Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
5, Mei 2024
ERA BARU KEMITRAAN
INDONESIA-PASIFIK MUNGKINKAH PAPUA MENJADI HUB DALAM KERANGKA DIPLOMASI
INDONESIA DI PASIFIK
Melyana R. Pugu
Universitas Cenderawasih, Jayapura, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan
Penulisan ini adalah untuk mendapatkan analisa kemitraan Indonesia dengan
negara-negara Pasifik dan prospek Papua menjadi Hub atau penghubung antara
Indonesia dengan negara-negara Pasifik. Kepentingan nasional Indonesia
memungkinkan juga menjadikan Papua sebagai salah satu lokasi strategis untuk menjadi
pintu gerbang dalam skema kerjasama yang akan terbangun dalam kerangka Pacific
Elevation yang di perkenalkan
Indonesia tahun 2019 di New Zealand bagi politk luar negeri
Indonesia ke negara-negara Pasifik. Dari sini konsep “Pacific elevation” secara
sederhana dapat dimaknai sebagai upaya Indonesia secara berkelanjutan untuk
meningkatkan dan semakin mengkokohkan persahabatan dan kemitraan dengan berbagai
mitranya di kawasan Pasifik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
Kualitatif yang didalamnya menemukan data-data berdasarkan data sekunder
melalui studi pustaka dan literatur baik media cetak maupun elektronik termasuk
data-data melalui internet. Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan
menggunakan teknik analisa Triangulasi data yaitu mengumpulkan, memverifikasi
dan menemukan kebenaran dalam data untuk disajikan. Luaran dari penelitian ini
adalah pentingnya Indonesia membangun hubungan kemitraan dengan negara-negara
Pasifik selatan dalam rangka pencapaian tujuan nasional Indonesia sehingga
terbangun hubungan harmonis di kawasan ini dan kegiatan ekonomi, sosial dan
budaya terutama budaya Melanesia dapat terbangun dengan baik dengan negara-negara
ini. Disisi lain,era baru kemitraan Indonesia dengan
Pasifik ini memungkinkan menjadikan Papua sebagai pintu gerbang aktivitas
ekonomi, sosial dan budaya dengan negara-negara Pasifik Selatan sehingga
semangat Pacific Elevation ini diharapkan dapat meminimalisir isu-isu terkait
Papua merdeka yang akan mengganggu stabilitas dalam negeri Indonesia dan juga
di fora internasional.
Kata Kunci: Era
Baru, Diplomasi, Hub, Indonesia, Kemitraan, Pasifik, Papua
Abstract
The
purpose of this paper is to obtain an analysis of Indonesia's partnership with
Pacific countries and the prospect of Papua becoming a Hub or liaison between
Indonesia and Pacific countries. Indonesia's national interest may also make
Papua one of the strategic locations to become a gateway in the cooperation
scheme that will be built within the framework of the Pacific Elevation
introduced by Indonesia in 2019 in New Zealand for Indonesian overseas politics
to Pacific countries. From here the concept of "Pacific elevation"
can simply be interpreted as Indonesia's ongoing efforts to improve and further
strengthen friendships and partnerships with its various partners in the
Pacific region. This research uses a qualitative research method in which it
finds data based on secondary data through literature and literature studies of
both print and electronic media including data via the internet. The data
collected is then processed using data triangulation analysis techniques,
namely collecting, verifying and finding the truth in the data to be presented.
The output of this research is the importance of Indonesia building partnership
relationships with south Pacific countries in order to achieve Indonesia's
national goals so that harmonious relations are built in the region and
economic, social and cultural activities, especially Melanesian culture, can be
well established with these countries. On the ot
her
hand, this new era of Indonesia's partnership with the Pacific allows Papua to
become a gateway for economic, social and cultural activities with South
Pacific countries so that the spirit of Pacific Elevation is expected to
minimize issues related to an independent Papua that will disrupt Indonesia's
domestic stability and also in the international environment or international
forums.
Keywords: New Era, Diplomacy, Hub, Indonesia, Partnership, Pacific, Papua
Pendahuluan
Sebagai negara kepulauan
Indonesia adalah partner Pasifik untuk isu yang menjadi perhatian bersama
seperti perubahan iklim, kenaikan permukaan air laut, kemaritiman dan
pembangunan berkelanjutan. Kawasan Pasifik khususnya Pasifik Selatan memiliki
keindahan alam yang mempesona diantara berbagai negara-negara kecil kepulauan
ini seperti Tonga, Cook Islands, Tuvalu, Fiji, Palau, Samoa, Vanuatu, Kepulauan
Salomon, Nauru, dan lainnya. Layaknya negara-negara dengan rumpun Melanesia,
Polinesia dan Mikronesia, maka negara-negara ini pun memiliki adat istiadat
yang kuat diatas wilayah mereka dan sangat mempengaruhi system social budaya
termasuk politik mereka (Hutabarat, 2022). Dalam
konteks perubahan iklim saat ini, negara-negara kepulauan ini menghadapi
ancaman naiknya permukaan air laut yang dapat menimbulkan bencana alam yang
membahayakan nyawa manusia dan bukan tidak mungkin menghilangkan tanah leluhur
mereka yang sangat dijaga dan dihormati. Ancaman perubahan iklim yang serius
ini mengakibatkan kesadaran negara-negara pasifik untuk membangun kerjasama
dengan negara lain termasuk dengan Indonesia.
Salah
satu negara yang telah merasakan dampak naiknya permukaan air laut adalah Kiribati.
Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Kiribati menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sebagian besar masyakarat Kiribati
melakukan migrasi, baik di dalam wilayah Kiribati maupun ke luar negeri.
Dikarenakan erosi merusak tanaman pangan, air laut membanjiri kolam air tawar
dan warga terpaksa mengungsi.Di dalam negeri, mayoritas masyarakat Kiribati
melakukan migrasi ke Tarawa Selatan dan Kiritimati.Tujuan emigrasi dari
sebagian besar masyarakat Kiribati adalah Fiji, Selandia Baru dan
Australia.Migrasi tersebut diproyeksikan akan semakin meningkat dikarenakan
keberlanjutan dari fenomena perubahan iklim yang berpengaruh secara signifikan
bagi kehidupan perekonomian dan kebudayaan dari masyarakat Kiribati serta
melanjutkan kehidupan yang lebih baik dalam hal pekerjaan maupun pendidikan di
wilayah urban seperti Tarawa Selatan dan Kiritimati atau di wilayah negara lain
seperti Fiji, Selandia Baru dan Australia (Wardhani et al., 2018). Presiden
Anote Tong memiliki visi yakni “Migration with Dignity” (Mengungsi secara
Terhormat) yang diimplementasikan melalui penyediaan pendidikan berskala
internasional bagi I-Kiribati yang berguna untuk mencari pekerjaan di luar
negeri sebagai salah satu kebijakan pro-aktif dalam menangani proses perubahan
iklim. Selain itu, Kiribati membeli tanah seluas 5.460
ha dari sebuah lahan di Vanua Levu (pulau terbesar kedua di Fiji) pada tahun
2014 sebagai tempat penyimpanan makanan dari I-Kiribati dan sebagai tempat
relokasi untuk masyarakat Kiribati serta menjamin ketahanan pangan saat
perubahan iklim terjadi.
Isu
perubahan iklim memang tidak pernah lepas dari negara Kepulauan Pasifik
Selatan. Kondisi geografis yang dikelilingi lautan membuat negara-negara di
kawasan ini tidak hanya rentan terhadap level kenaikan air laut, namun juga
peristiwa cuaca ekstrem seperti badai dan gelombang tinggi yang sering melanda
kawasan samudra Pasifik (Hermon, 2015). Dalam
merespon hal ini, negara Kepulauan Pasifik Selatan tidak tinggal diam untuk
mempertahankan kedaulatan negaranya dari ancaman iklim. Negara-negara tersebut
menandatangani Deklarasi Majuro di ibukota Marshall Island. Dalam deklarasi
tersebut, negara-negara Kepulauan Pasifik Selatan sepakat unuk menjadi pemimpin
dalam mengatasi isu perubahan iklim (Wijayanti et al., 2022). Komitmen ini tertera
pada poin ke delapan Deklarasi Majuro di mana mereka menyatakan bahwa “We
commit to be Climate Leaders… to lead is to act.”
Negara-negara
di pasifik memandang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki
pengalaman dan kapasitas dalam mengelola isu maritime dan konservasi laut. Dampak perubahan
iklim menjadi ancaman nyata dan berbahaya bagi negara-negara di kawasan
Samudera Pasifik, termasuk Indonesia. Hal itu ditekankan Direktur Jenderal Asia
Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri RI, Duta Besar Desra Percaya, dalam
rangkaian pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi Pacific Islands Forum (KTT PIF)
ke-50 di Funafuti, Tuvalu. Dalam pertemuan antara para Pemimpin PIF dengan
mitra dialog pada Jumat (16/8/2019), Desra menegaskan komitmen Indonesia dalam
mengatasi tantangan kawasan Pasifik yang sebagian besar merupakan negara
kepulauan, seperti perubahan iklim, isu kelautan dan bencana alam. Indonesia
juga ingin berkontribusi dalam upaya pengembangan kawasan Pasifik.
KTT
PIF ke-50 membahas sejumlah isu yang menjadi perhatian bersama di Pasifik,
yakni keamanan regional, perubahan iklim dan keamanan maritim (Bayhaqi, n.d.). PIF mengesahkan Kainaki
II Declaration for Urgent Climate Change Action dan sepakat untuk menyusun 2050
Strategy for the Blue Pacific Continent. Pertemuan juga
menandakan serah terima keketuaan PIF dari Nauru (2018-2019)
kepada Tuvalu (2019-2020). Pembahasan isu perubahan iklim mendominasi jalannya
KTT PIF tahun ini. Negara-negara kepulauan Pasifik sangat rentan terhadap
ancaman perubahan iklim yang mengakibatkan kerugian sangat besar, terutama
akibat dari ancaman kenaikan permukaan air laut. Kejadian bencana alam yang
semakin intensif, hingga isu kemanusiaan di mana kehidupan masyarakat kepulauan
terancam dan harus bermigrasi ke negara lain. Selain itu, negara-negara PIF
juga fokus menyusun posisi bersama untuk diperjuangkan pada pertemuan COP25
mendatang. Sejak 2001, Indonesia rutin menghadiri pertemuan tahunan PIF bersama
dengan Mitra Dialog lainnya, termasuk AS, RRT, Korea Selatan, Jepang, dan Uni
Eropa. Indonesia selalu hadir dan berkontribusi aktif dengan bertukar pandang,
berbagi pengalaman, dan menawarkan bantuan teknis dalam bentuk pelatihan dan
pembangunan kapasitas kepada negara-negara Pasifik. PIF merupakan forum kerja
sama antar negara-negara di kawasan Pasifik yang meliputi 18 negara/wilayah,
yaitu Australia, Kepulauan Cook, Fiji, Polynesia Perancis, Kaledonia Baru,
Kiribati, Kepulauan Marshall, Nauru, Niue, Federasi Mikronesia, Palau, Papua
Nugini Selandia Baru, Kepulauan Solomon, Tuvalu, Tonga, dan Vanuatu. Forum ini
didirikan pada 1971, dan bertujuan memperkuat kerjasama dan integrasi kebijakan
negara-negara Pasifik. Tujuannya, mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan
berkelanjutan, tata kelola pemerintahan yang baik, serta keamanan regional
bersama (Tesa Oktiana Surbakti, 2019).
Indonesia
adalah negara kunci untuk ikut memetakan kondisi dan mengendalikan dampak
perubahan iklim di semua negara kepulauan dan negara pulau (Novianti et al., 2016). Pengalaman
Indonesia dalam melaksanakan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim, menjadi
kekuatan utama untuk mengatasi isu tersebut. Dengan bergandengan tangan di
antara negara kepulauan dan negara pulau, Indonesia optimis semua dampak
perubahan iklim yang sudah dan akan datang bisa diatasi ataupun dikendalikan.
Dampak itu, terutama untuk yang akan terjadi di wilayah lautan dunia.Sebagai komitmen untuk membantu negara kepulauan dan
negara pulau, Indonesia berani menggelontorkan dana senilai Rp14 miliar yang
disalurkan melalui skema kerja sama dengan Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP).
Dana Rp14 miliar tersebut akan digunakan untuk membiayai beragam program
penanganan dampak perubahan iklim di seluruh negara yang tergabung dalam Forum
archipelagic and island states (AIS) yang di dalamnya beranggotakan 49 negara
kepulauan dan negara pulau. Diketahui, Forum AIS berdiri pada November 2018 dengan Indonesia berperan sebagai inisiator.
Dalam forum tersebut, terdapat 49 negara yang bergabung menjadi anggota. Di
antaranya adalah Kuba, Pulau Comor, Siprus, Fiji, Guinea-Bissau, Jamaika,
Madagaskar, Selandia Baru, Papua Nugini, Saint Kitts dan Nevis, Sri Lanka,
Seychelles, Singapura, Kepulauan Solomon, Suriname, dan Timor Leste. Di dalam
forum AIS, semua negara anggota bisa terlibat dan berkolaborasi dengan semua
pemangku kepentingan seperti sektor swasta, masyarakat sipil, dan akademisi.
Keterlibatan tersebut bertujuan untuk menggali isu dan mencari solusi berkaitan
dengan dampak perubahan iklim serta perlindungan laut di seluruh dunia (M Ambari, 2019).
Menurut
Robert Keohane kerja sama terjadi ketika para actor baik negara maupun actor
non-negara menyesuaikan perilaku mereka dengan preferensi pihak lain yang
actual dan diantisipasi melalui proses koordinasi kebijakan (Keohane, 2006). Terdapat
setidaknya dua tujuan kerjasama yaitu bahwa perilaku masing-masing actor
diarahkan pada beberapa tujuan bersama dan kerjasama yang dibangun harus
memberikan keuntungan atau imbalan yang menguntungkan bagi mereka yang bekerja
sama.
Kerjasama
Internasional menurut Kalevi Holsti dapat terwujud karena adanya pandangan
bahwa dua atau lebih kepentingan, nilai atau tujuan yang saling bertemu dapat
menghasilkan sesuatu, dipromosikan atau dipenuhi oleh semua pihak sekaligus;
adanya harapan dari suatu negara bahwa kebijakan yang diputuskan oleh negara
lainnya akan membantu negara itu dalam mencapai kepentingan dan nilai-nilainya;
persetujuan atas masalah tertentu antara dua atau lebih dalam rangka
memanfaatkan persamaan kepentingan atau benturan kepentingan; aturan resmi atau
tidak resmi mengenai transaksi dimasa depan yang dilakukan untuk melaksanakan
tujuan; transaksi antarnegara yang dilakukan untuk mememuhi tujuan mereka (Holsti, 1919) mengemukakan
4 ciri bentuk kerjasama yaitu :
1) Pemerintah
berkejasama dengan alasan utama untuk mengurangi biaya (reducing costs) dan
meningkatkan efisiensi (increase efficiency).
2)
Kerjasama
juga dapat terjadi dikarenakan ada ancaman bersama (common threats) atau
masalah bersama (common problems).
3) Pemerintah
berkerjasama dengan alasan untuk mengurangi kemungkinan adanya biaya negatif
(reduce the negative cost) dari tindakan mereka terhadap negara lain.
4) Rasa
timbal balik (reciprocity) sebagai dasar dari terbentuknya kerjasama
harmonisasi kebijakan.
Dalam
kajian hubungan internasional setidaknya ada empat bentuk kerjasama yang
diketahui, yaitu: Kerjasama Global Adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa
di dunia untuk bersatu dalam satu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita
bersama merupakan dasar utama bagi kerjasama global. Sejarah kerja sama global
dapat ditelusuri kembali mulai dari terbentuknya kerja sama multilateral
seperti yang diperlihatkan oleh perjanjian Westphalia 1648 dan merupakan akar
dari kerjasama global.
Kerjasama
Regional; Kerjasama Regional merupakan kerjasama antar negara-negara yang
secara geografis letaknya berdekatan. Kerjasama tersebut bisa dalam bidang
pertahanan tetapi bisa juga dibidang lain. Adapun yang menentukan terwujudnya
kerjasama regional selain kedekatan geografis, kesamaan pandangan dibidang politik dan kebudayaan juga perbedaan struktur produktivitas
ekonomi. Kerjasama regional merupakan salah satu alternatif yang dapat
dipergunakan dalam mengatasi kemiskinan dan kebodohan. 3. Kerjasama Fungsional
Kerjasama fungsional, permasalahan atau pun metode kerjasamanya menjadi semakin
kompleks disebabkan oleh semakin banyaknya organisasi kerjasama yang ada.Walaupun terdapat kompleksitas dan banyak permasalahan
yang dihadapi dalam masalah kerjasama fungsional baik dibidang ekonomi maupun
sosial, untuk pemecahannya diperlukan kesepakatan dan keputusan politik.
Kerjasama fungsional berangkat dari pragmatisme pemikiran yang mensyaratkan
adanya kemampuan tertentu pada masing-masing mitra dalam kerjasama. Dengan
demikian kerjasama fungsional tidak mungkin terselenggara apabila diantara
negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk mendukung suatu fungsi yang
spesifik yang diharapkan darinya oleh yang lain. Adapun kendala yang dihadapi
dalam kerjasama fungsional terletak pada ideologi politik
dan isu- isu wilayah. 4. Kerjasama Ideologis Pengertian ideologi menurut
Vilfredo Pareto, adalah alat dari suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan
tujuan dan perjuangan kekuasaan.Dalam hal perjuangan
atau kerjasama ideologi batas-batas teritorial tidaklah relevan. Berbagai
kelompok kepentingan berusaha mencapai tujuannya dengan memanfaatkan berbagai
kemungkinan yang terbuka dalam forum yang global.
Lebih jauh lagi, dalam kerjasama Internasional, hal tersebut dapat didasari
suatu perjanjian, namun apabila belum ada perjanjian, kerjasama dapat dilakukan
atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip timbal balik reciprocity
principle.
Sebagai
panduan Peraturan Mentri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019
Tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah yakni
Jenis-Jenis Kerjasama Internasional oleh Daerah. Dalam Peraturan Menteri
tersebut disebutkan bahwa kerjasama internasional dengan lembaga diluar negeri
dapat berupa kerjasama atas dasar penerusan kerjasama pemerintah pusat, yaitu
dengan organisasi internasional, lembaga nonprofit berbadan hukum di luar
negeri dan mitra pembangunan luar negeri atau
kerjasama lainnya berdasarkan persetujuan pemerintah pusat.
Menurut Perwita dan Yani kerja sama
internasional yaitu sistem hubungan yang dibuat berdasarkan secara kehidupan
internasional serta dibagi ke dalam berbagai macam bidang. Contohnya yaitu
bidang ekonomi, ideologi, politik, sosial budaya, kesehatan, lingkungan hidup,keamanan serta juga pertahanan. Kerja sama internasional
menurut Dougherty dan Pfaltzgraff yaitu hubungan antar negara yang sedang
dijalin serta tidak mempunyai unsur paksaan atau juga kekerasan. Dan juga
disahkan dengan hukum internasional dalam upaya memberikan kebebasan untuk
membangun negara itu sendiri. Menurut holsti kerja sama internasional yaitu
kolaborasi yang setiap negara melakukannya ketika melihat adanya masalah
nasional yang sedang terjadi di negara tersebut. Masalah itu harus segera
ditangani secara baik. Karena hal itu bisa juga mengancam persatuan serta
kesatuan oleh suatu negara, Maka dari itu negara akan segera berusaha
menyelesaikan masalah yaitu dengan menjalin kerja sama dengan lain negara.
Kerjasama internasional adalah suatu hubungan
(relationship) yang terjalin dengan negara lain, mempunyai tujuan dan harapan
yang sama untuk menuju kesejahteraan, serta keuntungan untuk negara itu sendiri
dan warga negaranya.Dari keuntungan-keuntungan itu,
tentu warga negara dapat merasakan berbagai manfaat di dalamnya. berikut ini
merupakan manfaat yang dirasakan warga negara dari sebuah kerja sama
internasional:1. Memajukan serta meningkatkan perekonomian negara. hal ini bisa
dilihat dai segi transaksi dan juga hasil ekspor impor oleh negara tersebut; 2.
Mendapatkan kesempatan untuk mempelajari dan mencari tau pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju;3. Dari kerjasama
internasional, tentunya modal dari asing akan mudah masuknya; 4. Membuat angka
permintaan dari suatu produk meningkat dengan adanya ekspor impor dari satu
negara ke negara lain. hal ini tentu akan membuat kondisi ekonomi suatu negara
membaik; 5. Berkesempatan menaikkan harga dari barang impor; 6. Turut
mencerdaskan tenaga kerja karena tenaga kerja selalu dituntut untuk disiplin,
hasil kerja yang bagus karena akan diekspor ke negara-negara lain;7. Negara yang memiliki
jalinan kerja sama dengan negara lain akan mudah mendapatkan bahan-bahan
produksi yang kurang memadai dari asal negaranya. yang kemudian dari bahan baku
tersebut akan diproduksi menjadi bahan jadi yang menguntungkan; 8. Dengan
adanya kerja sama antar negara ini akan semakin membuat lapangan pekerjaan
menjadi luas, dan turunnya angka pengangguran di negara tersebut.
Pengertian Diplomasi adalah seni dalam
bernegosiasi atau berunding yang dilakukan oleh seorang diplomat dengan pihak
lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Arti diplomasi dapat juga
didefinisikan sebagai cara untuk menyampaikan suatu pesan yang punya tujuan
khusus melalui seorang diplomat dalam perundingan. Diplomasi sangat erat
hubungannya dalam kegiatan politik luar negeri atau hubungan internasional
dengan negara lain.Diplomasi adalah manajemen hubungan
internasional berupa serangkaian kebijakan yang dijalankan oleh suatu negara
untuk mengamankan kepentingan melalui proses tawar-menawar, negosiasi, tindakan
non-coercive, korespondensi, lobi, kunjungan dan aktivitas-aktivitas lainnya
yang terkait, saling menyampaikan cara pandang dan penggalangan dukungan
publik. Diplomasi merupakan ilmu mengenai hubungan antar negara yang tercipta
sebagai hasil timbal balik kepentingan-kepentingan, dari prinsip-prinsip hukum
antar negara dan ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam traktat-traktat
ataupun persetujuan-persetujuan internasional.
Hakikat
diplomasi adalah kegiatan berkomunikasi diantara para diplomat professional
yang mewakili negaranya masing-masing dimana pada umumnya kegiatan itu
dilakukan untuk memperjuangkan kepentingan nasional negaranya masing-masing.
Isu yang dibahas adalah perdamaian, perdagangan,perang, ekonomi, budaya,
lingkungan dan Hak asasi manusia (Cooper et al., 2013).
Diplomasi
mencakup seluruh sistem kepentingan yang tercipta dari hubungan-hubungan antar
negara dengan tujuan menjamin keamanannya, keharmonisannya, memelihara martabat
serta kehormatannya dan tujuan langsungnya adalah memelihara perdamaian serta
keharmonisan. Kegiatan diplomasi dapat dilakukan dengan negara tertentu saja
(bilateral) atau bisa juga dilakukan dengan banyak negara (multilateral). Pada
pelaksanaannya, diplomasi bertujuan untuk menjalin, mempererat, dan
meningkatkan hubungan antara suatu negara dengan negara lainnya demi mencapai
tujuan bersama.
Fungsi
utama politik luar negeri adalah mengambil keputusan
mengenai hubungan luar negeri, sedangkan tugas utama diplomasi adalah untuk
melaksanakannya dengan baik dan efektif. Diplomasi biasanya dilakukan secara
resmi antar pemerintah negara, namun bisa juga secara tidak resmi melalui antar
lembaga informal atau antar penduduk atau antar komunitas dari berbagai negara
yang berbeda.
Menurut (Ashari, 2023), diplomasi
adalah serangkaian kebijakan yang dijalankan oleh suatu negara untuk
mengamankan kepentingan dalam berhubungan dengan negara lain melalui proses
tawar-menawar, negosiasi, tindakan non-coercive, dan penggalangan dukungan
publik. Menurut (Barston, 2019), diplomasi
adalah manajemen hubungan internasional melalui negosiasi. Diplomasi pada
dasarnya lebih fokus terhadap hal yang berkaitan dengan pengelolaan hubungan
antara negara dengan negara dan aktor lainnya, dengan
hal yang berkaitan tentang kegiatan menuju perdamaian. Menurut (Djelantik, 2008), diplomasi
adalah manajemen hubungan antar negara atau hubungan antar negara dengan
aktor-aktor hubungan internasional lainnya. Negara, melalui perwakilan resmi dan aktor-aktor lain berusaha untuk menyampaikan,
mengkoordinasikan dan mengamankan kepentingan nasional khusus atau yang lebih
luas, yang dilakukan melalui korespodensi, pembicaraan tidak resmi, saling
menyampaikan cara pandang, lobi, kunjungan dan aktivitas-aktivitas lainnya yang
terkait. Menurut (Shoelhi, 2011), diplomasi
adalah ilmu mengenai hubungan-hubungan serta kepentingan-kepentingan dari
negara-negara atau seni untuk mendamaikan/mempertemukan perbedaan-perbedaan
gagasan antarbangsa, dan secara lebih khusus lagi, diplomasi adalah seni
berunding.
Berdasarkan
uraian diatas maka diplomasi Indonesia ke negara-negara pasifik dapat dilakukan
melalui berbagai mekanisme dan skema yang telah dikembangkan termasuk membuka
jalur-jalur perdagangan dan perlintasan dengan negara-negara pasifik termasuk
melalui Papua sebagai pintu gerbang menuju Pasifik karena selain kedekatan
geografis juga secara budaya adalah sama sama rumpun Melanesia yang memudahkan
dalam berbagai kegiatan kerjasama yang akan dibentuk termasuk menjadi sarana
diplomasi ke negara-negara pasifik sehingga meminimalisir isu Papua di kawasan
ini dan disisi lain dapat meningkatkan perdagangan investasi dan kunjungan
wisatawan. Perlindungan WNI, mitra saling dukung dalam forum regional dan
multilateral; dan perluasan pasar produk RI di Pasifik.
Tujuan
penulisan ini adalah untuk memberikan analisa yang mendalam tentang hubungan
kemitraan Indonesia dengan negara-negara Pasifik dan pentingnya menjadikan
Papua sebagai pintu gerbang dalam menjalani kerjasama dengan negara-negara
Pasifik.
Metode
Penelitian
Metode
yang digunakan dalam menganalisa permasalahan yang diangkat adalah dengan
menggunakan metode penelitian Kualitatif yaitu penelitian dengan cara
menjelakan berdasarkan data data yang didapat. Menurut Creswell Analisis data
kualitatif dapat dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data,
interpretasi data, dan penulisan naratif lainnya. Proses analisis data
kualitatif berjalan beriringan simultan dengan proses lainnya bahkan pada awal
penelitian. Pastikan bahwa proses analisis data kualitatif yang telah dilakukan
berdasarkan pada proses reduksi data dan interpretasi. Data yang telah
diperoleh direduksi ke dalam pola-pola tertentu, kemudian melakukan
kategorisasi tema, kemudian melakukan interpretasi kategori tersebut
berdasarkan skema-skema yang di dapat. Analisa data dilakukan setelah proses
reduksi data dan mendapatkan data yang valid. Sumber data melalui studi
pustaka, jurnal buku, internet dan data data sekunder
lainnya.
Hasil dan Pembahasan
Indonesia dan Pasifik
Indonesia
telah menyiapkan strategi membangun kemitraan dengan kawasan Pasifik secara
komprehensif pada tataran bilateral, regional, maupun dalam forum global.
Demikian diungkap Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi dalam keterangan
tertulis Kementerian Luar Negeri (Kemlu), mengenai kunjungan ke Fiji dan
Kepulauan Solomon pada 6-7 September 2022. “Saat
Presidensi Indonesia di G-20, Indonesia telah memberikan perhatian khusus
dengan mengundang wakil-wakil dari negara kepulauan kecil,” kata Menlu Retno .
Menurut
Menlu Retno, sedikitnya ada 10 proyek yang akan
menjadi kerja sama konkret yang didorong Indonesia selama Presidensi G20 tahun
ini, yaitu di sektor energi, perubahan iklim, kelautan, mitigasi bencana, dan
pendanaan yang terkait langsung dengan kepentingan negara kepulauan kecil.
Retno juga menyampaikan rencana Indonesia untuk lebih mendekatkan hubungan
ASEAN dengan Pasific Island Forum (PIF) saat Indonesia menjabat sebagai Ketua
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada 2023,Ketika
bertemu dengan PIF di Fiji, Retno menegaskan kembali komitmen Indonesia dan PIF
untuk memperkuat kerja sama terutama isu-isu yang terkait dengan kelautan. “Dan
PIF memiliki harapan bahwa Indonesia dapat membawa isu itu sampai, atau
terutama untuk mempersiapkan pertemuan COP 27 yang akan diselenggarakan di
Mesir,” tuturnya.Tahun ini, kata Retno, Indonesia akan
menyelenggarakan Indonesia Pacific Forum for Development (IPFD) yang pertama
pada 7-8 Desember 2022. Inisiatif strategis itu akan menjadi tonggak sekaligus
platform Indonesia untuk pengembangan kerja sama pembangunan secara terlembaga
di kawasan Pasifik.“Forum ini akan menghubungkan
negara-negara di kawasan Pasifik dengan lembaga-lembaga terkait di Indonesia
dan mitra pembangunan potensial lainnya. Kita ingin menciptakan platform kerja
sama untuk menarik minat mitra pembangunan kepada proyek-proyek yang spesifik
untuk masing-masing negara di kawasan Pasifik,” ujar Retno.
Dalam
masing-masing pertemuan dengan Menlu Fiji dan Menlu Kepulauan Solomon, Retno
juga menyampaikan rencana pelaksanaan Archipelagic and Island States Forum (AIS
Forum) pada tingkat menteri, bekerja sama dengan UNDP pada 5-6 Desember mendatang.“Jadi, penyelenggaraan AIS Forum akan
diselenggarakan back-to-back dengan penyelenggaraan IPFD di tingkat menteri.
Pertemuan para menlu negara-negara kepulauan ini akan memuluskan jalan menuju
pertemuan tingkat tinggi AIS Forum tahun depan,” katanya.Kunjungan
Menlu RI ke Fiji dan Kepulauan Solomon memiliki arti yang sangat penting dan
strategis untuk menebalkan komitmen Indonesia guna memperkuat kerja sama dengan
negara-negara di kawasan tersebut. “Penguatan kerja sama dengan negara-negara
Pasifik merupakan salah satu prioritas dari politik
luar negeri Indonesia,” kata Retno. (Eko Budiono, 2022)
Berdasarkan
uraian diatas maka posisi Indonesai dalam kerangka diplomasi ke negara-negara
Pasifik sangat besar karena Indonesia juga banyak memberikan bantuan kepada
negara-negara pasifik dan ikut memperjuangkan isu-isu perubahan dan iklim yang
mengancam negara-negara kepulauan termasuk Indonesia dan negara Pasifik. Peran
Indonesia bagi negara negara pasifik sangat baik dalam kerangka diplomasi dan
memperkuat stabilitas
dan kedaulatan negara terhadap negara-negara di kawasan pasifik.
Indonesia juga telah memperkenalkan konsep Pasific Elevation yang
focus pada kerjasama ekonomi dan pembangunan serta bertujuan
meningkatkan pengaruh Indonesia di Pasifik.
Papua sebagai
Hub dalam kerangka diplomasi Indonesia ke Pasifik
Berdasarkan letak
geografis, Papua terletak secara astronomis, Pulau Papua terletak di
posisi 0º 20' Lintang Selatan (LS) sampai 10º 42' LS dan membentang dari 131º
Bujur Timur (BT) hingga 151º BT. Pulau Papua yang memiliki luas 785,753 km2 ini
didiami ratusan suku bangsa. Pulau ini juga terkenal dengan hutan hujan tropis
yang menjadi rumah bagi puluhan ribu jenis flora dan
ratusan tumbuhan endemik. Selain itu beragam hewan eksotis juga bisa dijumpai
di pulau ini antara lain burung cendrawasih, kasuari, Kuskus scham-scham,
dingiso, dan labi-labi moncong babi. Sebelah timur :
Laut Seram dan Laut Halmahera; Sebelah utara : Samudra Pasifik; Sebelah barat :
Laut Solomon dan Laut Bismarck; Sebelah selatan : Laut Arafura dan Laut Coral.
Sejumlah sungai di Pulau Papua memiliki panjang lebih dari 1.100
km seperti Sungai Sepik dan Sungai Fly di Papua Nugini. Artinya panjang sungai
tersebut hampir sama dengan jarak antara Pelabuhan Merak, Banten di barat Pulau
Jawa sampai ke Pelabuhan Ketapang, Jawa Timur di ujung timur Pulau Jawa.
Kondisi geografis Pulau Papua berdasarkan peta dengan kontur beragam mulai dari
pegunungan, lembah, hutan, rawa sampai pantai dilewati sungai-sungai panjang
tersebut. Beberapa sungai lainnya diantaranya: -Sungai Mamberamo; -Sungai
Digul;-Sungai Purari;-Sungai Baliem;-Sungai Keerom (Travel, 2020). Secara
posisi geografis Papua yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik di utara dan
Laut Arafura di
selatan yang menjadi jalur
lintas perairan menuju Australia, sedangkan
wilayah sebelah timur Papua
berbatasan langsung dengan
Papua New Guinea dan
sebelah barat berbatasan dengan Laut Banda (BPS, 2020). Posisi geografis Papua
pada wilayah daratan yang
berbatasan langsung dengan Papua
New Guinea telah
menjadi sebuah jalur perdagangan lintas
negara yang meliputi wilayah
Papua, mulai dari perbatasan
utara hingga selatan seperti Skouw,
Arso, Waris, Senggi,
Kiwirok Timur hingga wilayah Merauke
yang berbatasan langsung dengan jalur
perdagangan Papua New Guinea,
seperti Bewani, Wutung, Imonda, hingga wilayah Sepik.
Letak geografis
Papua yang berbatasan langsung dengan Papua New
Guinea dinilai akan menjadikan sebuah potensi besar untuk menjadi pintu masuk perdagangan rute darat dari kawasan
Pasifik menuju
Indonesia, begitu juga sebaliknya. Letak geografis
Papua bukan hanya memiliki potensi
perdagangan pada rute darat, melainkan memiliki
potensi strategis bagi jalur
perdagangan Indonesia-Pasifik
pada rute perairan internasional. Hal ini tidak terlepas dari
adanya posisi geografis
Papua yang berada di
dalam garis strategis
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI) adalah Alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur
ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh
kapal atau pesawat udara asing diatas laut tersebut untuk dilaksanakan
pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal. Penetapan ALKI dimaksudkan
agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus
menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan
ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua
perairan bebas, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Semua kapal dan
pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui
ALKI.
Tiga
alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) menurut Peraturan Pemerintahan Nomor 37
tahun 2002 adalah Tiga
jalur utama tersebut: ALKI I menjadi jalur perairan dan
pelayaran yang meliputi Laut
Jawa, Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut China
Selatan yang dapat menjadi
jalur perdagangan internasional yang terhubung dengan kawasan Laut
China Selatan, Afrika,
dan Samudra Hindia. ALKI II menjadi
jalur pelayaran dan perairan yang
meliputi wilayah Selat Lombok, Selat Makassar, Laut
Sulawesi, dan Laut Lombok yang
menjadi salah satu
jalur perdagangan
internasional di kawasan
Asia Tenggara dan Australia,
sedangkan pada ALKI III
terbagi atas beberapa
rute yang meliputi ALKI
III A yang
menghubungkan jalur
perairan Samudra Pasifik,
Selat Maluku, Selat Seram,
Laut Banda yang terhubung dengan
jalur pelayaran dan perdagangan internasional Australia
dan Filipina dan Rute
berikutnya adalah ALKI
III B yang menghubungkan jalur
perairan dan perdagangan Selat
Torres, Laut Arafuru, Laut Banda,
dan Laut Maluku
yang terhubung dengan jalur perdagangan internasional Australia,
Selandia Baru, dan Samudra Pasifik. Sedangkan rute ALKI III
C akan menjadi penghubung
jalur pelayaran dan perdagangan
Laut Maluku, Laut
Banda, Selat Ombai, Laut
Sawu yang akan terhubung dengan jalur perdagangan
internasional Samudra Pasifik
dan Samudra Hindia .
Yang
dapat dijelaskan dari rute tersebut adalah posisi Papua saat ini di hadapan
lautan Pasifik yang membentang sangat mungkin menjadi rute perdagangan
internasional ketika rute ALKI diatas dapat diterapkan di perairan Papua menuju
ke negara-negara pasifik. Misalnya jalur laut antara Papua kota Jayapura dengan
Vanimo dengan jalur laut sangat dekat tidak lebih dari 30 menit. Jalur laut
antara kabupaten Supiori (Papua) dengan Negara Palau dengan emnggunakan Perahu
motor berkekuatan mesin tinggi akan memakan waktu kurang lebih 8 Jam. Demikian
pula ke negara-negara pasifik lainnya yang letaknya tidak jauh melebihi jarak
Jakarta ke negara-negara pasifik. Hal ini bagi penulis menjadi hal penting
untuk membuka wilayah-wilayah perbatasan negara ini dengan jalur pelintasan
perdagangan maupun penghubung sehingga memudahkan dalam kerjasama dan kegiatan
pembangunan.
Papua Sebagai
Pintu Gerbang Pasar Pasifik
Sebagai
pintu gerbang bagi pasar Indonesia ke negara-negara pasifik maupun sebaliknya
tentu saja akan memberikan manfaat dan dampak yang besar bagi Papua. Mengapa?
Karena semua sector selain ekonomi akan bergerak maju
kearah pertumbuhan pembangunan yang positip. Dalam hubungan perdagangan
Indonesia-Pasifik, Papua
menjadi salah satu wilayah
Indonesia yang memiliki
potensi nilai perdagangan Indonesia-Pasifik yang mencapai US$ 10,67 miliar
di tahun 2018, yang meningkat sebesar 3,05%
dibandingkan tahun sebelumnya . Papua
memiliki potensi kekayaan sumber daya
alam yang dapat diekspor ke wilayah Pasifik,
seperti Karet, Kakao, Kelapa Sawit,
Pertambangan, Kopi hingga komoditas Perikanan.
Komoditas ini dapat dijadikan komoditas
strategis wilayah Papua.
Papua memiliki komoditas-komoditas strategis
yang dapat masuk ke
dalam pasar internasional di sejumlah kawasan. Meskipun dalam hubungan
perdagangan Papua dengan kawasan Pasifik masih dinilai sangat rendah. Melihat potensi komoditas
strategis wilayah Papua dinilai
menjadi sebuah potensi
besar bagi Indonesia untuk meningkatkan hubungan perdagangan dengan
kawasan Pasifik, terutama melalui
wilayah Papua yang secara
geografis memiliki posisi strategis sebagai jalur perdagangan
internasional Indonesia-Pasifik. Besarnya potensi perdagangan internasional yang dimiliki oleh
Papua bagi Indonesia, membuat
pemerintah Indonesia
dinilai harus dapat menyiapkan
langkah-langkah strategis untuk
dapat mengembangkan potensi wilayah
Papua sebagai jalur
perdagangan internasional Indonesia-Pasifik. Bagi Penulis, langkah awal
menjadikan Papua sebagai gerbang penghubung ke negara-negara Pasifik adalah hal
baik yang akan memicu hidupnya berbagai sektor lain. Dibukanya
wilayah Papua sebagai gerbang ke negara-negara pasifik akan meningktakan rasa
saling percaya negara-negara pasifik terhadap Indonesia dan tentu saja akan
memberikan manfaat ekonomi, social, budaya dan politik
bagi kemitraan Indonesia dengan negara-negara Pasifik. Bukan masalah apakah
Papua siap atau tidak, bukan masalah negara pasifik adalah negara kecil dengan
PDRB yang rendah tetapi masalah menjaga hubungan kerjasama saling menguntungkan
antar sesama negara kawasan sehingga ketika Indonesia memiliki dana yang cukup
untuk membantu negara-negara Pasifik untuk masalah dampak perubahan iklim
misalnya maka negara-negara pasifik dapat mendatangkan devisa ketika
wisatawannya datang ke Indonesia melalui jalur terdekat Papua yang menurut
mereka adalah saudara serumpun Melanesia dalam kerangka persaudaraan. Ataupun
dalam kerangka kerjasama antar pemerintah daerah misalnya terkait sister
city dalam paradiplomacy yang dibangun antara negara-negara pasifik
dengan kota-kota di Indonesia yang dikategorikan berumpun Melanesia, Polinesia
dan Mikronesia.
Konektivitas wilayah
Papua dinilai menjadi sebuah
kunci utama dalam membuka jalur perdagangan
internasional yang dapat meningkatkan kehadiran Indonesia dalam
persaingan geopolitik kawasan
Pasifik. Kawasan Pasifik menjadi kawasan
strategis yang memiliki arti penting bagi Indonesia, hal ini tidak terlepas
dari adanya posisi geografis
kawasan Pasifik yang berbatasan
langsung dengan Indonesia.
Kesimpulan
Kehadiran
Indonesia sebagai mitra bagi negara-negara Pasifik terutama negara-negara
pasifik selatan akan menjadi titik terang bagi diplomasi Indonesia dalam
kerangka kerjasama regional dan multilateral dengan negara-negara di kawasan
ini guna memperkuat posisi Indonesia di kawasan Pasifik. Kerjasama yang
dibangun oleh Indonesia tentu saja akan berdampak bagi stabilitas dalam negeri
Indonesia tetapi juga bagi politik luar negeri
Indonesia terhadap mitra negara-negara Pasifik. Berbagai kerjasama baik
maritime, ekonomi sampai dengan pembangunan berkelanjutan akan membawa manfaat
bagi semua negara di kawasan ini termasuk Indonesia. Era baru kemitraan ini
tentu saja bagi negara-negara pasifik adalah memberikan keuntungan dalam
pembangunan karena Indonesia dianggap sebagai mitra, sebagai tujuan ekspor dan
impor dari negara pasifik, saling mendukung dalam fora internasional, isu
maritim dan konservasi laut. Bagi Indonesia tentu saja dengan memberikan
kesempatan bagi Papua sebagai pintu gerbang hubungan dengan negara-negara
Pasifik akan mendatangkan keuntungan bagi Indonesia untuk melakukan ekspor dan
impor ke negara -negara pasifik, membuka kesempatan wisatawan mancanegara,
memberikan perlindungan bagi warga negara dan mempererat hubungan kerjasama
sama dalam berbagia bidang dengan negara-negara pasifik sehingga kedaulatan
negara tetap terjaga dan kesejahteraan masyarakat terwujud.
BIBLIOGRAFI
Ashari,
K. (2023). Kamus hubungan internasional. Nuansa Cendekia.
Barston, R. P. (2019). Modern diplomacy. Routledge.
Bayhaqi, A. (n.d.). Urgensi Gagasan Kerjasama Indonesia dengan United
Nations Development Programme (UNDP) dalam Menginisiasi Program Archipelagic
And Island States Forum (Ais Forum) Tahun 2017-2018. FISIP UIN Jakarta.
Cooper, A. F., Heine, J., & Thakur, R. (2013). The Oxford handbook
of modern diplomacy. OUP Oxford.
Djelantik, S. (2008). Diplomasi antara teori dan praktik. Graha
Ilmu.
Eko Budiono. (2022). Menlu RI Siapkan Strategi Kemitraan dengan Negara
Kawasan Pasifik.
Hermon, D. (2015). Geografi bencana alam. PT. RajaGrafindo
Persada-Rajawali Pers.
Holsti, K. J. (1919). International politics: A framework for analysis.
-.
Hutabarat, L. F. (2022). Perspektif Konstruktivisme dalam Diplomasi
Indonesia pada Indo-Pacific Economic Framework (IPEF).
Keohane, R. O. (2006). Accountability in World Politics1. Scandinavian
Political Studies, 29(2), 75–87.
M Ambari. (2019). Negara Kepulauan Harus Bersatu Hadapi Dampak
Perubahan Iklim. Mongabay Situs Berita Lingkungan.
Novianti, K., Warsilah, H., & Wahyono, A. (2016). Perubahan Iklim dan
Ketahanan Pangan Masyarakat Pesisir Climate Change and Food Security on Coastal
Community. Jurnal PKS Vol, 15(3), 203–218.
Shoelhi, M. (2011). Diplomasi: Praktik komunikasi internasional.
Simbiosa Rekatama Media.
Tesa Oktiana Surbakti. (2019). Indonesia Perkuat Kerja Sama Perubahan
Iklim dengan Pasifik. Media Indonesia.
Travel, D. (2020). Kondisi geografis pulau papua berdasarkan peta
lengkap dengan batasnya. Detik Travel.
Wardhani, B., Faisal, M. D., & Paramita, T. D. (2018). Migrasi dan
Transnasionalisme di Pasifik Selatan. Airlangga University Press.
Wijayanti, S. H., Primaristy, D. A., Hapsari, S. W., Dewi, I. A. L., &
Hamel, P. M. (2022). Masalah-masalah Strategis dan Keamanan Manusiawi di
Pasifik Selatan. Airlangga University Press.
Copyright holder: Melyana R. Pugu (2024) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |