Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 4, April 2024

 

 

KAJIAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN BERDASARKAN PRODUKTIVITAS LAHAN PERTANIAN DALAM MENUNJANG SWASEMBADA PANGAN DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

 

Alief Rizky Purnama Adji1*, Langgeng Wahyu Santosa2, Rika Harini3

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, DIY Yogyakarta, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]1*, [email protected]2, [email protected]3

 

Abstrak

Upaya untuk memenuhi kebutuhan area untuk berbagai aktivitas seperti perdagangan, jasa, kegiatan sosial budaya, dan perumahan akan berkonsekuensi pada penggunaan lahan yang tadinya digunakan untuk pertanian menjadi lahan yang telah dibangun. Kapasitas daya dukung lahan pertanian dalam mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan menjadi terancam. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengkaji produktivitas lahan pertanian untuk mendukung swasembada pangan di Kabupaten Sleman; (2) menganalisis daya dukung lingkungan berdasarkan kemampuan lahan untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Sleman; (3) merumuskan strategi pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten Sleman. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan fokus pada analisis wilayah sebagai unit analisis. Metode penghitungan kapasitas daya dukung tanah mengadopsi pendekatan tingkat produktivitas lahan. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan daya dukung lahan pertanian pada sebagian besar kecamatan di Kawasan Sleman Tengah antara tahun 2016-2021. Pada Kawasan Sleman Tengah Kecamatan Depok menjadi wilayah yang tergolong dalam kelas III dimana tidak mampu untuk swasembada pangan dimana wilayah ini menjadi pusat perekonomian serta di laluli jalan arteri primer. Pengaruh penurunan daya dukung lahan pertanian juga mengarah pada wilayah di sekitarnya, Sebagian besar kecamatan di sekitar nya juga mengalami penurunan daya dukung. Berdasarkan analisis perhitungan daya dukung terlihat hapir seluruh kecamatan di setiap Kawasan mengalami penurunan kelas daya dukung menjadi kelas II dan haya pada Kecamatan Depok dan Turi saja yang selalu pada Kelas III. Penurunan daya dukung yang terjadi dapat di atasi dengan adanya kebijakan RTRW dan LP2B.

Kata Kunci: Daya dukung lingkungan, Produktivitas lahan pertanian, Swasembada Pangan, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

 

 Abstract

The Efforts to meet area needs for various activities such as trade, services, socio-cultural activities and housing will result in the use of land that was previously used for agriculture into land that has been built. The carrying capacity of agricultural land to achieve food independence and security is threatened. Therefore, the objectives of this research are (1) to examine the productivity of agricultural land to support food self-sufficiency in Sleman Regency; (2) analyzing the carrying capacity of the environment based on land capability for agricultural development in Sleman Regency; (3) formulate an environmental management strategy to increase the productivity of agricultural land to support food self-sufficiency in Sleman Regency. This research uses quantitative methods with a focus on regional analysis as the unit of analysis. The method for calculating soil carrying capacity adopts a land productivity level approach. The results showed that there was a decrease in the carrying capacity of agricultural land in most sub-districts in Central Sleman Regency between 2016-2021. In the Central Sleman Region, Depok Regency is an area classified as class III which is unable to be self-sufficient in food where this area is the center of the economy and is traversed by primary arterial roads. The effect of a decrease in the carrying capacity of agricultural land also leads to the surrounding area, Most of the surrounding sub-districts also experienced a decrease in their carrying capacity. Based on the analysis of carrying capacity calculations, it can be seen that almost all sub-districts in each region experienced a decrease in carrying capacity class to class II and only in Depok and Turi sub-districts which were always in class III. Reducing the carrying capacity that can be done with the RTRW and LP2B policies.

Keywords: environmental carrying capacity, agricultural land productivity, food self-sufficiency, Sustainable Food Agriculture Land Protection Policy

 

Pendahuluan

            Kabupaten Sleman adalah wilayah yang kaya akan sumber daya pertanian, terutama dalam hal produksi beras. Namun, saat ini terjadi perubahan penggunaan lahan yang dapat berdampak pada penurunan produksi beras. Jika tidak diatur dengan baik, situasi ini bisa menyebabkan ketidakseimbangan dalam ketersediaan pangan di masa depan. Kabupaten Sleman sendiri memiliki luas wilayah sebesar 57.482 hektar atau sekitar 18% dari 318.580 hektar luas Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY). Berdasarkan data DP3 tahun 2018, terdapat kelebihan produksi beras sebesar 100 ribu ton, Meskipun luas lahan pertanian di Sleman hanya 18 % dari total luas wilayah DIY. Selanjutnya diungkapkan, hasil produksi beras di Sleman pada tahun 2018 mencapai 6,3 ton per hektar sementara indeks penanaman (IP) berada dalam rentang 2,3 hingga 2,7. Artinya, dalam satu tahun dapat dilakukan penanaman padi lebih dari dua kali. (Saptono, 2018).

            Upaya pemerintah dalam membangun pertanian yang tangguh adalah dengan meningkatkan produksi pertanian, terutama tanaman pangan. Hal ini dilakukan karena sektor pertanian memiliki peranan yang sangat vital sebagai sumber kehidupan dan pendapatan utama bagi masyarakat petani. Sasaran dari pembangunan sub sektor tanaman pangan adalah menciptakan sistem pertanian yang kuat yang dapat memenuhi kebutuhan pangan dengan kemampuan produksi yang kuat (Muzdalifah, 2011). Pemerintah Kabupaten Sleman juga mendorong generasi muda untuk ikut berkontribusi di sektor pertanian melalui program petani milenial. Program petani milenial merupakan terobosan baru untuk mewujudkan pertanian Sleman yang maju, mandiri, modern (Cahyana, 2022).

            Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 19/Permentan/HK.140/4/2015 tanggal 6 April 2015 telah diterbitkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang mengatur Rencana Strategis Kementerian Pertanian untuk periode tahun 2015 hingga 2019. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, Kementerian mengatur tujuan strategis sebagai penilaian kinerja. Salah satu tujuan yang ingin dicapai pada periode 2015-2019 adalah mencapai kemandirian pangan. Peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan beberapa langkah operasional. Salah satunya adalah dengan meningkatkan luas penanaman melalui pemanfaatan dan pembukaan lahan baku sawah. Selain itu, optimalisasi penggunaan lahan dan peningkatan indeks pertanaman juga perlu dilakukan. Lahan terlantar juga dapat dimanfaatkan serta menerapkan pola tumpangsari untuk meningkatkan produksi padi (Agustizar, 2018). Selain itu, peningkatan produktivitas juga dapat dilakukan melalui penerapan pengelolaan tanaman terpadu padi. Selain itu, penting juga untuk menyediakan benih unggul padi dan memberikan subsidi serta menyediakan pupuk yang diperlukan. Penguatan kelembagaan Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan juga perlu dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi padi (Zakaria & Nurasa, 2013).

         Salah satu tantangan yang dihadapi dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan adalah tekanan yang ditimbulkan oleh pertumbuhan penduduk. Tekanan dari jumlah penduduk yang tinggi akan menyebabkan penggunaan lahan yang berlebihan, yang pada gilirannya dapat mengancam kelestarian suatu ekosistem (Devi, 2020). Dengan demikian, hal ini mendorong perlunya analisis mengenai hubungan antara jumlah penduduk dan luas lahan serta sumberdaya alam yang terdapat di lahan tersebut, terutama sumberdaya yang dapat diperbaharui yang terkait dengan sektor pertanian (Ernamaiyanti, 2016). Analisis mengenai kapasitas lahan untuk pertanian menjadi sangat penting mengingat populasi yang terus meningkat, yang mengakibatkan permintaan akan tanaman pangan yang semakin tinggi juga. Kemampuan suatu daerah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk setempat agar mereka dapat hidup dengan baik adalah apa yang disebut sebagai kapasitas wilayah bagi lahan pertanian.

            Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mejelasksan pengertian tentang daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antara keduanya; sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukan ke dalamnya. Evaluasi daya dukung lingkungan hidup kemudian diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah (Martanto, 2021).

            Dengan mengkaji daya dukung lahan pertanian kita dapat mengoptimalkan hasil pertanian dengan memanfaatkan ketersediaan lahan yang ada untuk terjadinya ketahanan pangan. Menurut Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996, ketahanan pangan didefinisikan sebagai keadaan di mana kebutuhan makanan rumah tangga terpenuhi dengan cukup, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Selain itu, pangan juga harus aman, tersedia secara merata, dan dapat dijangkau oleh semua orang. FAO (1997) mendeskripsikan ketahanan pangan sebagai keadaan di mana semua keluarga memiliki kemampuan fisik dan ekonomi yang memadai untuk memperoleh makanan bagi semua anggota keluarga, dan tidak ada risiko kehilangan akses tersebut. Artinya, konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang cukup, kestabilan, dan aksesibilitas terhadap makanan pokok.

         Rencana pembangunan yang dilakukan pemerintah pada dasarnya merupakan usaha pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk dilaksanakan secara sadar agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Tetapi, fakta ini menunjukkan bahwa konversi penggunaan lahan pertanian memiliki dampak negatif pada lingkungan, yang menyebabkan penurunan ketahanan pangan. Potensi alam berupa tanah dan air yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil pertanian, terutama dalam produksi beras dengan menggunakan pendekatan yang luas maupun mendalam. Tidak mungkin untuk meningkatkan produksi pertanian melalui ekstensifikasi di Kabupaten Sleman karena populasi penduduknya tergolong padat, seperti yang disebutkan oleh Badan Pertanahan Nasional RI pada tahun 2009. Usaha yang paling mungkin dilakukan untuk peningkatan produksi pertanian di Kabupaten Sleman yaitu dengan intensifikasi, salah satunya dengan memperhatikan perencanaan penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian yang ada seperti tampak pada Gambar 1.

 

Gambar 1. Peta Rencana Polaruang Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Sleman

(Sumber: Pemerintah Kabupaten Sleman)

 

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melestarikan keanekaragaman hayati Berdasarkan data Tabel 2.4 luas lahan sawah pada tahun 2016 sampai 2020 mengalami penurunan dari 20.854,22 Hektar menjadi 18.595.75 hektar. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi menyebabkan penurunan luas lahan pertanian seperti sawah, semak, ladang, dan perkebunan dari waktu ke waktu, namun luas tanah pekarangan semakin bertambah. Pada tahun 2020, sebagian besar wilayah Kabupaten Sleman masih terdiri dari pekarangan, mencakup 42,57% dari total luas lahan. Sementara itu, luas sawah hanya sekitar 32,35% dari total luas wilayah Kabupaten Sleman. Beberapa hal yang mempengaruhi faktor pengurang tersebut adalah pertimbangan teknis mengenai lahan, informasi rencana tata ruang wilayah, informasi rencana detail tata ruang Sleman Timur, dan kebijakan strategis lainnya. Akibatnya, produktivitas produksi beras menurun dan mempengaruhi keberlanjutan kebutuhan pangan beras.

Berdasar peraturan kementrian lingkungan hidup dan kehutanan republik indonesia NOMOR P.52/menlhk/setjen/kum.1/6/2016 Bab 1 Pasal 3 menyatakan bahwa Peraturan Menteri ini disusun dengan tujuan untuk terlaksananya pengendalian pembangunan ekoregion secara efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup sesuai daya dukung dan daya tampung. Dengan demikian perlu dilakukan analisis terkait daya dukung dan daya tampung pada wilayah Kabupaten Sleman. Diperlukan analisis mengenai kapasitas lahan pertanian agar dapat memberikan bantuan dalam menjaga kelangsungan produksi pangan di wilayah ini. Analisis ini diinginkan dapat memprediksi area di Kabupaten Sleman yang akan menjadi daerah mandiri dalam penyediaan pangan, sehingga dapat membantu dalam menetapkan kebijakan-kebijakan terkait dengan ketahanan pangan di Kabupaten Sleman. Tujuan diadakan analisis daya dukung lahan ini adalah untuk mendukung tercapainya ketahanan pangan lokal di Kabupaten Sleman dengan menentukan lahan pertanian berkelanjutan di wilayah tersebut.

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan di muka, maka tujuan penelitian ini adalah:

(1) mengkaji produktivitas lahan pertanian untuk mendukung swasembada pangan di Kabupaten Sleman;

(2) menganalisis daya dukung lingkungan berdasarkan kemampuan lahan untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Sleman;

(3) merumuskan strategi pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten Sleman.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh dan metode survei data sekunder dalam mengetahui kondisi lahan pertanian. Analisis daya dukung lahan pertanian akan dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: studi pustaka, persiapan data, pengumpulan data dan analisis data. Studi pustaka dilakukan dengan mencari referensi informasi yang berkaitaan dengan penelitian yang dilakukan. Studi pustaka bertujuan memperoleh informasi dan rujukan mengenai daya dukung lahan pertania dalam mendukung swasembada pangan serta penelitian terkait yang pernah dilakukan. Data yang dikumpulkan merupakan data yang menjadi variabel dalam penelitian yang digunakan untuk mengkaji penelitian. Pengambilan data dilakukan dengan interpretasi citra dan survei lapangan, untuk mengetahui penggunaan lahan dan mengetahuhi kemampuan lahan dalam mendukung swasembada pangan.

         Lokasi atau daerah penelitian adalah Kabupaten Sleman yang terletak pada koordinat ±7°3451” - 7°4730” LS dan ±110°3300” - 110°1300” BT. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Alat dan bahan diperlukan unutk mendukung kelancaran penelitian, baik pada tahap persiapan maupun tahap pelaksanaan penelitian. Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian bencana longsor di Desa Kebonharjo.

 

 

 

Analisis Data

 Analisis produktivitas lahan pertanian

         Analisis produktivitas lahan pertanian di Kabupaten Sleman dapat dilakukan dengan melihat hasil perhitungan daya dukung lahan pertanian. Wilayah yang mampu swasembada pangan adalah wilayah yang dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum (KFM) penduduk sebesar 2.600 kalori/ orang/ hari atau setara dengan 265 kilogram beras/ orang / tahun. Sedangkan untuk wilayah yang mampu memberikan kehidupan yang layak bagi penduduk yang tergantung pada tanaman pangan adalah wilayah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dalam taraf yang layak yaitu setara dengan 650 kilogram beras/orang/ tahun atau 2,466 kali KFM (Moniaga, 2011). Berdasarkan nilai ± nilai tersebut maka klasifikasi yang di tetapkan adalah :

 

Table 1. Klasifikasi Daya Dukung Lahan Pertanian

·   Kategori I

α > 2,47

Wilayah yang mampu swasembada pangan dan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi penduduknya

·   Kategori II

 1≤α≤2.47

Wilayah yang mampi swasembada pangan tetapi belum mampu memberikan kehidupan yang layak bagi penduduknya

·   Kategori III

α<1

Wilayah belum mampu swasembada

Sumber: Moniaga,2011

 

Analisis daya dukung lingkungan

         Penelitian ini mengunakan analisis data yang menentukan tingkat daya dukung lahan pertanian tanaman pangan berupa padi dengan menggunakan rumus dari konsep gabungan atas teori Odum, Christeiler, Ebenezer Howard dan Issard, yaitu:

(1)     Konsep Pengukuran Variabel

(a)       Luas Panen tanaman pangan (padi) adalah jumlah luas dari lahan yang ditanami dengan tanaman pangan (padi) dalam satu tahun (hektar).

(b)       Produksi tanaman pangan (padi) di masing-masing daerah (kg).

(c)       Luas lahan per kapita yang diperlukan untuk swasembada pangan (ha).

(d)       Jumlah kalori tanaman pangan (padi) adalah jumlah kandungan kalori setara kilogram beras. Dimana 1 Kilogram beras sebesar 3.610 kalori.

(e)       Jumlah penduduk (jiwa).

(2)     Formulasi perhitungan

                       

Dimana:

F = Tingkat daya dukung lahan pertanian

X = Luas panen tanaman pangan per kapita

K = Luas lahan untuk swasembada pangan

dengan:

 

 

Dimana, KFM setara dengan 2600 Kalori per kapita per hari atau 265 kilogram beras per orang per tahun.

 

 

Strategi pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan produktivitas lahan dalam menunjang swasembada pangan

         Penyusunan Strategi pengelolaan lingkungan akan dilakukan setelah melakukan analisis daya dukung lahan pertanian untuk memenuhi swasembada pangan. Analisis penyusunan strategi dan kebijakan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan melakukan analisis sebab-akibat, dimana pendekatan terstruktur dapat menemukan permasalahan dan ketidaksesuaian yang terjadi. Strategi pengelolaan lingkungan bertujuan untuk memberikan arahan dalam pengelolaan lingkungan agar lebih baik, sehingga dapat terjaganya kondisi komponen lingkungan (abiotik, biotik dan kultur).

Tabel 2. Tabel Pengukuran

Lokasi

Potensi Daya Dukung/Tahun

Kendala

Strategi

Perogram pemerintah

Tahun

Luas Panen

Produksi Padi (Ton)

Jumlah Penduduk

Daya Dukung

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Pembagian Zona Wilayah di Kabupaten Sleman

Pembagian zona di kabupaten seleman di dasari oleh perda No.12/2012 dimana pengelompokan zona wilayah dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dari masing-masing wilayah yang ada. Kabupaten Sleman dibagi menjadi empat wilayah oleh Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) Kabupaten Sleman yang mana pembagian didasari kesesuai karakteristik sumberdaya dan kekhasan masing-masing. Cahyana (2020). ”Dwike Wijayanti, Kepala Bidang Tata Ruang Kabupaten Sleman menjelaskan pembagian wilayah yang ada tercantum dalam draf revisi Perda No.12/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011-2031. Sebanyak 17 kecamatan di Kabupaten Sleman terbagi menjadi empat kawasan dengan kekhususan karakteristik”. Harian Jogja. Kabupatsen Sleman terbagi menjadi empat wilayah yang meliputi, Sleman Utara (lereng Gunung Merapi), Sleman Timur, Sleman Tengah, dan Sleman Barat.

 

Produktivitas Lahan Pertanian

            Produktivitas lahan pertanian merupakan kemampuan lahan untuk menghasilkan suatu produk dalam kurun waktu tertentu dan luasan tertentu. Tingkat kemampuan lahan untuk memproduksi hasil pertanian beragam tergantung pada karakteristik lahan, cuaca, jenis bibit yang ditanam, dan berbagai faktor lainnya. Salah satu faktor yang penting dalam peningkatan produktivitas lahan pertanian komoditas tanaman pangan adalah pengelolaan lahan. Adhitya dkk (2013) menyatakan bahwa produktivitas pertanian sangat penting dalam menciptakan ketahanan pangan dan lahan sangat berpengaruh dalam peningkatan produktivitas pertanian.

            Produksi dan produktivitas merupakan dua hal yang berbeda. Produksi yang meningkat mengindikasikan pertambahan jumlah hasil yang telah dicapai dari suatu lahan. Produktivitas yang meningkat menandakan adanya peningkatan pada kemampuan lahan dalam menghasilkan hasil yang dapat dicapai. Kebutuhan pangan dan sandang berasal dari produksi pertanian, sedangkan kebutuhan bahan perumahan sebagian besar berasal dari sumber daya alam. agar produksi pangan dan sandang meningkat, maka produktivitas pertanian harus terus ditingkatkan, baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi (Karwan & Salikin, 2003). Variabel yang digunakan dalam perhitungan daya dukung lahan pertanian adalah produktivitas lahan rata-rata per hektar (Ton/Ha). Kecamatan dengan kemampuan memproduksi hasil panen tertinggi belum tentu memiliki nilai produksi tertinggi pula.

 

 

 

Daya Dukung Lahan Pertanian

Kondisi daya dukung lahan pertanian padi di suatu wilayah berdasarkan teori Odum, Christallerm Ebenezer, Howard, dan Issard dalam Soehardjo dan Tukiran (1990) diketahui berdasarkan indikator luas lahan panen, jumlah penduduk, kebutuhan fisik minimum, dan produksi lahan rata-rata per hektar. Keempat indikator tersebut menentukan kemampuan wilayah untuk melaksanakan swasembada pangan atau tidak mampu melaksanakan swasembada pangan. Apabila wilayah telah memenuhi kemampuan untuk melaksanakan swasembada pangan, maka dapat diartikan bahwa jumlah penduduknya di bawah jumlah penduduk optimal. Akan tetapi, apabila wilayah tersebut tidak mampu melaksanakan swasembada pangan, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduknya telah melebihi jumlah penduduk optimal. Klasifikasi daya dukung lahan pertanian dibagi menjadi tiga kelas berdasarkan kemampuan swasembada dan kemampuan memberikan kehidupan layak bagi masyarakat di wilayahnya, yaitu kelas I, kelas II, dan kelas III. Kelas I adalah wilayah yang mampu swasembada pangan dan mampu memberikan kehidupan layak untuk masyarakat; kelas II merupakan wilayah yang mampu swasembada pangan, tetapi belum mampu memberikan kehidupan layak bagi masyarakat, sementara kelas III merupakan wilayah yang belum mampu swasembada pangan, dan belum mampu memberikan kehidupan layak bagi masyarakat.

Penduduk

            Jumlah pendudukan merupakan salah satu aspek yang penting dalam meninjau perkembangan suatu wilayah. Jumlah penduduk yang terus mengalami peningkatan akan menyebabkan wilayah tersebut semakin berkembang. Hal itu disebabkan pemenuhan kebutuhan yang semakin lama akan semakin berkembang sehingga terciptanya pusat-pusat kegiatan baru yang berdampak pada ekonomi wilayah yang semakin berkembang. Fenomena ini bisa terjadi karena adanya dinamika penduduk yang akan terus membutuhkan lahan untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi baik di bidang pertanian maupun non pertanian. Terkait dengan ekonomi pembangunan, perkembangan penduduk yang terus menerus dapat mengakibatkan dampak yang baik karena berkaitan dengan semakin besarnya subjek pembangunan. Tenaga kerja yang semakin meningkat akan mendorong perekonomian yang berkembang. Akan tetapi, di samping hal tersebut, peningkatan penduduk juga berdampak sebaliknya karena menjadi beban yang semakin besar bagi pembangunan.

            Berdasarkan data tahun 2010-2021 dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman menunjukan Jumlah penduduk di Kabupaten Selam mengalami peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya. Pada Gambar 2. menunjukan peningkatan jumlah penduduk yang signifikan dimana pada tahun 2010 hingga tahun 2019 menunjukan grafik yang terus meningkat namun pada tahun 2020 mengalami penurun dan tahun selanjutnya mulai kembali mengalami peningkatan.

Gambar 2. Garafik Jumlah Penduduk Kabupaten Sleman

(Data jumlah penduduk Kabupaten Sleman Tahun 2010-2021)

 

 

Kebutuhan Fisik Minimun

            Dalam konsep teori perhitungan daya dukung lahan pertanian padi oleh Odum, dkk (1990), kebutuhan fisik minimum menjadi salah satu variabel perhitungan. Kebutuhan fisik minimum (KFM) merupakan kebutuhan minimum selama sebulan bagi seorang pekerja. Nilai kebutuhan fisik minimum juga menjadi tolok ukur wilayah dalam mengetahui kemapuan suatu wilayah untuk swasembada pangan. Secara garis besar, kebutuhan fisik minimum menggambarkan kebutuhan penduduk dalam mencapai swasembada pangan yang meliputi kebutuhan konsumsi beras.

     Nilai kebutuhan fisik minimum yang digunakan dalam perhitungan daya dukung lahan pertanian pada Kabupaten Sleman adalah 265 kg/kapita/tahun. Apabila suatu wilayah mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum penduduknya, maka wilayah dianggap mampu swasembada pangan. Wilayah yang mampu memberikan kehidupan layak bagi penduduk merupakan wilayah yang dapat memberikan kebutuhan penduduk dalam taraf  yang layak, yaitu setara dengan 650 kg beras/orang/tahun atau sama besar dengan 2,46 kali kebutuhan fisik minimum (KFM). Nilai 2,46 kali KFM tersebut disebut dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Berdasarkan nilai tersebut maka daya dukung lahan pertanian dikategorikan dalam tiga klasifikasi, yaitu; a) Kelas I apabila nilai σ > 2,47: daya dukung lahan pertanian tinggi yang berarti wilayah mampu swasembada pangan dan memberikan kehidupan layak bagi penduduknya, b) Kelas II apabila nilai 1 < σ < 2,47: daya dukung lahan pertanian optimal yang berarti mampu swasembada pangan, tetapi belum mampu memberikan kehidupan layak bagi penduduknya, dan c) Kelas III apabila nilai σ < 1: daya dukung lahan pertanian rendah yang berarti wilayah belum mampu swasembada pangan dan memberikan kehidupan layak bagi penduduknya.

 

Daya Dukung Lahan Pertanian Kawasan Lereng Gunung Merapi (Sleman Utara)

            Kawasan Lereng Gunung Merapi terdiri dari beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Tempel, Kecamatan Turi, Kecamatan Pakem dan Kecamatan Cangkringan. Kawasan ini adalah Kawasan yang terletak dekat dengan lereng gunung merapai dimana wilayah ini menjadi daerah tangkapan air yang berfungsi menjamin ketersediaan air di lereng Merapi. Selai itu daerah ini juga termasuk ekowisata yang berorientasi pada kegiatan gunung Merapi dan ekosistemnya. Topografi dan kemiringan pada area ini cukup berbeda di banding Kawasan lain karena areanya yang dekat dengan Gunung Merapi.

 

Gambar 3 Grafik Daya Dukung Lahan Pertanian di Kawasan Lereng Gunung Merapi Tahun 2010-2021

           

Gambar 3. menunjukkan perkembangan daya dukung lahan pertanian masing-masing Kecamatan di Kawasan Lereng Gunung Merapi dari tahun 2010-2021. Berdasarkan grafik di atas, Kecamatan Tempel memiliki tingkat daya dukung lahan pertanian tertinggi dari tahun 2010 hingga tahun 2014 dan mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Tidak hanya itu, dalam beberapa tahun, Kecamatan Tempel hanya tergolong dalam kelas I selama 2 tahun saja, yaitu wilayah yang mampu melaksanakan swasembada pangan dan mampu memberikan kehidupan layak bagi penduduknya, khususnya pada tahun 2012 dan tahun 2014. Dalam kurun waktu tahun 2010-2021 Kecamatan Tempel hanya mampu melaksananakan swasembada pangan namum belum dapat memenuhi kebutuhan penduduk dalam taraf yang layak atau setara dengan 650 kg/beras/orang/tahun. Selain itu Kecamatan Tempel juga terus mengalami penurunan daya dukung lahan pertanian yang cukup drastis dari tahun 2015 hingga 2021. Pada tahun 2012, Kecamatan Tempel mampu mencapai daya dukung lahan senilai 2,84 dan turun pada tahun berikutnya namun mengalami peningkatan pada tahun 2014 senilai 2,56 dan terus turun hingga pada tahun 2021 mencapai daya dukung lahan senilai 1,31. Berdasardata jumlah penduduk Kecamatan Tempel menjdai kecamatan yang memiliki jumlah penduduk paling padat dibandingkan kecamtan lain di Kawasan Lereng Gunug Merapi. Tingginya jumlah penduduk pada setiap kecamatan akan mempengaruhi daya dukung lahang yang ada jika tidak di imbangi dengan hasil produksi yang tinggi juga.

            Dari Gambar 3 di atas terlihat bahwa Kecmatan Turi berada pada posisi grafik yang paling rendah. Sejak tahun 2010 hingga 2021, Kecamatan ini memiliki nilai daya dukung lahan pertanian yang rendah dibandingkan Kecamatan lainnya. Berbeda dengan beberapa Kecamatan lainnya yang mengalami peningkatan kemudian diikuti dengan penurunan daya dukung lahan pertanian yang cukup signifikan, Kecamatan Turi dalam rentang tahun 2010-2021 tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan penduduk di wilayahnya karena rendahnya nilai daya dukung lahan pertanian yang dimiliki. Dari hasil produksi juga dapat dilihat Kecamatan Turi juga memiliki hasil produksi yang tidak setinggi Kecamatan lainnya. Kecamatan Turi juga tercatat memiliki hasil produksi paling rendah dibandingkat kecamatan lain di Kawasan Lereng gunung merapi, tercatat rata-rata produksi padi pada Kecamatan Turi adalah 5,63 Ton/Ha.

            Sejak tahun 2010 hingga 2021, Kawasan Lereng Gunung Merapi mengalami peningkatan penduduk sebesar 10%, yang awalnya sejumlah 145.283 jiwa hingga menjadi 160.288 jiwa. Untuk kecamtan Turi pertumbuhan penduduk yang tinggi juga menyebabkan wilayah ini tidak mampu memenuhi kebutuhan daya dukungnya. Peningkatan penduduk pada Kecamatan Turi mencapai 11% tercatat tahun 2010 awalnya 33.101 jiwa menjadi 36.980 jiwa pada tahun 2021. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak sejalan dengan peninghatan hasil produksi membuat daya dukung pada kecamatan ini tidak pernah baik.

            Apabila ditinjau secara keseluruhan pada masing-masing Kecamatan, terdapat potensi penurunan daya dukung lahan di tahun-tahun mendatang. Hal tersebut disebabkan adanya peningkatan penduduk dari tahun ke tahun. Seiring dengan berjalannya waktu, kecenderungan mobilitas penduduk akan lebih banyak menuju pusat-pusat pertumbuhan sehingga semakin banyak penduduk yang bertempat tinggal di sekitar pusat-pusat pertumbuhan (Sadali, 2016). Penurunanan daya dukung juga di sebabkan lokasi lahan yang berbukit serta lebih banyak orang menanam salak di bandingkan padi.

            Dari keempat Kecamatan yang ada terdapat kecamatan yang tidak mengalami perubahan klasifikasi daya dukung lahan pertanian yaitu  Kecamatan Turi yaitu tergolong dalam kelas III dan Kecamatan Cangkringan yang tergolong dalam kelas II. Selain itu, Kecamatan Tempel dan Kecamatan Pakem sempat tergolong dalam kelas I kemudian mengalami perubahan status menjadi kelas II. Dari sini dapat disimpulkan hanya kecamatan Tempel dan Pakem yang mempu mengalami perubahan Kelas menjadi kelas I meski rata rata daya dukung Pada Kecamatan ini terdapat pada kelas II. Perubahan kelas ini disebabkan karna adanya penurunan hasil produksi dan peningkatan jumlah penduduk yang menyebabkan Kecamatan Tempel dan Kecamatan Pakem mengalami penurunan kelas daya dukung lahan.

 

 

Daya Dukung Lahan Pertanian Kawasan Sleman Timur

            Kawasan Sleman Timur adalah wilayah paling timur di Kabupaten Sleamn yang terdiri dari Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Berbah, Kecamatan Prambanan dan Kecamatan Kalasan. Wilayah ini merupakan kawsan pariwisata berbasis cagar budaya yang mana terdapat tempat peninggalan purbakala (candi) yang merupakan pusat wisata budaya dan daerah lahan kering serta sumber bahan batu putih. Berdasarkan peraturan Bupati Sleman nomer 3 tahun 2021, pada pasal 4 Tujuan dari penataan Kawasan Sleman Timur adalah terwujudnya simpul pariwisata berskala internasional bertemakan warisan budaya dan alam yang tangguh terhadap bencana dengan didukung infrastruktur dan pertanian berkelanjutan untuk menjadikan masyarakat makmur dan sejahtera. Pada masing-masing kecamatan dapat dilihat perbedaan daya dukung lahan yang ada. Kecamatan Kalasan merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk tertinggi dalam kurun waktu 2010-2021. Pada tahun 2021, wilayah ini memiliki jumlah penduduk 87.357 jiwa. Kecamatan Kalasan dibanding dengan kecamatan lain memjadi yang tertinggi pertumbuhan penduduk nya pada Kawasan Sleman Timur.

 

Gambar 4. Grafik Daya Dukung Lahan Pertanian di Kawasan Sleman Timur Tahun 2010-2021

           

Keempat kecamatan yang terletak di Kawasan Sleman memiliki fluktuasi perkembangan daya dukung lahan pertanian yang beragam. Dalam kurun tahun 2010-2021, Kecamatan Prambanan dan Kecamatan Kalasan mengalami perubahan daya dukung lahan pertanian dan pernah mampu berswasembada pangan dan mampu memberi kehidupan yang layak bagi penduduknya hingga akhirnya hanya mampu melaksanakan swasembada pangan saja tanpa mampu memenuhi kebutuhan optimal penduduknya.

Kecamatan Berbah pada tahun 2010-2021 dapat terus melaksanakan swasembada pangan namum belum dapat memenuhi kebutuhan penduduknya. Untuk Kecamatan Ngemplak menjadi kecamatan dengan daya dukung lahan tertinggi dimana daya dukung lahan pada kecamatan ini mampu mencapai kelas I dimana mampu melaksanakan swasembada pangan dan memberi kehidupan yang layak bagi penduduk nya. Tercatat peningkatan daya dukung lahan pada Kecamatan Ngemplak Terjadi pada tahun 2013-2018 kemudian pada tahun selanjutnya Kecamatan Ngemplak kembali mengalami penurunan status menjadi kelas II dimana hanya mampu swasembada pangan namun belum mampu memenuhi kebutuhan penduduknya.

            Produksi padi di Kecamatan Ngemplak pada tahun 2011-2020 tergolong menjadi wilayah dengan produksi tertinggi diantara kecamatan lain di Kawasan Sleman Timur dalam beberpa tahun. Tidak hanya itu, luas lahan panen di Kecamatan Ngemplak juga menjadi yang tertinggi dengan rata-rata luas panen 3510 Ha/tahun dibandingkan dengan tiga kecamatan lainnya di Kawasan Sleman Timur. Di samping tingginya luas lahan panen dan produksi padi, jumlah penduduk di wilayah ini tidak tergolong paling tinggi dibandingkan kecamatan lain di Kawasan Sleman Timur sehingga bisa memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, meski ada tahun yang hanya mampu swasembada pangan namu belum mampu memenuhi kebutuhan pangan yang layak bagi penduduknya. Tingginya daya dukung lahan pertanian di Kecamatan Ngemplak dapat disebabkan oleh tingginya luasan panen padi yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya.

            Kecamatan Berbah dan Kecamatan Prambanan mengalami perkembangan yang serupa. Pada tahun 2010-2021, kedua desa tersebut mampu melaksanakan swasembada pangan (kelas II), pada tahun 2013 kecamatan Prambanan mampu melaksanakan swasembada pangan dan memenuhi kebutuhan pangan yang layak bagi penduduknya (kelas I) sedangkan Kecamatan Berbah tidak berubah sama sekali.  Selain memiliki pola perkembangan yang serupa, besaran daya dukung lahan Kecamatan Berbah dan Kecamatan Prambanan hampir sama pada lima tahun terakhir. Ketidakmampuan Kecamtan Berbah dan Kecamatan Prambanan dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya dipengaruhi oleh produksi beras yang hanya mengimbangi pertumbuhan kebutuhan konsumsi.

            Secara keseluruhan, terdapat perbedaan perkembangan daya dukung lahan pertanian yang cukup terlihat pada masing-masing wilayah di Kawasan Sleman Timur. Kecamatan Ngemplak menjadi wilayah yang cukup unggul dan memiliki besaran daya dukung lahan yang sangat baik (kelas I) selama enam tahun pada tahun 2013-2018 meski pada tahun berikutnya terus mengalami penurunan seperti wilayah lainnya. Dibandingan dengan kecamatan lainnya kecamatan Ngemplak masih lebih baik daya dukung lahannya. Selain itu Kecamatan kalasan juga memiliki besaran daya dukung lahan yang sangat baik (kelas I) selama lima tahun pada tahun 2012-2016 meski pada tahun berikutnya terus mengalami penurunan seperti wilayah lainnya. Dibandingan dengan kecamatan lainnya kecamatan Kalasan masih lebih baik daya dukung lahannya meski memiliki jumlah penduduk yang banyak. Pada Kecamatan Berbah daya dukung lahan termasuk dalam kelas II dari tahun 2010-2021. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan tindakan untuk mempertahankan ketahanan pangan masing-masing wilayah agar daya dukung lahan pertaniannya tidak terlampaui.

 

Daya Dukung Lahan Pertanian Kawasan Sleman Tengah

            Kawasan Sleman Tengah salah satu Kawasan yang terletak di bagian tengah Kabupaten Sleman dan terdiri dari enam kecamatan. Kecamatan pada Kawasan ini terdiri dari kecamatan Gamping, Kecamatan Mlati, Kecamatan Depok, Kecamatan Ngaglik, dan Kecamatan Sleman. Wilayah ini merupakan pusat pendidikan, perdagangan dan jasa. Kawasan ini juga ditujukan sebagai kawasan perkotaan. Perkembangan daya dukung lahan pertanian pada keenam kecamatan berikut menunjukkan pola yang bervariasi.

 

Gambar 5. Grafik Daya Dukung Lahan Pertanian di Kawasan Sleman Tengah Tahun 2010-2021

           

Perkembangan daya dukung lahan pertanian pada kecamtan-kecamatan di Kawasan Sleman Tengah memiliki pola yang bervariasi. Akan tetapi, Kecamatan Ngaglik, Kecamatan Sleman dan Kecamatan Gamping memiliki pola perkembangan yang serupa. Ketiga kecamatan ini mengalami peningkatan daya dukung lahan pertanian yang tidak jauh berbeda, kemudian dari tahun 2016 mengalami penurunan hingga thaun 2020. Pada tahun 2014, Kecamatan Gamping memiliki nilai daya dukung lahan pertanian yang cukup tinggi (2,88) karena tingginya produksi padi di tahun tersebut, yaitu mencapai 23.674 ton. Dari ketiga kecamtan baik Kecamatan Ngaglik, Kecamatan Sleman dan Kecamataan Gamping samam sama pernah dan mamu mencapai tingkat daya dukung lahan pertanian kelas I namun tidak dapat bertahan dan hanya mampu bertahan pada kelas II saja dimana hanya mampu untuk swasembada pangan namun belum mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan yang layak penduduknya.

            Selain itu pada Gambar 5. juga terlihat pada Kecamatan Ngaglik yang menjadi daerah dengan daya dukung lahan pertanian paling tinggi di kawsan Sleman Tengah. Pada tahun 2010 tercatat Kecamata Ngaglik memiliki daya dukung lahan pertanian kelas I namu pada tahun 2011-2012 mengalami penurunan menjadi kelas II. Kecamatan ini kembali mengalami peningkatan daya duku dimana tercatat pada tahun 2014-2018 mampu mencapai daya dukung lahan kelas I dimana Wilayah mampu swasembada pangan dan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi penduduknya namum pada tahun selanjutnya Kembali mengalami penurunan ke kelas II. Terlepas dari Kembali mengalami Penurunan daya dukung lahan pertanian Kecamatan Ngemplak menjadi kecamatan yang paling lama mampu bertahan swasembada pangan dan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi penduduknya.

            Pada Kawasan Sleman Tengah kecamatan dengan daya dukung lahan pertanian terendah terdapat pada Kecamatan Depok. Tercatat daya dukung lahan pada kecamatan ini berada pada kelas III dimana wilayah nya tidak mampu swasembada pangan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan yang layak bagi penduduk nya. Hal ini dapat terjadi karana wilayah kecamatan Depok di dominasi area terbangun yang mana menjadi pusat perekonomian wilayah yang berada di sekitarnya. Penelitian yang dilakukan oleh Oktama dan Ardinanto (2012) menyatakan wilayah yang berdekatan dengan daerah pertumbuhan ekonomi cenderung memiliki daya dukung lahan yang rendah. Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro (2017) menyatakan wilayah yang sudah mulai berubah menjadi kawasan perkotaan akibatnya lahan pertanian akan semakin tergusur karena adanya transformasi menjadi permukiman sehingga menyebabkan daya dukung lahan pertanian yang rendah.

            Apabila ditinjau secara keseluruhan pada masing-masing kecamatan di Kawasan Sleman Tengah, rata-rata kecamtan yang ada cenderung mengalami tren penurunan semenjak tahun 2017. Kecamatan Mlati mampu melaksanakan swasembada pangan (kelas II) pada kurun waktu tahun 2010-2021. Kecamtan lain kecuali Kecamatan Depok pernah melaksanakan swasembda pangan dan mampu memenui kebutuhan pangan yang layak pada penduduknya (kelas I). Hanya kecamatan depok saja yang tidak mampu swasembada pangan (kelasIII), Dengan mengetahui perkembangan ini, maka penting untuk melakukan perencanaan serta berbagai tindakan preventif untuk mencegah terus terjadinya penurunan nilai daya dukung lahan pertanian agar nilai daya dukung lahan pada setiap kecamatan bisa lebih stabil dan meningkat.

 

Daya Dukung Lahan Pertanian Kawasan Sleman Barat

            Kawasan Sleman Barat terdiri dari beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Moyudan, Kecamatan Minggir, Kecamatan Sayegan dan Kecamatan Godean. Kawasan ini adalah Kawasan yang terletak paling Barat Kabupaten Sleman dimana merupakan daerah   pertanian lahan basah yang tersedia cukup air dan sumber bahan baku kegiatan industri kerajinan mendong, bambu serta gerabah. Kawasan ini memiliki peningkatan dan penurunan daya dukung lahan pertanian yang hampir sama di setiap kecamatannya.

 

Gambar 6. Grafik Daya Dukung Lahan Pertanian di Kawasan Sleman Barat Tahun 2010-2021

           

Gambar 6. menunjukkan perkembangan daya dukung lahan pertanian masing-masing Kecamatan di Kawasan Sleman dari tahun 2010-2021. Berdasarkan grafik di atas, Kecamatan Sayegan memiliki tingkat daya dukung lahan pertanian tertinggi dari tahun 2010 hingga tahun 2015 dan mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Tidak hanya itu, dalam empat tahun, Kecamatan Sayegan mampu tergolong dalam kelas I, yaitu wilayah yang mampu melaksanakan swasembada pangan dan mampu memberikan kehidupan layak bagi penduduknya, khususnya pada tahun 2012-2015. Dalam kurun waktu tahun 2016-2021 Kecamatan Sayegan hanya mampu melaksananakan swasembada pangan namum belum dapat memenuhi kebutuhan penduduk dalam taraf yang layak (kelas II).

            Dari Gambar 6. di atas terlihat bahwa Kecmatan Moyudan, Kecamatan Minggir, Kecamatan Godean pada posisi grafik mengalami peningkatan dan penurunan yang sama. Sejak tahun 2011 hingga 2012, ketiga Kecamatan ini mengalami peningkatan daya dukung lahan pertanian yang dan pada tahun 2013 mengalami penurunan sebelum Kembali naik pada tahun 2014. Pada tahun 2018-2021 kecamatan Minggir, Kecamatan Moyudan dan Kecamatan Godean mengalami penurunan dan tatap pada kelas II yang mana hanya mampu swasembada pangan dan tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan penduduk di wilayahnya karena rendahnya nilai daya dukung lahan pertanian yang dimiliki. Ketiga kecamatan ini juga peranah mencapai kelas I dalam daya dukung lakan pertanian secara bersamaan yaitu pada rentang tahun 2015-2017.

                  Apabila ditinjau secara keseluruhan pada masing-masing Kecamatan, terdapat potensi penurunan daya dukung lahan di tahun-tahun mendatang. Tercatat Kecamatan Godean menjadi daerah dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu 73.036 jiwa. Seiring dengan berjalannya waktu, kecenderungan mobilitas penduduk akan lebih banyak menuju pusat-pusat pertumbuhan sehingga semakin banyak penduduk yang bertempat tinggal di sekitar pusat-pusat pertumbuhan (Sadali, 2016). Dari Keseluruhan Kecamatan yang ada hampir semua kecamata pernah memiliki daya dukung lahan pertanian kelas I, kini semua kecamatan hanya mampu swasembada pangan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan yang layak bagi penduduknya.

 

Persebaran Daya Dukung Lahan Pertanian Tahun 2010-2021

     Nilai daya dukung lahan pertanian dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang berbeda-beda antara satu Kecamatan dengan Kecamatan lainnya. Status daya dukung lahan pertanian antara lain terbagi menjadi tiga kelas, yaitu; a) Kelas I pada wilayah dengan nilai daya dukung lahan pertanian lebih dari 2,47; b) Kelas II pada wilayah dengan nilai daya dukung antara 1 hingga 2,47, serta c) Kelas III pada wilayah dengan daya dukung lahan pertanian di bawah 1. Beberapa wilayah mengalami status yang berubah-ubah dari tahun ke tahun karena terdapat wilayah yang cenderung memiliki trend peningkatan dan penurunan. Dinamika daya dukung lahan pertanian dilihat secara spasial pada beberapa tahun sekali. Peta status daya dukung lahan pertanian yang akan ditampilkan adalah peta pada tahun 2010, 2014, 2018, dan 2021.

 

 Gambar 7. Peta Daya Dukung Lahan Pertanian di Kabupaten Sleman Tahun 2010-2021

 

Pada tahun 2011, terdapat satu kecamatan yang masuk dalam Kelas I dengan arti mampu berswasembada pangan dan memberikan kehidupan layak bagi penduduknya. Wilayah yang tergolong dalam kelas I adalah wilayah yang mampu memenuhi kebutuhan hidup dalam taraf layak atau setara dengan 650 kg beras/orang/tahun atau 2,47 kali KFM (Moniaga, 2011). Wilayah yang tergolong dalam kelas III adalah Kecamatan Turi dan Kecamatan Depok. Pada tahun 2011 rata-rata kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman tergolong dalam kelas II dengan arti mampu berswasembada pangan akan tetapi tidak mampu memberikan kehidupan layak bagi penduduknya.

            Dinamika daya dukung lahan pertanian yang menonjol pada tahun 2011 adalah perubahan status pada beberapa wilayah yang mengalami peningkatan. Kecamatan Tempel, Kecamatan Sayegan, Kecamatan Godean, Kecamatan Gamping dan Kecamatan Kalasan pada tahun sebelumnya tergolong dalam kelas II tetapi pada tahun 2014 ketiga wilayah tersebut mengalami peningkatan menjadi kelas I. Kesamaan fenomena masing-masing wilayah yang terjadi pada waktu tersebut adalah peningkatan produksi pertanian padi sawah yang cukup signifikan. Kecamatan Tempel yang awalnya memproduksi padi sebanyak 17.411 ton kemudian meningkat menjadi 21.032 ton. Hal yang serupa juga terjadi pada Kecamatan Sayegan, Kecamatan Godean, Kecamatan Gamping dan Kecamatan Kalasan dimana, juga mengalami perubahan status yang berubah tergolong dalam kelas I. Pada Kecamatan Turi dan Kecamatan Depok Tidak mengalami perubahan.

            Pada tahun 2017, wilayah yang tidak mampu swasembada pangan atau tergolong dalam kelas III adalah Kecamatan Depok dan Kecamata Turi. Fenomena yang menonjol pada tahun 2018 dan 2021 adalah Kecamatan yang tergolong dalam kelas I mengalami penurunan kelas menjadi kelas II. Kecamatan Tempel, Kecamatan Sayegan, Kecamatan Godean, Kecamatan Gamping dan Kecamatan Kalasan yang sempat berada pada kelas I mengalami penurunan dan menjadi kelas II begitu juga dengan kecamatan ngemplak yang biyasanya berstatus kelas I berubah menjadi kelas II pada tahun 2021. Kecamatan yang di lewati jalur arteri cenderung mengalami penurunan daya dukung lahan seperti Kecamatan Depok yang daya dukungnya sangat rengdah karna di dominasi area terbangun. Ketika banyak lahan terbangun, maka penduduk juga berpusat pada koridor-koridor tersebut yang berpengaruh pula pada turunnya status daya dukung lahan pada wilayah tersebut. Alih fungsi lahan pertanian pada koridor tersebut dapat terjadi lebih intensif dibandingkan kecamatan yang tidak dilalui oleh jalur atau infrastruktur berupa jalan arteri.

 

Strategi Pengelolaan Lingkungan untuk swasembada pangan

            Pertanian Pangan Berkelanjutan pada dasarnya merupakan kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumber daya. Pembangunan pertanian dapat dikatakan sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kebudayaan dari masyarakat (khususnya di pedesaan) untuk meningkatkan kapasitas, kualitas, profesionalitas, dan produktivitas masyarakat, sehingga mereka mampu secara dinamis memanfaatkan peluang dan mengatasi segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang merupakan kendala bagi mereka untuk meraih kesejahteraan yang diidamkannya (Sudalmi, 2010).

            Strategi pengelolaan lingkungan untuk swasembada pangan di Kabupaten Sleman disusun dengan menggunakan potensi daya dukung yang ada disetiap kawasannya.  Lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kawasan Sleman telah ditetapkan persebarannya dan termuat pada Peraturan Bupati Sleman Nomor 3, 13, 57 Tahun 2021 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2021-2040. Penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota atau Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi dasar bagi penyusunan Peraturan Zonasi. Potensi daya dukung dilihat secara keseluruhan di setiap wilayah nya dari tahun 2010-2021, kemudian dilakukan analisis dari kendala di masing masing daerah hingga penentuan strategi dan program yang akan dilakukan.

 

Tabel 3. Rekomendasi Strategi Pertanian dan Tiga Program Pemerintah Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomer 12 Tahun 2011

Per Kawasan

Potensi Daya Dukung/Tahun

Kendala

Strategi

Perogram pemerintah

Tahun

Luas Panen

Produksi Padi (Ton)

Jumlah Penduduk

Daya Dukung

Kawasan Lereng Gunung Api Merapi

2010

9223

55849

145283

1,45

Ø  kawasan didominasi area berbukit

Ø  kawasan masuk area letusan gunung Merapi

Ø  Tanaman pertanian didominasi budidaya salak

Ø Mengoptimalkan hasil produksi tanaman padi untuk penduduk setempat

Ø Intensifikasi budidaya padi dengan memanfaatkan lahan sawah yang ada

Ø Mengembangkan konservasi lahan secara mekanik (pembuatan terasering pada lahan miring) dan kimia (penambahan bahan kimia sebagai pemantap tanah sehingga tanah dapat resisten terhadap erosi).

Ø Peningkatan produksi pertanian tanaman pangan

Ø Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB)

Ø Pengendalian perubahan peruntukan ruang

2011

9102

47563

146358

1,23

2012

9530

66114

147395

1,69

2013

9223

57346

150009

1,44

2014

10392

62796

151836

1,56

2015

9521

60646

151493

1,51

2016

10365

63442

151886

1,58

2017

10957

56287

152733

1,39

2018

8517,04

44587,34

153583

1,10

2019

7207,99

42694,73

160516

1,00

2020

6565,3

33745,81

158638

0,80

2021

6851

40182,6

160288

0,95

Kawasan Sleman Timur

2010

10995

65892

232752

1,07

Ø Adanya alihfungsi lahan pertanian menjadi area industri seperti pabrik dan pemukiman

Ø Pengairan sawah belum / bukan dengan saluran irigasi

Ø Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki daya dukung serta produktivitas tinggi dan sebaliknya diarahkan pada kawasan yang kurang produktif, yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah.

Ø Perbaikan infrastruktur dan prasarana irigasi pertanian

Ø Peningkatan produksi pertanian tanaman pangan

Ø Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB)

Ø Pengendalian perubahan peruntukan ruang

2011

10778

64037

236575

1,02

2012

10742

72187

238242

1,14

2013

13233

84877

245092

1,31

2014

13192

80662

251916

1,21

2015

12372

83240

253587

1,24

2016

14079

88637

256322

1,30

2017

13675

78266

259976

1,14

2018

12692

68766,73

263686

0,98

2019

11746

65751,9

253441

0,98

2020

10881,7

60315,62

265835

0,86

2021

12484

68290,78

269768

0,96

Kawasan Sleman Tengah

2010

11975

70883

543990

0,49

Ø Tingginya alihfungsi lahan pertanian menjadi area terbangun

Ø Berubahnya pola perekonomian menjadi daerah pusat perkotaan

Ø Jumlah penduduk sangat tinggi

Ø Produktivitas lahan rendah

Ø Pertanian perlu diarahkan dan diupayakan sebagai lapangan usaha yang prestisius untuk menarik minat angkatan kerja muda.

Ø Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki daya dukung serta produktivitas tinggi dan sebaliknya diarahkan pada kawasan yang kurang produktif, yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah.

Ø Peningkatan produksi pertanian tanaman pangan

Ø Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB)

Ø Pengendalian perubahan peruntukan ruang

2011

11083

64553

551925

0,44

2012

12489

85327

555826

0,58

2013

13716

87303

570456

0,58

2014

13601

83293

582326

0,54

2015

13637

89893

585105

0,58

2016

13517

83587

592828

0,53

2017

13188

73239

600263

0,46

2018

11799,9

63808,29

607799

0,40

2019

10265,2

63749,25

474443

0,51

2020

10491

63644,42

512221

0,47

2021

9771,77

61035,3

515114

0,45

Kawasan Sleman Barat

2010

12205

71694

171085

1,58

Ø  Kurang stabilnya produktivitas lahan sawah

Ø  Kurang optimalnya pengelolaan lahan sawah yang ada

Ø Pengelolaan lahan dengan baik melalui sarana dan prasarana yang tersedia

Ø Intensifikasi budidaya padi sawah dengan memanfaatkan lahan sawah yang ada sehingga tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan penduduk setempat, tetapi menyangga kebutuhan pangan wilayah lain

Ø Peningkatan produksi pertanian tanaman pangan

Ø Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

Ø Pengendalian perubahan peruntukan ruang

 

2011

9678

55223

172446

1,21

2012

13071

87750

173370

1,91

2013

12410

76675

176176

1,64

2014

14595

86140

177892

1,83

2015

14340

93040

177296

1,98

2016

14195

86752

179443

1,82

2017

14757

81276

180540

1,70

2018

13139

69376,67

181646

1,44

2019

12794

70457,5

187175

1,42

2020

13017

74235,59

189110

1,48

2021

13382

80560,85

191304

1,59

 

Berdasarkan hasil analisis pada tabel diatas dihasilkan tujuh rekomendasi strategi pertanian dan tiga program pemerintah berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Sleman nomer 12 tahun 2011 dalam melaksanakan swasembada pangan di Kabupaten Sleman. Rekomendasi strategi dan program pemerintah dalam menunjang pertanian pangan berkelanjutan tersebut diantaranya:

1)     Mengoptimalkan hasil produksi tanaman padi untuk penduduk setempat

2)     Intensifikasi budidaya padi dengan memanfaatkan lahan sawah yang ada Mengembangkan konservasi lahan secara mekanik (pembuatan terasering pada lahan miring) dan kimia (penambahan bahan kimia sebagai pemantap tanah sehingga tanah dapat resisten terhadap erosi).

3)     Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki daya dukung serta produktivitas tinggi dan sebaliknya diarahkan pada kawasan yang kurang produktif, yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah.

4)     Perbaikan infrastruktur dan prasarana irigasi pertanian

5)     Pertanian perlu diarahkan dan diupayakan sebagai lapangan usaha yang prestisius untuk menarik minat angkatan kerja muda.

6)     Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki daya dukung serta produktivitas tinggi dan sebaliknya diarahkan pada kawasan yang kurang produktif, yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah.

7)     Pengelolaan lahan dengan baik melalui sarana dan prasarana yang tersedia

8)     Peningkatan produksi pertanian tanaman pangan

9)     Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB)

10)  Pengendalian perubahan peruntukan ruang

Dengan adanya strategi dan program pemerintah daerah ini diharapkan dapat mengoptimalkan hasil produksi dan produktivitas lahan di kabupaten sleman untuk memenuhi kebutuhan pangan pada daerah ini. Dengan adanya rekomendasi strategi dan program pemerintah diharap dapat menekan peralihan konversi lahan produktif pertanian menjadi area terbangun dan dapat diarahkan pada lahan-lahan yang kurang produktif.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut ini; (1) produktivitas lahan di Kabupaten Sleman termasuk cukup baik dimana rata-rata produktivitas lahan pertanian di setiap kawasan mencapai angka 6 ton/ha, dan pada Kawasan Sleman Barat dan Kawasan Sleman Timur tergolong stabil dimana produktivitas di setiap kecamatan yang ada di kawasan ini tidak memiliki perbedaan penurunan yang terlalu berbeda, (2) daya dukung lahan di Kabupaten Sleman tergolong rendah dimana rata-rata daya dukung masih pada kelas II yaitu mampu swasembada pangan namum belum dapat memenuhi kebutuhan optimum setiap penduduknya. Selain itu untuk daya dukung lahan kelas III hanya terdapat pada kawasan lereng Gunung Api Merapi di Kecamatan Turi dan pada Kawasan Sleman Tengah di kecamatan Depok. Untuk kawasan Sleman Barat dan Sleman Timur beberapa kecamatan ada yang pernah mencapai Kelas I, dan (3) rumusan strategi pengelolaan dalam upaya meningkatkan swasembada pangan antara lain: 1) Intensifikasi budidaya padi dengan memanfaatkan lahan sawah yang ada; 2) Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki daya dukung serta produktivitas tinggi dan sebaliknya diarahkan pada kawasan yang kurang produktif, yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah; 3)Pengelolaan lahan dengan baik melalui sarana dan prasarana yang tersedia.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adhitya, F. W., Hartono, D., & Awirya, A. A. (2013). Determinan Produktivitas Lahan Pertanian Subsektor Tanaman Pangan Di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi Dan Pembangunan, 14(1), 110. https://doi.org/10.23917/jep.v14i1.165

Agustizar, A., Muryani, C., & Sarwono, S. (2018). Agricultural Land Carrying Capacity and Shift of Land Use in Upstream of Grompol Watershed, Central Java Province. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 145(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/145/1/012070

Cahyana, B. (2022) Prioritaskan Pertanian untuk Kemandirian Pangan di Sleman,<https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2022/04/07/512/1098771/prioritaskan-pertanian-untuk-kemandirian-pangan-di-sleman>

Devi, L. Y., Andari, Y., & Wihastuti, L. (2020). Model Sosial-Ekonomi Dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Di Indonesia Socio-Economic Model And Households ’ Food Security In Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan, 28, 103–116.

Ernamaiyanti, E., Asyari, N. I., & Purba, T. P. (2016). Field Carrying Capacity Analysis of Agricultural Sector Based Spatial in Nagari Mataram, District of Lima Puluh Kota, West Sumatra. Gontor AGROTECH Science Journal, 2(2), 21–36. https://doi.org/10.21111/agrotech.v2i2.411

Karwan, A. & Salikin. (2003). Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.

Kuncoro, R. D. S. (2017). Analisis Daya Dukung Dan Kebutuhan Lahan Pertanian Di Kabupaten Madiun Tahun 2032. Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2017 Pengel

Moniaga, V. R. B. (2011). Analisis Daya Dukung Lahan Pertanian, 7(2), 61–68.

Martanto, R., & Andriani, V. (2021). Arahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sleman, Indonesia. Prosiding FIT ISI Vol 1, 1, 187–193.

Muzdalifah. (2011). Analisis Produksi dan Efisiensi Usaha tani Padi di Kabupaten Banjar, Jurnal Agribisnis Pedesaan, 1(4), 256-266.

Oktama, R., & Ardinanto, G. (2012). Aplikasi SIG dalam Analisis Tekanan Penduduk terhadap Lahan Pertanian di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul. Seminar Nasional Pendayagunaan Informasi Geospasial untuk Optimalisasi Otonomi Daerah 2013 (pp. 144-147).

 Sadali, M. I. (2016). Mobilitas Pekerja Pada Kawasan Industri Piyungan di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Patrawidya, 17 (3): 83-98. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya, DIY

Saptono, H. (2018). Sleman Menuju Swasembada Pangan, <https://radarjogja.jawapos.com/sleman-bantul/2018/10/27/sleman-menuju-swasembada-pangan/> (di akses: 20 Mei 2022)

Sudalmi, E. R. (2010). Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Inovasi Pertanian, 9, 15–28.

Zakaria, A. K., & Nurasa, T. (2013). Strategi penggalangan petani untuk mendukung program peningkatan produksi padi berkelanjutan. Analisis Kebijakan Pertanian, 11(2), 75–87.

 

 

Copyright holder:

Alief Rizky Purnama Adji, Langgeng Wahyu Santosa, Rika Harini (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: