Tafdhil, Kitab al-Jawahir (Ilmu Nahwu), dan Nasr al’Ali.

Analisis Kitab Majma’ al-Bayan Fi Tafsir Alquran

Ada kisah menarik dari latar belakang kepenulusan kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsir Alquran. Pada suatu waktu, imam al-Thabarsi mengalami kekakuan di seluruh tubuhnya, sehingga orang di sekitarnya mengira bahwa dia sudah meninggal dunia. Akibatnya, dia dimandikan, dikafankan, disholatkan dan dikuburkan dengan keyakinan bahwa dia telah meninggal. Namun, tidak lama setelah itu, imam al-Thabarsi sadar dari keadaan kekakuan tersebut dan berusaha keluar dari kubur. Saat itulah, dia membuat perjanjian dengan Allah bahwa jika diselamatkan dari musibah yang dihadapinya, dia akan menulis sebuah kitab ilmu tafsir. Janji tersebut diucapkan dengan sungguh-sungguh. Beberapa hari kemudian, sekelompok orang datang untuk menggali kuburnya dan menemukan imam al-Thabarsi masih hidup. Mereka membantunya keluar dari kubur dan membawanya pulang. Imam al-Thabarsi menulis kitab Majma’ al-Bayan karena terinspirasi oleh kitab al-Tibyan karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan al-Thusi. Selain itu, permintaan dari Maulana al-Amir Muhammad bin Yahya bin Hibatulloh al-Husain juga mendorongnya. Melalui pengalaman unik, di mana dia membuat perjanjian dengan Allah setelah mengalami kejadian aneh tersebut, imam al-Thabarsi memenuhi janjinya dan menghasilkan kitab Majma’ al-Bayan, sebuah karya tafsir penting bagi golongan Syi’ah pada masanya.

Imam al-Thabarsi menyusun kitab Majma’ al-Bayan dengan pendekatan yang mempermudah pembaca dalam memahami ayat Al-Qur’an, meskipun memiliki kecenderungan Syi'ah dan hampir serupa dengan tafsir Sunni. Dalam penulisan, al-Thabarsi mengadopsi pendekatan yang mirip dengan al-Thusi. Dia menjelaskan ayat Al-Qur’an melalui berbagai bidang ilmu agama, termasuk cara membaca ayat dengan riwayat yang beragam, memberikan hujjah ayat untuk membentuk atau memperkuat hukum, merinci makna inti dari ayat, menjelaskan I’rab dari lafadz-lafadz pada ayat, dan menyajikan makna ayat secara keseluruhan untuk menghasilkan kandungan, hukum, atau kesimpulan. Dengan struktur penulisan yang rapi, tafsirnya dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.  Imam al-Thabarsi dalam kitab Majma’ al-Bayan memberikan penjelasan komprehensif tentang hukum fiqih dengan merinci pandangan-pandangan ahli fiqih. Penjelasan tersebut mencakup perspektif dari kalangan Syi’ah dan juga dari kelompok lainnya.

 

Pengertian riba dan kisahnya

Al-Thabarsi memberikan pengertian riba dari tafsir surat al-Baqarah ayat 275 adalah berasal dari ungapan mereka yang mengatakan bahwa riba adalah sesatu yang meningkat ketika ditambah, riba adalah penambahan dari modal. Dan seseorang terlibat dalam riba jika dia berurusan dengan segala sesuatu tentang riba, seperti dalam hadis: “Barangsiapa melakukanya, maka ia telah terlibat di dalamnya.”

Al-Thabarsi melanjutkan dengan meriwatkan hadis Nabi berkata kepada syuhada Uhud: Ikutlah mereka dengan darah dan pakaian mereka. Dan beliau juga bersabda: “Umatku akan bangkit dari kubur-kubur mereka di hari kiamat dalam keadaan telanjang, namun terlihat bekas wudhu pada mereka.” Dan diriwayatkan darinya bahwa beliau bersabda: “Ketika saya di Isra Mi’raj ke langit, saya melihat sekelompok pria dengan perut mereka seperti rumah yang di dalamnya ada belatung yang terlihat dari luar perut mereka.” Lalu Rasulullah berkata, “Siapakah mereka, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah pemakan riba. Kemduian riwayat dari para sahabat kami dari Abu Abdullah bahwa Rasul bersabda: “Ketika aku diangkat ke langit, aku melihat sekelompok orang yang ingin bangun tapi tidak mampu karena perut mereka begitu besar.” Aku bertanya “Siapakah ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan riba, mereka tidak akan bisa bangun kecuali seperti bangkitnya orang yang disentuh oleh setan.” Mereka berada di jalan keluarga Fir'aun, dihadapkan pada api neraka pagi dan petang, sambil berkata, “Wahai Tuhan kami, kapan terjadinya kiamat?”

Lebih lanjut Ibnu Abbas menjelaskan orang-orang dari mereka, ketika utangnya jatuh tempo kepada seseorang dan orang tersebut meminta lunasannya, pihak yang diminta berkata kepadanya: “Tambahkan aku waktu jatuh tempo pembayarannya dan aku akan menambahkan uang untukmu” kemudian keduanya bersepakat dan melaksanakannya. Ketika dikatakan kepada mereka: Ini adalah riba, mereka berkata: “Keduanya sama, yang berarti penambahan nominal dalam transaksi karena penundaan pembayaran sama dengan peningkatan dalam transaksi karena adanya utang yang belum dilunasi. Allah mengutuk dan mengancam mereka.

 

Konsep Pemerataan Ekonomi Dan Kasih Sesama Dalam Hukum Riba

Ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 278, al-Thabarsi menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far al-Baqir, bahwa al-Walid bin al-Mughirah dibesarkan pada masa Jahiliyah dan masih ada sisa hutang riba yang harus diambilnya di Thaqif. Kemudian Khalid bin al-Walid ingin menagih hutang tersebut setelah dia memeluk Islam, maka turunlah ayat tersebut. Al-Suddi dan ‘Ikrimah mengatakan “Ayat tersebut turun berkaitan dengan sisa hutang riba yang dimiliki oleh al-Abbas dan Khalid bin al-Walid.” Mereka berdua merupakan rekan dalam praktik riba pada masa Jahiliyah, mereka meminjamkan uang dengan riba kepada bani Amir bin ‘Umayr dan orang-orang Thaqif. Ketika Islam datang, keduanya memiliki banyak harta dari riba, maka turunlah Allah ayat ini. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan, dan riba pertama yang aku hapus adalah riba al-Abbas bin Abdul Muttalib. Dan setiap darah dari darah jahiliyah telah dihapus, dan darah pertama yang aku hapus adalah darah Rabi’ah bin al-Harith bin Abdul Muttalib” Ketika dia disusui oleh Bani Lih dan kemudian dibunuh oleh Hudhayl.

Mukatil berkata “Turun dalam empat saudara dari suku Thaqif Mas’ud, Abd Yalil, Habib, Rabi’ah, mereka adalah keturunan ‘Amr bin ‘Umair bin ‘Al-Thaqafi Mereka memiliki hutang kepada Bani Al-Mughirah, ketika mereka masih muda. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di Thaqif dan berdamai dengan suku Thaqif, keempat saudara ini memeluk Islam. Mereka kemudian menuntut hutang mereka dari bani al-Mughirah dan mengajukan sengketa kepada ‘Utba bin Asid, wali Rasulullah di Makkah. ‘Utba menulis surat kepada Nabi tentang peristiwa tersebut, lalu Allah menurunkan ayat ini.

Dari sejarah adanya riba tersebut, Allah merespon dengan memberikan hukum tentang riba dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang jelas memberikan kemudahan kepada mereka yang berhutang. Ketika Allah memerintahkan pengambilan modal dari orang yang mampu untuk memberikannya kepada yang membutuhkan, Allah berfirman “وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَة” (Dan jika seseorang itu berada dalam kesulitan) Artinya, jika seseorang jatuh ke dalam hutang, kalian harus membantu yang mengalami kesulitan meskipun mungkin dia merupakan lawan bagi kalian orang yang sulit ditaklukkan. فَنَظِرَةٌ Yang dimaksud adalah, bahwa apa yang diperlakukan dengan tindakan ke arah kemudahan, yaitu keringanan waktu. Yang wajib diperhatikan adalah bentuk kesanggupannya, dan yang dimaksud adalah perintah, yakni untuk memperhatikannya pada waktu keringanan itu. Ada perbedaan pendapat tentang batas kesulitan. Dikatakan dari Abu Abdullah beliau berkata “Ketika seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya dengan cara berhemat. Abu Ali al-Jiba’i mengatakan: Ini adalah kesulitan karena kekurangan makanan atau kekurangan harta benda atau sejenisnya.

Dan terdapat perbedaan pendapat mengenai kewajiban memperhatikan orang yang kesulitan ekonomi dalam tiga pandangan:

Pertama: Bahwa itu kewajiban dalam setiap agama - menurut Ibnu Abbas, Adh-Dhahak, dan Al-Hasan - dan ini adalah riwayat dari Abu Ja’far Ali dan Abu Abdullah.

Kedua: Bahwa itu kewajiban dalam agama riba khususnya - menurut Syarih dan Ibrahim al-Nakha’i.

Ketiga: Bahwa itu wajib dalam agama, riba berdasarkan ayat, dan dalam setiap agama berdasarkan analoginya. Al-Baqir Ali mengatakan: Maksudnya, bahwa informasinya mencapai imam sehingga ia bisa dibayar dari bagian gharim jika ia membelanjakannya untuk kepentingan orang yang diketahui.

Nabi bersabda “Barang siapa memberi kelonggaran kepada orang yang berhutang atau memberikan penghapusan hutang, maka Allah akan memberinya naungan di bawah naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya.” Kemudian juga beliau bersabda: “Barang siapa memberi kelonggaran kepada orang yang berhutang, maka dia akan mendapatkan sedekah setiap hari.”

Dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa jika seseorang mengetahui bahwa orang yang berhutang kepadanya dalam kesulitan, maka diharamkan baginya untuk menagih hutangnya secara paksa. Dia juga harus memberikan kelonggaran kepada orang tersebut dan menunggu hingga orang tersebut mampu membayar. Sedekah dengan harta utama kepada orang yang berhutang adalah lebih baik dan lebih utama daripada menunggu kemampuan orang tersebut.

 

Konsep Keadilan di Balik Hukum Riba

Dalam surat Ali-Imran ayat 130 Allah memberikan pengetahuan kepada hambanya dibalik haramnya riba terdapat manfaat bagi manusia. Alasan larangan riba adalah kebijaksanaan yang Allah ketahui, dan dijelaskan dalamnya alasan-alasan secara rinci. Salah satu diantaranya adalah untuk membedakan antara riba dan jual-beli. Salah satunya adalah bahwa larangan itu mendorong kepada keadilan dan dan mendorong orang untuk menegakkannya. Salah satu alasan larangan riba adalah karena mendorong ke arah akhlak mulia melalui memberi pinjaman dan menunggu orang yang berkekurangan tanpa tambahan, ini merupakan hadis yang diriwayatkan dari Abdullah.

Allah kembali menegaskan larangan riba bersama dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya dalam Surah Al-Baqarah mengenai dua hal tersebut, yakni:

Pertama, Menyatakan larangan setelah disampaikan tentang keharamannya, karena ini menunjukkan ancaman bahaya dan memperingatkan dengan keras.

Kedua, Untuk memperkuat larangan terhadap jenis riba yang melibatkan penggandaan dan pembengkakan.

وَاتَّقُوا الله (Dan bertakwalah kepada Allah) maksudnya adalah takut akan dosa-dosa-Nya. Ada yang mengatakan bahwa memufiati hukuman-Nya dengan meninggalkan dosa-dosa. ada yang mengatakan bahwa bertakwa kepada-Nya adalah dengan meninggalkan dosa-dosa. “(Supaya kamu mendapat keberuntungan).” Artinya, agar dapat meraih kesuksesan yang diharapkan dan mendapatkan ganjaran surga. Kemudian hindarilah perbuatan-perbuatan yang menyebabkan masuk neraka yang telah disediakan bagi orang-orang kafir. Penjelasan dari pernyataan ini adalah bahwa neraka adalah diperuntukkan orang-orang kafir, karena mereka secara sengaja akan memasuki neraka dengan tidak menerima Islam. Artinya amalan-amalan yang telah Allah haramkan kepada manusia hendaknya ditaati. Dalam hal ini adalah larangan riba.

Dan taatlah kepada Allah dalam apa yang Dia perintahkan kepada kalian dan taatlah kepada Rasul dalam apa yang dia tetap untuk kalian, agar kalian diberi rahmat. Ini agar kalian dirahmati dan tidak disiksa. Salah satu pertanyaan yang muncul sehubungan dengan ini adalah mengapa mengulang perintah untuk taat kepada Rasul setelah disebutkan taat kepada Allah. Jawabannya ada dua hal:

Pertama, bahwa tujuannya adalah untuk menekankan pentingnya taat kepada Rasul dalam hal-hal yang dia perintahkan, dengan tujuan akhir tetaplah taat kepada Allah.

Kedua, pengulangan perintah untuk taat kepada Rasul setelah taat kepada Allah dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa siapa pun yang mentaati Rasul dalam hal-hal yang dia ajarkan, itu sama dengan orang yang mentaati Allah dan kemudian dengan cepat melaksanakan perintah Allah.

 

Kesimpulan

Syi’ah adalah pengikut, pengagum Ali bin Abi Thalib. Salah satu sekte Syi’ah adalah Ithna ‘Asy’ari. Definisi Syi’ah Ithna ‘Asy’ariyah adalah aliran Syi’ah Imamiyah yang berpegang teguh pada keyakinan bahwa imam yang ma’sum ada dua belas orang. Ajarannya adalah imamah, ismah, taqiyyah, marja’iyyat al-Taqlid yang wajib diikuti pemeluknya. Ajaran tersebut berseberangan dengan pengikut Sunni. Tetapi, dalam beberapa hal seperti riba keduanya memiliki kesamaan. Riba memiliki Pengertian bertambahnya hutang dari kesepakatan awal. Seperti yang dijelaskan imam al-Thabarsi dalam dalam kitab tafsirnya berjudul Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Ada tiga sisi menarik dari penafsiran al-Thabarsi tentang hukum riba. Pertama, riba sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, itu menjadi latar belakang turunnya ayat tentang riba. Kedua, diharamkannya riba karena akan menyulitkan mereka yang kesusahan, dengan adanya riba orang yang kaya bisa membantu orang yang kurang mampu. Ketiga, konsep keadilan. Riba sebagai tambahan dari pinjaman tentu memberatkan bagi si peminjam, tidak adil apabila orang yang memberi hutang mengenakan tambahan akan menimbulkan kesenjangan sosial.

 

BIBLIOGRAFI

Sjadzali, Munawwir. Islam dan Tata Negara (Jakarta:UI Press, 1990).

Abbas, Sirajuddin. I’tiqad Ahlus-Sunnah, Cet 15 (Bandung: Karya Nusantara, 1989).

Zahrah, Imam Muhammad Abu. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996).

Sahide, Ahmad. “Konflik Syi’ah Sunni Pasca The Arab Spring,” Kawistira Vol 3, No 3, (2013).

Musianto, Lukas S. “Perbedaan Pendekatan Kuantitatif dengan Pendekatan Kualitatif dalam Metode Penelitian,” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol 4, No 2, (2002).

Abdillah Hakim, “Konsep Politik Syi’ah Imamiyah tentang Wilayat Faqih,” Al-Mabsut: Jurnal Studi Islam dan Sosial, Vol 7, No 2, (2013).

Terjemah Quran Kemenag 2019

Thabathaba’i, Muhammad Husayn. Islam Syiah: Asal Usul dan Perkembangannya. Diterjemahkan dari Syi’te Islam. Penerjemah Djohan Effendi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989).

Shihab, M. Quraish. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah: Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Tangerang: Lentera Hati, 2007).

Hoekl, Van. Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoekl, 1997).

Abbas, Sirojudin. I’tikad Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992).

Aprilianto, Dwi Ahmad Suyuti. “Konsep Ijtihad dalam Aliran Syiah: Membedah Perdebatan antara Madzhab Ushuliyah dan Akhbariyah” Akademika Vol 15, No 1, (2021).

Al-Baghdadi, Al-Farq Bayna Al-Firoq (Beirut: Dar-Ma’rifah, t.t).

Manzur, Ibn. Lisan al-‘Arab (Beirut: Daar al-Fikr, 1990).

Zahrah, Abu. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa al-‘Aqaid wa Tarikh al-Mazdahib al-Fiqhiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi).

Amin, Ahmad. Fajr al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdhah, 1975).

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: al-Husna Dzikra, 1983).

Bosworth. Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1993).

Baharun, Mohammad. “Ijtihad dalam Perspektif Ulama Shiah Ithna Ashariyah” Islamica, Vol 1, No 2, (2007).

Sumarti, Sumarti. “Riba Dalam Pandangan Ibnu Katsir: Sebuah Kajian Normatif,” Teraju 2, no. 02 (2020).

Al-Qur’an, Lajnah Pentashihah Mushaf. Pembangunan Ekonomi Umat, (Jakarta: Penerbit Aku Bisa, 2012).

Al-Jasas.s Ahkam Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr li at-Tiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1993).

Ar-Razi. At-Tafsir Al-Kabir, (Tehran: Dar al-Kutub al-’Ilmiyya, n.d.).

Al-Thabari. Tafsir Al-Tabari, (Jami’ Al-Bayan ’an Ta’wil Ayil-Qur’an) Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H).

Muslihun, Muslim. Fiqh Ekonomi, (Mataram: LKIM, 2005).

Ipandang and A Askar, “Konsep Riba Dalam Fiqih Dan Al-Qur’an: Studi Komparasi,” Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum Dan Pendidikan 19, no. 2 (2020).

Muhammad Syafi’i x Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institut, 2011).

Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah: Diskursus Metodologis Konsep Interaksi Sosial Masyarakat (Kediri: Lirboyo Press, 2015).

Muhammad Tajudin, Kontroversi Kemaksuman Rasul Ulu Al-‘Azmi dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir Al-Thabarsi dan Al-Qurtubi) Thesis Magister Studi Ilmu Agama Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Pascasarjana, (2018).

Muhammad Tajudin, Kontroversi Kemaksuman Rasul Ulu Al-‘Azmi dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir Al-Thabarsi dan Al-Qurtubi) Thesis Magister Studi Ilmu Agama Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Pascasarjana, (2018).

Ali Aljufri, Mufidah Aljufri, “AL-TABARSI TOKOH TAFSIR KLASIK SYIAH MODERAT (468-548 H) Telaah atas kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,” Al-Munir: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol 3, No 2, (2021).

Ali Aljufri, Mufidah Aljufri, “AL-TABARSI TOKOH TAFSIR KLASIK SYIAH MODERAT (468-548 H) Telaah atas kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,” Al-Munir: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol 3, No 2, (2021).

Ahmad Yunus Mohd Noor, Ahmad Dahlan Salleh, “Metodologi Pentafsiran Al-Tabarsi Dalam Majma’ Al-Bayan,” May 2015 Conference: The 5th Annual International Quranic conference 2015 At: Centre of Quranic Research, Universiti Malaya, Kuala Lumpur.

Asep Syaripudin, “AYAT-AYAT AKIDAH DALAM PERSPEKTIF AT-THABARSI (Studi Kritis Atas Dasar Keyakinan Syi’ah Imamiyah),” Thesis, Ilmu Alquran dan Tafsir, Pascasarjana, Institut Ilmu Alquran Jakarta, (2020).

M. Ratno Abdul Hakim, “INKLUSIFITAS DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN (Studi Analisis Tafsir Majma’ Al-Bayan Karya At-Thabarsi),” Thesis, Ilmu Alquran dan Tafsir, Pascasarjana, Institut Ilmu Alquran Jakarta, (2023).

Copyright holder:

Alif Hibatullah (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: